Archive for Juli, 2012

GADAI TANAH PADA MASYARAKAT BUGIS DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang Masalah

            Agama Islam adalah risalah (pesan-pesan) yang diturunkan Tuhan kepada Muhammad SAW. Sebagai petunjuk dan pedoman yang mengandung hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan dalam menyelenggarakan tatacara kehidupan manusia, yaitu mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubugan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan khaliq-Nya.

            Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang kehidupan yang membentuk pandangan hidup manusia. Islam hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global, yakni makna-makna tekstual yang umum, yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia baik yang meliputi aspek ritual (ibadah) maupun sosial (mualamah). Dengan demikian akan dapat digali (diistimbat) berbagai pemecahan setiap masalah yang timbul dalam kehidupan manusia.

            Dalam menjawab permasalahan yang timbul nampaknya peranan hukum Islam dalam era moderen dewasa ini sangat diperlukan dan tidak dapat lagi  dihindarkan. Kompleksitas permasalahan umat yang selalu berkembang seiring dengan berkembangnya zaman membuat hukum Islam harus menampakkan sifat elastisitas dan fleksibilitasnya guna memberikan yang terbaik serta dapat memberikan kemaslahatan  bagi umat manusia.

            Oleh karena itu dalam hubungan antara sesama manusia diberi kebebasan untuk berijtihad sepanjang tidak menyimpang dari al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana yang dinyatakan dalam suatu hadis Nabi SAW :

أنتم أعـلم بأمـوردنـياكم([1]                                                                        Dengan dasar ini maka manusia diberi kebebasan untuk mengatur segala kebutuhan hidupnya yang serba dinamis asalkan aturan itu tidak bertentangan dengan nas maupun maksud syar’i.     

            Agama Islam mengajarkan kepada umatnya agar supaya hidup saling tolong menolong, yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa pemberian dan bisa berupa pinjaman.

            Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan  kreditur, jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, ia dibolehkan meminta barang dari debitur sebagai jaminan utangnya. Sehingga, apabila debitur itu tidak mampu melunasi pinjamannya, maka barang jaminan boleh dijual oleh kreditur. Konsep tersebut dalam Fiqih Islam dikenal dengan istilah rahn atau gadai.[2])

                Salah satu bentuk muamalah yang disyari’atkan oleh Allah adalah Gadai berdasarkan firman Allah sebagai berikut :

وان كـنـتم عـلي سفـر ولم تجـد وا كاتبا فـرهـن مـقــبـو ضـة فان ا مـن بـعـضكـم بـعـضـا فـلـيـوء د الـذ ي  اوء تـمـن امـا نـتـه و لـيـتـق االله  ولاتـكــتمـوا الشــهـا دة و مـن يـكـتـمـهـا فـا نـه ا ثـم قـاـبـه وا الله بـمـا تـعــمـلـو ن عــلـيم ([3]                                                                                                       

            Gadai  merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang piutang,  untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang). Praktek seperti ini telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi dan dilakukan secara suka rela atas dasar tolong-menolong.

            Dalam masalah gadai, Islam telah mengaturnya seperti yang telah diungkapkan oleh ulama fiqh, baik mengenai rukun, syarat, dasar hukum maupun tentang pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai yang semua itu bisa dijumpai dalam kitab-kitab fiqh. Dalam pelaksanaannya tidak menutup kemungkinan adanya penyimpangan dari aturan yang ada.

            Gadai atau ar-rahn dalam bahasa Arab (arti lughat) berarti al-s|ubut wa al-dawam (tetap dan kekal). Sebahagian ulama lughat memberi arti ar-rahn dengan al-habs (tertahan)[4])

Menurut Ahmad Azhar Basyir gadai menurut istilah ialah :

Menjadikan benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang ; dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.[5])

 

Sedangkan unsur-unsur gadai (rahn) adalah orang yang menyerahkan barang gadai disebut rahi>n, orang yang menerima (menahan) barang gadai disebut murtahin. Barang gadai disebut Marhu>n dan sigat akad.[6])

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa gadai adalah penahanan suatu barang atau jaminan atas utang, jika utang sudah dilunasi maka jaminan itu akan dikembalikan kepada yang punya. 

Di masyarakat Indonesia praktek gadai mengalami perkembangan yang sangat pesat karena mengadaikan benda (barang) baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak merupakan jalan keluar bagi orang-orang yang membutuhkan  bantuan. Dalam masyarakat adat sering terjadi suatu perbuatan untuk mengadaikan tanah (sawah). Di dalam hukum adat gadai tanah biasa dikenal dengan istilah jual gadai. Jual gadai merupakan penyerahan tanah dengan pembayaran kontan, dengan ketentuan sipenjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.[7]) Gadai tanah tidak dijelaskan dalam kitab undang-undang hukum perdata karena tanah merupakan benda tak bergerak dikategorikan dalam hipotik.

Setelah undang-undang pokok agraria berlaku maka gadai diatur dalam PERPU No. 56 Tahun 1960 tentang “ PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN”.[8]) 

Selanjutnya penyusun akan menggambarkan pelaksanaan praktek gadai tanah sawah yang ada di masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Watang Sidenreng kebupaten Sidrap.

Kecamatan Watang Sidenreng secara geografis termasuk daerah yang subur bila dilihat dari tanah dan pengairan yang berasal dari sungai Saddang di kabupaten Pinrang, sehingga sawah mampu panen dua kali dalam setahun.

Masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng mayoritas beragama Islam. Akan tetapi masih perlu adanya peningkatan kualitas keagamaan, karena pada umumnya mereka belum mementingkan akan pentingnya pendidikan. Hal ini terjadi dalam praktek gadai tanah sawah (masyarakat Watang Sidenreng menyebutnya Nappakateniang). Menurut penyusun perlu adanya penelitian karena status gadai tersebut belum jelas. Dalam praktek gadai tersebut Murtahin (penerima gadai) diperbolehkan mengambil manfaat dari sawah rahin (yang menggadaikan).

Di dalam masyarakat Bugis terutama di kecamatan Watang Sidenreng kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan sering kali terjadi transaksi utang piutang yang mana tanah dijadikan sebagai barang jaminan atas utang mereka. Menurut pengamatan penyusun praktek gadai  dalam masyarakat tersebut terdapat hal yang bisa menyebabkan penggadai (pemilik tanah) rugi, karena penerima gadai sering kali mendapat keuntungan yang lebih besar dari pada uang yang dipinjamkan.

Selain itu tidak adanya ketetapan diantara kedua belak pihak tentang masa waktu/jangka waktu gadai tersebut, sehingga penerima gadai akan mengembalikan tanah gadai tersebut sampai pemiliknya mampu melunasi utangnya. Dengan praktek yang semacam itu maka akan terjadi keuntungan yang lebih besar bagi penerima gadai (Murtahin).

Praktek jual gadai dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng kabupaten Sidrap dilakukan dengan cara : si A sebagai orang yang ingin mengadaikan tanahnya (sawah) datang kepada si B dengan maksud untuk meminjam uang. Dalam transaksi tersebut si A memberikan tanah (sawah) sebagai jaminan utangnya. Namun di dalam perjanjian itu tidak disepakati tentang siapa yang akan mengelolah tanah (sawah) tersebut. Tetapi pada kenyataannya yang mengelolah tanah (sawah) tersebut adalah si B (Murtahin).

Dalam praktek gadai tersebut murtahin (penerima gadai) mengambil manfaat dari sawahnya rahin. Dalam fiqh Mu’amalah dijelaskan bahwa :

Hak murtahin kepada marhun hanya pada keadaan atau sifat kebendaannya yang mengandung nilai, tidak pada penggunaan dan pemungutan hasilnya.[9]

 

Oleh karena itu peneliti ingin mengadakan penelitian dengan tema gadai tanah pada masyarakat bugis dalam perspektif hukum Islam dan selanjutnya akan dianalisis dari segi hukum adat dan hukum Islam. Disamping itu juga untuk mengetahui apakah pemanfaatan barang gadai (tanah gadai) tersebut sesuai dengan norma-norma dalam ajaran Islam?.

 

B. Pokok Masalah.

Dari dasar pemikiran tersebut di atas, maka dapat ditarik pokok masalah, yakni sebagai berikut :   

  1. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktek gadai tanah serta pemanfaatannya dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan?

 

C. Tujuan dan Kegunaan

  1. Tujuan Penelitian adalah :
    1. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang  gadai tanah dalam masyarakat Bugis di Kecamatan watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.
    2. Untuk menjelaskan pemanfaatan tanah gadai dalam perspektif hukum Islam.
  2. Kegunaan Penelitan adalah :
    1. Penelitan ini diharapkan dapat menambah khasana keilmuan Islam khususnya tentang konsep gadai terutama gadai tanah.
    2. Juga dapat dimanfaatkan untuk merumuskan program pembinaan dan pemantapan kehidupan beragama, yang berkenaan dengan perkara mu’amalah, khususnya dalam praktek gadai tanah.

D. Telaah Pustaka

            Beberapa karya tulis  yang membahas tentang gadai tanah ini sudah banyak, diantaranya adalah karya Iman Sudiyat dengan judul Hukum Adat, Sketsa Asas, Dan karya Muhammad dan Sholikul Hadi dengan judul  Pegadaian Syariah. Kedua buku tersebut merupakan proyeksi perbandingan antara Hukum Adat, dan Hukum Islam. Diantara pembahasan dari kedua buku tersebut adalah tentang hukum tanah, Transaksi Tanah, Transaksi yang berhubungan dengan tanah, Konsep dan asas legal pegadaian syariah (Rahn) dan Pegadaian dalam perspektif Islam.

            Karya-karya lain yang penyusun dapatkan adalah Karya Dr. H. Chuzaimah T. Yanggo dan Drs. HA. Hafiz Anshary AZ, MA dengan judul Problematika Hukum Islam Kontemporer buku ketiga. Karya Prof Dr. Ny. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan SH dengan judul Hukum Perdata : Hukum Benda. Karya-karya di atas menghasilkan hasilkan suatu kajian yang menyeluruh dan utuh serta kritis dan falid.

            Selain itu karya yang lain adalah Fiqh as-Sunnah karya as-Sayyid Sabiq. Menurur beliau barang gadai tidak boleh dimanfaatkan barangnya, kecuali jika yang digadai itu berbentuk binatang, ia boleh memanfaatkan sebagai imbalan memberi makan binatang tersebut.[10])

            Tindakan memanfaatkan barang gadaian adalah tak ubahnya  qiradh yang mengalirkan manfaat, dan setiap bentuk qiradh yang mengalirkan manfaat adalah riba. Ini sesuai hadis Nabi SAW :

كل قـر ض مـنـفـعـة فـهـو ربـا([11]                                                                                              Menurut Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mugny menyebutkan sebagai berikut :

“Penerima gadai tidak boleh menerima hasil dari atau manfaat dari gadaian sedikitpun kecuali dari yang bisa ditunggangi dan diperah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan”[12])

 

Di sini penyusun tidak terlalu banyak mungkin untuk menyebutkan buku-buku apa saja yang ditelaah dalam membatu penyusunan penelitian ini. Karena menurut penyusun yang namanya telaah pustaka adalah hasil penelitian orang lain yang sudah pernah meneliti dalam kasus yang sama tapi di tempat atau permasalahan yang berbeda.

 

Adapun penelitian yang sudah pernah dilakukan dalam tenggang yang sama  ada beberapa skripsi yang penyusun telah baca, diantaranya adalah :

Skripsi Antoni Eka Putra, yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Gadai Tanah Sawah di Desa Talang Kecamatan Perwakilan Mungka kab. 50 Kota Sumatera Barat”, hanya membahas tentang batasan waktu yang tidak terjadi dalam praktek gadai tanah sawah kemudian dianalisis. Skripsi tersebut tidak membahas masalah yang sedang penyusun bahas.

Skripsi Arifatul Latifah, yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Gadai Tanah Sawah di Desa Gondowangi Kec. Sawangan, Magelang, Jawa Tengah”, hanya menjelaskan kategori sistem gadai yang memerlukan pembiayaan dan dimanfaatkan oleh penerima gadai.

Melihat dari dua uraian skripsi di atas serta sekian banyak buku yang penyusun baca, belum terdapat pembahasan mengenai praktek gadai tanah (sawah) pada masyarakat Bugis terutama di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, sehingga kami mengambil keputusan untuk melakukan penelitian tentang hal tersebut di daerah setempat. Dengan demikian penelitian ini layak untuk dilakukan.

 

E. Kerangka  Teoritik.

            Gadai adalah merupakan suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu pinjaman barang bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu utang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya, terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.[13])

            Sedangkan menurut hukum Islam gadai diistilakan dengan “rahn” dan dapat juga dinamai dengan “al-habsu” Secara etimologi kata rahn berarti “tetap atau lestari”, sedangkan al-habsu berarti “penahanan”. Adapun pengertian yang terkandung dalam istilah tersebut “ menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya tersebut. Demikian menurut defenisi para ulama.[14])

            Menurut pengertian di atas terutama gadai dalam kitab undang-undang hukum perdata dijelaskan bahwa benda yang dapat dijadikan barang gadai adalah benda bergerak baik yang bertubuh maupun tidak bertubuh. Sedangkan benda yang tidak bergerak tidak dapat digadaikan. Perbedaan antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak dalam kitab undang-undang hukum perdata mempunyai konsekuensi dimana lembaga jaminan juga dibagi dua yaitu gadai untuk benda bergerak sedangkan hipotik untuk benda tidak bergerak.[15])

             Sebenarnya pengertian gadai dan hipotik itu mempunyai pengertian yang sama, hanya saja bedanya kalau gadai dapat diberikan melulu atas benda-benda yang bergerak, sedangkan hipotik hanya melulu atas benda-benda yang tidak bergerak. Kedua hal kebendaan ini (gadai dan hipotik) memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi untuk dijadikan sebagai jaminan bagi hutang seseorang semata.[16])

            Secara umum gadai merupakan tindakan atau perbuatan dalam bidang perekonomian. Orang yang menggadaikan suatu barang mendapatkan uang sebagai imbalannya, uang tersebut merupakan utang dengan jaminan barang yang diserahkan kepada kreditur. Kegiatan perekonomian terutama perekonomian syari’ah tidak terbatas hanya merujuk pada bebasnya dari suatu riba, garar, dan maisir. Para ahli ekonomi Islam dan fuqaha mendiskusikan  tentang perekonomian yang Islami dengan menyepakati bahwa perekonomian Islam harus memenuhi sekurang-kurangnya dua kreteria, yaitu :

  1. Diselenggarakan dengan tidak melanggar rambu-rambu syari’ah.
  2. membantu mencapai tujuan sosio-ekonomi umat dan masyarakat dengan berdasar pada ajaran agama.

Dalam prakteknya pelaku bisnis harus memperhatikan segala tindakannya apakah berada dalam bingkai ajaran Islam dengan memegang teguh prinsip-prinsip moral dan etika atau bahkan sebaliknya. Karena hal ini sangat berimplikasi pada seluruh aspek kehidupan manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu kegiatan ekonomi (Muamalah) Islam, termasuk di dalamnya gadai (gadai tanah) harus didasarkan pada empat prinsip muamalah, yaitu :

  1. Pada dasarnya, segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’an dan sunah Rasul.
  2. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
  3. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam kehidupan masyarakat.
  4. Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.[17])

Disamping itu pada dasarnya Islam memberi kebebasan pada seseorang untuk melakukan akad (perjanjian). Kebebasan itu sepanjang tidak melanggar aturan umum dan nilai kesusilaan. Oleh karena itu dikenal kaedah ushul fiqh yang berbunyi :

الاصل في العقدرضي المتعاقد ين و نتجته ما التزما ه با لتعاقد([18]                                      

Maksud dari qaidah tersebut adalah bahwa seseorang tidak harus terkait dengan rumusan-rumusan perjanjian yang telah ditetapkan nash, atau bahkan formulasi akad para ulama klasik. Atas dasar itu, maka tidak menutup kemungkinan dilakukan perjanjian gadai, baik itu gadai terhadap benda bergerak maupun benda tidak bergerak.

Gadai tanah (benda tidak bergerak), sebagaimana yang berlaku dalam hukum perdata dan hukum adat di Indonesia, tidak ditemukan secara khusus yang membahas dalam fiqh. Pada satu sisi gadai tanah mirip dengan jual beli. Dalam hal ini hukum adat menyebutnya sebagai jual gadai. Pada sisi lain mirip dengan rahn. Kemiripannya dengan jual beli karena berpindahnya hak menguasai harta yang digadaikan itu sepenuhnya kepada pemegang gadai, termasuk memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari benda tersebut, walaupun hanya dalam waktu yang ditentukan. Sedangkan kemiripannya dengan rahn adalah karena adanya hak menebus bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu.[19])

 

Pada satu sisi gadai tanah mirip dengan jual beli. Dalam hal ini hukum adat menyebutnya sebagai jual beli gadai. Pada sisi lain mirip dengan rahn. Kemiripan dengan jual beli karena berpindahnya hak menguasai harta yang digadaikan itu sepenuhnya kepada pemegang gadai, termasuk memanfatkannya dan mengambil keuntungan dari benda tersebut, walaupun dalam waktu yang ditentukan. Sedangkan kemiripannya dengan rahn (Jaminan) adalah karena adanya hak menebus bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu. [20])

 

F. Metode Penelitian

  1. Jenis Penelitian.

 

Jenis penelitian ini termasuk penelitian lapangan (Field Reseach). Penelitian ini dilaksanakan di Masyarakat Bugis Sulawesi Selatan khususnya di kecamatan Watang Sidenreng, kabupaten Sidrap.

 

  1. Sifat Penelitian

Penelitian ini dilihat dari sifatnya termasuk penelitian deskriptif-analitik, yaitu penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan, menggambarkan dan menguraikan suatu masalah (Gadai Tanah) secara obyektif dari obyek yang diselidiki tersebut[21]). Yaitu praktek gadai tanah sawah yang dilakukan dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng. Selanjutnya, guna mendapatkan manfaat yang lebih luas, maka data yang telah didapatkan tersebut dianalisis dan diagnosis menggunakan metode normatif untuk mendapatkan kesimpulan yang jelas tentang gadai tanah dalam hukum Islam.

  1. Pendekatan Masalah.

Pendekatan yang digunakan adalah normatif, pendekatan ini dapat didefenisikan sebagai berikut :

    1. Normatif, yaitu pendekatan yang digunakan untuk melihat suatu masalah yang dikaitkan dengan keadaan yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini adalah gadai tanah yang terjadi di kecamatan Watang Sidenreng yang telah menjadi adat kebiasaan.
  1. Teknik Pengumpulan data.

a. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematik  fenomena-fenomena yang diselidiki.[22]) Ini penyusun gunakan untuk memperoleh data yang diperlukan baik langsung maupun tidak langsung. Dalam melakukan observasi selama penelitian ini dilaksanakan, terjadi praktek gadai tanah yang dilakukan oleh masyarakat.

            b. Wawancara

Dilakukan sebagai pelengkap untuk memperoleh data dengan memakai pokok-pokok wawancara sebagai pedoman agar wawancara terarah. Wawancara ini dilakukan dengan mengambil responden dari pihak penggadai dan penerima gadai, dan sebagai informannya adalah tokoh masyarakat setempat dan pihak pemerintah agar wawancara ini lebih kuat.

      c. Dokumentasi

Pengumpulan data dengan cara mengambil data dari dokumen yang merupakan suatu pencatatan formal dengan bukti otentik.

d. Populasi dan Penentuan Sampel.

  1. Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah para penggadai dan penerima gadai yang ada di Kecamatan Watang Sidenreng khususnya di 3 kelurahan yaitu kelurahan Empagae, Sidenreng dan kelurahan Kanyuara. Karena di kecamatan Watang Sidenreng karakter masyarakat dan perilaku dalam praktek gadai tanah sawah hampir sama.

  1. Penentuan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Simple Random Sampling, yaitu cara pengambilan sampel dilakukan dengan cara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi yang dijadikan obyek penelitian, penyusun menggunakan.[23]) Penelitian ini mengambil Sampel dari populasi yaitu penggadai dan penerima gadai yang ada di kelurahan Empagae, Sidenreng dan Kanyuara kecamatan Watang Sidenreng masing-masing 10 orang. Penyusun menggunakan non-random sampling karena tidak semua populasi melaksanakan praktek gadai tanah sawah.

             e. Angket.

Untuk mengetahui lebih mendalam praktek gadai tanah sawah di kecamatan Watang Sidenreng penyusun menggunakan angket yang diberikan kepada masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat memberikan jawaban atas pertanyaan dalam angket tersebut. Jumlah angket seluruhnya ada 60 buah dan setiap kelurahan 20 buah. Penggunaan angket dalam penelitian ini untuk memperkuat pengamatan dan wawancara yang penyusun lakukan.

  1. Analisis Data.

Setelah data mengenai gadai tanah terkumpul, maka kemudian dilakukan analisis dan diagnosis dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan cara menganalisis data tanpa mempergunakan perhitungan angka-angka melainkan mempergunakan sumber informasi yang relevan untuk memperlengkap data yang penyusun inginkan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keadaaan dan kondisi masyarakat tersebut mempengaruhi eksistensi kasus-kasus yang ada dalam data yang didapatkan tersebut. Selanjutnya, data yang terhimpun tersebut dianalisis berdasarkan hukum Islam. Dengan metode analisis data seperti ini diharapkan akan didapatkan suatu kesimpulan akhir mengenai status gadai tanah dalam perspektif hukum Islam dari kasus yang ada dalam data tersebut.

 

G. Sistematika Pembahasan.

            Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab. Sistematika pembahasan dari skripsi ini adalah sebagai berikut :

            Untuk bab pertama, adalah membicarakan pendahuluhan yang merupakan abstraksi dari keseluruhan isi skripsi ini yang akan menguraikan latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian yang diterapkan serta yang terakhir sistematika pembahasan.

            Pada bab dua, membahas gambaran umum gadai menurut hukum Islam. Pada bab ini penyusun mencoba memaparkan tentang pengertian dan dasar hukum gadai menurut hukum Islam, selain itu penyusun juga menjelaskan tentang mekanisme pelaksanaan gadai dan pemanfaatan barang gadai menurut hukum Islam. Nilai penting dari pembahasan ini adalah sebagai kerangka dasar tentang gadai, juga dijadikan alat analisis dan diagnosis pada pembahasan inti dalam penelitian ini.

            Kemudian bab tiga, bab ini penyusun membahas deskripsi  daerah penelitian yang meliputi keadaan geografis, demografi,ekonomi, pendidikan dan keagamaan dan data obyektif di lapangan yaitu praktek yang dilakukan masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap dalam melakukan gadai tanah. Pada bab ini juga akan dibahas tentang mekanisme pelaksanaan gadai tanah dalam masyarkat tersebut. Selain itu juga akan dibahas pemanfaatan tanah gadai oleh penerima gadai.

            Bab empat, bab ini membahas tentang analisis pelaksanaan gadai tanah dalam masyarakat tersebut sesuai dengan norma-norma hukum Islam. Dalam bab ini dimuat analisis dari praktek dan mekanisme pelaksanaan gadai tanah yang dilakukan oleh masyarakat bugis di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap serta pemanfaatan tanah gadai menurut hukum Islam.

            Terakhir bab lima, bab ini merupakan penutup yang mana penyusun akan mengambil kesimpulan dari hasil penelitian, dan saran-saran yang dirasa dapat memberikan alternatif bagi solusi masalah-masalah hukum.

           

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

GADAI  TANAH PADA MASYARAKAT BUGIS DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

 

 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PROPOSAL SKRIPSI

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

 

OLEH :

SUPRIADI

NIM : 00380327

 

Di bawah bimbingan :

 

  1. 1.      Drs. ABD. HALIM, M. HUM.
  2. 2.   H. SYAFIQ MAHMADAH HANAFI, S. Ag

 

 MUAMALAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2003

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG GADAI

 MENURUT HUKUM ISLAM

 

A. Pengertian dan Dasar Hukum Gadai

  1. Pengertian

Kata gadai dalam bahasa Arab disebut dengan ar-Rahn. Kata tersebut menurut arti aslinya adalah as-S|a>bit ( tetap atau lestari ). Kata ar-Rahn adalah bentuk masdar dari : [24]رهـن –  يـر هـن –  رهـنـا    yang artinya menggadaikan atau menungguhkan. Di kalangan ulama sepakat dalam merumuskan pengertian   رهـن dari segi bahasa mempunyai dua makna yaitu الـثـبـوت و الـد وا م   yang berarti tetap dan kekal. Sedangkan arti lainnya الحـبـس  (menahan)[25]. Seperti dinyatakan dalam Al-Quran

ولم تـجتد وا كا تـبـافـرهـن مـقـبـوضـة[26]                                                                  

Sedangkan pengertian gadai menurut istilah, mereka berbeda pendapat, as-Sayyid Sa>biq mengemukakan bahwa gadai menurut istilah adalah :

 

 

جـعـل عـيـن لـهـا قـيمـة مـا لـيـة في نـظـر الـثـرع و ثـيـقـة بـد ين بحـيـث يـمكـن أحـد ذ لك  الـد يـن أو أحـد بـعـضـه مـن تلك الـعين[27]                                                                           

Maksudnya adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil seluruh atau sebagian hutang tersebut karena adanya barang. Pengertian yang lain terdapat dalam kitab al-Mugni yang disusun oleh Imam Ibnu Qudamah sebagai berikut :

االمـال الـذي يـجـعـل و تـيـقـة بالـد ين لـيـسـتـونـي مـن ثـمـنـه إن تـعـذ ر إسـتيفـاوْه مـمـن هـو عـلـيـه[28]                                                                                                      

Bahwa yang dimaksud dengan gadai yaitu suatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, maka benda itu dapat dijadikan alat pembayar hutang.

Menurut Ahmad Azhar Basyir, gadai menurut istilah ialah :

Menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang; dengan adanya benda yanmg menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.[29]

 

Dari defenisi-defenisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan gadai ( ر هـنـا ) adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, dalam arti seluruh hutang atau sebagiannya dapat diambil sebab sudah ada barang jaminan tersebut, dan dapat dijadikan pembayaran hutang jika hutang itu tidak dapat dibayar.

Gadai menurut syari’at Islam berarti penahanan atau pengekangan. Sehingga dengan akad gadai menjadikan kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama. Yang punya hutang bertanggung jawab untuk melunasi hutangnya, sedangkan orang yang berpiutang bertanggung jawab untuk menjamin keutuhan barang jaminan. Apabila hutang itu telah dibayar, maka penahanan atau pengekangan oleh sebab akad itu menjadi lepas. Sehingga keduanya bebas dari tanggung jawab masing-masing.

Jika seseorang ingin berhutang kepada orang lain, maka ia menjadikan barang miliknya baik berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak atau berupa ternak yang berada dalam kekuasaannya sebagai jaminan sampai ia melunasi hutangnya. Pada dasarnya barang jaminan tetap dipegang oleh penerima gadai, tetapi apabila terjadi kesepakatan diantara kedua pihak (pemberi dan penerima gadai) maka barang gadai dapat diserahkan kepada orang lain yang adil dan mampu menjaga amanah[30]. Pemilik barang (yang berutang) disebut Rahn (yang menggadaikan) sedangkan penerima barang (pemberi gadai) disebut murtahin dan barang yang digadaikan adalah ruhn atau marhun.

  1. 2.      Dasar hukum Gadai

Gadai merupakan perbuatan yang halal dan dibolehkan bahkan termasuk perbuatan yang mulia karena mengandung manfaat yang sangat besar dalam pergaulan hidup manusia di dunia ini. Sebagaimana halnya dengan jual beli yang merupakan faktor yang sangat penting bagi kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia, sebagaiman firman Allah :

و إن كـنـتم عـلي سـفـرولـم تـجـدواكا تـبـا فـر هـن مـقـبـو ضـة فـإ ن أمـن بـعـضـكـم بـعـضـا فـلـيـوْدالـذي اوْ تمن أمنته وليتق الله ربه ولاتكـتموا الـشـهادة ومـن يـكـتمـها فإنه أثم قلبـه و الله بـما تـعـلـمـون عـلـيم[31]                                                                 

Dengan ayat di atas, ulama sepakat bahwa gadai dibolehkan dalam keadaan bepergian..

Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa Allah memerintahkan kepada pihak-pihak yang mengadakan perjanjian saat dalam perjalanan tetapi tidak mampu menyediakan seseorang yang bertugas mencatat perjanjian tersebut, untuk memperkuat adanya perjanjian, pihak yang berhutang harus menyerahkan barang gadai kepada pihak yang menghutangi. Ini dilakukan agar mampu menjaga ketenangan hatinya, sehingga tidak mengkhawatirkan atas uang yang diserahkan kepada rahin.

Dasar hukum lainnya adalah hadis Nabi SAW. Yang berbunyi sebagai berikut :

إشـتـري مـن يـهـو دي طـعـامـا إلي أجـل ورهـنـه د ر عـه[32]                                 

Hadis ini merupakan dasar bagi ulama yang membolehkan gadai dalam keadaan mukim (tidak musafir) karena peristiwa itu terjadi pada saat nabi berada di tempat.

Sunnah yang berfungsi sebagai penjelasan dari al-Qur’an memberikan ketentuan-ketentuan umum hukum muamalah, bahwa gadai adalah cara mendapatkan rezki yang halal, maka hadis nabi banyak yang menerangkan perincian tentang gadai tersebut, seperti: mengenai biaya dan pemanfaatan barang gadai baik yang bergerak maupun barang tetap.

Dalam melakukan akad gadai hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum muamalah, prinsip yang dimaksud adalah :

  1. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
  2. Muamalah dilaksanakan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
  3. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat.
  4. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghidari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan[33].

Salah satu prinsip diatas sesuai dengan kaidah ushul fiqh yaitu :

 

 

الأصـل في الاشــيـاء الإبــاحــة[34]                                                 

Dari uraian di atas dapat ditarik pengertian bahwa sumber hukum muamalah adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, selain itu manusia diperbolehkan juga untuk mengatur bentuk-bentuk muamalah yang berkembang dalam masyarakat asal tidak bertentangan dengan nash.

Sumber hukum gadai, selain al-Qur’an dan as-Sunnah, yang diperbolehkan untuk dijadikan pegangan adalah adat istiadat yang merupakan kebutuhan masyarakat yang bersifat positif.

 

B. Mekanisme Pelaksanaan Gadai Menurut Hukum Islam

Dalam melaksanakan gadai ada beberpa mekanisme yang harus diperhatikan atau dipenuhi, apabila mekanisme tersebut sudah dipenuhi maka pebuatan tersebut dapat dikatakan sah, begitu juga halnya dengan gadai. Mekanisme-mekanisme tersebut disebut dengan rkun. Oleh karena itu gadai dapat dikatakan sah apabila terpenuhi rukun-rukunnya. Selanjutnya rukun itu diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi pula. Jadi jika rukun-rukun tersebut tidak terpenuhi syarta-syaratnya, maka perjanjian yang dilakukan dalam hal ini gadai dinyatakan batal.

Dalam kitab al-Fiqh ‘Ala> al-Maza>hib al-Arabi’ah dinyatakan bahwa rukun gadai itu ada tiga yaitu :

  1. Aqid(orang yang melakukan akad) yang meliputi :
    1. Ra>hin, yaitu orang yang menggadaikan barang (penggadai)
    2. Murtahin, yaituorang yang berpiutang, yang memerihara barang gadai sebagai imbalan uangyang dipinjamkan (penerima gadai).
    3. Ma’qu>d ‘alaih(yang diakadkan) yang meliputi dua hal yaitu :
      1. Marhu>n (barang yang digadaikan).
      2. Marhu>n bih (hutang yang karenanya diadakn gadai).
      3. Si>gah (akad gadai).[35]

Sedangkan menurut DR. Wahab az-Zuhaili mengatakan bahwa rukun gadai itu adalah :

  1. Sigat akad ( I>ja>b qa>bu>l)
  2. Aqid (Penggadai dan penerima gadai).
  3. Marhu>n (barang gadaian).
  4. Marhu>n bih (hutang)[36].

Dalam rukun gadai Abu Hanifah hanyan mensyaratkan ijab qabul saja yang merupakan rukun akad. Beliau berpendapat bahwa ijab qabul merupak hakekat dari akad.[37]

Ad. I, Sigat Akad.

Yang dimaksud dengan sigat akad yaitu  dengan cara bagaimana ijab qabul yang merupakan rukun akad itu dinyatakan.

Ahmad Azhar Basyir mengatakan :

Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara’, yang merupakan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.[38]

 

Gadai belum dinyatakan sah apabila belum ada ijab dan qabul, sebab dengan adanya ijab dan qabul menunjukkan kepada kerelaan atau suka sama suka dari pihak yang mengadakan transaksi gadai. Suka sama suka tidak dapat diketahui kecuali dengan perkataan yang menunjukkan kerelaan hati dari kedua belah pihak yang bersangkutan, baik itu perkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan yang dapat diketahui maksudnya dengan adanya kerelaan, seperti yang dikemukakan oleh Prof. Hasbi ash-Shiddieqiy :

Akad adalah perikatan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan syara’, yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak. Gambaran yang menerangkan maksud diantara kedua belah pihak itu dinamakan ijab dan qabul. Ijab adalah permulaan penjelasan yang terbit dari salah seorang yang berakad, untuk siapa saja yang memulainya. Qabul adalah yang terbit dari tepi yan lain sesudah adanya ijab buat menerangkan persetujuannya.[39]

 

Sigat dapat dilakukan dengan lisan , tulisan atau syarat yang memberikan pengertian dengan jelas tentang adanya ijab qabul dan dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan qabul.[40]

 a. Sigat secara lisan.

Merupakan cara alami seseorang untuk mengutarakan keinginannya, oleh karena itu akad dipandang sah apabila ijab qabul dinyatakan secara lisan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Adapun mengenai bahasa tidak terikat oleh aturan khusus asal dapat dimengerti dan dipahami oleh pihak-pihak yang melakukan akad, agar tidak menimbulkan perselisihan ataupun sengketan dikemudian hari. 

b. Sigat akad dengan tulisan.

    Metode lain yang dilakukan oleh orang untuk menyatakan keinginannya adalah dengan tulisan. Jika kedua belah pihak tidak berada ditempat, maka transaksi dapat dilakukan melalui surat. Ijab akan terjadi setelah pihak kedua menerima dan membaca surat tersebut. Apabila dalam ijab tersebut tidak disertai dengan pemberian tenggang waktu, maka qabul harus segera dilakukan dalam bentuk tulisan atau surat. Apabila disertai  tenggang waktu, qabul supaya dilakukan sesuai dengan lamanya  tenggang waktu tersebut.[41]

c. Sigat akad dengan isyarat.

    Ini berlaku bagi mereka yang tidak dapat bicara atau bisu dan tidak dapat menulis. Jika orang tersebut dapat menulis, maka hendaknya dilakukan dengan menulis saja, karena keinginan yang dinyatakan dengan tulisan menyakinkan daripada dinyatakan dengan isyarat.

 

 

d. Akad dengan perbuatan.

    Jumhur ulama mengatakan bahwa syarat sahnya gadai adalah hendaknya dalam akad gadai tidak ditetapkan suatu syarat yang bertentangan dengan tujuan akad gadai itu.

Ad. 2. Aqid (Subyek gadai).

Yaitu orang yang melakukan akad, dalam hal ini penggadai dan penerima gadai. Untuk sahnya gadai kedua belah pihak harus mempunyai keahlian (kecakapan) melakukan akad yakni baliq, berakal dan tidak mah}ju>r ‘alaih (orang yang tidak cakap bertindak hukum). Maka akad gadai tidak sah jika pihak-pihak yang bersangkutan orang gila atau anak kecil yang belum tamyiz, berdasarkan hadis Nabi saw. yang berbunyi :

ر فع القلم عن ثلاثة : عـن الـنـا ءـم حـتي يـسـتـيـقـظ و عـن الـصـغـيـر حـتي يـكـبـروعـن الـمـجـنـو ن حـتي يـعـقـل أو يـفـيـق.[42]   

Imam asy-Syafi’I melarang gadai yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan orang bodoh secara mutlak, walaupun mendapat izin dari walinya, atas pertimbangan bahwa wali boleh membelanjakan harta mah}ju>r ‘alaih dengan digadaikan karena dua hal yaitu :

  1. a.      Dalam keadaan darurat yang sangat menghendaki dilakukan gadai. Dengan syarat wali tidak mendapatkan biaya itu selain mengadaikan harta mah}ju>r ‘alaih.
  2. b.      Gadai itu mengandung kemaslahatan bagi mah}ju>r ‘alaih.[43]

Dalam hal ini Imam Abu Hanifah berbeda pendapat yakni tidak mensyaratkan bagi akid baliq. Oleh sebab itu menurut beliau gadainya anak kecil yang sudah tamyiz dan orang dewasa bodoh yaitu dua orang yang sudah tahu arti muamalah, dengan syarat adanya persetujuan walinya.[44]

Ad. 3. Marhu>n (obyek gadai)

Untuk lebih jelasnya barang gadai disyaratkan :

a.   Merupakan benda bernilai menurut ketentuan hukum Islam yaitu benda yang dapat diambil manfaatnya secara biasa, bukan paksaan dan secara riil telah menjadi hak milik seseorang, misalnya : pakarangan, rumah dan lain sebagainya.[45]

            Sebagaimana jual beli syarat marhun harus suci dan bukan barang najis serta halal dipergunakan. Oleh sebab itu tidak sah menggadaikan barang najis seperti kulit bangkai meski sudak disamak, juga menggadaikan babi dan anjing karena hewan tersebut tidak sah diperjualbelikan.

b.   Barang tersebut dapat dimanfaatkan.

Imam as-Syafi’I mengatakan sebagai berikut :

Barang gadai dapat diambil manfaatnya menurut syara’ meskipun pada saat yang akan datang, seperti hewan yang masih kecil, dia boleh digadaikan sebab nantinya dapat diambil manfaatnya.[46]

Setiap barang yang boleh diperjualbelikan, boleh juga dijadikan barang jaminan (digadaikan), kecuali manfaatnya. Oleh karena itu tidak menggadaikan manfaat hak jalan.

  1. Marhun berupa barang.

Karena tidak boleh menggadaikan dengan pemanfaatan, seperti yang telah dijelaskan di atas, juga tidak sah menggadaikan hutang piutang, karena tidak jelas bendanya.

  1. Marhun adalah milik orang yang melakukan akad, baik barang maupun manfaatnya.[47]

Salah satu persyaratan barang dagangan yang ditentukan oleh fuqaha ialah barang itu harus diserah terimakan, jadi barang yang tidak ada, tidak dapat diserah terimakan, agar terhindar dari unsur-unsur penipuan.

Jadi barangnya harus ada dalam kekuasaannya, dengan demikian burung di udara, ikan di laut, binatang yang di hutan dan sebagainya tidak memenuhi syarat untuk dijadikan obyek akad.

Gadai merupakan bagian dari Mu’amalah, oleh karena itu gadai juga mengutif prinsip-prinsip muamalah antara lain :

  1. Dilaksanakan dengan memelihara keadilan, menghindar dari unsur-unsur penganiayaan.
  2. Dilakukan atas dasar suka sama suka.[48]

 

 

Ad. 4.Marhu>n bih. (hutang).

Yang dimaksud marhu>n bih yaitu hutang yang karenanya diadakan gadai. Adapun syarat-syaratnya adalah :

a. Penyebab penggadaian adalah hutang.

b. Hutang sudah tetap.

c. Hutang itu tetap seketika atau yang akan datang.

Oleh karenanya, sah gadai sebab harga masih masa khiyar, juga sah akad gadai pada al-ja’lu (pengupahan) yaitu pemberian upah dari seseorang kepada orang lain atas jasanya.

d. Bahwa hutang itu telah diketahui benda, jumlah dan sifatnya.[49]

 

C. Pemanfaatan Barang Gadai.

Sebagaimana telah ditegaskan di muka bahwa gadai bukan termasuk pada akad pemindahan hak milik, tegasnya bukan pemilikan suatu benda dan bukan pula kadar atas manfaat suatu benda (sewa menyewa), melainkan hanya sekedar jaminan untuk suatu hutang piutang, itu sebabnya ulama sepakat bahwa hak milik dan manfaat suatu benda yang dijadikan jaminan (Marhun) berada dipihak rahi>n (Yang menggadaikan). Murtahin (yang menerima barang gadai) tidak boleh mengambil manfaat barang gadai kecuali diizinkan oleh rahin dan barang gadai itu bukan binatang. Ulama Syafi’I, Imam Malik dan ualam-ulama yang lain berargumen menggunakan hadis Nabi saw. Tentang manfaat barang gadai adalah milik ra>hin bukan milik murtahin. Hadisnya yaitu :

لا يـغـلـق الـر هـن مـن صـاحـبـه الـذي رهـنـه لـه غـنـمـه و عـلـيـه

غـر مـه[50]

Barang gadaian dipandang sebagai amanat bagi murtahin sama dengan amanat yang lain, dia tidak harus membayar kalau barang itu rusak, kecuali karena tindakannya.[51]

Lebih lanjut Ibnu Quda>mah dalam kiatbnya al-Mugny menjelaskan bahwa pengambilan manfaat dari barang gadai itu mencakup pada dua keadaan yaitu :

  1. Yang tidak membutuhkan kepada biaya seperti rumah, barang-barang dan sebagainya.
  2. Yang membutuhkan pembiayaan.[52]

Mengenai hukum penerima gadai dengan mengambil manfaat dari barang yang membutuhkan biaya dengan seizin yang menggadaikan adalah sebanding dengan biaya yang diperlukan. Dari dua bagian di atas dapat ditemui adanya barang bergerak dan barang tetap. Barang bergerak adalah barang yang dalam penyerahannya tidak membutuhkan akte otentik seperti buku dan lain sebagainya. Sedangkan barang tetap adalah barang yang dalam penyerahannya memerlukan suatu akte yang otentik seperti rumah, tanah dan lain-lain.

Dalam pemanfaatan barang gadai yang berupa barang yang bergerak dan membutuhkan pembiayaan, ulama sepakat membolehkan murtahin mengambil manfaat dari barang tersebut seimbang dengan biaya pemeliharaannya., terutama bagi hewan yang bisa diperah dan ditunggangi, mereka beralasan sesuai dengan hadis nabi saw. Yang berbunyi :

 الـرهـن يـركـب  بـنـفـقـته إذاكان مـرهونـا ولبن الـدريـشرب بـنـفـقـته

إذا كان مـرهـونـا وعلي الـذي يـركـب و يـشـرب الـنفـقـة [53]

Adapun jika barang itu tidak dapat diperah dan ditunggangi (tidak memerlukan biaya), maka dalam hal ini boleh bagi penerima gadai mengambil manfaatnya dengan seizin yang menggadaikan secara suka rela, tanpa adanya imbalan dan selama sebab gadaian itu sendiri bukan dari sebab menghutangkan. Bila alasan gadai itu dari segi menghutangkan, maka penerima gadai tidak halal mengambil manfaat atas barang yang digadaikan meskipun dengan seizin yang menggadaikan.[54]

Jika memperhatikan penjelasan di atas dapat diambil pengertian bahwa pada hakekatnya penerima gadai atas barang jaminan yang tidak membutuhkan biaya tidak dapat mengambil manfaat dari barang jaminan tersebut.

 

 

Dalam kitab al-Mugny, Imam Ibnu Quda>mah mengatakan sebagai berikut :

Penerima gadai tidak boleh mengambil hasil atau manfaat dari barang yang digadaikan sedikit pun kecuali dari yang bia ditunggangi dan diperah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.[55]

 

Keterangan di atas menunjukkan bahwa penerima barang gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadaian kecuali bagi barang gadaian yang bisa di tunggangi dan diperah.

Akan tetapi menurut mayoritas ulama, penerima gadai boleh mengambil manfaat dari barang gadai bila sudah diizinkan oleh penggadai, dengan catatan hendaknya hal tersebut tidak disyaratkan dalam akad.

Syari’at Islam dalam masalah gadai pada prinsipnya adalah untuk kepentingan sosial, yang ditonjolkan adalah nilai sosialnya. Tetapi dipihak lain pada kenyataannya atau prakteknya tidak demikian halnya. Karena dinilai tidak adil, pihak yang punya uang merasa dirugikan, atas dasar karena adanya inflasi nilai mata uang. Sementara uang tersebut bisa juga dipakai sebagai modal usaha.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas, Rahmat Syafi’I mengatakan :

Bahwa Murtahin boleh mengambil manfaat barang gadai sepanjang diizinkan oleh rahin, dan tidak mengarah pada riba yang diharamkan. Yakni murtahin boleh mengambil manfaat hanya sekedar untuk mengatasi kerugian yang dialami oleh murtahin.[56]

 

Pada akhir ayat 279 surah al-Baqarah ditegaskan bahwa riba yang diharamkan itu adalah riba yang mengandung unsur kedhaliman (aniaya) pada salah satu pihak, sebagaimana firman Allah swt. Yang berbunyi :

 فـإن لـم تـفـعـلـوا فـأذ نـوا بـحـر ب مـن الله ورسـوله وإن تبتم فلكـم رء وس أمـوالـكم لا تظـلمـون ولا تـظـلـمـون[57]

Kemudian perlu diingat pula bahwa dalam hutang piutang di situ tetap harus ditekankan nilai-nilai sosialnya seperti pada prinsip utamanya. Sehingga seandainya yang berhutang itu masih belum mampu untuk membayar atau melunasi hutangnya. Maka jangan sampai ditumpukkan beban yang memberatkan, seperti diharuskan ada uang lebih dari uang pokok pinjaman, sebagaimana firman Allah swt :

 وإن كان ذوعسرة فـنظرة الي ميسرة وأن تصد قوا خير لكـم إن كنتم تعلمون[58]

 

                                                   

 

 

 

 

      

BAB III

PRAKTEK PELAKSANAAN GADAI TANAH DAN PEMANFAATAN TANAH GADAI DALAM MASYARAKAT BUGIS DI KECAMATAN WATANG SIDENRENG KABUPATEN SIDRAP SULAWESI SELATAN

 

A. Deskripsi Wilayah Penelitian

  1. Keadaan Geografis dan Demografi

Masyarakat Bugis merupakan salah satu suku bangsa yang berada di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Suku Bugis juga merupakan suku yang terbesar, dimana terdapat di beberapa kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan diantarannya di kabupaten Sidrap. Kab. Sidrap berada di sebelah utara dari ibukota Propinsi Sulawesi Selatan (Makassar) dengan jarak sekitar 180 km. Kab. Sidrap yang beribukotakan di Pangkajene, dengan luas wilayah 1.883,25 km2, terletak antara 3043 – 40 lintang selatan dan 119041 – 120010 bujur timur dengan batas – batas :

Sebelah Utara              : Kab. Pinrang dan Kab. Enrekang

Sebelah Timur             : Kab. Luwu dan Kab. Wajo

Sebelah Barat              : Kota Pare-pare dan Kab. Pinrang

Sebelah Selatan           : Kab. Soppeng dan Kab. Barru

Pada awal pembentukannya sebagai Kabupaten Dati II pada tahun 1962, kabupaten dati II Sidenreng Rappang terdiri dari 7 wilayah kecamatan. Setelah mengalami perkembangan hingga tahun 2003, maka kabupaten Sidrap mengalami pemekaran wilayah, sehingga secara administrasi Kabupaten Sidenreng Rappang sekarang ini terdiri dari 11 kecamatan, 38 kelurahan dan 66 desa.[59]

Kecamatan Watang Sidenreng merupakan salah satu dari 11 kecamatan yang berada dalam Kabupaten Sidenreng Rappang yang terletak kurang lebih 10 Km di sebelah timur kota Pangkajene Sidenreng ( Ibukota Kabupaten Sidenreng Rappang). Letak Kecamatan Watang Sidenreng berbatasan langsung dengan :

Sebelah Utara              : Kecamatan Panca Rijang

Sebelah Timur             : Kecamatan Pitu Riawa

Sebelah Selatan           : Kecamatan Tellu LimpoE

Sebelah Barat              : Kecamatan MaritenggaE

Wilayah Kecamatan Watang Sidenreng dengan luas 120,81 Km2 terbagi dalam 3 Kelurahan dan 4 desa. Kondisi Topografi Kecamatan Watang Sidenreng dengan keadaan datar 100% dengan ketinggian dari permukaaan laut <500 M.[60]

Table I

Luas Wilayah dan persentase luas desa/Kelurahan

No.

Desa/Kelurahan

Luas (Km2)

%

1.

Sidenreng

13,20

10,93

2.

Mojong

18,11

15,00

3.

Damai

41,47

34,33

4.

EmpagaE

12,15

10,06

5.

Kanyuara

12,54

10,38

6.

TalumaE

12,15

10,06

7.

Aka-AkaE

11,19

  9,26

 

Jumlah

      120,81

 100,00

 

Sedangkan luas tanah sawah dan tanah kering di kecamatan Watang Sidenreng 12.081.00 Ha, sebagaimana rincian berikut ini [61]:

Tabel II

Luas Tanah Sawah dan tanah Kering dirinci menurut Desa/Kelurahan

No.

Desa/Kelurahan

Tanah Sawah (Ha)

Tanah Kering (Ha)

Jumlah

1.

Sidenreng

875,00

445,00

  1.320,00

2.

Mojong

692,92

  1.118,08

  1.811,00

3.

Damai

950,00

  3.197,00

  4.147,00

4.

EmpagaE

876,60

338,40

  1.215,00

5.

Kanyuara

  1.205,00

  49,00

  1.254,00

6.

Talumae

801,50

413,50

  1.215,00

7.

Aka-AkaE

522,68

596,32

  1.119,00

 

Jumlah

  5.923,70

 6.157,30

12.081,00

 

Sedangkan jumlah penduduk Kecamatan Watang Sidenreng terdiri atas 7.599 laki-laki dan 8.484 wanita. Sebagaimana dalam tabel berikut ini[62] :

Tabel III

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kepala Keluarga

No.

Desa/Kelurahan

Pria

Wanita

KK

1.

Sidenreng

 864

1.000

   381

2.

Mojong

1.615

1.752

   772

3.

Damai

 927

   963

   439

4.

EmpagaE

1.207

1.536

   612

5.

Kanyuara

1.569

1.733

   661

6.

TalumaE

 808

   874

   393

7.

Aka-kaE

 609

   626

   279

 

Jumlah

7.599

8.484

3.537

 

 

 

  1. Keadaan ekonomi Masyarakat

Keadaan ekonomi masyarakat di Kecamatan Watang Sidenreng khususnya di bidang pertanian cukup memadai, ini disebabkan oleh kondisi tanah pertaniaan  yang sangat subur dengan adanya aliran irigasi dari sungai Saddang yang berasal dari kabupaten Pinrang, sehingga hasil pertanian khususnya padi cukup melimpah.

Untuk tanaman padi masyarakat tidak hanya mengandalkan sawah tadah hujan tapi dengan adanya pengairan atau irigasi, baik irigasi secara teknis maupun irigasi non teknis, yang bagus dan bisa untuk memenuhi semua sawah yang ada di Kecamatan Watang Sidenreng. Sehingga walaupun tidak ada hujan petani bisa menanam padi dan dalam satu tahun paling sedikit dua kali panen. Berikut ini tabel luas sawah menurut jenis pengairan[63] :

Tabel IV

Luas Sawah Menurut Jenis Pengairan dirinci Menurut Desa/Kelurahan

No.

Desa/kelurahan

 

Pengairan

 

Jumlah

 

 

Teknis

½ Teknis

Tadah hujan

 

1.

Sidenreng

   875,00

   875,00

2.

Mojong

   692,92

   692,92

3.

Damai

   350,00

   600,00

   950,00

4.

EmpagaE

   876,00

   876,00

5.

Kanyuara

1.000,00

   205,00

1.205,00

6.

TalumaE

   801,50

   801,50

7.

Aka-akaE

   300,00

   222,68

   522,68

 

Jumlah

4.094,52

1.829,18

5.923,70

 

 

 

 

 

 

 

Jumlah penduduk kecamatan Watang Sidenreng berdasarkan mata pencaharian yaitu[64] :

Tabel V

Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian

No.

Desa/Kelurahan

Petani

Peternakan

Perikanan

Perkubunan

Dagang

1.

Sidenreng

   376

  28

15

 20

2.

Mojong

   254

       15

63

37

 40

3.

Damai

   300

       10

51

 12

4.

EmpagaE

   410

  31

 41

5.

Kanyuara

   520

  35

 25

6.

TalumaE

   325

 10

11

 20

7.

Aka-kaE

   320

 14

     10

 

 

2.505

143

78

99

168

 

  1. Keadaan Pendidikan dan Keagamaan

a. Pendidikan

            Di bidang pendidikan di kecamatan Watang Sidenreng masih perlu adanya peningkatan dan pembenahan. Karena masih banyak anak-anak yang belum sekolah sampai tingkat SMP, bahkan ada yang tidak tamat SD. Ini di sebabkan karena kurangnya sarana dan prasarana pendidikan yang ada di kecematan watang Sidenreng, sehingga banyak anak-anak yang melanjutkan sekolah di luar, itu pun bagi anak-anak yang mampu. Seperti ke Pangkajene yang berjarak 10 Km dari EmpagaE (ibukota kecamatan Watang Sidenreng). Seperti pada tabel berikut ini :

 

 

 

Tabel VI

Jumlah Prasarana Pendidikan 

di Kecamatan Watang Sidenreng

No.

Desa/Kelurahn

SD/MI

SMP/Mts

SMU/MA

Jumlah

1.

Sidenreng

1

1

2.

Mojong

2

2

3.

Damai

2

1

3

4.

EmapagaE

3

1

4

5.

Kanyuara

2

2

6.

TalumaE

2

2

7.

Aka-kaE

2

2

 

Jumlah

14

2

16

 

Melihat Persoalan dan permasalahan yang demikian, maka pemerintah kecamatan mempunyai program wajib belajar sembilan tahun dan bebas buta aksara sebagaimana yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, baik itu melalui pendidikan formal maupun non formal.

 

b. Kehidupan Keagamaan

Perlu diketahui bahwa di kabupaten sidrap ada sekelompok masyarakat yang menganut sistem aliran kepercayaan dalam kehidupan beragama. Kelompok ini biasa disebut Tau Lotang. Aliran ini dimasukkan dalam agama Hindu. Aliran ini tersebar di hampir semua kecamatan yang ada di kabupaten Sidenreng Rappang. Meskipun demikian penduduk kecamatan Watang Sidenreng ini pada umumnya beragama Islam. Tapi  mereka melakukan dan melaksanakan tri kerukunan antarumat beragama yaitu kerukunan hidup umat beragama dengan orang lain, kerukunan hidup seagamadan kerukunan hidup antara agama dan pemerintah cukup baik ditandai dengan tidak adanya permasalahan-permasalahan yang menyangkut keagamaan. Kesadaran hidup beragama terutama dikalangan umat Islam cukup baik. berikut data jumlah pemeluk agama di Kecamatan Watang Sidenreng.

Tabel VII

Jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut

tiap Desa/Kelurahan

No.

Desa/

kelurahan

Islam

Kristen

Protestan

Kristen Katolik

Hindu

Budha

Jmlh

1.

Sidenreng

1.502

   362

  1.864

2.

Mojong

3.242

    125

  3.367

3.

Damai

1.870

7

     13

  1.890

4.

EmpagaE

2.478

   265

  2.743

5.

Kanyuara

   800

2.502

  3.308

.6

TalumaE

1.614

     61

  1.682

7.

Aka-kaE

1.171

     64

  1.235

 

Jumlah

12.677

3.392

16.083

 

            Sektor Agama merupakan faktor penting dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat, oleh sebab itu saran/fasilitas keagamaan perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan, karena dengan tersedianya saran keagamaan yang memadai akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Untuk lebih jelas sarana keagamaan yang ada di Kecamatan Watang Sidenreng dapat dilihat pada tabel berikut ini[65] :

 

 

 

Tabel VIII

Banyaknya Tempat Ibadah di Kecamatan Watang Sidenreng

No.

Desa/Kelurahan

Masjid

Mushallah

Gereja

Vihara

Kuil

Jumlah

1.

Sidenreng

2

2

2.

Mojong

1

1

3.

Damai

5

5

4.

EmpagaE

2

 

2

5.

Kanyuara

1

1

6.

TalumaE

2

2

7.

Aka-akaE

3

3

 

Jumlah

16

16

 

B. Praktek dan Mekanisme Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam Masyarkat   Bugis di Kecamatan Watang Sidenreng.

  1. Pengertian Gadai.

Masyarakat Kecamatan Watang Sidenreng disamping sebagai petani mereka juga sebagai buruh, pedagang dan pegawai,  namun dalam keadaan mendesak seperti butuh biaya untuk sekolahkan anaknya, modal usaha, biaya pernikahan dan sebagainya, mereka terpaksa menggadaikan sawahnya. Sawah yang digadaikan tersebut adalah tanah milik mereka sendiri.[66]

Masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Watang Sidenreng menyebut gadai dengan sebutan Nappakatening yaitu Transaksi gadai tanah (sawah) sebagai jaminan dan tanah itu dimanfaatkan oleh penerima gadai. Orang yang melakukan gadai di sebut Mappaketenniang (Penggadai), sedangkan yang menerima disebut Nakketeni (penerima gadai).[67]

Adapun mengenai batas waktu yang ada beberapa pilihan diantaranya dua kali panen/1 tahun dan tanpa batas tertentu, tapi biasanya waktu tidak pernah ditentukan, asal uang sudah dikembalikan maka sawah yang digadaikan pun dikembalikan kepada pemiliknya. Tapi apabila sudah sampai batas waktu yang ditentukan, penggadai belum mampu untuk membayar uang yang dipinjamnya maka para pihak harus sepakat untuk membuat perjanjian baru. Apabila penerima gadai juga butuh uang, maka penerima gadai berhak menggadai sawah tersebut atas izin penggadai (pemiliknya).[68]

Berdasarkan Intervieu banyak terjadi jika sampai batas waktu atau jatuh tempo sipenggadai belum mampu untuk membayar hutangnya sehingga jika sawah tersebut digarap oleh penerima gadai maka dia masih berhak menggarap sawah tersebut samapi penggadai melunasi pinjamannya. Hal ini bisa terjadi sampai tujuh tahun.[69]

Gadai tanah di Kecamatan Watang Sidenreng dilakukan dengan hitungan pinjaman berdasarkan harga gabah atau jumlah berat gabah yakni hitungan ton. Jadi apabila ada masyarakat yang ingin menggadaikan sawahnya tidak lagi memakai nilai uang tapi dinilai dengan harga gabah. Jika dia menggadaikan sekitar 5 ton gabah maka dia harus menerima uang sesuai dengan harga 5 ton gabah kering tersebut.[70] Jadi pada saat batas waktu yang telah ditentukan sampai, maka sipenggadai harus mengembalikan atau membayar hutangnya sesuai harga 5 ton gabah kering yang berlaku pada saat dia membayar hutangnya.[71]

 

  1. Proses terjadinya gadai

Semua manusia pasti memerlukan orang lain, sebab manusia bukan merupakan makhluk individu tetapi manusia adalah makhluk sosial yang harus bermasyarakat anatara satu dengan yang lainnya. Sebab mereka saling membutuhkan untuk mencukupi kelangsungan hidupnya. Maka dengan demikian terjadi Mu’amalah seperti adanya praktek gadai.

Dalam praktek gadai di Kecamatan Watang Sidenreng mula-mula siA (penggadai) datang kepada si B (penerima Gadai) dengan mengungkapkan maksudnya untuk meminjam sejumlah uang, maka dilakukan perjanjian yang mana di dalam perjanjian tersebut uang yang akan dipinjam dinilai dengan jumlah berat gabah kering. Kemudian dalam pembayarannya harus sesuai dengan harga gabah pada waktu dia membayar pinjamannya.[72]

Proses terjadinya akad gadai ada yang dilakukan di atas tangan yakni tanpa sepengtahuan pemerintah setempat dengan asumsi adanya saling percaya diantara kedua belah pihak. Selain itu ada pula yang dilakukan di kantor kelurahan.[73]

Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa alasan mereka untuk menggadaikan sawahnya adalah karena untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang mendesak diantaranya biaya sekolah, pernikahan, modal usaha dan lain sebagainya.

Sedang dari penerima gadai penyusun juga memperoleh data yang bila disimpulkan ada dua faktor yaitu :

 

  1. Lingkungan.

Karena masyarakat di Kecamatan Watang Sidenreng sudah terbiasa sejak zaman dahulu menggadaikan sawah, sehingga mereka beranggapan bahwa hal tersebut sudah menjadi adat kebiasaan karena sudah terbiasa, maka sudah menjadi ketetapan umum bila seseorang menggadaikan sawahnya.

  1. Faktor ingin menolong

Berangkat dari rasa tolong menolong, maka sipenerima gadai meminjamkan uangnya kepada sipenggadai. Karena sebagai rasa terima kasih telah dipinjamkan uang maka mereka rela menyerahkan sawahnya kepada sipenerima gadai sebagai jaminan dan untuk di garap.

  1. Hak dan kewajiban penggadai dan penerima gadai.
    1. Hak penggadai dan penerima gadai

1) Penggadai.

Setelah penyusun mengadakan wawancara dan juga hasil angket dalam praktek gadai tanah sawah di Kecamatan Watang Sidenreng hak penggadai antara lain sebagai berikut :

a)      Mendapatkan sejumlah uang dari penerima gadai.

b)      Mengalihkan hak pemanfaatan tanah sawahnya kepada penerima gadai.

c)      Memungut separo dari hasil panen apabila transaksinya menghampiri masa panen tiba.

2) Penerima gadai

a)      Memanfaatkan tanah sawah yang dijadikan jaminan.

b)      Membuat perjanjian baru jika sudah jatuh tempo.

c)      Menagih uang pinjaman jika sudah sampai batas waktu yang telah ditentukan.

d)     Membuat perjanjian baru dengan orang lain atas seizin penggadai.

b. Kewajiban Penggadai dan Penerima gadai

1)      Penggadai

a)      Menyerahkan sebagian tanahnya dan dimanfaatkan oleh penerima gadai.

b)      Mengembalikan uang pinjaman kepada penerima gadai.

2)      Penerima gadai

a)      Menyerahkan uang pinjaman kepada penggadai atas terjadinya transaksi gadai.

b)      Mengembalikan tanah sawah yang dijadikan jaminan jika uang sudah dibayar.

 

C. Pemanfaatan Barang Gadai

            Dari hasil penelitan yang dilakukan bahwa pemanfaatan barang gadai yang terjadi dalam praktek gadai tanah di dalam masyarakat Bugis di Kecamatan Watang Sidenreng dilakukan oleh penerima gadai tersebut.

            Pemanfaatan barang gadai yang dilakukan di Kecamatan watang Sidenreng beraneka ragam sesuai dengan kesepatan yang dilakukan tetapi pemanfaatan barang tersebut tidak ditulis dalam surat perjanjian.

            Pemanfaatan barang gadai dikekola atau digarap oleh  yang menerima gadai. Selain itu ada pula yang dikelola atau digarap oleh orang ketiga atau orang lain yang dipercaya dengan ketentuan bagi hasil antara penggarap dengan sipenerima gadai.[74]

            Meskipun demikian kebanyakan tanah sawah yang dijadikan sebagai jaminan kebanyakan digarap atau dikelola oleh penerima gadai itu sendiri.

 Dari hasil penelitan diketahui bahwa hasil dari pemanfaatan barang gadai tidak dilakukan bagi hasil antara pemberi gadai (Rahn) dengan penerima gadai (murtahin) setelah dipisahkan dengan biaya pemeliharaan. Hasil tersebut semuanya diambil oleh penerima gadai. Bagi hasil terjadi jika barang gadai tersebut dalam hal ini tanah sawah dikelola oleh pihak ketiga, yaitu hasilnya dibagi antara pengelola dengan penerima gadai sebagai orang yang membiayainya.

Oleh karena itu, pemanfaatan barang gadai (tanah sawah) yang terjadi dalam masyarakat Bugis di Kecamatan Watang Sidenreng harus ditinjau ulang karena merugikan bagi pemberi gadai.

Demikianlah penelitian terhadap pemanfaatan tanah sawah sebagai barang gadai dalam masyarakat Bugis di Kecamatan Watang Sidenreng kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan.

           

BAB IV

ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN DAN PEMANFAATAN

GADAI TANAH DI KECAMATAN WATANG SIDENRENG

MENURUT HUKUM ISLAM

 

A. Praktek Gadai Tanah di Kecamatan Watang Sidenreng Menurut Hukum Islam

            Gadai merupakan perjanjian atau akad dalam bermu’amalah yang dilakukakan oleh dua pihak dalam bentuk hutang piutang dengan menyerahkan sesuatu (barang) sebagai jaminan hutang. Perjanjian gadai ini dibenarkan dengan firman Allah swt yang berbunyi :

وانكـنـتم علي سفـر ولم تجـدوا كاتبا فرهن مقـبو ضة …[75].

            Pengertianفرهن مقـبو ضة     dalam ayat di atas yaitu barang tanggungan yang dipegang. Barang tanggungan tersebut dalam masyarakat disebut dengan gadai.

            Munculnya gadai sebagai perbuatan hukum dalam mu’amalah karena adanya salah satu pihak yang bermu’amalah melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan berupa hutang karena perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang mendesak.

            Bila mencermati ayat tersebut di atas maka ‘illat hukum yang terkandung adalah adanya faktor kebutuhan, hal ini dapat dijumpai dalam pendapatnya        as-Sauka>ni> yang mengemukakan bahwa barang siapa dalam perjalanan melakukan perjanjian hutang piutang dan tidak dijumpai seoranng pun penulis maka untuk meringankannnya (hutang piutang) diadakannya jaminan yang dipegang.[76] Jadi adanya perjanjian hutang piutang karena adanya kebutuhan yang mendesak.

            Alasan untuk mengadakan perjanjian gadai tanah itu lazimnya ialah bahwa pemilik tanah (ra>hn) butuh uang. Bilamana tidak dapat mencukupi kebutuhan dengan jalan meminjam uang, maka ia dapat mempergunakan tanahnya untuk memperoleh uang itu dengan jalan membuat perjanjian tanah (groud transactie).[77]

            Dari sini dapat dilihat bahwa gadai tanah menurut adat adalah perjanjian yang menyebabkan bahwa tanah itu diserahkan untuk menerima sejumlah uang tunai dengan perjanjian bahwa sipenyerah tanah (ra>hn) akan berhak mengembalikan tanahnya dengan jalan membayar hutang sejumlah yang sama.[78]

            Istilah gadai tanah yang dipakai Van Vollenhoven ialah” Jual dengan perjanjian beli kembali”, ia memasukkan unsur bahwa perjanjian adanya tanah yang diserahkan untuk menerima tunai sejumlah uang dengan permufakatan bahwa sipenerima akan mengembalikan tanah itu dengan jalan sipemilik tanah membayar sejumlah uang yang sama, unsur mengembalikan uang pinjaman dengan uang yang sama besarnya menunjukkan tidak adanya riba (melebihkan pembayaran), sebagaimaan dalam hukum Islam. Namun gadai tanah yang diistilahkan dengan “jual dengan perjanjian beli kembali” merupakan bentuk muamalat atau perjanjian lain dari gadai tanah.

            Ten Haar menolak pemakaian istilah tersebut dengan alasan bahwa istilah menjual berarti menjual lepas yakni menjual sesuatu untuk melepaskan barang yang dijual selamanya.[79]

            Dalam hukum Islam “jual dengan perjanjian beli kembali” masuk dalam perjanjian jual beli bersyarat yakni seseorang yang menjual sesuatu barang diikuti dengan perjanjian bahwa suatu saat jika sipenjual tersebut sudah mempunyai uang maka barang tersebut akan dibeli kembali oleh sipenjual.

            Jual beli bersyarat yang diistilakan oleh Van Vollenhoven masuk dalam salah satu jual beli bersyarat yang fasid. Karena penjual mensyaratkan dengan akad baru.[80] Yang demikian itu tidak dibenarkan dalam Islam sebagaimana hadis Nabi yang berbunyi :

لا يحـل سلف وبـيع ولا شـر طان في بـيع[81]

            Dengan demikian istilah gadai tanah yang diistilakan dengan “jual dengan perjanjian beli kembali” tidak bisa dibenarkan sebagai istilah gadai karena masuk pada jual beli bersyarat yang fasid, yang menggabungkan dua perjanjian sehingga menutup untuk terjadinya tasarruf barang tersebut kepada pihak lain. Perjanjian ini sebagai acuan dalam mengaktualisasikan perbuatan hukum.

            Manusia sebagai makluk sosial, makhluk bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial yang dalam kehidupan sehari-harinya saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka mereka melakukan berbagai macam hubungan diantaranya adalah melakukan transaksi gadai tanah sawah.

            Transaksi gadai tanah sawah di kecamatan Watang Sidenreng merupakan transaksi yang sudah mengakar, sudah berlaku secara turun temurun. Dengan demikian, penyusun berniat meneliti dan menganalisis tradisi gadai ini dari segi hukum Islam. Bagaimana hukum Islam menyikapi tradisi gadai tanah sawah yang terjadi di Kecamatan Watang Sidenreng?.

            Dalam hukum Islam kegiatan gadai menggadai barang sudah ada sejak dahulu kala dan merupakan kegiatan yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan yaitu tatkala seseorang sedang dalam perjalanan,  bermu’amalah secara tunai, sementara diantara mereka tidak ada seorang pun penulis, agar supaya ada barang tanggungan yang dipegang oleh murtahin sebagai alat pengikat kepercayaan diantara mereka sebagaimana firman Allah :

وانكـنـتم علي سفـر ولم تجـدوا كاتبا فرهن مقـبو ضة …[82].

            Selain orang yang dalam perjalanan, orang yang mukim atau menetap pun diperbolehkan melakukan transaksi gadai. Berdasarkan sunnah Rasulullah yaitu tatkala beliau menggadaikan baju besinya ketika beliau menetap di Madinah kepada seorang yahudi untuk membeli makanan.

 

 اشـتر ي رسـول الله ص : من يـهـودي طعـاما ورهـنه درعه[83]

            Berdasarkan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa gadai menggadai barang berharga dapat dilakukan walaupun para pihak tidak dalam bepergian. Sementara jumhur ulama telah sepakat tentang diperbolehkannya gadai bagi orang yang menetap.

            Pengertian gadai menurut hukum Islam maupun pengertian yang umum dimiliki oleh masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng telah penyusun paparkan pada bab II dan bab III di atas. Persamaan diantara keduanya terletak pada sebab terjadinya gadai barang atau gadai benda-benda yang bernilai yaitu pinjam meminjam uang dengan menggunankan jaminan. Sementara perbedaannya ialah bahwa dalam hukum Islam barang jaminan berkedudukan sebagai amanah dan kepercayaan di tangan murtahin yang berfungsi sebagai jaminan hutang jika ra>hn tidak mampu melunasi hutangnya.[84]

            Menurut hukum Islam suatu perbuatan dalam hal ini adalah gadai tanah baru dikatakan sah jika telah terpenuhi unsur-unsurnya. Unsur-unsur tersebut biasa disebut rukun gadai. Sebagaimana tersebut dalam kita Mas}a>hib al- ‘Arba’ah sebagai berikut :

1. A<qid yaitu pihak yang melakukan akad.

  1. Ra>hn
  2. Murtahin

2. Ma’qud ‘Alaih (yang digadaikan).

  1. Marhun (barang).
  2. Dain Marhu>n bih (hutang).

3. S{i>>qat.[85]

            Rukun-rukun di atas memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi juga yaitu:

1. A>qid, syarat-syaratnya yaitu :

  1. Mempunyai kecakapan dalam bertindak.[86]
  2. Keduanya melakukan akad secara suka rela.[87]

2. Ma’qud ‘Alaih syarat-syaratnya :

  1. Benda bernilai menurut syara’
  2. Dapat dimanfaatkan.
  3. Barang.
  4. Milik orang yang melakukan akad.
  5. Dapat diserah terimakan pada saat akad.[88]
  6. Untuk suatu hutang.
  7. Hutangnya sudah tetap.

 

  1. Hutangnya telah diketahui jumlah, benda dan sifatnya.[89]

3. S{i>qat, syarat-syaratnya yaitu :

  1. Adanya persesuaian antara ija>b dan qabul pada suatu obyek akad.
  2. Adanya persesuaian antara ija>b dan qabul  dalam suatu majelis.

Dari hasil penelitian dan pengamatan penyusun dalam tradisi gadai tanah sawah yang dilakukan oleh masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng diketahui bahwa rukun-rukun dan syarat-syaratnya sudah mendekati sempurna, seperti yang dikemukakan dalam rukun dan syarat sah gadai dalam hukum Islam. Meskipun hanya ada sedikit kesamaran pada serah terima tanah sawah sebagai barang yang digadaikan atau sebagai barang tanggungan dari suatu hutang.

Tanah merupakan benda tak bergerak, maka dalam serah terimanya menggunakan sertifikat tanah sawah tersebut kepada murtahin. Tetapi dalam transaksi gadai tanah sawah yang terjadi di kecamatan Watang Sidenreng, ra>hin tidak menyerahkan seertifikat tanah sawahnya kepada murtahin sebagaimana seharusnya untuk benda tak bergerak. Transaksi yang terjadi diantara mereka hanya saling kepercayaan bahwa sawah tersebut adalah benar milik sipenggadai (ra>hin) dan bukan milik orang lain. Sehingga akan menyusahkan salah satu pihak yang melakukan transaksi jika ada sengketa atau masalah di kemudian hari. Jika ada selisih atau keperluan lain yang mendesak atas tanah tersebut mereka selalu merundingkannya.

Kepercayaan yang terjalin diantara mereka menyebabkan kemungkinan untuk terjadinya penyelewengan sangat tipis. Ketakutan murtahin jika tidak dibayar atau kesulitan dalam menagih hutangnya kepada Ra>hin, hal ini sangat tipis kemungkinan terjadi karena tanah sawah milik ra>hin masih berada di bawah kekuasaan murtahin dan hasli panennya pun milik murtahin, jika Ra>hin tidak segera membayar hutangnya, maka ra>hin sendiri yang rugi.

  Allah swt. Berfirmn yang isinya bahwa, jika kedua belah pihak telah saling mempercayai, maka mereka harus memegang atau memenuhi amanatnya.

 فان امن بعضـكم بعـض فلـيـوْد ي ا لذي اوْ تمن اما نتـه[90]

Meskipun masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng dalam bertransaksi gadai telah saling percaya tapi penguasaan tanah sawah itu masih dilaksanakan dan dilakukan oleh murtahin karena demikian aturan yang berlaku di kecamatan Watang Sidenreng.

Pemanfaatan barang gadai dilakukan sepenuhnya oleh murtahin sampai satu tahun atau dua kali panen bahkan sampai hutang dilunasi. Jika telah sampai batas waktu untuk membayar hutang tetapi ra>hin belum mempunyai uang, maka pemanfaatan atas barang gadai tersebut diteruskan sampai ra>hin  mampu melunasi hutangnya atau sesuai dengan kesepakatan diantara keduanya.[91]

Hukum Islam telah menetapkan ketentuan bahwa pemanfaatan barang gadai adalah oleh ra>hin, sebagai pemilik barang, bukan oleh murtahin. Karena akad yang terjadi bukan akad pemindahan hak milik, dimana orang yang menerima barang dapat memiliki sepenuhnya. Akad gadai bukan akad pemanfaatan suatu benda (sewa menyewa) dimana barang tersebut dapat dimanfaatkan. Akad gadai hanya berkedudukan sebagai jaminan. Oleh karena itu Ulama sepakat bahwa hak milik suatu manfaat atas suatu benda yang dijadikan jaminan (borg) berada dipihak ra>hin, murtahin tidak bisa mengambil manfaat barang gadai kecuali diizikan oleh ra>hin sebagamana dalam hadis nabi saw.

 لا يغلق الر هن من صا حـبه الذي رهـنه له غنمـه و عليه غرمه[92]

Murtahin  baru dapat mengambil manfaat barang gadai jika barang tersebut membutuhkan biaya perawatan dan pemeliharaan, sebatas biaya yang dibutuhkan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam al- Muqny-nya

Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat atau hasil dari barang gadaian sedikit pun, kecuali dari yang bisa ditunggangi atau diperah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.[93]  

 

Nafkah yang diambil dari barang gadaian adalah sekedar atau sebesar ongkos yang dikeluarkan untuk biaya perawatan dan pemeliharaan. Dan tidak boleh lebih atau berlebih-lebihan, karena hal tersebut bisa dikategorikan kepada riba yang dilarang oleh syari’at agama Islam.

 

 

 

 إذا ارتهن شاة شرب المر تهـن من لبـنها يقدر علقها فإن اسـتفـضل من اللبن بعد الثمن العلف

فهو ربا[94]

Sawah adalah merupakan barang gadai yang membutuhkan biaya perawatan seperti mencangkul, urea, penyemprotan, upah buruh dan lain sebagainya. Untuk itu tanah sawah sebagai barang gadaian boleh dimanfatkan oleh murtahin. Sebatas keperluannya untuk pemeliharaan atas barang gadai tersebut. Untuk menjaga agar murtahin tidak mengalami kerugian atas barang gadai itu, maka hak murtahin harus dijaga jangan sampai menderita kerugian, tetapi dalam hal ini hak ra>hin sebagai pemilik barang juga tidak boleh diabaikan. Jadi solusinya adalah bagi hasil antara ra>hin dan murtahin atas hasil panen tanah sawah gadai tersebut setelah dikurangi biaya perawatannya.[95]

Namun kebiasaan dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng tidak ada sistem bagi hasil antara ra>hin dan murtahin semuanya diperuntukkan bagi murtahin, mulai dari perawatan, pengelolahan serta memiliki hasilnya. Tetapi semua itu atas dasar izin dan kerelaan dari ra>hin tanpa ada paksaan.

Di Kecamatan Watang Sidenreng pemanfaatan barang gadai dalam hal ini tanah sawah terdapat penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam.

Di kecamatan watang Sidenreng pemanfaatan sawah sebagai barang gadai dimanfaatkan oleh murtahin dan bukan oleh ra>hin. Hal ini karena pemanfaatan sawah gadai merupakan kelangsungan atau pelaksanaan dari proses akad gadai tanah sawah. Walaupun tidak disebutkan dalam akad gadai diantara keduanya bahwa sawah tersebut akan digarap oleh murtahin. Namun hal tersebut merupakan hal yang pasti. Hal ini sudah diketahui secara umum bahwa proses akad gadai salah satunya adalah penggarapan sawah gadai oleh murtahin.

Menurut pengamatan penyusun daya tarik dari gadai tanah sawah ini terletak pada penggarapan sawah oleh murtahin. Ini pula yang mendorong murtahin dengan suka cita ingin membantu ra>hin, disamping keinginan untuk menolong, karena tolong menolong diantara mereka sudah lazim.

Faktor inilah yang mendasari masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng untuk mengadakan transaksi gadai tanah. Karena tolong menolong dalam hal kebaikan merupakan anjuran dari syari’at Islam. Sebagaimana firman Allah swt dalam surah al-Maidah sebagai berikut :

 وتعاونو ا علي البر و التقوي ولا تعاونوا علي ا لإ ثم والعدوان واتقوا الله إن الله شديد العـقاب[96]

Dalam tradisi gadai tanah ini, murtahin mempunyai dua keuntungan, pertama : uangnya kembali dengan utuh kepadanya bahkan bisa lebih jika harga gabah naik. Kedua : ia dapat mengelolah dan menikmati hasil panen sawah gadaian sampai ra>hin mampu melunasi hutangnya atau sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.

Bagi ra>hin ataupun murtahin, tradisi gadai tanah sawah merupakan ajang untuk saling menyenangkan. Oleh karena itu kedua belah pihak merasa senang dan rela atas tradisi ini, karena tidak ada unsur paksaan.

Ahmad Azhar Basyir mengatakan bahwa dalam bermu’amalah harus dilakukan atas dasar sukarela tanpa ada paksaan. Mu’amalah juga harus dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan dan unsur-unsur mengambil manfaat dalam kesempitan.[97] Mengenai aturan main penduduk Bugis di kecamatan Watang Sidenreng dalam hal pemanfaatan tanah sawah gadai ini, sejauh pengamatan penyusun ra>hin tidak merasa benar-benar tertolong. Di satu sisi ra>hin tertolong dalam mengatasi kesulitannya dan di sisi lain justru ia semakin terpuruk ke dalam kesulitan dimana ia tidak dapat lagi menggarap sawahnya yang memberinya pemasukan untuk membiayai  kebutuhan dan kelangsungan hidupnya dan untuk melunasi hutangnya. Kecuali jika pinjaman uang dengan menggadaikan tanahnya ini dipergunakan sebagai modal usaha dan ternyata berhasil. Tetapi, jika digunakan untuk keperluan yang tidak bisa dikembangkan atau bukan untuk usaha yang produktif, maka sama halnya ra>hin  mengganti satu masalah dengan masalah yang lain. Hal seperti itu dilarang dalam Islam, kecuali dalam keadaan darurat yaitu mengganti kesukaran dengan kesukaran yang lebih ringan sesuai dengan kaedah ushu fiqh.

 الضـر ر الأشد يزال با لضر رالأخف [98]

Aturan di Kecamatan Watang Sidenreng pada saat ra>hin memutuskan untuk menggadaikan sawahnya dan kemudian melakukan transaksi gadai dengan murtahin, maka pada saat itu ra>hin telah merelakan penggarapan sawahnya kepada murtahin. Hasil panennya diambil oleh murtahin sampai ra>hin bisa menebus kembali sawahnya. Dalam hukum Islam meminjamkan uang dengan mengambil manfaat dari uang pinjaman tersebut merupakan sesuatu yang dilarang keras oleh syari’at karena hal itu termasuk riba.

Dari segi rukun dan syarat sah, sebenarnya telah terpenuhi dan sah menurtu syara’, namun masalah baru muncul dari efek yang dibuat antara ra>hin dan murtahin yaitu pemanfaatan barang gadai milik ra>hin kepada murtahin sejak ija>b dan qabul disepakati. Hal in bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam.

Dalam hukum Islam dikatakan bahwa ra>hin-lah yang berhak mengelola dan menikmati hasil panennya. Jika murtahin mengelolah tanah sawah gadai berdasarkan izin dari ra>hin, maka hak ra>hin  untuk ikut menikmati hasilnya tidak bisa diabaikan.

Penyimpangan-penyimpangan tersebut di atas walaupun atas kerelaan dan keikhlasan ra>hin, tetapi karena pemanfaatan barang tersebut barasal dari menghutangkan uang, maka hal ini dapat dikategorikan kepada riba an-Nasiah yaitu riba yang telah ma’ruf atau terkenal di kalangan masyarakat jahiliyah semasa lalu dan riba semacam ini dilarang dengan sangat sebagaimana dengan tercantum dalam al-Qur’an :

 يمعق الله الربوا ويربي الصـدقت والله لا يحب كل كفار أ ثـيم[99]

Kebiasaan masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng dalam menggadaikan tanah sawah menurut analisa penyusun dengan dikategorikan kepada ‘urf yang fasid. Alasannya karena tradisi gadai masyarakat Bugis di kecamatan watang sidenreng bertentangan dengan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah. Ada penyimpangan yang tidak dapat ditolerir yaitu pemanfaatan barang gadai oleh murtahin. Dimana pemanfaatan barang gadai tersebut disebabkan oleh adanya peminjaman uang. Hal ini termasuk riba an-nasi’ah walaupun dalam transaksi gadai tanah sawah itu sudah ada izin dan kerelaan dari ra>hin tanpa ada paksaan yang merupakan asas dan syarat dalam bermu’amalah. Tetapi hukum Islam tidak dapat mentolerir keharaman riba menjadi sesuatu yang diperbolehkan atau dibolehkan. Berdasarkan ayat berikut ini :

 وأحل الله البـيع وحرم الربوا [100]

Dalam menetapkan suatu hukum, adat atau ‘urf merupakan suatu sumber penetapan hukum Islam dengan syarat-syaratnya, yang antara lain tidak bertentangan dengan hukum syara’. Dan sejauh pengamatan dan analisis penyusun,’Urf yang ada di kecamatan watang Sidenreng banyak menyimpang dari aturan-aturanyang telah ditetapkan syara’, mengnai pemanfaatan barang gadai dalam hal ini tanah sawah. Oleh karena itu ‘urf ini tidak dapat diberlakukan atau diamalkan karena bertentangan dengan syara’.

 

B. Analisis Pemanfaatan Tanah Gadai ditinjau dari Segi Maslahah dan Mafs}adah-nya.

Seperti yang telah dijelaskan bahwa akad gadai bukanlah akan menyerahkan dan memindahkan kepemilikan suatu benda. Namun demikian dari akad tersebut muncul hak menahak bagi murtahin terhadap benda barang gadai. Meskipun begitu ra>hin diberi kesempatan untuk mengambil manfaat dari barang yang digadaikannya karena, barang serta manfaat dan hasil atau nilai yang dikandungnya tetap milik ra>hin.

Berdasarkan pembahasan-pembahasan sebelumnya dapatlah diketahui bahwa dalam praktek gadai tanah sawah dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng terdapat manfaat atau maslahah yang dapat dirasakan oleh ra>hin dan murtahin, juga terdapat mudarat atau mafs}adahnya. Dengan kata lain, ada dampak positif dan dampak negatif dari transaksi gadai tanah ini bagi mereka berdua. Dampak positif ini dapat dilihat dari sisi rahin antara lain :

  1. Teratasinya masalah ra>hin tanpa ia harus kehilangan hak kepemilikan atas tanah sawahnya.
  2. Ketenangan yang dirasakan oleh ra>hin dengan adanya transaksi gadai ini. Ra>hin tidak didesak untuk segera melunasi hutangnya jika waktu untuk membayar hutangnya telah tiba, sementara ra>hin belum cukup memiliki uang untuk menebus kembali tanah sawahnya itu. Ra>hin juga tidak takut tanah sawahnya disita karena tidak mampu untuk membayar hutangnya pada saat yang telah disepakati bersama tentang waktu pembayaran.

Sementara dampak negatif yang diterima oleh ra>hin sebagai konsekuensi dari diadakannya atau dilakukannnya gadai tanah sawah itu ialah ra>hin tidak dapat menggarap tanah sawahnya. Hal ini membuat ra>hin  semakin terpuruk dalam kehidupannya, ra>hin harus membayar lunas hutangnya sementara ia kehilangan hak penggarapan atas sawahnya karena hanya dengan hasil sawah tersebut ia dapat menyisihkan uangnya untuk membayar hutang. Lain halnya jika uang yang dipinjam dipergunakan untuk modal usaha yang produktif. Dalam hal ini tidak ada masalah bagi ra>hin untuk membayar hutangnya atau untuk biaya hidupnya sehari-hari bersama keluarganya.

Masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng dalam hal ini (transaksi gadai tanah sawah) lebih memilih untuk menggadaikan tanah sawahnya dibandingkan pilihan yang lainnya. Menurut penduduk di kecamatan Watang Sidenreng, mereka lebih menyukai tradisi ini karena disamping ra>hin tidak kehilangan kepemilikan atas tanah sawahnya yang digadaikan, mereka juga tidak dipusingkan atau diributkan dengan urusan-urusan ukur mengukur tanah milik ra>hin. Mereka lebih memilih menggadaikan tanah sawahnya menurut tradisi yang ada dibandingkan dengan cara yang lain.

Disamping itu dengan melakukan gadai tanah sawah ini mereka pergunakan untuk saling menyenangkan satu sama lainnya. Murtahin mendapat keuntungan dan ra>hin mendapat pertolongan untuk mengatasi kesulitannya dengan memakai norma-norma dan aturan-aturan yang telah umum dan terjadi dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng. Dengan adanya transaksi gadai tanah sawah ini, telah mempererat hubungan komunikasi dan pergaulan hidup bermasyarakat di antara mereka semua.

Demikianlah hasil pengamatan penyusun berkenaan dengan pemanfaatan barang gadai oleh murtahin dari segi maslahah dan mafs}adah-nya yang berkenaan dengan ra>hin. Sementara pada murtahin sejauh pengamatan dan penelitian penyusun tidak banyak yang mengeluh tenatng dampak negatif dari adanya transaksi gadai tanah sawah ini bagi meeka. Mereka selalu mencari kesepakatan secara musyawarah dan kekeluargaan jika mereka merasa ada sesuatu yang harus dibicarakan dan kurang berkenaan atau murtahin merasa dirugikan.

Sementara dampak positif yang dirasakan oleh murtahin dengan adanya transaksi gadai tanah sawah ini antara lain :

1. Murtahin dapat jaminan tentang pelunasan dari ra>hin, dengan jumlah yang    sama atau lebih jika harga gabah naik.

2. Murtahin dapat memetik hasil panen dari tanah sawah garapan yang diberikan kepadanya sebagai akibat adanya transaksi gadai yang dibuat bersama ra>hin.

3. Murtahin bisa melanjutkan penggarapan tanahs awah itu jika ra>hin belum mampu menebusnya kembali.

4. Ra>hin tidak berlarut-larut dalam pelunasan hutangnya. Jika pada saat jatuh tempo pembayaran, ra>hin  sudah memiliki uang pelunasan.

5. Jika terjadi kenaikan harga gabah maka murtahin mendapat kelebihan   pembayaran dari uang yang dipinjamkannya.

6. Jika harga gabah turun pada saat uang dikembalikan, murtahin sudah cukup mendapat ganti dari hasil panen.

Dengan adanya maslahah dan mafsadah sebab diadakannya transaksi gadai tanah sawah antara ra>hin dan murtahin dengan mengikuti tradisi yang berlaku dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng dapatlah ditarik kesimpulan bahwa walaupun ra>hin mengalami kerugian, tetapi dengan melihat bahwa tidak ada jalan lain yang lebih baik dari gadai tanah sawah ini, dengan cara ini disamping ra>hin tertolong dalam mengatasi kesulitannya ia masih bisa bersantai, karena tidak khawatir disita jika sudah jatuh tempo, sementara ia belum mampu untuk menebusnya kembali. Maslahah yang dirasakan ra>hin ternyata lebih besar dari mafs}adah-nya. Demikian pula halnya yang dirasakan oleh murtahin. Maka dengan berpedoman pada ayat al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut :

 يريد الله بكم اليـسر ولا يريد بكم العـسر [101]

 ما بريد الله ليجعل عليكم من حرج [102]

Pemanfaatan tersebut diperbolehkan dengan syarat sekedar biaya perawatan dan pengolahan, serta untuk menutupi kerugian yang dialami oleh Murtahin dari tidak menentunya harga gabah. Besar kecilnya pengganti itu dapat dilihat dari besar kecilnya kerugian yang ditanggung oleh murtahin pada saat itu. Dengan berpedoman pada ayat al-Qur’an dan al-Hadis berikut ini yang berbunyi:

 

 لا تظلمون ولا تظلمون [103]

 لا ضرر ولا ضرار [104]

Tidak adanya yang menganiayan dan teraniaya dan tidak membalas kemadaratan dengan kemadaratan yang lebih besar, maka sepanjang hal tersebut tidak ada ataupun ada, tetapi kemadaratan yang dirasakan lebih kecil dan ringan seperti disebutkan dalam kaidah :

 الضرر الأ شديزال بالضرر الأخف [105]

Sehingga tidaklah mengapa untuk dilakukan sepanjang tidak berlebih-lebihan atau ad’afan Muda>’afan (berlipat ganda). Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka adat atau ’urf tersebut dapat dibenarkan dengan menggunakan teori

العادة محكمة [106] 

 

 

 

BAB V

PENUTUP

 

A. Kesimpulan

            Setelah penyusun menjabarkan dan menganalisis skripsi ini, maka penyusun dapat mengambil kesimpulan sebagai beikut :

  1. Dari segi rukun dan syarat, gadai yang ada di masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng sudah sah atau sudah betul, tetapi dari pemanfaatan barang gadai tidak dibenarkan dalam hukum Islam, karena terdapat penyelewengan atau melenceng dari ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang telah digariskan dalam syari’at hukum Islam. Jadi tradisi yang berlaku bertentangan dengan nas. Oleh karena itu dilarang untuk dilakukan.
  2. Tanah gadai dapat dimanfaatkan oleh murtahin apabila mendapat izin dari ra>hin tanpa mengabaikan hak ra>hin sebagai pemilik tanah. Sedangkanhasilnya daapt dibagai sesuai dengan kesepakatan.
  3.  Tradisi pemanfaatan tanah gadai sawah dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng ditinjau dari segi maslahah dan mafs}adahnya ternyata terdapat mafs}adah atau mudarah bagi ra>hin walaupun ra>hin sudah merelakannya dan murtahin tidak mensyaratkan adanya persyaratan tersebut pada saat akad gadai terjadi. Tetapi demi untuk menjaga nilai-nilai keadilan bagi ra>hin, maka pemanfaatan tanah gadai oleh murtahin  secara penuh seperti yang terjadi dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng tidak dibenarkan atau tidak dapat ditolerir.

B. Saran-saran

            Saran-saran yang akan penyusun berikan adalah untuk masyarakat Bugis secara umum dan penduduk di kecamatan Watang Sidenreng secara khusus. Saran-saran tersebut adalah :

  1. Hendaklah para pemuka masyarakat dalam hal ini adalah para ulama setempat, agar lebih sering memberikan pengarahan atau informasi mengenai hukum gadai dalam hukum Islam dan hukum tentang cara-cara bermu’amalah secara baik dan benar sehingga masyarakat dapat terhindar dari kesalahan.
  2. Kepada Ra>hin dan Murtahin, selain kepercayaan yang mereka miliki bersama, Hendaknya dalam bertransaksi gadai tanah sawah menggunakan catatan yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak dibawah notaris sebagai bukti otentik jika diantara mereka terjadi perselisihan.
  3. Pemanfaatan tanah sawah gadai secara penuh adalah dilarang dalam hukum Islam akan tetapi kalau sekedar untuk biaya perawatan tidak mengapa atau bisa jadi dibuat perjanjian bagi hasil dengan ketentuan yang disepakati bersama setelah dipotong dengan biaya perawatan dan seterusnya, dengan menggunakan sistem muzara’ah atau mukharabah yaitu bibit berasal dari pemilik tanah atau sebaliknya bibit berasal dari murtahin, tergantung kesepakatan antara ra>hin dan murtahin.
  4. Kepada masyarakat Bugis secara umum, penduduk di kecamatan Watang Sideneng secara khusus agar supaya lebih memperhatikan aturan-aturan syari’at Islam dalam bermu’amalah khususnya gadai tanah sawah agar tidak melenceng dari ketentuan-ketentuan yang ada (nas).
  5. Sistem muzara’ah atau mukhabarah bisa dijadikan alternatif lain untuk menutup kerugian dan biaya perawatan, juga untuk menegakkan nilai-nilai keadilan.

LAMPIRAN I

 

DAFTAR TERJEMAHAN

 

 

Hlm

Footnote

Terjemahan

 

 

 

BAB I

 

2

1

Kalian yang lebih mengetahui urusan duniamu.                                                            

 

3

3

Bila kamu dalam perjalanan dan tidak mendapatkan penulis, barang tanggungan pun bisa diterima. Tetapi kalau masing-masing diantara kamu saling mempercayai, orang yang dipercayai wajib meemnuhi amanatnya. Dan bertakwalah kepada Tuhannya. Jangan kamu sekali-kali menyembunyikan kesaksian. Barangsiapa yang menyembunyikannya, akan tercoreng dosa dalam hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui akan segala yang kamu lakukan.

9

11

Semua Qirad yang mendatangkan manfaat adalah riba

 

 

 

 

BAB II

20

3

Dan tidak mendapatkan penulis, maka barang tanggungan dapat diterima.                                                                                                                                                                          

21

4

Menjadikan sesuatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ untuk kepercayaan suatu hutang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagian hutang dari benda itu.

21

Menjadikan harta yang bersifat harta sebagai kepecayaan dari suatu hutang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bila hutang tidak dibayar.

23

8

Bila kamu dalam perjalanan dan tidak mendapatkan penulis, barang tanggungan pun bisa diterima. Tetapi kalau masing-masing diantara kamu saling mempercayai, orang yang dipercayai wajib meemnuhi amanatnya. Dan bertakwalah kepada Tuhannya. Jangan kamu sekali-kali menyembunyikan kesaksian. Barangsiapa yang menyembunyikannya, akan tercoreng dosa dalam hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui akan segala yang kamu lakukan.

  23

9

Rasulullah SAW. Pernah membeli makanan pada orang yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau.

25

11

Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh.                                                                                                                             

29

19

Diangkat pena dari tiga hal yaitu : orang tidur sehingga dia bangun, anak kecil sehingga dia dewasa dan orang gila sehingga dia berakan dan sadar.                                                                                                                    

  33

27

Gadai itu tidak menutup akan yang punyanya dari manfaat barang itu, faidahnya yaitu kepunyaan dia dan dia yang wajib memperoleh tanggung jawab segala resikonya ( kerusakan dan biayanya).

 

 

34

30

Gadaian ditunggangi dengan nafkanya jka ia dijadikan jaminan hutang dan air susu diminum airnya dengan nafkahnya jika ia dijadikan jaminan hutang, kepada yang menunggangi dan meminum air susunya harus memberi nafkah.

36

34

Kalau tidak kamu lakukan, ketahuilah Allah dan Rasul-Nya akan mengumumkan perang terhadapmu. Bila kamu bertobat, bagimulah poko hartamu, kamu tidak menganiaya dan teraniaya.

36

35

Kalau orang yang berutang dalam kesukaran, berilah penangguhan sampai masa kelapangan. Kalau kamu sedekahkan saja, itu tindakan yang terpuji bagimu.

 

 

BAB IV

51

1

Bila kamu dalam perjalanan dan tidak mendapatkan penulis, barang tanggungan pun bisa diterima.

 

53

7

Tidak dihalalkan salaf (hutang) diperjualbelikan dan tidak pula ada dua syarat dalam satu transaksi.

54

8

Bila kamu dalam perjalanan dan tidak mendapatkan penulis, barang tanggungan pun bisa diterima.

 

  55

9

Rasulullah pernah membeli makanan pada orang yahudi dan beliau menggadaikan  kepadanya baju besi beliau

58

16

Tetapi, kalau masing-masing di antara kamu mempercayai, orang yang dipercayai wajib memnuhi amanatnya.

59

18

Gadaian itu tidak menutup akan yang punyanya dari manfaat barang tiu, faidahnya kepunyaan dia dan dia wajib mempertanggung jawabkan segala resikonya.

60

20

Jika digadaikan seekor kambing, maka pemegang gadai berhak meminum susu kambing itu sebanyak makanan yang diberikan kepada kambing itu, maka jika berlebihan dari harga makanan, itu termasuk riba.

61

22

Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan melaksanakan takwa. Jangankamu tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.

63

24

Kemadaratan yang lebih berat dihilangkan dengan mengerjakan kemadaratan yang lebih ringan.

64

25

Allah memusnahkan praktek riba dan menumbuhkembangkan sedekah.

64

26

Sedangkan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

68

27

Dan Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan untukmu.

68

28

Allah tidak hendak menyulitkan kamu

69

29

Kamu tidak menganiaya dan teraniaya.

69

30

Tidak boleh membuat kemudaratan dan membalas dengan kemudaratan.

69

31

Kemudaratan yang lebih berat dihilangkan denagn mengerjakan kemudaratan yang lebih ringan.

69

32

Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN II

 

BIOGRAFI ULAMA

 

 

Imam Bukhari

            Nama lengkapnya adalah abu Abdillah Muhammad Ismail ibn Ibrahim ibn Mughirah al-Bukhari. Lahir pada tahun 194 H/ 1910 M. Beliau mempelajari hadis ke Khurasan, Irak, Mesir, dan Syam. Wafat pada tahun 256 H / 870 M di Samarkhan. Karyanya adalah Shahih Bukhari dan hadisnya dipandang shahih.

 

Imam Muslim

            Nama lengkapnya abu Abdillah Muslim Ibn Hajjat ibn Muslim al-Quraisy an-Naisabury. Lahir tahun 206 H dan wafat pada tahun 261 H di Naesaburi.Kitabnya yang terkenal adalah Shahih Muslim , kitab sahih setelah kitab Shahih Bukhari.

 

Ibnu Majah

            Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwaniy Ibnu Majah, lahir pada tahun 207 H dan wafat pada hari selasa, delapan hari sebelum hari raya Idul Fitri tahun 275 H, beliau mengumpulkan 4000 hadis yang terkumpul dalam kitab “Sunan Ibn Majah” dan kitab ini termasuk dalam kitab tujuh.

 

Dr. Wahbah az-Zuhaili

            Beliau adalah gurur besar fiqh dan ushul fiqh pada universitas Damaskus. Beliau seorang ulama yang produktif dalam bidang tulis menulis, di antara karyanya yang terkenal adalah ushul al-Fiqh al-Isla>mi> dan fiqh al-Islam wa Adillatun.

 

As-Sayyid Sabiq

            Beliau salah seorang ulama besar pada universitas al-Azhar Cairo. Beliau adalah teman sejawat dengan ustad Hasan al-Bannan, seorang mursid al-‘Am dari partai Ikhwanul Muslimin di Mesir. Beliau seorang ulama yang mengajarkan ijtihad dan menganjurkan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis, selain itu beliau juga seorang ahli hukum yang menghasilkan banyakkarya, diantaranya yang terkenal “Fiqh as-Sunnah” dan “al-Aqidh al-Islamiyah”.

 

Ahmad Azhar Basyir           

Beliau lahir pada 21 November 1982. Seorang alumnus dari PT IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pernah mendalami bahasa Arab di Universitas Bagdad tahun 1957 sampai 1958. Memperoleh gelar Magister of Art pada Universitas Kairo dalam Dirasah Islam tahun 1965. Pernah mengikuti pendidikan Purna Sarjana di UGM tahun 1971-1972. pernah juga menjadi Lektor di UGM, Dosen luar biasa di UII, UMY dan IAIN Sunan Kalijaga. Pernah menjadi Ketua PP Muhammadiyah periode 1990-1995. Hasil karyanya antar lain Hukum Perdata Islam, Garis Besar system Ekonomi Islam, Hukum Adat Bagi Umat Islam dan Asas-asas Hukum Muamalat.

 

Prof. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy.

            Beliau dilahirkan di lokseumawe (Aceh Utara) dengan nama lengkapnya Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy pada tanggal 10 maret 1904 M. Belaiu pernah mendalami ilmu agama di pondok pesantren di daerah Sumatera kemudian melanjutkan studinya ke Jawa Timur (PT. Al-Irsyad Suarabaya) sejak itu beliau mulai terjun dalam dunia ilmiah, Beliau pernah menjabat dosen dan dekan pada fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Adapun karyanya yang terkenal “ Falsafah hukum Islam”, pengantar “Fiqh Muamalah” dan masih banyak lagi. Beliau wafat pada tahun1975 di Jakarta. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN III

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN IV

 

PEDOMAN WAWANCARA

 

I. Pihak Pemerintah.

  1. Apakah pihak pemerintah mengetahui apabila masyarakat melakukan gadai tanah ?
  2. Apakah pelaksanaan gadai itu dicatat dalam agenda desa ?
  3. Apakah dalam perjanjian gadai tanah tersebut pihak pemerintah diundang untuk menyaksikan ?
  4. Bagaimana akad pelaksanaan gadai tanah yang diketahui oleh pemerintah ?
  5. Menurut landasan hukum apa gadai tanah dilakukan ?
  6. Bila terjadi sengketa tentang gadai tanah, apakah pihak pemerintah dilibatkan ?
  7. Apakah ada barang gadaian digadaikan atau disewakan lagi oleh penerima gadai ?
  8. Apakah pernah terjadi barang gadai selama tujuh tahun belum dikembalikan?

 

II. Tokoh Masyarakat.

  1. Apakah dorongan masyarakat untuk melakukan gadai tanah ?
  2. Bagaimana keadaan ekonomi masyarakat yang melakukan gadai tanah, baik dari pihak penggadai maupun penerima gadai ?
  3. Bagaimana bentuk akad gadai tanah di kecamatan Watang Sidenreng?
  4. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat tentang akad gadai di kecamatan Watang Sidenreng?
  5. Adakah batasan waktu pelaksanaan gadai tanah di kecamatan Watang Sidenreng?
  6. Apa tindakan pihak penggadai dan penerima gadai bila sampai batas waktu yang telah disepakati ?
  7. Bagaimana kedudukan tanah yang digadaikan ?
  8. Hak apa yang dipunyai oleh penggadai dan penerima gadai ?
  9.   Apakah ada barang gadaian digadaikan kembali oleh penerima gadai ?
  10. Apakah ada istilah khusus tentang gadai di kecamatan watang Sidenreng?
  11. Bagaimana Sistem transaksi gadai yang dilakukan di kecamatan Watang Sidenreng?
  12. Dalam melakukan transaksi gadai, para pelaku menggunakan kurs apa?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN V

DAFTAR ANGKET PENELITIAN

I. Untuk Penggadai

  1. Apa yang menjadi dorongan bapak/ibu menggadaikan tanah ?
    1. Kebutuhan yang mendesak
    2. Karena sekedar ingi memenuhi kebutuhan yang tidak mendesak dan tidak perlu
    3. Bagaimana cara menawarkan tanah yang akan digadaikan ?

a. Usaha sendiri                          b. Melalui perantara

  1. Apakah pihak penggadai ketemu langsung dengan penerima gadai ?

a. Ya                                           b. Tidak

  1. Siapa yang melakukan akad pelaksanaan gadai ?

a. Sendiri                                    b. Orang yang dipercaya

  1. Sejak kapan penggadai menerima uang hasil menggadaikan tanah ?
    1. Sejak dilakukan akad
    2. Beberapa hari/bulan setelah dilakukan akad
    3. Apakah pihak penggadai menentukan batasan waktu dalam menggadaikan tanah ?

a. Ya                                           b. Tidak

  1. Sejak kapan penggadai menyerahkan tanah yang digadaikan kepada penerima gadai ?
    1. Sejak dilakukan akad
    2. Beberapa hari/bulan setelah dilakukan akad
    3. Apakah penggadai setujuh dengan sistem gadai yang kursnya sesuai dengan harga gabah?

a. Ya                                           b. Tidak

  1. Apakah gadai yang sesuai dengan Harga gabah menguntungkan penggadai?
    1. Ya                                  b. Tidak
    2. Apakah barang gadai dikelolah oleh penerima gadai?
      1. Ya.                                 b. Tidak

 

II. Untuk Penerima Gadai

  1. Apa yang menjadi doronga bapak/ibu untuk menerima gadai tanah ?
    1. Karena ingin menolong
    2. Karena ingin memanfaatkan tanah
  2. Bagaimana cara menerima tanah gadaian ?

a. Sendiri                                             b. Melalui perantara

  1. Apakah pihak penerima gadai bertemu langsung dengan pihak penggadai dalam transaksi ?

a. Ya                                                    b. Tidak

  1. Siapa yang melakukan akad pelaksanaan gadai tanah ?

a. Sendiri                                             b. Orang yang dipercaya

  1. Sejak kapan penerima gadai menyerahkan uang ?
  2. Apakah penerima gadai menentukan batas waktu dalam transaksi gadai tanah ?
    1. Sejak dilakukan akad
    2. Beberapa hari/bulan setelah dilakukan akad

a. Ya                                                    b. Tidak

  1. Sejak kapan penerima gadai menerimah tanah yang dijadikan barang jaminan ?
    1. Sejak dilakukan akad
    2. Beberapa hari/bulan setelah dilakukan akad
  1. Apakah penerima gadai menentukan kurs yang dilakukan dalam transaksi gadai tanah?
    1. Ya.                                          b. Tidak
  2. Apakah sistem gadai sesuai kurs harga gabah menguntungkan?
    1. Ya                                           b. Tidak

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN VI

CURICULUM VITAE

 

 Nama                          : Supriadi

Tempat Tanggal lahir  : Pangkajene, Sidrap, 25 April 1980

Nama bapak                : H. Muhammad Rais (Alm)

Pekerjaan                     : Guru SMPN 3 Pangkajene Sidrap

Nama Ibu                    : Hj. Pahmiah

Pekerjaan                     : URT

Alamat Asal              : Jl. Sultan Hasanuddin No. 11 Pangkajene Sidrap Sulawesi Selatan 91611

Alamat Yogyakarta     : Jalan Nogomudo No. 181 Gowok, Catur Tunggal, Depok Sleman Yogyakarta

Pendidikan                  : TK PERTIWI Pangkajene, Sidrap lulus tahun 1987

                                      SDN 1 Pangkajene, Sidrap lulus tahun 1993.   

                                      I’dadiyah DDI Mangkoso Barru lulus tahun 1994.

                                      Mts Putra DDI Mangkoso Barru lulus tahun 1997.

                                      MA Putra DDI Mangkoso, Barru, Lulus tahun 2000.

                                      Masuk UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2000.

Organisasi                   : 1. Ketua Gaswes DDI Mangkoso (1997-1998)

2. Wakil Bendahara Umum HMI Komisariat Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. (2001-2002).

3. Ketua Umum HMI Komisariat Syari’ah (2002-2003)

                                      4. Bendahara Umum HMI Cabang Jogjakarta (2004-2005)

                                                  

 

 

 

 


[1](An-Nawa>wi>, S{ah{ih} Muslim Bisyarh an-Nawa>wi>, kitab Fadail, bab Wuju>bun Imsa>lun Ma>qa>luhu Syar’an Du>na Ma>zakaruhu SAW (Mesir: Mat ba>ah Wa Maktabah, 1942), 15 : 118, , Hadis S{ah{ih}} Riwayat Muslim dari ‘Aisyah dari S{abit dari Anas

 

[2]) Muhammad dan Sholikul Hadi,Pegadaian Syari’ah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), hlm 1-3

[3]) Al-Baqarah, (2) : 283

 

[4]) As-Sayyid sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), III : 187.

[5]) Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba Utang Piutang Gada, Cet. Ke-2          (Bandung: al- Ma’arif, 1983), hlm. 50.

 

[6]) Ibid.

 

[7]) Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. Ke-4 (Yogyakarta: Liberty,2000), hlm. 28

[8] ) Ibid, hlm. 31.

[9]) Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam ….. hlm. 56

[10]) Sayyid Sabiq, Fiqh ….. hlm. 188-189.

 

[11]) Al-ha>fiz Ibn Hajar a>l-‘Asqala.ny, Bulu>g al-Mara>m min Adillati al_Ahka>m, (Semarang: Taha Putra t.t.,),hlm. 182 Bab salam, Qirad dan Rahn,Hadis riwayat H{aris bin Abi Usamah dari Ali bin Abi Thalib.

 

[12]) Abu Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Qudamah, al-Mugny Li Ibni Qudaimah (Riyadh : Mahtabaturriyah al-Hadisah, t.t.,), IV: 426.

[13]) Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda,  Cet. Ke-5, (Yogyakarta : Liberty.1974), hlm. 96-97.

 

[14]) As-Sayyid sabiq, fiqh sunah,alih bahasa H.Kamaruddin A. Marzuki, Jilid 12, Cet. Ke-14, (Bandung : PT. Alma’arif, 1987), hlm. 150.

 

[15]) J. Satrio, Hukum Jaminan, Hakm Jaminan Kebendaan, Cet. Ke-4, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 91.

[16]) H. Chuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer Buku Ketiga, Cet. Ke-2,(Jakarta : LSIK, 1997), hlm 61-62

[17]) Ahmad Azhar Basyir,Asas-asas Hukum Muamalah,edisi revisi, (yogyakarta: UII Press 2000), hlm. 15.

[18]) Asjmuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqhiyah (Qawaidul Fiqhiyyah), Cet.ke-4, (Jakarata: Bulan Bintang, 1976), hlm. 44.

[19]) Muhammad dan Sholikul Hadi, Pegadaian …. hlm. 43.

 

[20]) Ibid. hlm. 45.

[21]) Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial,  Cet.ke-8, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998), hlm. 31.

 

[22]) Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Cet. Ke-22, ( Yogyakarta: Andi Offset, 1990),   hlm. 136

[23]) ibid. hlm. 80

[24] Jamal ad-Din Muhammad bin Mukram al-Ansyari, Lisan al-‘Arab, ( Mesir: Dar al-Fikr, t.t ), XVII: 48.

 

[25] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah  ( Beirut: Dar al-Fikr, t.t ), III: 187.

 

[26] Al-Baqarah (2) : 283.

 

[27] As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah… III : 187.

 

[28] Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Quda>mah, al-Mugni Li Ibni Quda>mah, (Riyad: Mahtabaturriyah al-Hadi>sah, t.t), IV :361.

 

[29] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba Utang Piutang Gadai, (Bandung: al-Ma’arif, 1983), hlm: 50.

[30] Ali Fikri, Al-Mu’amalah al-Ma>ddiyyah Wa al-Adabiyah (Mesir: Da>r al-Fikr, t.t), hlm: 215-216

[31] Al-Baqarah (2): 283.

 

[32] Imam al-Bukha>ri,S}ahih al-Bukha>ri bab Fi Rahni Fi al-Hadits (Beirut: Da>r al-fikr, 1891), III: 1115, Hadis riwayat al-Bukhari dari Musaddad dari Ab al-Wahid dari al-A’mas dari Ibrahim.

 

[33] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Yogyakarta: UII Press, 2000),

hlm : 15-16.

[34] H. Asjmuni Abd. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1976), hlm: 42.

 

[35] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh ‘Ala> al- Maza>hib al-Arba’ah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), II : 320.

 

[36] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>my Wa Adillatuhu, (Beirut: Da>r al-Fkr, t.t), V: 183.

 

[37] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry,Kitab al-Fiqh ‘ala> al-Maza>hi>b …., II : 320

[38] Ahmad Azhar Basyir, Asa-asas …., hlm :  65.

 

[39] Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, t.t), hlm: 21-22.

 

[40] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas….., hlm: 68.

[41] Ibid., hlm: 68-70.

[42] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah Bab Talaq al-Ma’tuhu Wa as}-S}agiru wa an-Na>imu (Beirut: Da>r al-Fikr: t.t), I: 629, Hadis no. 651. Hadis riwayat Ibnu Ma>jah dari Ali bin Abi Tha>lib.

 

 

[43] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh…., hlm: 328.

 

[44] Ibid., hlm: 327.

 

[45] Ahmad Azhar Basyir,  Hukum Islam Tentang …, hlm: 53.

 

[46] Abd. Ar-Rahma>n al- Jazi>ry, Kitab al-Fiqh….., hlm : 329

[47] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang ….,  hlm: 53-54.

 

[48] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas …, hlm: 15-16.

[49] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh…, hlm : 330.

[50] Asy-Syaukani, Nail al-Aut}a>r (Beirut: Da>r al-Fkr, t.t), IV: 264. Hadis riwayat asy-Syafi’I danad-Daruquthni dari Ibn Abi Fudaik dari Ibn Abi Zaib dari Ibn Syiha>b dari Ibn al-Musayyab dari Abi Hurairah.

 

[51] Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm: 376.

[52] Ibn Quda>mah, al-Mugni> Li> Ibn Quda>mah, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah al-‘Arabiyyah, t.t), IV: 426.

[53] Ima>m al-Bukha>ry>, S}ahi>h al-Bukha>ry>….., hlm: 116, Hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah.  

 

[54] Rahmat Syafi’I, Konsep Gadai (rahn) dalam Fiqh Islam : Antara Nilai Sosial dan Nilai Komersial, dalam H. Chuzaimah T. Yanggo, HA. Hafiz Anshary AZ (edt) Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku Ketiga (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), hlm: 69.

[55] Ibnu Qudamah, al-Mugny,…, IV: 426.

 

[56] Rahmat Syafi’I, Problematika …, hlm: 79.

 

[57] al-Baqarah (2): 279.

 

[58] al-Baqarah (2): 280.

[59] Badan Perencanaan Pembangunan daerah Kab. Sidrap, Data pokok Pembangunan Daerah Kab. Sidrap 2003, hlm. III – 1.

 

[60] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sidenreng Rappang, Kecamatan Watang Sidenreng dakam angka 2002, (Cetakan Tahun 2003), hlm: ix.

 

[61] Ibid., hlm: 9-10.

 

[62] Ibid., hlm: 14-15.

[63] Ibid., hlm: 38-39.

[64] Ibid., hlm: 17-19.

[65] Ibid., hlm: 35.

[66] Wawancara dengan H. Langka, Kepala Lingkungan 11 EmpagaE pada tanggal 7 Juli 2004

[67] Ibid.

[68] Wawancara dengan H.Suyuti warga masyarakat di kelurahn EmpagaE pada tanggal 10 Juli 2004.

 

[69] Wawancara dengan Muh. Hatta, kepala urusna pemerintahan Kelurahan Sidenreng. Pada tanggal 15 Juli 2004.

 

[70] Wawancara dengan Nurdin tokoh Masyarakat di Kelurahan Sidenrengpada tanggal 12 Juli 2004.

[71] Ibid.

 

[72] Wawancara dengan Namere staf  Kelurahan Sidenreng pada tanggal 20 Juli 2004.

 

[73] Wawancara dengan Wa’ Niku tokoh masayarakat di kelurahan EmpagaE pada tanggal

 8 Juli 2004.

[74] Wawancara dengan Namere Staf Kelurahan Sidenreng pada tanggal 20 Juli 2004

[75] Al- Baqarah (2) : 283.

[76] Ima>m Muhammad ‘Ali Ibn muhammad as-Sauka>ni>, Fath al-Qadir, (Beirut: Da>r al-Kutub  al-‘ilmiyyah 1410 H/1994 M), I: 383.

 

[77] B. Ter Haar, Asas-asas dan susunan hukum adat (ter), cet. Ke-5 (Jakarta: Pradinya Paramita, 1980), hlm: 109.

 

[78] Ibid., hlm: 112.

[79] Ibid., hlm: 113.

 

[80] As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, cet. Ke-4 (Beirut: Da>r al-Fikr 1403 H/1983 M), III

 

[81] Abu> ‘Abadillah Muhammad Ibn Isma>’I>l Ibn Ibra>hi>m al-Muqi>rah al-Bukha>ri>, Sa|hi>h al-Bukha>ri>,(Beirut : Da>r al-fikr, 1401 H/1981 M), III: 110.

[82] Al- Baqarah (2) : 283.

[83] Al-Ima>m al-Bukha>ri> < S{ahi>h al-Bukha>ri>,“bab Fi> Ra>hn al-Ha>dir”,(Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), III : 115, hadis dari Musaddad dari abd. Al-Wahid dari al-A’mas dari Ibrahim.

   

[84] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang riba, utang piutang, gadai, cet. Ke-II (Bandung: Al-Ma’arif, 1973), hlm: 56-9.

[85] Abdurrahman al-Jazi>li>, Kitab al-Fiqh ‘ala> al-Maz|a>hi>b al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), II : 320.

 

[86] Wahbah az-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi wa ‘Adillaah, cet. Ke-3 (Beirut: Da>r al-Fkr, 1989), V : 185.

 

[87] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah, edisirevisi,(Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm: 15.

 

[88] Abdurrahman al-Jazi>ri>, Kitab al-Fiqh…., II : 330.

        

[89] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang…., hlm. 53-54.

[90] al-Baqarah (2) : 283.

 

[91] Wawancara dengan haji Langka P,kepala lingkungan dua kelurahan Empagae pada tanggal 7 Juli 2004.

[92] Asy-Sayukani, Nail al-‘Aut}a>r, ( Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), IV: 264. Hadis riwayat as-Syafi’I dan ad-Daruquthni dari Ibn Abi Fudaik dari Ibn Abi Zaib dari Ibnu Syihab dari Ibnu al-Musayyab dari Abi Hurairah.

 

[93] Ibn Quda>mah,al-Mugni> Li> Ibnu Quda>ma, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah al-‘Arabiyyah, t.t), IX: 426.

 

[94] Asy-Syauka>ni, Nail al-Auta>r, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1973), V: 353. Hadis Daruqutni> dari Abi Hurairah.

 

[95] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang….., hlm: 56-57

[96] Al-Ma>idah (5) : 2.

[97] Ahmad Azhar Basyir,Asas-asas …., hlm: 15.

 

[98] Asmuni Abdurrahman, Kaedah-kaedah fiqh, (Jakarta : Bulan bintang, 1979), hlm: 82

[99] Al-Baqarah (2) : 276.

 

[100] Al-Baqarah (2) : 275.

[101] Al-Baqarah (2) : 185.

 

[102] Al-Ma>idah (5) : 6.

 

[103] al-Baqarah (2) : 279.

 

[104] Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, Kitab al-‘Ahka>Musykom, bab Man bana> Fi> Ma> Yadurru bi> Ja>ri>h (Beirut: Da>r al-fikr, t.t ), II: 784. Hadis dari “Ubaidah bin S{amit.

 

[105] Asmuni Abdurahman, kaedah-kaedah…, hlm: 82.

 

[106] Ibid., hlm: 35.

GABUNGAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PERSPEKTIF KUHP DAN HUKUM ISLAM (Sebuah Studi Komparatif)

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang Masalah

Setiap individu tidak bisa hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya. Manusia saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya untuk bertahan hidup dan hidup sebagai manusia. Sifat saling tergantung ini menghasilkan bentuk kerjasama tertentu yang bersifat ajeg dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu. Manusia adalah makhluk sosial, itu hampir tidak diragukan lagi. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tersebut maka masing-masing individu memiliki kepentingan-kepentingan yang terwujud dalam bentuk kerjasama bahkan sebaliknya dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan.

Tatanan masyarakat pada umumnya diatur oleh sebuah undang-undang atau peraturan yang menjadi pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku yang terwujud dalam perintah dan larangan. Namun demikian nampaknya perintah dan larangan saja tidak cukup untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu diperlukan adanya norma-norma seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum.

Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak individu pada masyarakat merupakan perwujudan perlindungan masyarakat pada warganya dalam pergaulan hidup bersama. Norma-norma ataupun aturan tersebut kemudian dikenal dengan hukum, yaitu satuan ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tata tertib masyarakat sehingga bagi siapapun yang melanggar tata tertib tersebut maka akan dijatuhi hukuman sebagaimana ketentuan yang ada.

Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan di dunia ini ada seiring dengan perkembangan manusia, kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Di satu sisi manusia ingin hidup secara tentram, damai, tertib dan berkeadilan, artinya tidak diganggu oleh hal-hal yang mengandung unsur kejahatan. Upaya untuk meminimalkan tingkat kejahatan pun terus dilakukan, baik yang bersifat preventif maupun represif, yang bersifat preventif misalnya dengan dikeluarkannya peraturan dan undang-undang. Sedangkan yang bersifat represif yaitu adanya hukuman-hukuman terhadap pihak-pihak yang telah melakukan kejahatan ataupun pelanggaran.

Adanya suatu hukuman yang diancamkan kepada seorang pembuat agar orang banyak tidak memperbuat sesuatu jarimah, sebab larangan atau perintah semata-mata tidak akan cukup. Meskipun hukuman itu sendiri bukan suatu kebaikan, bahkan suatu perusakan bagi si pembuat sendiri. Namun hukuman tersebut diperlukan, sebab bisa membawa keuntungan yang nyata bagi masyarakat.[1] Ketika terdapat seseorang yang berbuat jahat kemudian ia dihukum, maka ini merupakan pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan.

Di samping itu suatu hukuman yang diancamkan terhadap seorang pelanggar, dalam Islam dimaksudkan agar seseorang tidak melanggar jarimah, sangsi itu sendiri pada intinya adalah bukan supaya si pembuat jarimah itu dapat derita karena pembalasan, akan tetapi bersifat preventif terhadap perbuatan jarimah dan pengajaran serta pendidikan.[2]

Pada masa sekarang ini yang menjadi dasar penjatuhan hukuman ialah rasa keadilan dan melindungi masyarakat. Rasa keadilan menghendaki agar sesuatu hukuman harus sesuai dengan besarnya kesalahan pembuat. Dalam KUHP berat ringannya hukuman yang harus dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan lain-lain sudah ada ketentuannya sendiri. Akan tetapi berat ringannya hukuman tersebut belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh para hakim. Hal ini berhubungan dengan adanya batas maksimal dan minimal hukuman yang ada dalam KUHP. Kebanyakan para hakim menjatuhkan hukuman mengambil di antara kedua batas tersebut, dan jarang sekali hakim menjatuhkan hukuman maksimal kecuali dalam kasus tertentu.

Bahkan dalam prakteknya seorang hakim atau penuntut umum dalam melakukan tuntutan dianggap terlalu ringan terutama terhadap pelaku-pelaku tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Dalam hal ini tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan kejahatan atau perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa baik penuntut umum ataupun hakim diharapkan menuntut dan menjatuhkan hukuman yang setimpal, sehingga mempunyai dampak di samping mempunyai aspirasi dan keadilan masyarakat juga merupakan daya tangkal bagi anggota masyarakat yang mempunyai potensi untuk menjadi pelaku tindak pidana (general deterrent effect).[3]

Dalam kehidupan manusia adakalanya sering kita temukan seseorang melakukan perbuatan jarimah tidak hanya murni satu jenis, terkadang terdapat niat untuk melakukan satu macam jarimah, namun yang terjadi justru beberapa jarimah pun dilakukannya. Sebagai contoh misalnya, pada suatu malam A yang tidak mempunyai SIM bahwa ia boleh mengemudi mobil, menjalankan kendaraannya dalam kota dengan kecepatan yang lebih dari 40 km/jam tanpa memasang lampu. Dalam hal ini A telah mengadakan pelanggaran 1) menjalankan kendaraan tanpa mempunyai SIM, 2) melampaui batas kecepatan mobil yang diperbolehkan dalam kota, dan 3) tidak memasang lampu pada waktu malam hari. Dari kasus ini timbul pertanyaan bagaimanakah hukuman yang harus dijatuhkan? Apakah A itu akan dijatuhi tiga hukuman sekaligus (karena mengadakan tiga pelanggaran) ataukah ia dijatuhi hanya satu hukuman saja tetapi yang diterberat?[4]

Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa telah terjadi suatu gabungan melakukan tindak pidana, dimana satu orang telah melakukan beberapa peristiwa pidana. Gabungan melakukan tindak pidana dalam hukum positif sering diistilahkan dengan delik cumulatie atau concursus yang diatur dalam bab VI buku 1 KUHP pasal 63 – 71.

Adanya gabungan peristiwa pidana ini, menimbulkan adanya gabungan pemidanaan. Jadi gabungan pemidanaan ada karena adanya gabungan melakukan tindak pidana di mana masing-masing belum mendapatkan putusan akhir. Dalam sistematika KUHP peraturan tentang perbarengan perbuatan pidana merupakan ketentuan mengenai ukuran dalam menentukan pidana (straftoemeting) yang mempunyai kecenderungan pada pemberatan pidana.[5]

Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP, yaitu:

“Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka hanyalah satu-satu dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai, jika pidana berlain maka yang dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya”.

 

Dari pasal tersebut orang yang melakukan dua atau beberapa tindak pidana sekaligus dapat dikatakan melakukan peristiwa pidana gabungan sebagaimana dimaksud oleh pasal di atas.[6]

Sementara itu dalam hukum Islam gabungan melakukan tindak pidana ini menjadi perdebatan di kalangan para ulama, sebagaimana diketahui bahwa dalam Syariat Islam terdapat bermacam-macam dan berbeda-beda dalam masalah pidananya, sehingga boleh dikatakan bahwa untuk satu jenis pidana tertentu ada hukumnya tersendiri, seperti mencuri dengan hukuman potong tangan, pembunuhan dengan qishos, zina dengan rajam dan lain-lain. Namun perlu ditinjau kembali bahwa tidak semua peristiwa pidana itu ada ketentuannya dalam nash Al Qur’an maupun Sunnah Rosul. Maka dalam hal ini para hakim diberikan wewenang untuk memberikan hukuman atas tindak pidana yang dilakukan secara berbarengan atau bersamaan.

Akibat dari adanya perbedaan jenis hukuman itu, menyebabkan orang merasa tidak perlu untuk memikirkan bagaimana cara menerapkan hukuman, jika seseorang sekaligus melakukan lebih dari satu macam peristiwa pidana oleh karena tidak menghadapi kesukaran apa-apa. Dalam hukum Islam dicontohkan dengan kasus pencurian yang diikuti dengan pemerkosaan dan pembunuhan. Dalam hal ini apakah ia akan dijatuhi tiga hukuman sekaligus yaitu hukuman potong tangan, rajam dan kemudian hukuman qishos, ataukah ia hanya akan menjalani salah satu hukuman yang terberat saja yakni hukuman qishos. Para ulamapun berbeda pendapat mengenai bagaimana pemberian hukuman bagi gabungan perbuatan ini.

Bagaimana Islam memandang masalah ini tentu berbeda dengan pandangan KUHP dalam menyelesaikan gabungan perbuatan ini, dimana hal ini berkaitan erat dengan masalah pemberian pidana yang nentinya akan dijatuhkan.

Adanya perbedaan antara hukum Islam dan KUHP dalam menyelesaikan masalah ini menjadikan dasar bagi penyusun untuk mengadakan penelitian lebih lanjut yaitu dengan cara membandingkan antara keduanya sehingga nampak adanya segi-segi persamaan dan perbedaan antara keduanya.

 


  1. B.     Pokok Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dan agar pembahasan nantinya dapat terarah dengan baik, penyusun perlu mengidentifikasikan pokok-pokok masalah yang perlu dibahas.

Adapun pokok-pokok masalah tersebut adalah:

  1. Ada berapakah teori gabungan melakukan tindak pidana baik dalam hukum Islam maupun KUHP?
  2. Bagaimana pandangan hukum Islam dan KUHP mengenai teori gabungan melakukan tindak pidana?

 

  1. C.    Tujuan dan Kegunaan
    1. Tujuan
      1. Untuk mendeskripsikan bagaimana sistem pemberian pidana bagi suatu jarimah ganda baik menurut hukum Islam maupun KUHP.
      2. Untuk memberikan penjelasan yang lebih mendalam tentang teori gabungan melakukan tindak pidana dalam hukum Islam dan KUHP.

 

  1. Kegunaan
    1. Untuk memberikan pemahaman baru terhadap masalah-masalah yang perlu diselesaikan dengan mengacu pada pasal-pasal KUHP dan teori-teori yang terdapat dalam hukum Islam mengenai teori gabungan pemidanaan
    2. Untuk menambah sumbangan pemikiran pada khasanah ilmu pengetahuan baik hukum Islam maupun KUHP.
    3. D.    Telaah Pustaka

Gabungan pemidanaan atau hukuman ada manakala terdapat gabungan jarimah atau perbuatan pidana dimana masing-masing perbuatan pidana itu belum mendapatkan keputusan tetap. Perbarengan merupakan bentuk permasalahan yang bertalian dengan pemberian pidana. Utrecht mendefinisikan gabungan dengan satu orang melakukan beberapa peristiwa pidana.[7]

Gabungan melakukan tindak pidana ini juga disebut perbarengan perbuatan pidana, hal ini dijelaskan oleh Sahetapy dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana. Dalam buku tersebut dijelaskan mengenai seseorang yang melakukan gabungan tindak pidana akan dijatuhi hukuman maksimal.

Sedangkan menurut rumusan undang-undang yang dimaksud dengan perbarengan perbuatan pidana ialah seseorang melakukan satu perbuatan yang melanggar beberapa peraturan hukum pidana atau melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing perbuatan berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus dan salah satu dari perbuatan pidana itu belum dijatuhi putusan hakim.[8]

Dalam KUHP dan penjelasannya, gabungan peristiwa pidana ini terdapat dalam pasal 63 sampai 71. Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan, terdapat tiga bentuk gabungan perbuatan pidana dan sistem hukuman yang harus diterapkan. Adapun bentuk-bentuk gabungan yang dimaksud adalah pertama, Concursus Idealis atau Eendaadse Samenloop (gabungan satu perbuatan), kedua, perbuatan yang berkelanjutan (diteruskan) atau Voorgezette Handeling, ketiga, Concursus Realis atau Meerdaadse Samenloop.

Sementara itu Muhammad Anwar dalam bukunya Beberapa Ketentuan Umum dalam Buku Pertama KUHP menjelaskan tentang gabungan melakukan tindak pidana mempunyai dua bentuk yaitu concursus idealis dan concursus realis. Hal ini juga dijelaskan oleh E. Utrecht dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana II.

Mas’ad Ma’shum dalam bukunya Hukum Pidana I membahas mengenai sistem pemidanaan bagi gabungan perbuatan pidana, di dalam buku tersebut juga membahas empat macam cara dalam memberikan hukuman bagi seseorang yang melakukan tindak pidana gabungan, keempat cara tersebut adalah[9] pertama, sistem hisapan (absorbtie stelsel), kedua, sistem hisapan yang diperkeras (verscherpte absorotie stelsel), ketiga, sistem cumulatie yang murni (het zuivere comulatie stelsel), keempat, sistem cumulatie yang terbatas (het gemetigde cumulatie stelsel).

Sementara itu dalam menanggapi gabungan hukuman ini dalam hukum Islam, Abdul Qadir Audah juga menjelaskan bahwa pada dasarnya hukum syara’ sudah mengenal gabungan hukuman ini, tetapi tidak menggunakannya secara mutlak.

Hukum Islam membatasinya pada dua hal yaitu 1) teori saling memasuki (at-Tadakhul) yaitu hukuman beberapa jarimah tersebut saling masuk memasuki, sebagian masuk pada sebagian yang lain sehingga untuk seluruh jarimah diberikan satu hukuman, 2) teori penyerapan yaitu mencukupkan pelaksanaan hukuman yang pelaksanaannya menghalangi pelaksanaan hukuman lain.[10] Begitu pula M. Hanafi membahas masalah ini dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana Islam.

Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al Fiqh al – Islam Waadillatuhu dijelaskan mengenai gabungan hukuman bagi pelaku tindak pidana gabungan, dimana tindak pidana gabungan itu tidak terlepas dari tiga kategori yaitu pertama, gabungan jarimah dimana semua hukumannya ialah murni hak Allah, kedua, gabungan jarimah dimana semua hukumannya merupakan hak Allah dan sekaligus hak anak manusia, ketiga gabungan jarimah dimana hukumannya merupakan hak anak manusia murni.

Al-Ramli, dalam kitabnya Nihayah al-Muhtaj, sebagaimana dikutib oleh Ahmad Djazuli dalam bukunya Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam) menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai gabungan dan penyerapan hukuman. Imam Malik misalnya mengenal teori at-Tadakhul yaitu apabila seseorang melakukan jarimah qadhaf dan minum khamr, sesudah itu tertangkap, menurut teori ini, hukumannya cuma satu, yaitu 80 kali jilid. Alasannya karena jenis dan tujuannya sama.

Sedangkan menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam Ahmad, bahwa hukuman mati ini menyerap semua jenis hukuman, demikian pula jika kejahatannya itu berkenaan dengan hak-hak Allah murni. Sedangkan jika kejahatan itu merupakan gabungan antara hak Allah dan hak Adami, maka hukuman yang dijatuhkan adalah hak adami terlebih dahulu, baru hukuman yang berkaitan dengan hak Allah. Menurut Imam Syafi’i, setiap jarimah tidak dapat digabungkan, melainkan harus dijatuhi hukuman satu persatu.[11]

Berdasarkan pada perbedaan pendapat tersebut di atas, dan karena masih minimnya pembahasan secara akademis tentang Gabungan melakukan tindak pidana menurut perspektif Hukum Islam dan KUHP (dalam study komparatif), mendorong penyusun untuk membahas lebih lanjut tentang gabungan hukuman ini dan menurut penyusun kajian ini menjadi sangat penting untuk dibahas.

Sepanjang pengetahuan penyusun ada sebuah skripsi yang membahas mengenai delik gabungan, yang berjudul Pandangan Imam Syafi’i tentang Delik Gabungan dan Akibat Hukumnya yang ditulis oleh Roziqin tahun 2000. Namun skripsi tersebut berbeda dengan yang akan dibahas oleh penulis, karena di dalam skripsi penyusun membahas tentang Gabungan Melakukan Tindak Pidana dalam Perspektif dan Hukum Islam dalam sebuah study komparatif. Jadi penelitian ini jelas berbeda dengan skripsi yang dibahas oleh Roziqin, karena tidak hanya dibahas dalam satu pandangan saja, tetapi dibandingkan antara KUHP dengan Hukum Islam.

 

  1. E.     Kerangka Teoritik

Arti praktis dari seluruh ketentuan tentang perbarengan makin lama makin berkurang seiring dengan perjalanan waktu. Arti praktis justru sebaliknya sebanding dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam yurisprudensi dan ilmu pengetahuan untuk menjernihkan persoalan-persoalan yang timbul. Alasan makin berkurang arti praktisnya dari ketentuan perbarengan, oleh karena dalam praktek hakim menjatuhkan pidana jauh di bawah ketentuan maksimum yang berlaku. Padahal ketentuan pelanggaran adalah penting terutama untuk menentukan diijinkannya pidana maksimum berdasarkan undang-undang.[12]

Pada dasarnya syariat Islam telah memberikan ketentuan bahwa suatu sangsi bagi suatu perbuatan jarimah adalah dengan satu sangsi. Hal ini telah ditetapkan dalam berbagai ayat al-Qur’an di antaranya yaitu:

– ومن جأ بالسيئة فلا يجزى الامثلها وهم لا يظلمون.   [13] 

– وكتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس والعين بالعين والانف بالانف والاذن بالاذن والسن بالسن والجروح قصاص.                           [14]

– وجزؤ اسيئة سيئة مثلها. [15]

– والذين كسيوا السيات جزاء سيئة بمثلها وترهقهم ذلة.  [16]

 

Dengan ketentuan tersebut di atas maka jelas bahwa dalam hukum Islam telah memberikan aturan perundang-undangan yang mendasar terhadap pelaku kejahatan.

Dalam syari’at Islam sendiri persoalan mengenai gabungan pemidanaan ini masih menjadi perdebatan dikalangan para imam madzhab. Dimana ketiga imam madzhab yakni Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad mengakui adanya gabungan pemidanaan ini. Sedangkan Imam Syafi’i tidak memberlakukan adanya gabungan pemidanaan ini namun sebagian ulama Syafi’iyah nampaknya memakai teori gabungan melakukan tindak pidana ini. Sedangkan dalam hukum positif ketentuan mengenai gabungan melakukan tindak pidana ini sudah diatur dalam buku 1 KUHP pasal 63 – 71. Sehingga menjadi asumsi dasar penyelesaian skripsi ini adalah mengadakan klarifikasi antara ketetapan hukum yang sudah ada dalam hukum Islam dan KUHP.

 

  1. F.     Metode Penelitian

Adapun penulisan skipsi ini berdasarkan metode sebagai berikut:

  1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini berdasarkan pada penelitian literer atau pustaka (library research) yaitu dengan menelusuri berbagai sumber kepustakaan yang ada hubungannya dengan permasalahan yang ada yaitu gabungan melakukan tindak pidana yang ditinjau dari KUHP dan hukum Islam.

  1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitik yaitu menggambarkan tentang gabungan melakukan tindak pidana dalam KUHP dan hukum Islam, yang selanjutnya dilakukan analisa dari masing-masing hukum tersebut.

  1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini penyusun menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan melihat ketentuan-ketentuan hukum yang ada dengan maksud memberikan penilaian tentang gabungan melakukan tindak pidana dalam pandangan KUHP dan hukum Islam.

  1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan yaitu dengan memperoleh data primer dan sekunder.

Data-data primer antara lain Abdul Qadir Audah dengan kitabnya at-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamy, Muhammad Abu Zahrah dengan kitabnya al-‘Uqubat: al-jarimah wa al-uqubah fi al Fiqh al Islami, kemudian dari segi hukum positif yaitu KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Sedangkan data sekunder meliputi buku-buku, majalah-majalah, hasil penelitian yang memuat informasi yang relevan dengan pembahasan ini.

  1. Metode Analisis

Dalam menganalisis data yang terkumpul, penyusun menggunakan metode komparatif yaitu menganalisis data dengan membandingkan antara dua hukum yang berbeda yaitu antara KUHP dan hukum Islam mengenai gabungan pemidanaan untuk mencari persamaan dan perbedaan antara keduanya.

 


  1. G.    Sistematika Pembahasan

Agar pembahasan dapat terarah dengan baik, maka pembahasan ini dibagi dalam beberapa bab dan sub bab.

Bab I merupakan pendahuluan, pendahuluan ini mencakup keseluruhan isi yang menjelaskan tentang latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritik, dan metode penelitian, serta sistematika pembahasan.

Bab II merupakan pembahasan mengenai gabungan melakukan tindak pidana (concursus) menurut KUHP, yang berisi tentang pengertian dan dasar hukum, teori gabungan melakukan tindak pidana, dan bentuk-bentuk gabungan melakukan tindak pidana.

Sedang pada Bab III membahas tentang gabungan melakukan tindak pidana menurut hukum Islam, yang terdiri dari pengertian dan dasar hukum, teori gabungan melakukan tindak pidana, dan bentuk-bentuk gabungan melakukan tindak pidana.

Kemudian pada Bab IV menjelaskan tentang analisa perbandingan antara hukum pidana positif atau KUHP dengan hukum Islam, yang mencakup letak persamaan dan perbedaan antara kedua hukum tersebut.

Terakhir, Bab V merupakan akhir dari semua pembahasan yang meliputi kesimpulan dan saran.

 

BAB II

GABUNGAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA (CONCURSUS)

MENURUT KUHP

 

Pengertian dan Dasar Hukum

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pengertian gabungan melakukan tindak pidana maka perlu diketahui bagaimana pendapat para sarjana hukum dalam memberikan definisi mengenai gabungan melakukan tindak pidana ini. Gabungan melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan concursus atau samenloop[17] yang berarti perbarengan melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang.[18]

Dalam KUHP gabungan melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan Samenloop van Strafbare Feiten yaitu satu orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana,[19] sementara itu Mas’ad Ma’shum memberikan definisi gabungan melakukan tindak pidana ini dengan beberapa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang.[20]

Mr. Karni lain lagi, beliau lebih suka memakai istilah “delik yang tertindih tepat” oleh karena pada concursus tersebut nampak beberapa delik yang tertindih tepat yang ditimbulkan oleh perbuatan si pembuat.[21]

Dari pengertian di atas, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu tentang pengertian gabungan melakukan tindak pidana itu sendiri dan mengenai penyertaan dan juga mengenai tindak pidana berulang.

Pada delik penyertaan (delneming) terlibat beberapa orang dalam satu perbuatan yang dapat dihukum, sedangkan pada gabungan beberapa perbuatan atau concursus terdapat beberapa perbuatan yang dapat dihukum yang dilakukan oleh satu orang, sebagaimana dalam recidive. Akan tetapi dalam recividive, beberapa perbuatan pidana yang telah dilakukan diselingi oleh suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap, sehingga karenanya terhukum dinyatakan telah mengulang kembali melakukan kejahatan.

Sementara itu dalam gabungan melakukan tindak pidana, pelaku telah berturut-turut melakukan beberapa perbuatan pidana tanpa memberi kesempatan pada pengadilan untuk mengadili dan menjatuhkan hukuman atas salah satu perbuatan tersebut.[22]

Gabungan melakukan tindak pidana juga sering dipersamakan dengan perbarengan melakukan tindak pidana yaitu seseorang yang melakukan satu perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan hukum atau melakukan beberapa perbuatan pidana yang masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus, dimana salah satu dari perbuatan itu belum mendapatkan keputusan tetap.[23]

Gabungan melakukan tindak pidana (concursus) diatur dalam KUHP mulai pasal 63 sampai 71 buku I Bab VI. Dari pasal-pasal tersebut nantinya dapat menghapus kesan yang selama ini ada dalam masyarakat bahwa seseorang yang melakukan gabungan beberapa perbuatan pidana, ia akan mendapatkan hukuman yang berlipat ganda sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya.

Adapun bunyi pasal-pasal yang menjadi dasar hukum dari gabungan melakukan tindak pidana ini, adalah:

  1. Pasal 63 tentang Concursus Idealis

(1)   Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka hanyalah satu saja dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai; jika pidana berlain, maka yang dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya;

(2)   Kalau bagi sesuatu perbuatan yang dapat dipidana karena ketentuan pidana umum, ada ketentuan pidana khusus, maka ketentuan pidana khusus itu sajalah yang digunakan.

 

Dari pasal di atas maka orang yang melakukan  tindak pidana sekaligus dapat dikatakan melakukan peristiwa pidana gabungan sebagaimana dimaksud oleh pasal ini.

Sedangkan ayat 2 menjelaskan apabila ada sesuatu perbuatan yang dapat dipidana menurut ketentuan pidana yang khusus di samping pidana yang umum, maka ketentuan pidana yang khusus itulah yang dipakai. Ini adalah penjelmaan slogan kuno yang berbunyi lex specialis derogat lex generalis.

  1. Pasal 64 tentang Vorgezette Handeling

(1)   Kalau antara beberapa perbuatan ada perhubungannya, meskipun perbuatan itu masing-masing telah merupakan kejahatan atau pelanggaran, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang berturut-turut, maka hanyalah satu ketentuan pidana saja yang digunakan ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya;

(2)   Begitu juga hanyalah satu ketentuan pidana yang dijalankan, apabila orang disalahkan memalsukan atau merusak uang dan memakai benda, yang terhadapnya dilakukan perbuatan memalsukan atau merusak uang itu;

(3)   Akan tetapi jikalau kejahatan yang diterangkan dalam pasal 364, 373,  379 dan pasal 407 ayat pertama dilakukan dengan berturut-turut, serta jumlah kerugian atas kepunyaan orang karena perbuatan itu lebih dari Rp. 25,- maka dijalankan ketentuan pidana pasal 362, 372, 378, atau 406.

 

Pasal 64 ini menjadi dasar hukum bagi perbuatan yang berkelanjutan yaitu antara perbuatan yang satu dengan yang lainnya ada kaitannya. Tindak pidana yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana yang berkelanjutan seperti pencurian ringan (pasal 364), penggelapan ringan (pasal 373), penggelapan biasa (pasal 372) selanjutnya beberapa penipuan ringan (pasal 379), penipuan biasa (pasal 378), perusakan barang (pasal 407 ayat 1) dan juga perusakan barang biasa (pasal 406).

  1. Pasal 65 tentang Concursus Realis

(1)   Jika ada gabungan beberapa perbuatan, yang masing-masingnya harus dipandang  sebagai satu perbuatan bulat dan yang masing-masingnya merupakan kejahatan yang terancam dengan pidana pokoknya yang sama, maka satu pidana saja yang dijatuhkan;

(2)   Maksimum pidana itu ialah jumlah maksimum yang diancamkan atas tiap-tiap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari yang terberat ditambah sepertiganya.

 

Apa yang tersirat dalam pasal 65 ini  adalah bentuk gabungan beberapa kejahatan (concursus realis). Apabila terdapat seseorang yang melakukan beberapa kejahatan, akan dijatuhi satu hukuman saja apabila hukuman yang diancamkan adalah sejenis hukuman mana  tidak boleh lebih dari maksimum bagi kejahatan yang terberat ditambah dengan sepertiganya. Pasal 65 ini membahas tentang gabungan kejahatan yang hukumannya sejenis.

  1. Pasal 66 KUHP

(1)   Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan bulat (yang berdiri sendiri), dan merupakan beberapa kejahatan, yang atasnya ditentukan pidana pokok yang tidak semacam, maka setiap pidana itu dijatuhkan,  tetapi jumlah lamanya tidak boleh melebihi pidana yang  tertinggi ditambah sepertiganya;

(2)   Dalam hal itu pidana denda dihitung menurut lamanya maksimum pidana kurungan pengganti yang ditentukan untuk perbuatan itu.

 

Pasal 66 ini juga menjadi dasar hukum bagi gabungan beberapa perbuatan (concursus realis) hanya bedanya hukuman yang diancamkan bagi kejahatan-kejahatan itu tidak sejenis. Maka dari itu hukuman yang dijatuhkan tidak hanya satu melainkan tiap-tiap perbuatan itu dikenakan hukuman, namun jumlah semuanya tidak boleh lebih dari hukuman yang terberat ditambah  dengan sepertiganya bagi hukuman denda diperhitungkan hukuman kurangan penggantinya.

  1. Pasal 67 KUHP

Pada pemidanaan  dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, tidak dapat dijatuhkan di sampingnya pidana lain daripada pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang  yang telah disita, dan pengumuman keputusan hakim.

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa hukuman kurungan dan hukuman denda tidak dapat dijatuhkan berdampingan dengan hukuman mati atau hukuman seumur hidup yang dikenakan.

  1. Pasal 68 KUHP

(1)   Dalam hal ihwal yang tersebut dalam pasal 65 dan 66 maka tentang pidana tambahan berlaku ketentuan yang berikut di bawah ini:

Ke-1    Pidana mencabut hak yang sama dijadikan satu pidana, lamanya, sekurang-kurangnya dua tahun, selama-lamanya lima tahun lebih dari pidana pokok atau pidana pokok yang dijatuhkan lain dari denda, dijadikan satu pidana sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun; (KUHP pasl 38)

Ke-2    Pidana mencabut hak yang berlain-lainan, dijatuhkan masing-masing bagi tiap-tiap kejahatan dengan tidak dikurangi;

Ke-3    Pidana merampas barang, begitu juga pidana kurungan pengganti jika barang itu tidak diserahkan, dijatuhkan masing-masing bagi tiap-tiap kejahatan yang tidak dikurangi.

(2)   Jumlah pidana kurungan pengganti itu lamanya tidak lebih lama dari delapan bulan.

 

Pasal di atas berbicara mengenai apabila seorang hakim akan menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu yang sama jenisnya. Lamanya pencabutan harus sama dengan  lamanya hukuman penjara atau hukuman kurungan yang dijatuhkan, ditambah dengan sedikit-dikitnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun.

Apabila hukuman tersebut tidak sama jenisnya, pencabutan hak itu dijatuhkan pada tiap-tiap kejahatan yang dituduhkan, tanpa dikurangi.  Demikian pula apabila dijatuhkan hukuman tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dari hukuman kurungan pengganti itu tidak diserahkan, maka tiap-tiap hukuman harus dijatuhkan tanpa dikurangi, sementara itu hukuman pengganti lainnya tidak boleh lebih dari delapan bulan.

  1. Pasal 69 KUHP

(1)      Perbandingan berat pidana pokok yang tidak semacam, ditentukan menurut urutan pada pasal 10;

(2)      Dalam hal hakim dapat memilih antara beberapa macam pidana pokok, maka untuk perbandingan hanya pidana yang terberat saja yang dapat dipilihnya;

(3)      Perbandingan beratnya pidana pokok yang semacam, ditentukan oleh maksimumnya;

(4)      Perbandingan lamanya pidana pokok yang tidak semacam, maupun pidana pokok yang semacam ditentukan pula oleh maksimumnya.

 

Sebagaimana diketahui bahwa hukuman terdiri dari dua macam yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan yang ketentuannya terdapat dalam pasal 10, apabila terdapat dua hukuman yang berbeda maka diharapkan dipilih hukuman yang  terberat, perbandingan lamanya hukuman yang tidak sejenis ditentukan oleh maksimumnya.

  1. Pasal 70 KUHP

(1)   Jika ada gabungan secara yang termaktub dalam pasal 65 dan 66 antara pelanggaran dengan kejahatan atua antara pelanggaran dengan pelanggaran, maka dijatuhkan pidana bagi tiap pelanggaran itu dengan tidak dikurangi.

(2)   Untuk pelanggaran jumlah pidana kurungan dan pidana kurungan pengganti, tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan dan jumlah pidana kurungan pengganti tidak boleh melebihi delapan bulan.

 

Pasal 70 ini memuat tentang gabungan kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran. Maka dalam hal ini setiap kejahatan harus dijatuhi hukuman tersendiri begitu juga dengan pelanggaran harus dijatuhkan hukuman sendiri-sendiri. Apabila terdapat hukuman kurungan maka hal ini tidak lebih dari satu tahun empat bulan sedang apabila mengenai hukuman kurungan pengganti denda tidak boleh lebih dari delapan bulan.

  1. Pasal 70  bis

Dalam melakukan pasal 65, 66 dan 70 maka kejahatan yang diterangkan dalam pasal 302, ayat (1), 352, 364, 373, 379, dan 482 dianggap sebagai pelanggaran,[24] tetapi jika dijatuhkan pidana penjara jumlah pidana ini bagi kejahatan-kejahatan tersebut tidak boleh melebihi delapan bulan.

Untuk menjalankan peraturan dalam pasal 65, 66, dan 70 maka untuk kejahatan ringan harus dijatuhi hukuman sendiri-sendiri, dengan ketentuan apabila dijatuhi hukuman penjara maka tidak boleh lebih dari delapan bulan.

  1. Pasal 71 KUHP

(1)    Kalau seseorang, sesudah dipidana disalahkan pula berbuat kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan sebelum ia dipidana itu, maka pidana yang dahulu itu turut dihitung, dengan menggunakan ketentuan dalam bab ini dalam hal perkara-perkara itu, kecuali yang ditentukan dalam ayat berikut.

(2)    Kalau seseorang, sesudah dipidana penjara seumur hidup, disalahkan pula berbuat kejahatan yang dilakukan sebelum ia dipidana, dan yang diancam dengan pidana mati, maka dapat dijatuhkan pidana mati.[25]

 

Perbuatan yang dilakukan dalam bentuk gabungan tidak senantiasa dapat diadili sekaligus dalam waktu yang sama.

Dari pasal-pasal di atas maka dapatlah diketahui bagaimana sistem pemberian hukuman bagi pelaku tindak pidana gabungan.

 

Teori Gabungan Melakukan Tindak Pidana

Pokok persoalan dalam gabungan melakukan tindak pidana adalah mengenai bagaimana sistem pemberian hukuman bagi seseorang yang telah melakukan delik gabungan, sebagaimana dijelaskan dalam bab pertama bahwa dalam KUHP terdapat empat teori yang dipergunakan untuk memberikan hukuman bagi pelaku tindak pidana gabungan, yaitu:[26]

1.   Absorbsi Stelsel

Dalam sistem ini pidana yang dijatuhkan ialah pidana yang terberat di antara beberapa pidana yang diancamkan.

Dalam hal ini seakan-akan pidana yang ringan terserap oleh pidana yang lebih berat. Kelemahan dari sistem ini ialah terdapat kecenderungan pada pelaku jarimah untuk melakukan perbuatan pidana yang lebih ringan sehubungan dengan adanya ancaman hukuman yang lebih berat.

Dasar daripada sistem hisapan ini ialah pasal 63 dan 64, yaitu untuk gabungan tindak pidana tunggal dan perbuatan yang dilanjutkan.

2.   Absorbsi Stelsel yang  Dipertajam

Dalam sistem ini ancaman hukumannya adalah hukuman yang terberat, namun masih harus ditambah 1/3 kali maksimum hukuman terberat yang disebutkan. Sistem ini dipergunakan untuk gabungan tindak pidana berganda dimana ancaman hukuman pokoknya ialah sejenis. Adapun dasar yang digunakan adalah pasal 65.

3.   Cumulatie Stelsel

Adalah sistem cumulasi yang semua ancaman hukuman dari gabungan tindak pidana tersebut dijumlahkan, tanpa ada pengurangan apa-apa dari penjatuhan hukuman tersebut.

Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda terhadap pelanggaran dengan pelanggaran dan kejahatan dengan pelanggaran. Dasar hukumnya adalah pasal 70 KUHP.


4.   Cumulatie yang Diperlunak

Yaitu tiap-tiap ancaman hukuman dari masing-masing kejahatan yang telah dilakukan, dijumlahkan seluruhnya. Namun tidak boleh melebihi maksimum terberat ditambah sepertiganya.

Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda, dimana ancaman hukuman pokoknya tidak sejenis. Adapun dasar hukum sistem ini adalah pasal 66 KUHP.

Dari keempat stelsel di atas yang sering dipergunakan hanyalah tiga, yaitu sistem absorbsi, absorbsi yang dipertajam, dan cumulasi yang diperlunak. Sementara itu cumulatie murni tidak pernah dipergunakan dalam praktek, karena bertentangan dengan ajaran samenloop yang pada prinsipnya meringankan terdakwa.[27]

Sebagaimana diketahui bahwa adanya gabungan perbuatan maka menimbulkan adanya gabungan pemidanaan. Abdul al Qadir Audah dalam kitabnya Al-Tasyri’ al Jinaiy al Islami menjelaskan bahwa menurutnya dalam hukum positif terdapat tiga metode yang berkaitan dengan gabungan jarimah ini, yaitu:

  1. Metode Penggabungan (al-Jam’u). Metode ini menghendaki diterapkannya atas pelaku kejahatan, hukuman bagi tiap-tiap kejahatan yang dilakukan, teori ini disebut juga dengan teori kumulasi atau teori berganda.
  2. Metode Penyerapan (al-Jabbu) yaitu memberikan hukuman yang paling berat di antara hukuman-hukuman yang lain yang harus diberikan. Metode ini menghendaki agar pelaku kejahatan tidak menerima hukuman kecuali hukuman yang paling berat atas beberapa jarimah yang dilakukannya. Teori ini disebut juga teori Absorbsi.
  3. Metode Pencampuran (al-Mukhtalath) yaitu adanya penggabungan beberapa jenis hukuman namun tidak melampaui batas tertentu.[28]

Pembahasan mengenai sistem hukuman tersebut di atas selanjutnya akan dibahas dalam bentuk-bentuk gabungan melakukan tindak pidana menurut KUHP.

 

Bentuk-Bentuk Gabungan Melakukan Tindak Pidana

Gabungan hukuman terjadi ketika terdapat gabungan melakukan tindak pidana. Gabungan melakukan tindak pidana hanya ada ketika seseorang melakukan beberapa jarimah sebelum ada ketetapan hukum final terhadap satu atau lebih perbuatan-perbuatan itu. Menurut ilmu hukum, dalam hukum positif terdapat tiga bentuk gabungan melakukan tindak pidana, yaitu:

  1. Gabungan satu perbuatan / concursus idealis / Eendaadse Samenloop
  2. Perbuatan berlanjut / Voorgezette Handeling   
  3. Gabungan beberapa perbuatan / concursus realis / Meerdaadse Samenloop

Adapun penjelasan dari ketiga bentuk gabungan tindak pidana tersebut adalah sebagai berikut:

 

  1. Gabungan satu perbuatan atau concursus idealis atau eendaadse samenloop

Yaitu gabungan suatu perbuatan apabila seseorang melakukan suatu perbuatan dan dengan melakukan perbuatan itu ia melakukan pelanggaran atas beberapa peraturan pidana.[29]

Concursus idealis ini  diatur dalam pasal 63 ayat (1) KUHP, yaitu:

“Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka hanyalah satu saja dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai; jika pidana  berlain, maka yang dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya”.

Gabungan satu perbuatan (concursus idealis) menurut pasal 63 ini adalah melakukan suatu perbuatan yang di dalamnya termasuk beberapa ketentuan pidana yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara yang satu tanpa menghapuskan yang lain (conditio sine quanon).[30]

Yang menjadi pokok persoalan dalam concursus idealis ini adalah mengenai pengertian suatu perbuatan (feit). Pertanyaan apakah suatu perbuatan itu dapat dikatakan sebagai gabungan perbuatan bersamaan, ternyata sulit untuk menjawabnya. Ilmu pengetahuan dan pengalaman masih selalu mencari batas yang dapat dipakai untuk semuanya, meskipun dari  beberapa putusan hakim sudah dapat dilihat adanya beberapa petunjuk, putusan masih juga sedikit banyak berdasarkan pertimbangan kasuistis. Dalam perkembangannya pengertian mengenai feit ini bermacam-macam. Pendapat lama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan feit adalah perbuatan material.[31]

Jonkers berpendapat sebagaimana dikutip oleh E. Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana mendefinisikan satu perbuatan itu merupakan perbuatan yang dapat dihukum apabila suatu perbuatan yang dapat dihukum tidak dapat masuk dalam beberapa peraturan hukuman, karena setiap perbuatan yang dapat dihukum sudah memiliki peraturan hukum sendiri-sendiri. Hal ini berarti perbuatan mempunyai arti materiil artinya bahwa suatu perbuatan pidana itu harusnya benar-benar terjadi. Sementara itu pengarang-pengarang klasik seperti Van Hamel, Simons dan Zevenbergen menafsirkan feit sebagai satu perbuatan fisik (Lichamelijke Handeling). Vos membuat pula satu perumusan jelas tentang feit sebagai satu perbuatan fisik, yaitu perbuatan materiil atau perbuatan fisik, adalah perbuatan yang dilihat terlepas dari akibat yang ditentukan oleh perbuatan itu, terlepas dari unsur-unsur subyektif (kesalahan) dan terlepas pula dari semua unsur-unsur yang menyertai.[32]

Sebagai contoh misalnya seseorang  yang mengendari sepeda motor pada malam hari dan juga dalam keadaan mabuk, dengan kendaraan tanpa lampu dan tanpa SIM. Dalam kasus ini apabila diterapkan dalam pengertian satu perbuatan secara materiil maka kasus tersebut hanyalah terdapat satu perbuatan atau satu gerakan badan atau tindakan fisik semata, sehingga kasus inipun merupakan gabungan  satu perbuatan sebagaimana yang terdapat dalam Arrest Hoge Road tanggal 26 Mei 1930. Namun demikian, hal ini tidak dapat memberikan kepuasan hukum karena pada dasarnya hukum pidana tidak mempersoalkan gerakan-gerakan badan. Berangkat dari kasus tersebut maka pada tanggal 15 Pebruari 1932 Hoge Road merubah pendiriannya yang mana hal itu bertentangan dengan Hoge Road tanggal 26 Mei 1930.  Menurut Hoge Road 15 Pebruari 1932 dalam kasus tersebut di atas orang tersebut melakukan  dua macam pelanggaran yang masing-masing berdiri sendiri dan berlainan sifat.[33]

Kedua perbuatan tersebut tidak dapat dianggap menghasilkan gabungan dari satu perbuatan dengan pertimbangan:

  1. Bahwa ciri dari perbuatan pertama harus dicari di dalam situasi dimana seseorang berada, sedangkan yang kedua di dalam keadaan kendaraan bermotornya. Bahwa kedua perbuatan tersebut harus dipandang dari sudut hukum pidana, terlepas satu sama lain.
  2. Bahwa kebersamaan kejadian adalah bukan sesuatu hal yang sesungguhnya harus timbul, berhubung perbuatan yang pertama tidak menimbulkan yang kedua maka dari perbuatan yang pertama tidak dapat dianggap sebagai dalam keadaan dimana perbuatan yang lain berada.[34]

 

Ada beberapa pendapat dari pakar hukum pidana tentang gabungan melakukan tindak pidana, adapun menurut Van Hattum sebagaimana yang ditulis oleh:

  1. Wirdjono Prodjodikoro dalam bukunya memberikan alasan dari perubahan Yurisprudensi Hoge Road 30 Mei 1930 dengan Hoge Road tanggal 15 Pebruari 1932, adalah:[35]
    1. Bahwa pada pactum perbuatan seorang mabuk, hal yang menentukan ada dalam keadaan si pelaku, sedangkan pada pactum mengendarai mobil tanpa 2 lampu, hal yang menentukan ialah keadaan mobilnya, maka ini dianggap ada 2 perbuatan.
    2. Bahwa kedua perbuatan ini dalam gagasan seseorang dapat dipandang lepas satu dari yang lain.
    3. Bahwa tiap-tiap perbuatan ini masing-masing merupakan suatu tindak pidana yang berdiri sendiri dan yang bersifat berlainan satu dari yang lain.
    4. Bahwa tiap-tiap perbuatan itu yang satu tidak diliputi oleh yang lain.
    5. Bahwa dari kedua perbuatan itu yang satu tidak diliputi oleh yang lain.
    6. Bahwa satu dari kedua perbuatan itu tidak dapat dianggap suatu keadaan yang di dalamnya perbuatan yang lain dilakukan.
    7. Bahwa kedua perbuatan itu dapat nampak dan dikonstatir terlepas satu dari yang lain dan mungkin pada waktu-waktu yang berlainan.

 

Pada tanggal 6 Juni 1932 muncul lagi keputusan Hoge Road dalam kasus yang berbeda yaitu menangkap ikan dengan alat penangkap ikan  yang dilarang, kecuali dengan  surat ijin, dan dilakukan di perairan. Dengan tidak ada ijin dari yang punya, biarpun merupakan suatu perbuatan adalah dua perbuatan yang sifatnya berlainan yang senyatanya terpisah satu sama lain. Keputusan inipun ternyata belum juga dapat memenuhi rasa keadilan dari perasaan hukum sehingga muncul Arrest Hoge Road yang  lain seperti pada tanggal 24 Oktober 1932.[36]

Yurisprudensi Hoge Road tahun 1932 tersebut kemudian disusul oleh arrest-arrest yang lain; pada tanggal 1 Mei 1934 muncul kembali Arrest Hoge Road yang ini diharapkan dapat memberikan solusi dari makna satu perbuatan ini yang menjelaskan bahwa yang  dimaksud dengan satu perbuatan dalam pasal 63 ialah sebagai sebutan untuk segala tindakan yang dapat dihimpun di dalam satu ketentuan pidana.

  1. POMPE: Hukum tidak mengenal gerakan otot atau gerakan-gerakan badan tetapi berbagai tujuan atau satu tujuan yang harus dicapai oleh sesuatu tindakan, tujuan yang khas dari tindakan itu adalah menentukan jawaban atas pertanyaan: “Apakah terdapat gabungan satu perbuatan atau gabungan dari beberapa perbuatan?” Satu perbuatan yang dimaksud dalam pasal 63 harus dipandang dari sudut hukum  pidana.
  2. VOS: Hanya terdapat gabungan satu perbuatan, apabila hanya terjadi satu peristiwa yang nyata dan tegas atau apabila terdapat beberapa akibat yang nyata atau perbuatan yang satu merupakan conditio sine quanon dari perbuatan lain.
  3. Taverne: gabungan beberapa perbuatan terjadi apabila tindakan yang berbeda dari sudut hukum pidana inconcreto dapat dianggap satu sama lain terlepas.
  4. V. Bemmelen: Gabungan satu perbuatan atas beberapa perbuatan pidana adalah tergantung pada terlanggarnya satu atau beberapa kepentingan  hukum atau apakah terdakwa dengan melakukan perbuatan yang satu dengan sendirinya melakukan perbuatan yang lain.[37]

Dari berbagai pendapat serta arrest-arrest Hoge Road tersebut di atas ternyata belum memberikan dasar yang tegas, namun demikian adanya pemaknaan satu perbuatan ke dalam pengertian materiil yaitu gerakan badan sebenarnya sudah dapat dijadikan sebagai dasar bagi gabungan pidana ini.

Pasal 63 KUHP yang merupakan dasar dari concursus idealis dapat diketahui bahwa dalam concursus idealis ini menganut sistem pemidanaan absorbsi atau penyerapan. Dalam absorbsi ini pidana yang dijatuhkan bagi seseorang yang telah melakukan gabungan tindak pidana yaitu hanyalah satu jenis hukuman. Dimana hukuman tersebut seakan-akan menyerap semua hukuman-hukuman yang lain yang diancamkan kepada orang tersebut. Pada umumnya hukuman yang dimaksud adalah hukuman yang terberat di antara hukuman-hukuman lain yang diancamkan. Adanya kesan selama ini bahwa adanya gabungan dalam pidana merupakan ketentuan mengenai ukuran dalam menentukan pidana yang mempunyai kecenderungan dalam pemberatan pidana, namun dalam kenyataannya adanya gabungan ini justru hukumannya lebih ringan, walaupun pada awalnya ketentuan pemberatan itu sudah tercantum dalam pasal 18 ayat 2 KUHP, yang berbunyi:

Pidana itu boleh dijatuhkan selama-lamanya satu tahun empat bulan dalam hal hukuman melebihi satu tahun, sebab ditambahi karena ada gabungan kejahatan, karena berulang melakukan kejahatan atau karena ketentuan pasal 52.[38]

 

Di samping adanya faktor gabungan yang menjadikan suatu hukuman lebih berat, di sisi lain hakim juga memperhatikan berbagai hal yang berkaitan dengan pemberian pidana.

Di dalam konsep Usul Rancangan KUHP Baru ke I tahun 1982, pedoman pemberian pidana ini diperinci sebagai berikut:

Dalam pemidanaan hakim mempertimbangkan:

Ke 1    :  Kesalahan pembuat;

Ke 2    :  Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana;

Ke 3    :  Cara melakukan tindak pidana;

Ke 4    :  Sikap batin pembuat;

Ke 5    :  Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat;

Ke 6    :  Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

Ke 7    :  Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;

Ke 8    :  Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.[39]

 

Mengapa hanyalah hukuman yang terberat saja yang dijatuhkan, tidak semua hukuman yang diancamkan. Mengingat orang tersebut telah melakukan banyak kejahatan yang membuat masyarakat resah. Keadilan yang diharapkan masyarakat seakan pudar secara pelan-pelan dengan adanya undang-undang yang menyatakan bahwa seseorang yang melakukan gabungan pidana hanya akan mendapatkan satu  jenis hukuman yakni hukuman yang terberat saja yang diharapkan hukuman yang terberat tersebut sudah  menghisap perbuatan yang  ringan. Alasan yang menjadi dasar aturan ini  adalah bahwa setiap satu perbuatan hanya boleh dijatuhi satu hukuman.

  1. Perbuatan berlanjut atau voorgezette handeling

Yang dimaksud dengan perbuatan yang dilanjutkan ialah beberapa perbuatan dimana antara satu dengan yang lainnya ada kaitannya, namun masing-masing berdiri sendiri, yang harus dipandang sebagai satu perbuatan yang dilanjutkan.[40]

Dasar hukum dari perbuatan yang dilanjutkan ini adalah pasal 64 (1) yaitu:

“Kalau antara beberapa perbuatan ada perhubungannya, meskipun perbuatan itu masing-masing telah merupakan kejahatan atua pelanggaran, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang berturut-turut, maka hanyalah satu ketentuan pidana saja yang digunakan ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya”.[41]

 

Dari bunyi pasal tersebut maka adanya perbuatan yang saling berhubungan satu sama lain dan bukanlah satu kesatuan dari perbuatan sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut. Adanya bermacam-macam bentuk hukuman sebagaimana yang terdapat dalam pasal 10 KUHP menjadikan dalam delik gabungan ini adakalanya ditemukan delik gabungan yang mempunyai akibat hukum yang berbeda.

Sebagai contoh misalnya terdapat dua delik  yang mempunyai akibat hukum yang berbeda yang semuanya dijatuhi hukuman pokok padahal sebagaimana diketahui bahwa setiap bentuk pidana mempunyai satu ketentuan hukum dan peraturan hukum tersendiri.

Berangkat dari pasal tersebut, apabila terdapat 2 atau lebih ketentuan pidana dalam kejahatan atau pelanggaran maka yang digunakan ialah satu ketentuan saja yakni ketentuan yang terberat pidana pokoknya. Dalam hal ini berarti dianut sistem absorbsi sebagaimana dalam gabungan satu perbuatan yaitu sistem penyerapan dimana hukuman yang berat seakan-akan menyerap hukuman yang ringan.

Sebenarnya hubungan yang bagaimanakah yang harus ada antara perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, agar dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilanjutkan? Dalam pasal 64 tersebut di atas tidak memberikan ketentuan-ketentuan atau batas-batas mengenai hal ini. Batas-batas inipun tidak pula dijelaskan dalam undang-undang yang lain, sehingga mengenai hal inipun diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktek-praktek hukum di pengadilan.

Menurut Memorie Van Toelighting (M.V.T.) mengenai hal ini menentukan  syarat-syarat mengenai perbuatan berlanjut, yaitu:[42]

 

  1. Harus ada satu keputusan kehendak yang terlarang

Satu kehendak yang dimaksud adalah satu tujuan yang hendak dicapai dilarang untuk melaksanakan kejahatan yang jelas-jelas dilarang oleh undang-undang.

Dalam hal ini dicontohkan: seorang pelayan yang mencuri uang majikannya, berpikir, kalau ia mencuri uang sekaligus dalam jumlah yang banyak, akan ketahuan, tapi kalau ia ambil secara berangsur-angsur maka majikannya tidak akan mengetahuinya  karena jumlah uang itu demikian banyaknya. Keinginan  untuk mencuri uang itu sudah merupakan satu keputusan kehendak yang mempunyai satu tujuan yang mana untuk memiliki uang tersebut yang dilakukan dengan cara mencurinya dengan secara berangsur-angsur dari hari ke hari agar tidak dapat diketahui oleh yang punya uang tersebut. Hal inilah yang dinamakan dengan perbuatan berlanjut.

  1. Perbuatan-perbuatan itu harus sama atau sejenis

Artinya perbuatan-perbuatan itu terdapat persamaan bentuk ataupun jenisnya, seperti kejahatan dengan kejahatan atua pelanggaran dengan pelanggaran.

Adanya kejahatan dalam bentuk biasa juga terdapat kejahatan yang sama tapi dalam keadaan yang hukumannya lebih berat ataupun  lebih ringan. Seperti pencurian yang diikuti dengan perusakan, pembunuhan dengan pembunuhan yang tidak disengaja, dan lain-lain.

Pasal 64 ayat (2) ini terdapat sedikit pengecualian dalam masalah ini, adanya seseorang yang dipersalahkan telah memalsukan uang dan juga merusak uang dan memakai benda maka hal ini termasuk dalam perbuatan berlanjut meskipun jenis perbuatannya tidak sama bentuk atau jenisnya.[43]

Di samping itu ayat-ayat dari pasal 64 memberikan kesan, bahwa pembuat undang-undang tidak juga lekas memandang gampang akan adanya persamaan macam di antara perbuatan-perbuatan itu. Oleh karena itu, pembuat undang-undang perlu memandang secara sengaja menyamakan dua rupa perbuatan yang sifatnya agak berlainan dengan menetapkan bahwa terhadap kejahatan pemalsuan dan kerusakan mata uang dan terhadap menggunakan perabot untuk melakukan kejahatan tersebut, hanyalah dikenakan satu macam ketentuan hukuman.[44]

  1. Jangka waktu antara perbuatan yang satu dengan yang lainnya tidak boleh terlalu lama, artinya perbuatannya itu berjalan secara terus menerus bahkan dapat sampai bertahun-tahun, tapi jarak antara perbuatan yang satu dengan yang lainnya itu tidak terlalu jauh, syarat ini sesuai dengan faham “lanjutan”.[45]

Adanya ketiga syarat tersebut di atas, sampai saat ini masih dipertahankan oleh yurisprudensi Indonesia.

Munculnya perbuatan berlanjut maka tak lepas dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh adanya perbuatan ini. Akibat-akibat itu terwujud dalam penentuan ukuran hukuman yakni hanya satu saja hukuman yang dijatuhkan yakni hukuman yang terberat. Dari sini pula dapat diketahui bahwa perbuatan berlanjut tiap-tiap perbuatan merupakan tindak pidana masing-masing, hanya untuk menjatuhkan hukumannya saja dianggap satu. Sedangkan di dalam hal perbuatan yang berlangsung terus menerus, hanya terdapat satu perbuatan pidana.

Perbuatan lanjutan memiliki perbedaan dengan tindak pidana kebiasaan, dan tindak pidana lanjutan, yakni sebagai ciri khas dalam tindak pidana kebiasaan perbuatannya sendiri-sendiri dalam secara keseluruhan taupun tidak dapat dihukum. Kebiasaan itu dapat merupakan masalah yang menetapkan hukuman ataupun masalah yang dapat memperberat hukuman. Perbuatan dalam perbuatan lanjutan sudah dapat dihukum secara tersendiri. Sedangkan pada tindak pidana lanjutan terdapat hanya satu perbuatan yang dapat dihukum.[46]

 

  1. Gabungan beberapa perbuatan atau concursus realis atau meerdaadse samenloop

Yaitu apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, perbuatan-perbuatan mana berdiri sendiri dan masing-masing merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang berupa kejahatan dan atau pelanggaran terhadap kejahatan dan atau pelanggaran mana belum ada  yang dijatuhkan hukuman oleh pengadilan dan akan diadili sekaligus oleh pengadilan.[47]

Istilah lain dari gabungan beberapa perbuatan ini adalah meerdadse samenloop. Dasar hukum dari gabungan beberapa perbuatan terdapat dalam pasal 65, yaitu:

(1)   Jika ada gabungan beberapa perbuatan, yang masing-masingnya harus dipandang  sebagai satu perbuatan bulat dan yang masing-masingnya merupakan kejahatan yang terancam dengan pidana pokoknya yang sama, maka satu pidana saja yang dijatuhkan;

(2)   Maksimum pidana itu ialah jumlah maksimum yang diancamkan atas tiap-tiap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari yang terberat ditambah sepertiganya.

 

Dari pasal 65 di atas maka terdapat lebih dari satu perbuatan yang diancam  pidana, dari sini maka dapat diketahui bahwa apabila terdapat seseorang yang melakukan beberapa kejahatan akan mendapatkan satu hukuman saja dengan syarat hukuman itu sejenis seperti hukuman penjara dengan hukuman penjara.[48]

Dalam concursus realis ini, KUHP mengenal tiga bentuk perbarengan, yaitu:

  1. Perbarengan kejahatan yang diancam dengan  pidana sejenis;
  2. Perbarengan kejahatan yang diancam dengan pidana yang tidak sejenis;
  3. Perbarengan pelanggaran dengan masing-masing pidananya berdiri sendiri.[49]

Dari ketiga bentuk concursus realis ini maka sistem hukuman yang dipakai antar satu dengan yang lainnya berbeda. Berangkat daripada itu muncul tiga ketentuan yang dipakai untuk menentukan berat ringannya hukuman yang nantinya akan dijatuhkan.

Adapun ketiga ketentuan tersebut adalah:

  1. Sistem absorbsi yang dipertajam
  2. Sistem kumulasi terbatas
  3. Sistem kumulasi murni[50]

Perbarengan kejahatan yang diancamkan dengan pidana sejenis sebagai hukuman pokok dengan masing-masing dikenakan hukuman penjara atau pidana kurungan ataukah pidana denda saja, maka terhadap masalah ini dikenakan sistem hukuman absorbsi yang dipertajam, artinya hukuman yang dijatuhkan ialah jenis hukuman yang terberat dengan tidak melebihi hukuman maksimum yang terberat yang ditambah sepertiganya. Dengan dianutnya sistem absorbsi yang dipertajam ini maka dengan sendirinya menepis anggapan masyarakat selama ini bahwa adanya gabungan beberapa perbuatan pidana maka terdapat penambahan hukuman sebagaimana yang terdapat pada pasal 18. Namun yang terjadi adalah sebaliknya yaitu adanya pengurangan hukuman sesuai dengan dianutnya sistem absorbsi yang seakan-akan telah menyerap hukuman yang lain. Sedangkan maksud dipertajam ialah adanya ketentuan atau batas sepertiga daripada hukuman maksimum yang dijatuhkan.

Tidak semua jenis kejahatan diancam dengan hukuman penjara, namun ada jenis hukuman-hukuman yang lain yang itu juga merupakan hukuman pokok sebagaimana diketahui bahwa hukuman pokok terdiri dari 5 hukuman, yaitu hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan, hukuman denda dan hukuman tutupan. Dengan adanya berbagai jenis hukuman ini maka tidak khayal lagi jika terjadi gabungan perbuatan dengan ancaman hukuman pokok yang tidak sejenis.

Perbarengan kejahatan yang diancam dengan pidana yang tidak sejenis, untuk masing-masing perbuatan berarti harus dijatuhi hukuman secara sendiri-sendiri. Adanya penjumlahan terhadap jumlah hukuman-hukuman yang nantinya akan dijatuhkan berarti telah dianut sistem kumulasi. Namun sistem kumulasi yang dianut adalah  sistem kumulasi yang terbatas artinya dalam penerapan sistem kumulasi ini dibatasi oleh maksimum hukuman tidak boleh melebihi dari ancaman pidana pokoknya yang terberat ditambah sepertiganya.[51]

Hukuman denda misalnya dapat diperhitungkan menurut lamanya hukuman maksimum yang digantinya. Dalam hal ini menurut pasal 66 ayat 2 bagi hukuman denda harus dihitung lamanya hukuman kurungan yang harus dijalani apabila denda tidak dibayar.[52] Ukuran untuk menentukan beratnya hukuman ini disebut sistem kumulasi yang diperingan, yaitu disebut kumulasi karena dapat ditentukan beberapa hukuman-hukuman sebanyak dengan kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan, dan dikatakan “yang diperingan” karena tidak dapat ditetapkan oleh hakim jumlah total waktu untuk menjalani semua hukuman-hukuman, melainkan jumlah total itu harus dikurangi.[53]

Apabila terdapat hukuman-hukuman alternatif, maka pertama-tama harus ditentukan setelah adanya pilihan dari hakim mengenai hukumannya. Ini adalah berdasar ketentuan pasal 66 yang mengatakan bahwa, di dalam samenloop ini haruslah diputuskan hukuman-hukuman pokok yang diancamkan (bukan dijatuhkan) terhadap tiap-tiap kejahatan. Maksud dari pasal 66 di atas hanyalah untuk menghindarkan, jangan sampai dalam hal terdapat jenis hukuman yang berbeda-beda dijatuhi hanya satu hukuman, dan karenanya suatu kejahatan itu dihukum dengan hukuman yang lain seperti yang diancamkan oleh undang-undang.[54]

Jika dijatuhkan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka beserta itu tidak boleh dijatuhkan hukuman lain daripada mencabut hak tertentu, merampas barang yang telah disita dan pengumuman putusan hakim (pasal 67). Hukuman kurungan tidak dapat dijatuhkan berdampingan dengan hukuman mati atau hukuman seumur hidup.[55]

Menurut pasal 68 dalam hal yang tersebut pada pasal 65 dan 66, maka tentang hukuman tambahan berlaku ketentuan sebagai berikut:

  1. Hukuman-hukuman mencabut hak yang dijadikan satu hukuman, minimal dua tahun maksimal lima tahun lebih dari hukuman pokok yang telah dijatuhkan, atau jika tidak ada hukuman pokok lain selain denda yang dijatuhkan dijadikan satu hukuman, maka minimal dua tahun maksimal lima tahun.
  2. Hukuman-hukuman mencabut hak yang berbagai jenis dijatuhkan masing-masing bagi tiap-tiap kejahatan dengan tidak dikuranginya.
  3. Hukuman-hukuman merampas beberapa barang tertentu, demikian juga dengan hukuman kurungan apabila barang itu tidak diserahkan, maka sebagai gantinya dijatuhkan masing-masing bagi tiap-tiap kejahatan dengan tidak dikurangi.
  4. Jumlah hukuman kurungan pengganti lamanya tidak boleh lebih dari delapan bulan.[56]

Dari pasal 65 dan juga 66 tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa pasal tersebut menjelaskan tentang gabungan kejahatan dengan kejahatan, sementara itu gabungan antara kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran ketentuannya diatur dalam pasal 70.

Adapun bunyi pasal pasal 70 KUHP tersebut adalah:

“Jika ada gabungan secara yang termaktub dalam pasal 65 dan 66 antara pelanggaran dengan kejahatan atua antara pelanggaran dengan pelanggaran, maka dijatuhkan pidana bagi tiap pelanggaran itu dengan tidak dikurangi”. (Pasal 70 ayat 1)

“Untuk pelanggaran jumlah pidana kurungan dan pidana kurungan pengganti, tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan dan jumlah pidana kurungan pengganti tidak boleh melebihi delapan bulan”. (Pasal 70 ayat 2)

 

Dari bunyi pasal tersebut, dapat dilihat bahwa dalam gabungan perbuatan yang terjadi antara pelanggaran dengan pelanggaran adalah dianut sistem kumulasi yaitu adanya penjumlahan terhadap hukuman yang diancamkan dari sekian pelanggaran yang dilakukan. Sedangkan apabila terjadi gabungan kejahatan dengan pelanggaran maka sistem pemberian hukumannya adalah untuk kejahatannya dijatuhkan hukuman sendiri, sedangkan bagi masing-masing pelanggarannyapun dikenakan hukuman sendiri-sendiri dengan ketentuan bahwa jumlah semua hukuman kurungan yang dijatuhkan bagi pelanggaran-pelanggaran itu.

Dalam pasal tersebut bagi tindak pidana yang berupa kejahatan akan dijatuhkan hukuman sendiri-sendiri, begitu juga bagi pelanggaran-pelanggaran juga dijatuhkan sendiri. Namun walaupun begitu jumlah dari hukuman itu tidak boleh melebihi ketentuan yang telah ada yaitu bagi pelanggaran tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan, dan mengenai hukuman kurungan pengganti denda tidak lebih dari delapan bulan.

Sementara itu pasal 71 menjelaskan bahwa apabila seseorang tertuduh menunjuk pada menjatuhkan hukuman yang terdahulu maka hakim haruslah menyelidiki keberatan dari tertuduh itu dan mencantumkan di dalam putusannya mengenai penyelidikannya itu. Apabila hal itu tidak terdapat di dalam putusan itu dan pasal 71 ini juga tidak disebutkan, maka hal tersebut tidak menunjukkan bahwa ketentuan ini telah dilaksanakan, sehingga putusan hakim tidak cukup mempunyai dasar.[57]

Untuk lebih jelasnya pasal 71 berbunyi:

(1)   Kalau seseorang, sesudah dipidana disalahkan pula berbuat kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan sebelum ia dipidana itu, maka pidana yang dahulu itu turut dihitung, dengan menggunakan ketentuan dalam bab ini dalam hal perkara-perkara itu, kecuali yang ditentukan dalam ayat berikut.

(2)   Kalau seseorang, sesudah dipidana penjara seumur hidup, disalahkan pula berbuat kejahatan yang dilakukan sebelum ia dipidana, dan yang diancam dengan pidana mati, maka dapat dijatuhkan pidana mati.

 

Di samping itu, pasal 71 ini juga memuat ketentuan bahwa perbuatan yang dilakukan dalam bentuk gabungan, baik gabungan satu perbuatan (concursus idealis), perbuatan yang berkelanjutan (yang diteruskan) maupun gabungan beberapa perbuatan (concursus realis), tidak senantiasa dapat diadili secara sekaligus dalam kurun waktu yang sama.

Dalam hal ini maka hukuman yang terdahulu dapat turut diperhitungkan pada waktu dijatuhkan hukuman bagi perkara-perkara yang belum diputuskan yaitu dengan cara perhitungan seperti halnya dengan gabungan perbuatan yang diadili dengan serentak.

Pada umumnya menurut pasal 71 ini, apabila dalam hal mengadili perkara yang tidak serentak pada terdakwa dalam perkaranya yang terdahulu, telah dijatuhkan hukuman yang setinggi-tingginya maka bagi perkara berikutnya kepada terdakwa itu tidak dijatuhi hukuman lagi, dan hanya dinyatakan bersalah saja tanpa hukuman.[58]

 

 

BAB III

GABUNGAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA

MENURUT HUKUM ISLAM

 

A.    Pengertian dan Dasar Hukum

Pada dasarnya dalam hukum Islam dikenal bahwa setiap kejahatan atau jarimah telah mempunyai ketetapan hukumnya masing-masing. Keberagaman jenis hukuman yang terdapat dalam hukum Islam seringkali menjadikan permasalahan tatkala terdapat seseorang yang melakukan beberapa jarimah atau jarimah ganda. Hukuman manakah yang akan dijatuhkan? Apakah satu jenis hukuman ataukah seluruh hukuman?

Gabungan melakukan tindak pidana dalam hukum Islam sebenarnya tidak terdapat istilah khusus. Namun dalam pengertian ini terdapat dua hal yang perlu diperhatikan yaitu tentang pengertian delik gabungan dan tentang rentetan pelanggaran yang mana keduanya bagaikan dua sisi mata uang, artinya adanya delik gabungan dikarenakan adanya rentetan pelanggaran.

Dalam hukum Islam, gabungan hukuman ini terkenal dengan istilah ta’adudul ‘uqubat (berbilangnya hukuman) dan al-ijtimaul ‘uqubah (terkumpulnya beberapa hukuman). Abdul Qadir Audah dalam al-Tasyri’ al-Jinai al-Islami, mengatakan:

تتعدد العقوبات كلماتعددت الجرائم. وتتعددالجرائم كلما ارتكب شخص جرائم متعددة قبل الحكم عليه نها ئيا فى واحدة منها.      [59]

 

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa gabungan jarimah terjadi manakala seseorang melakukan beberapa jarimah sebelum ditetapkan hukuman finalnya dari masing-masing jarimah. Hal ini ketika kejahatan pertama belum mendapatkan sanksi atau hukuman sebagai hasil putusan akhir yang diberikan pada si pelaku kejahatan, kemudian ia melakukan pelanggaran yang kedua, ketiga dan seterusnya. Maka ketika si pelaku tertangkap ia terkena tuduhan-tuduhan sesuai dengan yang dilanggarnya dengan masing-masing sanksi yang diancamkan terhadap kejahatan yang telah dilakukannya.

Berangkat dari pengertian  ini pula maka dapat diketahui perbedaan antara gabungan melakukan jarimah dengan pengulangan melakukan jarimah.

Dalam gabungan melakukan tindak pidana, dalam hal ini adalah gabungan hukuman, pelaku kejahatan melakukan beberapa jarimah dimana masing-masing jarimah belum ditentukan keputusannya, sedangkan dalam pengulangan jarimah terjadi ketika pelaku kejahatan melakukan  jarimah yang kedua dan seterusnya setelah dijatuhi hukuman atas jarimahnya yang pertama.[60] Dalam masalah pengulangan jarimah ini, para fuqaha sepakat untuk menghukum si pelaku kejahatan, sesuai dengan ancaman pidananya. Sebab menurut mereka, pengulangan terhadap jarimah oleh seseorang setelah ia mendapatkan putusan akhir, sebenarnya hal itu dapat menunjukkan sifat membandelnya si pelaku jarimah dan tidak mempannya hukuman yang pertama. Oleh karena itu, sewajarnya kalau timbul kecenderungan untuk memperberat hukuman atas pengulangan jarimah.[61]

Sebagaimana halnya dalam KUHP, yang menjadi pokok persoalan dalam gabungan melakukan tindak pidana menurut hukum Islam adalah mengenai pemberian hukuman bagi seseorang yang melakukan gabungan pidana apakah hukumannya bisa digabungkan jika jarimah-jarimah tersebut memiliki jenis hukuman yang sama ataupun berbeda.

Ulama sepakat bahwa dalam jarimah terdapat penggabungan hukuman yang disebabkan, pelanggaran beberapa jarimah yang masing-masing belum mendapatkan keputusan tetap, akan tetapi mereka berbeda pendapat terhadap macam hukuman apa yang pantas diberikan kepada pelaku tindak pidana gabungan. Tentunya gabungan yang pantas diberikan ialah atas dasar pertimbangan kemaslahatan umat manusia.

Adapun dasar hukum yang berkaitan dengan gabungan melakukan jarimah menurut hukum Islam ada dua, yaitu:

  1. Al Qur’an

–    انما جزأوا الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون فى الارض فسادا ان يقتلوا اويصلبوا او تقطع ايديهم وارجلهم من خلف اوينفوا من الارض ط ذلك لهم خزي فىالدنيا ولهم فى الاخرة عذاب عظيم.                                                              [62]

 

–    ومن جأ بالسيئة فلا يجزى الامثلها وهم لا يظلمون. .     [63]

–    والذين كسيوا السيات جزاء سيئة بمثلها وترهقهم ذلة.  [64]

–    وجزؤ اسيئة سيئة مثلها. [65]

–        ومن عاقب بمثل ما عوقب به              [66]

–    وان عا قبتم فعا قبوا بمثل ما عوقبتم بهط [67]

 

  1. al-Hadits

a)      Riwayat Imam Bukhari:

عن أنس رضى الله عنه قال قدم على النبي ص.م. نفر من عكيل فأسلموا فاجتووا المدينة فاءمرهم ان يأتوا إبل الصدقة فيثربوا من أبوالها وألبانها ففعلوا فصحوا فارتدوا وقتلوا رعاتها واستاقوا, فبعث فىاثارهم فأتى بهم فقطع أيديهم وارجلهم وسمل اعينهم, ثم لم يحسمهم حتى ماتوا.   [68]

 

b)      Riwayat Anas bin Malik:

حدثنا مالك عن هشام بن عروة عن ابيه انه قال فىرجل قدف قوما جماعة انه ليس عليه إلاحد واحد. قال مالك وان تفرقوا فليس عليه الآحدواحد     [69]

 

B.     Teori Gabungan Melakukan Tindak Pidana

Berangkat dari perbedaan pendapat tersebut maka muncul berbagai teori mengenai cara memberikan hukuman bagi seseorang yang melakukan tindak pidana gabungan, kedua teori tersebut adalah teori saling memasukkan (at-tadaahul), dan teori penyerapan (al-jabbu).

1)      Teori saling memasukkan (at-Tadaahul)

التداخل هو أن الجرائم فىحالة التعدد تتداخل عقوباتها بعضها فىبعض بحيث يعاقب على جميع الجرائم بعقوبة واحدة.           [70]

Dari pengertian di atas, seseorang yang melakukan gabungan jarimah hanya akan mendapatkan satu hukuman sebagaimana halnya ketika ia melakukan satu jarimah, hal ini dikarenakan hukuman dari beberapa jarimah tersebut saling memasuki, sebagian masuk pada sebagaian yang lain, sehingga hanya satu hukuman saja yang dijatuhkan.

Teori ini didasarkan atas dua pertimbangan, yaitu: pertama, apabila jarimah yang dilakukan itu satu macam atau sejenis. Walaupun jarimah itu dilakukan berulangkali namun dalam jenis yang sama maka sudah sepantasnya kalau hanya dikenakan satu macam hukuman, selama belum ada keputusan hakim. Alas an dari penjatuhan satu hukuman tersebut adalah dasar dari pemberian hukuman adalah untuk pengajaran dan pencegahan. Apabila satu hukuman saja sudah cukup untuk merealisasikan dua tujuan tersebut maka tidak perlu adanya gabungan hukuman. Selama hukuman tersebut mampu untuk memperbaharui pengaruhnya dan mencegah pelakunya untuk mengulangi kejahatannya, namun apabila satu hukuman saja belum cukup untuk memperbaiki pelaku jarimah dan pelaku masih mengulangi perbuatannya maka atas dia diwajibkan untuk memberikan hukuman tambahan atas dasar jarimah terakhir yang dilakukannya. Kedua, meskipun beberapa perbuatan yang dilakukan itu berbeda-beda baik macamnya ataupun hukumannya bisa saling memasuki dan cukup satu hukuman saja yang dijatuhkan untuk melindungi kepentingan dan tujuan yang saja. Dalam hal ini terdapat syarat bila hukuman tersebut hanya satu yaitu gabungan hukuman tersebut dilakukan, atas dasar menjaga kemaslahatan.[71] Dalam hal ini dapat diketahui bahwa gabungan jarimah yang mempunyai jenis dan tujuan hukumannya berbeda maka tidak dapat saling memasuki. Kelemahan dari metode ini adalah terlalu banyaknya hukuman, karena terkadang adanya penggabungan hukuman menyebabkan sampainya hukuman pada batas yang berlebihan, sementara selama ini hukuman penjara dibatasi oleh waktu. Jadi apabila terjadi penggabungan hukuman maka berdasarkan teori ini maka hukumannya dapat menjadi hukuman selamanya atau seumur hidup.

2)      Teori penyerapan (al Jabbu)

الجب فى الشريعة هو الاكتفاء بتنفيد العقوبة التى يمتنع مع تنفيذها تنفيذ العقوبات الأخرى.        [72]

 

Dalam teori penyerapan ini, seseorang yang melakukan gabungan jarimah akan dijatuhi hukuman, dimana hukuman tersebut sekaligus menggugurkan hukuman yang lainnya atua pelaksanaannya akan menyerap hukuman-hukuman yang lain.

Pengertian ini tertutup bagi hukuman pembunuhan, pelaksanaan hukuman pembunuhan menutup pelaksanaan hukuman selainnya. Dalam hal ini hukuman pembunuhan merupakan hukuman yang berdiri sendiri dimana hukuman selainnya tetap harus dilaksanakan.[73] Kelemahan dari teori ini adalah memudahkan dn menyia-nyiakan perkara.

3)      Teori Percampuran (al Mukhtalath)

الجمع بين الطريقتين الأولتين أوتقيد إطلاقهما.   [74]

Teori percampuran ini dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari dua metode sebelumnya yaitu teori al jabbu (penyerapan) dan teori ad tadaahul (saling memasuki), yaitu dengan cara menggabungkan keduanya dan mencari jalan tengahnya.

Sebagaimana yang telah disebutkan di awal bahwa hukum Islam dalam menggunakan kedua teori tersebut tidak secara mutlak. Dalam teori percampuran ini langkah yang dilakukan yakni dengan membatasi kemutlakan dari dua teori sebelumnya. Penggabungan hukuman boleh dilakukan namun tidak boleh melampaui batas tertentu. Tujuan daripada pemberian batas akhir ini bagi hukuman ialah untuk mencegah hukuman yang terlalu berlebihan.[75]

Kedua teori tersebut dalam hukum Islam diakui, namun dikalangan para ulama terjadi ikhtilaf, baik cara pengaplikasiannya maupun dasar logika dari penentuan hukuman yang akan diberikan kepada pelaku tindak pidana. Pembahasan mengenai kedua teori tersebut selanjutnya akan dibahas dalam bentuk-bentuk gabungan.

 

C.    Bentuk-Bentuk Gabungan Melakukan Tindak Pidana

Sebagaimana diketahui bahwa adanya gabungan melakukan tindak pidana menyebabkan munculnya gabungan hukuman. Munculnya teori-teori dalam gabungan hukuman tidak terlepas dari berbagai macam bentuk gabungan. Ibnu Qudamah dalam kitabnya al Mughni mengatakan bahwa jika terkumpul jarimah, jarimah hudud dimana hukuman-hukumannya berbeda, maka tidak akan terlepas dari tiga kategori di bawah ini, ketiga kategori tersebut adalah:

Pertama    : Gabungan beberapa jarimah dimana semua hukumannya itu murni hak Allah

Kedua        :  Gabungan beberapa jarimah dimana dalam hukuman tersebut terdapat hak Allah dan sekaligus hak hamba atau hak Adami

Ketiga        :  Gabungan beberapa jarimah dimana hukumannya itu murni hak Adami.[76]

Ketiga kategori di atas juga dijelaskan oleh Wahbah al Zuhaili dalam kitabnya al Fiqh al-Islam wa adilatuhu.[77]

Pertama, keadaan dimana terdapat gabungan beberapa jarimah yang semua hukumannya murni hak Allah. Dalam keadaan ini terkumpul beberapa jarimah yang di dalamnya terdapat hak murni Allah atau gabungan hukuman atas pelanggaran hak-hak Allah murni. Untuk gabungan ini terdapat tiga bentuk gabungan, yaitu:

  1. Gabungan beberapa jarimah yang terdapat ancaman pidana mati

Syafi’i mengatakan bahwa seseorang yang melakukan gabungan beberapa tindak pidana baik yang di dalamnya terdapat hukuman mati ataupun tidak maka semua hukuman yang diancamkan harus dilaksanakan. Sementara itu sebagian fuqaha berpendapat bahwa selain hukuman mati berarti gugus dan hanya hukuman mati saja yang dilaksanakan. Pendapat ini menurut Ibnu Mas’ud, Atha’, as-Sya’bi, an Nakhaiy, al-Auza’iy, Hammad, Malik dan Abu Hanifah.[78]

Golongan Hambaliyah, Hanafiyah dan malikiyah mengatakan bahwa hukuman tersebut saling memasuki (at Tadāhul) yaitu antara hukuman yang satu dengan yang lainnya saling masuk sehingga pelakunya hanya dikenai satu hukuman yaitu hukuman mati saja sebagai hukuman yang terberat. Pendapat ini juga didukung oleh Ibrahim al-Nakha’i bahwa hukuman dicukupkan dengan pelaksanaan hukuman mati, sebab adanya kumpulan hak-hak Allah yang murni dan maksud dari hukuman itu sendiri adalah untuk peringatan. Dengan dijatuhkannya hukuman mati maka kebutuhan untuk peringatan tersebut dirasa sudah cukup.[79]

Sementara itu Ibnu Qudamah, mengikuti pendapat Ibnu Mas’ud yang mengatakan:

اذا اجتمع حدان أحدهما القتل أحط القتل بذلك [80]

 

Sesungguhnya setiap hukuman itu bertujuan untuk memberikan pelajaran (mendidik) dan mencegah agar tidak terjadi jarimah lagi, sehingga apabila terdapat beberapa jarimah yang dilakukan dan di dalamnya terdapat ancaman hukuman mati maka tidaklah perlu hukuman selain hukuman mati tersebut dilaksanakan.

Dalam masalah ini, pendapat Syafi’i dirasa cukup berat dalam menentukan hukuman terhadap pelanggaran beberapa jarimah. Syafi’i tidak mengakui adanya teori saling memasuki bahwa apabila terjadi gabungan beberapa jarimah yang hukumannya berbeda-beda maka hukuman tersebut harus dilaksanakan satu persatu dan hukuman tersebut tidak dapat untuk memasuki antara sebagian pada sebagian yang lain.

 

  1. Gabungan beberapa jarimah yang tidak terdapat ancaman pidana mati

Seperti berkumpulnya jarimah zina ghairu mukhson, pencurian, minum khamr yang berulangkali dan masing-masing belum mendapatkan keputusan akhir. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat: pertama, bahwa semua hukuman harus dilaksanakan. Alasannya yaitu sebab dari adanya gabungan melakukan jarimah itu berbeda-beda dan lebih dari satu. Berbilangnya (lebih dari satu) sebab membuat hukuman tidak dapat saling memasuki atau digabung karena sebabnya juga berbeda-beda.[81] Ulama sepakat untuk menjatuhkan semua hukuman, selama tidak saling memasuki.

Namun ulama berbeda pendapat mengenai hukuman mana yang harus dilaksanakan terlebih dahulu. Syafi’iyah dan Hanabilah melaksanakan hukuman yang paling ringan terlebih dahulu seperti had minum khamr, had zina, pemotongan tangan untuk jarimah pencurian. Hukuman potong dalam jarimah pencurian ini dapat saling memasuki dengan hukuman potong tangan pada jarimah hirabah dengan perampasan harta.

Sementara Malikiyah berpendapat bahwa hukuman potong harus didahulukan daripada hukuman jilid. Hanafiyah menyerahkan pemilihan untuk menentukan hukuman mana yang akan dijatuhkan terlebih dahulu kepada pemerintah. Apabila pemerintah menghendaki hukuman zina didahulukan maka hukuman zina akan dilakukan, atau menghendaki hukuman potong tangan yang didahulukan dan seterusnya.

Mereka beralasan bahwa had zina dan had pencurian ditetapkan dengan nash al Qur’an, sehingga mereka mengakhirkan hukuman minum khamr daripada hukuman zina dan pencurian karena jarimah minum khamr ditetapkan dengan sunnah nabi. Dalam melaksanakan hukuman-hukuman tersebut tidak berbarengan, tetapi dilaksanakan satu persatu dalam waktu yang berbeda. Hal itu dikhawatirkan menimbulkan efek yang tidak diharapkan dari penjatuhan hukuman yang sekaligus.[82]

Pendapat kedua, pendapat sebagian Malikiyah, bahwa mereka membedakan antara hukuman-hukuman yang sejenis dan yang tidak sejenis. Apabila hukuman itu sejenis maka dapat digabungkan atau saling memasuki. Namun apabila jenisnya berbeda, maka tidak dapat digabungkan, seperti hukuman minum 80 kali cambukan dan hukuman zina 100 kali cambukan. Dalam hal ini dilakukan 100 kali cambukan saja, karena hukuman minum telah masuk atau digabungkan.[83]

Kedua, Keadaan dimana terdapat gabungan beberapa jarimah yang hukumannya merupakan hak Allah dan sekaligus hak hamba. Dalam hal ini terdapat tiga hal, yaitu:

 

  1. Di antara hukuman-hukuman tersebut tidak terdapat ancaman pidana mati

Dalam hal ini dicontohkan hukuman untuk jarimah minum khamr dan jarimah qodhaf.

Hanabilah, Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan bahwa seluruh hukuman harus dilaksanakan karena berbilangnya (lebih dari satu) sebab jika sebabnya lebih dari satu jenis maka musababnya tidak diragukan lagi pasti lebih dari satu juga atau berbilang.

Sebagian Malikiyah berpendapat bahwa hudud yang hukumannya sejenis, yaitu hukuman cambuk, bisa saling memasuki atau digabungkan, alasannya yaitu ketika seseorang mabuk maka ia dapat mengeluarkan kata-kata yang dapat menimbulkan fitnah. Adapun hukuman selain itu tidak bisa digabungkan.[84]

  1. Di antara hukuman-hukuman tersebut terdapat ancaman pidana mati

Jumhur ulama yang mengatakan bahwa jarimah yang di dalamnya terdapat hak-hak Allah, maka hak Allah tersebut masuk ke dalam hukuman mati. Adapun yang terdapat di dalamnya hak-hak Adami maka harus dijatuhkan seluruhnya.[85] Hukuman mati disini kedudukannya sebagai hukuman had ataupun karena qisas.

Apabila di dalam gabungan tersebut terdapat hukuman mati dan hukuman-hukuman yang lain, maka hukuman lain harus didahulukan daripada hukuman mati. Dalam hal ini hak Adam didahulukan daripada hak Allah. Menurut madzhab Syafi’i jika hukuman-hukuman yang ada dalam hak anak Adam adalah lebih rungan maka wajib dilaksanakan.

  1. Bertemunya dua hak pada satu ancaman yang akan dikenai hukuman

Sebagai contoh, terdapat dua hukuman yaitu qisas dan rajam, dalam hal ini jumhur sepakat untuk mendahulukan qisas daripada rajam. Alasannya yaitu hukuman qisas dapat dijadikan sebagai penguat hukuman terhadap pemenuhan hak adami.[86]

Ketiga, Keadaan dimana terdapat beberapa jarimah yang di dalamnya terdapat hak adami atau hamba saja. Dalam hal ini terdapat dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

–          Ketika dalam hukuman-hukuman tersebut terdapat hukuman mati karena qisas

–          Ketika jarimah-jarimah yang dilakukan tidak ada yang mengharuskan hukuman mati karena qisas

 

a)      Keadaan pertama dimana terdapat hukuman mati karena qisas

Menurut Hanafiyah adanya hukuman mati ini tidak menafikan hukuman selainnya, jika dalam hukuman-hukuman tersebut terdapat hukuman qisas.

Kedua sahabat Abu Hanifah yaitu Muhammad Syaibani dan Abu Yusuf berkata bahwa hukuman mati tidak meniadakan hukuman selainnya, karena keduanya berhubungan, bisa jadi hukuman yang pertama adalah pendahuluan bagi yang kedua.[87]

b)      Keadaan kedua dimana di antara hukuman-hukuman tersebut tidak terdapat hukuman mati .

Dalam hal ini qisas harus diterapkan pada tiap-tiap perbuatan karena berbilangnya sebab berimplikasi pada berbilangnya musabab. Sementara itu Abu Hanifah dalam masalah hukuman mati adalah dia menolak adanya penggabungan (at-tadaahul). Dua sahabatnyalah yang memasukkan hukuman-hukuman lain dalam hukuman mati. Sedangkan pendapat Imam Malik adalah seperti jumhur ulama yang berpendapat bahwa hukuman-hukuman qisas tidak bisa saling memasuki berdasarkan atas teori kesamaan antara jarimah dan hukuman yang mengharuskan dilaksanakannya qisas.

Dalam hal ini dapat diketahui bahwa apa-apa yang berhubungan dengan hal Allah dapat digabungkan sedangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan hak-hak manusia (anak Adam) maka tidak boleh digabungkan.

Menurut Imam Malik bahwa hukuman itu dapat digabungkan apabila terdapat dua hal, yaitu:

Pertama, apabila satu penyebabnya yaitu jika sama kadang antara diwajibkannya hukuman dari masing-masing jarimah itu. Seperti pencurian dan pemotongan tangan orang. Dalam masalah ini pencurian hukumannya adalah potong tangan, sedangkan memotong tangan orang (pada kriminal yang kedua) hukumannya adalah qisas (yaitu potong tangan juga). Maka jika telah dilaksanakan salah satu dari dua kejahatan atau lebih yang penyebabnya sama (satu) maka hukuman yang kedua menjadi gugur.

Kedua, jika penyebabnya satu, jarimahnya dilakukan berulangkali, seperti pencurian berulangkali sebelum dilaksanakan hukuman potong tangan.[88]

Berangkat dari bentuk-bentuk gabungan tersebut di atas maka dapat diketahui bagaimana pandangan para ulama mengenai gabungan melakukan tindak pidana ini.

 

 

 

BAB IV

ANALISA PERBANDINGAN ANTARA

KUHP DAN HUKUM ISLAM

 

Baik syari’at Islam maupun KUHP sama-sama mengakui keberadaan teori gabungan melakukan tindak pidana ini. Meskipun begitu di antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan dan juga persamaan-persamaan.

Adapun persamaannya yaitu keduanya sama-sama memakai teori berganda yang terbatas.[89] Dalam teori berganda tersebut, setiap perbuatan jarimah akan dijatuhi hukuman sebagaimana ketentuan yang ada. Namun pemberian hukuman tersebut tetap dibatasi yaitu tidak melebihi sepertiganya dari beberapa macam hukuman yang seharusnya dijatuhkan. Alasan yang dipergunakan dari kedua hukum tersebut juga sama, yaitu ketika terjadi gabungan melakukan tindak pidana maka akan berakibat munculnya penggabungan hukuman. Dalam kondisi seperti itu terjadi penjatuhan hukuman yang bermacam-macam, sehingga hukuman yang dijatuhkanpun terlalu banyak. Apabila hukuman tersebut berupa hukuman penjara maka lamanya pemenjaraan itupun bisa menjadi penjara seumur hidup apabila tidak dibatasi. Hal inilah yang tidak diinginkan dalam kedua hukum tersebut.

Dasar pemikiran yang sama dari kedua hukum tersebut yaitu adanya unsur memaafkan. Keduanya memandang pelaku kejahatan dalam posisi terhalang ketika melakukan jarimah yang kedua, karena dia belum mendapatkan hukuman atas jarimah yang pertama.

Keduanya juga berpendirian bahwa gabungan hukuman tanpa adanya pembatasan maka akan mengarah pada hasil yang ditolak oleh akal dan pemikiran syara.[90]

Adapun persamaan yang lain adalah keduanya mengakui adanya teori penyerapan (absorbsi atau al jabbu). Walaupun dalam hukum Islam terdapat salah satu tokoh madzhab tidak menerima teori ini. Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad, sepakat bahwa hukuman mati dimana merupakan hukuman terberat menyerap semua jenis hukuman. Sementara Imam Syafi’i berpendapat bahwa setiap jarimah hukumannya tidak dapat digabungkan antara satu dengan yang lainnya, melainkan harus dijatuhi satu persatu.[91]

Dalam KUHP teori penyerapan ini diatur dalam pasal 63 yang menentukan hukuman terberat bagi beberapa hukuman yang berlainan.

Meskipun di antara hukum Islam dan KUHP terdapat beberapa persamaan, namun tak berarti di antara keduanya tidak terdapat perbedaan-perbedaan. Penggunaan teori berganda yang tidak secara mutlak dalam hukum Islam menjadi faktor pemicu perbedaan di antara keduanya.

Perbedaan-perbedaan tersebut nampak dalam hal-hal sebagai berikut:

  1. Pemakaian teori berganda terbatas dalam hukum Islam yang tidak dipergunakan secara mutlak, melainkan menerapkannya ketika terjadi satu jarimah yang dilakukan secara berulang-ulang dan juga pada jarimah yang berbeda, tetapi hukumannya mempunyai tujuan yang sama. Alasannya adalah setiap jarimah mempunyai hukuman masing-masing. Apabila seseorang melakukan jarimah yang berulang-ulang sebelum mendapatkan hukuman atas jarimahnya yang pertama atau sebelumnya maka secara logis dia terhalang untuk menerima hukuman yang kedua karena ia belum mendapatkan hukuman bagi perbuatan jarimah yang pertama. Dalam hal ini berarti tidak terdapat teori bergandanya hukuman. Lain halnya jika jarimahnya itu berbeda-beda maka tidak dijatuhkannya salah satu hukuman dari jarimah yang telah dilakukannya tidak bisa menjadi penghalang bagi jarimah yang kedua untuk mendapatkan hukuman pula.[92]

Diterapkannya hukuman yang kedua diharapkan dapat mencegah pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan yang serupa, karena pada dasarnya setiap hukuman itu mempunyai maksud dan tujuan tertentu.

Dalam KUHP, hukum ini meniadakan hukuman bagi jarimah-jarimah yang lain sehingga terjadi kecenderungan bahwa apabila seseorang melakukan jarimah yang berat hukumannya maka sangat mungkin ia akan melakukan jarimah lain yang lebih ringan.

  1. Teori saling memasuki yang dipakai dalam hukum Islam jauh lebih luas jangkauannya daripada KUHP. Karena hukum tidak mengenal ­al tadaahul kecuali dalam satu hal, yaitu ketika pelaku melakukan beberapa kejahatan untuk mencapai satu tujuan dengan syarat jarimah-jarimah tersebut memiliki kaitan yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara satu dengan yang lainnya.

Dalam hal ini antara hukum Islam dan KUHP memiliki perbedaan dalam segi landasannya. KUHP menjadikan landasan saling memasuki (al-tadaahul) jika pelaku kejahatan melakukan beberapa jarimahnya dengan satu tujuan dimana jarimah-jarimah itu saling berkaitan sehingga tidak dimungkinkan untuk dapat dipisah-pisahkan. Sedangkan hukum syara’ menjadikan landasan teori saling memasuki jika hukuman-hukuman jarimah tersebut dilaksanakan untuk satu tujuan. Dari sini dapat diketahui bahwa KUHP teori saling memasuki ini tunduk terhadap tujuan yang diinginkan oleh si pembuat hukum.[93]

  1. Dalam KUHP, hukuman penjara menjadi hukuman yang asasi dengan batasan maxima dan minima. Dalam hal ini berarti hukuman tersebut dibatasi oleh waktu. Sementara itu dalam hukum Islam yang menjadi hukuman asasi ialah hukuman “potong” dan “cambuk”, dimana hukuman ini dibatasi oleh akhlak atau tabiat dari perilaku jarimah.[94]
  2. Walaupun antara KUHP dan Hukum Islam sama-sama mengenal teori penyerapan hukuman (al jabbu) sebagaimana di awal telah dijelaskan namun antara keduanya terdapat perbedaan.

Dalam hukum Islam teori penyerapan ini hanya digunakan gabungan hukuman yang hanya terdapat hukuman pembunuhan. Sementara itu dalam KUHP teori penyerapan ini penggunaannya tatkala terjadi gabungan hukuman yang terdapat hukuman terberat sehingga diharapkan teori ini membatasi kebebasan dalam penjatuhan hukuman agar dilaksanakan sesuai dengan kadarnya.[95]

Sebagaimana dijelaskan bahwa hukum Islam tidak menjadikan hukuman penjara sebagai hukuman asasi yang dibatasi oleh waktu sebagaimana halnya dalam KUHP. Namun hukum Islam menetapkan hukuman penjara tanpa adanya batasan waktu yang penggunaannya secara mutlak, seperti mencuri dengan hukuman potong tangan, zina dengan dicambuk, dan lain-lain. Tujuan dari hukum Islam dalam menerapkan teori penyerapan ini adalah untuk perbaikan tabiat bagi pelaku jarimah dan juga agar orang yang melakukan jarimah tersebut bertaubat sehingga tidak mengulangi jarimah lagi. Tidak adanya pembatasan waktu dalam memberikan hukuman, maka keluarnya pelaku kejahatan dair penjara secara sempurna yaitu dengan bertaubat dari perbaikan akhlak, bukan karena lamanya waktu berada dalam penjara.[96]

Dari adanya persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan KUHP dalam memandang masalah gabungan melakukan tindak pidana itu, maka penyusun mengambil kesimpulan bahwa di antara KUHP dan hukum Islam yang lebih baik dijadikan pedoman dalam memberikan hukuman bagi pelaku tindak pidana gabungan ialah teori-teori yang terdapat dalam hukum Islam.

Dengan keberadaan teori-teori tersebut maka terdapat kemungkinan hukum Islam dapat memasukkan dan memberikan sumbangan-sumbangan pemikiran terhadap KUHP dalam menangani masalah gabungan melakukan tindak pidana ini.

 

BAB V

PENUTUP

 

A.  Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang penulis kemukakan, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, yaitu:

  1. Terdapat dua teori yang merupakan teori gabungan melakukan tindak pidana menurut hukum Islam yaitu: pertama, teori saling memasuki atau al tadaahul, yaitu apabila terdapat beberapa gabungan jarimah, maka beberapa jarimah tersebut saling masuk memasuki, sebagian masuk pada sebagian yang lain, sehingga untuk seluruh jarimah hanya diberikan satu hukuman. Kedua, teori penyerapan atau al jabbu, yaitu mencukupkan pelaksanaan hukuman yang pelaksanaannya menghalangi pelaksanaan hukuman lain.

68

 

Sedangkan teori gabungan melakukan tindak pidana menurut KUHP ada empat yaitu: pertama, Absorbsi Stelsel, yaitu untuk gabungan tindak pidana tunggal dan perbuatan yang dilanjutkan (pasal 63 dan 64 KUHP). Kedua, Absorbsi Stelsel yang dipertajam, yaitu untuk gabungan tindak pidana berganda dimana ancaman hukuman pokoknya adalah sejenis (pasal 65 KUHP). Ketiga, Cumulasi Stelsel, yaitu gabungan tindak pidana berganda terhadap pelanggaran dengan pelanggaran dan kejahatan dengan pelanggaran (pasal 70 KUHP). Dan keempat Cumulasi Stelsel yang diperlunak, yaitu untuk gabungan tindak pidana berganda dimana ancaman hukuman pokoknya tidak sejenis (pasal 66 KUHP).

  1. Hukum Islam memandang bahwa gabungan hukuman itu muncul sebagai akibat dari adanya gabungan melakukan beberapa tindak pidana dimana salah satu dari perbuatan tersebut belum mendapatkan keputusan akhir. Islam mengakui adanya teori-teori gabungan melakukan tindak pidana namun teori-teori tersebut dalam penggunaannya tidak secara mutlak dan dibatasi oleh adanya teori at tadaahul (saling memasukkan) dan al Jabbu (penyerapan).

Dari kedua teori tersebut di dalam pelaksanaannya tidak terlepas dari tiga bentuk gabungan melakukan tindak pidana, antara lain: gabungan beberapa jarimah dimana semua hukumannya ialah hak Allah murni, gabungan beberapa jarimah dimana dalam hukuman tersebut terdapat hak Allah dan hak adami atau hamba, dan gabungan beberapa jarimah dimana hukumannya merupakan hak adami murni.

Sementara itu mengenai pandangan KUHP terhadap masalah gabungan melakukan tindak pidana, bahwa ketentuan mengenai masalah ini telah diatur dalam pasal 63 hingga 75 KUHP. Dalam pasal-pasal tersebut telah dijelaskan bagaimana sistem pemberian hukuman bagi seseorang yang telah melakukan gabungan melakukan tindak pidana.

 

B.  Saran

Dari uraian mengenai gabungan melakukan tindak pidana, terdapat beberapa saran yang dapat penulis kemukakan, di antaranya:

  1. Pengaturan tentang delik gabungan dan akibat hukumnya pada hakekatnya adalah untuk kemaslahatan umat. Oleh karena itu, hubungannya dengan keputusan hukuman terhadap pelaku beberapa kejahatan yang dilakukan bersamaan oleh satu orang hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
    1. Putusan hukuman harus berdasarkan ketentuan yang dapat dipertanggung jawabkan di masyarakat, negara dan agama.
    2. Putusan pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku pelanggaran gabungan kejahatan pada dasarnya untuk mencegah terulangnya kejahatan yang sama. Oleh karena itu putusan pidana perlu mempertimbangkan aspek pendidikan terhadap pelaku dan lingkungan pada umumnya.
  2. Dengan berakhirnya penulisan tentang gabungan melakukan tindak pidana dalam perspektif hukum Islam dan KUHP (dalam study komparatif) ini, bukan berarti bahwa pembahasan mengenai gabungan melakukan tindak pidana ini telah sempurna, tetapi masih banyak permasalahan yang lain yang sangat menarik untuk ditelusuri lebih jauh lagi.
  3. Di samping itu perlu adanya penelitian lebih mendalam mengenai gabungan melakukan tindak pidana ini, sehingga diharapkan mampu menambah khasanah keilmuan kita.

 


BIBLIOGRAFI

 

 

Kelompok Al Qur’an, Tafsir dan Ulumul Qur’an

Departemen Agama. Al Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Lubuk Agung, 1989

 

Kelompok Hadits dan Ulumul Hadits

Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al. Shahih al Bukhari. Beirut: Dar al Fikr, t.t.

 

Kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh

Abidin, Zaenal, dkk. Hukum Pidana. Penerbitan bersama Prapantja Jakarta dan Taufiq Makasar, t.t.

Ali, Chidir. Responsi Hukum Pidana. Bandung: Armico, 1985

Anwar, Moch. Beberapa Ketentuan Umum dalam Buku Pertama. KUHP Bandung: Alumni, 1986

Audah, Abd. Al-Qadir al-. al-Tasyri’ al-Jinai al-Islami. Beirut: Muassasah al Risalah, 1987

Bakri, Moh. Kasim. Hukum Pidana dalam Islam. Cetakan Ketiga. Solo: Ramadhani, 1986

Djazuli, H.A. Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulanngi Kejahatan dalam Islam). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997

Hanafi, A. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Cet. Ke-1. Jakarta: Bulan Bintang, 1967

Haliman. Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut ajaran Ahlussunah, Jakarta: Bulan Bintang 1971.

Iwadl, Muh.Darasat Fi al Fiqh al Islam. Beirut: Dar al Fikr, t.t.

Jonkers, J.E. Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda. Jakarta:PT. Bina Aksara, 1987

71

 

Lamintang, dari Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar baru 1979.

Ma shum, Mas’ad. Hukum pidana I. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1989

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara, 1982

Muladi, & Barda Nawawi. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1998

Nur’ainy, Hukum Pidana. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 2003

Poernomo, Bambang. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1982

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT. Eresco, 1989

Qudamah, Abi Muhammad Abdillah Ibn Ahmad Ibnu. Al Mughni. Riyad: Maktabah Riyad al Haditsah, t.t.

Sahetapy, J.E. Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty, 1995

Sakidjo, Aruan, dan Bambang Pornomo. Hukum Pidana (Dasar Aturan Umum, Hukum Pidana Kodifikasi). Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996

Soeady, Sholeh. Vadevecum Hukum Perdata dan Hukum Pidana. Jakarta: Bina Dharma Pemuda, 1986

Soesilo, R. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1981

Sugandhi, R. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional, 1980

Utrecht, E. Hukum Pidana II. Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994

Tresna, Mr. R. Azas-Azas Hukum Pidana. tp: tnp, 1959

Zahrah, Muhammad Abu. Al-Uqubat: al-Jarimatu wa al‘Uqubat al Fiqh al Islam. Dar  Al Fikr, t.t.

Zurqani, Muh. Abd. Al Baqi ibn Yusuf al. Syarah al-Zurqani ‘ala al Muwatta’ al Imam Malik. Jilid: IV. Beirut: Dar al-Fikr, 1936

Zuhaili, Wahbah al. al Fiqh al Islam wa Adillatuhu. Beirut: Dar al Fikr, t.t.

 

TERJEMAHAN

BAB I

 

No

Hal

Footnote

Terjemahan

1.

13

15

Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).

2.

13

16

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya, (at Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-lukapun ada qisasnya.

3.

13

17

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.

4.

13

18

Dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan.

 


TERJEMAHAN

BAB III

 

No

Hal

Footnote

Terjemahan

1.

47

1

Gabungan hukuman dpt terjadi manakala terdapat gabungan jarimah, dari gabungan jarimah ini dapat dikatakan ada manakala seseorang melakukan beberapa jarimah dimana masing-masing belum mendapat keputusan akhir.

2.

49

4

Sesungguhnya pembalsaan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RosulNya, dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya) yang demikian itu sebagai sesuatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mempeorleh siksa yang besar.

3.

50

5

Dan barang siapa yang membawa perbuatan jahat maka ia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya.

4.

50

6

Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan (mendapatkan) balasan yang setimpal dari mereka ditutup kehinaan.

5.

50

7

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.

6.

50

8

Dan barang siapa membalas seimbang dengan penganiayaan yang pernah diderita, kemudian ia dianiaya (lagi).

7.

50

9

Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasam yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.

8.

50

10

Dari Anas ia berkata: telah datang sekumpulan dari bani Ukail kepada Nabi SAW, lalu mereka memeluk agama Islam. Mereka sakit karena tidak cocok dengan udara Madinah. Nabi SAW memerintahkan kepada mereka untuk mendatangi unta shadaqah untuk meminum air kencing dan susu unta tersebut, kemudian mereka melakukannya, kemudian sehatlah mereka. Kemudian mereka murtad dan membunuh penggembala untanya serta membawanya. Nabi SAW memerintah- kan untuk menelusuri jejak mereka yang kemudian mereka dapat ditemukan dan dihadapkan ke Nabi SAW, selanjutnya tangan mereka dan kakinya dipotong, matanya dicongkel, karena darahnya tidak ditahan, maka mereka semua meninggal.

 

No

Hal

Footnote

Terjemahan

9.

51

11

Telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya, sesungguhnya ia telah berkata tentang seorang laki-laki yang telah menuduh zina kepada suatu kaum semuanya.

10.

51

12

At-tadahul ialah ketika dalam keadaan dimana terdapat gabungan hukuman dari beberaoa jarimah tersebut maka saling masuk-memasuki, sebagian masuk pada sebagian yang lain, sehingga untuk seluruh jarimah hanya akan menyelesaikan satu hukuman.

11.

52

14

Al-jabbu (penyerapan) di dalam hukum syara’ ialah mencukupkan pelaksanaan hukuman yang pelaksanaannya menghalangi pelaksanaan hukuman lain.

 

 

BIOGRAFI

 

  1. 1.       Imam Syafi’i

Beliau dilahirkan di kota Guzah pada tahun 150 H (767 M) bersamaan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. Nama lengkapnya adalah Abi Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Selama tinggal di Iraq, faham-fahamnya sering dikenal dengan Qaul Qadim, kemudian pada tahun 198 H beliau melawat ke Mesir dan mengadakan interaksi dengan para ulama di sana sehingga lahirlah qaul jadidnya sekaligus sebagai perbaikan terhadap qaul jadidnya.

Adapun karya-karyanya yang sangat terkenal adalah:

  1. Al Risalah
  2. Al Um

Beliau wafat tahun 204 H (820 M) dan ajarannya masih berkembang di negeri Palestina, Yordania, Lebanon, Syria, Iraq, Hijaz, Pakistan, India, Indonesia dan Indo Cina.

 

  1. 2.       Abdul Qadir Audah

Beliau adalah seorang ulama yang terkenal, alumnus dari Universitas Al Azhar, Cairo. Beliau adalah tokoh ulama pada gerakan Akhwanul Muslimin di Mesir. Beliau wafat pada tanggal 6 Desember 1974.

Adapun karya-karyanya adalah:

  1. Kitab at Tasyri ‘al Jinai al –Islami
  2. Al Islam Wa Auladinal – Islam
  3. Islam dan perundang-undangan

 

  1. 3.       R. Soesilo

Beliau adalah seorang perwira polisi dan pernah menjabat sebagai Instruktur Polisi di Jawa Barat. Walaupun beliau tidak dikenali sebagai seorang yang berpendidikan formal dalam bidang hukum, tetapi beliau mampu memberikan penjelasan tentang KUHP yang dituangkan dalam sebuah buku yang berjudul KUHP serta Komentar-Komentarnya lengkap pasal demi pasal.

Beliau bekerja dikementerian Kehakiman RI pada tahun 1946 dan pada tahun 1947 diangkat sebagai anggota MA.

Adapun hasil karyanya adalah:

  1. Hukum Pidana Indonesia
  2. Asas-Asas Hukum perdata
  3. Hukum Acara pidana di Indonesia
  4. Hukum Acara Perdata di Indonesia
  5. Asas Hukum Pidana di Indonesia
  6. KUHP serta Komentar-Komentarnya lengkap Pasal demi Pasal.

 

  1. 4.       Muhammad Abu Zahrah

Beliau adalah guru besar di Universitas Kairo, dikenal pula sebagai ulama dan ahli hukum di Mesir, beliau menyelesaikan pendidikannya di Universitas al –Azhar Kairo, hingga mendapat gelar doktor.

Kemudian beliau dikirim ke Perancis dalam misi ilmiah yang disebut Bi’sah Found. Beliau termasuk orang pertama yang mengembangkan Ilmu Perbandingan Madzhab.

Di antara karya-karya beliau yang terkenal ialah:

  1. al Ahwal asy-Syakhsiyah
  2. Usul al-Fiqh
  3. Al Uquubat

 

  1. 5.       Wahbah al-Zuhaili

Beliau adalah guru besar dalam bidang fiqh dan usul al fiqh pada Universitas Damaskus. Beliau juga seorang yang produktif dalam bidang tulis menulis. Di antara karya-karyanya adalah:

  1. Ushul al-Fiqh
  2. Al Fiqh al islam Wa Adillatuhu

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN-LAMPIRAN

 
   

 

 


[1] A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm.  3.

[2] Abdul Al-Qadir Audah, Al Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamy, Jilid I, (Kairo: Dār al Urubah, 1963) hlm.  442.

[3] Djoko Prakoso, Pemecahan Perkara Pidana (Splitsing) (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 49.

[4] E. Utrecht, Hukum Pidana II (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994) hlm. 137.

[5] Aruan Sakidjo dan Bambang Pornomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum, Hukum Pidana Kodifikasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 169.

[6] R. Soesilo, KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor: Polikeia, 1981), hlm. 68.

[7] E. Utrecht, Hukum Pidana  …  hlm.  137.

[8] Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana … ., hlm.  169-170.

[9] Mas’ad Ma’shum, Hukum Pidana I, (Yogyakarta: Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1989), hlm. 124-125.

 

[10] Abdul Qadir Audah, Al Tasyri’ …., hlm.  747.

[11] H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam) (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 30.

[12] J.E. Sahetapy, Hukum Pidana (Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm.  181-182.

[13] Al An’am (6) : 160.

[14] Al Maidah (5) : 45.

[15] Asy Syura (42) : 40.

[16] Yunus (10) : 27.

[17] Nur’ainy. AM., Hukum Pidana (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 85.

[18] Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 169.

[19] E. Utrecht, Hukum Pidana II (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994), hlm. 137.

[20] Mas’ad Ma’shum, Hukum Pidana I (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1989), hlm. 122.

[21] Zaenal Abidin, dkk., Hukum Pidana (Penerbitan bersama Prapantja Jakarta dan Taufiq Makasar), hlm. 105.

[22] Moch. Anwar, Beberapa Ketentuan Umum dalam Buku Pertama KUHP (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 84.

[23] Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum …, hlm. 169-170.

[24] Pasal 302 ayat (1) penganiayaan ringan terhadap hewan, 352 penganiayaan ringan, 364 pencurian ringan, 373 penggelapan ringan, 379 penipuan ringan, dan 482 penadahan ringan.

[25] R. Soesilo, KUHP …, hlm. 68-74.

[26] Mas’ad Ma’shum, Hukum …, hlm. 124-125.

[27] Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana (Bandung: Armico, 1985), hlm. 28.

[28] Abdul Qadir Audah, Al Tasyri’ …, hlm. 745.

[29] Moch. Anwar, Beberapa …, hlm. 84.

[30] R. Soesilo, KUHP…, hlm. 68.

[31] Lamintang dan Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Sinar Baru, 1979), hlm. 47.

[32] Moch. Anwar, Beberapa …, hlm. 90.

 

[33] E. Utrecht, Hukum …, hlm. 140.

[34] Moch. Anwar, Beberapa …, hlm. 90-91.

[35] Wirdjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT. Eresco, 1989), hlm. 140.

[36] Mas’ad Ma’shum, Hukum …, hlm. 128.

[37] Ibid., hlm. 130-131.

[38] R. Sugandhi, KUHP, hlm. 30.

[39] Muladi & Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni, 1998), hlm. 69.

 

[40] Chidir Ali, Responsi …, hlm. 35.

[41] R. Soesilo, KUHP…, hlm. 69.

[42] Mas’ad Ma’shum, Hukum …, hlm. 134.

[43] Ibid., hlm. 136.

[44] Mr. R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana (tp: tnp, 1959), hlm. 177-178.

[45] Ibid., hlm. 178.

[46] Moch. Anwar, Beberapa Ketentuan Umum, hlm. 104.

[47] Moch. Anwar, Beberapa …, hlm. 95.

[48] R. Soesilo, KUHP…, hlm. 71.

[49] Aruan Sakidjo, Hukum …, hlm. 175.

[50] E. Utrech, Hukum …, hlm. 184.

[51] Mr. J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 225.

[52] Wirdjono Prodjodikoro, Asas-asas …, hlm. 134.

[53] E. Utrech, Hukum …, hlm. 187.

[54] P.A.F. Lamintang & C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Sinar Baru, 1979), hlm. 50.

 

 

[55] R. Soesilo, KUHP …, hlm. 71.

[56] Nur’ainy AM, Hukum …, hlm. 89.

[57] P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Hukum …, hlm. 51.

[58] R. Soesilo, KUHP …, hlm.

[59] Abd. Al-Qadir al-Audah, al-Tasyri’ al-Jinai al-Islami, Jilid I (Beirut: Muassasah al Risalah, 1987), hlm. 744.

[60] Ibid..

[61] A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet. Ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 247.

[62] Al Maidah (5) : 33

[63] Al An’am (6) : 160

[64] Yunus (10) : 27

[65] as-Syura (42) : 40 

[66] al-Hajj (22) : 60

[67] an-Nahl (16) : 126

[68] Abū Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhāri, Shahih al Bukhāri, Jilid IV (Beirut: Dar al Fikr, t.t.), hlm. 174-175.

[69] Muh. Abd. Al Baqi ibn Yusuf al Zurqani, Syarah al-Zurqani ‘ala al Muwatta’ al Imam Malik, Jilid: IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1936), hlm. 152.

[70] Abd. Al-Qadir al-Audah, al Tasyri’ …, Jilid: I, hlm. 747.

[71] A. Hanafi, Asas-Asas …, hlm. 359.

[72] Abd. Al. Qadir Audah, al-Tasyri’ …, Jilid: II, hlm. 443.

[73] Ibid., hlm. 749.

[74] Ibid., hlm. 745.

[75] Ibid..

[76] Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muh. Ibn Qudamah, Al Mughni (Riyad: Maktabah al Riyadi al Haditsah, t.t.), hlm. 298-299.

[77] Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, Jilid IV (Beirut: Dar al Fikr, t.t.), hlm. 168.

[78] Muh. Abu Zahrah, al_uquubah: al Jarimah wa al Uqubah fi al Fiqh al Islam (Beirut: Dar al Fikr, t.t.), hlm. 298.

[79] Wahbah al Zuhaili, al Fiqh …, hlm. 169.

[80] Abi Muh. Abdullah bin Ahmad bin Muh. Ibn Qudamah, al Mughni …, hlm. 299.

 

[81] Ibid. hlm. 299.

[82] Wahbah al Zuhaili, al Fiqh …, hlm. 169.

[83] Abu Zahrah, al Uquubat…, hlm. 300.

[84] Ibid..

[85] Wahbah al Zuhaili, al Fiqh …, hlm. 170.

[86] Ibid., hlm. 170.

[87] Abu Zahrah, Al Uqubat…, hlm. 30.

[88] Abd. Al-Qadir al- Audah, al-Tasyri’ …,  hlm. 628-629.

[89] A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet. Ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 363.

 

[90] Abd. Al-Qadir al- Audah, al-Tasyri’ al-Jinai al-Islami, Jilid: I (Beirut: Muassasah al Risalah, 1987), hlm. 751.

[91] Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam) (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 30.

[92] A. Hanafi, Asas-Asas …, hlm. 364.

[93] Abd. Al-Qadir al- Audah, al-Tasyri’ …, hlm. 753.

[94] A. Hanafi, Asas-Asas …, hlm. 366.

[95] Abd. Al-Qadir al- Audah, al-Tasyri’ …, hlm. 754.

[96] Ibid..

Hadis-Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur’an dengan Ra’yu (Studi pemahaman Hadis Nabi SAW)

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. A.    Latar Belakang Masalah

Hadis yang diyakini sebagai ucapan, perbuatan, ketetapan (taqri<r)[1] dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW merupakan sumber ajaran kedua setelah al‑Qur’an. Ditinjau dari segi periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Semua periwayatan ayat‑ayat al‑Qur’an berlangsung secara mutawatir,[2] sedangkan hadis Nabi diriwayatkan sebagiannya secara mutawatir dan sebagian lainnya diriwayatkan secara ahad [3]. Oleh karenanya, al‑Qur’an memiliki kedudukan qat}’iy al‑wuru>d [4]sedangkan hadis Nabi sebagiannya berkedudukan qat}’iy al‑wuru>d dan sebagian lainnya bahkan yang terbanyak berkedudukan z}anniy al-wuru>d.

Berdasarkan asumsi di atas, maka dilihat dari segi periwayatannya    seluruh al‑Qur’an tidak perlu dilakukan penelitian kembali tentang orisinalitasnya, sedangkan terhadap hadis Nabi SAW khususnya yang termasuk kategori ahad,   maka diperlukan penelitian akan orisinalitasnya.[5] Bertolak dari permasalahan tersebut, maka hadis Nabi SAW sebelum dipahami dan diamalkan, perlu diidentifikasi terlebih dahulu serta diteliti orisinalitasnya dalam rangka kehati‑hatian dalam mengambil hujjah atasnya. Setelah dilakukan pengujian, baru kemudian suatu hadis yang diduga kuat berkualitas sahi<h ditelaah dan  dipahami untuk selanjutnya dapat diamalkan, sebab ada di antara hadis‑hadis yang sahih tersebut yang dapat segera diamalkan (ma’mu>l bih) dengan memahami redaksinya, namun adapula yang tidak segera dapat diamalkan (gair ma’mu>l bih), karenanya menuntut pemahaman yang mendalam dengan memperhatikan latar belakang munculnya hadis (asba>b wurud al‑hadi<s\) serta piranti lainnya. Proses inilah yang dikenal kemudian dengan proses pemahaman hadis atau disebut dengan fiqh al‑hadi<s\.

Sebagaimana umat Islam mengakui bahwa apa yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW yang kemudian dihimpun dalam hadis‑hadis Nabawi merupakan bagian tak terpisahkan dari al‑Qur’an itu sendiri, hal ini disadarikarena salah satu fungsi Nabi Saw adalah menjelaskan al‑Qur’an baik lisani maupun fi’li agar maksud al‑Qur’an dapat dengan segera dipahami dan diamalkan ummatnya. Namun manusia menyadari bahwa persoalan tidak pernah selesai, bahkan    terus   berkembang   sementara   sang   penjelas   (Nabi   SAW)   telah

wafat, oleh karena itu persoalan ini menjadi tantangan bagi ummatnya untuk diselesaikan melalui teknik atau cara‑cara yang dilakukan oleh Nabi SAW agar nilai Islam yang tertuang dalam al-Qur’an tetap relevan hingga akhir zaman, sebagaimana prinsip agama ini yang dikenal dengan sa>1ih 1ikulli zama>n wa maka>n.

Bila ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat ini dihubungkan dengan berbagai kemungkinan persamaan dan perbedaan masyarakat, berarti di dalam ajaran Islam ada ajaran‑ajaran yang berlakunya tidak terikat oleh waktu dan tempat, disamping ada ajaran-­ajaran yang terikat oleh waktu dan tempat tertentu, sehingga di dalam ajaran Islam ada muatan universal, ada pula yang temporal maupun yang lokal.[6]

Menurut petunjuk al-Qur’an Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah untuk semua umat manusia,[7] dan sebagai rahmat bagi seluruh alam[8] (rahmatan li al‑’a<lami<n), artinya kehadiran Nabi Muhammad SAW membawa misi kebajikan dan kerahmatan bagi semua umat manusia dalam segala ruang dan waktu. Di sisi lain, hidup Nabi Muhammad SAW dibatasi oleh ruang dan waktu, dengan demikian apa yang direkam dari kehidupan Nabi Muhammad SAW dalam hadis‑hadis Nabawi memiliki muatan ajaran yang bersifat universal, sekaligus ada muatan temporal dan lokal.[9]

Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa salah satu fungsi Nabi SAW adalah menjelaskan al-Qur’an serta mengejawantahkan Islam melalui ucapan, perbuatan serta perjalanan hidupnya baik dalam kesendiriannya maupun di tengah masyarakat, saat mukim ataupun saat bepergian, saat terjaga maupun pada saat tidur, dalam kehidupan khusus maupun umum, dalam hubungannya kepada Allah ataupun dengan sesama makhluk, dengan orang‑orang terdekat maupun orang‑orang jauh, dengan mereka yang mencintai maupun yang memusuhi, pada masa damai maupun masa perang. saat sehat wal afiat maupun saat menerima musibah.[10]

Hal‑hal di atas itulah yang menuntut umat Islam mempelajari serta memahami sunnah Nabi SAW dengan sebaik­-baiknya, sebagaimana yang telah dicontohkan para sahabat dan generasi tabiin yang secara sungguh‑sungguh berusaha menggali dan mempelajari aktualitas Nabi SAW untuk kemudian mereka amalkan dalam kehidupan sehari‑hari, sehingga dikenallah generasi ini sebagai generasi sebaik-­baik ummat karena mereka mengikuti jejak Nabi SAW demikian pula bagi mereka yang senantiasa mengikuti jalan yang benar tersebut.[11]

Tidak sedikit hadis Nabi yang telah dibukukan oleh para ulama, dan di dalamnya memuat berbagai persoalan yang tak habis‑habisnya untuk diperbincangkan, salah satunya adalah hadis yang memuat tentang larangan Nabi SAW terhadap ummatnya untuk menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y, sementara pada masa sekarang banyak dijumpai dari sebagian umat Islam yang sengaja berlaku nifa>q (munafik) guna mencari kedudukan, pangkat, atau apa saja yang dengan tafsirannya itu mampu melegitimasi pendapatnya demi tujuan pribadi ataupun kelompok, dan hal inilah yang paling dikhawatirkan Nabi SAW.[12] Di sisi lain tafsir­-tafsir al‑Qur’an yang berkembang sampai saat ini, ada di antaranya tafsir yang dikenal dengan sebutan tafsir bi al–ra’y, disamping tafsir bi al- riwayat, lalu bagaimanakah kita mensikapi tafsir bi al-ra’y tersebut.

Guna memecahkan persoalan‑persoalan tersebut, perlu kiranya mempelajari akar polemik di sekitar boleh dan tidaknya menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y yaitu dengan mempelajari lebih jauh dan mendalam tentang hadis “larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y“, dengan harapan tersingkapnya maksud Nabi SAW tersebut sekaligus bentuk‑bentuk real pelarangannya. Salah satu hadis tersebut adalah hadis riwayat al‑Turmudzi:

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهم عَنْهممَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ قَالَ أَبو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Artinya: (Al‑Turmuzi berkata): Mahmud bin Gailan telah menceritakan kepada kami, (Mahmud berkata): Bisyr bin al‑Syariyy menceritakan kepada kami, (Bisyr berkata) : Sufyan menceritakan kepada kami dari ‘Abd al‑A‑’la dari Sa’id bin Jubair dari Ibn ‘Abbas Ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa yang mengatakan tentang (isi) al‑Qur’an dengan tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka” Abu ‘Isa (al-­Turmuzi) berkata: hadis ini hasan sahih.[13]

 

Hadis di atas dipegangi oleh sebagian ulama sebagai dasar penolakan atas tafsir bi al-ra’y, namun sebagian yang lain memahami hadis tersebutsebagai larangan menafsirkan dengan hawa nafsu dan bukan penafsiran melalui kemampuan ijtihad yang melahirkan tafsir bi al-ra’y yang dikenal saat ini

Tentang tafsir bi al-ra’y, ulama juga berselisih pendapat hingga mengkristal pada dua model tafsir bi al-­ra’y, yaitu tafsir bi al-ra’y yang mahmu>d (terpuji) dan tafsir bi al-ra’y yang maz}mu>m (tercela).[14] Terlepas dari klasifikasi tersebut, kata          al-ra’y itulah yang menjadi kata kunci dari perdebatan di atas.

Kata al‑ra’y sendiri dimaknai berbeda‑beda oleh para ulama, sebagian memaknai al-ra’y dalam konteks hadis di atas sebagai. “ijtihad”, ada pula yang memaknainya sebagai “penafsiran tanpa menggunakan il‑mu”, artinya tidak didasarkan pada dalil‑dalil syara’, sebagian yang lain memaknainya sebagai “hawa nafsu”. Mereka yang memaknai al‑ra’y dengan hawa nafsu inilah yang memfatwakan bahwa barang siapa berbicara mengenai al‑Qur’an menurut hawa nafsunya dan tidak memberikan perhatian kepada keterangan yang telah disampaikan kaum salaf, maka sekalipun pendapatnya itu benar, ia tetap dianggap sebagai perbuatan yang keliru, hal tersebut disebabkan karena telah menentukan makna ayat al‑Qur’an tanpa memperhatikan kaedah‑kaedah yang ditentukan oleh ahli hadis.[15]

Bertolak dari permasalahan di atas, maka sangat urgen untuk melakukan pendalaman atas hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y, mengingat banyaknya tafsir al‑qur’an yang berkembang hingga saat ini dikelompokkan pada kategori tafsir bi al-ra’y, apakah kemudian penafsiran‑penafsiran tersebut jatuh pada kelompok yang diancam Nabi atau tidak.

  1. B.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah dalam penelitlan skripi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah makna dari hadis‑hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y?
  2. Bagaimanakah kedudukan tafsir bial-ra’y dalam al-Qur’an?
  3. Kapankah hadis-hadis itu melarang menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y?

 

  1. C.    Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Berdasarkan    rumusan masalah di atas, penulisan skripsi ini bertujuan untuk:

  1. Untuk mengetahui makna hadis‑hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y
  2. Untuk mengetahui kedudukan tafsir bi al-ra’ydalam sumber al-Qur’an
  3. Untuk mengetahui batasan larangan hadis tersebut.

Adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini adalah:

 

  1. Menambah wawasan serta memperkaya hazanah intelektual, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya
  2. Menambah kepustakaan bagi Institut, Fakultas dan Jurusan pada khususnya.
  3. Untuk melengkapi sebagian dari syarat‑syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu dalam bidang ilmu Tafsir dan Hadis pada Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ka1ijaga.

 

  1. D.    Telaah Pustaka

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, penulis menemukan beberapa literatur yang berhubungan dengan masalah yang dibahas, antara lain:

DaIam kitab Tuhfah al‑Ahwaz}i< Syarh Jami<‘ al-Turmuz}i<, pengarang kitab ini menjelaskan cukup panjang tentang menafsirkan al-Qur’an dengan al‑ra’y,[16] hanya saja pembahasan di dalamnya terfokus pada perdebatan hadis tersebut ansich, sedangkan aspek yang terkait dengan tafsir bi al-ra’y sebagai sisi lain dari tafsir bi al­‑riwa<yah masih ada peluang untuk diperbincangkan lagi.

Dalam kitab ‘Aun al‑Ma’bu>d Syarh Sunan Abi< Dawu>d, Juga secara ringkas telah menjelaskan tentang larangan menafsirkan al‑Qur’an dengan al‑ra’y yaitu dalam bab ilmu.[17]

Kemudian buku karya Fahd bin ‘Abd al‑Rahman al‑Rumi yang berjudul Dira>sah fi< ‘Ulu>m al‑Qur’a>n, di dalamnya menjelaskan persoalan yang ada dalam lingkup ilmu‑ilmu al‑Qur’an termasuk di dalamnya sekilas tentang manafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y yang disimpulkan oleh penulis kitab ini sebagai kelompok tafsir al-Qur’an bi al-ra’y yang maz}u>m.[18]

Dalamkitab Ittiha>f al‑Sadah al‑Muttaqi<n Syarh Ih}ya> ‘Ulu>m al‑Di<n yangsebenarnya kitab ini lebih fokus pada hal‑hal yang terkait dengan ‘Ubudiyah, namun di dalamnya juga diuraikan cukup panjang tentang tafsir al-Qur’an bi al-ra’y juga tentang aktifitas menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y.[19]

Kemudian dalam kitab al‑Tafsi<r wa al-Mufassiru>n, al‑Zahabi menguraikan tentang apa itu tafsir, ahli tafsir karya‑karya tafsir dan lainnya, termasuk di dalamnya tentang tafsir bi al-ra’y yang diperbolehkan maupun tafsir bi al-ra’y yang tidak diperbolehkan.[20]

Ahmad al‑Syirbasi dalam bukunya yang telah diIndonesiakan dengan judul Sejarah Tafsir al-Qur’an, juga menguraikan tentang kekhawatirannya atas penafsiran al‑Qur’ an dikarenakan adanya nash hadis tentang larangan menafsirkan al‑Qur’an dengan al‑ra’y, namun pada sisi lain ia juga menjelaskan tentang tafsir bi al‑’aql dan tafsir bi al‑naql.[21]

Dalam kitab yang lain yaitu usul al‑Tafsi<r wa Qawa>’iduhu, Syaikh Khalid bin          ‘Abd al‑Rahman al-Fakki menjelaskan dengan panjang lebar mengenai pertumbuhan tafsir, kaedah‑kaedah penafsiran sampai pada tafsir bi al-ra’y juga tentang menafsirkan al‑Qur’an dengan al‑ra’y.[22]

Dari beberapa penelusuran pustaka tersebut di atas, penulis masih memiliki peluang untuk mengkaji secara khusus dan mendalam terhadap hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y serta korelasinya dengan fenomena tafsir bi al-ra’y yang berkembang hingga saat ini. Oleh karena itu perlu kiranya menguji kembali pemahaman dari larangan asasi pada hadis tersebut.

 

  1. E.    Metode Penelitian

Dalam rangka menemukan jawaban atas persoalan-­persoalan di atas, penulis hendak mengungkap dengan langkah‑langkah metodologis sebagai berikut;

  1. Penelitian skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan, karena data‑data penelitian ini hampir keseluruhannya adalah data‑data kepustakaan
  2. Karena fokus penelitian ini ada pada hadis Nabi sebagai kunci persoalan, maka sumber primer penelitian ini adalah kitab‑kitab hadis Nabi, dan karena banyaknya kitab hadis maka penulis mengambil sample hadis secara purposed yaitu kitab‑kitab hadis yang dianggap lebih kuat kehujjahannya, sehingga proses uji orisinalitasnya tidak perlu detail.
  3. Adapun sumber‑sumber sekunder yang dapat digunakan dalam memahami hadis secara tekstual maupun kontekstual, maka digunakanlah kitab‑kitab syarh hadis juga kitab‑kitab yang terkait dengan perdebatan tafsir al‑Qur’an bi al-ra’y.
  4. Pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi, yaitu metode pengumpulan data yang bersifat dokumenter.[23] Dalam hal ini penghimpunan data dilakukan dari perpustakaan atau tempat yang menyimpan dokumen, setelah terkumpul, diklasifikasikan lalu dianalisis.
  5. Analisis data dilakukan melalui metode deduktif yaitu melalui penghimpunan data yang masih umum dinterpretasikan guna mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus.[24] Dalam menganalisa data tersebut penulis dibantu oleh metode pemahaman hadis Syuhudi Ismail yang di dalamnya menekankan pada pemilihan makna yang tepat, artinya, mungkin saja sebuah hadis dalam kondisi tertentu lebih tepat dipahami secara tersurat (tekstual), sedang hadis tertentu lainnya lebih tepat dipahami secara tersirat (kontekstual).
  6. Penerapan pemahaman hadis secara tekstual dilakukan bila hadis tersebut dihubungkan dengan latar belakang terjadinya tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis tersebut, sebaliknya, pemahaman secara kontekstual dilakukan bila teks hadis tersebut ada petunjuk yang kuat yang mengharuskannya dipahami tidak sebagaimana yang tersurat (tekstual).[25]

 

  1. F.     Sistematika Pembahasan

Secara garis besar penyusunan skripsi ini dibagi ke dalam tiga bagian yaitu pendahuluan, isi dan penutup. Ketiga bagian tersebut saling terkait atau satu bagian yang integralistis.

Adapun sistematika secara rinci sebagai berikut: Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, telaah pustaka,       metodologi penelitian serta sistematika pembahasan. Bab II berisi pengantar tentang problematika pemahaman, dan metodologi pemahaman hadis Nabi. Bab III berisi materi hadis tentang larangan menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y berikut sekilas kualitasnya. Bab IV berisi pemahaman‑pemahaman makna dari hadis sekaligus perdebatan di seputar otoritas tafsir bi al­ra’y dan kecenderungan ulama di dalamnya. Bab V berisi kesimpulan saran dan penutup.

BAB II

PEMAHAMAN HADIS

 

A.  Problematika Pemahaman Hadis

Keberadaan Hadis Nabi SAW sebagai sumber hukum Islam setelah al‑Qur’an telah disepakati oleh sebagian besar umat Islam. Oleh karena itu kedudukan hadis Nabi SAW sangat strategis dalam kehidupan umat Islam, ia memiliki otoritas tertinggi setelah al‑Qur’an karena di dalamnya memuat sejumlah sunnah Nabi SAW yang menuntut umat Islam menggunakan atau mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari‑hari.

Pada mulanya sunnah Nabi SAW diikuti secara langsung oleh sahabat‑sahabatnya baik yang mendengar secara langsung maupun melalui sistem, periwayatan yang pada umumnya masih berlangsung secara safahi (lisan), Kemudian berangsur-angsur atsar Nabi SAW ini dikhawatirkan memudar bahkan menjadikan hilangnya sunnah Nabi SAW yaitu seiring dengan mulai sedikitnya penghafal hadis, satu demi satu sahabat mulai wafat berikut generasi tabi’in yang memeliharanya juga semakin berkurang, terlebih berkecamuknya politik yang mengakibatkan munculnya hadis-hadis palsu dan sebagainya. Kondisi inilah yang dipikirkan Umar bin `Abd al‑`Aziz (w. 101) untuk melakukan kebijakan strategis yang terkait dengan kekuasaannya yang dibarengi kecintaan akan ilmu agama, yaitu penghimpunan hadis‑hadis Nabi SAW.

Adanya selisih waktu yang cukup panjang antara periwayatan hadis secara lisan dengan penghimpunan serta pembukuan hadis secara resmi memunculkan kesangsian atas otentisitas hadis sebagai suatu berita yang benar‑benar bersumber dari Nabi SAW, lebih‑lebih di antara periwayatan dengan masa pembukuan tersebut telah terjadi berbagai konflik serta pertikaian yang terkait dengan ideologi, politik dan sebagainya.

Hal itulah yang menjadikan pengkajian   terhadap keotentikan suatu hadis menjadi bagian tak terpisahkan dari studi kritis terhadap hadis Nabi SAW. Problem tersebut tidak terhenti begitu saja saat telah dipastikan hadisnya sahi<h, sebab rentang waktu yang panjang itu pula yang menyebabkan proses pemahaman terhadap suatu hadis ada kalanya mudah dan segera dapat dipraktekkan namun sebagian yang lain dipahami kurang tepat, sehingga status hadis yang sahi<h adakalanya ma’mu>l bihadakalanya gair ma’mu>l bih. Hal inilah yang mendorong lahirnya ilmu ma’a>ni al‑hadi<s[26]guna menjembatani teks yang hadir padamasa Nabi SAW hidup dengan realitas kehidupan umatnya yang terus ada sampai sekarang dan dalam ruang yang berbeda.

Realita juga menunjukkan bahwa tidak semua sanad hadis yang berkualitas sahi<h, secara otomatis matannya juga berkualitas sahi<h. Syuhudi Ismail mengemukakan beberapa kemungkinan sebab di antaranya:

  1. Karena telah terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian matn umpamanya  karena kesalahan  dalam   menggunakan  pendekatan ketika meneliti matn yang bersangkutan.
  2. Karena telah terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian sanad, atau
  3. Karena matan hadis yang bersangkutan telah mengalami periwayatan secara makna yang ternyata mengalami kesalahpahaman.

Memperhatikan kemungkinan terjadinya kesalahan yang terjadi di atas, maka penelitian ulang terhadap sanad dan matan hadis tidak hanya bersifat komfirmatif semata, melainkan perlu dan penting.[27]

Pada aspek isi hadis, yang dipahami sahabat dari aktualitas diri Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan maupun hal‑hal lain yang bersumber darinya‑ sarat akan kemampuan dan daya tangkap sahabat, ada yang berusaha menggambarkan secara detail yaitu berikut dengan setting munculnya hadis (asba>b al-Wuru>d al‑Hadi<s\), ada pula yang tidak (hanya menuturkan essensinya saja), sehingga bagi generasi selanjutnya mengalami kesulitan bahkan kesalahan di dalam memahami maksud hadis yang sebenarnya.

Terlebih suatu aktifitas Nabi SAW, ada kalanya disaksikan oleh perorangan, adakalanya beberapa orang, terkadang dari beberapa orang tersebut berlangsung secara bersamaan, ada kalanya berlangsug dalam waktu yang berbeda dengan situasi dan kondisi yang berbeda, dian-                                                                                                                                                                                                                                                                                               taranya ada yang menjaga periwayatan secara lafz}i adakalanya cukup memahami isi dan dibahasakan sendiri oleh sahabat. Hal ini pulalah yang memunculkan ragam redaksi hadis yang tak jarang antara satu redaksi hadis dengan redaksi hadis lainnya dalam satu persoalan berbeda bahkan ada yang saling bertolak belakang (mukhtalaf).

Atas dasar hal tersebut di atas, umat Islam dituntut untuk kritis dalam mengkaji serta memahami suatu hadis, tanpa upaya kritis tersebut hanya akan memunculkan selisih paham yang sudah barang tentu akan menumbuhkan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri.

 

B. Metodologi Pemahaman Hadis

Sebagaimana diuraikan dalam problematika pemahaman hadis di atas, ulama yang konsen dalam bidang kajian hadis berusaha untuk memberikan teknik‑teknik berinteraksi dengan hadis Nabi SAW. Dalam sub bahasan ini akan dikemukakan beberapa metode yang dilahirkan olehbeberapa tokoh kontemporer yang nantinya dapat digunakan sebagai pisau analisis dari penelitian skripsi ini, di antaranya  adalah  model  metode pemahaman yang disistematisasikan Yusuf Qardhawi dan Syuhudi Ismail.

 

  1. Yusuf Qardhawi

Menurutnya, hadis Nabi SAW memiliki kedudukan yang penting dalam ajaran Islam, karenanya umat harus melihatnya melalui metode yang tepat yaitu bingkai Ajaran Islam yang menyeluruh (komprehensip), keseimbangan dan memudahkan.[28] Karenanya pula dalam, memahami sunnah Nabi melalui hadis‑hadisnya tersebut harus menghindarkan diri dari upaya pemahaman atau penafsiran yang ekstrim, tanpa dasar atau dengan pengalihan (manipulasi).[29]

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka seseorang yang hendak memahami hadis haruslah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

  1. Memahami al‑Sunnah dengan berpedoman pada al‑Qur’an.[30] Untuk memahami al‑Sunnah dengan benar, jauh dari penyimpangan, maka, salah satu bentuk pentakwilan terhadap hadis haruslah dilakukan dibawah naungan al‑Qur’an serta dalam lingkup orientasi rabbani yang benar dan adil. Sebagaimana tertuang dalam ayat al­-Qur’an:
وتمت كلمة ربك صدقا وعدلا لا مبدل لكلماته وهو السميع العليم

Pada prinsipnya al‑Sunnah dengan al‑Qur’an itu tidak pernah bertentangan, bila hal itu terjadi kemungkinan salah di dalam memahami al‑Sunnah itu sendiri.

 

  1. Mengumpulkan hadis‑hadis dalam satu topik[31]

Hendaknya hadis‑hadis tersebut dikumpulkan dalam satu topik, sehingga seluruh model hadis dapat diperhatikan, sekiranya ada yang mutasya>bih dikembalikan pada yang muh}kam,bila ada yang mut}laq dapat dihadapkan dengan yang muqayyad, yang `a>m dapat ditafsirkan oleh yangkha>s, sehingga satu sama lain       saling melengkapi dan memudahkan pengkaji mengkonstruknya.

 

  1. Memadukan atau mentarjih antara hadis‑hadis yang kontradiktif.[32]

Prinsip umum dan yang paling asal bahwa nash‑nash syari’ah (al‑Qur’an dengan al‑Qur’an, al‑Qur’an dengan hadis, hadis dengan hadis) tidak mengandung kontradiksi, sebab kedua‑duanya bersumber dari syari’ (pembuat syari’at yaitu Allah Zat Yang Maha Benar)

 

  1. Memahami hadis dengan  mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisinya ketika diucapkan serta tujuannya.[33]

Hal tersebut didasarkan bahwa suatu ungkapan (lebih‑lebih yang mengandung     muatan            hukum) sangat dipengaruhi oleh `illah tertentu, sehingga hukum itu ditetapkan karena adanya `illah tersebut, demikian pula tidak ditetapkan ketika hilang `illah­nya.

 

  1. Membedakan antara sarana yang berubah‑ubah dan sasaran yang tetap.[34]

Salah satu kecerobohan umat bila memahami suatu hadis, dengan mencampuradukkan antar sasaran dengan sarana, sebagian melihat kemutlakan sarana mengabaikan sasarannya. Sehingga menampilkan sosok kehidupan Nabi yang tidak lagi relevan dalam konteks kekinian (perkembangan peradaban dengan sarana dan prasarananya yang jauh berbeda dengan masa Nabi)

  1. Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat majaz dalam memahami hadis Nabi.[35]

Nabi SAW hidup di tengah masyarakat Arab yang sadar akan nilai seni, beliau dikenal menguasai balagah (ilmu retorika), karenanya banyak di antara ungkapan itu yang sarat akan makna‑makna majaz (kiasan, metafor) disamping ungkapan haqiqi (sebenarnya), karenanya umat dalam memahami hadis juga harus mampu membedakan ungkapan beliau yang sarat akan makna majaz  (kiasan)

 

  1. Membedakan antara hadis yang memuat alam gaib dengan alam yang kasat mata.[36]

Di antara penjelasan Nabi SAW terkait dengan alam gaib sebagai bagian dari keimanan umat Islam., seperti Allah, Malaikat, surga neraka dan sejenisnya. Tentang hal ini diperlukan kearifan memahaminya, khususnya bila hadis itu sahi<h, makasekiranya bertentangan dengan kemampuan akal, tidak tergesa diklaim da’i<f, karena boleh jadi ketidak mampuan akal dalam memahaminya.

 

  1. Memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis.[37]

Ungkapan bahasa suatu masyarakat memiliki cakupan makna           tersendiri (makna konotasi) yang mungkin berbeda dengan        ungkapan yang sama pada masyarakat yang berbeda,            karenanya harus hati‑hati dalam memahami kata‑kata konotatif tersebut

 

  1. Syuhudi Ismail

Menurut Syuhudi Ismail, al‑Qur’an telah menjelaskan fungsi serta tugas Nabi Muhammad, baik sebagai rahmatan li al‑‘a>lami<n, juga sebagai manusia biasa. Oleh karenanya apa yang lahir dari ekspresi Nabi SAW, disamping memiliki muatan universal, pada saat yang sama, ekspresi tersebut juga muncul dari diri Muhammad sebagai manusia biasa yang hidup pada konteks waktu dan wilayah yang terbatas.

Beliau juga hidup bersama yang lain (berinteraksi) baik sebagai keluarga, tetangga, kepala negara, da`i dan sebagainya, sehingga kompleksitas diri yang integral dalam dirinya turut mewarnai apa yang terlahir dari aktualisasi hidupnya.

Berdasarkan argumen itulah maka hadis Nabi sarat akan nilai universal, temporal dan lokal, pada sisi lain sarat akan fungsi beliau sebagai Rasul, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, pribadi dan lainnya. Hal ini pulalah yang harus diperhatikan ketika memahami hadis tersebut.[38]

Syuhudi Ismail juga menjelaskan bahwa apa yang terekam dari        aktualisasi Nabi yang dikenal kemudian dengan hadis‑hadis             Nabawi merupakan teks‑teks yang kemudian dapat dipahami dari makna yang tersurat, tetapi sekaligus dapat dipahami pada konteks apa teks tersebut muncul. Itulah sebabnya, ada beberapa hadis yang tepat ketika         dipahami secara teks, tetapi ada pula yang kurang tepat kalau tidak       dipahami konteksnya. Hal inilah yang melahirkan pemahaman tekstual dan kontekstual.[39]

Lebih lanjut Syuhudi  memetakan bentuk matan Hadis yang menuntut cara pemahaman yang berbeda‑beda masing-masing bentuk tersebut, di antaranya berbentuk kalimat pendek yang padat makna (Jawa<mi’ al‑Kala>m), bentuk tamsil, bentuk ungkapan simbolik, bentuk dialog, dan ungkapan analogi.[40]

Peta lainnya adalah memahami hadis berdasarkan peran dan fungsi Muhammad, apakah sebagai Rasulullah, pemimpin negara, pribadi dan sebagainya.[41]Peta lainnya adalah petunjuk hadis Nabi SAW yang dibubungkan dengan sebab yang mengiringi baik secara langsung tergambar dalam hadis maupun tidak, baik sebab khusus ataupun umum.[42]

 

Dan terakhir Syuhudi memberikan teknik penyelesaian dalam memahami hadis‑hadis yang tampak saling bertentangan.[43] Hadis tersebut dinilai ikhtila>f (dipertentangkan) bila memiliki kualitas yang setara sementara redaksinya bertolak belakang, oleh karena itu penelitian terhadap sanad menjadi penting sebelum diklaim hadis itu ikhtila>f.

Syuhudi mengemukakan beberapa upaya ulama sebelumnya dalam menyelesaiakn hadis‑hadis yang mukhtalaf tersebut, antara lain:[44]

  1. al‑Tarji<h (meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat)
  2. al-Jam’u a1‑Taufi<q atau al‑Talfi<q,  yakni kedua hadis yang tampak bertentangan dikompromiskan, atau sama­-sama diamalkan sesuai konteksnya)
  3. al‑Na>sikh wa al‑Mansu>kh (petunjuk dalam hadis yang satu dinyatakan sebagai “penghapus” dan yang lainnya sebagai “yang dihapus”)
  4. al‑Tauqi<f (“menunggu” sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan.

Dari beberapa model penyelesaian tersebut antara ulama satu dengan ulama lainnya menggunakan tolok ukur serta prioritas yang berbeda, ada yang mendahulukan al-Jam’u, ada yang mendahulukan al‑Tarji<h, ada  pula yang mendahulukan al‑Na>sikh wa al‑Mansu>khdiatas cara yang lainnya.

Upaya ini dilakukan ulama untuk meyakinkankan bahwa pada dasarnya dalam hadis‑hadis itu tidak ada pertentangan, kalaupun. ada perbedaan redaksi yang seolah bertentangan, boleh jadi karena tidak memahami konteks masing‑masing, atau sejarah atau kapan hadis itu muncul.

BAB III

HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN DENGAN AL-RA’Y

 

Redaksi Hadis

Hadis-hadis tentang larangan menafsirkan al‑Qur’an dengan al‑ra’y yang sering dijadikan landasan ulama ketika membahas persoalan ini adalah intinya berbunyi sebagai berikut:

مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

 

Hadis dengan substansi yang hampir sama dengan muatan redaksi hadis di atas cukup banyak, oleh karena itu penelitian ini hanya memfokuskan kepada beberapa redaksi hadis yang memungkinkan memuat maksud yang agak berbeda. Pemilihan secara purposed ini juga dimaksudkan untuk memfokuskan bahasan pada aspek pemahaman materi hadis bukan semata‑mata aspek sanad hadis, sekalipun aspek yang terakhir ini menjadi bagian tak terpisahkan dari hadis itu sendiri.

Berdasarkan penelusuran kata man qa>la fi< al‑Qur’a>n, fi< kita>billa>h, bira’yihi, bigair ‘ilm dan yang setara dengannya melalui kitab al‑Mu’jam karya A.J. Wensinck[45], peneliti mendapati beberapa hadis dan akan memaparkan 4 model hadis tersebut antara lain:

  1. Inti hadis ”siapa yang menyatakan sesuatu tentang al‑Qur’an dengan ra’yu‑nya maka hendaklah ia menempati tempat duduk dari api neraka”, redaksi hadis selengkapnya sebagai berikut:

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ عَمْرٍو الْكَلْبِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اتَّقُوا الْحَدِيثَ عَنِّي إِلَّا مَا عَلِمْتُمْ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ قَالَ أَبو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ (الترمذى)

(al‑Turmuzi berkata): Sufya>n bin Waki<’ menceritakan kepada kami, (Sufyan berkata): Suwaid bin `Amr al-­Kalbi menceritakan kepada kami, (Suwaid berkata): Abu `Awa>nah menceritakan kepada kami dari `Abd al‑A`la> dari Sa`id bin Jubair dari Ibn `Abbas dari Nabi Saw, beliau bersabda; takutlah kalian (hati‑hati dalam memegangi) hadis‑hadis dariku kecuali yang benar‑benar telah aku ajarkan kepada kalian, barangsiapa berbohong atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari api neraka, siapa yang mengatakan sesuatu tentang al‑Qur’an dengan ra’yu‑nya maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka[46]

 

  1. Inti Hadis “siapa yang menyatakan sesuatu tentang al‑Qur’an tanpa landasan ilmu maka hendaklah ia menempati tempat duduk dari api neraka” redaksi hadis selengkapnya sebagai berikut:

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهم عَنْهممَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ قَالَ أَبمو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيح ٌ (الترمذى)

(Al‑Turmuzi berkata): Mahmud bin Gaila>n telah menceritakan kepada kami, (Mahmud berkata): Bisyr bin al‑Syariy menceritakan kepada kami, (Bisyr berkata): Sufya>n menceritakan kepada kami dari `Abd al‑A`la> dari Sa`id bin Jubair dari Ibn `Abba>s Ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa yang mengatakan tentang (isi) al‑Qur’an dengan tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka” Abu `Isa (al‑Turmuzi) berkata: hadis ini h}asan s}ah}i<h}[47]

 

 

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى الثَّعْلَبِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (احمد)

(Ahmad berkata): Waki` telah menceritakan kepada kami, (Waki` berkata): Sufya>n telah menceritakan kepada kami dari `Abd al‑A`la> al‑Sa`labi dari Sa`id bin Jubair dari Ibn `Abba>s Ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa yang mengatakan tentang (isi) al‑Qur’an dengan tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka.[48]

 

حَدَّثَنَا مُؤَمَّلٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (احمد)

(Ahmad berkata): Mu`ammal telah menceritakan kepada kami, (Mu`ammal berkata): Sufya>n telah menceritakan kepada kami, (Sufya>n berkata): `Abd al‑A`la al‑ telah menceritakan dari Sa`id bin Jubair dari Ibn ‘Abba>s Ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa yang mengatakan tentang (isi) al‑Qur’an dengan tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka.[49]

 

  1. Inti hadis “siapa yang menyatakan kebohongan tentang al‑Qur’an dengan ra’yu-nya maka hendaklah ia menempati tempat duduk dari api neraka”, redaksi hadis selengkapnya sebagai berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّقُوا الْحَدِيثَ عَنِّي إِلَّا مَا عَلِمْتُمْ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ كَذَبَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارَ (احمد)

(Ahmad berkata): Abu al‑Walid telah menceritakan kepada kami, (Abu al‑Walid berkata): Abu `Awa>nah telah menceritakan kepada kami dari `Abd al‑A`la> dari Sa`id bin Jubair dari Ibn ‘Abba>s Ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: takutlah kalian (hati‑hati) terhadap hadis-hadis dariku kecuali yang benar‑benar telah aku ajarkan kepada kalian, karena sesungguhnya siapa yang berbohong atas namaku secara sengaja maka hendaklah ia menempati tempat duduk dari api neraka dan siapa yang berbohong tentang (isi) al-­Qur’an dengan tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka.[50]

 

حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى الثَّعْلَبِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اتَّقُوا الْحَدِيثَ عَنِّي إِلَّا مَا عَلِمْتُمْ قَالَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَى الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (احمد)

(Ahmad berkata): `Affa>n telah menceritakan kepada kami, (`Affa>n berkata): Abu `Awa>nah telah menceritakan kepada kami, (Abu `Awa>nah berkata); `Abd al‑A`la> al‑Sa`labi telah menceritakan kepada kami dari Sa`id bin Jubair dari Ibn `Abba>s Ra. dari Rasulillah SAW, beliau bersabda: takutlah kalian (hati‑hati) terhadap hadis‑hadis dariku kecuali yang benar‑benar telah aku ajarkan kepada kalian, beliau bersabda: siapa yang berbohong atas al-­Qur’an dengan tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka.[51]

 

  1. Inti hadis “siapa yang menyatakan sesuatu tentang al‑Qur’an dengan ra’yu‑nya maka bila benarpun ia telah salah”, redaksi hadis selengkapnya sebagai berikut:

حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ هِلَالٍ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَهُوَ ابْنُ أَبِي حَزْمٍ أَخُو حَزْمٍ الْقُطَعِيِّ حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ الْجَوْنِيُّ عَنْ جُنْدَبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ قَالَ أَبمو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ (الترمذى)

 

(al‑Turmuzi berkata): `Abd bin Humaid telah menceritakan kepada kami (`Ubaid berkata): H{abba>n bin Hila>l telah menceritakan kepada kami, (H{abba>n berkata): Suhail bin `Abdillah yaitu Ibn Abi Hazm saudara  dari Hazm al‑Quta`iy telah menceritakan kepada kami, (Suhail berkata): Abu `Imran al‑Jauni telah menceritakan kepada kami dari Jundub bin `Abdillah, ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: siapa menyatakan, tentang (isi) kitab Allah `Azza wa Jalla dengan ra’yu‑nya lalu benar (hasilnya), maka sungguh ia telah bersalah. Abu `Isa al‑Turmuzi berkata: ini hadis garib[52]

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَاقَ الْمُقْرِئُ الْحَضْرَمِيُّ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ مِهْرَانَ أَخِي حَزْمٍ الْقُطَعِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ عَنْ جُنْدُبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ (ابو داود)

 

(Abu Dawud berkata): `Abdulla>h bin Muh}ammad bin Yahya telah menceritakan kepada kami. (`Abdullah berkata): Ya`qub bin Ish}a>q al‑Muqri’ al‑Hadrami telah menceritakan kepada kami, (Ya`qub berkata): Suhail bin Mihran sudara dari Hazm al‑Quta`iy telah menceritakan kepada kami, (Suhail berkata): Abu `Imran telah menceritakan kepada kami dari Jundub, ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: siapa menyatakan tentang (isi) kitab Allah `Azza wa Jalla dengan ra’yu‑nya lalu benar (hasilnya), maka sungguh ia telah bersalah.[53]

 

Nilai Hadis

Hadis‑hadis diatas secara umum bersumber dari dua orang sahabat, model 1, 2 dan 3 bersumber dari Ibn `Abbas, sedangkan model 4 bersumber dari Jundub, artinya hadis‑hadis di atas diriwayatkan oleh orang perorang (ah}ad) atau tidak sampai pada derajat mutawatir, oleh karena itu meneliti sejauh mana kualitasnya menjadi penting guna digunakannya sebagai hujjah.

Berikut gambaran skematis jalur periwayatan hadis no 1‑4

 

 

 

 

   
   
 
   
 
   
 
 

التررمذى

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hadis no 2

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hadis no 3

           

 

 

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hadis no 4

 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pada hadis no 1, 2 dan 3 keseluruhannya bersumber dari Ibn `Abbas, yang kemudian ditransmisikan kepada Sa`id bin Jubair, lalu kepada `Abd al‑A`la, melalui `Abd al‑A`la inilah bercabang kepada Sufyan dan Abu `Awanah. Beberapa rawi yang meriwayatkan dari Sufyan antara lain Waki` dan Muammal sebagaimana di‑takhri<j Ahmad, sementara yang meriwayatkan dariSufyan juga yang di‑takhri<j al-­Turmuzi adalah Bisyr bin al‑Sariyy melalui Mahmud bin Gailan. Sementara rawi yang meriwayatkan dari Abu `Awanah antara lain Suwaid bin `Amr yang di‑takhrij al‑Turmuzi melalui Sufyan bin Waki`, rawi lainnya adalah (yang meriwayatkan dari Abu `Awanah) Abu al‑Walid dan `Affan yang di‑takhrij Ahmadbin Hanbal.

Sedangkan pada hadis 4 yang ditakhri<jal‑Turmudzi dari `Abd bin Humaid dari Habban bin Hilal dari Suhail dari Abu `Imran al‑Jauni dari Jundub bin `Abdillah. Yang lainnya di‑takhri<j Abu Dawud melalui `Abdullah bin Muhammad bin Yahya dari Ya`qub bin Ishaq al‑Hadrami dari Suhail dengan jalur yang sama dengan jalur sanad al­-Turmuzi. Tentang kualitas masing‑masing rawi tersebut dapat dilihat dalam informasi sepintas para rawi berikut ini:

 

  1. Ibn `Abba>s[54]

Nama lengkapnya adalah `Abdulla>h bin `Abba>s bin `Abd al‑Mut}alib al‑Hasyimi, anak laki‑laki dari paman Nabi Muhammad SAW, ia dikenal dengan habr dan bahr (tinta dan lautan) karena banyaknya ilmu Ibn `Abba>s ini, ia wafat pada tahun 69 H ada juga yang menyatakan tahun 70 H.

Ia banyak meriwayatkan hadis dari Nabi Muhamad Saw, juga dari ayahnya, ibunya (Umm Fad}l), saudara laki-­lakinya (Fad}l), bibinya (Maimunah), Abu Bakr, `Umar, `Usma>n, `Ali<, `Abd al‑Rah}ma>n bin `Auf dan lainnya.

Di antara mereka yang banyak meriwayatkan hadis darinya antara lain: `Abdulla>h Ibn `Umar bin al‑Khat}t}ab, Sa`labah bin al‑Hakam, al‑Laisi, Sa`id bin al‑Musayyib, `Abdulla>h bin al‑Haris\ bin Naufal, Sa`id bin Jubair dan lainnya.

Tentang kredibilitasnya tidak dipertanyakan lagi, lebih‑lebih Nabi Muhammad SAW pernah berdo’a khusus untuknya alla>humma faqqihhu fl< al‑di<n wa ‘a11imhu al-­ta’wi<l.

 

  1. Jundub bin `Abdilla>h[55]

Nama lengkapnya Jundub bin `Abdilla>h bin Sufya>n al‑Bajali al‑`Alqi, Abu `Abdilla>h, ia adalah salah seorang sahabat Nabi SAW. Terkadang namanya dinasabkan kepada kakeknya kadang disebut Jundub bin Khalid bin Sufyan. Menurut al‑Bukhari dalam kitabnya al‑Ta>rikhJundub meninggal antara tahun 60 H. sampai dengan 70 H.

Ia metiwayatkan hadis dari Nabi Saw dan Huzaifah, sedangkan rawi yang meriwayatkan darinya antara lain: al-­Aswad bin Qais, Anas bin Sirin, al‑H}asan al‑Basri, Abu Majlaz, Abu> `Imra>n al‑Jauni dan lainnya.

Tentang kualitasnya tidak banyak komentar dari ulama, oleh karena itu kembali kepada prinsip keadilan sahabat.

  1. Sa`id bin Jubair[56]

Nama lengkapnya Sa`id bin Jubair bin Hisyam al‑Asadi al‑Kufi, wafat di Iraq pada tahun 94 H.

Ia meriwayatkan hadis dari Ibn `Abba>s, Ibn al‑Zubair, Ibn `Umar, Ibn Ma`qil, Abu Mas`u>d al‑Ansari, Abu Hurairah dan lainnya.

Di antara rawi yang meriwayatkan darinya adalah `Abdulla>h bin Sa`id `Abd al‑Ma>lik bin Sa`id, Abu Ishaq al‑Sabi`iy, Adam bin Sulaiman, Mansur bin al‑Mu`tamir, Talhah bin Masraf dan lainnya.

Tentang kualitasnya, Ibn Hibban menyebutkan dalam kitabnya al‑Siqa>t bahwa ia seorang yang  faqih, `abid.

 

  1. Abu `Imra>n al‑Jauni[57]

Nama lengkapnya `Abd al‑Mali<k bin Habib al‑Azdi, ada yang menyatakan al‑Kindi, Abu `Imra>n al‑Jauni al‑Basri, ia wafat pada tahun 123 H, ada yang menyatakan 128 H.

Ia meriwayatkan hadis dari Jundub bin `Abdilla>h al-­Bajali, Anas, `Adulla>h bin al‑Samit, `Alqamah bin `Abdilla>h dan lainnya.

Di antara rawi yang meriwayatkan darinya antara lain: Ibn `Aun, Syu`bah, Abu Qudamah a1‑Haris\ bin `Ubaid, Hama>m bin Yahya>, Ziyad bin al‑Rabi>’ dan lainnya.

Ulama berkomentar positif terhadapnya seperti Ibn Sa`d yang menilainya siqah.

 

 

 

 

  1. `Abd al‑A`la>[58]

Nama lengkapnya `Abd al‑A`la bin `Amir al‑Sa`labi al‑Kufi. Ia meriwayatkan hadis dari Abu `Abd al‑Rahma>n al‑Sulami, Muhammad ibn Hanafiyyah, Sa`id bin Jubair, Bila>l bin Abi< Mu>sa dan lainnya.

Di antara rawi yang meriwayatkan darinya adalah `Ali< bin `Abd al‑A`la>,     Muh}ammad bin Ja>hadah, Isra`i<l bin Yu>nus, Abu `Awa>nah, Abu> al‑Ahwas dan lainnya.

Beberapa penilaian ulama antara  lain, Abu Zur`ah menilainya da’i<f al‑h}adi<s\,        namun al‑Turmuzi menilainya h}asanbahkan al‑Hakim menilainya s\ahi<h.

 

  1. Suhail bin `Abdilla>h[59]

Nama lengkapnya Suhail bin Abi H{azm, namanya mahran, Abu> Bakr al‑Basri, ada yang menyatakan `Abdulla>h al‑Quta`iy.

Dia meriwayatkan hadis dari Sabit al‑Bunani, Abu `Imra>n al‑Jauni, Yu>nus bin `Ubaid, Mali<k bin Dina>r dan lainnya.

Diantara rawi yang meriwayatkan darinya adalah: Zaid bin al‑Habba>b, Abu Qutaibah, al‑Mu`afi bin `Imra>n, Ya`qu>b bin Ish}a>q al‑Hadrami, Hibba>n bin Hila>l dan lainnya.

 

 

Penilaian ulama terhadapnya antara lain: Ah}mad menyebutkan bahwa Suhail meriwayatkan hadis‑hadis munkarah (dalamterm Ahmad yang dimaksudkan adalah infira>d), Ibn Ma`i<n menilainya s}a>lih, Abu Ha>tim menyatakan laisa bi al‑Qawiyy, yuktabu h}adi<suhu wa la> yuh}tajju bih, al‑Nasa’i<y menilainya laisa bi al‑Qawiyy, al‑Bukhari< menilai laisa bi al‑Qawiyy, hum yatakallamuna fih.

 

  1. Sufya>n[60]

Nama lengkapnya adalah Sufya>n bin Dina>r al‑Tama>ri, Abu> Sa`id al‑Kufi, tidak diketahui tahun wafatnya. Dia meriwayatkan dari Abu> S}a>lih al‑Saman, Mas`ab bin Sa`d, Sa`id bin Jubair, al‑Sya`bi, `Ikrimah, Muh}ammad ibn al-­H{anafiyyah, Abu> Nadrah dan 1ainnya.

Di antara rawi yang meriwayatkan darinya adalah Abu> Bakr bin `Iya>s, Ibn al‑Mubarak, Ya`la bin `Ubaid, `Abd al‑Rah}ma>n bin Muh}ammad al‑Maha>ribi dan lainnya.

Penilaian ulama terhadapnya antara lain Yahya> bin Ma`i<n menilainya s\iqah, Abu Zur`ah menilainya s\iqahdan al‑Nasa>`iy menyatakan laisa bihi ba’s.

 

 

  1. Abu `Awa>nah[61]

Nama lengkapnya Waddah bin `Abdilla>h al‑Yasykuri budakYazi<d bin `Atal, Abu> ‘Awa>nah al‑Wasiti al‑Baja>z. Dia meriwayatkan dari Qata>dah, Abu Basyar, Ibrahi<m bin Muh}ammad bin al‑Muntasyi<r, Ibrahi<m bin Muha>jir dan lainnya.

Diantara rawi yang meriwayatkan darinya adalah Abu> Dawu>d al‑Taya>lisi, Abu> al‑Wali<d al‑Taya>lisi, Yahya> bin H{amma>d, Suwaid bin `Amr al‑Kalbi<.

Penilaian ulama terhadapnya antara lain: al‑`Ijli menilainya s\iqah, ibn al‑Muba>rak menilainya sebagai ah}san al‑na>s h}adi<s\an, Ibn Sa`d menilai s\iqah s}adu>q.

 

  1. Habba>n bin Hila>l[62]

Nama lengkapnya adalah Hibba>n bin Hila>l al‑Bahi<li, ada yang menyatakan al‑Kindi<, Abu> Habi<b al‑Basri, ia meninggal di Basrah pada tahun 216 H.

Dia meriwayatkan hadis dari H{amma>d bin Salamah, Syu`bah, Jari<r bin H{azi<m, Muslim bin Zurair, Abu `Awa>nah dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain: H{ama>d bin Sa`i<d al‑Ribati, Ah{mad bin Sa`i<d al‑Darimi<, Ish}a>q bin Mansu>r al‑Kausaj, `Abd bin Humaid.

Komentar ulama tentangnya antara lain: Ibn Ma`i<n, al‑Turmuzi< dan al‑Nasa’i<y menilainya s\iqah, ibn Sa`d menyatakan s\iqah s\abat hujjah.

 

  1. Ya`qu>b bin Ish}a>q[63]

Nama lengkapnya adalah Ya`qu>b bin Ish}a>q bin Zaid bin `Abdilla>h bin Abi< Ish}a>q al‑Hadrami<, Abu> Muh}ammad al-­Basri<. Ia wafat pada tahun 205 H.

Dia meriwayatkan hadis dari al‑Aswa>b bin Syaiba>n, Suhail bin Mahra>n al‑Quta`iy, Sawa>dah ibn Abi< al‑Aswad, Sulaiman bin Mu`a>z al‑Dabi<, Sali<m bin Hayya>n dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain `Amr bin `Ali< al‑Fallasi, Abu> al‑Rabi<` al‑Zahrani<, `Abdulla>h ibn Muh}ammad bin Yahya> al‑Tarsusi<, `Uqbah bin Mukrim al‑Umayy dan lainnya.

Penilaian ulama terhadapnya antara lain Ah}mad dan Abu> H{a>tim menilainya s}adu>q, Ibn H{ibba>n menyebutkan namanya dalam kitab al‑s\iqat, Ibn Sa`d menyatakan laisa huwa `indahum biza>ka al‑s\abt.

 

  1. Waki<’[64]

Nama lengkapnya adalah Waki<’ bin al‑Jarrah bin Ma>lih al‑Ru`asi<, Abu> Sufya>n al‑Kufi< al‑Hafi<z}, ia meninggal tahun 196 H.

Dia meriwayatkan hadis dari ayahnya, Isma`i<l bin Abi< Khali<d, `Ikrimah bin `Ammar, Hisya>m bin `Urwah, al-­A`masy, al‑Auza>`iy, `Abd al‑Humaid bin Ja`far, Hisya>m ibn Sa`d dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain.: putra-­putranya yaitu Sufya>n, Ma>lih, `Ubaid, juga guru‑gurunya seperti Sufya>n al‑S|auri, lalu Ah}mad `Ali<, Yahya>, Ish}aq bin Rahuwaih dan lainnya.

Beberapa komentar ulama terhadapnya antara lain: Ibn Ma`i<n menyatatakan ma> ra’aitu as\ba>t al-`Ira>q min Waki<`, Ibn Sa`d menyatakan ka>na s\iqah ma’mu>n, al‑`Ijli menyatakan huwa kufi s\iqah, `a>bid s}a>lih.

 

  1. Muammal[65]

Nama lengkapnya adalah Mu`ammal bin Isma`i<l al-`Adawi  Alu al‑Khat}t}a>b ada yang menyatakan budak Bani Bakr, Abu> `Abdilla>h al‑Basri<, ia berkedudukan di Makkah dan wafat pada tahun 206 H, ada yang menyatakan 205 H.

Dia meriwayatkan hadis dari `Ikrimah bin `Ammar, Sufya>n, Syu`bah, H{amma>d, Nafi<` bin `Umar al‑Jamhi dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain: Ah}mad, Ish}aq bin Rahuwaih, `Ali< bin al‑Madini<, Bunda>r, Abu> Kuraib dan lainnya.

Komentar ulama terhadapnya antara lain; al‑Bukhari menyatakan munkar al‑h}adi<s, al‑Saji< menilainya s}adu>q kas\i<r al‑khat}a>’, al‑Daruqut}ni menilainya s\iqah kas\i<r al-­khat}a>’,demikian pula Ibn Sa`d menyatakan s\iqah kas\i<r al-­gala>t.

 

 

 

  1. Abu> al‑Wali<d[66]

Nama lengkapnya adalah Hisya>m bin `Abd al‑Ma>lik al‑Bahili< maulahum, Abu> al‑Wali<d al‑Taya>lisi al‑Basri< al-­H{afi<z} al‑Ima>m al‑Hujjah. Ia wafat pada tahun 227 H.

Dia meriwayatkan hadis dari `Ikrimah bin `Ammar, Jari<r bin Hazi<m, Mahdi bin Maimu>n, Syu`bah, al‑Lais, Abu `Awa>nah dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain al-­Bukhari, Abu> Dawu>d dan lainnya. Ulama menilainya unggul seperti Ah}mad menyatakan mutaqi<n, syaikh al‑Isla>m,al‑`Ijli menyatakan s\iqah s\abat fi< al‑h}adi<s.

 

  1. `Affa>n[67]

Nama lengkapnya adalah `Affa>n bin Muslim bin `Abdilla>h al‑S}afar, abu `Usma>n al‑Basri budak `Uzrah ibn S|a>bit al‑Ans}ari<, ia tinggal di Bagdad dan meninggal tahun 220 H.

Dia meriwayatkan hadis dari `Abdulla>h bin Bakr al-­Mizzi<, Sakhr Ibn Juwairiyah, Syu`bah, Abu `Awa>nah, al-­Aswad Ibn Syaiba>n dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain; al-­Bukhari, Ah}mad, Abu> Bakr bin Abi< Syaibah dan lainnya. Di antara penilaian ulama terhadapnya antara lain: al‑’Ijli menilainya s\iqah s\abat s}a>hib al‑sunnah, Abu> H{a>tim menyatakan s\iqah, ima>m mutaqi<n, Ibn Hibba>n juga mencantumkan namanya dalam kitab al‑s\iqat.

  1. `Abd bin Humaid[68]

Nama lengkapnya adalah `Abd bin Humaid bin Nasr al‑Kasysyi         Abu> Muh}ammad, ada yang menyatakan namanya adalah `Abd al‑Maji<d. Ia wafat pada tahun 249 H.

Dia meriwayatkan hadis dari Ja`far bin `Aun, Abu> Usa>mah, Yazi<d bin Haru>n, Ah}mad bin Ish}a>q al‑Hadrami<, Sa`id bin `Ami<r, `Abd al‑Razza>q, `Abd al‑Samad bin `Abd al-Waris\.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain Muslim, al‑Turmuzi<,    Muh}ammad bin `Abd Abu> Mu`a>z al‑`Abba>s ibn Idri<s dan lainnya.

Tentang penilaian ulama, Ibn Hibba>n dalam kitabnya al‑S|iqat menerangkan babwa `Abd bin Humaid ini orang yang produktif dalam menghimpun dan berkarya

 

  1. `Abdulla>h bin Muh}ammad bin Yahya>[69]

Nama lengkapnya adalah `Abdulla>h bin Muh}ammad bin Yahya< al‑Tarsusi<, Abu> Muh}ammad, yang dikenla dengan al-D}a’i<f. Ia meriwayatkan hadis dari Ibn `Uyainah, Yazi<d bin Haru>n, Abu< Mu’awiyyah, Zaid bin Habba>b, Ya`qu>b ibn Ish}a>q al‑Hadrami<, Ma`n bin `I<sa> dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain Abu> Dawu>d, al‑Nasa>’iy, Musa> ibn Haru>n, al‑H{asan bin Sa>wi, ‘Umar bin Sa’i<d bin Sinan, Abu> Bakr bin Abi< Dawu>d dan lainnya.

Penilaian ulama terhadapnya antara lain: Maslamah menilainya s\iqah, Ibn Ribba>n menyebutkan dalam kitabnya al‑s\iqat sebutan al‑d}a’i<fdisandingkan kepadanya karena banyaknya beribadah dan berzikir, ada yang menyatakan karena lemah pada daya hafalannya, ada pula yang menyebutkan lemah tubuhnya.

 

  1. Suwaid bin `Amr[70]

Nama lengkapnya Suwaid bin `Amr al‑Kalbi<, Abu> al‑Wali<d al‑Kufi<, ia wafat tahun 203 H. ada pula yang menyebutkan tahun 204 H.

Ia meriwayatkan hadis dari Hammad bin Salamah, Zuhair bin Mu`awiyyah al‑Bimsi, Abu>  ‘Awa>nah, Anas bin Huyy dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya adalah Ah}mad bin H{anbal, Abu> Bakr bin Abi< Syaibah, Sufya>n bin Waki<` dan lainnya.

Komentar ulama terhadapnya antara lain al‑Nasa>’iy dan ibn Ma’i<n menilainya s\iqah, al‑‘IjIimenilainya s\iqah s\abat fi al‑h}adis, ka>na rija>lan s}a>lihan muta’abbida>n.

 

  1. Basyar bin al‑Sariyy[71]

Nama lengkapnya Basyar bin al‑Sariyy al‑Basri, Abu> ‘Amr al‑Makki<, ia wafat dalam usia 63 tahun. Ia meriwayatkan hadis dari al‑S|auri, H{ammad bin Salamah, Ibn al‑Muba>rak, al‑Lais\, Ibra>hi<m bin Tuhma>n, `Abd al‑Razza>q dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain Yahya> bin Ada>m, Ah}mad bin Hanbal, Abu> Haisamah,       Abu> S}a>lih (sekretarisnya al‑Lais\), Mah}mu>d bin G{aila>n dan lainnya.

Beberapa penilaian ulama di antaranya adalah Abu> H{a>tim menilainya S{a>lih, Ibn Sa`d menilainya s\iqah, al‑`Ijli menilainya s\iqah, Ah}mad menyebutkan mutaqi<n fi< al‑h}adi<s\,ibn Ma`in menilainya s\iqah.

 

  1. Mah}mu>d bin G{aila>n[72]

Nama lengkapnya Mah}mu>d bin G{aila>n al‑`Adawiyy, Abu> Ah}mad al‑Marwazi al‑Bag}da>di<, ia wafat pada tahun 249 H. Ia meriwayatkan hadis dari Waki<’, Ibn `Uyainah, al‑Nadr bin Syumail, Abu> Ah}mad al‑Zubairi<, `Abd al‑Razza>q, Abu> Usa>mah, Basyar bin al‑Sariyy, Sa`i<d bin `Ami<r al‑Dabi<`iy, Abu> Dawu>d al‑Badrami<, Mu`awiyyah bin Hisya>m dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya cukup banyak dari kalangan ulama selain Abu> Dawu>d, al‑H{a>kim dan beberapa rawi saja.

Ulama menilainya bagus seperti al‑Nasa>’iy menilainya s\iqah, Ibn Hibba>n juga menyebutkan namnya dalam kitab al-­s\iqat.

  1. Sufya>n bin Waki<`[73]

Nama lengkapnya adalah Sufya>n bin Waki<` bin al-­Jarra>h, Abu> Muh}ammad al‑Kufi<, ia wafat pada tahun 247 H yaitu pada bulan Rabi<’ al‑S|a>ni.

Dia meriwayatkan hadis dari Abu> Mu`awiyyah, Humaid bin `Abd al‑Rah}ma>n al‑Ruwasi<, Jari<r bin `Abd al‑Humaid, `I<sa> bin Yu>nus dan lainnya.

Diantara rawi yang meriwayatkan darinya adalah al-­Turmuzi<, ibn Ma>jah, Ibn Makhlad dan lainnya. Al‑Nasa>’iy menilainya laisa bisyai`, Ibn Hibba>n menyatakan ka>na syaikhan fa>d}ilan s}adu>qan.

Berdasarkan peneropongan rija>l al‑h}adi<sdi atas, ada beberapa     kesimpulan yang dapat diambil peneliti antara lain:

  1. Semua hadis di atas bersandar pada Rasulullah Saw, artinya semuanya berkategori marfu>’.
  2. Ditinjau dari isi hadis, kesemuanya berupa ungkapan Nabi SAW, artinya termasuk kategori hadis qauli.
  3. Ditinjau dari jumlah rawi yang meriwayatkan hadis di atas, hadis nomor 1, 2 dan 3 (sejenis) hanya diriwayatkan oleh Ibn `Abba>s bahkan hingga Atba>’ al­tabi`in diriwayatkan oleh satu rawi saja, karenanya dinilai sebagai hadis gari<b, demikian pula dengan hadis no 4 yang juga gari<byaitu dari riwayat Jundub bin `Abdilla>h saja.
  4. Pada hadis no 1, 2 dan 3 semua jalurnya melalui `Abd al‑A`la> yang sebagian ulama seperti Abu Zur`ah menilainya d}a’i<f al‑h}adi<s\, namun menurut sebagian, seperti al‑Turmuzi tidak sampai tingkatan d}a’i<f melainkan h}asan, bahkan al‑H{akim menilainya s}ahi<h,hal ini disebabkan al‑ H{akim dinilai oleh ulama dari kalangan mutas}il. Namun demikian tampaknya jalur sanad ini menurut peneliti cenderung pada penilaian moderat al‑Turmuzi< yang menilainya h}asan.Hanya pada jalur riwayat Ahmad melalui Mu`ammal saja yang secara jelas jalurnya lemah sebab Mu`ammal dinilai umumnya ulama s\iqah namun sering khat}a>ataupun galat (salah), sehingga 2 rawi sekaligus dalam jalur sanad tersebut kurang kuat. Tetapi karena jalur ini memiliki tabi` dari jalur Ahmad melalui waki` maka kembali kepada status keseluruhan sanad hadis ini h}asan.
  5. Adapun hadis no 4, semua rawinya tidak bermasalah kecuali satu yaitu Suhail bin `Abdilla>h, padahal seluruh jalur sanad baik dari al‑Turmuzi maupun Abu Dawud melewati Suhail ini. Suhail dinilai ulama laisa bi al-qawyy, oleh karena itu jalur sanad hadis ini terputus (munqat}i`) karena adanya rawi yang lemah, sehingga sanad hadisnya da’i<f. Lebih‑lebih tidak ada sya>hidataupun tabi` yang mendukung atau mengangkat derajat sanadnya ini.
  6. Tentang tinjauan matan hadis, tampaknya antara satu jalur‑sanad dengan jalur sanad lainnya tidak terlalu banyak perbedaan, hanya teknis istilah al‑Qur’an dengan Kitabullah `Azza wa Jalla. Mungkin pada kata al‑ra’y dan bi gair `ilm ini sajalah yang cukup problematis, dan akan dibahas dalam bab berikutnya.

BAB IV

PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL

LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN DENGAN AL‑RA’Y

 

Telaah Makna Hadis

Hadis larangan menafsirkan al‑Qur’an yang telah dipaparkan di atas, bila dipilah‑pilah berdasarkan penggalan kalimat yang sarat akan keragaman interpretasi adalah sebagai berikut:

Pertama, man qa>la, dalam riwayat lain man kaz\aba; Kedua, fi< al-Qur’a>n atau ‘ala> al-Qur’a>n, dalam riwayat lain fi< kita>billa>h; Ketigat bi ra’yihi, dalam riwayat lain bi gair ‘ilm; Keempat, fa as}a>ba, faqad akht}a>’a dan Kelima, falyatabawwa’ maq’adahu min al‑na>r.

Adapun penjelasan secara rinci penggalan‑penggalan hadis di atas adalah sebagai berikut:

  1. Hadis di atas diawali statement Nabi SAW. man qa>la (siapa yang menyatakan), mengandung pengertian siapa saja (umat Muhammad sendiri ataupun bukan, orang yang ada pada masa Nabi ataupun sesudahnya) dan siapa saja (tanpa terikat oleh apapun khususnya setelah ucapan ini diluncurkan), untuk tidak menyatakan (baik secara lisan maupun tertulis), dalam syarah ‘Aun al‑Ma’bu>d mencakup pula makna “memperbincangkan” (takallama)[74] sesuatu yang disebutkan dalam kalimat berikutnya. Dalam riwayat lain menggunakan kata kaz\aba (berbohong) atau mengatakan yang bukan sebenarnya, atau mengatakan yang tidak dikatakan atau pernyataan yang disadari bukan kebenaran (qaulan yu’lamu anna al‑haqqa gairuhu), demikian pernyataan al‑Qari maupun al‑Manawi sebagaimana dikutip al‑Mubarakfuri maupun al‑Sa’ati.[75] Al‑Manawi juga memberikan pengertian lain dalam kitab al‑Musykil yaitu pernyataan yang tidak ia kenali, atau tidak diketahui atau tidak dimengerti.[76]
  2. Sesuatu yang dinyatakan atau diperbincangkan tersebut adalah sesuatu yang ada fi< al-Qur’a>n atau dalam riwayat lain fi< kita>billa>h sebagai istilah atau sebutan lain dari al-Qur’an itu sendiri. Sudah barang tentu yang diperbincangkan bukan al-Qur’an‑nya itu sendiri melainkan apa yang ada di dalamnya, ada yang memaknai arti yang dikandung di dalamnya adalah tentang lafaznya maupun maknanya.[77] Artinya khit}ab hadis ini ditujukan kepada siapa saja yang mengucapkan atau mengungkapkan, lebih‑lebih berbohong (mengungkapkan yang tidak benar atau menyalahi yang sebanarnya) dari apa‑apa yang ada di dalam al-Qur’an baik lafaz (wilayah qira>’at) maupun maknanya (wilayah ta’wil dan tafsir).

 

  1. Keterangan lebih lanjut pengungkapan tentang isi al­-Qur’ an (lafaz maupun makna)tersebut dilakukan dengan cara atau timbulnya dari ra’yu atau dalam riwayat lain diungkapkan dengan kata bi ga‑i r ‘ilm (tanpa pengetahuan). Al-Ra’yu yang bentuk jamaknya adalah ar’a>’u, atau ara>’u mengandung pengertian pendapat yang bukan bersumber dari nas}, sebagaimana kalangan Muhaddis\u>n menyebut para ulama yang menggunakan qiyas sebagai ahl al‑ra’y, yang mereka maksudkan adalah karena mereka berpegang kepada pendapat mereka sendiri terhadap hal‑hal yang musykil pada nash, atau dengan kata lain mereka yang tidak menghadirkan argumen didalamnya dengan hadis atau asar.[78] Lebih jauh para syarih hadis memahami kata bi ra’yihi sebagai ungkapan yang didasarkan pada akalnya semata atau simbol dari nafsunya sendiri tanpa diikuti pernyataan para tokoh atau ahli bahasa Arab yang sesuai dengan kaedah‑kaedah syar’iyyah.[79] Artinya bahwa mengungkapkan makna al‑Qur’an dengan menggunakan kaedah-kaedah bahasa Arab yang sesuai dengan manhaj al‑syar’iyyah tidak termasuk dalam kategori bi ra’yihi. Lebih‑lebih dalam riwayat lain diungkapkan dengan term bi gair ‘ilm yang dimaknai oleh para syarih sebagai ungkapan yang tidak di dasari dalil yaqi<ni maupun dalil z}anniy baik naql (nash al‑Qur’an maupun hadis, as\ar) maupun ‘aql (logika‑logika, mant}iq, qiya>s dan sejenisnya) yang masih selaras   dengan syari’at.[80] Artinya bahwa hasil ijtihad dalam konteks hadis ini tidak masuk dalam kategori bi gair ‘ilm selama menggunakan kaedah‑kaedah atau selaras dengan prinsip‑prinsip syar’i. Lebih-­lebih Nabi SAW sendiri memperkenankan penggunaan ijtihad ketika tidak ada dasar nash al-Qur’an maupun hadis bahkan Nabi SAW sendiri dalam beberapa hal menggunakan qiyas untuk menjawab suatu permasalahan dan sebagainya.
  2. Hadis di atas dilanjutkan dengan penegasan fa as}a>ba faqad akht}a>’a (sekiranya benar maka ia telah berbuat kesalahan), artinya hasil. dari pengungkapan yang muncul dari dorongan nafsu semata, atau muncul dari otaknya tanpa dilandasi kaedah‑kaedah atau tidak selaras dengan prinsip‑prinsip syar’i, maka sekalipun benar maka tetap bersalah, sebab benarnya adalah suatu kebetulan sedangakan salahnya karena faktor prosedurnya. Dernikianlah ulama memberikan penjelasan atas kalimat ini, seperti Ibn Hajar yang menyatakan kesalahannya. karena prosedur yang diberlakukan secara tidak konsisten, padahal Kalam Allah satu kata saja bila tidak dipahami dari kaedah bahasa, seperti nahwu saraf, balagah, dan lainnya akan mernbawa konsekwensi makna yang berbeda, demikian pula suatu ayat yang didalamnya terkait dengan ayat lain membutuhkan telaah historis (saba>b al‑nuzu>l), nasikh mansukh dan lain sebagainya.[81]Al‑Taurbusti yang dikutip al‑Mubarakfuri menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan bi al‑ra’y adalah sesuatu yang tidak dilandasi atau melandaskan pada ilmu‑ilmu al-Qur’an dan al‑Sunnah, (di antaranya tolok ukur kebahasaan, dalam hal ini bahasa Arab, lalu ‘ilmu asba>b al‑Nuzu>l, al‑nasi<kh wa al‑mansu>kh, ‘a>m dan kha>s, mujmal dan mufas}s}al serta yang lainnya) melainkan pernyataan yang muncul karena tuntutan akalnya sendiri, maka siapa saja yang melakukan tanpa memenuhi persyaratan di atas adalah salah di atas hal yang benar, itulah sebabnya ia membedakan antara mujtahad dan mutakkallif, mujtahid diberi pahala sekalipun salah, sedangkan mutakkalif diazab sekalipun benar.[82] Perbedaan antara keduanya menurut penulis terletak pada prosedur (manhaj). Abadi menambahkan bahwa maksud pernyataan dengan al‑ra’y adalah tanpa landasan pengetahuan akan pokok‑pokok serta cabang­-cabang ilmu yang terkait sehingga sekiranya ada kesesuaian yang tanpa disadarinya, bukanlah sesuatu yang terpuji.[83]
  3. Sebagai konsekwensi mereka yang mengungkapkan isi al‑Qur’an dengan prosedur yang salah yaitu melalui nalar ansich atau tanpa dasar ilmu‑ilmu yang terkait, lebih­ lebih muncul dari hawa nafsunya, maka disediakan bagi mereka tempat     yang sesuai dengan kecerobohannya tersebut yaitu falyatabawwa’ maq’adahu min al‑na>r (maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api), umumnya ulama menerjemahkan kata al‑na>r dengan api neraka terutama yang terkait dengan ancaman­-ancaman agama. Bentuk perintah didalam hadis ini dipahami sebagai bentuk ancaman, ada pula yang memaknai perintah dalam hadis ini menunjukkan berita saja, artinya diberitakan bahwa mereka yang sengaja mengungkapkan isi al-Qur’an tanpa dasar ilmu atau muncul dari nafsu atau akal‑nya semata akan ditempatkan ditempat dari api neraka. Ibn Hajar al‑’Asqa>lani yang dikutip al‑Asa’ati menyatakan bahwa ancaman ini ditujukan kepada kaum pembuat bid’ah yang menghilangkan begitu saja lafaz al-Qur’an untuk maksud yang mereka kehendaki sehingga dari segi prosedur mereka telah rnembuat kesalahan dalam pengambilan dalil maupun nas}nya.[84]
  4. Semakin jelas sudah makna hadis di atas ditinjau dari sisi lafz}inya dengan berbagai kemungkinan kandungan di dalamnya jelas sekali bahwa ancaman hadis ini diberikan kepada siapa saja yang melakukan upaya pemaknaan al-Qur’an dengan akal semata lebih‑lebih dengan nafsunya atau tanpa landasan pengetahuan yang memadai dan terkait dengan al‑Qur’an. Kalau diperhatikan lebih jauh dari setting statemen ini, tampaknya hadis ini sedang membicarakan tentang keharusan umat Islarn atau siapa saja yang akan mendalami al‑Qur’an memiliki bekali ilmu khususnya terhadap sunnah       Nabi yang di dalamnya memuat penjelasan beliau (sebagai mubayyin al-Qur’an) guna memahami al‑Qur’an secara benar dan bukan sebaliknya tergesa menafsiri dengan akal‑nya sendiri dengan mengabaikan apa yang telah dijelaskan Nabi. Kalau hal itu dilakukan berarti dia telah berbohong atas nama Nabi SAW, karena otoritas penjelasan ada padanya, tanpa berkonsultasi dengan penafsirannya atau manhaj penafsiran Nabi SAW tersebut berarti telah berbohong atas namanya. Ungkapan inilah yang tampak pada bagian awal hadis yang sedang diteliti ini yaitu: ittaqu al-­h}adi<s\a anni< illa> ‑ma> ‘alimtum (takutlah kalian/hati‑hatilah terhadap hadis‑hadis dariku kecuali yang benar‑benar telah aku ajarkan kepada kalian), makna takutlah kalian di atas adalah anjuran untuk waspada kalau perlu menjauhi apa apa yang dinyatakan sebagai hadis dari Nabi, kecuali benar‑benar hal itu telah diajarkan Nabi SAW (disimak dan dipelajari sahabatnya). Lebih‑lebih menyatakan sesuatu untuk menguatkan argumennya atau pelaksanaan agamanya dengan mengatasnamakan hadis Nabi SAW, atau bersumber dari Nabi SAW.

 

Tafsi<r bi al‑Ra’y

Salah satu penjelasan syarih hadis yang dikutip al-­Mubarakfuri menyebutkan secara konkrit bentuk penafsiran yang menggunakan. al‑ra’y, diantaranya penafsiran ‘Abd al-­Rah}ma>n al‑Asa>m, al‑Jubba’i, ‘Abd al‑Jabba>r, al‑Ha>ni, al-­Zamakhsyari< dan mereka yang sealiran dengan mereka.[85] Tampaknya  penilaian  ini  lebih  karena  mereka dari  kalangan mu’tazili yang

dikenal sebagai kelompok rasionalis yang berseberangan dengan ahl al‑sunnah, sebagaimana diterangkan al‑Imam Ibn al‑’Arafah al‑Maliki.[86]

Melalui contoh ini kemudian sebagian menunjuk kepada karya tafsir seperti al‑Kasysya>f dan beberapa kitab tafsir lain yang dikelompokkan oleh ulama berikutnya sebagai kelompok tafsi<r bi al‑ra’y. Terlepas dari pembenaran atau koreksi ulang terhadap pengkategorian tersebut, penulis tertarik mengupas kembali istilah yang digunakan ulama tentang tafsi<r bi al‑ra’y sebagai salah satu tipologi tafsir, disamping tafsi<r bi al‑Riwayah ataupun bi al‑Isyari.

Tafsir bi al-ra’y adalah penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan al-ra’yu. Kata al‑ra’yu memiliki beberapa pengertian, di antaranya al‑i’tiqad (paham, aliran), al-Ijtiha>d, al‑qiya>s (analogi)sebagaimana sebutan ahl al­ra’y sering digunakan untuk menyebut kalangan as}ha>b al‑qiya>s. (para pengguna analogi).[87]

Dalam penggunaanya, kata al‑ra’yu sering digunakan kalangan ulama tafsir untuk menyebut penafsiran dengan Ijtiha>d. Sudah barang tentu mufassir yang masih menerima term al‑ra’y ini sebagai ijtihad memberikan batasan tafsi<r bi al-ra’y yang dimaksudkan adalah penafsiran yang dilakukan setelah mufassir memahami ungkapan orang Arab dengan seluk beluknya, sekaligus mengetahui bentuk lafaz sekaligus cakupan maknanya serta dibantu syair Arab yang akrab digunakan, memahami latar belakang turunnya, memahami nasikh mansukh dari ayat‑ayat al‑Qur’an dan piranti lainnya yang dibutuhkan oleh mufassir.[88]

Sebagain ulama memaknai tafsi<r bi al‑ra’y sebagai bentuk penafsiran yang dibangun melalui pemahaman lafaz sekaligus mengambil hukum darinya yang mana lafaz itu sendiri menuntut adanya pengerahan kemampuan (Ijtiha>d) atau pengerahan al‑ra’yu yang dibangun atau prinsip-­prinsip yang benar dan lurus (salimah).[89]

Terlepas dari definisi di atas, tampaknya para ulama pro kontra terhadap penafsiran bi al-ra’yi ini, di antara mereka ada yang secara keras tidak memperkenankan, sebagian lain membolehkannya.

Mereka yang menolak tafsi<r bi al-ra’yi mengemukakan argumen di antaranya:[90]

  1. Mengungkapkan atau mengomentari ayat‑ayat Allah tanpa ilmu atau hanya didasarkan pada z}ann (dugaan) semata condong menghasilkan sesuatu yang tercela, karenanya hal itu terlarang, dengan dalil surat al‑A’raf ayat 33 yang intinya haram mengada‑adakan sesuatu terhadap Allah dengan apa yang tidak diketahui. Ayat yang lain adalah Qs al‑Isra’ ayat 36 tentang larangan mengikuti ibn atau menetapkan sesuatu yang tidak didasari pengetahuan.
  2. Allah berfirman dalam Qs al‑Nahl ayat 44 yang intinya Nabi diberikan otoritas menjelaskan isi al-Qur’an, karenanya yang lain tidak, memiliki otoritas.
  3. Hadis‑hadis yang diteliti dalam penelitian ini adalah hadis‑hadis yang dijadikan dasar larangan tegas menafsirkan al‑Qur’an dengan al‑ra’yu.

Sementara mereka yang membolehkan tafsir bi al-ra’yi menggunakan argumen sekaligus menanggapi argumen yang melarang hal itu sebagai berikut:[91]

  1. Tentang tanggapan poin pertama, kelompok yang memperkenankan penggunaan al-ra’yi sebagai alat untuk menafsirkan adalah:
  1. Z}ann (dugaan) dalam pengetahuan adalah bagian dari cara manusia memperoleh pengetahuan dengan memahami yang rajih (yang kuat), menurut penulis hal ini berbeda dengan syakk yang identik dengan setengah‑setengah (tidak ada kecenderungan yang lebih kuat)
  2. Allah tiada membebani manusia diatas batas kemampuannya sebagaimana tertuang dalam Qs al­-Baqarah ayat 286.
  3. Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk menggunakan seluruh kemampuan akalnya dalam memecahkan persoalan yaitu dengan berijtihad disertai stimulan atau dorongan kepada upaya ini yaitu mereka, yang berijtihad dan benar hasilnya maka ia memperoleh 2 pahala, sementara mereka yang telah berusaha sungguh-sungguh (berijtihad) tetapi hasilnya salah tetap akan diberikan satu pahala.
  4. Nabi SAW bangga dan berbahagia atas diri Mu’az yang memahami prosedur dalam memutuskan suatu perkara, ketika ia diutus ke Yaman, yaitu dengan al-­Qur’an, bila tidak ditemukan maka dengan al‑Sunnah dan bila tidak dijumpai, maka berijtihad.
  1. Menanggapi point kedua, ulama yang memperkenankan penggunaan al-ra’yu dalam penafsiran menjawab bahwa ayat tentang fungsi bayan Nabi SAW adalah selama Nabi SAW hidup dan persoalan pemahaman terhadap al-Qur’an pada masanya dapat terselesaikan, namun perlu diingat bahwa tidak semua ayat dijelaskan oleh Nabi, disamping itu persoalan terus berkembang, sementara Nabi SAW telah wafat, karenanya persoalan yang tidak ada penjelasan dari Nabi SAW diserahkan kepada para ulama.
  2. Tentang point ketiga ditanggapi sebagai bentuk larangan menafsirkan al-Qur’an yang di dalamnya mengandung unsur dorongan nafsu atau mereka yang hanya mendasarkan zahir nash tanpa memperhatikan sunnah Nabi SAW ataupun asar sahabat yang memahami betul situasi dan kondisi saat suatu ayat turun. Lebih dari itu ulama memandang bahwa makna al‑ra’yu dalam hadis tersebut adalah upaya menafsirkan ayat‑ayat yang musykil dipahami dengan akalnya semata, al‑ra’yu dipahami pula sebagai al‑hawa (hawa nafsu) tanpa dalil atau bukti‑bukti, atau dipahami pula sebagai fanatisme yang timbul dalam dirinya sehingga ia cenderung mernahami sesuai pendapat yang diikutinya padahal ia sadar bahwa kebanaran ada, pada pihak lain. Al‑ra’yi tersebut juga dimaksudkan adalah kebodohan sebagaimana di dalam riwayat lain menggunakan istilah bil gair ‘ilm, dan terakhir pemaknaan alra’yu dalam hadis tersebut dipahami sebagai cara melihat dan memahami al‑Qur’ an sebatas zahirnya tanpa memperhatikan riwayat yang terkait dengannya.
  3. Untuk mengukuhkan argumen bolehnya menafsirkan al‑Qur’an dengan al‑ra’yu, mereka mengemukakan dalil al-­Qur’an QS. Muhammad 24 yang memuat tentang pertanyaan retoris: apakah mereka tiada memperhatikan al‑Qur’an atau hati mereka telah terkunci?, karenanya menurut mereka ijtihad adalah bagian yang harus ada, menghilangkan fungsi al‑ra’yu dalam memahami al‑Qur’an berarti meniadakan ijtihad.
  4. Mereka juga berargumen bahwa Nabi SAW pernah secara khusus mendo’akan Ibn ‘Abbas dengan ucapan: alla>humma faqqihhu fi< al‑Di<n wa’ a11imhu al‑ta’wi<1 (Ya Allah melimpahkan pemahaman dalam agama kepadanya dan berilah pengetahuan kepadanya tentang penakwilan), sekiranya takwil hanya kembali kepada yang ma’tsu>r (nash hadis Nabi SAW), maka apalah gunanya do’a tersebut.

Demikianlah sekilas pro kontra di sekitar boleh dan tidaknya tafsir bi al-ra’yi berikut argumen masing‑masing. Kedua-duanya sulit dipertemukan, namun bila dilihat dari substansinya, sebenarnya keduanya memiliki titik temu, sebagaimana tergambar dalam sub bab berikutnya.

 

 

Pemahaman Kompromis Antara Larangan Hadis Dan Fenomena Tafsir bi Al-Ra’y

Bila memahami perjalanan sejarah, maka term al-ra’yu yang berkembang saat ini, yaitu pada klasifikasi kitab tafsir yang menggunakan pendekatan al-ra’yu sebagai sisi lain dari pendekatan al‑riwa>yah, dengan al-ra’yu yang diungkapkan Nabi SAW pada masa awal, maka pro kontra tersebut tidak akan ekstrim.

Justru karena pemaknaan tafsir bi al-ra’yi yang ulama sebagai model penafsiran dengan term al-ra’yu yang digunakan Nabi SAW saat tafsir belum ada kecuali darinya disamaartikan tanpa ada penalaran yang kritis menjadikan klaim atau penilaian terhadap kitab tafsir tententu secara berlebihan.

Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman sekaligus upaya kompromis dari perdebatan sehingga ulama perlu menilai kembali kepada tafsir yang ada apakah masuk dalam, kategori bi al-ra’yi yang diancam Nabi SAW tersebut, ataukah kategori bi al‑ra’y komprehensip yang ada, kitab‑kitab al-ra’y yang dianjurkan Nabi SAW untuk ditumbuh kembangkan yaitu sesuai semangat al-Qur’an yang mendorong manusia untuk senantiasa mendayagunakan akal pikirannya.

Tampaknya pemahaman seperti ini juga telah dilakukan beberapa ulama bahwa perbedaan yang muncul di kalangan ulama pro pelarangan tafsir bi al-ra’yi dan yang membolehkannya, sebenarnya bukan pada tataran makna al-­ra’y secara maknawi, melainkan pada tataran lafzi.[92]

Ulama sepakat bahwa pemaknaan al‑ra’yu dalam perdebatan ini perlu dipahami dari dua sisi, yaitu:

  1. Sekiranya al-ra’yi itu digunakan pada ayat dengan tetap memiliki kesesuaian dengan ungkapan orang Arab juga seirama dengan kandungan al-Qur’an dan al‑Sunnah (secara umum) berikut tetap memelihara keseluruhan persyaratan yang dibutuhkan dalam menafsirkan al­Qur’an, maka penggunaan al-ra’y seperti ini diperbolehkan tanpa keraguan.
  2. Sebaliknya, bila al-ra’yu tersebut diberlakukan tanpa memandang ketentuan-ketentuan kebahasan (dalam hal ini bahasa Arab) juga tidak sesuai dengan dalil‑dalil syar’iy atau tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan di dalam penafsiran. Maka semua ulama sepakat penggunaan al-ra’yi yang demikian ini terlarang.

Point yang kedua di atas inilah yang menurut penulis sebagai pemahaman makna al‑ra’y dalam konteks hadis, mengingat hadis tersebut menekankan makna al‑rayu sebagai nalar akal ansich (tanpa didasari pengetahuan/ bil gair ‘ilm).

Bi ra’yihi  dalam hadis tersebut sudah sangat jelas mengacu kepada kemampuan akal belaka sehingga apabila dikaitkan dengan tafsi<r bi al-ra’yi sangat berbeda karena tafsir bi al-ra’yi walaupun didominasi oleh akal namun tetap juga kembali kepada dasar syar’i dan kaedah-kaedah yang berlaku selama penafsiran.

Lebih‑lebih bila kita pahami hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan al‑ra’y tersebut dalam bingkai keutuhan dakwah Nabi Muhammad SAW, yang di dalamnya juga menganjurkan umatnya untuk mendayagunakan akalnya, juga tidak menyalahkan bahkan bangga kepada mereka yang senantiasa berpegang teguh kepada al‑Qur’an dan al‑Sunnah kemudian mencari solusi dengan ijtihad bila secara eksplisit tidak dijumpai di dalam kedua sumber ajaran tersebut.

Namun demikian, sebagaian juga dapat membantah riwayat Mu’az tersebut, sebab persoalan yang dihadapi Mu’az adalah ketika di dalam al‑Qur’an dan al‑Sunnah tidak ada, sementara yang diperdebatkan di dalam bahasan ini adalah memaknai sesuatu yang telah ada yaitu ayat al-­Qur’an. Maka dalam rangka menjawab hal ini yang lebih tepat adalah keberadaan ayat‑ayat al-Qur’an yang tidak keseluruhannya mendapatkan penjelasan dari Nabi SAW.

Tidak seluruh ayat dijelaskan oleh Nabi, karena masyarakat Arab saat itu (para sahabatnya) tidak membutuhkan penjelasan, sebab ayat‑ayat al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas (bi ‘arabiyyi<n mubi<n), sehingga hanya ayat‑ayat tertentu yang dianggap musykil oleh mereka sajalah yang dimintakan penjelasannya dari Nabi SAW.

Dengan berjalannya waktu, juga perluasan wilayah Islam, sudah barang tentu telah terjadi pergeseran-­pergeseran, mulai dari rasa kebahasaan orang Arab sendiri, lebih‑lebih masyarakat yang bukan Arab, padahal Nabi SAW sendiri, sebagai pemilik otoritas penjelas telah tiada, maka sekiranya Nabi SAW masih hidup pastilah penjelasan ayat‑ayat al‑Qur’an semakin banyak dan bisa mencapai seluruhnya, namun tidak demikian adanya. Nabi secara umum telah menunjukkan metodeyang tepat di dalam menafsirkan al‑Qur’an yaitu dengan melalui tafsir al-Qur’an itu sendiri, kemudian selainnya dapat dipahami dari kandungan bahasa yang dimiliki al-Qur’an yang (setidaknya menurut ukuran bahasa para sahabatnya pada saat itu), oleh karenanya menjadi penting untuk memahami maksud al-Qur’an dengan melihat cakupan bahasa berikut rnoment yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut.

Atas dasar ini pulalah sahabat seperti ibn ‘Abbas melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an yang tidak semuanya bersumber dari, Nabi SAW melainkan curahan pemikirannya yang diakui kemampuannya sekaligus dikenal mendapat doa khusus dari Nabi SAW agar ia mampu memahami agama dan menguasai pengetahuan tentang pentakwilan suatu ayat. Ia  menafsirkan melalui telaah bahasa yang telah dikenal pada masa turunnya ayat yang kemudian dikukuhkan dengan syair‑syair yang tumbuh pada saat itu, demikan pula yang terkait dengan cerita‑cerita masa lalu dalam al‑Qur’an, Ibn ‘Abba>s juga menyandarkan kepada cerita Israilliyat yang dapat dipertanggungjawabkan dan sebagainya.

Artinya Ibn ‘Abba>s‑pun telah menggunakan ra’yu‑nya, hanya bukan semata‑mata muncul dari nalar apalagi nafsunya, melainkan muncul dari pengetahuan dan dukungan dalil atau bukti‑bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Sekiranya apa yang dia lakukan ini sebagaimana yang dimaksudkan Nabi SAW dalam hal larangan menafsirkan al-­Qur’an dengan al‑rayu, maka dapat dipastikan ibn ‘Abbas tidak akan melakukan hal itu, demikian pula dengan sahabat lainnya seperti Ibn Mas’ud, ‘Aisyah dan lainnya.

Bagi kelompok yang menolak  tafsir bi al-ra’y selalu menyebut dalam kategori tafsir Mu’tazilah artinya di luar Sunni, hal ini merupakan anggapan ideologi semata. Karya-karya tafsir bi al-ra’y diantaranya penafsiran Abd al-Rah}ma>n al-Asa>m, al-Juba’i, Abd al-Jaba>r, al-Ha>ni, al-Zamakhsyari< dan tafsir-tafsir yang sealiran dengan mereka.

Maka dari sini Husain al-Zahabi mengkompromikan antara pendapat yang menolak dan yang memperbolehkan tafsir bi al-Ra’y  dengan menjadikan dua golongan yaitu tafsir bi al-Ra’y Mazmu>m dengan bi al-Ra’y Mah}mu>d.

Adalah sesuatu yang sangat berbeda antara hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y dengan tafsir bi al-ra’y karena tafsir bi al-ra’y merupakan tafsir yang dalam penafsirannya mengedepankan akal namun tetap dalam bingkai kaidah syara’.

Sesungguhnya semua tafsir yang disebut dengan tafsir bi al-ra’y baik yang Mu’tazilah, Syiah maupun yang Sunni tidak ada satupun diantaranya yang tidak menggunakan akal (ra’y) artinya tafsir bi al-ra’y yang lebih diidentikkan dengan tafsir Mu’tazilah oleh golongan Sunni ini sebenarnya masih kembali atau tetap dalam koridor penafsiran yang memperhatikan ayat-ayat yang lain, hadis-hadis, kaidah-kaidah bahasa arab serta memperhatikan pendapat ulama sebelumnya.

Alhasil tafsir bi al-ra’y  memang dalam menafsirkannya didominasi oleh akal namun tetap dalam kaidah syara’, jadi jika dihubungkan dengan hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y sangatlah berbeda, karena menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y artinya hanya dengan pendapatnya semata.

BAB V

PENUTUP

 

  1. A.    Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian tentang hadis‑hadis larangan menafsirkan al‑Qur’an dengan al‑ra’y, dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Tentang makna al‑ra’y yang terlarang dalam kandungan hadis tersebut adalah penafsiran yang hanya didasarkan pada nalar semata dengan tidak memperhatikan riwayat atau kaedah‑kaedah atau pengetahuan yang terkait atau tidak selaras dengan prinsip‑prinsip syar’i, lebih-­lebih melakukan kebohongan atas al‑Qur’an tersebut.
  2. Pada dasarnya tafsir bi al‑ra’y yang masih memenuhi persyaratan penafsiran yaitu telaah kebahasaan, rnemperhatikan riwayat yang terkait dengan situasi dan kondisi saat ayat tersebut turun, memahami nasikh mansukh dan lainnya juga selaras dengan prinsip syar’iy, maka diperkenankan, sebaliknya yang hanya menggunakan nalar semata, lebih‑lebih timbul dari nafsunya, maka penafsiran bi al‑ra’y seperti ini terlarang.
  3. Ra’yu yang diberlakukan dalam hadis ini adalah ra’yu yang tanpa memandang ketentuan-ketentuan kebahasaan (dalam hal ini bahasa Arab) juga tidak sesuai dengan dalil-dalil syar’i atau tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan di dalam penafsiran, maka semua ulama sepakat penggunaan ra’yu yang demikian terlarang.
  4. Adapun redaksi hadis secara umum dapat dipadukan sebagai berikut: man qala fi al‑qur’an, sebagian riwayat menggunakan man qala fi kitabillah (siapa yang mengungkapkan/rnembicarakan tentang isi al‑Qur’an), sebagian lain dengan kata man kazaba fi al‑Qur’an, atau man kazaba ‘ala al‑Qur’an (siapa yang berbuat kebohongan tentang atau atas isi al‑Qur’an). Kemudian diikuti bi al-ra’yihi dan di dalam riwayat lain bil gair ‘ilm. Sebagian riwayat menegaskan fa asaba faqad akhtala (lalu benar perolehannya, sungguh telah keliru) dan terakhir diikuti ancaman fal yatabawwa’ maq’adahu min al‑nar (maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka).
  5. Hadis larangan ini ditinjau dari kuantitas rawinya berstatus ahad, sedangkan dari sisi kualitas keseluruhan hadis tidak sampai derajat sahih, melainkan hasan saja, bahkan sebagian jalur sanadnya da’if.

 

  1. B.    Saran

Setelah melakukan penelitian ini tampaknya perlu ditindak lanjuti dengan penelitian berikutnya yaitu meneliti secara seksama kitab‑kitab tafsir yang ada, apakah masih dalam koridor tafsir bi al‑ra’y yang tidak masuk pada kategori diancam Nabi SAW atau justru tafsir tersebut benar‑benar hanya menggunakan nalar atau hawa nafsunya semata.

Peneliti juga merasa bahwa apa yang telah dilakukan belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan, oleh sebab itu masih membutuhkan kritik konstruktif dari berbagai pihak yang memiliki konsern di bidang kajian tafsir dan hadis Nabi SAW.

Selebihnya, peneliti berharap apa yang telah dilakukan ini ada manfaatnya khususnya bag peneliti sendiri, dan umumnya bagi, pembaca laporan penelitian skripsi ini.

 

  1. C.    Penutup

Demikian akhirnya dengan mengucap alhamdulillahi rabbil alamin proses penelitian skripsi ini dapat diselesaikan sekalipun masih banyak kesalahan dan kekurangan di dalamnya. Terima kasih, semoga bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

 

A.J. Wensink, al‑Mu’jam al‑Mufahras li Alfa>z} al‑H{adi<s\ al-­Nabawi<, Leiden: E.J. Brill, 1943

Abu> ‘I<sa> Muh}ammad bin ‘I<sa> al‑Turmuzi< al‑Silmi< (209‑279), Sunan al‑Turmuzi<, Beirut: Dar Ihya’ al‑Turas al­’Arabi, t.t.

Abu> Tayyib Syam al‑H{aq al‑’Azi<m Abadi, ‘Aun al‑‑Ma’bu>d Syarh , Sunan Abi< Dawu>d, Beirut: Maktabah al-­Salafiyyah, t.t.

Ah}mad al‑Syirbasi, Sejarah Tafsir al‑Qur’an, terj. Tim Pustaka firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994

Ah}mad bin H{anbal, Abu> ‘Abdilla>h al‑Syaiba>ni. (164-241), Musnad al‑Ima>m Ah}mad bin H{anbal, Mesir: Mu’assasah Qart}ah, t.t.

‘Arabi al‑Maliki<, ‘Arid}ah al‑Ahwazi< S}ahi<h al‑Turmuzi<, Beirut: Da>r al‑Kutub al‑’Alamiyyah, 1997

Fah}d    bin ‘Abd al‑Rah}ma>n al‑Rumi<, ‘Ulu>m al‑Qur’a>n: Studi Kompleksitas al‑Qur’an, tej. Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Yogyakarta: Titian Ilahi press, 1999

H{asan Yu>nus ‘Ubaidu, Dira>sat wa Maba>h}is\ fi< Tari<kh al-­Tafsi<r wa Mana>hij al‑Mufassiri<n, Mesir: Markaz al-­Kitab li al‑Nasyr, t.t.

Ibn Manzu>r, Abu al‑Fad}l Jama>l al‑Di<n Muh}ammad bin Mukarram al‑Ifriqi al‑Mis}ri<, Lisa>n al‑’Arab, Beirut: Da>r al‑S}a>dir, 1990

Indal Abror, “Syuhudi Ismail dan Metodologi Pemahaman terhadap Hadis Nabi”, Essensla, Vol. 1, no. 2 Yogyakarta; Juli, 2000

Ka>mil Mu>sa> dan Ali Dahru>j, Kaifa Nafham al‑Qur’a>n, Dira>sah fi< al‑Maz\a>hib al‑Tafsi<riyyah wa Ijtiha>diha>, Beirut: Da>r Beirut al‑Mahrusah, 1992

Koentjoroningrat, Mebode‑metode Penelitian dalam Masyarakat, Jakarta: PT.Gramedia, 1997

Mah}mu>d al‑T{a>han, Tafsi<r Mus}t}alah al‑H{adi<s\, Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, 1985

Mubarakfuri,al-, Abu> al‑’Ula> Muh}ammad ‘Abd al‑Rah}ma>n ibn’Abd al‑Rahim (1283-1353), Tuhfah al‑Ahwaz\i bi Syarh Ja>mi’ al‑Turmuzi<, Beirut: Da>r al‑kutub al­’Ilmiyyah, t.t.

Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW, dalam pemahaman Tekstual dan Kontekstual, terj. Muhammad al‑Baqir, Bandung: Mizan, 1989

Muh}ammad bin ‘Ali< bin Hajar al‑’Asqa>lani, Tah}z\i<b al­-Tah}z\i<b, Beirut: Da>r al‑Fikr, 1984

Muh}ammad H{usain al‑Z|ahabi, al‑Tafsi<r al‑Mufassiru>n, Kairo: Multazam al‑Taba’ wa Nasr Dar kutub al-­Hadisah, 1961

Muh}ammad ibn Muh}ammad Husain al‑Z|abidi, Ittiha>f al‑Sa>dah al‑Muttaqi<n Syarh Isra>r Ihya>’ Ulu>m al‑Di<n, Beirut; Da>r Ihya>’ al‑’Arabi, t.t.

Munawar Cholil, al‑Qur’an dari Masa ke Masa, Solo: C.V. Ramadhani, 1985

Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah, Implikasinya Pada Perkembangan hukum Islam, Semarang: Aneka Ilmu, 2000

Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan, Yogyakarta: YPI al‑Rahmah, 2001

Sa’ati, Al‑, Ah}mad ‘Abd al‑Rah}ma>n al‑Banna>, al‑Fath} al-­Rabba>ni, Beirut: Da>r al‑Tura>s\ al‑’Arabi, t.t.

Subhi al‑S{a>lih, ‘Ulu>m al‑H{adi<s\ wa Mus}t}ala>huhu, Beirut: Da>r al‑’Ilm li al‑Malayin, 1997

Sulaiman bin al‑Asy’as Abu> Dawu>d al‑Sijistani< al‑Azdi< (202‑275), Sunan Abl< Dawu>d, Beirut: Da>r al‑Fikr, t.t.

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1994

Syaikh Muh}ammad, ‘Abd al‑Rah}ma>n al‑Fakki<, Us}u>l al‑Tafsi<r wa Qawa>’iduhu, Beirut :  al‑Taqus, 1986

Syat}ibi, Al‑, al‑Muwa>faqat fi< Us}u>l al‑Syari<‘ah, Mesir: al-­Maktabah al‑Tijariyyah al‑Kubra, t.t

Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma’an! al‑Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994

Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Utang Ranuwijaya,  Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996

 

Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, teori Muhmmad al‑Baqir, Bandung: Karisma, 1995

Yusuf Qardhawi, Metode Memahami al‑Sunnah dengan Benar, terj. Syaifullah Kamalie, Jakarta: Media Dakwah, 1994

 

 


[1] Istilah taqrir berasal dari bentuk masdar kata kerja qarrara, menurut bahasa kata Taqrir ini berarti penetapan, pengukuhan atau persetujuan. Lihat Muhammad bin Mukarram bin Mandur. Lisan al‑’A‑rab, (Mesir: al‑Dar al‑Misriyyah, t.t), juz VI, hlm. 394. Dalam ‘Ulum al-Hadis, istilah taqrir‑ ini adalah perbuatan sahabat Nabi SAW yang didiamkan atau tidak dikoreksi oleh Nabi SAW, dengan demikian taqrir merupakan sikap Nabi SAW yang membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkannya. Lihat Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), hlm. 15. Lihat pula Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan, (Yogyakarta: YPI al‑Rahmah, 2001), hlm. 1.

[2] Istilah mutawatir secara bahasa berarti tatabu’ (berurutan), sedangkan dalam terminologi ‘Ulum al‑Hadis, istilah mutawatir arti berita yang diriwayatkan oleh banyak orang pada setiap tingkatan mulai dari tingkat sahabat hingga mukharrij yang menurut ukuran rasio serta kebiasaan, mustahil para periwayat yang jumlahnya banyak tersebut bersepakat untuk berdusta. Lihat Subhi al‑Salih, ‘Ulum. al‑Hadis wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar al‑’Ilm li al‑Malayin, 1997), hlm. 146; juga Mahmud al‑Tahan, Taisir Mustalah al‑Hadis,(Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, 1985), hlm. 18

[3] Istilah ahad dalam ‘Ulum al‑Hadis memiliki pengertian berita yang disampaikan oleh orang perorang yang tidak sampai pada derajat mutawati.

[4] Maksud dari qat’iy al‑wurud atau qat’iy al‑subut adalah kebenaran beritanya absolut (mutlak), sedangkan zhanniy al-wurud atau zhanniy al‑subut adalah tingkatan kebenaran dari beritanya adalah nisbi (relatif). Lihat al‑Syatibi, al-Muwafaqat fl usul al‑Syari’ah, (Mesir: al-Maktabah al‑Tijariyyah al‑Kubra, t.t), juz 3, hlm. 15‑16.

[5] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h1m. 4

[6] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma’ani al‑Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 4

[7] Qs. 34: 28

[8] Qs. 21: 107

[9] Syuhudi Ismail, op.cit.

[10] Yusuf Qardhawi, Metode Memahami al‑sunnah dengan Benar, terj. Syaifullah Kamalie, (Jakarta: Media Dakwah, 1994), hlm. 35

[11] Ibid.

[12] Munawar Cholil, Al-Qur’an dari Masa ke Masa, (Solo: C.V.Ramadhani, 1985), hlm. 167

[13] Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa al‑Turmuzi al‑Silmi, Sunan al­Turmuzi, (Beirut: Dar Ihya’ al‑turas al‑’Arabi, t.t.), juz 5, hlm. 199

[14] Fahd bin ‘Abd al‑Rahman al‑Rumi, Ulum al-Qur’an: Studi Kompleksitas al‑Qur’an, tej. Amirul Hasan dan Muhamad Halabi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), hIm. 210

[15] Ahmad al‑Syirbasi, Sejarah Tafsir al‑Qur’an, terj. Tim Pustaka firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 106‑107

[16]Al‑Mubarkfuri, Abu al‑Ula Muhammad ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd al‑Rahim, tuhfah al‑Ahwazi Syarh Jami’ al‑Turmuzi, (al‑Madinah al-­Munawarah: al‑Maktabah al‑Salafiyyah, 1967), juz 8, hlm. 228; Lihat pula ‘Arabi al‑Maliki, ‘Aridah al‑Ahwazi Sahih al‑Turmuzi, (Beirut: Dar al‑Kutub al‑’Alamiyyah, 1997), juz 4, hlm. 5

[17] Abu Tayyib syams al‑Haq al‑’Azim Abadi, ‘Aun al‑Ma’bud SyarhSunan Abi Dawud,Beirut: Maktabah al‑Salafiyyah, t.t.), hlm. 84‑86

[18] Ibid.

[19] Muhammad ibn Muhammad Husain al‑Zabidi, Ittiha>f al‑Sa>dah al­-Muttaqi<n Syarh Israr ‑Ihya ‘Ulu>m al‑Di<n, (Beiru>t;Da>r Ihya>’ al‑’Arabi, t.t.), hlm. 536‑537

[20] Husain al‑Zahabi, al‑Tafsi<r al‑Mufassiru>n, (Kaero: Multazam al‑Taba’ wa asr Da>r Kutub al‑Hadi<s\ah, 1961), cet. I, hIm. 176

[21] Ibid.

[22] Syaikh Muhammad ‘Abd al‑Rahman al‑Fakki, Usul al‑Tafsir wa Qawa’iduhu, (Beirut: al‑Taqus, 1986), hlm. 171

[23] Koentjoroningrat, Metode‑metode Penelitian dalam Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia, 1997), hlm. 63

[24] Sutrisno Hadi, Metodoloqi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), hlm. 3

[25] Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya PadaPerkembanganHukum Islam, (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), hlm. 145‑146

[26]Indal Abror, “Syuhudi Ismail dan Metodologi Pemahaman terhadap Hadis Nabi”, Essensia, Vol. I, no. 2 (Yogyakarta; Juli, 2000), hlm. 42

 

[27] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 124. Lebih lanjut tentang pentingnya memahami hads Nabi secara benar, maka berbagai upaya dalam memahami hadis Nabi baik secara tekstual maupun kontekstual telah banyak dilakukan oleh para ahli, di antaranya Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994); Muhammad al‑Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW, dalam pemahaman Tekstual dan Kontekstual, terj. Muhammad al‑Baqir, (Bandung: mizan, 1989); Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, terj. Muhammad al‑Baqir, (Bandung: Karisma, 1995)

 

[28] Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, terj. Muhammad al‑Baqir, (Bandung: Karisma, 1993), hlm. 17‑21

[29] Ibid., hlm. 22‑26

[30] Ibid., hlm. 92‑93

[31] Ibid., hlm. 106

[32] Ibid., hlm. 117‑118

 

[33] Ibid., hlm. 131

[34] Ibid., hlm. 147‑148

[35] Ibid., hIm. 167

 

[36] Ibid., hlm. 188‑191

[37] Ibid., hlm. 195‑197

[38] Syuhudi Ismail, hadis Nabi.., op.cit., hlm. 3‑5

[39] Ibid., hIm. 6‑7

[40] Ibid., hlm. 9

[41] Ibid., hlm. 33‑34

 

[42] Ibid., hlm. 49

[43] Ibid., hIm. 71

19 Ibid., hlm. 73

 

[45] A.J. Wensink, al‑Mu`jam al‑Mufahras li Alfaz al‑Hadis al-Nabawi, (Leiden: E.J. Brill, 1943)

[46] Abu `Isa Muhammad bin `Isa al‑Turmuzi al‑Silmi (209‑279), Sunan al‑Turmuzi, (Beirut: Dar Ihya’ al‑Turas al‑`Arabi, t.t.), juz 5, hlm. 199

[47] Ibid…

[48] Ahmad bin Hanbal, Abu `Abdillah al‑Syaibani (164-241), Musnad al‑Ima>m Ah}mad bin H{anbal,(Mesir: Mu`assasah Qartah, t.t.), jilid 1, hlm. 233

[49] Ibid., jilid 1, hlm. 269

[50] Ibid., jilid 1, hlm. 323

[51] Ibid., jilid 1, hIm. 327

[52] Abu `Isa al‑turmuzi, op.cit., juz 5, hlm. 200

 

[53] Sulaiman bin al‑Asy`as Abu Dawud al‑Sijistani al‑Azdi (202‑275), Sunan Abi Dawud, (Beirut, Dar al‑Fikr, t.t.), juz 3, hlm. 320

[54] Muhammad bin `Ali bin Hajar al‑`Asqalani, Tahzib al‑Tahzib, (Beirut: Dar al‑Fikr, 1984), juz 5, hlm. 242‑245

 

 

[55] Ibid., juz2, hlm. 101

 

 

[56] Ibid., juz 4, hlm. 11‑13

[57] Ibid., juz 6, hlm. 346

[58] Ibid., juz 6, hlm. 86‑87

 

 

 

[59] Ibid., juz 4, hm. 229‑230

[60] Ibid., juz 4, hlm. 97

 

 

 

[61]Ibid., juz 11, hlm. 103‑106

[62] Ibid., juz 2, hlm. 148‑149

[63] Ibid., juz 11, hlm. 335

 

 

[64] Ibid., juz 11, hlm. 109‑114

[65]Ibid., juz 10, hlm. 339-340

 

 

[66]Ibid., juz 11, hlm. 42‑43

[67]Ibid., juz 7, hlm. 205‑209

[68]Ibid., juz 6, hlm. 402‑403

 

 

 

[69]Ibid., juz 6, hlm. 17‑18

[70]Ibid., juz 4, hlm. 243‑244

 

 

 

[71]Ibid., juz 1, hlm. 394‑395

[72]Ibid., juz 10, hlm. 58‑59

[73]Ibid., juz 4, hlm. 109‑110

[74] Muhammad Syam al‑Haq al‑’Azim Abadi<, Abu> al‑Tayyib, ‘Aun al-­Ma’bu>d, (Beirut: Dar al‑Kutub al‑’ilmiyyah, 1415 H), juz 10, hlm. 61

[75] Al‑Mubarakfuri, Abu> al‑’Ula> Muhammad ‘Abd al‑Rahma>n ibn ‘Abd al‑Rahi<m (1283‑1353), Tuhfah al‑Ah}wazi bi Syarh Jami<‘ al‑Turmuzi<, (Beirut: Da>r al‑Kutub al‑’Ilmiyyah, t.t.), juz 8, hlm. 223; Lihat pula al‑Sa’ati, Ahmad ‘Abd al‑Rahma>n al‑Banna> al‑Fath al‑Rabbani<, (Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>s} al‑’Arabi, t.t.), Juz 18, hlm. 62

[76] Al‑Mubarakfuri, Ibid.; al‑Sa’ati, Ibid..

[77] Al‑Mubarakfuri, Ibid., juz 8, hlm. 225

[78] Ibn Manz\u>r, Abu al‑Fadl Jamal al‑Di<n Muhammad bin Mukarram al­-Ifriqi al‑Misri, Lisa>n al‑’Arab, (Beirut: Dar al‑sadir, 1990), juz 14, hlm. 300

[79] Al‑Mubarakfuri, op.cit., juz 8, hlm. 224; Abadi, loc.cit.

[80] Al‑Mubarakfuri, Ibid., juz 8, hlm. 223, al‑Sa’ati, loc.cit.

[81] Ibid., juz 8, hlm. 225; Abadi., loc.cit.

[82]Ibid., juz 8, hlm. 226

[83] Abadi, loc.cit.

[84] Ibid.; al‑Mubarakfuri, op.cit., juz 8, hlm. 224

 

[85] Al‑Mubarakfuri, Ibid., juz 8, hlm. 224

 

[86] Ibid

 

[87] Muhammad Husain al‑Z|ahabi, al‑Tafsi<r wa al‑Mufassiru>n, (Beiriit: Da>r al‑Kutub al‑Hadisah, t.t)., jilid 1, hlm. 255

[88] Ibid. lihat pula Hasan Yunus ‘Ubaidu, Dira>sat wa Maba>his\ fi< Ta>rikh al‑Tafsi<r wa Mana>hij al‑Mufassiri<n, (Mesir: Markaz al‑Kitab Ii al‑Nasyr, t.t.), hlm. 100

[89] Kamil Musa dan Ali Dahruj, Kaifa Nafham al-Qur’a>n, Dira>sah fi< al‑Maza>hib al‑Tafsriyah wa Ijtiha>diha>, (Beirut: Dar Beirut al‑Mahrusah, 1992), hIm. 211

[90] Muhammad Husain al‑Z}ahabi, op. cit. , hIm. 256‑261; Hasan Yunus ‘Ubaidu, op.cit., hlm. 101 juga Kamil Musa dan ‘Ali Dahruj. op.cit., hlm. 1‑11‑212

[91] Muhammad Husain al‑Z|ahabi, Ibid., hIm. 261‑263; Hasan Yunus ‘Ubaidu, Ibid., hlm. 101‑105 juga Kamil Musa dan ‘Ali Dahruj, Ibid., hlm. 212‑213

[92] Kamil Musa dan ‘Ali Dahruj, op.cit., hlm. 215

 

GADAI TANAH PADA MASYARAKAT BUGIS DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

GADAI TANAH PADA MASYARAKAT BUGIS

 DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang Masalah

            Agama Islam adalah risalah (pesan-pesan) yang diturunkan Tuhan kepada Muhammad SAW. Sebagai petunjuk dan pedoman yang mengandung hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan dalam menyelenggarakan tatacara kehidupan manusia, yaitu mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubugan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan khaliq-Nya.

            Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang kehidupan yang membentuk pandangan hidup manusia. Islam hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global, yakni makna-makna tekstual yang umum, yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia baik yang meliputi aspek ritual (ibadah) maupun sosial (mualamah). Dengan demikian akan dapat digali (diistimbat) berbagai pemecahan setiap masalah yang timbul dalam kehidupan manusia.

            Dalam menjawab permasalahan yang timbul nampaknya peranan hukum Islam dalam era moderen dewasa ini sangat diperlukan dan tidak dapat lagi  dihindarkan. Kompleksitas permasalahan umat yang selalu berkembang seiring dengan berkembangnya zaman membuat hukum Islam harus menampakkan sifat elastisitas dan fleksibilitasnya guna memberikan yang terbaik serta dapat memberikan kemaslahatan  bagi umat manusia.

            Oleh karena itu dalam hubungan antara sesama manusia diberi kebebasan untuk berijtihad sepanjang tidak menyimpang dari al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana yang dinyatakan dalam suatu hadis Nabi SAW :

أنتم أعـلم بأمـوردنـياكم([1]                                                                        Dengan dasar ini maka manusia diberi kebebasan untuk mengatur segala kebutuhan hidupnya yang serba dinamis asalkan aturan itu tidak bertentangan dengan nas maupun maksud syar’i.     

            Agama Islam mengajarkan kepada umatnya agar supaya hidup saling tolong menolong, yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa pemberian dan bisa berupa pinjaman.

            Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan  kreditur, jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, ia dibolehkan meminta barang dari debitur sebagai jaminan utangnya. Sehingga, apabila debitur itu tidak mampu melunasi pinjamannya, maka barang jaminan boleh dijual oleh kreditur. Konsep tersebut dalam Fiqih Islam dikenal dengan istilah rahn atau gadai.[2])

                Salah satu bentuk muamalah yang disyari’atkan oleh Allah adalah Gadai berdasarkan firman Allah sebagai berikut :

وان كـنـتم عـلي سفـر ولم تجـد وا كاتبا فـرهـن مـقــبـو ضـة فان ا مـن بـعـضكـم بـعـضـا فـلـيـوء د الـذ ي  اوء تـمـن امـا نـتـه و لـيـتـق االله  ولاتـكــتمـوا الشــهـا دة و مـن يـكـتـمـهـا فـا نـه ا ثـم قـاـبـه وا الله بـمـا تـعــمـلـو ن عــلـيم ([3]                                                                                                       

            Gadai  merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang piutang,  untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang). Praktek seperti ini telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi dan dilakukan secara suka rela atas dasar tolong-menolong.

            Dalam masalah gadai, Islam telah mengaturnya seperti yang telah diungkapkan oleh ulama fiqh, baik mengenai rukun, syarat, dasar hukum maupun tentang pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai yang semua itu bisa dijumpai dalam kitab-kitab fiqh. Dalam pelaksanaannya tidak menutup kemungkinan adanya penyimpangan dari aturan yang ada.

            Gadai atau ar-rahn dalam bahasa Arab (arti lughat) berarti al-s|ubut wa al-dawam (tetap dan kekal). Sebahagian ulama lughat memberi arti ar-rahn dengan al-habs (tertahan)[4])

Menurut Ahmad Azhar Basyir gadai menurut istilah ialah :

Menjadikan benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang ; dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.[5])

 

Sedangkan unsur-unsur gadai (rahn) adalah orang yang menyerahkan barang gadai disebut rahi>n, orang yang menerima (menahan) barang gadai disebut murtahin. Barang gadai disebut Marhu>n dan sigat akad.[6])

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa gadai adalah penahanan suatu barang atau jaminan atas utang, jika utang sudah dilunasi maka jaminan itu akan dikembalikan kepada yang punya. 

Di masyarakat Indonesia praktek gadai mengalami perkembangan yang sangat pesat karena mengadaikan benda (barang) baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak merupakan jalan keluar bagi orang-orang yang membutuhkan  bantuan. Dalam masyarakat adat sering terjadi suatu perbuatan untuk mengadaikan tanah (sawah). Di dalam hukum adat gadai tanah biasa dikenal dengan istilah jual gadai. Jual gadai merupakan penyerahan tanah dengan pembayaran kontan, dengan ketentuan sipenjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.[7]) Gadai tanah tidak dijelaskan dalam kitab undang-undang hukum perdata karena tanah merupakan benda tak bergerak dikategorikan dalam hipotik.

Setelah undang-undang pokok agraria berlaku maka gadai diatur dalam PERPU No. 56 Tahun 1960 tentang “ PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN”.[8]) 

Selanjutnya penyusun akan menggambarkan pelaksanaan praktek gadai tanah sawah yang ada di masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Watang Sidenreng kebupaten Sidrap.

Kecamatan Watang Sidenreng secara geografis termasuk daerah yang subur bila dilihat dari tanah dan pengairan yang berasal dari sungai Saddang di kabupaten Pinrang, sehingga sawah mampu panen dua kali dalam setahun.

Masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng mayoritas beragama Islam. Akan tetapi masih perlu adanya peningkatan kualitas keagamaan, karena pada umumnya mereka belum mementingkan akan pentingnya pendidikan. Hal ini terjadi dalam praktek gadai tanah sawah (masyarakat Watang Sidenreng menyebutnya Nappakateniang). Menurut penyusun perlu adanya penelitian karena status gadai tersebut belum jelas. Dalam praktek gadai tersebut Murtahin (penerima gadai) diperbolehkan mengambil manfaat dari sawah rahin (yang menggadaikan).

Di dalam masyarakat Bugis terutama di kecamatan Watang Sidenreng kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan sering kali terjadi transaksi utang piutang yang mana tanah dijadikan sebagai barang jaminan atas utang mereka. Menurut pengamatan penyusun praktek gadai  dalam masyarakat tersebut terdapat hal yang bisa menyebabkan penggadai (pemilik tanah) rugi, karena penerima gadai sering kali mendapat keuntungan yang lebih besar dari pada uang yang dipinjamkan.

Selain itu tidak adanya ketetapan diantara kedua belak pihak tentang masa waktu/jangka waktu gadai tersebut, sehingga penerima gadai akan mengembalikan tanah gadai tersebut sampai pemiliknya mampu melunasi utangnya. Dengan praktek yang semacam itu maka akan terjadi keuntungan yang lebih besar bagi penerima gadai (Murtahin).

Praktek jual gadai dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng kabupaten Sidrap dilakukan dengan cara : si A sebagai orang yang ingin mengadaikan tanahnya (sawah) datang kepada si B dengan maksud untuk meminjam uang. Dalam transaksi tersebut si A memberikan tanah (sawah) sebagai jaminan utangnya. Namun di dalam perjanjian itu tidak disepakati tentang siapa yang akan mengelolah tanah (sawah) tersebut. Tetapi pada kenyataannya yang mengelolah tanah (sawah) tersebut adalah si B (Murtahin).

Dalam praktek gadai tersebut murtahin (penerima gadai) mengambil manfaat dari sawahnya rahin. Dalam fiqh Mu’amalah dijelaskan bahwa :

Hak murtahin kepada marhun hanya pada keadaan atau sifat kebendaannya yang mengandung nilai, tidak pada penggunaan dan pemungutan hasilnya.[9]

 

Oleh karena itu peneliti ingin mengadakan penelitian dengan tema gadai tanah pada masyarakat bugis dalam perspektif hukum Islam dan selanjutnya akan dianalisis dari segi hukum adat dan hukum Islam. Disamping itu juga untuk mengetahui apakah pemanfaatan barang gadai (tanah gadai) tersebut sesuai dengan norma-norma dalam ajaran Islam?.

 

B. Pokok Masalah.

Dari dasar pemikiran tersebut di atas, maka dapat ditarik pokok masalah, yakni sebagai berikut :   

  1. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktek gadai tanah serta pemanfaatannya dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan?

 

C. Tujuan dan Kegunaan

  1. Tujuan Penelitian adalah :
    1. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang  gadai tanah dalam masyarakat Bugis di Kecamatan watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.
    2. Untuk menjelaskan pemanfaatan tanah gadai dalam perspektif hukum Islam.
  2. Kegunaan Penelitan adalah :
    1. Penelitan ini diharapkan dapat menambah khasana keilmuan Islam khususnya tentang konsep gadai terutama gadai tanah.
    2. Juga dapat dimanfaatkan untuk merumuskan program pembinaan dan pemantapan kehidupan beragama, yang berkenaan dengan perkara mu’amalah, khususnya dalam praktek gadai tanah.

D. Telaah Pustaka

            Beberapa karya tulis  yang membahas tentang gadai tanah ini sudah banyak, diantaranya adalah karya Iman Sudiyat dengan judul Hukum Adat, Sketsa Asas, Dan karya Muhammad dan Sholikul Hadi dengan judul  Pegadaian Syariah. Kedua buku tersebut merupakan proyeksi perbandingan antara Hukum Adat, dan Hukum Islam. Diantara pembahasan dari kedua buku tersebut adalah tentang hukum tanah, Transaksi Tanah, Transaksi yang berhubungan dengan tanah, Konsep dan asas legal pegadaian syariah (Rahn) dan Pegadaian dalam perspektif Islam.

            Karya-karya lain yang penyusun dapatkan adalah Karya Dr. H. Chuzaimah T. Yanggo dan Drs. HA. Hafiz Anshary AZ, MA dengan judul Problematika Hukum Islam Kontemporer buku ketiga. Karya Prof Dr. Ny. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan SH dengan judul Hukum Perdata : Hukum Benda. Karya-karya di atas menghasilkan hasilkan suatu kajian yang menyeluruh dan utuh serta kritis dan falid.

            Selain itu karya yang lain adalah Fiqh as-Sunnah karya as-Sayyid Sabiq. Menurur beliau barang gadai tidak boleh dimanfaatkan barangnya, kecuali jika yang digadai itu berbentuk binatang, ia boleh memanfaatkan sebagai imbalan memberi makan binatang tersebut.[10])

            Tindakan memanfaatkan barang gadaian adalah tak ubahnya  qiradh yang mengalirkan manfaat, dan setiap bentuk qiradh yang mengalirkan manfaat adalah riba. Ini sesuai hadis Nabi SAW :

كل قـر ض مـنـفـعـة فـهـو ربـا([11]                                                                                              Menurut Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mugny menyebutkan sebagai berikut :

“Penerima gadai tidak boleh menerima hasil dari atau manfaat dari gadaian sedikitpun kecuali dari yang bisa ditunggangi dan diperah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan”[12])

 

Di sini penyusun tidak terlalu banyak mungkin untuk menyebutkan buku-buku apa saja yang ditelaah dalam membatu penyusunan penelitian ini. Karena menurut penyusun yang namanya telaah pustaka adalah hasil penelitian orang lain yang sudah pernah meneliti dalam kasus yang sama tapi di tempat atau permasalahan yang berbeda.

 

Adapun penelitian yang sudah pernah dilakukan dalam tenggang yang sama  ada beberapa skripsi yang penyusun telah baca, diantaranya adalah :

Skripsi Antoni Eka Putra, yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Gadai Tanah Sawah di Desa Talang Kecamatan Perwakilan Mungka kab. 50 Kota Sumatera Barat”, hanya membahas tentang batasan waktu yang tidak terjadi dalam praktek gadai tanah sawah kemudian dianalisis. Skripsi tersebut tidak membahas masalah yang sedang penyusun bahas.

Skripsi Arifatul Latifah, yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Gadai Tanah Sawah di Desa Gondowangi Kec. Sawangan, Magelang, Jawa Tengah”, hanya menjelaskan kategori sistem gadai yang memerlukan pembiayaan dan dimanfaatkan oleh penerima gadai.

Melihat dari dua uraian skripsi di atas serta sekian banyak buku yang penyusun baca, belum terdapat pembahasan mengenai praktek gadai tanah (sawah) pada masyarakat Bugis terutama di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, sehingga kami mengambil keputusan untuk melakukan penelitian tentang hal tersebut di daerah setempat. Dengan demikian penelitian ini layak untuk dilakukan.

 

E. Kerangka  Teoritik.

            Gadai adalah merupakan suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu pinjaman barang bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu utang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya, terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.[13])

            Sedangkan menurut hukum Islam gadai diistilakan dengan “rahn” dan dapat juga dinamai dengan “al-habsu” Secara etimologi kata rahn berarti “tetap atau lestari”, sedangkan al-habsu berarti “penahanan”. Adapun pengertian yang terkandung dalam istilah tersebut “ menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya tersebut. Demikian menurut defenisi para ulama.[14])

            Menurut pengertian di atas terutama gadai dalam kitab undang-undang hukum perdata dijelaskan bahwa benda yang dapat dijadikan barang gadai adalah benda bergerak baik yang bertubuh maupun tidak bertubuh. Sedangkan benda yang tidak bergerak tidak dapat digadaikan. Perbedaan antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak dalam kitab undang-undang hukum perdata mempunyai konsekuensi dimana lembaga jaminan juga dibagi dua yaitu gadai untuk benda bergerak sedangkan hipotik untuk benda tidak bergerak.[15])

             Sebenarnya pengertian gadai dan hipotik itu mempunyai pengertian yang sama, hanya saja bedanya kalau gadai dapat diberikan melulu atas benda-benda yang bergerak, sedangkan hipotik hanya melulu atas benda-benda yang tidak bergerak. Kedua hal kebendaan ini (gadai dan hipotik) memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi untuk dijadikan sebagai jaminan bagi hutang seseorang semata.[16])

            Secara umum gadai merupakan tindakan atau perbuatan dalam bidang perekonomian. Orang yang menggadaikan suatu barang mendapatkan uang sebagai imbalannya, uang tersebut merupakan utang dengan jaminan barang yang diserahkan kepada kreditur. Kegiatan perekonomian terutama perekonomian syari’ah tidak terbatas hanya merujuk pada bebasnya dari suatu riba, garar, dan maisir. Para ahli ekonomi Islam dan fuqaha mendiskusikan  tentang perekonomian yang Islami dengan menyepakati bahwa perekonomian Islam harus memenuhi sekurang-kurangnya dua kreteria, yaitu :

  1. Diselenggarakan dengan tidak melanggar rambu-rambu syari’ah.
  2. membantu mencapai tujuan sosio-ekonomi umat dan masyarakat dengan berdasar pada ajaran agama.

Dalam prakteknya pelaku bisnis harus memperhatikan segala tindakannya apakah berada dalam bingkai ajaran Islam dengan memegang teguh prinsip-prinsip moral dan etika atau bahkan sebaliknya. Karena hal ini sangat berimplikasi pada seluruh aspek kehidupan manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu kegiatan ekonomi (Muamalah) Islam, termasuk di dalamnya gadai (gadai tanah) harus didasarkan pada empat prinsip muamalah, yaitu :

  1. Pada dasarnya, segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’an dan sunah Rasul.
  2. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
  3. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam kehidupan masyarakat.
  4. Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.[17])

Disamping itu pada dasarnya Islam memberi kebebasan pada seseorang untuk melakukan akad (perjanjian). Kebebasan itu sepanjang tidak melanggar aturan umum dan nilai kesusilaan. Oleh karena itu dikenal kaedah ushul fiqh yang berbunyi :

الاصل في العقدرضي المتعاقد ين و نتجته ما التزما ه با لتعاقد([18]                                      

Maksud dari qaidah tersebut adalah bahwa seseorang tidak harus terkait dengan rumusan-rumusan perjanjian yang telah ditetapkan nash, atau bahkan formulasi akad para ulama klasik. Atas dasar itu, maka tidak menutup kemungkinan dilakukan perjanjian gadai, baik itu gadai terhadap benda bergerak maupun benda tidak bergerak.

Gadai tanah (benda tidak bergerak), sebagaimana yang berlaku dalam hukum perdata dan hukum adat di Indonesia, tidak ditemukan secara khusus yang membahas dalam fiqh. Pada satu sisi gadai tanah mirip dengan jual beli. Dalam hal ini hukum adat menyebutnya sebagai jual gadai. Pada sisi lain mirip dengan rahn. Kemiripannya dengan jual beli karena berpindahnya hak menguasai harta yang digadaikan itu sepenuhnya kepada pemegang gadai, termasuk memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari benda tersebut, walaupun hanya dalam waktu yang ditentukan. Sedangkan kemiripannya dengan rahn adalah karena adanya hak menebus bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu.[19])

 

Pada satu sisi gadai tanah mirip dengan jual beli. Dalam hal ini hukum adat menyebutnya sebagai jual beli gadai. Pada sisi lain mirip dengan rahn. Kemiripan dengan jual beli karena berpindahnya hak menguasai harta yang digadaikan itu sepenuhnya kepada pemegang gadai, termasuk memanfatkannya dan mengambil keuntungan dari benda tersebut, walaupun dalam waktu yang ditentukan. Sedangkan kemiripannya dengan rahn (Jaminan) adalah karena adanya hak menebus bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu. [20])

 

F. Metode Penelitian

  1. Jenis Penelitian.

 

Jenis penelitian ini termasuk penelitian lapangan (Field Reseach). Penelitian ini dilaksanakan di Masyarakat Bugis Sulawesi Selatan khususnya di kecamatan Watang Sidenreng, kabupaten Sidrap.

 

  1. Sifat Penelitian

Penelitian ini dilihat dari sifatnya termasuk penelitian deskriptif-analitik, yaitu penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan, menggambarkan dan menguraikan suatu masalah (Gadai Tanah) secara obyektif dari obyek yang diselidiki tersebut[21]). Yaitu praktek gadai tanah sawah yang dilakukan dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng. Selanjutnya, guna mendapatkan manfaat yang lebih luas, maka data yang telah didapatkan tersebut dianalisis dan diagnosis menggunakan metode normatif untuk mendapatkan kesimpulan yang jelas tentang gadai tanah dalam hukum Islam.

  1. Pendekatan Masalah.

Pendekatan yang digunakan adalah normatif, pendekatan ini dapat didefenisikan sebagai berikut :

    1. Normatif, yaitu pendekatan yang digunakan untuk melihat suatu masalah yang dikaitkan dengan keadaan yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini adalah gadai tanah yang terjadi di kecamatan Watang Sidenreng yang telah menjadi adat kebiasaan.
  1. Teknik Pengumpulan data.

a. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematik  fenomena-fenomena yang diselidiki.[22]) Ini penyusun gunakan untuk memperoleh data yang diperlukan baik langsung maupun tidak langsung. Dalam melakukan observasi selama penelitian ini dilaksanakan, terjadi praktek gadai tanah yang dilakukan oleh masyarakat.

            b. Wawancara

Dilakukan sebagai pelengkap untuk memperoleh data dengan memakai pokok-pokok wawancara sebagai pedoman agar wawancara terarah. Wawancara ini dilakukan dengan mengambil responden dari pihak penggadai dan penerima gadai, dan sebagai informannya adalah tokoh masyarakat setempat dan pihak pemerintah agar wawancara ini lebih kuat.

      c. Dokumentasi

Pengumpulan data dengan cara mengambil data dari dokumen yang merupakan suatu pencatatan formal dengan bukti otentik.

d. Populasi dan Penentuan Sampel.

  1. Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah para penggadai dan penerima gadai yang ada di Kecamatan Watang Sidenreng khususnya di 3 kelurahan yaitu kelurahan Empagae, Sidenreng dan kelurahan Kanyuara. Karena di kecamatan Watang Sidenreng karakter masyarakat dan perilaku dalam praktek gadai tanah sawah hampir sama.

  1. Penentuan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Simple Random Sampling, yaitu cara pengambilan sampel dilakukan dengan cara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi yang dijadikan obyek penelitian, penyusun menggunakan.[23]) Penelitian ini mengambil Sampel dari populasi yaitu penggadai dan penerima gadai yang ada di kelurahan Empagae, Sidenreng dan Kanyuara kecamatan Watang Sidenreng masing-masing 10 orang. Penyusun menggunakan non-random sampling karena tidak semua populasi melaksanakan praktek gadai tanah sawah.

             e. Angket.

Untuk mengetahui lebih mendalam praktek gadai tanah sawah di kecamatan Watang Sidenreng penyusun menggunakan angket yang diberikan kepada masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat memberikan jawaban atas pertanyaan dalam angket tersebut. Jumlah angket seluruhnya ada 60 buah dan setiap kelurahan 20 buah. Penggunaan angket dalam penelitian ini untuk memperkuat pengamatan dan wawancara yang penyusun lakukan.

  1. Analisis Data.

Setelah data mengenai gadai tanah terkumpul, maka kemudian dilakukan analisis dan diagnosis dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan cara menganalisis data tanpa mempergunakan perhitungan angka-angka melainkan mempergunakan sumber informasi yang relevan untuk memperlengkap data yang penyusun inginkan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keadaaan dan kondisi masyarakat tersebut mempengaruhi eksistensi kasus-kasus yang ada dalam data yang didapatkan tersebut. Selanjutnya, data yang terhimpun tersebut dianalisis berdasarkan hukum Islam. Dengan metode analisis data seperti ini diharapkan akan didapatkan suatu kesimpulan akhir mengenai status gadai tanah dalam perspektif hukum Islam dari kasus yang ada dalam data tersebut.

 

G. Sistematika Pembahasan.

            Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab. Sistematika pembahasan dari skripsi ini adalah sebagai berikut :

            Untuk bab pertama, adalah membicarakan pendahuluhan yang merupakan abstraksi dari keseluruhan isi skripsi ini yang akan menguraikan latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian yang diterapkan serta yang terakhir sistematika pembahasan.

            Pada bab dua, membahas gambaran umum gadai menurut hukum Islam. Pada bab ini penyusun mencoba memaparkan tentang pengertian dan dasar hukum gadai menurut hukum Islam, selain itu penyusun juga menjelaskan tentang mekanisme pelaksanaan gadai dan pemanfaatan barang gadai menurut hukum Islam. Nilai penting dari pembahasan ini adalah sebagai kerangka dasar tentang gadai, juga dijadikan alat analisis dan diagnosis pada pembahasan inti dalam penelitian ini.

            Kemudian bab tiga, bab ini penyusun membahas deskripsi  daerah penelitian yang meliputi keadaan geografis, demografi,ekonomi, pendidikan dan keagamaan dan data obyektif di lapangan yaitu praktek yang dilakukan masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap dalam melakukan gadai tanah. Pada bab ini juga akan dibahas tentang mekanisme pelaksanaan gadai tanah dalam masyarkat tersebut. Selain itu juga akan dibahas pemanfaatan tanah gadai oleh penerima gadai.

            Bab empat, bab ini membahas tentang analisis pelaksanaan gadai tanah dalam masyarakat tersebut sesuai dengan norma-norma hukum Islam. Dalam bab ini dimuat analisis dari praktek dan mekanisme pelaksanaan gadai tanah yang dilakukan oleh masyarakat bugis di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap serta pemanfaatan tanah gadai menurut hukum Islam.

            Terakhir bab lima, bab ini merupakan penutup yang mana penyusun akan mengambil kesimpulan dari hasil penelitian, dan saran-saran yang dirasa dapat memberikan alternatif bagi solusi masalah-masalah hukum.

           

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

GADAI  TANAH PADA MASYARAKAT BUGIS DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

 

 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PROPOSAL SKRIPSI

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

 

OLEH :

SUPRIADI

NIM : 00380327

 

Di bawah bimbingan :

 

  1. 1.      Drs. ABD. HALIM, M. HUM.
  2. 2.   H. SYAFIQ MAHMADAH HANAFI, S. Ag

 

 MUAMALAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2003

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG GADAI

 MENURUT HUKUM ISLAM

 

A. Pengertian dan Dasar Hukum Gadai

  1. Pengertian

Kata gadai dalam bahasa Arab disebut dengan ar-Rahn. Kata tersebut menurut arti aslinya adalah as-S|a>bit ( tetap atau lestari ). Kata ar-Rahn adalah bentuk masdar dari : [24]رهـن –  يـر هـن –  رهـنـا    yang artinya menggadaikan atau menungguhkan. Di kalangan ulama sepakat dalam merumuskan pengertian   رهـن dari segi bahasa mempunyai dua makna yaitu الـثـبـوت و الـد وا م   yang berarti tetap dan kekal. Sedangkan arti lainnya الحـبـس  (menahan)[25]. Seperti dinyatakan dalam Al-Quran

ولم تـجتد وا كا تـبـافـرهـن مـقـبـوضـة[26]                                                                  

Sedangkan pengertian gadai menurut istilah, mereka berbeda pendapat, as-Sayyid Sa>biq mengemukakan bahwa gadai menurut istilah adalah :

 

 

جـعـل عـيـن لـهـا قـيمـة مـا لـيـة في نـظـر الـثـرع و ثـيـقـة بـد ين بحـيـث يـمكـن أحـد ذ لك  الـد يـن أو أحـد بـعـضـه مـن تلك الـعين[27]                                                                           

Maksudnya adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil seluruh atau sebagian hutang tersebut karena adanya barang. Pengertian yang lain terdapat dalam kitab al-Mugni yang disusun oleh Imam Ibnu Qudamah sebagai berikut :

االمـال الـذي يـجـعـل و تـيـقـة بالـد ين لـيـسـتـونـي مـن ثـمـنـه إن تـعـذ ر إسـتيفـاوْه مـمـن هـو عـلـيـه[28]                                                                                                      

Bahwa yang dimaksud dengan gadai yaitu suatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, maka benda itu dapat dijadikan alat pembayar hutang.

Menurut Ahmad Azhar Basyir, gadai menurut istilah ialah :

Menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang; dengan adanya benda yanmg menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.[29]

 

Dari defenisi-defenisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan gadai ( ر هـنـا ) adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, dalam arti seluruh hutang atau sebagiannya dapat diambil sebab sudah ada barang jaminan tersebut, dan dapat dijadikan pembayaran hutang jika hutang itu tidak dapat dibayar.

Gadai menurut syari’at Islam berarti penahanan atau pengekangan. Sehingga dengan akad gadai menjadikan kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama. Yang punya hutang bertanggung jawab untuk melunasi hutangnya, sedangkan orang yang berpiutang bertanggung jawab untuk menjamin keutuhan barang jaminan. Apabila hutang itu telah dibayar, maka penahanan atau pengekangan oleh sebab akad itu menjadi lepas. Sehingga keduanya bebas dari tanggung jawab masing-masing.

Jika seseorang ingin berhutang kepada orang lain, maka ia menjadikan barang miliknya baik berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak atau berupa ternak yang berada dalam kekuasaannya sebagai jaminan sampai ia melunasi hutangnya. Pada dasarnya barang jaminan tetap dipegang oleh penerima gadai, tetapi apabila terjadi kesepakatan diantara kedua pihak (pemberi dan penerima gadai) maka barang gadai dapat diserahkan kepada orang lain yang adil dan mampu menjaga amanah[30]. Pemilik barang (yang berutang) disebut Rahn (yang menggadaikan) sedangkan penerima barang (pemberi gadai) disebut murtahin dan barang yang digadaikan adalah ruhn atau marhun.

  1. 2.      Dasar hukum Gadai

Gadai merupakan perbuatan yang halal dan dibolehkan bahkan termasuk perbuatan yang mulia karena mengandung manfaat yang sangat besar dalam pergaulan hidup manusia di dunia ini. Sebagaimana halnya dengan jual beli yang merupakan faktor yang sangat penting bagi kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia, sebagaiman firman Allah :

و إن كـنـتم عـلي سـفـرولـم تـجـدواكا تـبـا فـر هـن مـقـبـو ضـة فـإ ن أمـن بـعـضـكـم بـعـضـا فـلـيـوْدالـذي اوْ تمن أمنته وليتق الله ربه ولاتكـتموا الـشـهادة ومـن يـكـتمـها فإنه أثم قلبـه و الله بـما تـعـلـمـون عـلـيم[31]                                                                 

Dengan ayat di atas, ulama sepakat bahwa gadai dibolehkan dalam keadaan bepergian..

Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa Allah memerintahkan kepada pihak-pihak yang mengadakan perjanjian saat dalam perjalanan tetapi tidak mampu menyediakan seseorang yang bertugas mencatat perjanjian tersebut, untuk memperkuat adanya perjanjian, pihak yang berhutang harus menyerahkan barang gadai kepada pihak yang menghutangi. Ini dilakukan agar mampu menjaga ketenangan hatinya, sehingga tidak mengkhawatirkan atas uang yang diserahkan kepada rahin.

Dasar hukum lainnya adalah hadis Nabi SAW. Yang berbunyi sebagai berikut :

إشـتـري مـن يـهـو دي طـعـامـا إلي أجـل ورهـنـه د ر عـه[32]                                 

Hadis ini merupakan dasar bagi ulama yang membolehkan gadai dalam keadaan mukim (tidak musafir) karena peristiwa itu terjadi pada saat nabi berada di tempat.

Sunnah yang berfungsi sebagai penjelasan dari al-Qur’an memberikan ketentuan-ketentuan umum hukum muamalah, bahwa gadai adalah cara mendapatkan rezki yang halal, maka hadis nabi banyak yang menerangkan perincian tentang gadai tersebut, seperti: mengenai biaya dan pemanfaatan barang gadai baik yang bergerak maupun barang tetap.

Dalam melakukan akad gadai hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum muamalah, prinsip yang dimaksud adalah :

  1. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
  2. Muamalah dilaksanakan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
  3. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat.
  4. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghidari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan[33].

Salah satu prinsip diatas sesuai dengan kaidah ushul fiqh yaitu :

 

 

الأصـل في الاشــيـاء الإبــاحــة[34]                                                 

Dari uraian di atas dapat ditarik pengertian bahwa sumber hukum muamalah adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, selain itu manusia diperbolehkan juga untuk mengatur bentuk-bentuk muamalah yang berkembang dalam masyarakat asal tidak bertentangan dengan nash.

Sumber hukum gadai, selain al-Qur’an dan as-Sunnah, yang diperbolehkan untuk dijadikan pegangan adalah adat istiadat yang merupakan kebutuhan masyarakat yang bersifat positif.

 

B. Mekanisme Pelaksanaan Gadai Menurut Hukum Islam

Dalam melaksanakan gadai ada beberpa mekanisme yang harus diperhatikan atau dipenuhi, apabila mekanisme tersebut sudah dipenuhi maka pebuatan tersebut dapat dikatakan sah, begitu juga halnya dengan gadai. Mekanisme-mekanisme tersebut disebut dengan rkun. Oleh karena itu gadai dapat dikatakan sah apabila terpenuhi rukun-rukunnya. Selanjutnya rukun itu diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi pula. Jadi jika rukun-rukun tersebut tidak terpenuhi syarta-syaratnya, maka perjanjian yang dilakukan dalam hal ini gadai dinyatakan batal.

Dalam kitab al-Fiqh ‘Ala> al-Maza>hib al-Arabi’ah dinyatakan bahwa rukun gadai itu ada tiga yaitu :

  1. Aqid(orang yang melakukan akad) yang meliputi :
    1. Ra>hin, yaitu orang yang menggadaikan barang (penggadai)
    2. Murtahin, yaituorang yang berpiutang, yang memerihara barang gadai sebagai imbalan uangyang dipinjamkan (penerima gadai).
    3. Ma’qu>d ‘alaih(yang diakadkan) yang meliputi dua hal yaitu :
      1. Marhu>n (barang yang digadaikan).
      2. Marhu>n bih (hutang yang karenanya diadakn gadai).
      3. Si>gah (akad gadai).[35]

Sedangkan menurut DR. Wahab az-Zuhaili mengatakan bahwa rukun gadai itu adalah :

  1. Sigat akad ( I>ja>b qa>bu>l)
  2. Aqid (Penggadai dan penerima gadai).
  3. Marhu>n (barang gadaian).
  4. Marhu>n bih (hutang)[36].

Dalam rukun gadai Abu Hanifah hanyan mensyaratkan ijab qabul saja yang merupakan rukun akad. Beliau berpendapat bahwa ijab qabul merupak hakekat dari akad.[37]

Ad. I, Sigat Akad.

Yang dimaksud dengan sigat akad yaitu  dengan cara bagaimana ijab qabul yang merupakan rukun akad itu dinyatakan.

Ahmad Azhar Basyir mengatakan :

Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara’, yang merupakan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.[38]

 

Gadai belum dinyatakan sah apabila belum ada ijab dan qabul, sebab dengan adanya ijab dan qabul menunjukkan kepada kerelaan atau suka sama suka dari pihak yang mengadakan transaksi gadai. Suka sama suka tidak dapat diketahui kecuali dengan perkataan yang menunjukkan kerelaan hati dari kedua belah pihak yang bersangkutan, baik itu perkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan yang dapat diketahui maksudnya dengan adanya kerelaan, seperti yang dikemukakan oleh Prof. Hasbi ash-Shiddieqiy :

Akad adalah perikatan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan syara’, yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak. Gambaran yang menerangkan maksud diantara kedua belah pihak itu dinamakan ijab dan qabul. Ijab adalah permulaan penjelasan yang terbit dari salah seorang yang berakad, untuk siapa saja yang memulainya. Qabul adalah yang terbit dari tepi yan lain sesudah adanya ijab buat menerangkan persetujuannya.[39]

 

Sigat dapat dilakukan dengan lisan , tulisan atau syarat yang memberikan pengertian dengan jelas tentang adanya ijab qabul dan dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan qabul.[40]

 a. Sigat secara lisan.

Merupakan cara alami seseorang untuk mengutarakan keinginannya, oleh karena itu akad dipandang sah apabila ijab qabul dinyatakan secara lisan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Adapun mengenai bahasa tidak terikat oleh aturan khusus asal dapat dimengerti dan dipahami oleh pihak-pihak yang melakukan akad, agar tidak menimbulkan perselisihan ataupun sengketan dikemudian hari. 

b. Sigat akad dengan tulisan.

    Metode lain yang dilakukan oleh orang untuk menyatakan keinginannya adalah dengan tulisan. Jika kedua belah pihak tidak berada ditempat, maka transaksi dapat dilakukan melalui surat. Ijab akan terjadi setelah pihak kedua menerima dan membaca surat tersebut. Apabila dalam ijab tersebut tidak disertai dengan pemberian tenggang waktu, maka qabul harus segera dilakukan dalam bentuk tulisan atau surat. Apabila disertai  tenggang waktu, qabul supaya dilakukan sesuai dengan lamanya  tenggang waktu tersebut.[41]

c. Sigat akad dengan isyarat.

    Ini berlaku bagi mereka yang tidak dapat bicara atau bisu dan tidak dapat menulis. Jika orang tersebut dapat menulis, maka hendaknya dilakukan dengan menulis saja, karena keinginan yang dinyatakan dengan tulisan menyakinkan daripada dinyatakan dengan isyarat.

 

 

d. Akad dengan perbuatan.

    Jumhur ulama mengatakan bahwa syarat sahnya gadai adalah hendaknya dalam akad gadai tidak ditetapkan suatu syarat yang bertentangan dengan tujuan akad gadai itu.

Ad. 2. Aqid (Subyek gadai).

Yaitu orang yang melakukan akad, dalam hal ini penggadai dan penerima gadai. Untuk sahnya gadai kedua belah pihak harus mempunyai keahlian (kecakapan) melakukan akad yakni baliq, berakal dan tidak mah}ju>r ‘alaih (orang yang tidak cakap bertindak hukum). Maka akad gadai tidak sah jika pihak-pihak yang bersangkutan orang gila atau anak kecil yang belum tamyiz, berdasarkan hadis Nabi saw. yang berbunyi :

ر فع القلم عن ثلاثة : عـن الـنـا ءـم حـتي يـسـتـيـقـظ و عـن الـصـغـيـر حـتي يـكـبـروعـن الـمـجـنـو ن حـتي يـعـقـل أو يـفـيـق.[42]   

Imam asy-Syafi’I melarang gadai yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan orang bodoh secara mutlak, walaupun mendapat izin dari walinya, atas pertimbangan bahwa wali boleh membelanjakan harta mah}ju>r ‘alaih dengan digadaikan karena dua hal yaitu :

  1. a.      Dalam keadaan darurat yang sangat menghendaki dilakukan gadai. Dengan syarat wali tidak mendapatkan biaya itu selain mengadaikan harta mah}ju>r ‘alaih.
  2. b.      Gadai itu mengandung kemaslahatan bagi mah}ju>r ‘alaih.[43]

Dalam hal ini Imam Abu Hanifah berbeda pendapat yakni tidak mensyaratkan bagi akid baliq. Oleh sebab itu menurut beliau gadainya anak kecil yang sudah tamyiz dan orang dewasa bodoh yaitu dua orang yang sudah tahu arti muamalah, dengan syarat adanya persetujuan walinya.[44]

Ad. 3. Marhu>n (obyek gadai)

Untuk lebih jelasnya barang gadai disyaratkan :

a.   Merupakan benda bernilai menurut ketentuan hukum Islam yaitu benda yang dapat diambil manfaatnya secara biasa, bukan paksaan dan secara riil telah menjadi hak milik seseorang, misalnya : pakarangan, rumah dan lain sebagainya.[45]

            Sebagaimana jual beli syarat marhun harus suci dan bukan barang najis serta halal dipergunakan. Oleh sebab itu tidak sah menggadaikan barang najis seperti kulit bangkai meski sudak disamak, juga menggadaikan babi dan anjing karena hewan tersebut tidak sah diperjualbelikan.

b.   Barang tersebut dapat dimanfaatkan.

Imam as-Syafi’I mengatakan sebagai berikut :

Barang gadai dapat diambil manfaatnya menurut syara’ meskipun pada saat yang akan datang, seperti hewan yang masih kecil, dia boleh digadaikan sebab nantinya dapat diambil manfaatnya.[46]

Setiap barang yang boleh diperjualbelikan, boleh juga dijadikan barang jaminan (digadaikan), kecuali manfaatnya. Oleh karena itu tidak menggadaikan manfaat hak jalan.

  1. Marhun berupa barang.

Karena tidak boleh menggadaikan dengan pemanfaatan, seperti yang telah dijelaskan di atas, juga tidak sah menggadaikan hutang piutang, karena tidak jelas bendanya.

  1. Marhun adalah milik orang yang melakukan akad, baik barang maupun manfaatnya.[47]

Salah satu persyaratan barang dagangan yang ditentukan oleh fuqaha ialah barang itu harus diserah terimakan, jadi barang yang tidak ada, tidak dapat diserah terimakan, agar terhindar dari unsur-unsur penipuan.

Jadi barangnya harus ada dalam kekuasaannya, dengan demikian burung di udara, ikan di laut, binatang yang di hutan dan sebagainya tidak memenuhi syarat untuk dijadikan obyek akad.

Gadai merupakan bagian dari Mu’amalah, oleh karena itu gadai juga mengutif prinsip-prinsip muamalah antara lain :

  1. Dilaksanakan dengan memelihara keadilan, menghindar dari unsur-unsur penganiayaan.
  2. Dilakukan atas dasar suka sama suka.[48]

 

 

Ad. 4.Marhu>n bih. (hutang).

Yang dimaksud marhu>n bih yaitu hutang yang karenanya diadakan gadai. Adapun syarat-syaratnya adalah :

a. Penyebab penggadaian adalah hutang.

b. Hutang sudah tetap.

c. Hutang itu tetap seketika atau yang akan datang.

Oleh karenanya, sah gadai sebab harga masih masa khiyar, juga sah akad gadai pada al-ja’lu (pengupahan) yaitu pemberian upah dari seseorang kepada orang lain atas jasanya.

d. Bahwa hutang itu telah diketahui benda, jumlah dan sifatnya.[49]

 

C. Pemanfaatan Barang Gadai.

Sebagaimana telah ditegaskan di muka bahwa gadai bukan termasuk pada akad pemindahan hak milik, tegasnya bukan pemilikan suatu benda dan bukan pula kadar atas manfaat suatu benda (sewa menyewa), melainkan hanya sekedar jaminan untuk suatu hutang piutang, itu sebabnya ulama sepakat bahwa hak milik dan manfaat suatu benda yang dijadikan jaminan (Marhun) berada dipihak rahi>n (Yang menggadaikan). Murtahin (yang menerima barang gadai) tidak boleh mengambil manfaat barang gadai kecuali diizinkan oleh rahin dan barang gadai itu bukan binatang. Ulama Syafi’I, Imam Malik dan ualam-ulama yang lain berargumen menggunakan hadis Nabi saw. Tentang manfaat barang gadai adalah milik ra>hin bukan milik murtahin. Hadisnya yaitu :

لا يـغـلـق الـر هـن مـن صـاحـبـه الـذي رهـنـه لـه غـنـمـه و عـلـيـه

غـر مـه[50]

Barang gadaian dipandang sebagai amanat bagi murtahin sama dengan amanat yang lain, dia tidak harus membayar kalau barang itu rusak, kecuali karena tindakannya.[51]

Lebih lanjut Ibnu Quda>mah dalam kiatbnya al-Mugny menjelaskan bahwa pengambilan manfaat dari barang gadai itu mencakup pada dua keadaan yaitu :

  1. Yang tidak membutuhkan kepada biaya seperti rumah, barang-barang dan sebagainya.
  2. Yang membutuhkan pembiayaan.[52]

Mengenai hukum penerima gadai dengan mengambil manfaat dari barang yang membutuhkan biaya dengan seizin yang menggadaikan adalah sebanding dengan biaya yang diperlukan. Dari dua bagian di atas dapat ditemui adanya barang bergerak dan barang tetap. Barang bergerak adalah barang yang dalam penyerahannya tidak membutuhkan akte otentik seperti buku dan lain sebagainya. Sedangkan barang tetap adalah barang yang dalam penyerahannya memerlukan suatu akte yang otentik seperti rumah, tanah dan lain-lain.

Dalam pemanfaatan barang gadai yang berupa barang yang bergerak dan membutuhkan pembiayaan, ulama sepakat membolehkan murtahin mengambil manfaat dari barang tersebut seimbang dengan biaya pemeliharaannya., terutama bagi hewan yang bisa diperah dan ditunggangi, mereka beralasan sesuai dengan hadis nabi saw. Yang berbunyi :

 الـرهـن يـركـب  بـنـفـقـته إذاكان مـرهونـا ولبن الـدريـشرب بـنـفـقـته

إذا كان مـرهـونـا وعلي الـذي يـركـب و يـشـرب الـنفـقـة [53]

Adapun jika barang itu tidak dapat diperah dan ditunggangi (tidak memerlukan biaya), maka dalam hal ini boleh bagi penerima gadai mengambil manfaatnya dengan seizin yang menggadaikan secara suka rela, tanpa adanya imbalan dan selama sebab gadaian itu sendiri bukan dari sebab menghutangkan. Bila alasan gadai itu dari segi menghutangkan, maka penerima gadai tidak halal mengambil manfaat atas barang yang digadaikan meskipun dengan seizin yang menggadaikan.[54]

Jika memperhatikan penjelasan di atas dapat diambil pengertian bahwa pada hakekatnya penerima gadai atas barang jaminan yang tidak membutuhkan biaya tidak dapat mengambil manfaat dari barang jaminan tersebut.

 

 

Dalam kitab al-Mugny, Imam Ibnu Quda>mah mengatakan sebagai berikut :

Penerima gadai tidak boleh mengambil hasil atau manfaat dari barang yang digadaikan sedikit pun kecuali dari yang bia ditunggangi dan diperah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.[55]

 

Keterangan di atas menunjukkan bahwa penerima barang gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadaian kecuali bagi barang gadaian yang bisa di tunggangi dan diperah.

Akan tetapi menurut mayoritas ulama, penerima gadai boleh mengambil manfaat dari barang gadai bila sudah diizinkan oleh penggadai, dengan catatan hendaknya hal tersebut tidak disyaratkan dalam akad.

Syari’at Islam dalam masalah gadai pada prinsipnya adalah untuk kepentingan sosial, yang ditonjolkan adalah nilai sosialnya. Tetapi dipihak lain pada kenyataannya atau prakteknya tidak demikian halnya. Karena dinilai tidak adil, pihak yang punya uang merasa dirugikan, atas dasar karena adanya inflasi nilai mata uang. Sementara uang tersebut bisa juga dipakai sebagai modal usaha.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas, Rahmat Syafi’I mengatakan :

Bahwa Murtahin boleh mengambil manfaat barang gadai sepanjang diizinkan oleh rahin, dan tidak mengarah pada riba yang diharamkan. Yakni murtahin boleh mengambil manfaat hanya sekedar untuk mengatasi kerugian yang dialami oleh murtahin.[56]

 

Pada akhir ayat 279 surah al-Baqarah ditegaskan bahwa riba yang diharamkan itu adalah riba yang mengandung unsur kedhaliman (aniaya) pada salah satu pihak, sebagaimana firman Allah swt. Yang berbunyi :

 فـإن لـم تـفـعـلـوا فـأذ نـوا بـحـر ب مـن الله ورسـوله وإن تبتم فلكـم رء وس أمـوالـكم لا تظـلمـون ولا تـظـلـمـون[57]

Kemudian perlu diingat pula bahwa dalam hutang piutang di situ tetap harus ditekankan nilai-nilai sosialnya seperti pada prinsip utamanya. Sehingga seandainya yang berhutang itu masih belum mampu untuk membayar atau melunasi hutangnya. Maka jangan sampai ditumpukkan beban yang memberatkan, seperti diharuskan ada uang lebih dari uang pokok pinjaman, sebagaimana firman Allah swt :

 وإن كان ذوعسرة فـنظرة الي ميسرة وأن تصد قوا خير لكـم إن كنتم تعلمون[58]

 

                                                   

 

 

 

 

      

BAB III

PRAKTEK PELAKSANAAN GADAI TANAH DAN PEMANFAATAN TANAH GADAI DALAM MASYARAKAT BUGIS DI KECAMATAN WATANG SIDENRENG KABUPATEN SIDRAP SULAWESI SELATAN

 

A. Deskripsi Wilayah Penelitian

  1. Keadaan Geografis dan Demografi

Masyarakat Bugis merupakan salah satu suku bangsa yang berada di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Suku Bugis juga merupakan suku yang terbesar, dimana terdapat di beberapa kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan diantarannya di kabupaten Sidrap. Kab. Sidrap berada di sebelah utara dari ibukota Propinsi Sulawesi Selatan (Makassar) dengan jarak sekitar 180 km. Kab. Sidrap yang beribukotakan di Pangkajene, dengan luas wilayah 1.883,25 km2, terletak antara 3043 – 40 lintang selatan dan 119041 – 120010 bujur timur dengan batas – batas :

Sebelah Utara              : Kab. Pinrang dan Kab. Enrekang

Sebelah Timur             : Kab. Luwu dan Kab. Wajo

Sebelah Barat              : Kota Pare-pare dan Kab. Pinrang

Sebelah Selatan           : Kab. Soppeng dan Kab. Barru

Pada awal pembentukannya sebagai Kabupaten Dati II pada tahun 1962, kabupaten dati II Sidenreng Rappang terdiri dari 7 wilayah kecamatan. Setelah mengalami perkembangan hingga tahun 2003, maka kabupaten Sidrap mengalami pemekaran wilayah, sehingga secara administrasi Kabupaten Sidenreng Rappang sekarang ini terdiri dari 11 kecamatan, 38 kelurahan dan 66 desa.[59]

Kecamatan Watang Sidenreng merupakan salah satu dari 11 kecamatan yang berada dalam Kabupaten Sidenreng Rappang yang terletak kurang lebih 10 Km di sebelah timur kota Pangkajene Sidenreng ( Ibukota Kabupaten Sidenreng Rappang). Letak Kecamatan Watang Sidenreng berbatasan langsung dengan :

Sebelah Utara              : Kecamatan Panca Rijang

Sebelah Timur             : Kecamatan Pitu Riawa

Sebelah Selatan           : Kecamatan Tellu LimpoE

Sebelah Barat              : Kecamatan MaritenggaE

Wilayah Kecamatan Watang Sidenreng dengan luas 120,81 Km2 terbagi dalam 3 Kelurahan dan 4 desa. Kondisi Topografi Kecamatan Watang Sidenreng dengan keadaan datar 100% dengan ketinggian dari permukaaan laut <500 M.[60]

Table I

Luas Wilayah dan persentase luas desa/Kelurahan

No.

Desa/Kelurahan

Luas (Km2)

%

1.

Sidenreng

13,20

10,93

2.

Mojong

18,11

15,00

3.

Damai

41,47

34,33

4.

EmpagaE

12,15

10,06

5.

Kanyuara

12,54

10,38

6.

TalumaE

12,15

10,06

7.

Aka-AkaE

11,19

  9,26

 

Jumlah

      120,81

 100,00

 

Sedangkan luas tanah sawah dan tanah kering di kecamatan Watang Sidenreng 12.081.00 Ha, sebagaimana rincian berikut ini [61]:

Tabel II

Luas Tanah Sawah dan tanah Kering dirinci menurut Desa/Kelurahan

No.

Desa/Kelurahan

Tanah Sawah (Ha)

Tanah Kering (Ha)

Jumlah

1.

Sidenreng

875,00

445,00

  1.320,00

2.

Mojong

692,92

  1.118,08

  1.811,00

3.

Damai

950,00

  3.197,00

  4.147,00

4.

EmpagaE

876,60

338,40

  1.215,00

5.

Kanyuara

  1.205,00

  49,00

  1.254,00

6.

Talumae

801,50

413,50

  1.215,00

7.

Aka-AkaE

522,68

596,32

  1.119,00

 

Jumlah

  5.923,70

 6.157,30

12.081,00

 

Sedangkan jumlah penduduk Kecamatan Watang Sidenreng terdiri atas 7.599 laki-laki dan 8.484 wanita. Sebagaimana dalam tabel berikut ini[62] :

Tabel III

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kepala Keluarga

No.

Desa/Kelurahan

Pria

Wanita

KK

1.

Sidenreng

 864

1.000

   381

2.

Mojong

1.615

1.752

   772

3.

Damai

 927

   963

   439

4.

EmpagaE

1.207

1.536

   612

5.

Kanyuara

1.569

1.733

   661

6.

TalumaE

 808

   874

   393

7.

Aka-kaE

 609

   626

   279

 

Jumlah

7.599

8.484

3.537

 

 

 

  1. Keadaan ekonomi Masyarakat

Keadaan ekonomi masyarakat di Kecamatan Watang Sidenreng khususnya di bidang pertanian cukup memadai, ini disebabkan oleh kondisi tanah pertaniaan  yang sangat subur dengan adanya aliran irigasi dari sungai Saddang yang berasal dari kabupaten Pinrang, sehingga hasil pertanian khususnya padi cukup melimpah.

Untuk tanaman padi masyarakat tidak hanya mengandalkan sawah tadah hujan tapi dengan adanya pengairan atau irigasi, baik irigasi secara teknis maupun irigasi non teknis, yang bagus dan bisa untuk memenuhi semua sawah yang ada di Kecamatan Watang Sidenreng. Sehingga walaupun tidak ada hujan petani bisa menanam padi dan dalam satu tahun paling sedikit dua kali panen. Berikut ini tabel luas sawah menurut jenis pengairan[63] :

Tabel IV

Luas Sawah Menurut Jenis Pengairan dirinci Menurut Desa/Kelurahan

No.

Desa/kelurahan

 

Pengairan

 

Jumlah

 

 

Teknis

½ Teknis

Tadah hujan

 

1.

Sidenreng

   875,00

   875,00

2.

Mojong

   692,92

   692,92

3.

Damai

   350,00

   600,00

   950,00

4.

EmpagaE

   876,00

   876,00

5.

Kanyuara

1.000,00

   205,00

1.205,00

6.

TalumaE

   801,50

   801,50

7.

Aka-akaE

   300,00

   222,68

   522,68

 

Jumlah

4.094,52

1.829,18

5.923,70

 

 

 

 

 

 

 

Jumlah penduduk kecamatan Watang Sidenreng berdasarkan mata pencaharian yaitu[64] :

Tabel V

Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian

No.

Desa/Kelurahan

Petani

Peternakan

Perikanan

Perkubunan

Dagang

1.

Sidenreng

   376

  28

15

 20

2.

Mojong

   254

       15

63

37

 40

3.

Damai

   300

       10

51

 12

4.

EmpagaE

   410

  31

 41

5.

Kanyuara

   520

  35

 25

6.

TalumaE

   325

 10

11

 20

7.

Aka-kaE

   320

 14

     10

 

 

2.505

143

78

99

168

 

  1. Keadaan Pendidikan dan Keagamaan

a. Pendidikan

            Di bidang pendidikan di kecamatan Watang Sidenreng masih perlu adanya peningkatan dan pembenahan. Karena masih banyak anak-anak yang belum sekolah sampai tingkat SMP, bahkan ada yang tidak tamat SD. Ini di sebabkan karena kurangnya sarana dan prasarana pendidikan yang ada di kecematan watang Sidenreng, sehingga banyak anak-anak yang melanjutkan sekolah di luar, itu pun bagi anak-anak yang mampu. Seperti ke Pangkajene yang berjarak 10 Km dari EmpagaE (ibukota kecamatan Watang Sidenreng). Seperti pada tabel berikut ini :

 

 

 

Tabel VI

Jumlah Prasarana Pendidikan 

di Kecamatan Watang Sidenreng

No.

Desa/Kelurahn

SD/MI

SMP/Mts

SMU/MA

Jumlah

1.

Sidenreng

1

1

2.

Mojong

2

2

3.

Damai

2

1

3

4.

EmapagaE

3

1

4

5.

Kanyuara

2

2

6.

TalumaE

2

2

7.

Aka-kaE

2

2

 

Jumlah

14

2

16

 

Melihat Persoalan dan permasalahan yang demikian, maka pemerintah kecamatan mempunyai program wajib belajar sembilan tahun dan bebas buta aksara sebagaimana yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, baik itu melalui pendidikan formal maupun non formal.

 

b. Kehidupan Keagamaan

Perlu diketahui bahwa di kabupaten sidrap ada sekelompok masyarakat yang menganut sistem aliran kepercayaan dalam kehidupan beragama. Kelompok ini biasa disebut Tau Lotang. Aliran ini dimasukkan dalam agama Hindu. Aliran ini tersebar di hampir semua kecamatan yang ada di kabupaten Sidenreng Rappang. Meskipun demikian penduduk kecamatan Watang Sidenreng ini pada umumnya beragama Islam. Tapi  mereka melakukan dan melaksanakan tri kerukunan antarumat beragama yaitu kerukunan hidup umat beragama dengan orang lain, kerukunan hidup seagamadan kerukunan hidup antara agama dan pemerintah cukup baik ditandai dengan tidak adanya permasalahan-permasalahan yang menyangkut keagamaan. Kesadaran hidup beragama terutama dikalangan umat Islam cukup baik. berikut data jumlah pemeluk agama di Kecamatan Watang Sidenreng.

Tabel VII

Jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut

tiap Desa/Kelurahan

No.

Desa/

kelurahan

Islam

Kristen

Protestan

Kristen Katolik

Hindu

Budha

Jmlh

1.

Sidenreng

1.502

   362

  1.864

2.

Mojong

3.242

    125

  3.367

3.

Damai

1.870

7

     13

  1.890

4.

EmpagaE

2.478

   265

  2.743

5.

Kanyuara

   800

2.502

  3.308

.6

TalumaE

1.614

     61

  1.682

7.

Aka-kaE

1.171

     64

  1.235

 

Jumlah

12.677

3.392

16.083

 

            Sektor Agama merupakan faktor penting dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat, oleh sebab itu saran/fasilitas keagamaan perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan, karena dengan tersedianya saran keagamaan yang memadai akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Untuk lebih jelas sarana keagamaan yang ada di Kecamatan Watang Sidenreng dapat dilihat pada tabel berikut ini[65] :

 

 

 

Tabel VIII

Banyaknya Tempat Ibadah di Kecamatan Watang Sidenreng

No.

Desa/Kelurahan

Masjid

Mushallah

Gereja

Vihara

Kuil

Jumlah

1.

Sidenreng

2

2

2.

Mojong

1

1

3.

Damai

5

5

4.

EmpagaE

2

 

2

5.

Kanyuara

1

1

6.

TalumaE

2

2

7.

Aka-akaE

3

3

 

Jumlah

16

16

 

B. Praktek dan Mekanisme Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam Masyarkat   Bugis di Kecamatan Watang Sidenreng.

  1. Pengertian Gadai.

Masyarakat Kecamatan Watang Sidenreng disamping sebagai petani mereka juga sebagai buruh, pedagang dan pegawai,  namun dalam keadaan mendesak seperti butuh biaya untuk sekolahkan anaknya, modal usaha, biaya pernikahan dan sebagainya, mereka terpaksa menggadaikan sawahnya. Sawah yang digadaikan tersebut adalah tanah milik mereka sendiri.[66]

Masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Watang Sidenreng menyebut gadai dengan sebutan Nappakatening yaitu Transaksi gadai tanah (sawah) sebagai jaminan dan tanah itu dimanfaatkan oleh penerima gadai. Orang yang melakukan gadai di sebut Mappaketenniang (Penggadai), sedangkan yang menerima disebut Nakketeni (penerima gadai).[67]

Adapun mengenai batas waktu yang ada beberapa pilihan diantaranya dua kali panen/1 tahun dan tanpa batas tertentu, tapi biasanya waktu tidak pernah ditentukan, asal uang sudah dikembalikan maka sawah yang digadaikan pun dikembalikan kepada pemiliknya. Tapi apabila sudah sampai batas waktu yang ditentukan, penggadai belum mampu untuk membayar uang yang dipinjamnya maka para pihak harus sepakat untuk membuat perjanjian baru. Apabila penerima gadai juga butuh uang, maka penerima gadai berhak menggadai sawah tersebut atas izin penggadai (pemiliknya).[68]

Berdasarkan Intervieu banyak terjadi jika sampai batas waktu atau jatuh tempo sipenggadai belum mampu untuk membayar hutangnya sehingga jika sawah tersebut digarap oleh penerima gadai maka dia masih berhak menggarap sawah tersebut samapi penggadai melunasi pinjamannya. Hal ini bisa terjadi sampai tujuh tahun.[69]

Gadai tanah di Kecamatan Watang Sidenreng dilakukan dengan hitungan pinjaman berdasarkan harga gabah atau jumlah berat gabah yakni hitungan ton. Jadi apabila ada masyarakat yang ingin menggadaikan sawahnya tidak lagi memakai nilai uang tapi dinilai dengan harga gabah. Jika dia menggadaikan sekitar 5 ton gabah maka dia harus menerima uang sesuai dengan harga 5 ton gabah kering tersebut.[70] Jadi pada saat batas waktu yang telah ditentukan sampai, maka sipenggadai harus mengembalikan atau membayar hutangnya sesuai harga 5 ton gabah kering yang berlaku pada saat dia membayar hutangnya.[71]

 

  1. Proses terjadinya gadai

Semua manusia pasti memerlukan orang lain, sebab manusia bukan merupakan makhluk individu tetapi manusia adalah makhluk sosial yang harus bermasyarakat anatara satu dengan yang lainnya. Sebab mereka saling membutuhkan untuk mencukupi kelangsungan hidupnya. Maka dengan demikian terjadi Mu’amalah seperti adanya praktek gadai.

Dalam praktek gadai di Kecamatan Watang Sidenreng mula-mula siA (penggadai) datang kepada si B (penerima Gadai) dengan mengungkapkan maksudnya untuk meminjam sejumlah uang, maka dilakukan perjanjian yang mana di dalam perjanjian tersebut uang yang akan dipinjam dinilai dengan jumlah berat gabah kering. Kemudian dalam pembayarannya harus sesuai dengan harga gabah pada waktu dia membayar pinjamannya.[72]

Proses terjadinya akad gadai ada yang dilakukan di atas tangan yakni tanpa sepengtahuan pemerintah setempat dengan asumsi adanya saling percaya diantara kedua belah pihak. Selain itu ada pula yang dilakukan di kantor kelurahan.[73]

Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa alasan mereka untuk menggadaikan sawahnya adalah karena untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang mendesak diantaranya biaya sekolah, pernikahan, modal usaha dan lain sebagainya.

Sedang dari penerima gadai penyusun juga memperoleh data yang bila disimpulkan ada dua faktor yaitu :

 

  1. Lingkungan.

Karena masyarakat di Kecamatan Watang Sidenreng sudah terbiasa sejak zaman dahulu menggadaikan sawah, sehingga mereka beranggapan bahwa hal tersebut sudah menjadi adat kebiasaan karena sudah terbiasa, maka sudah menjadi ketetapan umum bila seseorang menggadaikan sawahnya.

  1. Faktor ingin menolong

Berangkat dari rasa tolong menolong, maka sipenerima gadai meminjamkan uangnya kepada sipenggadai. Karena sebagai rasa terima kasih telah dipinjamkan uang maka mereka rela menyerahkan sawahnya kepada sipenerima gadai sebagai jaminan dan untuk di garap.

  1. Hak dan kewajiban penggadai dan penerima gadai.
    1. Hak penggadai dan penerima gadai

1) Penggadai.

Setelah penyusun mengadakan wawancara dan juga hasil angket dalam praktek gadai tanah sawah di Kecamatan Watang Sidenreng hak penggadai antara lain sebagai berikut :

a)      Mendapatkan sejumlah uang dari penerima gadai.

b)      Mengalihkan hak pemanfaatan tanah sawahnya kepada penerima gadai.

c)      Memungut separo dari hasil panen apabila transaksinya menghampiri masa panen tiba.

2) Penerima gadai

a)      Memanfaatkan tanah sawah yang dijadikan jaminan.

b)      Membuat perjanjian baru jika sudah jatuh tempo.

c)      Menagih uang pinjaman jika sudah sampai batas waktu yang telah ditentukan.

d)     Membuat perjanjian baru dengan orang lain atas seizin penggadai.

b. Kewajiban Penggadai dan Penerima gadai

1)      Penggadai

a)      Menyerahkan sebagian tanahnya dan dimanfaatkan oleh penerima gadai.

b)      Mengembalikan uang pinjaman kepada penerima gadai.

2)      Penerima gadai

a)      Menyerahkan uang pinjaman kepada penggadai atas terjadinya transaksi gadai.

b)      Mengembalikan tanah sawah yang dijadikan jaminan jika uang sudah dibayar.

 

C. Pemanfaatan Barang Gadai

            Dari hasil penelitan yang dilakukan bahwa pemanfaatan barang gadai yang terjadi dalam praktek gadai tanah di dalam masyarakat Bugis di Kecamatan Watang Sidenreng dilakukan oleh penerima gadai tersebut.

            Pemanfaatan barang gadai yang dilakukan di Kecamatan watang Sidenreng beraneka ragam sesuai dengan kesepatan yang dilakukan tetapi pemanfaatan barang tersebut tidak ditulis dalam surat perjanjian.

            Pemanfaatan barang gadai dikekola atau digarap oleh  yang menerima gadai. Selain itu ada pula yang dikelola atau digarap oleh orang ketiga atau orang lain yang dipercaya dengan ketentuan bagi hasil antara penggarap dengan sipenerima gadai.[74]

            Meskipun demikian kebanyakan tanah sawah yang dijadikan sebagai jaminan kebanyakan digarap atau dikelola oleh penerima gadai itu sendiri.

 Dari hasil penelitan diketahui bahwa hasil dari pemanfaatan barang gadai tidak dilakukan bagi hasil antara pemberi gadai (Rahn) dengan penerima gadai (murtahin) setelah dipisahkan dengan biaya pemeliharaan. Hasil tersebut semuanya diambil oleh penerima gadai. Bagi hasil terjadi jika barang gadai tersebut dalam hal ini tanah sawah dikelola oleh pihak ketiga, yaitu hasilnya dibagi antara pengelola dengan penerima gadai sebagai orang yang membiayainya.

Oleh karena itu, pemanfaatan barang gadai (tanah sawah) yang terjadi dalam masyarakat Bugis di Kecamatan Watang Sidenreng harus ditinjau ulang karena merugikan bagi pemberi gadai.

Demikianlah penelitian terhadap pemanfaatan tanah sawah sebagai barang gadai dalam masyarakat Bugis di Kecamatan Watang Sidenreng kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan.

           

BAB IV

ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN DAN PEMANFAATAN

GADAI TANAH DI KECAMATAN WATANG SIDENRENG

MENURUT HUKUM ISLAM

 

A. Praktek Gadai Tanah di Kecamatan Watang Sidenreng Menurut Hukum Islam

            Gadai merupakan perjanjian atau akad dalam bermu’amalah yang dilakukakan oleh dua pihak dalam bentuk hutang piutang dengan menyerahkan sesuatu (barang) sebagai jaminan hutang. Perjanjian gadai ini dibenarkan dengan firman Allah swt yang berbunyi :

وانكـنـتم علي سفـر ولم تجـدوا كاتبا فرهن مقـبو ضة …[75].

            Pengertianفرهن مقـبو ضة     dalam ayat di atas yaitu barang tanggungan yang dipegang. Barang tanggungan tersebut dalam masyarakat disebut dengan gadai.

            Munculnya gadai sebagai perbuatan hukum dalam mu’amalah karena adanya salah satu pihak yang bermu’amalah melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan berupa hutang karena perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang mendesak.

            Bila mencermati ayat tersebut di atas maka ‘illat hukum yang terkandung adalah adanya faktor kebutuhan, hal ini dapat dijumpai dalam pendapatnya        as-Sauka>ni> yang mengemukakan bahwa barang siapa dalam perjalanan melakukan perjanjian hutang piutang dan tidak dijumpai seoranng pun penulis maka untuk meringankannnya (hutang piutang) diadakannya jaminan yang dipegang.[76] Jadi adanya perjanjian hutang piutang karena adanya kebutuhan yang mendesak.

            Alasan untuk mengadakan perjanjian gadai tanah itu lazimnya ialah bahwa pemilik tanah (ra>hn) butuh uang. Bilamana tidak dapat mencukupi kebutuhan dengan jalan meminjam uang, maka ia dapat mempergunakan tanahnya untuk memperoleh uang itu dengan jalan membuat perjanjian tanah (groud transactie).[77]

            Dari sini dapat dilihat bahwa gadai tanah menurut adat adalah perjanjian yang menyebabkan bahwa tanah itu diserahkan untuk menerima sejumlah uang tunai dengan perjanjian bahwa sipenyerah tanah (ra>hn) akan berhak mengembalikan tanahnya dengan jalan membayar hutang sejumlah yang sama.[78]

            Istilah gadai tanah yang dipakai Van Vollenhoven ialah” Jual dengan perjanjian beli kembali”, ia memasukkan unsur bahwa perjanjian adanya tanah yang diserahkan untuk menerima tunai sejumlah uang dengan permufakatan bahwa sipenerima akan mengembalikan tanah itu dengan jalan sipemilik tanah membayar sejumlah uang yang sama, unsur mengembalikan uang pinjaman dengan uang yang sama besarnya menunjukkan tidak adanya riba (melebihkan pembayaran), sebagaimaan dalam hukum Islam. Namun gadai tanah yang diistilahkan dengan “jual dengan perjanjian beli kembali” merupakan bentuk muamalat atau perjanjian lain dari gadai tanah.

            Ten Haar menolak pemakaian istilah tersebut dengan alasan bahwa istilah menjual berarti menjual lepas yakni menjual sesuatu untuk melepaskan barang yang dijual selamanya.[79]

            Dalam hukum Islam “jual dengan perjanjian beli kembali” masuk dalam perjanjian jual beli bersyarat yakni seseorang yang menjual sesuatu barang diikuti dengan perjanjian bahwa suatu saat jika sipenjual tersebut sudah mempunyai uang maka barang tersebut akan dibeli kembali oleh sipenjual.

            Jual beli bersyarat yang diistilakan oleh Van Vollenhoven masuk dalam salah satu jual beli bersyarat yang fasid. Karena penjual mensyaratkan dengan akad baru.[80] Yang demikian itu tidak dibenarkan dalam Islam sebagaimana hadis Nabi yang berbunyi :

لا يحـل سلف وبـيع ولا شـر طان في بـيع[81]

            Dengan demikian istilah gadai tanah yang diistilakan dengan “jual dengan perjanjian beli kembali” tidak bisa dibenarkan sebagai istilah gadai karena masuk pada jual beli bersyarat yang fasid, yang menggabungkan dua perjanjian sehingga menutup untuk terjadinya tasarruf barang tersebut kepada pihak lain. Perjanjian ini sebagai acuan dalam mengaktualisasikan perbuatan hukum.

            Manusia sebagai makluk sosial, makhluk bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial yang dalam kehidupan sehari-harinya saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka mereka melakukan berbagai macam hubungan diantaranya adalah melakukan transaksi gadai tanah sawah.

            Transaksi gadai tanah sawah di kecamatan Watang Sidenreng merupakan transaksi yang sudah mengakar, sudah berlaku secara turun temurun. Dengan demikian, penyusun berniat meneliti dan menganalisis tradisi gadai ini dari segi hukum Islam. Bagaimana hukum Islam menyikapi tradisi gadai tanah sawah yang terjadi di Kecamatan Watang Sidenreng?.

            Dalam hukum Islam kegiatan gadai menggadai barang sudah ada sejak dahulu kala dan merupakan kegiatan yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan yaitu tatkala seseorang sedang dalam perjalanan,  bermu’amalah secara tunai, sementara diantara mereka tidak ada seorang pun penulis, agar supaya ada barang tanggungan yang dipegang oleh murtahin sebagai alat pengikat kepercayaan diantara mereka sebagaimana firman Allah :

وانكـنـتم علي سفـر ولم تجـدوا كاتبا فرهن مقـبو ضة …[82].

            Selain orang yang dalam perjalanan, orang yang mukim atau menetap pun diperbolehkan melakukan transaksi gadai. Berdasarkan sunnah Rasulullah yaitu tatkala beliau menggadaikan baju besinya ketika beliau menetap di Madinah kepada seorang yahudi untuk membeli makanan.

 

 اشـتر ي رسـول الله ص : من يـهـودي طعـاما ورهـنه درعه[83]

            Berdasarkan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa gadai menggadai barang berharga dapat dilakukan walaupun para pihak tidak dalam bepergian. Sementara jumhur ulama telah sepakat tentang diperbolehkannya gadai bagi orang yang menetap.

            Pengertian gadai menurut hukum Islam maupun pengertian yang umum dimiliki oleh masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng telah penyusun paparkan pada bab II dan bab III di atas. Persamaan diantara keduanya terletak pada sebab terjadinya gadai barang atau gadai benda-benda yang bernilai yaitu pinjam meminjam uang dengan menggunankan jaminan. Sementara perbedaannya ialah bahwa dalam hukum Islam barang jaminan berkedudukan sebagai amanah dan kepercayaan di tangan murtahin yang berfungsi sebagai jaminan hutang jika ra>hn tidak mampu melunasi hutangnya.[84]

            Menurut hukum Islam suatu perbuatan dalam hal ini adalah gadai tanah baru dikatakan sah jika telah terpenuhi unsur-unsurnya. Unsur-unsur tersebut biasa disebut rukun gadai. Sebagaimana tersebut dalam kita Mas}a>hib al- ‘Arba’ah sebagai berikut :

1. A<qid yaitu pihak yang melakukan akad.

  1. Ra>hn
  2. Murtahin

2. Ma’qud ‘Alaih (yang digadaikan).

  1. Marhun (barang).
  2. Dain Marhu>n bih (hutang).

3. S{i>>qat.[85]

            Rukun-rukun di atas memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi juga yaitu:

1. A>qid, syarat-syaratnya yaitu :

  1. Mempunyai kecakapan dalam bertindak.[86]
  2. Keduanya melakukan akad secara suka rela.[87]

2. Ma’qud ‘Alaih syarat-syaratnya :

  1. Benda bernilai menurut syara’
  2. Dapat dimanfaatkan.
  3. Barang.
  4. Milik orang yang melakukan akad.
  5. Dapat diserah terimakan pada saat akad.[88]
  6. Untuk suatu hutang.
  7. Hutangnya sudah tetap.

 

  1. Hutangnya telah diketahui jumlah, benda dan sifatnya.[89]

3. S{i>qat, syarat-syaratnya yaitu :

  1. Adanya persesuaian antara ija>b dan qabul pada suatu obyek akad.
  2. Adanya persesuaian antara ija>b dan qabul  dalam suatu majelis.

Dari hasil penelitian dan pengamatan penyusun dalam tradisi gadai tanah sawah yang dilakukan oleh masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng diketahui bahwa rukun-rukun dan syarat-syaratnya sudah mendekati sempurna, seperti yang dikemukakan dalam rukun dan syarat sah gadai dalam hukum Islam. Meskipun hanya ada sedikit kesamaran pada serah terima tanah sawah sebagai barang yang digadaikan atau sebagai barang tanggungan dari suatu hutang.

Tanah merupakan benda tak bergerak, maka dalam serah terimanya menggunakan sertifikat tanah sawah tersebut kepada murtahin. Tetapi dalam transaksi gadai tanah sawah yang terjadi di kecamatan Watang Sidenreng, ra>hin tidak menyerahkan seertifikat tanah sawahnya kepada murtahin sebagaimana seharusnya untuk benda tak bergerak. Transaksi yang terjadi diantara mereka hanya saling kepercayaan bahwa sawah tersebut adalah benar milik sipenggadai (ra>hin) dan bukan milik orang lain. Sehingga akan menyusahkan salah satu pihak yang melakukan transaksi jika ada sengketa atau masalah di kemudian hari. Jika ada selisih atau keperluan lain yang mendesak atas tanah tersebut mereka selalu merundingkannya.

Kepercayaan yang terjalin diantara mereka menyebabkan kemungkinan untuk terjadinya penyelewengan sangat tipis. Ketakutan murtahin jika tidak dibayar atau kesulitan dalam menagih hutangnya kepada Ra>hin, hal ini sangat tipis kemungkinan terjadi karena tanah sawah milik ra>hin masih berada di bawah kekuasaan murtahin dan hasli panennya pun milik murtahin, jika Ra>hin tidak segera membayar hutangnya, maka ra>hin sendiri yang rugi.

  Allah swt. Berfirmn yang isinya bahwa, jika kedua belah pihak telah saling mempercayai, maka mereka harus memegang atau memenuhi amanatnya.

 فان امن بعضـكم بعـض فلـيـوْد ي ا لذي اوْ تمن اما نتـه[90]

Meskipun masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng dalam bertransaksi gadai telah saling percaya tapi penguasaan tanah sawah itu masih dilaksanakan dan dilakukan oleh murtahin karena demikian aturan yang berlaku di kecamatan Watang Sidenreng.

Pemanfaatan barang gadai dilakukan sepenuhnya oleh murtahin sampai satu tahun atau dua kali panen bahkan sampai hutang dilunasi. Jika telah sampai batas waktu untuk membayar hutang tetapi ra>hin belum mempunyai uang, maka pemanfaatan atas barang gadai tersebut diteruskan sampai ra>hin  mampu melunasi hutangnya atau sesuai dengan kesepakatan diantara keduanya.[91]

Hukum Islam telah menetapkan ketentuan bahwa pemanfaatan barang gadai adalah oleh ra>hin, sebagai pemilik barang, bukan oleh murtahin. Karena akad yang terjadi bukan akad pemindahan hak milik, dimana orang yang menerima barang dapat memiliki sepenuhnya. Akad gadai bukan akad pemanfaatan suatu benda (sewa menyewa) dimana barang tersebut dapat dimanfaatkan. Akad gadai hanya berkedudukan sebagai jaminan. Oleh karena itu Ulama sepakat bahwa hak milik suatu manfaat atas suatu benda yang dijadikan jaminan (borg) berada dipihak ra>hin, murtahin tidak bisa mengambil manfaat barang gadai kecuali diizikan oleh ra>hin sebagamana dalam hadis nabi saw.

 لا يغلق الر هن من صا حـبه الذي رهـنه له غنمـه و عليه غرمه[92]

Murtahin  baru dapat mengambil manfaat barang gadai jika barang tersebut membutuhkan biaya perawatan dan pemeliharaan, sebatas biaya yang dibutuhkan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam al- Muqny-nya

Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat atau hasil dari barang gadaian sedikit pun, kecuali dari yang bisa ditunggangi atau diperah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.[93]  

 

Nafkah yang diambil dari barang gadaian adalah sekedar atau sebesar ongkos yang dikeluarkan untuk biaya perawatan dan pemeliharaan. Dan tidak boleh lebih atau berlebih-lebihan, karena hal tersebut bisa dikategorikan kepada riba yang dilarang oleh syari’at agama Islam.

 

 

 

 إذا ارتهن شاة شرب المر تهـن من لبـنها يقدر علقها فإن اسـتفـضل من اللبن بعد الثمن العلف

فهو ربا[94]

Sawah adalah merupakan barang gadai yang membutuhkan biaya perawatan seperti mencangkul, urea, penyemprotan, upah buruh dan lain sebagainya. Untuk itu tanah sawah sebagai barang gadaian boleh dimanfatkan oleh murtahin. Sebatas keperluannya untuk pemeliharaan atas barang gadai tersebut. Untuk menjaga agar murtahin tidak mengalami kerugian atas barang gadai itu, maka hak murtahin harus dijaga jangan sampai menderita kerugian, tetapi dalam hal ini hak ra>hin sebagai pemilik barang juga tidak boleh diabaikan. Jadi solusinya adalah bagi hasil antara ra>hin dan murtahin atas hasil panen tanah sawah gadai tersebut setelah dikurangi biaya perawatannya.[95]

Namun kebiasaan dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng tidak ada sistem bagi hasil antara ra>hin dan murtahin semuanya diperuntukkan bagi murtahin, mulai dari perawatan, pengelolahan serta memiliki hasilnya. Tetapi semua itu atas dasar izin dan kerelaan dari ra>hin tanpa ada paksaan.

Di Kecamatan Watang Sidenreng pemanfaatan barang gadai dalam hal ini tanah sawah terdapat penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam.

Di kecamatan watang Sidenreng pemanfaatan sawah sebagai barang gadai dimanfaatkan oleh murtahin dan bukan oleh ra>hin. Hal ini karena pemanfaatan sawah gadai merupakan kelangsungan atau pelaksanaan dari proses akad gadai tanah sawah. Walaupun tidak disebutkan dalam akad gadai diantara keduanya bahwa sawah tersebut akan digarap oleh murtahin. Namun hal tersebut merupakan hal yang pasti. Hal ini sudah diketahui secara umum bahwa proses akad gadai salah satunya adalah penggarapan sawah gadai oleh murtahin.

Menurut pengamatan penyusun daya tarik dari gadai tanah sawah ini terletak pada penggarapan sawah oleh murtahin. Ini pula yang mendorong murtahin dengan suka cita ingin membantu ra>hin, disamping keinginan untuk menolong, karena tolong menolong diantara mereka sudah lazim.

Faktor inilah yang mendasari masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng untuk mengadakan transaksi gadai tanah. Karena tolong menolong dalam hal kebaikan merupakan anjuran dari syari’at Islam. Sebagaimana firman Allah swt dalam surah al-Maidah sebagai berikut :

 وتعاونو ا علي البر و التقوي ولا تعاونوا علي ا لإ ثم والعدوان واتقوا الله إن الله شديد العـقاب[96]

Dalam tradisi gadai tanah ini, murtahin mempunyai dua keuntungan, pertama : uangnya kembali dengan utuh kepadanya bahkan bisa lebih jika harga gabah naik. Kedua : ia dapat mengelolah dan menikmati hasil panen sawah gadaian sampai ra>hin mampu melunasi hutangnya atau sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.

Bagi ra>hin ataupun murtahin, tradisi gadai tanah sawah merupakan ajang untuk saling menyenangkan. Oleh karena itu kedua belah pihak merasa senang dan rela atas tradisi ini, karena tidak ada unsur paksaan.

Ahmad Azhar Basyir mengatakan bahwa dalam bermu’amalah harus dilakukan atas dasar sukarela tanpa ada paksaan. Mu’amalah juga harus dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan dan unsur-unsur mengambil manfaat dalam kesempitan.[97] Mengenai aturan main penduduk Bugis di kecamatan Watang Sidenreng dalam hal pemanfaatan tanah sawah gadai ini, sejauh pengamatan penyusun ra>hin tidak merasa benar-benar tertolong. Di satu sisi ra>hin tertolong dalam mengatasi kesulitannya dan di sisi lain justru ia semakin terpuruk ke dalam kesulitan dimana ia tidak dapat lagi menggarap sawahnya yang memberinya pemasukan untuk membiayai  kebutuhan dan kelangsungan hidupnya dan untuk melunasi hutangnya. Kecuali jika pinjaman uang dengan menggadaikan tanahnya ini dipergunakan sebagai modal usaha dan ternyata berhasil. Tetapi, jika digunakan untuk keperluan yang tidak bisa dikembangkan atau bukan untuk usaha yang produktif, maka sama halnya ra>hin  mengganti satu masalah dengan masalah yang lain. Hal seperti itu dilarang dalam Islam, kecuali dalam keadaan darurat yaitu mengganti kesukaran dengan kesukaran yang lebih ringan sesuai dengan kaedah ushu fiqh.

 الضـر ر الأشد يزال با لضر رالأخف [98]

Aturan di Kecamatan Watang Sidenreng pada saat ra>hin memutuskan untuk menggadaikan sawahnya dan kemudian melakukan transaksi gadai dengan murtahin, maka pada saat itu ra>hin telah merelakan penggarapan sawahnya kepada murtahin. Hasil panennya diambil oleh murtahin sampai ra>hin bisa menebus kembali sawahnya. Dalam hukum Islam meminjamkan uang dengan mengambil manfaat dari uang pinjaman tersebut merupakan sesuatu yang dilarang keras oleh syari’at karena hal itu termasuk riba.

Dari segi rukun dan syarat sah, sebenarnya telah terpenuhi dan sah menurtu syara’, namun masalah baru muncul dari efek yang dibuat antara ra>hin dan murtahin yaitu pemanfaatan barang gadai milik ra>hin kepada murtahin sejak ija>b dan qabul disepakati. Hal in bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam.

Dalam hukum Islam dikatakan bahwa ra>hin-lah yang berhak mengelola dan menikmati hasil panennya. Jika murtahin mengelolah tanah sawah gadai berdasarkan izin dari ra>hin, maka hak ra>hin  untuk ikut menikmati hasilnya tidak bisa diabaikan.

Penyimpangan-penyimpangan tersebut di atas walaupun atas kerelaan dan keikhlasan ra>hin, tetapi karena pemanfaatan barang tersebut barasal dari menghutangkan uang, maka hal ini dapat dikategorikan kepada riba an-Nasiah yaitu riba yang telah ma’ruf atau terkenal di kalangan masyarakat jahiliyah semasa lalu dan riba semacam ini dilarang dengan sangat sebagaimana dengan tercantum dalam al-Qur’an :

 يمعق الله الربوا ويربي الصـدقت والله لا يحب كل كفار أ ثـيم[99]

Kebiasaan masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng dalam menggadaikan tanah sawah menurut analisa penyusun dengan dikategorikan kepada ‘urf yang fasid. Alasannya karena tradisi gadai masyarakat Bugis di kecamatan watang sidenreng bertentangan dengan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah. Ada penyimpangan yang tidak dapat ditolerir yaitu pemanfaatan barang gadai oleh murtahin. Dimana pemanfaatan barang gadai tersebut disebabkan oleh adanya peminjaman uang. Hal ini termasuk riba an-nasi’ah walaupun dalam transaksi gadai tanah sawah itu sudah ada izin dan kerelaan dari ra>hin tanpa ada paksaan yang merupakan asas dan syarat dalam bermu’amalah. Tetapi hukum Islam tidak dapat mentolerir keharaman riba menjadi sesuatu yang diperbolehkan atau dibolehkan. Berdasarkan ayat berikut ini :

 وأحل الله البـيع وحرم الربوا [100]

Dalam menetapkan suatu hukum, adat atau ‘urf merupakan suatu sumber penetapan hukum Islam dengan syarat-syaratnya, yang antara lain tidak bertentangan dengan hukum syara’. Dan sejauh pengamatan dan analisis penyusun,’Urf yang ada di kecamatan watang Sidenreng banyak menyimpang dari aturan-aturanyang telah ditetapkan syara’, mengnai pemanfaatan barang gadai dalam hal ini tanah sawah. Oleh karena itu ‘urf ini tidak dapat diberlakukan atau diamalkan karena bertentangan dengan syara’.

 

B. Analisis Pemanfaatan Tanah Gadai ditinjau dari Segi Maslahah dan Mafs}adah-nya.

Seperti yang telah dijelaskan bahwa akad gadai bukanlah akan menyerahkan dan memindahkan kepemilikan suatu benda. Namun demikian dari akad tersebut muncul hak menahak bagi murtahin terhadap benda barang gadai. Meskipun begitu ra>hin diberi kesempatan untuk mengambil manfaat dari barang yang digadaikannya karena, barang serta manfaat dan hasil atau nilai yang dikandungnya tetap milik ra>hin.

Berdasarkan pembahasan-pembahasan sebelumnya dapatlah diketahui bahwa dalam praktek gadai tanah sawah dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng terdapat manfaat atau maslahah yang dapat dirasakan oleh ra>hin dan murtahin, juga terdapat mudarat atau mafs}adahnya. Dengan kata lain, ada dampak positif dan dampak negatif dari transaksi gadai tanah ini bagi mereka berdua. Dampak positif ini dapat dilihat dari sisi rahin antara lain :

  1. Teratasinya masalah ra>hin tanpa ia harus kehilangan hak kepemilikan atas tanah sawahnya.
  2. Ketenangan yang dirasakan oleh ra>hin dengan adanya transaksi gadai ini. Ra>hin tidak didesak untuk segera melunasi hutangnya jika waktu untuk membayar hutangnya telah tiba, sementara ra>hin belum cukup memiliki uang untuk menebus kembali tanah sawahnya itu. Ra>hin juga tidak takut tanah sawahnya disita karena tidak mampu untuk membayar hutangnya pada saat yang telah disepakati bersama tentang waktu pembayaran.

Sementara dampak negatif yang diterima oleh ra>hin sebagai konsekuensi dari diadakannya atau dilakukannnya gadai tanah sawah itu ialah ra>hin tidak dapat menggarap tanah sawahnya. Hal ini membuat ra>hin  semakin terpuruk dalam kehidupannya, ra>hin harus membayar lunas hutangnya sementara ia kehilangan hak penggarapan atas sawahnya karena hanya dengan hasil sawah tersebut ia dapat menyisihkan uangnya untuk membayar hutang. Lain halnya jika uang yang dipinjam dipergunakan untuk modal usaha yang produktif. Dalam hal ini tidak ada masalah bagi ra>hin untuk membayar hutangnya atau untuk biaya hidupnya sehari-hari bersama keluarganya.

Masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng dalam hal ini (transaksi gadai tanah sawah) lebih memilih untuk menggadaikan tanah sawahnya dibandingkan pilihan yang lainnya. Menurut penduduk di kecamatan Watang Sidenreng, mereka lebih menyukai tradisi ini karena disamping ra>hin tidak kehilangan kepemilikan atas tanah sawahnya yang digadaikan, mereka juga tidak dipusingkan atau diributkan dengan urusan-urusan ukur mengukur tanah milik ra>hin. Mereka lebih memilih menggadaikan tanah sawahnya menurut tradisi yang ada dibandingkan dengan cara yang lain.

Disamping itu dengan melakukan gadai tanah sawah ini mereka pergunakan untuk saling menyenangkan satu sama lainnya. Murtahin mendapat keuntungan dan ra>hin mendapat pertolongan untuk mengatasi kesulitannya dengan memakai norma-norma dan aturan-aturan yang telah umum dan terjadi dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng. Dengan adanya transaksi gadai tanah sawah ini, telah mempererat hubungan komunikasi dan pergaulan hidup bermasyarakat di antara mereka semua.

Demikianlah hasil pengamatan penyusun berkenaan dengan pemanfaatan barang gadai oleh murtahin dari segi maslahah dan mafs}adah-nya yang berkenaan dengan ra>hin. Sementara pada murtahin sejauh pengamatan dan penelitian penyusun tidak banyak yang mengeluh tenatng dampak negatif dari adanya transaksi gadai tanah sawah ini bagi meeka. Mereka selalu mencari kesepakatan secara musyawarah dan kekeluargaan jika mereka merasa ada sesuatu yang harus dibicarakan dan kurang berkenaan atau murtahin merasa dirugikan.

Sementara dampak positif yang dirasakan oleh murtahin dengan adanya transaksi gadai tanah sawah ini antara lain :

1. Murtahin dapat jaminan tentang pelunasan dari ra>hin, dengan jumlah yang    sama atau lebih jika harga gabah naik.

2. Murtahin dapat memetik hasil panen dari tanah sawah garapan yang diberikan kepadanya sebagai akibat adanya transaksi gadai yang dibuat bersama ra>hin.

3. Murtahin bisa melanjutkan penggarapan tanahs awah itu jika ra>hin belum mampu menebusnya kembali.

4. Ra>hin tidak berlarut-larut dalam pelunasan hutangnya. Jika pada saat jatuh tempo pembayaran, ra>hin  sudah memiliki uang pelunasan.

5. Jika terjadi kenaikan harga gabah maka murtahin mendapat kelebihan   pembayaran dari uang yang dipinjamkannya.

6. Jika harga gabah turun pada saat uang dikembalikan, murtahin sudah cukup mendapat ganti dari hasil panen.

Dengan adanya maslahah dan mafsadah sebab diadakannya transaksi gadai tanah sawah antara ra>hin dan murtahin dengan mengikuti tradisi yang berlaku dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng dapatlah ditarik kesimpulan bahwa walaupun ra>hin mengalami kerugian, tetapi dengan melihat bahwa tidak ada jalan lain yang lebih baik dari gadai tanah sawah ini, dengan cara ini disamping ra>hin tertolong dalam mengatasi kesulitannya ia masih bisa bersantai, karena tidak khawatir disita jika sudah jatuh tempo, sementara ia belum mampu untuk menebusnya kembali. Maslahah yang dirasakan ra>hin ternyata lebih besar dari mafs}adah-nya. Demikian pula halnya yang dirasakan oleh murtahin. Maka dengan berpedoman pada ayat al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut :

 يريد الله بكم اليـسر ولا يريد بكم العـسر [101]

 ما بريد الله ليجعل عليكم من حرج [102]

Pemanfaatan tersebut diperbolehkan dengan syarat sekedar biaya perawatan dan pengolahan, serta untuk menutupi kerugian yang dialami oleh Murtahin dari tidak menentunya harga gabah. Besar kecilnya pengganti itu dapat dilihat dari besar kecilnya kerugian yang ditanggung oleh murtahin pada saat itu. Dengan berpedoman pada ayat al-Qur’an dan al-Hadis berikut ini yang berbunyi:

 

 لا تظلمون ولا تظلمون [103]

 لا ضرر ولا ضرار [104]

Tidak adanya yang menganiayan dan teraniaya dan tidak membalas kemadaratan dengan kemadaratan yang lebih besar, maka sepanjang hal tersebut tidak ada ataupun ada, tetapi kemadaratan yang dirasakan lebih kecil dan ringan seperti disebutkan dalam kaidah :

 الضرر الأ شديزال بالضرر الأخف [105]

Sehingga tidaklah mengapa untuk dilakukan sepanjang tidak berlebih-lebihan atau ad’afan Muda>’afan (berlipat ganda). Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka adat atau ’urf tersebut dapat dibenarkan dengan menggunakan teori

العادة محكمة [106] 

 

 

 

BAB V

PENUTUP

 

A. Kesimpulan

            Setelah penyusun menjabarkan dan menganalisis skripsi ini, maka penyusun dapat mengambil kesimpulan sebagai beikut :

  1. Dari segi rukun dan syarat, gadai yang ada di masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng sudah sah atau sudah betul, tetapi dari pemanfaatan barang gadai tidak dibenarkan dalam hukum Islam, karena terdapat penyelewengan atau melenceng dari ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang telah digariskan dalam syari’at hukum Islam. Jadi tradisi yang berlaku bertentangan dengan nas. Oleh karena itu dilarang untuk dilakukan.
  2. Tanah gadai dapat dimanfaatkan oleh murtahin apabila mendapat izin dari ra>hin tanpa mengabaikan hak ra>hin sebagai pemilik tanah. Sedangkanhasilnya daapt dibagai sesuai dengan kesepakatan.
  3.  Tradisi pemanfaatan tanah gadai sawah dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng ditinjau dari segi maslahah dan mafs}adahnya ternyata terdapat mafs}adah atau mudarah bagi ra>hin walaupun ra>hin sudah merelakannya dan murtahin tidak mensyaratkan adanya persyaratan tersebut pada saat akad gadai terjadi. Tetapi demi untuk menjaga nilai-nilai keadilan bagi ra>hin, maka pemanfaatan tanah gadai oleh murtahin  secara penuh seperti yang terjadi dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng tidak dibenarkan atau tidak dapat ditolerir.

B. Saran-saran

            Saran-saran yang akan penyusun berikan adalah untuk masyarakat Bugis secara umum dan penduduk di kecamatan Watang Sidenreng secara khusus. Saran-saran tersebut adalah :

  1. Hendaklah para pemuka masyarakat dalam hal ini adalah para ulama setempat, agar lebih sering memberikan pengarahan atau informasi mengenai hukum gadai dalam hukum Islam dan hukum tentang cara-cara bermu’amalah secara baik dan benar sehingga masyarakat dapat terhindar dari kesalahan.
  2. Kepada Ra>hin dan Murtahin, selain kepercayaan yang mereka miliki bersama, Hendaknya dalam bertransaksi gadai tanah sawah menggunakan catatan yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak dibawah notaris sebagai bukti otentik jika diantara mereka terjadi perselisihan.
  3. Pemanfaatan tanah sawah gadai secara penuh adalah dilarang dalam hukum Islam akan tetapi kalau sekedar untuk biaya perawatan tidak mengapa atau bisa jadi dibuat perjanjian bagi hasil dengan ketentuan yang disepakati bersama setelah dipotong dengan biaya perawatan dan seterusnya, dengan menggunakan sistem muzara’ah atau mukharabah yaitu bibit berasal dari pemilik tanah atau sebaliknya bibit berasal dari murtahin, tergantung kesepakatan antara ra>hin dan murtahin.
  4. Kepada masyarakat Bugis secara umum, penduduk di kecamatan Watang Sideneng secara khusus agar supaya lebih memperhatikan aturan-aturan syari’at Islam dalam bermu’amalah khususnya gadai tanah sawah agar tidak melenceng dari ketentuan-ketentuan yang ada (nas).
  5. Sistem muzara’ah atau mukhabarah bisa dijadikan alternatif lain untuk menutup kerugian dan biaya perawatan, juga untuk menegakkan nilai-nilai keadilan.

LAMPIRAN I

 

DAFTAR TERJEMAHAN

 

 

Hlm

Footnote

Terjemahan

 

 

 

BAB I

 

2

1

Kalian yang lebih mengetahui urusan duniamu.                                                            

 

3

3

Bila kamu dalam perjalanan dan tidak mendapatkan penulis, barang tanggungan pun bisa diterima. Tetapi kalau masing-masing diantara kamu saling mempercayai, orang yang dipercayai wajib meemnuhi amanatnya. Dan bertakwalah kepada Tuhannya. Jangan kamu sekali-kali menyembunyikan kesaksian. Barangsiapa yang menyembunyikannya, akan tercoreng dosa dalam hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui akan segala yang kamu lakukan.

9

11

Semua Qirad yang mendatangkan manfaat adalah riba

 

 

 

 

BAB II

20

3

Dan tidak mendapatkan penulis, maka barang tanggungan dapat diterima.                                                                                                                                                                          

21

4

Menjadikan sesuatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ untuk kepercayaan suatu hutang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagian hutang dari benda itu.

21

Menjadikan harta yang bersifat harta sebagai kepecayaan dari suatu hutang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bila hutang tidak dibayar.

23

8

Bila kamu dalam perjalanan dan tidak mendapatkan penulis, barang tanggungan pun bisa diterima. Tetapi kalau masing-masing diantara kamu saling mempercayai, orang yang dipercayai wajib meemnuhi amanatnya. Dan bertakwalah kepada Tuhannya. Jangan kamu sekali-kali menyembunyikan kesaksian. Barangsiapa yang menyembunyikannya, akan tercoreng dosa dalam hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui akan segala yang kamu lakukan.

  23

9

Rasulullah SAW. Pernah membeli makanan pada orang yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau.

25

11

Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh.                                                                                                                             

29

19

Diangkat pena dari tiga hal yaitu : orang tidur sehingga dia bangun, anak kecil sehingga dia dewasa dan orang gila sehingga dia berakan dan sadar.                                                                                                                    

  33

27

Gadai itu tidak menutup akan yang punyanya dari manfaat barang itu, faidahnya yaitu kepunyaan dia dan dia yang wajib memperoleh tanggung jawab segala resikonya ( kerusakan dan biayanya).

 

 

34

30

Gadaian ditunggangi dengan nafkanya jka ia dijadikan jaminan hutang dan air susu diminum airnya dengan nafkahnya jika ia dijadikan jaminan hutang, kepada yang menunggangi dan meminum air susunya harus memberi nafkah.

36

34

Kalau tidak kamu lakukan, ketahuilah Allah dan Rasul-Nya akan mengumumkan perang terhadapmu. Bila kamu bertobat, bagimulah poko hartamu, kamu tidak menganiaya dan teraniaya.

36

35

Kalau orang yang berutang dalam kesukaran, berilah penangguhan sampai masa kelapangan. Kalau kamu sedekahkan saja, itu tindakan yang terpuji bagimu.

 

 

BAB IV

51

1

Bila kamu dalam perjalanan dan tidak mendapatkan penulis, barang tanggungan pun bisa diterima.

 

53

7

Tidak dihalalkan salaf (hutang) diperjualbelikan dan tidak pula ada dua syarat dalam satu transaksi.

54

8

Bila kamu dalam perjalanan dan tidak mendapatkan penulis, barang tanggungan pun bisa diterima.

 

  55

9

Rasulullah pernah membeli makanan pada orang yahudi dan beliau menggadaikan  kepadanya baju besi beliau

58

16

Tetapi, kalau masing-masing di antara kamu mempercayai, orang yang dipercayai wajib memnuhi amanatnya.

59

18

Gadaian itu tidak menutup akan yang punyanya dari manfaat barang tiu, faidahnya kepunyaan dia dan dia wajib mempertanggung jawabkan segala resikonya.

60

20

Jika digadaikan seekor kambing, maka pemegang gadai berhak meminum susu kambing itu sebanyak makanan yang diberikan kepada kambing itu, maka jika berlebihan dari harga makanan, itu termasuk riba.

61

22

Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan melaksanakan takwa. Jangankamu tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.

63

24

Kemadaratan yang lebih berat dihilangkan dengan mengerjakan kemadaratan yang lebih ringan.

64

25

Allah memusnahkan praktek riba dan menumbuhkembangkan sedekah.

64

26

Sedangkan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

68

27

Dan Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan untukmu.

68

28

Allah tidak hendak menyulitkan kamu

69

29

Kamu tidak menganiaya dan teraniaya.

69

30

Tidak boleh membuat kemudaratan dan membalas dengan kemudaratan.

69

31

Kemudaratan yang lebih berat dihilangkan denagn mengerjakan kemudaratan yang lebih ringan.

69

32

Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN II

 

BIOGRAFI ULAMA

 

 

Imam Bukhari

            Nama lengkapnya adalah abu Abdillah Muhammad Ismail ibn Ibrahim ibn Mughirah al-Bukhari. Lahir pada tahun 194 H/ 1910 M. Beliau mempelajari hadis ke Khurasan, Irak, Mesir, dan Syam. Wafat pada tahun 256 H / 870 M di Samarkhan. Karyanya adalah Shahih Bukhari dan hadisnya dipandang shahih.

 

Imam Muslim

            Nama lengkapnya abu Abdillah Muslim Ibn Hajjat ibn Muslim al-Quraisy an-Naisabury. Lahir tahun 206 H dan wafat pada tahun 261 H di Naesaburi.Kitabnya yang terkenal adalah Shahih Muslim , kitab sahih setelah kitab Shahih Bukhari.

 

Ibnu Majah

            Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwaniy Ibnu Majah, lahir pada tahun 207 H dan wafat pada hari selasa, delapan hari sebelum hari raya Idul Fitri tahun 275 H, beliau mengumpulkan 4000 hadis yang terkumpul dalam kitab “Sunan Ibn Majah” dan kitab ini termasuk dalam kitab tujuh.

 

Dr. Wahbah az-Zuhaili

            Beliau adalah gurur besar fiqh dan ushul fiqh pada universitas Damaskus. Beliau seorang ulama yang produktif dalam bidang tulis menulis, di antara karyanya yang terkenal adalah ushul al-Fiqh al-Isla>mi> dan fiqh al-Islam wa Adillatun.

 

As-Sayyid Sabiq

            Beliau salah seorang ulama besar pada universitas al-Azhar Cairo. Beliau adalah teman sejawat dengan ustad Hasan al-Bannan, seorang mursid al-‘Am dari partai Ikhwanul Muslimin di Mesir. Beliau seorang ulama yang mengajarkan ijtihad dan menganjurkan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis, selain itu beliau juga seorang ahli hukum yang menghasilkan banyakkarya, diantaranya yang terkenal “Fiqh as-Sunnah” dan “al-Aqidh al-Islamiyah”.

 

Ahmad Azhar Basyir           

Beliau lahir pada 21 November 1982. Seorang alumnus dari PT IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pernah mendalami bahasa Arab di Universitas Bagdad tahun 1957 sampai 1958. Memperoleh gelar Magister of Art pada Universitas Kairo dalam Dirasah Islam tahun 1965. Pernah mengikuti pendidikan Purna Sarjana di UGM tahun 1971-1972. pernah juga menjadi Lektor di UGM, Dosen luar biasa di UII, UMY dan IAIN Sunan Kalijaga. Pernah menjadi Ketua PP Muhammadiyah periode 1990-1995. Hasil karyanya antar lain Hukum Perdata Islam, Garis Besar system Ekonomi Islam, Hukum Adat Bagi Umat Islam dan Asas-asas Hukum Muamalat.

 

Prof. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy.

            Beliau dilahirkan di lokseumawe (Aceh Utara) dengan nama lengkapnya Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy pada tanggal 10 maret 1904 M. Belaiu pernah mendalami ilmu agama di pondok pesantren di daerah Sumatera kemudian melanjutkan studinya ke Jawa Timur (PT. Al-Irsyad Suarabaya) sejak itu beliau mulai terjun dalam dunia ilmiah, Beliau pernah menjabat dosen dan dekan pada fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Adapun karyanya yang terkenal “ Falsafah hukum Islam”, pengantar “Fiqh Muamalah” dan masih banyak lagi. Beliau wafat pada tahun1975 di Jakarta. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN III

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN IV

 

PEDOMAN WAWANCARA

 

I. Pihak Pemerintah.

  1. Apakah pihak pemerintah mengetahui apabila masyarakat melakukan gadai tanah ?
  2. Apakah pelaksanaan gadai itu dicatat dalam agenda desa ?
  3. Apakah dalam perjanjian gadai tanah tersebut pihak pemerintah diundang untuk menyaksikan ?
  4. Bagaimana akad pelaksanaan gadai tanah yang diketahui oleh pemerintah ?
  5. Menurut landasan hukum apa gadai tanah dilakukan ?
  6. Bila terjadi sengketa tentang gadai tanah, apakah pihak pemerintah dilibatkan ?
  7. Apakah ada barang gadaian digadaikan atau disewakan lagi oleh penerima gadai ?
  8. Apakah pernah terjadi barang gadai selama tujuh tahun belum dikembalikan?

 

II. Tokoh Masyarakat.

  1. Apakah dorongan masyarakat untuk melakukan gadai tanah ?
  2. Bagaimana keadaan ekonomi masyarakat yang melakukan gadai tanah, baik dari pihak penggadai maupun penerima gadai ?
  3. Bagaimana bentuk akad gadai tanah di kecamatan Watang Sidenreng?
  4. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat tentang akad gadai di kecamatan Watang Sidenreng?
  5. Adakah batasan waktu pelaksanaan gadai tanah di kecamatan Watang Sidenreng?
  6. Apa tindakan pihak penggadai dan penerima gadai bila sampai batas waktu yang telah disepakati ?
  7. Bagaimana kedudukan tanah yang digadaikan ?
  8. Hak apa yang dipunyai oleh penggadai dan penerima gadai ?
  9.   Apakah ada barang gadaian digadaikan kembali oleh penerima gadai ?
  10. Apakah ada istilah khusus tentang gadai di kecamatan watang Sidenreng?
  11. Bagaimana Sistem transaksi gadai yang dilakukan di kecamatan Watang Sidenreng?
  12. Dalam melakukan transaksi gadai, para pelaku menggunakan kurs apa?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN V

DAFTAR ANGKET PENELITIAN

I. Untuk Penggadai

  1. Apa yang menjadi dorongan bapak/ibu menggadaikan tanah ?
    1. Kebutuhan yang mendesak
    2. Karena sekedar ingi memenuhi kebutuhan yang tidak mendesak dan tidak perlu
    3. Bagaimana cara menawarkan tanah yang akan digadaikan ?

a. Usaha sendiri                          b. Melalui perantara

  1. Apakah pihak penggadai ketemu langsung dengan penerima gadai ?

a. Ya                                           b. Tidak

  1. Siapa yang melakukan akad pelaksanaan gadai ?

a. Sendiri                                    b. Orang yang dipercaya

  1. Sejak kapan penggadai menerima uang hasil menggadaikan tanah ?
    1. Sejak dilakukan akad
    2. Beberapa hari/bulan setelah dilakukan akad
    3. Apakah pihak penggadai menentukan batasan waktu dalam menggadaikan tanah ?

a. Ya                                           b. Tidak

  1. Sejak kapan penggadai menyerahkan tanah yang digadaikan kepada penerima gadai ?
    1. Sejak dilakukan akad
    2. Beberapa hari/bulan setelah dilakukan akad
    3. Apakah penggadai setujuh dengan sistem gadai yang kursnya sesuai dengan harga gabah?

a. Ya                                           b. Tidak

  1. Apakah gadai yang sesuai dengan Harga gabah menguntungkan penggadai?
    1. Ya                                  b. Tidak
    2. Apakah barang gadai dikelolah oleh penerima gadai?
      1. Ya.                                 b. Tidak

 

II. Untuk Penerima Gadai

  1. Apa yang menjadi doronga bapak/ibu untuk menerima gadai tanah ?
    1. Karena ingin menolong
    2. Karena ingin memanfaatkan tanah
  2. Bagaimana cara menerima tanah gadaian ?

a. Sendiri                                             b. Melalui perantara

  1. Apakah pihak penerima gadai bertemu langsung dengan pihak penggadai dalam transaksi ?

a. Ya                                                    b. Tidak

  1. Siapa yang melakukan akad pelaksanaan gadai tanah ?

a. Sendiri                                             b. Orang yang dipercaya

  1. Sejak kapan penerima gadai menyerahkan uang ?
  2. Apakah penerima gadai menentukan batas waktu dalam transaksi gadai tanah ?
    1. Sejak dilakukan akad
    2. Beberapa hari/bulan setelah dilakukan akad

a. Ya                                                    b. Tidak

  1. Sejak kapan penerima gadai menerimah tanah yang dijadikan barang jaminan ?
    1. Sejak dilakukan akad
    2. Beberapa hari/bulan setelah dilakukan akad
  1. Apakah penerima gadai menentukan kurs yang dilakukan dalam transaksi gadai tanah?
    1. Ya.                                          b. Tidak
  2. Apakah sistem gadai sesuai kurs harga gabah menguntungkan?
    1. Ya                                           b. Tidak

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN VI

CURICULUM VITAE

 

 Nama                          : Supriadi

Tempat Tanggal lahir  : Pangkajene, Sidrap, 25 April 1980

Nama bapak                : H. Muhammad Rais (Alm)

Pekerjaan                     : Guru SMPN 3 Pangkajene Sidrap

Nama Ibu                    : Hj. Pahmiah

Pekerjaan                     : URT

Alamat Asal              : Jl. Sultan Hasanuddin No. 11 Pangkajene Sidrap Sulawesi Selatan 91611

Alamat Yogyakarta     : Jalan Nogomudo No. 181 Gowok, Catur Tunggal, Depok Sleman Yogyakarta

Pendidikan                  : TK PERTIWI Pangkajene, Sidrap lulus tahun 1987

                                      SDN 1 Pangkajene, Sidrap lulus tahun 1993.   

                                      I’dadiyah DDI Mangkoso Barru lulus tahun 1994.

                                      Mts Putra DDI Mangkoso Barru lulus tahun 1997.

                                      MA Putra DDI Mangkoso, Barru, Lulus tahun 2000.

                                      Masuk UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2000.

Organisasi                   : 1. Ketua Gaswes DDI Mangkoso (1997-1998)

2. Wakil Bendahara Umum HMI Komisariat Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. (2001-2002).

3. Ketua Umum HMI Komisariat Syari’ah (2002-2003)

                                      4. Bendahara Umum HMI Cabang Jogjakarta (2004-2005)

                                                  

 

 

 

 


[1](An-Nawa>wi>, S{ah{ih} Muslim Bisyarh an-Nawa>wi>, kitab Fadail, bab Wuju>bun Imsa>lun Ma>qa>luhu Syar’an Du>na Ma>zakaruhu SAW (Mesir: Mat ba>ah Wa Maktabah, 1942), 15 : 118, , Hadis S{ah{ih}} Riwayat Muslim dari ‘Aisyah dari S{abit dari Anas

 

[2]) Muhammad dan Sholikul Hadi,Pegadaian Syari’ah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), hlm 1-3

[3]) Al-Baqarah, (2) : 283

 

[4]) As-Sayyid sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), III : 187.

[5]) Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba Utang Piutang Gada, Cet. Ke-2          (Bandung: al- Ma’arif, 1983), hlm. 50.

 

[6]) Ibid.

 

[7]) Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. Ke-4 (Yogyakarta: Liberty,2000), hlm. 28

[8] ) Ibid, hlm. 31.

[9]) Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam ….. hlm. 56

[10]) Sayyid Sabiq, Fiqh ….. hlm. 188-189.

 

[11]) Al-ha>fiz Ibn Hajar a>l-‘Asqala.ny, Bulu>g al-Mara>m min Adillati al_Ahka>m, (Semarang: Taha Putra t.t.,),hlm. 182 Bab salam, Qirad dan Rahn,Hadis riwayat H{aris bin Abi Usamah dari Ali bin Abi Thalib.

 

[12]) Abu Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Qudamah, al-Mugny Li Ibni Qudaimah (Riyadh : Mahtabaturriyah al-Hadisah, t.t.,), IV: 426.

[13]) Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda,  Cet. Ke-5, (Yogyakarta : Liberty.1974), hlm. 96-97.

 

[14]) As-Sayyid sabiq, fiqh sunah,alih bahasa H.Kamaruddin A. Marzuki, Jilid 12, Cet. Ke-14, (Bandung : PT. Alma’arif, 1987), hlm. 150.

 

[15]) J. Satrio, Hukum Jaminan, Hakm Jaminan Kebendaan, Cet. Ke-4, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 91.

[16]) H. Chuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer Buku Ketiga, Cet. Ke-2,(Jakarta : LSIK, 1997), hlm 61-62

[17]) Ahmad Azhar Basyir,Asas-asas Hukum Muamalah,edisi revisi, (yogyakarta: UII Press 2000), hlm. 15.

[18]) Asjmuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqhiyah (Qawaidul Fiqhiyyah), Cet.ke-4, (Jakarata: Bulan Bintang, 1976), hlm. 44.

[19]) Muhammad dan Sholikul Hadi, Pegadaian …. hlm. 43.

 

[20]) Ibid. hlm. 45.

[21]) Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial,  Cet.ke-8, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998), hlm. 31.

 

[22]) Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Cet. Ke-22, ( Yogyakarta: Andi Offset, 1990),   hlm. 136

[23]) ibid. hlm. 80

[24] Jamal ad-Din Muhammad bin Mukram al-Ansyari, Lisan al-‘Arab, ( Mesir: Dar al-Fikr, t.t ), XVII: 48.

 

[25] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah  ( Beirut: Dar al-Fikr, t.t ), III: 187.

 

[26] Al-Baqarah (2) : 283.

 

[27] As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah… III : 187.

 

[28] Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Quda>mah, al-Mugni Li Ibni Quda>mah, (Riyad: Mahtabaturriyah al-Hadi>sah, t.t), IV :361.

 

[29] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba Utang Piutang Gadai, (Bandung: al-Ma’arif, 1983), hlm: 50.

[30] Ali Fikri, Al-Mu’amalah al-Ma>ddiyyah Wa al-Adabiyah (Mesir: Da>r al-Fikr, t.t), hlm: 215-216

[31] Al-Baqarah (2): 283.

 

[32] Imam al-Bukha>ri,S}ahih al-Bukha>ri bab Fi Rahni Fi al-Hadits (Beirut: Da>r al-fikr, 1891), III: 1115, Hadis riwayat al-Bukhari dari Musaddad dari Ab al-Wahid dari al-A’mas dari Ibrahim.

 

[33] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Yogyakarta: UII Press, 2000),

hlm : 15-16.

[34] H. Asjmuni Abd. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1976), hlm: 42.

 

[35] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh ‘Ala> al- Maza>hib al-Arba’ah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), II : 320.

 

[36] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>my Wa Adillatuhu, (Beirut: Da>r al-Fkr, t.t), V: 183.

 

[37] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry,Kitab al-Fiqh ‘ala> al-Maza>hi>b …., II : 320

[38] Ahmad Azhar Basyir, Asa-asas …., hlm :  65.

 

[39] Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, t.t), hlm: 21-22.

 

[40] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas….., hlm: 68.

[41] Ibid., hlm: 68-70.

[42] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah Bab Talaq al-Ma’tuhu Wa as}-S}agiru wa an-Na>imu (Beirut: Da>r al-Fikr: t.t), I: 629, Hadis no. 651. Hadis riwayat Ibnu Ma>jah dari Ali bin Abi Tha>lib.

 

 

[43] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh…., hlm: 328.

 

[44] Ibid., hlm: 327.

 

[45] Ahmad Azhar Basyir,  Hukum Islam Tentang …, hlm: 53.

 

[46] Abd. Ar-Rahma>n al- Jazi>ry, Kitab al-Fiqh….., hlm : 329

[47] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang ….,  hlm: 53-54.

 

[48] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas …, hlm: 15-16.

[49] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh…, hlm : 330.

[50] Asy-Syaukani, Nail al-Aut}a>r (Beirut: Da>r al-Fkr, t.t), IV: 264. Hadis riwayat asy-Syafi’I danad-Daruquthni dari Ibn Abi Fudaik dari Ibn Abi Zaib dari Ibn Syiha>b dari Ibn al-Musayyab dari Abi Hurairah.

 

[51] Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm: 376.

[52] Ibn Quda>mah, al-Mugni> Li> Ibn Quda>mah, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah al-‘Arabiyyah, t.t), IV: 426.

[53] Ima>m al-Bukha>ry>, S}ahi>h al-Bukha>ry>….., hlm: 116, Hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah.  

 

[54] Rahmat Syafi’I, Konsep Gadai (rahn) dalam Fiqh Islam : Antara Nilai Sosial dan Nilai Komersial, dalam H. Chuzaimah T. Yanggo, HA. Hafiz Anshary AZ (edt) Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku Ketiga (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), hlm: 69.

[55] Ibnu Qudamah, al-Mugny,…, IV: 426.

 

[56] Rahmat Syafi’I, Problematika …, hlm: 79.

 

[57] al-Baqarah (2): 279.

 

[58] al-Baqarah (2): 280.

[59] Badan Perencanaan Pembangunan daerah Kab. Sidrap, Data pokok Pembangunan Daerah Kab. Sidrap 2003, hlm. III – 1.

 

[60] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sidenreng Rappang, Kecamatan Watang Sidenreng dakam angka 2002, (Cetakan Tahun 2003), hlm: ix.

 

[61] Ibid., hlm: 9-10.

 

[62] Ibid., hlm: 14-15.

[63] Ibid., hlm: 38-39.

[64] Ibid., hlm: 17-19.

[65] Ibid., hlm: 35.

[66] Wawancara dengan H. Langka, Kepala Lingkungan 11 EmpagaE pada tanggal 7 Juli 2004

[67] Ibid.

[68] Wawancara dengan H.Suyuti warga masyarakat di kelurahn EmpagaE pada tanggal 10 Juli 2004.

 

[69] Wawancara dengan Muh. Hatta, kepala urusna pemerintahan Kelurahan Sidenreng. Pada tanggal 15 Juli 2004.

 

[70] Wawancara dengan Nurdin tokoh Masyarakat di Kelurahan Sidenrengpada tanggal 12 Juli 2004.

[71] Ibid.

 

[72] Wawancara dengan Namere staf  Kelurahan Sidenreng pada tanggal 20 Juli 2004.

 

[73] Wawancara dengan Wa’ Niku tokoh masayarakat di kelurahan EmpagaE pada tanggal

 8 Juli 2004.

[74] Wawancara dengan Namere Staf Kelurahan Sidenreng pada tanggal 20 Juli 2004

[75] Al- Baqarah (2) : 283.

[76] Ima>m Muhammad ‘Ali Ibn muhammad as-Sauka>ni>, Fath al-Qadir, (Beirut: Da>r al-Kutub  al-‘ilmiyyah 1410 H/1994 M), I: 383.

 

[77] B. Ter Haar, Asas-asas dan susunan hukum adat (ter), cet. Ke-5 (Jakarta: Pradinya Paramita, 1980), hlm: 109.

 

[78] Ibid., hlm: 112.

[79] Ibid., hlm: 113.

 

[80] As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, cet. Ke-4 (Beirut: Da>r al-Fikr 1403 H/1983 M), III

 

[81] Abu> ‘Abadillah Muhammad Ibn Isma>’I>l Ibn Ibra>hi>m al-Muqi>rah al-Bukha>ri>, Sa|hi>h al-Bukha>ri>,(Beirut : Da>r al-fikr, 1401 H/1981 M), III: 110.

[82] Al- Baqarah (2) : 283.

[83] Al-Ima>m al-Bukha>ri> < S{ahi>h al-Bukha>ri>,“bab Fi> Ra>hn al-Ha>dir”,(Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), III : 115, hadis dari Musaddad dari abd. Al-Wahid dari al-A’mas dari Ibrahim.

   

[84] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang riba, utang piutang, gadai, cet. Ke-II (Bandung: Al-Ma’arif, 1973), hlm: 56-9.

[85] Abdurrahman al-Jazi>li>, Kitab al-Fiqh ‘ala> al-Maz|a>hi>b al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), II : 320.

 

[86] Wahbah az-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi wa ‘Adillaah, cet. Ke-3 (Beirut: Da>r al-Fkr, 1989), V : 185.

 

[87] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah, edisirevisi,(Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm: 15.

 

[88] Abdurrahman al-Jazi>ri>, Kitab al-Fiqh…., II : 330.

        

[89] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang…., hlm. 53-54.

[90] al-Baqarah (2) : 283.

 

[91] Wawancara dengan haji Langka P,kepala lingkungan dua kelurahan Empagae pada tanggal 7 Juli 2004.

[92] Asy-Sayukani, Nail al-‘Aut}a>r, ( Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), IV: 264. Hadis riwayat as-Syafi’I dan ad-Daruquthni dari Ibn Abi Fudaik dari Ibn Abi Zaib dari Ibnu Syihab dari Ibnu al-Musayyab dari Abi Hurairah.

 

[93] Ibn Quda>mah,al-Mugni> Li> Ibnu Quda>ma, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah al-‘Arabiyyah, t.t), IX: 426.

 

[94] Asy-Syauka>ni, Nail al-Auta>r, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1973), V: 353. Hadis Daruqutni> dari Abi Hurairah.

 

[95] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang….., hlm: 56-57

[96] Al-Ma>idah (5) : 2.

[97] Ahmad Azhar Basyir,Asas-asas …., hlm: 15.

 

[98] Asmuni Abdurrahman, Kaedah-kaedah fiqh, (Jakarta : Bulan bintang, 1979), hlm: 82

[99] Al-Baqarah (2) : 276.

 

[100] Al-Baqarah (2) : 275.

[101] Al-Baqarah (2) : 185.

 

[102] Al-Ma>idah (5) : 6.

 

[103] al-Baqarah (2) : 279.

 

[104] Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, Kitab al-‘Ahka>Musykom, bab Man bana> Fi> Ma> Yadurru bi> Ja>ri>h (Beirut: Da>r al-fikr, t.t ), II: 784. Hadis dari “Ubaidah bin S{amit.

 

[105] Asmuni Abdurahman, kaedah-kaedah…, hlm: 82.

 

[106] Ibid., hlm: 35.

ETIKA PROFESI HAKIM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan profesi mengimplikasikan kepada tuntutan-tuntutan norma etik yang melandasi persoalan profesional.[1] Namun hal tersebut tidak bisa sempurna karena sifat profesi yang terbatas, khusus dan unggul, maka bukan tidak mungkin akan terjadi gejala–gejala penyalahgunaan terhadap profesi yang dimiliki, yang seharusnya dengan penguasaan dan penerapan disiplin ilmu hukum dapat diemban untuk menyelenggarakan dan menegakkan keadilan di masyarakat.

            Pada era reformasi sekarang ini yang disertai krisis multidimensi di segala bidang di antaranya dalam bidang hukum, timbul keprihatinan publik akan kritik tajam sehubungan dengan curat marutnya penegakan hukum di Indonesia, dengan adanya penurunan kualitas hakim dan pengabaian terhadap kode etik, serta tidak adanya konsistensi, arah dan orientasi dari penegak hukum itu sendiri. Hal ini menyebabkan tidak adanya ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Dan pihak yang sering disalahkan adalah aparat penegak hukum itu sendiri, yang terdiri dari Hakim, Jaksa, Pengacara dan Polisi.[2]

            Hakim[3] sebagai salah satu aparat penegak hukum (Legal Aparatus) yang sudah memiliki kode etik sebagai standar moral atau kaedah seperangkat hukum formal. Namun realitanya para kalangan profesi hukum belum menghayati dan melaksanakan kode etik profesi dalam melaksanakan profesinya sehari-hari, terlihat dengan banyaknya yang mengabaikan kode etik profesi, sehingga profesi ini tidak lepas mendapat penilaian negatif dari masyarakat. Khusus berkenaan dengan pemutusan perkara di pengadilan yang dirasa tidak memenuhi rasa keadilan dan kebenaran maka hakimlah yang kena, dan apabila memenuhi harapan masyarakat maka hakimlah yang mendapat sanjungan. Dengan kata lain masyarakat memandang wajah peradilan sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh sikap atau perilaku hakim. Sebagai contoh atas adanya hakim yang melakukan Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang dibuktikan dengan data Transparansi Internasional (TI) dan Catatan Political Economi Risk Concultanty Ltd.(PERC)[4] yang membuktikan bahwa korupsi di lembaga peradilan sebagai urutan ketiga setelah lembaga kepolisian dan Bea Cukai dan urutan lima besar di dunia.[5] Berdasarkan hasil penelitian Indonesia Corruption Watch  (ICW).[6]

            Dan berbagai kasus gugatan publik terhadap profesi hakim merupakan bukti bahwa adanya penurunan kualitas hakim sangat wajar sehingga pergeseran pun terjadi dan sampai muncul istilah mafia peradilan.[7]

            Indikasi tersebut menunjukan hal yang serius dalam penegakkan standar profesi hukum di Indonesia. Kode etik tampaknya belum bisa dilaksanakan dan nilai-nilai yang terkandung belum bisa diaplikasikan oleh pengembannya sendiri.

            Dari dasar pemikiran diatas maka sewajarnya bila muncul harapan dan tuntutan terhadap pelaksanaan profesi baik ciri, semangat, maupun cara kerja yang  didasarkan pada nilai moralitas umum (common morailty), seperti nilai kemanusiaan (humanity), nilai keadilan (Justice) dan kepastian hukum (gerechtigheid). Nilai-nilai tersebut diharapkan dapat mengarah kepada perilaku anggota profesi hakim, sehingga perlu adanya dan ditegaskan dalam bentuk yang kongkrit (Kode Etik).[8] Sehingga dengan adanya nilai-nilai dalam kode etik tersebut, pelaksanaan professional akan dapat di minimalisir dari gejala-gejala penyalahgunaan keahlian dan keterampilan professional dalam masyarakat sebagai klien atau subyek pelayan. Hal ini penting karena nilai-nilai tersebut tidak akan berguna bagi professional saja melainkan bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.[9]

            Dari peranannya yang sangat penting dan sebagai profesi terhormat (Offilium nobile), atas kepribadiannya yang dimiliki. Hakim mempunyai tugas sebagaimana dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman adalah Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.[10] Untuk itu hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

            Di sini terlihat jelas seorang hakim dalam menjalankan tugasnya selain di batasi norma hukum atau norma kesusilaan yang berlaku umum juga harus patuh pada ketentuan etika profesi yang terdapat dalam kode etik profesi.

            Kode etik sendiri merupakan penjabaran tingkah laku atau aturan hakim baik di dalam menjalankan tugas profesinya untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun pergaulan dalam masyarakaat, yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum.

            Islampun menjelaskan bahwa hakim adalah seorang yang diberi amanah untuk menegakkan keadilan dengan nama Tuhan atas sumpah yang telah diucapkan, dalam pandangan Islam adalah kalimat tauhid adalah amalan yang harus diwujudkan dalam bentuk satu kata dan satu perbuatan dengan niat lilla>hi ta’alla.[11] Sehingga pada setiap putusannya benar – benar mengandung keadilan dan kebenaran.

Dalam al-Qur’an diperintahkan :

ان الله يأ مركم ان تؤدواالآ منت الى اهلها واذا حكمتم بين الناس ان تحكموابالعدل ان لله نعما يعظكم به ان لله كان سميعا بصيرا [12]

            Melalui profesi inilah hakim mempunyai posisi istimewa. Hakim merupakan kongkritisasi hukum dan keadilan yang bersifat abstrak, dan digambarkan bahwa hakim sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan.[13]  Karena hakim satu-satunya penegak hukum yang berani mengatasnamakan Tuhan pada setiap putusannya.[14] Sehingga setiap keputusan hakim benar-benar berorientasi kepada penegakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dari pada sekedar mengejar kepastian hukum sebagaimana yang diharapkan dalam kode etik profesi hakim.

   Kode Etik profesi hakim bukanlah merupakan sesuatu yang datang dari luar tetapi terwujud justru berasal dan diciptakan oleh anggota profesi sendiri, sehingga merupakan pengaturan sendiri �self regulation). Karena kalau di ciptakan dari luar �instansi atau pemerintah), maka tidak akan dijiwai oleh nilai-nilai yang hidup di kalangan profesi.[15] Kode etik merupakan kesesuaian sikap yang harus di junjung tinggi oleh hakim dengan jiwa-jiwa pancasila.[16] Padahal untuk menegakkan supremasi hukum adalah menegakkan etika, profesionalisme serta disiplin.[17] Meskipun demikian kode etik profesi hakim sebagai standar moral belum memberikan dampak yang positif, sehingga kode etik yang sudah sekian lama perlu dikaji kembali untuk disesuaikan dengan perubahan kondisi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) yang menilai bahwa banyak para kalangan profesi hukum belum menghayati dan melaksanakan kode etik profesi dalam melaksanakan profesinya sehari-hari. Oleh karena itu perlu dibentuk standar kode etik profesi hukum yang akan menjadi pedoman untuk prilaku profesi. Dan sebagai cara untuk memulihkan kepercayaan terhadap lembaga peradilan khususnya hakim yang sedang kacau.[18]        

            Munculnya wacana pemikiran tentang kode etik profesi hakim ini yang akan menjadi penelitian yang dititik beratkan pada analisis nilai-nilai yang terkandung dalam kode etik profesi hakim. Penelitian ini penyusun anggap penting karena didorong oleh realitas profesi hakim yang mengabaikan nilai-nilai moralitas. Dan untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir keadilan yang merupakan cita-cita dan tujuan[19] (Khususnya Profesi hakim). Melihat permasalahan di atas penyusun merasa tertarik untuk membahas kode etik profesi hakim[20] dan dikaitkan dengan nilai-nilai  etika Islam.[21] Masalah ini sangat menarik untuk dikaji karena etika Islam yang bersumber dari al-Qur’an yang pada hakekatnya merupakan dokumen Agama dan bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang bermoral.

B. Pokok Masalah

            Berdasarkan  latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok masalah adalah :

               Apa dan bagaimana nilai-nilai dasar yang terkandung dalam kode etik profesi hakim Indonesia?

               Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap kode etik profesi hakim Indonesia?

C. Tujuan dan Kegunaan

            Penelitian ini bertujuan untuk :

  1. Menjelaskan serta menganalisa nilai-nilai dasar yang terdapat dalam kode etik profesi  hakim Indonesia.
  2. Menjelaskan bagaimana pandangan Islam terhadap kode etik profesi hakim Indonesia.

 

Adapun hasil dari penelitian ini berguna untuk :

          Menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya dalam etika profesi hakim (Kode Etik Hakim Indonesia) dan sebagai bahan studi awal untuk penelitian lebih lanjut.

          Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan khususnya hakim dalam praktek di lapangan baik berupa kerangka teori maupun praktek.

D. Telaah Pustaka.

            Dari hasil telaah pustaka yang penyusun lakukan terdapat beberapa karya ilmiah baik berupa buku maupun skripsi yang membahas tentang kode etik atau etika profesi hukum. Dari telaah tersebut kami mengkatagorikan kedalam dua aspek yaitu: Pertama, aspek teoritis, yaitu etika profesi hukum yang mencakup seluruh aktivitas profesi dalam kehidupannya. Kadua, aspek penegakan kode etik profesi baik secara individu maupun kelompok. Dengan kata lain pada aspek kedua inilah etika profesi hakim berada sebagaimana yang di tetapkan Dewan Kehormatan dalam aplikasinya di lapangan.

            Diantara karya yang termasuk ke dalam aspek teoritis adalah: Karya Oemar Seno Aji dalam bukunya Etika Professional dan Hukum : Profesi Advokat,karya ini hanya menyoroti permasalahan etik dari profesi advokat, dokter dan wartawan.[22] Namun dalam karya ini disebutkan bahwa kode etik secara umum mengandung normative ethich dan adanya rahasia profesi yang menjadi asas yang memberikan hak untuk menolak keterangan sebagai saksi (vershonings recht).[23] Karya Suhrawardi K. Lubis, berjudul Etika Profesi Hukum,dalam karya ini mencoba membahas etika profesi hukum secara global yang meliputi penasehat hukum dan notaris, dan tidak membedakan antara penasehat hukum dengan advokat.[24] Kemudian karya E. Sumaryono yang berjudul Etika Profesi Hukum: Norma-norma Bagi Penegak Hukum, buku ini membahas etika profesi bagi para penegak hukum untuk meningkatkan professionalitas kerja. Namun obyek pembahasannya hanya di fokuskan pada empat jenis profesi yaitu jaksa, advokat, notaris dan polisi dan tidak mengkaji masalah nilai-nilai etika hakim.[25] Dan skripsi saudara Rofiqoh mahasiswa Ushuluddin, yang berjudul Etika Menurut fazlur Rahman, dalam pandangan fazlur Rahman konsep etika adalah etika religius yang merupakan rangkaian dari teologi, etika dan hukum. Sehingga menjadi manusia bermoral merupakan pencapaian pada integritas individu dan kelompok. Integritas tersebut dapat di peroleh dengan iman, Islam dan taqwa.[26]     

            Sedangkan yang termasuk kedalam aspek kedua yaitu aspek penegakan kode etik diantaranya : Skripsi saudara Muhammad Rodlin fakultas Ushuluddin, dengan judul Etika Profesi : telaah pendekatan moral, penelitian ini hanya membahas hubungan etika dan profesi secara konsep umum yang menyatakan hubungan tersebut sangat erat karena merupakan jaminan pelayanan oleh profesi apapun.[27] Dan skripsi M wahyudi fakultas Syari’ah, yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kebebasan Hakim: Study analisis pasal 1 ayat 1 dan pasal 14 ayat 1 UU. Nomor 35 tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa dalam menegakkan keadilan dan kebenaran hakim harus terbebas dari pengaruh baik dari luar maupun dari dalam yaitu : faktor moralis dan mentalis dalam menjalankan profesinya.[28] Kemudian juga dalam buku Daryl Koehn yang berjudul Landasan Etika Profesi yang menyatakan hubungan secara moral antara klien dan professional berdasarkan atas janji dari professional untuk menjaga kepentingan kliennya.[29] Dan dalam buku ini hanya di fokuskan kepada tiga profesi yaitu : profesi hukum, kedokteran dan rohani.

            Dari karya-karya tersebut, baru membahas tentang etika profesi secara umum dan belum terdapat pembahasan yang secara khusus tentang kode etik hakim atau kode kehormatan yang terkandung dalam etika profesi hakim dalam tinjauan etika Islam. Maka dari itu penyusun akan membahas etika profesi hakim yang diantaranya kode etik profesi hakim atau kode kehormatan hakim sebagai bahan yang mendukung terhadap penyusunan ini.

 

 

 

E. Kerangka Teori

            Teori etika adalah gambaran umum rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan dilarang. Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus terhadap definisi konsep-konsep etika, justifikasi, dan penelitian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan atau keputusan yang baik dan buruk.[30]

            1. Etika Sebagai Landasan Profesional

            Sebagai cabang ilmu filsafat, etika dimengerti sebagai filsafat moral atau filsafat mengenai tingkah laku. Etika berbeda dengan moral, moral berisi ajaran-ajaran sedangkan etika berisi alasan-alasan mengenai moralitas itu sendiri.[31]          Menurut Hans Wenr dalam bahasa arab etika disebut ahklak. Norma (norm) adalah standar, pola (pattern), model (type). Hal tersebut merupakan aturan atau kaedah yang di pakai sebagai tolak ukur untuk menilai sesuatu.[32]

            Etika atau akhlak dalam khazanah Islam dipahami sebagai ilmu yang menjelaskan baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya di lakukan kepada orang lain, menyatukan tujuan apa yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.[33] Dengan demikian Persoalan-persoalan etika adalah persoalan kehidupan manusia. Tidak bertingkah laku semata-mata menurut naluri atau dorongan hati.

            Sedangkan K. Bertens mengungkapkan bahwa moral itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok tingkah lakunya. Sedangkan profesi menurut K. Bertens menyatakan bahwa profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai.[34] Dari paparan diatas dapat dipahami bahwa dalam kata moral terdapat dua makna. Pertama, sebagian cara seseorang atau kelompok untuk bertingkah laku dengan orang lain. Kedua, adanya norma-norma atau nilai-nilai yang menjadi dasar bagi cara bertingkah laku.

Dalam filsafat ilmu, epistemologi moral dipelajari dengan dua cara yaitu telaah metodologik dan telaah metafisik.

Telaah metodologik bersifat induktif, menggunakan logika model koherensi. Salah satu yang menonjol adalah telaah equilibrium reflektif. Proses penyusunan teori moral ini dimulai dari penetapan moral yang dipilih; dilanjutkan dengan pemilihan prinsip-prinsip yang hendak digunakan. Lalu diuji pada moral sentralnya; diketemukan konflik dengan moral sentralnya atau tidak; bila ada konflik, diadakan revisi. Itu prosedur menurut Goodman (1965).

Sedangkan Rewals (1971) menyarankan untuk melihat koherensi dengan moral yang lebih jauh, misalnya keyakinannya atau teori yang dianut.[35]

Cara telaah yang kedua adalah telaah metafisik. Cara ini digunakan oleh realisme metafisik. Dengan pandangan meta-ideologik, moral adalah fakta konstruktif. Kemauan Hakim untuk membantu pihak adalah fakta konstruktif. Fakta konstruktif tersebut bukan temuan pada obyek seperti fakta-fakta penelitian pada umumnya, melainkan fakta konstruk pandangan human.[36] Pandangan human tersebut dapat dilihat dari pandangan sosialogis, psikologis dan keyakinan agama.

            Dari sisi cakupannya etika dapat dibagi dua yaitu, etika umum dan etika terapan. Etika umum merupakan ilmu atau filsafat moral yakni teoritis yang mencakup seluruh aktivitas kehidupan.[37] Sedangkan etika khusus adalah etika individual atau sosial atau lingkungan hidup. Pada wilayah inilah etika pofesi berada.[38]

            Menurut Majid Fakhri, sistem etika Islam dalam dikelompokkan dengan empat tipe: pertama, moral skriptualis. Kedua, etika teologis. Ketiga, teori-teori filsafat. Keempat, etika religius.[39] Dari keempat tipologi di atas etika religius akan menjadi pilihan sebagai landasan teori dalam penelitian ini

            Dengan kerangka demikian dapat dikatakan bahwa etika profesi merupakan tuntutan dasar hakim dalam Islam. Dan juga atas teori tersebut dapat diasumsikan bahwa etika profesi hakim merupakan pengejawantahan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan pertanggung jawaban dalam realitas penegakan hukum oleh hakim. Ada tiga komponen yang menopang tegaknya hukum dan keadilan di tengah masyarakat, yaitu adanya aparat penegak hukum yang professional dan memiliki integritas moral yang terpuji, adanya peraturan hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan adanya kesadaran masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum.[40]

            Dalam penegakan hukum, menurut O. Notohamidjojo, ada empat norma yang penting dalam penegakan hukum yaitu kemanusiaan artinya sebagai manusia jadikanlah manusia. Kedua, keadilan yaitu memberikan sesuatu sesuai haknya. Ketiga kepatutan yaitu pemberlakuan hukum harus melihat unsur kepatutan (equity) dalam masyarakat. Keempat, kejujuran yaitu seorang hakim dalam menegakkan hukum harus benar-benar bersikap jujur untuk mencari hukum dan kebenaran. [41]

            2. Eksistensi Hakim Sebagai Penegak Hukum Dalam Islam

            Hakim mempunyai tugas sangat penting. Disamping itu hakim harus mempunyai moral yang tinggi, berbudi luhur, dan menegakan hukum secara benar dan adil.

            Sehingga peranan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dapat dilihat dari tugasnya :

1. Penggali Hukum

إذاحكم الحاكم فاجتهد ثم اصاب فله اجران واذاحكم فاجتهد ثم أخطاء فله أجر[42]

2. Pemutus Perkara

اناانزلنا اليك الكتب بالحق لتحكم بين الناس بما ارك الله ولا تكن للخاءنين خصيما[43] 

3. Pemberi Nasehat

….وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الاثم والعدوان[44]

            Sementara dalam kaidah ushul Fiqh sendiri hakim sebagai pemegang amanah harus dapat membawa kemaslahatan

تصرف الإمام على الر عية منوط بالمصلحة[45]

Sebagai salah satu bentuknya adalah dengan adanya kode etik profesi hakim yang tujuannya untuk kemaslahatan bagi manusia, kemaslahatan tersebut tercantum dalam azas-azas yang dituangkan dalam syariat hukum Darury yaitu hal yang pokok dalam kehidupan manusia, hukum Hajjiy yaitu hukum yang menselaraskan dengan hajat dan kebutuhan manusia, dan hukum Tahsiny yaitu merupakan keindahan hidup yang merupakam pelengkap dalam kehidupan manusia.[46] Dengan demikian tujuan penegakkan keadilan dan kebenaran dapat tercapai, dan kode etik profesi hakim benar-benar membawa maslahat bagi manusia.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa data-data primer dan sumber data sekunder yang relevan dengan pembahasan ini.

2. Sifat Penelitian.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik[47] metode yang menggunakan pencarian fakta dan data-data yang ada dalam kode kehormatan hakim dan kemudian dianalisa dengan kerangka pemikiran yang telah disusun dengan cermat dan terarah.

3. Pengumpulan Data.

Penelitian ini adalah penelitian pustaka, maka metode pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan buku-buku yang ada dan kemudian dikaji dan ditelaah dari berbagi literatur yang ada yang berkaitan dengan skripsi ini. Adapun data primernya adalah : kode etik profesi hakim dan UU No 4 TAhun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, sedangkan sumber sekundernya adalah : buku-buku dan tulisan para ahli hukum yang membahas masalah ini. Adapun yang menjadi baham tersier adalah semua bahan yang menunjang bahan primer dan sekunder seperti kamus hukum, eksiklopedia dan lain sebagainya.

4. Pendekatan Penelitian.

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan Filosofis-Normatif.Secara philisofis yaitu dengan melakukan penganalisaan makna-makna secara fhilisofis terhadap kode etik profesi hakim secara umum, sedangkan secara normatif yaitu melakukan analisa terhadap suatu fenomena yang berdasarkan aturan hukum Islam (normatif). Analisa dilakukan dengan metode content analisis (analisa isi)[48]

5. Analisis Data.

Analisis data yang dilakukan oleh penyusun adalah dengan metode induktif dan deduktif. Metode induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari fakta khusus, peristiwa kongkrit yang kemudian ditarik kesimpulan secara umum (generalisasi). Sedangkan metode deduktif adalah metode yang menggunakan dalil-dalil yang bersifat umum kemudian di sesuaikan faktor-faktor dari yang bersifat umum. Metode induktif digunakan untuk mengkaji asas-asas atau nilai-nilai yang terkandung dalam kode etik profesi hakim Indonesia. Sedangkan deduktif dipakai untuk melihat pandangan Islam terhadap etika profesi hakim.

G. Sistematika Pembahasan.

            Adapun sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari :

            Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

            Bab kedua, Pembahasan tentang kode etik profesi hakim Indonesia dan perkembangan hakim saat ini, yang meliputi peranan hakim baik dari pengertian, tugas dan wewenang. Hal ini akan menjadi landasan untuk mengkaji permasalahan penyalahgunaan profesi hakim dengan melihat konstruksi perkembangan hakim dari analisa kode etik profesi hakim Indonesia yang ada.

            Bab ketiga, Merupakan eksplorasi hukum Islam terhadap kode etik profesi hakim Indonesia, serta prinsip-prinsip peradilan dalam nilai etika Islam sebagai landasan dalam profesi hakim.

            Bab keempat, merupakan analisa tentang aplikasi nilai-nilai dari kode etik profesi hakim dan etika hukum Islam setelah melihat dengan kode etik yang ada dalam konsep etika Islam.

            Bab kelima, berisikan penutup yang terdiri dari kesimpulan sebagai jawaban dari pokok masalah dalam penyusunan ini, selain itu juga beberapa saran yang berkaitan dengan kode etik profesi hakim.

BAB II

KODE ETIK PROFESI HAKIM INDONESIA

 

A. Gambaran Umum Peranan Hakim

            1. Pengertian Hakim

            Sebelum membahas pengertian kode etik, maka terlebih dahulu perlu dipahami pengertian hakim. Hakim berasal dari kata   حكم – يحكم – حاكم  : sama artinya dengan qod}i yang berasal dari kata  قضى – يقضى – قا ض artinya memutus. Sedangkan menurut bahasa adalah orang yang bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya.[49] Adapun pengertian menurut syar’a yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselisihan dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan,[50] sebagaimana Nabi Muhammad SAW telah mengangkat qod}i untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana ia telah melimpahkan wewenang ini pada sahabatnya.[51] Hal ini terjadi pada sahabat dan terus berlanjut pada Bani Umayah dan Bani Abbasiah, diakibatkan dari semakin luasnya wilayah Islam dan kompleknya masalah yang terjadi pada masyarakat, sehingga diperlukan hakim – hakim untuk menyelesaikan perkara yang terjadi.

            Hakim sendiri adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.[52] Sedangkan dalam Undang-undang kekuasaan kehakiman adalah penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.[53] Dengan demikian hakim adalah sebagai pejabat Negara yang diangkat oleh kepala Negara sebagai penegak hukum dan keadilan yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang telah diembannya menurut Undang-undang yang berlaku.

            Adapun pengertian qad}a sendiri ada beberapa makna yaitu : [54]

            a. Menyelesaikan seperti dalam Firman Allah :

فلما قضى زيد منها وطرازوجناكها[55]

            b. Menunaikan dalam firman Allah

فإذا قضية الصلوة فانتشروا فىالأرض…[56]

       c. Menghalangi atau mencegah yang artinya hakim bisa melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, menolong yang teraniaya dan menolak kez}oliman yang merupakan kewajiban.    

            2. Dasar Dan Syarat Pengangkatan Hakim

            Lembaga peradilan  sebagai lembaga Negara yang ditugasi menerapkan hukum (Izhar Al Hukm) terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum dan adanya hakim sebagai pelaksana dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, ketetapan Majelis Permusyawarakatan Indonesia Nomor X/MPR/1998 yang menyatakan perlunya reformasi di bidang hukum untuk penanggulangan dibidang hukum dan ketetapan Majlis Permusyawatan Rakyat Nomor III/MPR/1978 Tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tinggi Negara .[57]

            Dalam al-Quran di jelaskan :

يداودانّاجعلنك خليفة فىالأرض فاحكم بين النّاس بالحق ولاتتبع الهوى…[58]

            Dalam ayat lain di sebutkan :

وان احكم بينهم بما انزل لله ولا تتبع اهواءهم واحدرهم ان يفتنوك عن بعض ماانزل لله اليك…[59]

            Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan Daud sebagai khalifah di muka bumi ini supaya menghukumi di antara manusia dengan benar.           Sedangkan ayat selanjutnya menegaskan bila menghukumi manusia harus sesuai dengan dengan apa yang telah dianjurkan  oleh Allah dan orang yang menghukumi tersebut adalah hakim. Dalil hadis} antara lain

إذاحكم الحاكم فاجتهد ثم اصاب فله اجران و اذاحكم فاجتهد ثم فأخطاء فله أجر [60] 

فريضة محكمة وسنة متبعة[61]

            Dari hadis dan ijma’ tersebut dijelaskan tentang keutamaan ijtihad, kemuliaan ijtihad yang dilakukan dengan sungguh-sungguh baik benar atau salah akan mendapat pahala. Maksudnya seorang hakim dalam memutuskan perkara yang dihadapinya itu melalui qiyas yang mengacu kepada al-Kitab dan al-Sunah bukan berdasarkan pendapat pribadi, yang terlepas dari keduanya.

            Hal ini sebagai salah satu usaha menggali hukum guna melindungi kepentingan-kepentingan orang-orang yang teraniaya dan untuk mernghilangkan sengketa-sengketa yang timbul dalam masyarakat, akibat dari luasnya wilayah Islam, seperti pada masa bani umayah khalifah hanya mengangkat qod}i pusat dan didaerah diserahkan pada penguasa daerah dan hanya diberi wewenang untuk memutuskan perkara, sedangkan untuk pelaksanaan putusan oleh khalifah langsung atau oleh utusannya.[62] Sedangkan pada masa Bani Abbasiah dibentuknya Mahkamah Agung, pembentukan hakim setiap wilayah, pembukuan dan mulainya organisasi peradilan,[63] sehingga menempatkan hakim sebagi sosok yang sangat diperlukan dan mempunyai peranan penting.        

            Hakim sebagai pelaksana hukum-hukum Allah mempunyai kedudukan yang sangat penting sekaligus mempunyai beban yang yang sangat berat. Dipandang penting karena melalui hakim akan tercipta produk-produk hukum  baik melalui ijtihad yang sangat dianjurkan sebagai keahlian hakim yang diharapkan dengan produk tersebut segala bentuk kez}aliman yang terjadi dapat tercegah dan diminimalisir sehingga ketentraman masyarakat terjamin. Dari tugas hakim ini menunjukkan posisi hakim sangat penting sebagai unsur badan peradilan. Dari penjelasan dasar hakim di atas menempatkan Hakim sebagai salah satu unsur peradilan yang dipandang penting dalam menyelesaikan perkara yang diperselisihkan antara sesama, oleh sebab itu harus didukung oleh pengetahuan dan kemampuan yang professional dengan syarat-syarat yang umum dan khusus yang di tentukan oleh oleh Mahkamah Agung atas kekuasaan kehakiman yang diatur oleh undang-undang tersendiri, terkecuali Mahkamah Konstitusi yang kekuasaan dan kewenangannya oleh Mahkamah Konstitusi.

            Adapun syarat  menjadi hakim secara umum adalah :

1. Warga Negara Indonesia

            2. Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa

            3. Setia Pada Pancasila dan Undang-undang

            4. Bukan anggota organisasi terlarang

            5. Pegawai Negeri

            6. Sarjana hukum

            7. Berumur serendah-rendahnya 25 tahun

            8. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik.[64]

            Mengenai ketentuan khuhusnya terdapat pada masing-masing lembaga peradilan. Peradilan Agama mensyaratkan hakim harus beragama Islam dan sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang mempunyai kehlian dalam bidang hukum Islam. Dan pada peradilan Tinggi Agama minimal berumur 40 tahun  dan minimal harus 5 tahun menjadi ketua Peradilan Agama dan 15 Tahun menjadi hakim pada Peradilan Agama.[65] Peradilan Tata Usaha Negara mensyaratkan sarjana hukum yang memiliki keahlian di bidang Tata Usaha Negara atau Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik Pusat maupun Daerah, sedangkan pada Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara minimal berumur 40 tahun  dan minimal harus 5 tahun menjadi ketua atau wakil Peradilan Tata Usaha Negara dan 15 Tahun menjadi hakim pada Peradilan Tata Usaha Negara.[66] Pada peradilan Militer mensyaratkan hakim harus pengalaman dalam peradilan, berpangkat kapten dan berijazah sarjana hukum, dan pada Hakim Militer Tinggi minimal berpangkat Letnan Kolonel, serta pada Hakim Militer Utama minimal berpangkat kolonel dan pengalaman sebagai Hakim Militer Tinggi atau sebagai Oditur Militer Tinggi,[67] Sedangkan pada Peradilan Militer ini tidak ada batasan umur yang menjadi persyaratan. Adapun Peradilan adhoc pada Peradilan Hak Azasi Manusia hakim harus mempunyai keahlian hukum, berumur minimal 45 tahun dan maksimal 65 tahun dan memiliki kepedulian di bidang hak azasi manusia, serta pada hakim ad hoc pada Mahkamah Agung minimal berumur 50 tahun.[68] Sedangkan pada Mahkamah Agung atau Hakim Agung minimal umur 50 tahun dan sekurang-kurangnya 20 Tahun menjadi hakim dan sekurang-kurangnya 3 Tahun menjadi hakim tinggi. Dan apabila diangkat dari dari bukan karir yaitu dari profesi hukum atau akademisi, sekurang-kurangnya telah menjalani rofesinya selama 25 Tahun, dan berijazah magister hukum.[69] Dan Mahkamah Konstitusi yaitu mempunyai kewenangan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, mensyaratkan hakim minimal berumur 40 tahun, tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan dengan kekuatan hukum tetap yang diancam lima tahun penjara serta  tidak dinyatakan pailit dan mempunyai pengalaman di bidang hukum minimal 10 Tahun, serta masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi ini hanya 5 Tahun.[70]    Adapun Cik Hasan Bisri menyatakan persyaratan tersebut termasuk kedalam dua katagori. Pertama, syarat kongkrit yaitu nomor 1-8, kecuali nomor 3 dan 8. kedua, sebagai syarat Abstrak yaitu : Bertaqwa, Adil, jujur dan setia.[71]      

            Sedangkam Imam Mawardi menambahkan bahwa hakim harus diketahui identitasnya, harus memahami tugas atas pekerjaanya, menyebut wewenangnya dan wilayah (Negara atau Propinsi).[72] Sedangkan dalam literatur Islam atau fiqih ada beberapa persyaratan yang menjadi persamaan dan perbedaan, persamaannya hakim harus berakal, Islam, adil, berpengetahuan baik dalam pokok hukum agama dan cabang-cabangnya, sehat pendengaran, penglihatan dan ucapan dan merdeka bukan hamba sahaya.[73]. Adapun perbedaannya adalah  pada fiqih Islam disyaratkan hakim laki-laki dan tidak boleh perempuan yang terjadi khilafiyah diantara para ulama dari empat maz\hab kecuali Abu Hanifah membolehkan selain dalam urusan hadd dan qis}as}, karena kesaksian dalam dua hal tersebut tidak dapat diterima.[74]

            Dalam Hadis disebutkan :

لن يفلح قوم ولوامرهم امرأة [75]

            Hadis\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\ di atas menerangkan bahwa perempuan dianggap belum mampu membawa kemenangan atau kemajuan. Ini merupakan pendapat lama karena melihat kondisi perempuan  yang  berbeda dengan masa sekarang, sehingga sekarang ini wanita boleh menjadi hakim asalkan mempunyai keahlian serta memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh hukum positif dan hukum Islam.

             Persyaratan-persyaratan tersebut merupakan persyaratan pada masa dahulu dikarenakan luasnya wilayah Islam dan banyaknya permasalahan yang muncul sehingga menjadi komplek sedangkan lembaga peradilan masih sangat sedikit, namun dalam kontek sekarang peradilan yang yang sudah merata dan laju kehidupan yang semakin maju sehingga persyaratan-persyaratan itu menjadi dikontekkan secara umum untuk lebih mewadahi pluralitas yang ada, kecuali dalam peradilan agama yang memakai azas personalitas keIslaman sebagai lembaga peradilan khuhus dari lembaga peradilan yang lainnya.

            Dengan berbagai macam syarat tersebut diharapkan hakim dapat bermoral tinggi dan tidak boleh melakukan perbuatan tercela, melanggar sumpah jabatan atau melanggar larangan seperti menjadi pengusaha atau penasehat hukum, Karena syarat tersebut termasuk dalam ajaran yang menuntut moral dan tanggungjawab sebagai seorang hakim setelah disumpah sesuai agamanya masing-masing.

            Adapun lafal sumpah dan janjinya sebagai berikut :

            Sumpah :

” Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.” 

 

            Janji :

” Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.” [76] 

            Maka jika seorang hakim melanggar maka dapat diberhentikan secara tidak hormat oleh Presiden dengan terlebih dahulu diberi kesempatan untuk membela diri.

            3.  Tugas, Fungsi Dan Tanggung Jawab Hakim

            Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh lainnya.[77]  ia menjadi tumpuan dan harapan bagi pencari keadilan. Disamping itu mempunyai kewajiban ganda, disatu pihak merupakan pejabat yang ditugasi menerapkan hukum (izhar al-hukum) terhadap perkara yang kongkrit baik terhadap hukum tertulis maupun tidak tertulis, dilain pihak sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut untuk dapat menggali, memahami, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Secara makro dituntut untuk memahami rasa hukum yang hidup di dalam masyarakat.

            Dalam undang-undang disebutkan tugas pengadilan adalah : tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.[78] Artinya hakim sebagai unsur pengadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[79] Nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut seperti persepsi masyarakat tentang tentang keadilan, kepastian, hukum dan kemamfaatan. Hal ini menjadi tuntutan bagi hakim untuk selalu meningkatkan kualitasnya sehingga dalam memutuskan perkara benar-benar berdasarkan hukum yang ada dan keputusannya dapat dipertanggungjawabkan.

            Dalam hadis dijelaskan :

(اذا تقاضى اليك رجلان فلا تقض للآول حتى تسمع كلا م الآخر فسوف تدرى كيف تقضى) قال على : فما زلت قا ضيا بعد [80]

            Dalam menyelesaikan suatu perkara ada beberapa tahapan yang harus di lakukan oleh hakim diantaranya :[81]

                        Mengkonstatir yaitu yang dituangkan dalam Berita Acara Persidangan dan dalam duduknya perkara pada putusan hakim. Mengkonstatir ini dilakukan dengan terlebih dahulu melihat pokok perkara dan kemudian mengakui atau membenarkan atas peristiwa yang diajukan, tetapi sebelumnya telah diadakan pembuktian terlebih dahulu.

                        Mengkualifisir yaitu yang dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam surat putusan. Ini merupakan suatu penilaian terhadap peristiwa atas bukti-bukti, fakta-fakta peristiwa atau fakta hukum dan menemukan hukumnya.

                        Mengkonstituir yaitu yang dituangkan dalam surat putusan. Tahap tiga ini merupakan penetapan hukum atau merupakan pemberian konstitusi terhadap perkara.

            Tahapan-tahapan tersebut menjadikan hakim dituntut untuk jeli dan hati-hati untuk memberikan keputusan sekaligus menemukan hukumnya, karena pada dasarnya hakim dianggap mengetahui hukum dan dapat mengambil keputusan berdasarkan ilmu pengetahuan dan keyakinannya  sesuai dengan doktrin Curia Ius Novit[82].Karena dalam undang-undang dijelaskan bahwa hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diputus, dengan alasan bahwa hukum yang ada tidak ada atau kurang jelas.[83]

            Sedangkan fungsi hakim adalah menegakkan kebenaran sesungguhnya dari apa yang dikemukakan dan dituntut oleh para pihak tanpa melebihi atau menguranginya terutama yang berkaitan dengan perkara perdata, sedangkan dalam perkara pidana mencari kebenaran sesungguhnya secara mutlak tidak terbatas pada apa yang telah dilakukan oleh terdakwa, melainkan dari itu harus diselidiki dari latar belakang perbuatan terdakwa.[84] Artinya hakim mengejar kebenaran materil secara mutlak dan tuntas.

            Di sini terlihat intelektualitas hakim yang akan teruji dengan dikerahkannya segenap kemampuan dan bekal ilmu pengetahuan yang mereka miliki, yang semua itu akan terlihat pada proses pemeriksaan perkara apakah masih terdapat pelanggaran-pelanggaran dalam teknis yustisial atau tidak.            

            Dengan demikian tugas hakim adalah melaksanakan semua tugas yang menjadi tanggung jawabnya untuk memberikan kepastian hukum semua perkara yang masuk baik perkara tersebut telah di atur dalam Undang-undang maupun yang tidak terdapat ketentuannya. Disini terlihat dalam menjalankan tanggung jawabnya hakim harus bersifat obyektif, karena merupakan fungsionaris yang ditunjuk undang-undang untuk memeriksa dan mengadili perkara, dengan penilaian yang obyektif pula karena harus berdiri di atas kedua belah pihak yang berperkara dan tidak boleh memihak salah satu pihak.

 

B. Kode Etik Profesi Hakim Indonesia

1. Pengertian kode etik

Kata etika memiliki banyak pengertian. Secara etimoligis, etika berasal dari bahasa Yunani kuno ethos (bentuk tunggal) yang berarti adat; akhlak; watak; perasaan; sikap; cara berfikir. Sedang dalam bentuk jamak, ta-etha, berarti adat kebiasaan, atau akhlak yang baik.[85] Jadi secara etimologis etika dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan atau ilmu yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat terhadap apa yang baik dan apa yang buruk. Sehingga hal ini menjadi pemikiran dan pendirian  mereka mengenai apa yang baik dan tidak baik, patut dan tidak patut untuk dilakukan.[86]

           

Kata yang cukup dekat dengan kata etika adalah moral. Bahkan pada umumnya kata etika diidentikan dengan moral (moralitas). Kata etika berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores)dan kata sifat : “Moralis” yang berarti kebiasaan, adat. Jadi secara etimologis, kata “etika” identik dengan kata “moral” karena keduanya berasal dari kata yang  berarti adat kebiasaan, kelakuan , kesusilaan.[87] Hanya bahasa asalnya yang berbeda, yang pertama berasal dari bahasaYunani, sedang kedua berasal dari bahasa latin[88]

26

 

            Pada dasarnya secara konseptual paradigmatik, kedua istilah ini mempunyai sentralitas pengertian dan obyek yang sama, yaitu sama-sama membicarakan totalitas tingkah laku manusia dari sudut pandang nilai-nilai yang baik dan buruk. Akan tetapi pada dataran realitas penggunaannya kedua istilah tersebut memiliki sedikit perbedaan dalam nuansa aplikatifnya. Moral atau moralitas dipakai sebagai tolok ukur menilai suatu perbuatan yang sedang dilakukan oleh seseorang. Sementara etika digunakan sebagai kerangka pemikiran untuk mengkaji sistem-sistem nilai atau kode.[89] Jadi etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada pada tingkat yang sama. Yang menyatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.[90] Dan dari perbuatan yang dilakukan itu merupakan moralitas. Karena moralitas adalah kualitas di dalam perbuatan itu benar atau salah, baik atau jahat.[91]

            Dengan demikian kata etika setidak-tidaknya mengandung tiga arti. Pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Etika dalam arti ini bisa dirumuskan juga sebagai “sistem nilai” yang berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial. Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Ketiga, etika mempunyai arti sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.[92] Dan pada pengertian etika kedua ini, etika sebagai kumpulan asas atau nilai moral, inilah yang akan menjadi fokus pembahasan penyusun, khususnya etika yang ada di lingkungan profesi hakim, yang tertuang dalam kode etik profesi hakim.

            Sedangkan pengertian profesi sendiri adalah berasal dari kata profession yang mengandung arti pernyataan, kesanggupan, atau sumpah yang dibuat karena memasuki suatu kepercayaan agama, dalam hal ini suatu profesi.[93]

            Sedangkan kata “profesi” merupakan lawan dari kata “amatir” yakni melakukan suatu pekerjaan hanya sebagai kegiatan hoby atau kesukaan. K. Bertens mengartikan profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Dengan keahlianya, kelompok profesi menjadi kalangan yang sukar ditembus bagi orang luar.[94] Nugroho Notosusanto mengatakan bisa dikatakan profesi apabila mempunyai ciri ciri sebagai berikut, yaitu mempunyai expertise (keahlian), responsibility (tanggung jawab), dan corporateners (kesejawatan). Ketiga ciri tersebut saling terkait dalam suatu profesi.[95] 

            Dengan demikian sebuah profesi memiliki prinsip-prinsip etika yaitu; pertama, prinsip tanggung jawab artinya para profesional harus bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan dampak yang ditimbulkannya. Kedua, prinsip keadilan, artinya para profesional harus memberikan kepada siapa saja yang menjadi haknya tanpa memandang status sosialnya. Ketiga, otonomi artinya setiap profesional memiliki dan diberi kebebasan dalam menjalankan profesinya selama masih dalam  koridor kode etik.[96] Karena kode etik merupakan aturan-aturan susila atau sikap akhlak yang ditetapkan bersama dan ditaati bersama oleh para anggota yang tergabung dalam suatu organisasi profesi. Jadi kode etik berupa suatu ikatan, tatanan, kaidah atau norma yang harus diperhatikan yang berisi petunjuk tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diperbuat oleh anggota profesi dalam menjalankan profesinya, sebagai pencegahan munculnya tindakan immoral yang pelanggarannya membawa akibat atau konsekuensi tertentu.

            Kode etik sebagai hasil kesepakatan anggota, bertujuan agar anggota tidak terjebak kepada pelanggaran norma yang lebih fatal maka ditetapkan sistem sanksi. Dalam dalam organisasi profesi hukum yang solid, keberadaan kode etik profesi merupakan norma moral yang implikasinya mendekati efektifitas norma hukum.[97] Sehingga organisasi dapat memberikan sanksi, dan sanksi tersebut hanya sanksi organisasi atau dengan sanksi administrasi melalui pihak yang berwenang terhadap anggota profesi yang tidak mematuhi kode etik antara lain berupa pencabutan dari keanggotaannya.

            Sehingga kode etik sendiri adalah hasil usaha pengarahan kesadaran moral para anggota profesi tentang persoalan-persoalan khusus yang dihadapinya dan dapat ditentukan aspek-aspek moral yang terkandung di dalam  suatu profesi yang memiliki nilai tinggi sebagai tujuan dari profesi tersebut. Ciri-ciri tersebut tentang bagaimana profesional etis yang dapat mengcover perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa meninggalkan aspek sosial budaya bangsanya, ini sekaligus memberikan pengertian bahwa kode etik profesi merupakan bagian dari etika masyarakat. Oleh kerena itu kode etik profesi tidak boleh bertentangan dengan etika masyarakat.

            Kedudukan seorang profesional dalam suatu profesi, pada hakikatnya merupakan suatu kedudukan yang terhormat, karena setiap profesi terlihat kewajiban agar ilmu yang dimiliki dijalankan dengan ketulusan hati dan i’tikad baik bagi kehidupan masyarakat luas.

            2. Rincian Kode Etik Profesi Hakim Indonesia

Uraian mengenai kode etik hakim meliputi: Ketentuan umum, pedoman tingkah laku, komisi kehormatan profesi hakim, dan penutup. Adapun deskripsi lebih terperinci dari bagian kode etik profesi hakim tersebut adalah sebagai berikut :

            Bab I ketentuan umum pasal 1 berisi ketentuan umum. Pada bagian ini menguraikan maksud dari istilah kode etik, pedoman tingkah laku, komisi kehormatan profesi hakim, azas peradilan yang merupakan ketentuan yang ada, dan juga maksud dari dibentuknya kode etik profesi hakim. Pertama, sebagai alat pembinaan dan pembentukan karakter dan pengawasan tingkah laku hakim. Kedua, sebagai sarana control sosial, pencegah campur tangan ekstra judicial serta pencegah timbulnya konplik antar sesama anggota juga terhadap masyarakat. Ketiga sebagai jaminan peningkatan moralitas dan kemandirian  hakim, keempat menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan.[98] Selanjutnya,

            Bab II mengatur tentang pedoman tingkah laku (Code of Conduct) hakim yang merupakan penjabaran dari kode etik profesi hakim yang menjadi pedoman bagi hakim Indonesia, yang tercermin dalam lambang hakim yang dikenal dengan “Panca Dharma Hakim”. Pasal ini menjelaskan bagaimana kepribadian yang harus di miliki seorang hakim. Kartika artinya Hakim Indonesia adalah memiliki sifat percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cakra, yaitu mampu memusnahkan segala kebatilan, kezaliman dan ketidakadilan. Candra, yaitu memiliki sifat bijaksana dan berwibawa. Sari, yaitu bersifat jujur.[99] Dan juga dijelaskan bagaimana sikap hakim dalam persidangan yang telah tercantum dalam tata aturan hukum acara yang berlaku, sikap terhadap sesama rekan, terhadap bawahan atau pegawai, terhadap masyarakat, terhadap keluarga atau rumah tangga. Serta kewajiban dan larangan bagi hakim tersebut.

            Bab III mengatur tentang komisi kehormatan profesi hakim sebagai lembaga yang di bentuk dari tingkat pusat sampai daerah.[100] Lembaga ini bertugas memberikan pembinaan, meneliti dan memeriksa atas pelanggaran yang dilakukan.[101] Kemudian diberikan sanksi baik dari tahap teguran sampai  pemberhentian sebagai anggota IKAHI.[102] Komisi kehormatan profesi hakim tersebut dalam memproses pelanggaran melalui mekanisme hukum acara dari mulai pemanggilan, pemeriksaan, pembelaan dan putusan dengan tata cara pengambilan putusan dalam majelis hakim.

            Bab IV penutup berisi tentang berlakunya kode etik profesi hakim. Dalam bab terakhir ini disebutkan bahwa kode etik profesi hakim berlaku sejak disyahkan oleh musyawarah nasional (MUNAS) ke XIII tanggal 30 Maret 2001.

            Dari sistematika kode etik profesi hakim tersebut, maka yang menjadi bahasan dalam penyusunan penelitian ini adalah ketentuan-ketentuan mengenai hukum materiilnya yaitu dari Bab II.

            Adapun uraian mengenai Kode Etik Profesi hakim meliputi sifat-sifat hakim, sikap hakim dalam persidangan, terhadap sesama rekan, terhadap bawahan, terhadap masyarakat, terhadap keluarga atau rumah tangga serta kewajiban dan larangan profesi hakim.

            Sifat hakim tercermin dalam lambang Hakim yang dikenal dengan “Panca Dharma Hakim” :

  1. Kartika, yaitu memiliki sifat percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  2. Cakra, yaitu sifat mampu memusnahkan segala kebathilan, kezaliman dan ketidakadilan.
  3. Candra, yaitu memiliki sifat bijaksana dan berwibawa.
  4. Sari, yaitu berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela.
  5. Tirta yaitu sifat jujur.

                        Adapun Setiap Hakim Indonesia memepunyai pegangan tingkah laku yang harus dipedomaninya :

A. Dalam persidangan :

  1. Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku, dengan memperhatikan azas-azas peradilan yang baik, yaitu :

a      Menjunjung tinggi hak seseorang untuk mendapat putusan (right to a decision) dimana setiap orang berhak untuk mengajukan perkara dan dilarang menolak untuk mengadilinya kecuali ditentukan lain oleh undang-undang serta putusan harus dijatuhkan dalam waktu yang pantas dan tidak terlalu lama.

b      Semua pihak yang berperkara berhak atas kesempatan dan perlakuan yang sama untuk didengar, diberikan kesempatan untuk membela diri, mengajukan bukti-bukti serta memperoleh imformasi dalam proses pemeriksaan.(a fair hearing).

c      Putusan dijatuhkan secara obyektif tanpa dicemari oleh kepentingan pribadi atau pihak lain (no bias) dengan menjunjung tinggi prinsip (nemo judex in resua).

d     Putusan harus memuat alasan-alasan hukum yang jelas dan dapat dimengerti serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang sistematis (reasones and argumentation of decision), dimana argumentasi tersebut harus diawasi (controlerbaarheid) dan diikuti serta dapat dipertanggungjawabkan (accountability) guna menjamin sifat keterbukaan (transparency) dan kepastian hukum (legal certainity) dalam proses peradilan.

e      Menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.

  1. Tidak dibenarkan menunjukkan sikap memihak atau bersimpati ataupun antipati kepada pihak-pihak yang berperkara, baik dalam ucapan maupun tingkah laku.
  2. Harus bersifat sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan.
  3. Harus menjaga kewibawaan dan kehidmatan persidangan antara lain serius dalam memeriksa, tidak melecehkan pihak-pihak baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
  4. Bersungguh-sunguh mencari kebenaran dan keadilan.

B. Terhadap Sesama Rekan

  1. Memelihara dan memupuk hubungan kerjasama yang baik antara sesama rekan.
  2. Memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa dan saling menghargai antara sesama rekan.
  3. Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap  korps Hakim secara wajar.
  4. Menjaga nama baik dan martabat rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.

C. Terhadap Bawahan atauPegawai

  1. Harus mempunyai sifat kepemimpinan.
  2. Membimbing bawahan atau pegawai untuk mempertinggi pengetahuan.
  3. Harus mempunyai sikap sebagai sebagai seorang bapak atau Ibu yang baik.
  4. Memelihara sikap kekeluargaan terhadap bawahan atau pegawai.
  5. Memberi contoh kedisiplinan.

 

D. Terhadap Masyarakat.

  1. Menghormati dan menghargai orang lain.
  2. Tidak sombong dan tidak mau menang sendiri
  3. Hidup sederhana.

E. Terhadap keluarga atau rumah tangga

  1. Menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, menurut norma-norma hukum kesusilaan.
  2. Menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga.
  3. Menyelesaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat.

            Selain dijelaskan tentang sifat dan sikap hakim juga terdapat ketentuan kewajiban dan larangan profesi hakim

  1. Kewajiban :

a      Mendengar dan memperlakukan kedua belah pihak berperkara secara berimbang dengan tidak memihak(impartial).

b      Sopan dalam bertutur dan bertindak.

c      Memeriksa perkara dengan arif, cermat dan sabar.

d     Memutus perkara berdasarkan atas hukum dan rasa keadilan.

e      Menjaga martabat, kedudukan dan kehormatan Hakim.

            2. Larangan :

a      Melakukan kolusi dengan sipapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang ditangani.

b      Menerima suatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berperkara.

c      Membicarakan suatu perkara yang ditanganinya diluar cara persidangan.

d     Mengeluarkan pendapat atas suatu kasus yang ditanganinya baik dalam persidangan maupun diluar persidangan mendahului putusan.

e      Melecehkan sesama hakim, jaksa, penasehat Hukum para pihak berperkara, ataupun pihak lain.

f       Memberikan komentar terbuka atas putusan hakim lain, kecuali dikeluarkan dalam rangka pengkajian ilmiah.

g      Menjadi anggota atau salah satu partai Politik dan pekerjaan atau jabatan yang dilarang undang-undang.

h      Mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi ataupun kelompoknya. 

            Uraian tersebut di atas merupakan standar minimal dalam pelayanan hukum bagi seorang hakim. Apabila pelayanannya terdapat kesalahan baik yang diperbuat dengan sengaja maupun tidak sengaja atau melebihi batas wewenangnya maka dia dapat dikenakan sanksi baik berupa teguran, skorsing, maupun pemberhentian sebagai anggota Ikatan hakim Indonesia.[103] Adapun proses pemeriksaannya dilakukan secara tertutup yang sebelumnya diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri dan kemudian dari hasil pemeriksaan tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan yang ditandatangani oleh semua anggota komisi kehormatan profesi hakim dan yang diperiksa. Keputusan dari hasil pemeriksaan itu diambil sesuai dengan tata cara pengambilan putusan dalam majlis hakim.

            3. Nilai-nilai dalam Kode Etik Profesi Hakim.

            Sebelumnya telah dijelaskan akan pentingnya etika dalam sebuah organisasi profesi, dalam hal ini profesi hakim. Dan akan kita bahas tentang pokok-pokok kode etik profesi hakim. Bagaimanakah pandangan etika terhadap profesi hakim, Apa saja bentuk dan jenis norma etis yang dianut dan wajib dilaksanakan oleh para hakim. Hal inilah yang menjadi permasalahan pada bagian ini. Pembahasan pokok-pokok etika ini dimaksudkan untuk mengetahui bahwa nilai-nilai etika dalam profesi hakim.

            Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral bagi pengembannya. Nilai moral tersebut akan menjadi landasan bagi tindakannya. Ada 5 (lima) nilai moral yang terkandung dalam profesi hakim yaitu 1. Nilai kemandirian atau kemerdekaan.

            Di sini terkandung nilai profesi hakim adalah profesi yang mandiri, yang dalam melaksanakan tugasnya, tidak boleh dipengaruhi oleh pihak manapun. Begitu pula Hakim dalam menjalankan tugasnya tidak boleh dipengaruhi oleh pihak manapun. Hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan yang dilandasi dengan kejujuran dan keseksamaan, yang diambil setelah mendengar  dan mempelajari keterangan-keterangan dari semua pihak. Nilai kemandirian atau kemerdekaan ini sangat penting karena tanpa nilai ini, nilai-nilai lain tidak akan bisa ditegakkan.

            Hal ini memperjelas bahwa untuk mendukung terlaksananya tugas-tugas profesi hakim maka diperlukannya kemandirian hakim. Namun harus kita pahami bahwa kemandirian ini adalah bukan dengan identik dengan kebebasan yang mengarah kepada pada kesewenang wenangan. Tentu hal ini kembali kepada kemandirian moral dan keberanian moral. Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak  mudah mengikuti pandangan moral sekitarnya, melainkan membentuk penilaian dan mempunyai pendirian sendiri. Mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruh pertimbangan untung rugi, menyesuaikan diri dengan  nilai kesusilaan dan agama. Sedangkan keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Keberanian tersebut antara lain menolak segala bentuk korupsi, kolusi, suap, pungli; menolak segala bentuk penyelesaian melaui jalan belakang yang tidak sah.[104] Hal ini dapat menjadikan seorang hakim menjadi kuat, demikian pula faktor kemandirian moral dan keberanian moral yang kedua-duanya saling mengikat.

2. Nilai keadilan.

            Kewajiban menegakan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka pengadilan harus mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang Yang dicerminkan dalam proses penyelengaraan peradilan yaitu membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan.[105] Agar keadilan tersebut dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyaarakat, dengan tidak memutar balikan fakta dan tidak membedakan orang dengan tetap memegang asas praduga tak bersalah. Dan nilai ini dapat diperluas sampai kepada hakim wajib menghormati hak seseorang (setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum).[106] Serta memperoleh ganti rugi dan rehabilitasi akibat kekeliruan tentang orang atau hukum yang diterapkan.[107]

3. Nilai kerja sama dan kewibawaan korp

            Nilai kerja sama ini diwujudkan dalam persidangan salah satunya dalam bentuk majlis dengan sekurang-kurangnya berjumlah sebanyak tiga orang hakim untuk memusyawarahkan hasil dari persidangan secara rahasia yang kemudian menjatuhkan putusan, disamping itu perlunya saling memberi bantuan dan adanya kerja sama dengan negara lain yang meminta keterangan, pertimbangan, atau nasehat-nasehat yang berkaitan dengan hukum.

4. Nilai pertanggungjawaban.

            Sikap pertanggungjawaban ini berdimensi vertical dan horizontal. Secara vertical berarti bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara horizontal berarti bertanggung jawab kepada sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan maupun kepada masyarakat luas.[108] Dan dalam kaitanya dengan putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar atas pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumberhukum yang tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.[109] Nilai ini penting dalam meletakan tanggung jawab hakim terhadap keputusan yang dibuatnya, sehingga putusan itu memenuhi tujuan hukum berupa keadilan (Gerectigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit), dan kemamfaatan (Zweckmassigkeit). 

            Menurut O. Notohamidjojo, ada empat norma yang penting dalam penegakan hukum yaitu kemanusiaan, keadilan, kepatutan, dan kejujuran. Keempat norma etis inilah yang akan dieksplorasi lebih jauh dalam penelitian ini.

a. Kemanusiaan

            Norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakan hukum, manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia, sebab ia memiliki keluhuran pribadi. Dalam hubungan person dengan kesejahteraan umum, maka diperlukan adanya penjernihan makna tentang individu dan person. Karena pada dasarnya manusia itu mempunyai dua dimensi metafisis, yaitu individualitas dan sosialitas, berbeda dari yang lain namun tidak terpisahkan dari yang lain, satu sama lainnya saling menentukan. Individualitas berakar didalam unsur-unsur yang dalam susunan badan manusia menentukan prilaku temperamen (keadaan rasa dan pikiran) dan menyatakan dirinya dalam bentuk emosi yang bersifat infrarasional, sedangkan dari aspek sosialitasnya manusia pribadi itu senantiasa hidup dalam masyarakat atau persekutuan manusia. Sebagai akibatnya sering menimbulkan kerja sama dan konflik akibat dari adanya saling menilai baik sebagai individu (nilai primer) maupun masyarakat (sekunder).[110]

            Dihadapan hukum, manusia harus dimanusiakan artinya dalam penegakan hukum manusia harus dihormati sebagai pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial.[111] Manusia menurut kodratnya adalah baik,namun kondisi sosial yang kadangkala memaksa manusia berbuat jahat justru untuk mempertahankan kodratnya itu. Sebagai contoh seorang mencuri hak orang lain dalam rangka mempertahankan hidupnya, meskipun sadar bahwa mencuri dilarang oleh hukum positif. menurut pertimbangannya, dari pada mati kelaparan lebih baik bertahan hidup dengan barang curian, dan hidup adalah hak asasi yang wajib dipertahankan. Oleh karena itu, manusia yang diancam sanksi dalam kerangka penegakan hukum positif yang telah dilanggarnya tetap diperlakukana sebagai manusia, yang wajib dihormati hak-hak asasinya.[112] Manusia memang mempunyai kodrat bebas atau merdeka, karena ia memiliki hak-hak individual. Namun dalam pelaksanaanya hak-hak tersebut berbenturan dengan hak-hak orang lain dan tidak boleh membahayakan orang lain. Kebebasan adalah hak milik setiap manusia sejak lahirnya. Tidak ada satupun hukum buatan manusia yang dapat merampas hak tersebut, sebab hak kebebasan itu diperoleh dari hukum alam.[113]

            Dalam menjalankan profesinya, para profesional dituntut untuk menjalankan dua keharusan yaitu keharusan untuk menjalankan profesinya secara bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang dilakukan dan dampak pekerjaannya kepada orang lain, serta keharusan untuk tidak melanggar hak-hak orang lain, artinya keadilan menuntut kita untuk senantiasa kita berikan kepada yang berhak.

            Seorang hakim  dalam dalam bertindak harus memperhatikan sesuai yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku dengan memperhatikan azas-azas peradilan, tidak menunjukan sikap memihak atau antipati kepada pihak yang berperkara dan tidak boleh bersikap diskrimimanatif karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya. Semua warga negara mempunyai hak yang sama dihadapan hukum.

b. Keadilan

            Menurut Thomas Aquinas, keadilan didefinisikan sebagai kebiasaan di mana orang satu sama lain saling memberikan apa yang menjadi haknya didasarkan atas kehendak yang bersifat ajeg dan kekal. Keadilan sebagai salah satu bentuk kebajikan yang menuntun manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Dalam pengertian ini Segala hal yang bertentangan dengan hak dianggap tidak adil. Dan seseorang disebut adil bila ia mengenali dan mengakui yang lain sebagai yang benar-benar berbeda dari dirinya sendiri.[114] Oleh karena itu seorang hakim disebut adil dalam keputusannya apabila memberi sanksi hukuman pada pelanggar hukum, atau membantu seseorang untuk memperoleh apa yang menjadi haknya, melalui segala keputusan yang dibuatnya.

             Ada dua jenis tuntutan keadilan yaitu mentaatinya secara hukum dan secara moral. Secara hukum seorang pejabat telah disumpah untuk menjadi pengayom bagi setiap warga Negara, termasuk bawahannya sendiri, maka secara moral tidak dapat dibenarkan bila lari dari tanggung jawab setelah perbuatannya ternyata merugikan atau mendatangkan penderitaan bagi bawahannya. Keadilan dapat juga dalam bentuk kewajiban yang harus dibayarkan kepada orang lain. Seperti sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan berfungsi untuk memulihkan pelanggaran pidana yang telah dilakukannya. Sanksi pidana berfungsi untuk memulihkan keadilan yang telah dirusak oleh pelaku kejahatan.[115]  

            Ada tiga bentuk dasar keadilan yaitu :

                        Keadilan tukar secara timbal balik (iustitia commutative), yaitu keadilan yang mengatur hubungan antara individu dengan individu lain sebagai partner.

                        Keadilan pelayanan atau distributive (iustutia distributive), yaitu keadilan yang menertibkan hubungan di antara masyarakat atau negara dengan individu sebagai warga masyarakat atau negara.

                        Keadilan legal atau keadilan umum (iustitia legalis, iustitia generalis), yaitu keadilan yang menertibkan hubungan antara individu terhadap masyarakat atau negara.[116]

            Dalam melaksanakan tugasnya hakim dilarang melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang ditangani  sehingga keputusan yang dibuat benar-benar adil, tidak berpihak. Hakim dalam memutuskan perkara tumbuh dari integritas (kejujuran dan keterbukaan) dan keberanian without fear ar favor tanpa takut dan memberikan keuntungan kepada pihak yang berperkara.[117] Karena apabila terdapat atau terjadi penyelewengan terhadap kode etik sebagai salah satu acuan atau pedoman tingkah laku dalam menjalani profesinya, maka tempat untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui wadah formal yang ada yaitu komisi kehormatan profesi hakim.

c. Kejujuran

            Kejujuran ialah hal yang berhubungan dengan pengertian tentang kebenaran terutama berkaitan dengan bidang hukum dan moral. Kejujuran sendiri merupakan kebajikan yang mengatur semua kehendak yang jujur dan terdapat dalam pergaulan masyarakat, terutama dalam hubungan antar individu. Sehingga Setiap penegak hukum perlu kejujuran dalam menegakkan hukum, dalam melayani pencari hukum dan keadilan, serta diharapkan menjauhi perbuatan-perbuatan yang curang dalam pengurusan perkara. Kejujuran berkaitan erat dengan kebenaran, keadilan, kepatutan yang semuanya itu menyatakan sikap bersih dan ketulusan pribadi seseorang yang sadar akan pengendalian diri terhadap apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Kejujuran adalah kendali untuk berbuat menurut apa adanya sesuai dengan kebenaran akal (ratio) dan kebenaran hati nurani.

d. Kepatutan

            Kepatutan (equity) merupakan satu term yang tidak dapat dipisahkan dengan term keadilan Kepatutan (equity). Kepatutan dilakukan secara praktis. Biasanya berupa nilai atau penilaian atas berbagai macam kasus tertentu yang bukan merupakan pokok bahasan putusan hakim yang didasarkan atas keberadaan suatu hukum tertentu. Segala bentuk hukum pada dasarnya merupakan generalisasi universal, yang keberlakuannya tidak mengenal perkara, kasus istimewa, barulah menenguk makna “equity” atau apa yang patut atau layak.

            Keadilan pada dasarnya merupakan kebajikan yang diwujudkan dalam sikap objektif, apa adanya dan umum. Sikap ini yang mengatur hubungan yang hakiki di dalam masyarakat. Jika keadilan dipahami seperti ini, maka makna keadilan akan sangat abstrak dan kurang mengenai situasi dan keadilan manusia secara individual. Yang diperlukan manusia adalah koreksi dan perhatian khusus bagi dirinya, sesuai dengan kualitas, situasi serta keberadaannya sendiri. Dalam hal ini pula orang memerlukan kepatutan, sebab kepatutan memperhatikan dan memperhitungkan situasi dan keadilan manusia sebagai individual. Jadi kepatutan akan menyingkirkan kekerasan dan kekejaman hukum terutama dalam situasi dan kondisi khusus.[118] Dan kepatutan sendiri menempatkan apa yang patut atau apa yang layak, dalam hukum bukan saja keadilan menurut hukum, melainkan juga adil secara moral. Karena putusan hakim akan patut apabila  menunjukkan perbuatan yang patut dibuat, dan tidak mengandung cacat bagi putusan pengadilan.

BAB III

KODE ETIK PROFESI HAKIM DALAM ISLAM

 

A. Pengertian Etika Islam

 

Pemahaman terhadap eksistensi kode etik profesi hakim dalam wacana pemikiran hukum Islam adalah sistem etika Islam yang akan menjadi landasan berfikir untuk melihat nilai-nilai yang ada dalam kode etik profesi hakim.

Etika dalam Islam disebut dengan akhlak. Akhlak berasal dari bahasa arab yang artinya perangai, tabiat, rasa malu dan adat kebiasaan atau dalam pengertian sehari-hari disebut budi pekerti, kesusilaan atau sopan santun. Dengan demikian ahklak merupakan gambaran bentuk lahir manusia.[119]

Ahmad Amin memberikan definsi akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang harusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada manusia lainnya, menyatakan apa yang harus dituju oleh manusia dalam hal perbuatan mereka dan menunjukkan jalan apa yang harus diperbuat.[120]

Sedangkan menurut A. Mustofa akhlak dalam Islam (akhlak Islam) adalah merupakan sistem moral atau akhlak yang berdasarkan Islam, yakni bertitik tolak dari akidah yang diwahyukan Allah pada Nabi atau Rasul-Nya yang kemudian disampaikan pada umatnya.[121] Akidah tersebut diwujudkan menjadi tabiat atau sifat seseorang, yakni telah biasanya dalam jiwa seseorang yang benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan. Perbuatan tersebut terkadang berbentuk baik dan terkadang juga berbentuk buruk.

            Dengan demikian pada tahap pertama merupakan hasil pemikiran atau pertimbangan tetapi lama-lama menjadi melekat dan tanpa pertimbangan dan pemikiran. Dan dapat dikatakan akhlak merupakan manifestasi iman, Islam dan ihsan yang merupakan repleksi sifat dan jiwa secara spontan yang terpola pada diri sendiri sendiri sehingga dapat melahirkan perilaku secara konsisten dan tidak tergantung pada pertimbangan interes tertentu.[122]

Sehingga Majid Fakhry menyebutkan etika atau akhlak adalah gambaran rasional mengenai hakikat dan menjadi dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.[123] Lebih ditegaskan lagi etika adalah merupakan hal keyakinan religius tertentu (I’tiqadat) untuk diamalkan, dan bukan demi pengetahuan belaka.[124] Dari pengertian di atas etika dan akhlak kalau dipahami adalah merupakan dua kata yang mempunyai kesamaan dan juga perbedaan, persamaanya adalah pada obyek yakni sama-sama membahas tentang baik dan buruk tingkah laku manusia sedangkan perbedaanya adalah pada parameternya yaitu etika terhadap akal, dan akhlak terhadap agama (al-Qur’an dan Hadis}).

            Dengan demikian etika mempunyai peranan penting karena lebih menekankan pada bentuk bathiniyah yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum (syari’ah) yang berbentuk bat}iniyah. Lebih jauh lagi merupakan aspek penting bagi penegak hukum, khususnya profesi hakim. Karena moralitas atau etika sebagai dorongan terhadap keadaan jiwa yang diwujudkan dalam melaksanakan profesinya. 

 

B. Landasan Etika Profesi Dalam Islam

            Persoalan etika dalam Islam sudah banyak dibicarakan dan termuat dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Etika Islam adalah merupakan sistem akhlak yang berdasarkan kepercayaan kepada tuhan, dan sudah tentu berdasarkan kepada agama, dengan demikian al-Qur’an dan al-Hadis adalah merupakan sumber utama yang dijadikan landasan dalam menentukan batasan-batasan dalam tindakan sehari-hari bagi manusia, ada yang menerangkan tentang baik dan buruk, boleh dan dilarang, maka etika profesi hakim di sini merupakan bagian dari perbuatan yang menjadi fokus bahasan.

Namun al-Qur’an yang menerangkan tentang kehidupan moral, keagamaan dan sosial muslim tidak menjelaskan teori-teori etika dalam arti yang khusus sekalipun menjelaskan konsep etika Islam, tetapi hanya membentuk dasar etika Islam, bukan teori-teori etika dalam bentuk baku.[125] Tetapi masalah yang paling utama adalah bagaimana mengeluarkan ethik Islam yang bersumber dari al-Qur’an yang melibatkan seluruh moral, keagamaan, dan sosial masyarakat muslim guna menjawab semua permasalahan yang timbul baik dari dalam maupun dari luar. 

            Dengan demikian perlu dari kedua sumber tersebut yang pada umumnya memiliki sifat yang umum, karena itu perlu dilakukan upaya-upaya dan kualifikasi agar dipahami sehingga perlu melalui penjelasan dan penafsiran. Permasalahan kehidupan manusia yang semakin kompleks dengan dinamika masyarakat yang semakin berkembang. Maka akan dijumpai berbagai macam persoalan – persoalan terutama masalah moralitas masyarakat muslim, pada masa Nabi Muhammad  yang terbentuk setelah turunnya wahyu al-Qur’an, sehingga masih bisa dikembalikan kepada  sumber al-Qur’an dan penjelasan dari Nabi sendiri. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan keagamaan ketika itu yang dihadapkan dengan masalah budaya, adat dan pola pikir masyarakat yang berkembang saat itu, maka keadaan moralitas menjadi sangat penting dan komplek. 

            Al-Qur’an sendiri menjelaskan tentang etika dengan berdasarkan tiga terma kunci, utama yang merupakan pandangan dunia al-Qur’an. Ketiga terma kunci tersebut adalah iman, Islam, dan taqwa yang jika direnungkan akan memperlihatkan arti yang identik. Istilah iman berasal dari akar kata (ا مّن) yang artinya ”keamanan”, “bebas dari bahaya, “damai”, Islam yang akar katanya (سلم )yang artinya “aman dan integral”, “terlindungi dari disintegrasi dan kehancuran”. Dan taqwa yang sangat mendasar bagi al-Qur’an disamping kedua istilah di atas, yang memiliki akar kata (وقي) juga berarti “melindungi dari bahaya”, “menjaga kemusnahan, kesia-siaan, atau disintegrasi”.[126] Sehingga pembahasan etika yang terdapat dalam al-Qur’an mengandung cakrawala yang luas karena menyagkut nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan manusia baik secara individu, masyarakat dan Negara secara umum demi mencapai kebahagian baik di dunia dan di akhirat.

            Menurut Madjid Fakhri, sistem etika Islam dapat dikelompokkan menjadi empat tipe. Pertama, moral skripturalis. Kedua, etika teleologis. Ketiga, teori-teori etika filsafat. Keempat, etika religius.[127] Dari keempat tipologi etika Islam tersebut, etika religius akan menjadi pilihan sebagai landasan teori yaitu nilai-nilai etika yang didasarkan pada konsep al-Qur’an tentang nilai-nilai etika hukum dalam Islam. Dengan demikian penyusun hanya akan menjelaskan salah satu macam etika yaitu etika religius yang menjadi landasan.

            Etika religius adalah etika yang dikembangkan dari akar konsepsi-konsepsi al-Qur’an tentang manusia dan kedudukannya di muka bumi, dan cenderung melepaskan dari kepelikan dialektika dan memusatkan pada usaha untuk mengeluarkan spirit moralitas Islam secara utuh.[128] Bahan-bahan etika religius adalah pandangan-pandangan dunia al-Qur’an, konsep-konsep teologis, kategori-kategori filsafat dan dalam beberapa hal sufisme. Karena itu sistem etika religius muncul dalam berbagai bentuk yang kompleks sekaligus memiliki karakteristik yang paling Islami. Diantara eksponennya adalah Hasan al-Basri, al-Mawardi, al-Raghib al-Isfahani, al-Ghazali, dan Fakhruddin ar-Razi. al-Ghazali yang sistem etikanya mencakup moralitas filosofis, teologis, dan sufi, adalah contoh yang paling representatif dari etika religius.[129]

            Sementara kajian epistemologi terhadap nilai-nilai suatu perbuatan, oleh F. Huorani dikelompokkan  menjadi empat aliran, yaitu: Pertama, Obyektifisme; “right” memiliki arti yang obyektif, yaitu suatu perbuatan itu disebut benar apabila terdapat kualitas benar pada perbuatan itu. Aliran ini biasanya dimiliki oleh aliran mu’tazilah dan filsuf muslim. Kedua, Subyektivism; “right” tidak memiliki arti yang obyektif, tetapi sesuai dengan kehendak dan perintah dan ketetapan Allah swt. Tipe ini disebut secara spesifik oleh George F. Huorani dengan theistic subjectivisme atau divine subjectivisme. Terma ini disepadankan oleh George F. Huorani dengan sebutan ethical voluntarism. Ketiga, Rationalism; ‘right” itu dapat diketahui dengan akal semata atau akal bebas. Artinya, akal manusia dinilai mampu membuat keputusan etika yang benar berdasarkan data pengalaman tanpa menunjuk kepada wahyu. Aliran ini dengan pendayaannya terhadap akal disepadankan oleh George F. Huorani dengan kelompok intuitionist. Aliran ini dibagi 2 yaitu: pertama, “right” selalu dapat diketahui oleh akal secara bebas. Kedua, “right” dalam beberapa kasus dapat diketahui oleh akal semata, pada kasus lain diketahui oleh wahyu, sunnah, ijma’, dan qiyas, atau dapat diketahui oleh akal dan wahyu dan seterusnya. Aliran ini secara spesifik disebut dengan partial rationalism. Keempat,Traditionalism; “right” tidak akan pernah dapat diketahui dengan akal semata tetapi hanya dapat diketahui dengan wahyu dan sumber-sumber lain yang merujuk kepada wahyu. Menurut George F. Huorani, aliran ini bukan tidak sama sekali tidak memanfaatkan kemampuan akal, tetapi kemampuan akal dipergunakan pada saat menafsirkan al-Qur’an dan sunnah, menetapkan ijma’ atau menarik qiyas. Aliran seperti ini biasanya dianut oleh para fuqoha dan mutakallimun.[130]    

            Sedangkan kata-kata profesi sendiri dalam Al-Qur’an disebutkan dengan kata-kata ‘aml ( عمل ) yang disebut berulang-ulang, belum lagi dengan penyebutan yang lain atau kiasan lain. Namun ada sebagian orang yang menyebutkan bahwa Islam tidak progresif terhadap budaya kerja. Hal ini karena disebabkan didalam Islam adanya takdir, yang sering dipahami secara negatif atas pemahaman bahwa dalam Islam tidak terlalu penting. Ini bias dari teologi jabariyah (aliran aqidah yang berpendapat bahwa manusia tidak punya faktor atau penentu). Sehingga faktor adanya kemiskinan akibat dari faktor dari teologis ini.[131]

C. Sistem Etika Islam Dalam Penegakan Hukum

            Sistem etika Islam yang berkembang terlebih dahulu dalam pemahaman agama, sehingga hubungan antara agama dengan etika mempunyai relasi yang erat. Keduanya memang tidak dapat dipisahkan. Keterbatasan kemampuan manusia untuk mamahami ajaran agama menyebabkan perlunya manusia mencari jalan dan  berfikir yang tepat untuk membantu manusia dalam menafsirkan agama, karena tidak semua orang sepakat dalam suatu pendapat. Begitu juga terhadap peristiwa-peristiwa sekarang yang dulunya masih belum menjadi persoalan agama dapat dipecahkan melalui etika dengan memperhatikan ketentuan agama.

            Agama biasanya dipahami semata-mata membicarakan urusan spiritual, karenanya ada ketegangan antara agama dan hukum. Hukum utuk memenuhi kebutuhan sosial dan karenanya mengabdi kepada masyarakat untuk mengontrolnya dan tidak membiarkannya menyimpang dari kaedahnya, yaitu norma-norma yang ditentukan oleh agama.[132]            Agama di sini menekankan moralitas, perbedaan antara yang benar dan salah, baik dan buruk, sedangkan hukum duniawi memfokuskan diri kepada kesejahteraan material dan kurang memperhatikan etika. Terlihat dengan adanya perbedaan antara fungsi antara etika dengan ilmu hukum yaitu etika dalam agama memerintahkan berbuat apa yang berguna dan melarang segala perbuatan yang dilarang dan madarat sedangkan ilmu hukum tidak karena banyak perbuatan yang baik dan berguna yang tidak diperintahkan oleh ilmu hukum. Dari fungsi di atas menjadikan etika atau akhlak mendalami gerak jiwa manusia secara batin walaupun tidak menimbulkan perbuatan lahir sedangkan ilmu hukum melihat segala perbuatan yang berakibat kepada lahir.

            Hukum agama sebenarnya merupakan hukum moral “farexcellence”, sedangkan menurut Khan : “hukum moral adalah hukum dalam arti sebenarnya.Tidak ada pemisahan total hukum dari moralitas”. Oleh karena itu hukum yang dipisahkan dari keadilan dan moralitas bukanlah hukum.[133]

            Dengan demikian etika sangat bermanfaat sekali bagi seorang walaupun pada dasarnya manusia itu sudah bermoral. Manfaat etika itu antara lain agar manusia dapat mengadakan refleksi kritis dalam menghadapi masyarakat yang semakin pluralistik dimana kesatuan normatif sudah tidak ada lagi. Perubahan-perubahan masyarakat karena arus modernisasi mengakibatkan goncangan nilai budaya yang bisa saja berubah dan mana nilai yang tetap dan tidak mungkin berubah. Etika dapat juga membuat kita sanggup menghadapi ideologi yang menawarkan darinya sebagai penyelamat dengan memecahkanya secara kritis dan obyektif. Karena itu dengan etika kita akan dapat memantapkan iman kita.[134]

            Etika Islam sebagai  landasan yang harus dijunjung oleh seorang profesi dalam hal ini seorang hakim (Qadi)dalam menjalankan profesinya adalah memberi keputusan ( Judgement ) bukan menghadiahkan keadilan dan keputusan yang diberikan harus berdasarkan hukum. Hal ini dalam konsep Islam, profesi hakim harus benar-benar menegakkan etika, dan bagaimana etika yang harus ditegakkan dalam menjalani profesi dalam Islam, atau yang disebut etika profesi dalam Islam.

            Konsep profesi dalam Islam tersebut adalah : [135]

  1. Meletakkan kerja sebagai sebuah amal shaleh yang dilakukan dalam kontek dan tahapan yang runtut atas iman, ilmu, dan amal. Disini kerja terorientasi kepada dua pandangan : aktifitas yang bernilai ibadah dan sebuah aktifitas untuk memperoleh keuntungan financial.
  2. Menunuaikan kerja sebagai suatu penunaian amanah yang harus dilakukan secara professional.
  3. Melakukan kerja dengan wawasan masa depan dan wawasan ukhrawi artinya dalam melakukan kerja, seseorang harus mengingat kepentingan akan hari depannya. [136]

            Dari uraian di atas etika profesi dalam Islam adalah merupakan aktivitas yang bukan hanya bersifat duniawi, melainkan juga sangat ukhrawi. Artinya Islam melibatkan aspek transendental dalam beribadah, sehingga bekerja tidak hanya bisa dilihat sebagai prilaku ekonomi tetapi juga ibadah, sehingga profesi hakim yang dijalani adalah suatu profesi yang profesi yang harus dipertanggung jawabkan di akhirat.

           

 

 

            Dalam hadis\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\ di sebutkan :

القضاة ثلا ثة : اثنان فىالناروواحد فىالجنة : رجل عرف الحق فقضى به فهوفىالجنة ورجل عرف الحق فلم يقض به وجار فىالحكم فهوا فىالنار ورجل لم يعرف الحق فقضىللناس على جهل فهوا فى النار[137]

            Hadits} diatas menjelaskan pembagian hakim, sehingga apabila haim tidak menjalankan amanahnya sesuai dengan sistem etika profesi dalam Islam maka termasuk salah satu golongan hakim yang celaka, karena mengimgkari tujuan dari etika profesi hakim yang ada, dan tidak bisa mempertanggungjawabkan akan tugasnya diakhirat nanti.

            Hal ini diungkapkan oleh al-Ghazali, bahwa tujuan etika dalam Islam berpangkal dari pengabdian sepenuhnya pada Tuhan. Pemikiran etika al-Ghazali sangat menekankan pada keselamatan individu baik di dunia sekarang maupun di akhirat nanti. Adanya kewajiban bagi manusia pada hakekatnya dimaksudkan untuk keselamatan individu.[138]

 

D. Prinsip-prinsip Peradilan Dalam Nilai Etika Islam

       

            Setelah dijelaskan landasan dan hubungan etika agama dalam penegakkan hukum, selanjutnya akan dipaparkan suatu konsep dari suatu paradigma etika profesi  yang dikontruksi  dari nilai-nilai atau prinsip-prinsip etika profesi hakim dari lintasan sejarah secara normatif. Seperti dikatakan A. Hanafi, sistem etika Islam selalu tercermin dalam konsep tauhid.[139] Oleh karena itu bagi seorang hakim dalam melaksanakan profesinya harus taat pada prinsip-prinsip peradilan yang telah yang telah digariskan oleh al-Qur’an, sebagai pertimbangan dalam menjalani profesinya, karena ketaatan terhadap prinsip-prinsip akan memberikan jaminan terhadap terlaksananya tujuan hukum.

            Dalam lintasan sejarah peradailan Islam, Umar Bin Khattab mengatakan ada sepuluh macam prinsip peradilan yang harus dijadikan pedoman pelaksanaan peradilan, prinsip tersebut dinamakan Risala>latul Qad}a> Umar, prinsip tersebut adalah :

 

بسم الله الرحمن الرحيم

من عمراميرالمؤمنين الىعبدالله بن قيس السلا م عليك ورحمة الله وبراكاته امابعد :

.فان القضاء فريضة محكمة وسنة متبعة.

.فأفهم اذا ادلي اليك وانفذ اذا تبين لك فانه لاينفع تكلم بحق لانفاذ له.

.اس الناس فىمجلسك وفىوجهك وقضائك حتىلايطمع شريف فىخيفك .ولاييأس ضعيف من عدلك.

.البينة علىالمدعى واليمين على من انكر

.والصلح جائزبين المسلمين الاّصلحااحلّ حرامااوحرم حلالا

.ومن ادعى حقا غائبااوبينة فاضرب له امدا ينتهىاليه فان بينه اعطيته بحقه, وان اعجزه ذلك استحللت عليه القضية فان ذلك هوابلغ للعذرواجلىللعمي.

.ولايمنعك قضاء قضيت فيه اليوم فراجعت فيه رأيك فهديت فيه اليوم لرشدك ان تراجع فيه الحق, فان الحق قديم لايبطله شىء ومراجعة الحق خيرمن التمادى فىالباطل.

.ثم الفهم الفهم فيما ادلىاليك مماوردعليك مما ليس فى قرأن ولافىسنة, ثم قايس الأمورعندذلك واعرف الأمثال ثم اعمد فيماترى الى احبهاالىالله واشبهها باالحق.

.والمسلمون عدول بعضهم على بعض الا مجربا عليه شهادة زوراومجلودا فىحد اوظنينا فى ولاء اوقرابة فاءن الله تعالىتولى من العباد السرائروستر عليهم الحدود الا باالبينات والايمان.

.واياك والغضب والقلق والضجر والتأذى بالناس والتنكر عندالخصومة فان القضاء فىمواطن الحق ممايوجب الله به الاجرويحسن به الذكر, فمن خلصت نيته فى الحق ولوعلىنفسه كفاه الله ما بينه وبين الناس, ومن تزين بماليس فى نفسه شانه الله فإن الله تعالى لايقبل من العباد الا ماكان خالصاوما ظنك بثواب عندالله فىعاجل رزقه وخزائن رحمته والسلام عليك ورحمة الله .[140]

                 

            Disamping prinsip-prinsip diatas, paradigma etika profesi dalam perspektif al-Qur’an tentang profesi yang dilandasi aksioma-aksioma yang menjadi bahan analisis untuk menkaji kode etik profesi hakim. Aksioma nilai tersebut ialah:

            1. Keadilan

            Keadilan atau keseimbangan (equiblirium) menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam yang berhubungan dengan keseluruhan hubungan antara alam semesta. Sifat keadilan atau keseimbangan bukan hanya karakteristik alami,melainkan merupakan karakteristik dinamis yang harus diperjuangkan oleh setiap muslim dalam kehidupannya.[141]

Kata keadilan dalam al-Qur’an menggunakan kata ‘adl dan qist. ‘adl mengandung pengertian yang identik dengan samiyyah berarti penyamarataan (equalizing), dan kesamaan (leveling). Penyamarataan dan kesamaan ini berlawanan dengan zulm dan jaur (kejahatan dan penindasan).[142]

Dalam al-Quran dijelaskan :

اذا حكمتم بين الناس ان تحكموابالعدل ان لله نعما يعظكم به ان لله كان سميعا بصيرا [143]

ان لله يأمر بالعد ل والاحسان وايتائ ذىالقرب…[144]

 

Sedangkan kata Qist mengandung makna “distribusi, angsuran, jarak yang merata”. Juga berarti “keadilan, kejujuran, dan kewajaran”. [145] Dalam Al-Quran Kata-kata Al-Qist terdapat dalam surat Al-An’am :

…واوفواالكيل والميزان بالقسط…[146]

 يا ايهاالذين امنوا كونوا قوامين بالقسط شهداء لله…[147]

                       

            Dengan demikian al-Qura’n memiliki banyak keterangan tentang dalil keadilan yang meliputi perintah penegakkan keadilan baik melalui perkataan, tindakan, sikap; baik hati ataupun pikiran, disamping perintah penegakkan keadilan dalam kode etik yang mempunyai unsur nilai, obyek dan tujuan dari keadilan sendiri.

Keadilan yang ditunjukkan hukum Islam adalah keadilan yang mutlak dan sempurna bukan keadilan yang relatif dan parsial. Maka keadilan hukum Islam adalah mencari motif keadilan yang paling dalam, misalnya, perbuatan itu ditentukan oleh niat dan kita berbuat seolah-olah di hadapan Allah.[148] Dalam  persfektif Islam dijelaskan keadilan sebagai prinsip yang menunjukan kejujuran, keseimbangan, kesederhanaan dan keterusterangan yang merupakan nilai-nilai moral yang ditekankan dalam al-Qur’an.[149] Karena hukum Islam sendiri mempunyai standar keadilan mutlak karena dilandaskan pada prinsip-prinsip hukum yang fundamental, sehingga keadilan dalam hukum Islam merupakan perpaduan yang menyenangkan antara hukum dan moralitas.

Hukum Islam tidak menghancurkan kebebasan individu tetapi mengontrolnya demi kepentingan masyarakat yang terdiri dari individu itu sendiri dan karenanya juga melindungi kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat dan bukan sebaliknya. Individu diperbolehkan mengembangkan hak pribadinya dengan syarat tidak mengganggu kepentingan masyarakat, karena manusia hidup berada ditengah perjuangan dalam diri sendiri dan orang lain dalam menegakkan keadilan.[150] Ini mengakhiri perselisihan dan memenuhi tuntutan keadilan karena itu, berlaku adil berarti hidup menurut prinsip-prinsip Islam.[151]

 2. Kebenaran

            Kebenaran selain mengandung makna kebenaran lawan kesalahan, mengandung juga unsur kebajikan dan kejujuran. Nilai kebenaran adalah merupakan nilai yang dianjurkan dalam ajaran Islam. Dalam al-Qur’an aksioma kebenaran yang mengandung kebajikan dan kejujuran dapat ditegaskan atas keharusan memenuhi perjanjian dalam melaksanakan profesi. Dalam kontek etika profesi hakim yang harus di lakukan adalah dalam hal sikap dan prilaku yang benar yang meliputi dari proses penerimaan perkara, pemeriksaan perkara serta menggali nilai-nilai yang ada atau hukum-hukum yang ada untuk menyelesaikan perkara yang masuk sampai kepada pemutusan perkara yang benar-benar sesuai hukum yang berlaku.

            Kebajikan adalah sikap ihsan, yang merupakan tindakan yang memberikan keuntungan bagi orang lain. Dalam pandangan Islam sikap ini sangat dianjurkan, sedangkan kejujuran dipandang sebagai suatu nilai yang paling unggul dan harus miliki oleh seluruh masyarakat karena menjadi corak nilai manusia yang berakar.[152] Dalam al-Qur’an sendiri bukan memperlihatkan tujuan dari kebenaran tetapi memperlihatkan proses. al-Qur’an menekankan adanya kebenaran suatu profesi yang dilandasi oleh kebaikan dan kejujuran.[153]

            Al-Quran menjelaskan :

ياايهاالذين امنوا اركعوا واسجدو واعبدوا ربكم وافعلواالخير لعلكم تفلحون[154]

 

            Pengejawantahan aksioma kebenaran dengan dua makna kebajikan dan kejujuran secara jelas telah di teladankan oleh Nabi Muhammad SAW yang juga merupakan seorang yang seiring memutuskan perkara dengan bijaksana. Dalam menjalankan profesinya nabi tidak pernah sekalipun melakukan kebohongan atau berpihak kepada salah satu yang berperkara, namun sebaliknya menganjurkan agar melakukan profesi dengan kebenaran dan kejujuran.

            Dalam al-Qur’an :

يؤامنون بالله واليوم الأخر ويأمرون باالمعروف وينهون عن المنكر ويسارعوا.[155]

            Dengan aksioma-aksioma kebenaran ini maka etika profesi hakim dalam Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya penyalahgunaan profesi hakim.

            3.Kehendak Bebas

            Manusia sebagai khalifah dimuka bumi sampai batas-batas tertentu mempunyai kehendak bebas atau kebebasan untuk mengarahkan kehidupannya kepada tujuan pencapaian kesucian diri. Manusia dianugrahi kehendak bebas atau kebebasan (free Will) untuk membimbing kehidupannya sebagai khalifah.[156] Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini etika profesi dalam Islam mempunyai kehendak bebas dalam menjalani profesinya baik dari perjanjian yang dibuatnya, apakah akan ditepati atau mengingkarinya. Seorang muslim yang percaya terhadap Tuhannya maka ia akan menepati janji atau sumpah dalam melaksanakan profesinya.

            Dalam al-Qura’n disebutkan :

ياايهاالذين امنواأوفوابالعقود…[157]

            Ayat di atas menjelaskan bahwa kebebasan manusia dalam membuat janji itu harus dipenuhi baik yang dibuat sendiri ataupun dengan masyarakat. Dalam masalah etika profesi yaitu dengan adanya kode etik profesi atau sumpah jabatannya yang harus dilaksanakan. Dengan demikian manusia memiliki kebebasan karena kebebasan adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri yang disebut  kebebasan eksistensial dari unsur rohani manusia (penguasaan manusia terhadap bat\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\inya). Dan kebebasan dari unsur-unsur yang diakibatkan dari orang lain adalah kebebasan sosial.

            Namun di satu sisi manusia berada dalam keterpaksaan dan tidak mempunyai kebebasan kehendak yang merdeka bahkan kepastian yang menjalankan menurut apa yang digambarkan. Karena kebebasan adalah merupakan hakikat kemanusiaan, dan kebebasan adalah kebebasan yang ada. Sehingga Herbet Spencer mengatakan ” nilai tertinggi yang ia letakkan kepada teori keadilan bukanlah kesamaan tetapi kebebasan ” artinya setiap orang bebas asalkan tidak mengganggu orang lain.[158]

            Dari uraian di atas prinsip kebebasan dalam etika profesi Islam mutlak untuk dikembangkan dan dijamin pelaksanaanya sehingga akan terjaminnya keutuhan dalam masyarakat yang pluralistik, dan harus sesuai dengan kaidah umum hukum Islam yaitu melaksanakan yang benar dan menghapus ataupun menghindari yang salah.

            4. Pertanggungjawaban

            Kebebasan apapun yang terjadi tanpa batasan, pasti menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Untuk memenuhi keadilan, kebenaran, dan kehendak bebas maka perlu adanya pertanggungjawaban dalam tindakannya. Secara logis aksioma terakhir ini sangat berkaitan erat dengan aksioma kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya.

            Al-Qur’an menegaskan :

من يشفع شفاعة حسنة يكن له نصيب منها ومن يشفع شفاعة سيئة يكن له كفل منها وكان الله على كل شيئ مقيتا[159]

Tanggung jawab merupakan suatu prinsip dinamis yang berhubungan dengan perilaku manusia. Bahkan merupakan kekuatan dinamis individu untuk mempertahankan kualitas kesetimbangan dalam masyarakat.[160] Karena manusia yang hidup sebagai mahkluk sosial, tidak bisa bebas, dan semua tindakannya harus dipertanggungjawabkan. Dalam al-Qur’an disebutkan :

ايحسب الانسان ان يترك سدى[161]

Secara teologis prinsip pertanggungjawaban berhubungan dengan tiga paradigma qur’anik[162]. Pertama, Allah memberikan karunia kepada manusia (baik melalui Rasul maupun lewat kekuatan akal) yang memungkinkannya mengenali nilai-nilai moral. Dalam jiwa manusia telah ditanamkan pengertian tentang makna baik dan buruk.

Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an :

من عمل صالحامن ذكر اوانثى وهومؤمن فلنحيينه حيوة [163]

من عمل صالحا فلنفسه ومن اساء فعليها وما ربك بظلام للعبيد[164]

 Kedua, meskipun manusia diberi kemungkinan mengetahui kualitas moral dari semua perbuatannya, namun secara prinsip mereka adalah bebas untuk menentukan jalan hidupnya sendiri-sendiri. Tidak ada paksaan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pesan-pesan-Nya. 

Allah Swt berfirman :

لااكراه فى الدين قد تبين الرشد من الغي…[165]

Ketiga, Allah swt senantiasa mengamati dan mencatat gerak-gerik tubuh dan hati manusia sekecil-kecilnya, Dia mengetahui apa saja yang disembunyikan dalam hati dan apa yang ditampakkan.

Allah swt berfirman :

…والله اعلم بماكانوا يكتمون[166]

فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره ، ومن يعمل مثقال ذرة شرايره [167]

Tiga paradigma diatas, yaitu kemungkinan mengetahui kualitas moral, kebebasan berbuat serta doktrin tentang pencatatan amal, secara bersama-sama merupakan condition sine qua non sekaligus jaminan obyektifitas penilaian Allah. Namun demikian ukuran kemuliaan yang hakiki di hadapan Allah adalah kualitas taqwa dan apabila berbuat keburukan maka keburukan tersebut akan menyebabkan martabatnya menjadi rendah.

Tidak seperti pada kajian-kajian tafsir tradisional yang pada umumnya cenderung membatasi pada sisi pertanggungjawaban yang bersifat ukhrawi dan individual, pada konteks kekinian perlu ditelaah lebih lanjut adalah sisi pertanggungjawaban yang bersifat kolektif duniawi. Al-Qur’an hanya menyampaikan pesan-pesan kepada umat manusia sebagai individu-individu mandiri, tetapi juga memberikan bimbingan tentang kehidupan kolektif. Dalam Islam ada pokok-pokok ajaran tentang etika pergaulan antar manusia, dan dalam hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Mengabaikan ajaran-ajaran moral tersebut akan berakibat tidak hanya penderitaan batin dan siksaan (akhirat) secara individual, tetapi secara kolektif (generasi) mereka juga akan menerima hukuman, sekarang di dunia ini juga.[168]

BAB IV

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP KODE ETIK

PROFESI HAKIM INDONESIA

 

A. Etika Pertanggungjawaban Hakim Terhadap Amal Manusia

            Sebagaimana telah dijelaskan dalam landasan teori, etika adalah gambaran umum rasional mengenai hakikat, dasar perbuatan dan keputusan secara moral diperintahkan dan dilarang, serta membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Pada pembahasan ini menunjukkan dimensi etika pertanggungjawaban hakim terhadap manusia mempunyai pengertian untuk apa dan kenapa manusia harus mempertanggungjawabkan amal perbuatannya sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari amal perbuatan. Untuk apa hakim harus ada tanggung jawab terhadap hukum dan masyarakat ?.

            Pertama perlu di pahami tentang konsep manusia dan kebebasan untuk memahami kehendak bebas manusia. Secara fhilosofis ada beberapa pandangan mengenai manusia, Plato mengatakan : ” Manusia adalah jiwa atau pribadinya “, sedangkan John Murray ” Manusia adalah pelaku bukan pemikir ” serta John Dewey Mengatakan ” Manusia adalah wakil dari rakyat “.[169] Dalam konsepsi Islam manusia diposisikan sebagai makhluk Theomorfis yaitu makhluk dengan potensi yang dimiliki serta berbuat menyerupai sifat-sifat Tuhan. Kegiatan moral, spiritual, dan keduniaan manusia harus diintegrasikan untuk direfleksikan secara bersama dengan kebebasannya. Kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan, artinya kebebasan mutlak yang ada batasan terhadap dirinya dan orang lain.

            Dalam al-Qur’an dijelaskan :

لقد خلقنا الإنسان في احسن تقويم. ثم رددنه اسفل سا فلين. الاالذين امنوا وعملواالصلحت فلهم اجر غير ممنون [170]

           

            Ungkapan di atas menunjukkan bahwa amal manusia harus dipertanggungjawabkan dibawah hukum, manusia, masyarakat dan Tuhan. Manusia adalah makhluk yang memiliki sifat tanggungjawab karena ia memiliki untuk memilih secara sadar. Sadar melakukan berarti sadar akan konsekuensinya yang ditimbulkan. Secara normatif perbuatan manusia telah digariskan dalam al-    Qur’an, dalam bahasa arab di sebut amal ( عمل ) berikut penjelasan-penjelasannya. Sehingga menunjukkan bahwa tidak ada sedikitpun manusia yang lepas dari “penglihatan” Allah. Manusia akan memperoleh akibat dari apa yang diperbuatnya,[171] Karena itu tidak dapat terpisahkan dari etika pertanggung jawaban.[172]

            Dalam kontek profesi hakim, hakim sebagai profesi yang istimewa dan terhormat (Offilium Nobille) dalam menjalankan tugasnya, karena berupaya merumuskan dan menggali nilai-nilai hukum dengan menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan di masyarakakat. Sehingga merupakan suatu perbuatan yang dilandasi etika yang harus di pertanggungjawabkan atas gagasan dan tindakannya baik terhadap dirinya, masyarakat dan Tuhan. Bertanggung jawab terhadap dirinya berarti memberikan pelayanan hukum berdasarkan integritas moral, intelektual dan profesionalisme. Bertanggung jawab terhadap masyarakat berarti dalam wujud pemberian putusan-putusan yang mengandung nilai keadilan dan kebenaran. Serta tanggung jawab terhadap Tuhan adalah tanggung jawab moral atas tindakan sekecil apapun (zarrah). Tanggung jawab ini merupakan konsekuensi dari aksioma kehenddak bebas manusia yang dibatasi konsep tanggung jawab di hadapan Tuhan.

            Kode etik sebagai perwujudan nilai etika yang merupakan pengontrol moral dan standar moaral serta kaidah seperangkat hukum formal bagi aparat penegak hukum (Legal Aparatus). Sebagaimana yang tertuang dalam kode etik pasal 1-2 yaitu : merupakan aturan tertulis untuk dijadikan pedoman tingkah laku (Code of Conduct) hakim Indonesia, baik dalam menjalankan tugas profesinya untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum.[173]

            Dalam Islam, kode etik merupakan etika religius yang menggambarkan prinsip-prinsip secara moral diperintahkan atau dilarang. Secara spesifiknya dari al-Qur’an di wujudkan secara sistematis dalam bentuk hukum-hukum moralitas dan etika, yang kemudian dikembangkan dari akar konsepsi-konsepsi al-Qur’an tentang manusia dan kedudukannya di muka bumi.

            Tujuan dari kode etik sendiri adalah  sebagai alat Pembinaan dan pembentukan karakter, Pengawasan tingkah laku dan sebagai sarana kontrol sosial serta mencegah campur tangan ekstra yudicial, Sehingga mencegah timbulnya kesalah pahaman dan konflik antar sesama anggota, masyarakat dan memberikan jaminan peningkatan moralitas Hakim dan kemandirian fungsional serta menumbuhkan  kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.[174] Tetapi terjadinya perbuatan immoral hakim diakibatkan kurangnya pemahaman agama maka diperlukan penfsiran-penafsiran terhadap ajaran tersebut sehingga bisa memahami fungsi dari etika agama dan hukum atau kode etik, etika sebagai gerak jiwa manusia dalam bentuk batin dan hukum melihat sebagai perbuatan yang berakibat pada lahir. Hal ini menjadikan hakim faham akan profesinadikan hakim faham akan profesintidak terpisahkan dari etika dan merupakan aktivitas  yang mempunyai struktur fundamental dan menjadi pemahaman masyarakat.

            Dalam Islam tujuan tersebut terwujud dalam tujuan hukum Islam (syari’ah), yang tujuan tersebut dapat dilihat dari sisi manusia (hakim) dan tujuan dari adanya hukum atau aturan (kode etik) yang semuanya untuk mewujudkan kemaslahatan. Kemaslahatan dalam tujuan kehidupan manusia yaitu mencapai kebahagiaan dan mempertahankannya. Dalam kaedah ushul fiqh ditegaskan :

التحصل و الإبقاء[175]

            Dalam kaedah lain :

درءالمفسدة مقدم على جلب المصلحة[176]       

            Dengan demikian adanya peraturan tersebut adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah akan adanya kerusakan. Sedangkan dari pembuat hukum (syari’ah) dapat diketahui melalui penalaran induktif  atas sumber-sumber naqli baik al-Qur’an maupun sunnah. Yang dilihat dari sebuah jaminan terhadap kepentingan dari profesi hakim yang memiliki kode etik terhadap kepentingan umum, khususnya kepentingan manusia atas kebutuhan hidup dari profesi hakim sendiri sebagai suatu profesi dalam mewujudkan maqa>s}id al-Syari’ah, yang salah satunya mencari nafkah (d}aruri), pemenuhan kepentingan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran (Haziyyi) dan terwujudnya etika moralitas hakim atas adanya kode etik (tahsi>ni),dan kemudian  apa yang dinamakan konsep d}aruri secara umum akan terbentuk. Artinya pelaksanaan kode etik dalam mewujudkan tujuan hukum baik hukum positif maupun hukum Islam  terhadap kehormatan diri dan profesi hakim (عرض), gagasan hakim (عقل), etika dan moralitas dalam agama (( د ين, pemenuhan nafkah hidup sebagai profesi (الما ل) serta jiwa yang diwujudkan dalam tindakan (نفس).            Sehingga apabila hakim dapat melaksanakan etika yang memenuhi aturan seperti di atas, maka setidaknya akan menghilangkan image jelek terhadap hakim sendiri dan kembali memandang peradilan sebagai benteng penegak keadilan dan kebenaran. Adapun terjadinya perilaku hakim yang jauh dari nilai-nilai moralitas mengharuskan adanya pemahaman terhadap struktur fundamental peran hakim dan eksistensinya yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

 

B. Aplikasi Kode Etik Profesi Hakim Indonesia

 

            Kode etik profesi hakim merupakan kumpulan asas-asas atau nilai moral yang disepakati oleh anggota hakim dan harus di laksanakan agar tidak terjebak kepada pelanggaran norma, maka dibentuklah kode etik sebagai pengarah kesadaran moral di dalam organisasi profesi hakim. Hal ini terwujud dalam sifat-sifat hakim yang dikenal dengan “Panca Dharma Hakim” yaitu kartika, cakra, candra, sari, dan tirta, yang menempatkan sifat percaya dan taqwa kepada Tuha yang Maha Esa, memusnahkan kebatilan, kezaliman dan ketidakadilan, memiliki sifat bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur dan tidak tercela, serta bersifat jujur. Pengertian ini menjadikan kode etik merupakan suatu keyakinan religius tertentu (I’tiqad}at) untuk di amalkan dan bukan pengetahuan belaka, karena mempunyai peranan dalam bentuk bat}iniyah yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum (Syari’ah) dalam etika profesi hakim. Sehingga etika merupakan moralitas sebagai dorongan jiwa yang diwujudkan dalam melaksanakan profesi hakim.

            Untuk melihat relevansi dan implementasi kode etik profesi hakim dalam penegakan hukum yang sesuai dengan etika Islam, maka akan dipaparkan beberapa hal melalui analisa beberapa pasal terutama bab II karena merupakan hukum materiilnya.

            Profesi hakim adalah profesi yang mempunyai tugas menyelesaikan setiap perkara yang masuk ke pengadilan atau diajukan dari piahak yang bersengketa. Sedangkan para pihak adalah orang yang mencari perlindungan hukum terhadap lembaga peradilan. Karena itu kewajiban hakim untuk melindunginya.[177] Sehingga terlihat harus berpegang teguh pada tingkah laku yang di wujudkan dalam sikap hakim yang dipedomaninya,[178] sebagai berikut :

            1.Dalam Persidangan.

            Pertama, dalam persidangan hakim harus memperhatikan azas-azas peradilan yang berlaku dalam hukum acara peradilan, yaitu : menjungjung tinggi hak para pihak baik dari mulai pengajuan perkara, proses persidangan, baik meliputi pembelaan diri, pemeriksaan perkara, sampai pada keluarnya putusan yang benar-benar memuat alasan yang jelas, sistematis, serta dapat dipertanggungjawabkan (accountability). Kedua, memposisikan para pihak  dalam keadaan sama tidak memihak salah satu pihak. Ketiga harus berbuat sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin persidangan baik ucapan maupun perbuatan. Keempat, menjaga kewibawaan dan kehidmatan persidangan antara lain serius dalam memeriksa dan tidak melecehkan para pihak. Kelima,bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.

            Dalam persidangan hakim harus memproses segala perkara yang diajukan dan menyelesaikan sengketa antara pihak tersebut demi terciptanya kedamaian diantara manusia. Dalam undang-undang disebutkan : hakim membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.[179] Dalam Islam dijelaskan hubungan hakim dengan para pihak adalah merupakan hubungan yang saling terkait (simbiosis mutualisme), sehingga hakim mempunyai tuntutan untuk menyelesaikan perkara. Dalam al-Qur’an dijelaskan :            

وان طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فاصلحوا بينهما[180]

لايقضى الحكم بين اثنين وهو غضبان[181]

 

            Namun dalam arti kata hakim adalah profesi yang bebas yang tidak boleh mempunyai ikatan-ikatan yang membatasi kewajibannya untuk menegakan hukum yang adil dan benar dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab, tentu hal ini harus harus didukung oleh kondisi hakim yang harus siap baik secara mental maupun sikap seperti sikap hakim ketika memimpin persidangan harus dalam kondisi tidak marah, karena akan mempengaruhi proses persidangan. Disamping itu dalam proses persidangan tidak boleh adanya konspirasi antara para pihak yang berperkara dengan hakim atau melalui pengacara untuk memenangkan perkara.

                        Hal jelas dilarang oleh agama dalam hadis\ ditegaskan :

الراشى والمر تشى فىالحكم [182]

Di sini terlihat integritas hakim diuji apakah mampu menjungjung hukum (keadilan dan kebenaran), apakah mementingkan pihak tertentu, jelas–jelas ini dilarang untuk menggunakan tugas di luar tujuan dan kewajiban yang seharusnya mendamaikan kedua belah pihak, sesuai proses peradilan yang telah di tentukan.

Dalam al-Qur’an di sebutkan :

الصلح جائز بين المسلمين الا صلحا حرم حلالا اواحل حراما والمسلمون على شروطهم الا شرطا حرم حلالا او احل حراما[183]   

Dalam pasal ini terkandung nilai kebebasan hakim dan tidak terpengaruh dari apa dan siapapun. Dari kebeasan ini tercipta kehendak bebas dari seorang manusia (hakim) yang dianugerahi kehendak bebas (Free Will), yang berdasarkan aksioma kehendak bebas dari etika Islam. Kemudian dari kebebasan ini diharapkan akan terwujud keputusan-keputusan yang benar dan adil, bukan sekedar mengejar kepastian hukum (Legal Centainity). Islam menetapkan prinsip keadilan untuk seluruh umat manusia dan menjadi perhatian umat walaupun terhadap musuh yang menyerang kita hendaknya tetap berlaku adil.

Dalam al-Qur’an di tegaskan :

اذا حكمتم بين الناس ان تحكموابالعدل ان لله نعما يعظكم به ان لله كان سميعا بصيرا [184]

Adil di sini adil dalam konsep Islam adalah yang menunjukkan keseimbangan dalam standar keadilan yaitu keadilan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip hukum yang fundamental dalam hukum Islam. Walaupun Islam memerintahkan keadilan secara umum tidak menentukan dalam bidang apa saja melainkan dalam bermacam urusan, karena keadilan adalah milik Allah sedang manusia hamba Allah, oleh karena itu semua orang sama tidak ada yang lebih di depan hukum.[185] Apalagi di hadapan Tuhan, yang membedakan adalah ketaqwaan.

عن ابى هريرة ر ضي الله : قال قال رسو ل الله ص م : ان الله لاينظر الى صوركم واموالكم ولكن ينظر الى قلوبكم واعمالكم[186]

 

Dari sisi nilai filosifis keadilan adalah merupakan tujuan tertinggi dari penerapan keadilan, sehingga disinilah terkandung nilai keadilan yang terdapat dalm kode etik profesi hakim Indonesia.

Putusan-putusan hakim yang dikeluarkan adalah merupakan produk hukum untuk menyelasaikan perkara, sehingga harus tercipta putusan yang benar-benar memuat alasan yang jelas[187] dan bisa dipertanggung jawabkan, mulai pemeriksaan perkara dengan tahapan mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir sehingga putusan tersebut benar-benar dilandasi kejujuran dan kepatutan. Kejujuran dalam menggali dasar-dasar hukum baik undang-undang maupun ketentuan lain, sehingga patut artinya sesuai kondisi masyaakat. Dalam kosep nilai etika Islam kejujuran adalah merupakan sesutu perkara yang terlahir dari  kebenaran (aksioma Kebenaran).

2. Hubungan sesama hakim atau pegawai.

            Dalam kode etik profesi hakim, hakim harus menjaga kewibawaan korps yang diwujudakan dalam sikap kerjasama, kesadaran, saling menghargai dan tingkah laku atau martabat yang baik baik dalam dinas maupun di luar dinas serta memberikan suri tauladan kepada bawahan.

            Hakim sebagai salah satu pilar penegak hukum, maka mempunyai tanggung jawab untuk saling tolong-menolong dalam menegakan keadilan dan kebenaran. Hal ini akan tercapai apabila hakim mampu menjalin hubungan dengan komponen yang ada di bawahnya, baik antara hakim sendiri, panitera, serta juru sita karena mempunyai kewajiban yang saling berkaitan, sebagaimana dalam sumpah dan janji di pengadilan.[188] Di sini perlunya kerjasama yang harus dilakukan demi tercapainya kewajiban seorang profesi.

           

 

            Dalam al-Qur’an di sebutkan :

….وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الاثم والعدوان [189]

            Hal ini bisa dilakukan dengan saling mendiskusikan permasalahan (perkara) yang di hadapi dalam persidangan baik dengan sesama hakim ataupun dengan para pakar ilmu hukum sebelum membuat keputusan. Langkah tersebut pada masa masa peradilan sahabat sering dilakukan,[190] karena musyawarah merupakan salah satu sumber setelah dari sumber-sumber lain tidak ada atau telah melakukan tingkatan-tingkatan pengambilan dalil. Karena hakim dalam memberikan pandangan harus rasional serta berdasarkan ijtihad yang ketat, maka apabila tidak tercapai haruslah dengan musyawarah.secara jujur. Dengan demikian musyawarah adalah merupakan salah satu bentuk solidaritas antara hakim.

…وأمرهم شورى بينهم ومما رزقنهم ينفقون[191]

            Islam memerintahkan musyawarah demi mencapai hasil yang tepat dalam membangun suatu putusan benar-benar tepat dalam azas musyawarah dan nilai kepatutan terwujud dalam memberikan keputusan yang akan di bebankan kepada para pihak, walaupun sering terjadi diantara hakim banyak yang mengabaikan moralitas dan sering terjadi pengabaian terhadap kode etik yang mengakibatkan Pelanggaran-pelanggaran tersebut sangat mengaburkan idealisme profesi hukum yang mempunyai ciri-ciri pokok pengabdian kepada kemanusiaan, kebenaran dan  kejujuran. Menurut Busyro Muqoddas, melemahnya motivasi pengabdian tersebut terjadi ketika iman dan independensi berada dalam keadaan krisis.[192] Ketika iman dalam kondisi kokoh, maka ia akan  memancar dalam segala aktivitasnya. Etika Islam tidak sekedar melihat aktivitas lahir, tetapi lebih jauh melihat dorongan terdalam dari motif (niyat) tindakan tersebut.

Kode etik profesi hakim Indonesia merupakan alat pembinaan hakim dan pengawasan tingkah laku hakim[193], dengan artian Profesi hakim merupakan kesatuan profesi yang diikat oleh suatu tata aturan tertulis dan kesadaran serta solidaritas diantara anggota korp untuk melaksanakan kode etik profesi hakim tersebut. Yang diharapkan saling menjaga kesolidaritasan antara hakim maupun korp sebagaimana dalam tertuang dalam kode etik hakim.[194] Karena dari kesolidaritasan hakim akan tumbuh kejujuran dalam menegakan hukum, sehingga terjauh dari perbuatan curang baik yang dilakukan hakim sendiri maupun secara bersama-sama .

 

 

Dalam hadis} disebutkan :

يدعى بالقا ضى العادل يوم القيامة فيلقى من شدةالحساب[195]

وان كثيرا من الخلطاء ليبغي بعضهم على بعض الاالذين امنوا وعملواالصلحت[196]

Dalam korp hakim yang harus dibangun adalah kerjasama yang berlandaskan moral, iman dan taqwa karena apabila dibangun diatas tiga nilai tersebut akan melahirkan kejujuran (ama>nah) dan tanggung jawab.  Dalam Islam konsep kejujuran adalah perwujudan dari nilai kebenaran yaitu jujur atas pelaksanaan janji terhadap pelaksanaan kode etik profesi. sehingga nilai kejujuran  merupakan prinsip nilai dari kode etik profesi, sekaligus kebenaran dalam konsep Islam yaitu menjalankan yang hak atau diperintahkan.  Dengan demikian solidaritas korps sangat diperlukan dalam menjaga nama baik profesi hakim karena selain harus dipertanggungjawaban terhadap masyarakat didunia yang diminta oleh Tuhan diakhirat nanti.

                        3. Tanggung  Jawab Sosial Hakim  Terhadap Hukum

Dalam kode etik profesi hakim didalam masyarakat hakim harus saling menghormati, menghargai, dan hidup sederhana, serta dalam keluarga hakim harus menjaga keluarga dari perbuatan tercela, menjaga ketentraman keluarga dan keutuhan keluarga dan menyelesaikan masalah keluarga dengan norma-norma hukum kesusilaan yang berlaku di masyarakat.

Ketentuan di atas merupakan tanggung jawab hakim baik terhadap dirinya sendiri (keluarga) maupun masyarakat. Prinsip yang terkandung etika profesi di mana tanggung jawab hakim dalam melaksanakan tanggung jawabnya di tuntut untuk bertanggungjawab terhadap pekerjaan, hasil serta dampak pekerjaan terhadap kehidupan orang lain dan bertanggung jawab untuk kehidupan dengan tidak melanggar hak orang lain. Dalam Islam tanggung jawab merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan, artinya tanggung jawab sendiri yang diwujudkan dalam pola prilaku dalam hubungannya dengan masyarakat atau institusi, sedangkan terhadap masyarakat dengan memberikan hak kepada siapa saja yang menjadi haknya. Sehingga fungsi hakim sebagai makhluk sosial tidak bisa terbebas dari semua tindakannya yang harus dipertanggungjawabkan. Karena tanggung jawab sosial adalah kaitannya dengan moral terhadap masyarakat. Secara moral bahwa perbuatan itu tidak tercela, karena apabila tercela maka akan mendapatkan sanksi sosial, karena itu tanggung jawab sosial dibarengi dengan norma sosial.[197]

 Dalam al-Qur’an ditegaskan :

من يشفع شفاعة حسنة يكن له نصيب منها ومن يشفع شفاعة سيئة يكن له كفل منها وكان الله على كل شيئ مقيتا[198]

 

 

Dalam ayat lain :

ايحسب الانسان ان يترك سدى[199]

Ayat di atas menjadikan perlunya kesadaran hukum bagi hukum. Karena keasadaran hukum adalah merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam diri manusia mengenai perilaku yang telah diatur dalam hukum.[200] Sehingga hukum dipahami untuk memenuhi kebutuhan sosial sedangkan agama sebagai pengontrol dan tidak membiarkannya menyimpang dari kaidah norma-norma yang ditentukan oleh agama.[201]

Dalam konsep Islam kesadaran hukum yang timbul akan menjadi sesuatu amal perbuatan yang didasarkan iman, ilmu, dan amal, sehingga tanggungjawab ini dijadikan amanah yang harus dilakukan secara profesionalisme karena akan diminta pertangjawabannya dan dijadikan kebutuhan ukhrawi untuk masa depan.artinya dalam Islam diartikan sebagai asfek transendental dalam beribadah, sehingga tidak sekedar pemenuhan keluarga dan masyarakat tetapi untuk ibadah.

Secara teologi dan sosial  hakim diberi amanah untuk menjalani profesinya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah di samping untuk melangsungkan kehidupannya secara manusiawi, karena diakui atau tidak manusia hidup secara bersama dan di masyarakat adanya unsur yang menduduki tempat tertinggi dan sebaliknya. Karena itu adanya hubungan timbal balik sebagai sosial masyarakat. Secara tidak langsung di sini terletak nilai kepatutan sebagai seorang profsi hakim akan apa yang sebenarnya yang harus di lakukan. Karena putusan hakim akan dikatakan patut apabila menunjukan perbuatan yang tidak mengandung cacat bagi pengadilan melainkan sesuai dengan undang-undang. Maka nilai kepatutan ini akan terwujud apabila ada  nilai tanggung jawab yang dibarengi dengan kesadaran.

Pada hakekatnya tanggung jawab yang didasari kesadaran hukum adalah merupakan etika Islam yang dianjurkan. Karena etika menekankan keselamatan individu baik di dunia maupun diakhirat, sehingga adanya tanggung jawab sosial hakim terhadap hukum adalah merupakan untuk keselamatan individu. Maka disi jelas bahwa fungsi hakim adalah mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat adalah sebagai penegak keadilan dan ketertiban dalam masyarakat.

Sedangkan kewajiban dan larangan yang terdapat dalam kode etik adalah merupakan kumpulan nilai-nilai atau moralitas dalam profesi hakim dan etika religius dalam Islam yang harus dilaksanakan oleh profesi hakim, sebagaimana merupakan aplikasi nilai kode etik  yang sesuai dengan etika hukum Islam yang telah di bahas sebelumnya. Sehingga hakim patut untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.

Adanya komisi kehormatan adalah merupakan lembaga dari proses pertanggung jawaban hakim,  namun komisi kehormatan ini kurang berperan karena berada dalam lembaga sendiri tidak secara independen yang di khawatirkan terjadi konspirasi di antara hakim sendiri. Hal ini terlihat dengan masih banyaknya pelanggaran baik ringan, sedang dan berat yang di lakukan oleh hakim dalam melakukan profesinya serta pengabaian terhadap kode etik yang seharusnya menjadi pedoman. Komisi kehormatan ini sebenarnya merupakan perwujudan dari pertanggungjawaban di dunia, sebelum nanti seorang hakim harus mempertangjawabkan di akhirat.  

BAB V

PENUTUP

  1. A.    Kesimpulan

Dari uraian dan pembahasan tentang etika profesi hakim dalam perspektif hukum Islam (studi analisis terhadap kode etik profesi hakim Indonesia) dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

  1. Kode etik profesi hakim mengandung nilai nilai moral yang menjadi landasan kepribadian hakim secara professional yaitu: pertama, kebebasan artinya  sebagai manusia mempunyai kebebasan baik kemandirian moral maupun keberanian moral yang dibatasi norma-norma yang berlaku. Kedua, keadilan, yaitu memperlakukan sama terhadap manusia dengan memberikan apa yang menjadi haknya. Ketiga, kejujuran yaitu dalam penegakan hukum harus dilandasi sifat kejujuran dalam hati nurani dan kebenaran akal (ratio) dari mulai pemeriksaan perkara, pencarian hukum sampai pada pemutusan perkara secara patut (equity) dengan melihat situasi, apa yang seharusnya diperbuat berdasarkan undang-undang yang mengandung keadilan dan kebenaran di masyarakat.
  2. Etika profesi hakim dan hukum adalah merupakan satu kesatuan yang secara inheren terdapat nilai-nilai etika Islam yang landasannya merupakan pemahaman dari al-Qur’an, sehingga pada dasarnya Kode etik profesi hakim sejalan dengan nilai-nilai dalam sistem etika Islam. Etika hukum Islam dibangun di atas empat nilai dasar yaitu pertama, kebenaran yaitu adanya konsep kebenaran menjadikan manusia percaya untuk berbuat baik karena taat akan hubungan makhluk dan khaliq. kedua, keadilan yaitu adanya penyemarataan (Equalizing) dan kesamaan (leveling) hak dalam bidang hukum yang dibangun dengan konsep keadilan mutlak dan sempurna secara transendental antara hukum dan moralitas. Ketiga, kehendak bebas yaitu manusia walaupun dibatasai oleh norma-norma yang ada tetapi mempunyai kehendak bebas / kebebasan (free Will). Keempat., pertanggung jawaban yaitu sebagai tuntutan dari kehendak bebas yaitu adanya pertangungjawaban sebagai batasan dari apa yang diperbuat manusia dan harus dipertanggungjawabkan baik didunia maupun diakhirat. Terjadinya penyalahgunaan dan pengabaian terhadap kode etik profesi hakim diakibatkan rendahnya etika dan moralitas hakim. Sehingga tidak terlaksananya nilai-nilai kebenaran, keadilan, kehendak bebas dan pertanggungjawaban ssebagai profesi hakim.
  3. B.     Saran-saran

Dari kesimpulan diatas, menjadikan etika sebagai suatu persoalan yang sangat fundamental terhadap lemahnya integritas hakim baik dari sisi intelektualitas maupun kepribadiannya. Maka dari itu ada beberapa saran diantaranya   :

  1. Perlu dibentuknya lembaga independen diluar organisasi kehakiman untuk melakukan pengawasan secara internal terhadap hakim sebagai penindak pelanggaran terhadap profesi hakim baik dari mulai pemeriksaaan sampai pada keputusan.
  2. Memfungsikan kembali lembaga interen seperti komisi kehormatan untuk lebih berperan sebagai pengontrol intern lembaga IKAHI, diluar lembaga independent  yang punya wewenang khusus. 
  3. Penanaman nilai religiusitas dan kesadaran hukum akan nilai-nilai profesi sehingga dalam gerak langkahnya selalu akan tersirat kehadiran tuhan yang nantinya akan meminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.
  4. Perlu adanya penelitian lanjutan dalam dataran praktis, karena penelitian ini lebih difokuskan pada pencarian nilai-nilai serta analisisnya pada dataran normatif-fhilisofis. Sehingga penelitian lapangan tersebut akan lebih bisa menganalisis fakta-fakta yang terjadi dilapangan secara akurat.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. A.    Al-Qur’an

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, Lubuk Agung, 1985.

  1. B.     Hadis

Al-Asqolani, Al-Hafizh  Bin Hajar Bulu>qul Ma>ram,  Semarang : Toha Putra, tt

Naisaburi, Imam Abi al-Husaini Muslim Bin al-Hujaj Ibn Muslim al-Qusairy an-, al-Jami’ as-Shahih, Bairut: Dar al-Fikr, tt.

—-, Sahih Muslim, Ttp.: al-Qana’ah, t.t.

Sajsatani, Abi Dawud Sulaiman bin al-‘asy’as as-, Sunan Abi Dawud, Bairut: Dar al-Fikr, 1414/1994.

  1. C.    Fikih dan Ushul Fiqih  

Azizy, A. Qodri, Eklektisisme Hukum  Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam dan Umum, cet. ke-1, Yogyakarta: Gama Media, 2003.

Djamil, Faturrahman, Filsafat Hukum Islam, cet. ke-1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.

Musrifah, Atiyah al-Qada> fi al-Isla>m,Ttp : Syarkat al-Ausaq, 1996.

Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam, dan Pemikiran Orientalis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, alih bahasa Yudian Wahyudi Asmin, Yogyakarta: Tiara Wacana: 1991.

Madkur, Muhammad Salam,  Al-Qada> Fil Isla>m, Ttp : tt.

 

Praja, S Juhaya, Filsafat Hukum Islam, Bandung : Universitas Islam Bandung, 1995

 

Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, cet. ke-27, Bandung : Sinar Baru, 1994.

Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi Ash-, Peradilan dan Hukum Acara Islam, cet. ke-1,Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.

  1. D.    Kelompok Buku-buku Lain

Abdullah, Amin, “Kajian Ilmu Kalam di IAIN Menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman pada Era Milenium Ketiga”, Jurnal Al-Jamiah, No. 60/VI/2000.

——-, Filsafat Etika Islam, alih bahasa Hamzah, cet. ke-1, Bandung: Mizan, 2002.

Adji, Oemar Seno, Etika Profesional dan Hukum : Profesi Advokat, cet. ke-1, Jakarta: Erlangga, 1991.

Asy’ari, Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur’an (Yogyakarta : LESFI, 1992.

Ar-ruhaily, Ruway ‘I,  Fiqih Umar II,Jakarta : Daar-AlGharbi Al Islami, Beirut.

Azizy, Qodri, Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik-Modern, cet. ke-1 Jakart: Teraju, 2003.

Ali, A. Mukti, Etika Agama Islam dalam Pembentukan Kepribadian Nasional dalam Pemberantasan Kemaksiatan dari Segi Agama Islam, Yogyakarta: Nida, 1991.

A’la,, Abd, Melampaui Diaolog Agama, Qamaruddin SF, (ed.), cet. ke-1, Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2002.

Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Ahlak), alih bahasa Farid Ma’ruf, cet. ke-8,   Jakarta: Bulan Bintang, 1995.

Amril M., “Studi Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani (w.+ 1108 M),” disertasi  IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001.

Arif, Mahmud, “Konsep Pendidikan Moral al-Mawardi,” laporan penelitian, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000.

Abdurrahman, dan Soejono, Metode Penelitian Hukum, cet. ke-3, Jakarta : Rineka Cipta, , 2003.

 

Arifin, Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : Gema Insani Press, 1996.

 

A. Mustofa,  Akhlak Tasauf,  cet. ke-1, Bandung : Pustaka Setia, 1997.

 

Arto, H.A. Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, cet. ke-3,  Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000.

 

Bakri, Asafri Jaya Konsep Syari’ah Menurut Syatibi, cet. ke-1, Jakarta : Raja Grapindo Persada, 1996.

 

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Analisis Evaluasi Tentang Kode Etik Advokat dan Konsultan Hukum, Jakarta: 1997.

Bisri, Cik Hasan, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung : Rosda Karya, 1997.

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta : Gramedia 1996.

 

CT.Onions (ed) The Shorter Oxford English DictionaryLondon  : Clarendon Press Oxford, 1944.

Engineer, Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, alih bahasa Agung Prihantoro, cet. ke-2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Ensiklopedia Indonesia,Jakarta : Gramedia 1983.

Fakhry, Majid, Etika Dalam Islam, alih bahasa Zakiyuddin Baidhawi, cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Fauroni, R. Lukman, Etika Bisnis dalam Al-Qur’an,” tesis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001.

Fauroni, R. Lukman, dan Muhammad, Visi al-Qur’an Tentang Etika dan Bisnis,  cet. ke-1, Jakarta : Salemba Diniyah, 2002.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1987.

Huda, Miftahul, “Dimensi Etis Pesan-pesan al-Quran: Sebuah Telaah Filsafat,” tesis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1996.

Harahap, M.Yahya,  Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, cet. ke-1, Jakarta : Pustaka Kartini : 1993.

 

Hanafi , Ahmad., Pengantar Theologi Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.

 

Hadi, Hardono, Jati Diri Manusia Berdasarkan Filsafat Organisasi Whitehead, Yogyakarta : Kanisius, 1966.

Izutsu, Toshihiko, Konsep-konsep Etika Religius dalam Qur’an, alih bahasa Agus Fahri Husein dkk, cet. ke-1, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993.

———-,Etika Beragama Dalam Islam, cet. ke-1  Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993.

Idhamy, Dahlan, Karakteristik Hukum Islam,cet. ke-1,  Surabaya : al-Ikhlas, 1994.

K. Bertens, Etika, cet. ke-2 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 278-279.

Kuhn, Daryl, Landasan Etika Profesi, alih bahasa Agus M. Hardjana, cet. ke-4, Yogyakarta : Kanisius 2002.

Lubis, Suhrowardi K., Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1994.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-2, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990.

Mardjono, Hartono, Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesiaan: Proses Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik, dan Lembaga Negara, cet. ke-1 Bandung: Mizan, 1997.

Mukti, Takbir Ali, dkk, Membangun Moralitas Bangsa, Yogyakarta : Lembaga Penelitian Dan Pengamalan Islam Universitas Muhamadiyah Yogyakarta,1998.

Mawardi, Imam, Hukum Tata Negara Dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, cet. ke-1,  Jakarta : Gema Insani Press,Tahun 2000.

 

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992.

——–, Etika Profesi Hukum, cet. ke-1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.

Muhadjir, Noeng, “Postpositifisme Realisme Metafisik” dalam M. Amin Abdullah, dkk (Ed.), Antologi Studi Islam, Teori & Metodolog, cet. ke-1, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000.

M. Wahyudi, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kebebasan hakim : Study analisis pasal 1 ayat (1) dan pasal  14 ayat (1) UU. Nomor 35 tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman, Skripsi tidak di terbitkan, Yogyakarta : IAIN Sunan kalijaga, 2000.

Mulano, Martias gelar Imam Radjo, Pembahasan Hukum: Penjelasan Istilah-istilah Hukum Belanda-Indonesia, cet. ke-1, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Muslehuddin, Muhammad, , Filsaafat Hukum Islam dan pemikiran orientalis Studi Perbandingan, (penerj.) Yudian Wahyudi Amin, cet. ke-3, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997.

 

Nurdin , Muslim,  Moral Dan Kognisi Islam, cet. ke-1, Bandung : Alfa Beta, 1993.

Nasir, Salihun A,  Tinjauan Akhlak, cet. ke-1, Surabaya : al-Ikhlas, 1991.

Quasem, M. Abdul,  Etika Al-Ghazali Etika Majemuk Di Dalam Islam, cet. ke-1, Bandung : Pustaka, 1988.

Rafiqoh, “Etika Menurut Fazlur Rahman,”skripsi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999.

Rasjidi, Lili, dkk, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Cet. ke-9, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004.

Rodlin, Muhammad, Etika Profesi :Telaah Pendekatan Filsafat Moral, skripsi tidak di terbitkan, Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 1998, hlm.61.

 

Ritonga, A.Rahman, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, cet. ke-1, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve.

Rahman, Fazlur, Islam, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad, cet. ke-1, Bandung: Pustaka, 1984.

—-, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlurrahman, Taufiq Adnan Amal (peny.), Bandung: Mizan, 1992.

Sidiktono, dkk, Ibadah dan Akhlak Dalam Islam, (ed.) Ainur Rahim Faqih dan Amir Muallim, cet. ke-1, Yogyakarta : UII Press, 1998

Siregar, Bismar, Hukum Hakim Dan Keadilan Tuhan, cet. ke-1 Jakarta : Gema Insani Press, 1995

 

Setiardja, A. Gunawan, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta : Kanisius, 1990.

 

Salam, Burhanuddin, Etika Sosial, Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia,Cet. ke-1, Jakarta: Aneka Rineka Cipta, 1997.

 

Shidarta, dan Darji Darmodiharjo dan Pokok-Pokok Filsafat Hukum, cet. ke-4, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002.

 

Suparman  , Etika Religius Abu Hasan Al-mawardi,(364 atau 974-450atau1058 kajian kitab Adab wa addin,Disertasi doctor tidak diterbitkan, Yogyakarta : IAIN Sunan kalijaga, 2001

Said, H. Muh., Etika Masyarakat Indonesia, Jakarta: Pradya Paramita, 1980.

Sumaryono, E., Etika Profesi: Norma-norma Bagi Penegak Hukum, cet. ke-1, Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Syarifuddin, Amir, (ed.) Abdul Halim, Meretas Kebekuan Ijtihad, cet. ke-1, (Jakarta : Ciputat Press, 2002.

Suseno, Frans Magnis dkk. (peny.), Etika Sosial, Jakarta: APTIK-Gramedia, 1989.

—-, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Syukur, Syarifuddin, Aspek Etika Dalam Islam, Suatu Kajian Terhadap Pemikiran Etika Muhammad Iqbal,” tesis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1993.

Utomo, Priyo, Etika Dan Profesi, Jakarta : Gramedia, cet. ke-1, 1992.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman beserta penjelasannya, Bandung : Karina, 2004.

Undang-undang  Nomor  8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

Undang-undang  No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.

 

Undang-undang Nomor  7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

 

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Tata Usaha Negara.

 

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.

 

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Azasi Manusia.

 

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung beserta penjelasannya.Bandung : Karina, 2004.

 

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya.

Wisnubroto, Aloysius, Hakim Dan Peradilan Di Indonesia, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, cet. ke-1, 1997.

Yahya, Muhtar, dan Faturrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, cet. ke-1, Bandung : Ma’arif .

Zakiyah, Wasingatu, dkk, Menyikap Tabir Mafia Peradilan, Jakarta : Indonesia Corruption Watch, cet. ke-1, 2002.

  1. E.     Majalah, Surat Kabar, Makalah, dan Homepage

Standar Disiplin Profesi Hukum, http/www.hukumonline.com, akses 8 Desember 2003.

Kedaulatan Rakyat, Konsistensi Arah Penegakkan Hukum Di Indonesia, Rabu 17 Desember 2003.

Kompas, Etika Profesi Kunci Pas Penegakkan Hukum, 29 Mei 2002.

Muqoddas, Busyro, “Etika Profesi: Fungsi dan Prospek”, makalah Karya Latihan Hukum (Kartikum) XV yang diselenggarakan oleh Laboratorium Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1997.

Terjemahan

 

BAB I

HLM

FNT

TERJEMAHAN

 

 

5

 

 

12

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu ), apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat

 

15

 

42

Bila seorang hakimmemutuskan perkara setelah ia berijtihad, lalu putuskan sesuai ijtihadnya  itu, maka ijtihad ia mendapat dua pahala. Dan setelah ijtihd itu keliru maka ia  mendapat satu pahala

 

 

15

 

 

43

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili  antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang berbuat salah) karena (membela) orang-orang yang berkhianat.

 

15

 

44

……..dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

15

45

Tindakan Imam terhadap rakyatnya harus dihubungkan dengan kemaslahatan.

BAB II

20

7

..maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia…

20

8

Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebarlah kamu di muka bumi ….

 

21

 

10

Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu……

 

21

 

11

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka.

 

 

22

 

 

12

Bila seorang hakim memutuskan perkara setelah ia berijtihad, lalu ia  putuskan sesuai dengan hasilijtihadnya itu, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila setelah berijtihad itu ternyata keliru, maka mendapat satu pahala.

22

13

Maka sesuatu Fardhu yang dikokohkan dan suatu tradisi yang harus diikuti.

27

27

Maka tidak akan bahagia orang-orang yang menguasakan perkaranya kepada kaum wanita.

29

32

Jika datang dua orang yang minta diadili kepadamu, maka janganlah kamu adili dahulu yang pertam, sehingga kamu dengar dahulu yang lainnya, siapa tahu kamu besok kamu akan mengerti, bagaimana kamu harus mengadili . Ali berkata : “sesudah itu aku tidak henti-hentinya mengadili (menjadi hakim)”.

BAB III

 

 

 

63

 

 

 

19

Hakim itu terbagi tiga, satu di surga dan dua di neraka. Pertama, hakim yang berada di surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran, kemudian memutuskan perkara dengan benar. Kedua,hakim yang mengetahui kebenaran tetapi menyimpang dari kebenaran, dan hakim memutuskan perkara tetapi tidak mengetahui hukumnya, maka akan masuk neraka.

 

66

 

25

Apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat

66

26

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berbuat adil dan kebajikan, memberi kepada kaum kerabat……

67

28

…….Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan secara dengan adil……

 

67

 

29

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah …..

69

36

Hai orang-orang yang beriman, ruk’ulah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu dapat kemenangan.

 

70

 

37

Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebaikan……..

70

39

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…….

 

72

 

41

Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa yang memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya…

72

43

Apakah manusia mengira, bahwa akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban) ?.

 

73

 

45

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik…

 

73

 

46

Barangsiapa mengerjakan amal saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba(Nya).

73

47

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat…

74

48

Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan.

 

74

 

49

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.…

BAB IV

 

 

76

 

 

2

Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . kemudian kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.

78

7

Untuk mencapai kebahagiaan hidup dan mempertahankannya.

79

8

Mengambil maslahah sekaligus mencegah kerusakan.

82

12

Dan jika ada golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.

82

13

Tidak boleh hakim memutuskan perkara antara orang yang bersengketa, sedang dia waktu sedang marah.

83

14

Pemberi suap dan penerima suapa maka akan berakibat hukum

 

 

83

 

 

15

Perdamaian antara orang-orang muslim itu boleh, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Dan orang-orang muslim terikat dengan perdamaian yang dibuatnya kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.

 

84

 

16

……apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat

84

18

…..Sesungguhnya Allah tidak melihat jiwa dan hartamu tetapi Allah melihat kepada ketakwaan dan perbuatan.

86

21

…dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

86

23

….sedangkan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah.

88

28

Hakim yang adil besok akan dipanggil dihari kiamat, sehingga akan menemui bagaimana hebatnya peradilan Allah …….

 

88

 

29

Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebahagiann yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh.

 

89

 

30

Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa yang memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya….

90

31

Apakah manusia mengira, bahwa akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban) ?.

         

 

 


                [1] Priyo Utomo, Etika Dan Profesi, cet. ke-1 (Jakarta : Gramedia, 1992), hlm.1.

 

                [2] Semua masing-masing mempunyai tugas yang saling tergantung dan saling melengkapi seperti hakim, yang memutuskan perkara. Jaksa, duduk sebagai wakil dari kepentingan umum sebagai penuntut. Pengacara, sebagai wakil rakyat yang terkena tuduhan dan polisi yang melakukan pemeriksaan atau penyilidikan yang akan dicantumkan dalam BAP sebelum kepengadilan.

 

                [3] Hakim adalah sebuah gelar yang mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang tinggi nilainya, Dalam literatur Islam istilah hakim sering disebut dan digunakan untuk filosof.  lihat Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta : Gramedia 1983), hlm.1208.  

 

                [4] Sebuah lembaga independent yang berkedudukan di Hongkong   yang memantau tingkat resiko investasi di Negara-negara Asia. Lihat,Wasingatu Zakiyah,dkk, Menyingkap Tabir mafia Peradilan, cet. ke-1 (Jakarta : ICW, 2002), hlm.9.

 

                [5]  Berdasarkan laporan Transparansi Internasional (T I) yang setiap tahunnya menerbitkan hasil survei Corruption Perseption Indek sejak tahun 1998 sampai sekarang. lihat Wasingatu Zakiyah dkk, Menyingkap Tabir., hlm.11.

               

                [6] Indonesia Corruption Watch (ICW), lahir pada tanggal 21 Juni 1998di tengah-tengah gerakan reformasi yang menghendaki pemerintahan i yang menghendaki pemerintahan ebas dari KKN, lihat  Wasingatu Zakiyah dkk, Menyikap Tabir., hlm.245.

 

                [7] Mafia peradilan adalah konspirasi-konspirasi di pengadilan untuk memenangkan salah satu pihak tertentu dan sebutan bagi pihak-pihak yang mengambil keuntungan pribadi dari sistem hukum yang ada di pengadilan.

 

                [8] Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), hlm.8.

                 

                [9] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum,:Norma-norma bagi Penegak Hukum cet. ke-1 (Yogyakarta Kanisius, 1995), hlm.31.

 

                [10] Undang – undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28 ayat (1).

 

                [11] Bismar Siregar, Hukum Hakim Dan Keadilan Tuhan, cet. ke-1 (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm.18.

 

                                                                [12]An nisa> (4) : 58.

  

                [13] Al Wisnubroto, Hakim Dan Peradilan Di Indonesia,cet. ke-1 (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1997), hlm.65.

 

                [14] Pada setiap putusan hakim selalu diawali dengan  kata ” Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

 

                [15] Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman R I, Analisis  Evaluasi Tentang Kode Etik Advokat dan Konsultan Hukum, (Jakarta : 1997),hlm 18. Lihat K.Bertens,  Etika, cet.ke-2 , (Jakarta : Gramamedia Pustaka Utama, 1994), hlm.148.

 

                [16] Kesesuaian sifat dan sikap yang harus dijungjung tinggi oleh hakim sebagaimana tercantum dalam sila, pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kedua : Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, dan kelima : Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

 

                [17]  Kompas,Etika Profesi Kunci Pas Penegakan Hukum,29 Mei 2002.

 

                [18] K.Bertens, Etika., hlm.279.

 

                [19] Takdir Ali Mukti dkk, Membangun Moralitas Bangsa, cet. ke-1 (Yogyakarta : Lembaga Penelitian dan Pengamalan Islam Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, 1998), hlm.64.

 

                [20] Kode Kehormatan yang menjadi bahasan disini adalah kode etik hasil dari musyawarah nasional XIII IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) pada tahun 2001.

 

                [21] Nilai-nilai etika Islam disini adalah nilai etika yang mempunyai korelasi dengan nilai-nilai penegakkan hukum yang tidak hanya berbicara sebatas kesopanan saja melainkan pandangan hidup tentang baik atau buruk dan perintah atau larangan.

 

                [22] Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum, Profesi Advokat, cet I (Jakarta : Erlangga, 1991), hlm. 41.

                [23] Martias Gelar Imam Raharjo, Pembahasan Hukum : Penjelasan Istilah-istilah Hukum Belanda-Indonesia, cet I (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm.218

 

                [24] Suhrawardi K. Lubis, EtikaProfesi Hukum, hlm.28-37.

 

                [25] E. Sumaryono, Etika., hlm.21.

 

                [26]     Rofiqoh,”Etika Menurut Fazlur Rahman”, Skripsi tidak diterbitkan, (Yogyakarta : IAIN Sunan kalijaga, 1999), hlm. 82.

                [27] Muhammad Rodlin, “Etika Profesi” : Telaah Pendekatan Filsafat Moral, skripsi tidak di terbitkan, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 1998), hlm.61.

 

                [28] M Wahyudi, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kebebasan hakim” : Study analisis pasal 1 ayat (1) dan pasal  14 ayat (1) UU. Nomor 35 tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman, Skripsi tidak di terbitkan, (Yogyakarta : IAIN Sunan kalijaga, 2000), hlm.70.

 

                [29] Daryl Koehn, Landasan Etika Profesi, alih bahasa Agus M Hardjana, cet. ke-4, (Jakarta : Kanisius, 2002), hlm.27-71.

                [30] Majid fakhry, Etika Dalam Islam, alih bahasa Zakiyuddin Baidawi, cet. ke-1, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm.xv.

 

                [31] Namun demikian adapula yang memandang etika dan moral mempunyai makna yang sama, karena yang membedakan adalah bahasa. Dan etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang mempunyai pengertian adat istiadat,kebiasan sikap,cara berfikir,dll. Sebaliknya moral dari bahasa latin yang berarti kebiasaan,adat. Lihat  K. Bertens, Etika (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1999) , hlm.4-6.

 

                [32] Dikutip oleh Suparman , “Etika Religius Abu Hasan Al-mawardi,(364 atau 974-450atau1058 kajian kitab Adab wa addin”, Disertasi doctor tidak diterbitkan, (Yogyakarta : IAIN Sunan kalijaga, 2001),hlm.33.

 

                [33]  Ahmad Amin, Etika,  (Jakarta : Bulan Bintang, 1991), hlm.3.

 

                [34] K. Bertens., hlm.33

[35] Noeng Muhadjir, “Postpositifisme Realisme Metafisik” dalam M. Amin Abdullah, dkk (Ed.), Antologi Studi Islam, Teori & Metodolog, cet. ke-1 (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), hlm. 166. Noeng Muhadjir, Filsafat ilmu, Positifisme, Postpositifisme, dan Postmodernisme, Edisi II, (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), hlm. 138.

 

[36] Ibid.,

 

                [37]  Menurut K. Bertens, Etika., hlm.6.

 

                [38]  Franz Magnis Suseno dkk, Etika Sosial, cet. ke-3, (Jakarta : Gramedia Pustaka, 1993), hlm.89.

 

                [39] Pembagian ini mengikuti pendapat Majid Fahkry,dalam bukunya Etika Islam., hlm.xxi – xxiv.  

                [40] Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia ( Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hlm.56.

 

                [41] E. Sumaryono, Etika., hlm.115.

                [42]  Ima>m Abi>  Husain Muslim Bin al-Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi> Annisaburi>, Kitab Ja>mi’ I As}ah}ih}, Bab Baya>nu Ajrul Ha>kim Iz|a> ajtahidu fa as}oba au akhtou , (Bairut : Dar al-Fikr, tt),  juz 5, hlm.131.

 

                [43]  An- Nisaa (4) : 105.

[44] Al-Maidah (5) : 2.

                [45]  Muhtar Yahya dan Faturrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, cet. ke-1, ( Bandung : Ma’arif ), hlm. 527.

                [46] Dahlan Idhamy, Karakteristik Hukum Islam,cet. ke-1, (Surabaya : al-Ikhlas, 1994), hlm.20.

 

                [47] Penelitian ini adalah di tentukan oleh tujuan penelitian yang berangkat dari fakta dengan interpretasi atau analisis yang tepat dan akurat yang kemudian dikembangkan dari hasil analisis. Lihat : Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, cet. ke-3, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), hlm.20-21.

                [48] Content analisis (analisa isi) adalah teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan kerakteristik pesan dan dilakukan secara obyektif dan sistematis. lihat. Lexy J.Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-15 (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2001), hlm.163.

                [49] Muhammad Salam  Madkur, Al-Qad}a> Fil Isla>m, (Ttp : tt) hlm.11.

 

                [50] Tengku Muhammad Hasbi Ash S{idiqi, Peradilan Dan Hukum Acara Islam cet. ke-1, Semarang : PT Pustaka Rizki Putera, 1997), hlm.39.

 

                [51]  Muhammad Salam  Madkur, Al-Qad}a> Fil Isla>m., hlm.11.

 

                [52] Mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.lihat Undang-undang  Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 (1)

 

                [53] Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. lihat Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman beserta penjelasannya, Pasal 28 Ayat (1)

 

                [54] Tengku Muhammad Hasbi ash Shidiqi, Peradilan., hlm.33-34.

 

                7 Al-Ahza>b (33) : 37.

               

                [56] Al-Jumu>’ah (62) : 10.

 

                [57] Sebagai salah satu  dasar atas terbentuknya lembaga Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi dan  lembaga peradilan di bawahnya.

  

                [58]  S}a>d (38) : 26.

 

                [59] Al-Ma>’idah (5) : 49.

                [60] Ima>m Abi>  Husain Muslim Bin al-Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi> Annisaburi>, Kitab Ja>mi’ I As}ah}ih}, Bab Baya>nu Ajrul Ha>kim Iz|a> ajtahidu fa as}oba au akhtou , (Bairut : Dar al-Fikr, tt),  juz 5, hlm.131. dan lihat juga Al-Hafizh  Bin Hajar al-Asqolani, Bulu>bul Ma>ram, Kitab al-Qod}o, Hadis} nomor 4(Semarang : Toha Putra, tt), hlm.315.

  

                [61] Tengku Muhammad Hasbi ash Shidiqi, Peradilan., hlm.37.

 

                [62]  Muhammad Salam  Madkur, Al-Qad}a> Fil Isla>m, (Ttp : tt) hlm.29.

 

                [63] Ibid.,hal.30-32

                [64]  Undang-undang  No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum Pasal 14 Ayat  ( 1 ) dan Ketentuan tersebut dipakai di secara umum di lingkungan peradilan tingkat pertama sampai Mahkamah Agung, tetapi ada persyaratan khusus atau persyaratan lain yang ditentukan oleh masing–masing  undang-undang di tingkat peradilan masing.

                [65] Undang-undang Nomor  7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 13 Ayat (1). Dan lihat juga Pasal Pasal 14 Ayat (1) Butir (a-c).

 

                [66]  Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Tata Usaha Negara Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 15 Ayat (1) Butir (a-c).

 

                [67] Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, Pasal 18 Butir (d dan e), Pasal 19 Butir (d),serta Pasal 20 Butir (d-e).

                [68] Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Azasi Manusia, Pasal 29 Butir (3, 4 dan 8).

 

                [69] Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 beserta penjelasannya Tentang Mahkamah Agung, Pasal 7 ayat (1) Butir (a dan F) dan Ayat (2) Butir (b) dan (c).

 

                [70] Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 16 ayat (1) Butir (c-f), dan lihat juga kewengan Mahkamah Konstitusi  yang bersifat final dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 12 ayat (1) Butir     (a-d) dan Ayat (2), serta  Pasal 22.

 

                [71]  M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, cet. ke-1, (Jakarta : Pustaka Kartini : 1993), hlm. 112.

 

                [72] Imam Mawardi, Hukum Tata Negara Dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, cet. ke-1,  (Jakarta : Gema Insani Press,Tahun 2000),hlm. 142-143.

 

                [73]    Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, cet. ke-27, ( Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1994), hlm.487.

 

                [74]  M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, cet. ke-1, (Jakarta : Pustaka Kartini : 1993), hlm.35-43.

 

                [75] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, cet. ke-27, (Bandung : Sinar Baru, 1994), hlm.487.  Dan lihat terjemahan Bulu>bul Ma>ram, Kitab al-Qod}o, Hadis} nomor 10 (Semarang : Toha Putra, tt), hlm.717.   

                [76] Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 30 Ayat (2).

                [77]  Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung : Rosda Karya , 1997), hlm. 104.

 

                [78] Undang-undang Nomor  4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 16 Ayat (1) dan lihat  Undang-undang Nomor  7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama Pasal 56 ayat (1)

 

                [79] Undang-undang Nomor  4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28 Ayat (1)   

 

                [80]  Al-Hafizh  Bin Hajar al-Asqolani, Bulu>bul Ma>ram, Kitab al-Qod}o, Hadis} nomor 6 (Semarang : Toha Putra, tt), hlm.316.    

 

                [81]  H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, cet. ke-3, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 37.

                [82]  Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), hlm.37.

 

                [83]  Undang-undang Nomor 07 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 56 Ayat (1).

 

                [84]  Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara.,.hlm.38.

[85] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta : Gramedia 1996), hlm. 217.

                [86] A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), hlm.91.

 

                [87] A.Rahman Ritonga, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, cet. ke-1, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve), hlm.90-91.

[88] K. Bertens, Etika., hlm. 5.

[89] H. Muh. Said, Etika Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradya Paramita, 1980), hlm. 23-24.

[90] Frans Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 16.  

            [91] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, cet. ke-1, (Yogyakarta : Kanisius, 1995), hlm. 51.

[92] K. Bertens, Etika, hlm. 6.

                [93] CT.Onions (ed) The Shorter Oxford English Dictionary (London  : Clarendon Press Oxford, 1944), hlm. 1680.

[94] K. Bertens, Etika, hlm. 278.

[95] Dikutip oleh Badan Pembangunan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Analisis., hlm.9

[96] Burhanuddin Salam, Etika Sosial, Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia,Cet. ke-1, (Jakarta: Aneka Rineka Cipta, 1997), hlm. 143-144.

                [97] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, cet. ke-4, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002),hlm. 319.

                [98]  Bab I Pasal  2 Butir ( 1-4).

 

                [99] Bab II Pasal  3 ayat (1-5).

 

                [100] Bab III Pasal  6 Butir (a-b).

 

                [101] Bab III Pasal  8 ayat (1)  butir (a-c)

 

                [102] Bab III Pasal  9 ayat (1-3)

                [103] Bab III Pasal 9 Ayat (1-3).

[104] Dikutip dari Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, cet. ke-2, (Bandung : Citra Aditya bakti, 2001),hlm. 62-64.

                [105] Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 Ayat (1) dan (2).

 

                [106] Ibid.., Pasal 37.

 

                [107] Ibid.., Pasal  9.

                [108] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, cet. ke-6, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.288-291.

 

                [109] Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok .., Pasal  25 Ayat  (1).

                [110]  E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum., hlm.115-118.       

 

[111] Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum., hlm. 115-116.

 

[112] Ibid., hlm. 116.

 

[113] Ibid..,hlm. 118-119.

 

                [114] I bid.., hlm.122.

 

                [115]  Ibid.., hlm. 123-124.

 

[116] Ibid..,hlm. 125.

                [117] Ruway ‘I ar-ruhaily, Fiqih Umar II, (Jakarta : Daar-AlGharbi Al Islami, Beirut). hlm.114.

[118] Sumaryono, Etika Profesi Hukum., hlm. 131-132.

                [119] Salihun A Nasir, Tinjauan Akhlak, cet. ke-1, (Surabaya : al-Ikhlas, 1991), hlm.14.

 

[120] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), alih bahasa Farid Ma’ruf, cet. ke-8,   (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 3. lebih jauh pada hlm. 5, beliau menjelaskan bahwa pokok persoalan yang dapat diniali “baik dan buruk” adalah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dan sengaja, dan ia mengetahui waktu melakukannya.

 

                [121] A. Mustofa,  Akhlak Tasauf,  cet. ke-1, (Bandung : Pustaka Setia, 1997), hlm.149.

 

                [122] Sidiktono, dkk, ed. Ainur Rahim Faqih dan Amir Muallim, Ibadah dan Akhlak Dalam Islam, cet. ke-1, (Yogyakarta : UII Press, 1998), hlm. 89.

 

                [123] Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. xv-xvi.

 

                [124] M. Abdul Quasem, Etika Al-Ghazali Etika Majemuk Di Dalam Islam, cet. ke-1, (Bandung : Pustaka, 1988), hlm.10.

 

                [125]  Majid Fakhry, Etika Dalam Islam.,hlm. xv.

[126] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlurrahman, Taufiq Adnan Amal (peny.) (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 66.

                [127] Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, alih bahasa Zakiyuddin Baidawi, cet. ke-1 (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm. xxi-xxiii

[128] Ibid., hlm. 68.

[129] Majid Fakhry, Etika dalam Islam., hlm. xxi – xxiii.

[130] Amril M., “Studi Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani (w.+ 1108 M),“disertasi  IAIN Sunan Kalijaga, (2001), hlm. 25-27.

                [131]  Sidik Tono, dkk, ed. Ainur Rahim Faqih dan Amir Muallim, Ibadah dan Akhlak Dalam Islam, cet. ke-1, (Yogyakarta : UII Press, 1998), hlm.133-134.

 

                [132] Muhammad Muslehuddin, penerj. Yudian Wahyudi Amin, Filsaafat Hukum Islam dan pemikiran orientalis Studi Perbandingan, cet. ke-3, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997). hlm. 70.

 

                [133] Ibid., hlm. 70.

 

[134] Frans Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 15-16.

 

                [135] Sidiktono, dkk, ed. Ainur Rahim Faqih dan Amir Muallim, Ibadah., hlm. 138.

 

                [136] Sementara itu yang dimaksud dengan bekerja dengan wawasan ukhrawi adalah dalam melaksanakan sebuah profesi seorang muslim harus merasakan semua akibat  diakhirat nanti. Oleh karena itu seorang muslim tidak boleh Melakukan kecurangan dan tindakan yang dilarang atau diharamkan dalam menyelesaikan sebuah kerja inilah salah satu kelebihan yang dimiliki oleh Islam. Ibid. hlm. 139.

 

                [137] Al-Hafizh  Bin Hajar al-Asqolani, Bulu>bul Ma>ram, Kitab al-Qod}o, Hadis} nomor 1(Semarang : Toha Putra, tt), hlm.315.

 

[138] M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, alih bahasa Hamzah, cet. ke-1, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 202-205.

[139] A. Hanafi mengemukakan bahwa tauhid adalah percaya tentang wujud Tuhan yang esa, yang tidak ada sekutu bagiNya, baik zat, zifat maupun perbuatanNya. Lihat A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), hlm. 12.

                [140] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, cet ke-3 (Jakarta : Bulan Bintang, 1970),hlm.27-30.

                [141] Muhammad dkk, Visi al-Qur’an Tentang Etika Dan Bisnis,cet. ke-1, (Jakarta : Salemba Diniyah, 2002), hlm.12.

 

[142] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, alih bahasa Agung Prihantoro, cet. ke-2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 59.

 

                [143]  An- Nisa> (4) : 58.

 

                [144] An-Nahl (16) : 90.

 

[145] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan., hlm. 60.

 

                [146] Al-An’am (6) : 152.

 

                [147] An-Nisa> (4) : 135.

 

[148] Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam, dan Pemikiran Orientalis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, alih bahasa Yudian Wahyudi Asmin (Yogyakarta: Tiara Wacana: 1991), hlm. 81.

                [149] Abd A’la, Melampaui Diaolog Agama, ed. Qamaruddin SF, cet. ke-1, (Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2002), hlm. 159.

 

                [150] Muslim Nurdin, Moral Dan Kognisi Islam, cet. ke-1, (Bandung : Alfa Beta, 1993), hlm.266.

 

[151] Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam., hlm. 83. Dalam hal ini Qodri Azizy mengungkapkan bahwa jika ada pertentangan antara maslahah ‘ammah (kepentingan publik) dengan maslahah khassah (kemaslahatan pribadi) maka harus didahulukan yang pertama. Lihat Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik-Modern, cet. ke-1 (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 122-125. 

                [152] Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Islam, cet. ke-1 ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993 ), hlm. 148.

 

                [153] Muhammad dkk, Visi al-Qur’an Tentang Etika Dan Bisnis,cet. ke-1 (Jakarta : Salemba Diniyah, 2002), hlm. 20-21.

 

                [154] Al-Hajj (22) : 77.

                [155] Al-Imra>n (3) : 114.

 

                [156] Muhammad dkk, Visi Al-Qur’an Tentang Etika Dan Bisnis,cet. ke-1, (Jakarta : Salemba Diniyah, 2002), hlm.15.

 

                [157] Al-Maidah (5) : 1.

[158]   Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam, dan Pemikiran Orientalis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, alih bahasa Yudian Wahyudi Asmin (Yogyakarta: Tiara Wacana: 1991), hlm. 36.

[159] An-Nisa> (4) : 85.

[160] R. Lukman Fauroni, “Etika Bisnis dalam al-Qur’an,”tesis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2001), hlm. 125.

                [161] Al-Qiya>mah (75) : 36.

[162] Miftahul Huda, “Dimensi Etis Pesan-pesan al-Quran: Sebuah Telaah Filsafat,“Tesis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1996), hlm. 119-121.

[163] An-Nah}l (16) : 97

[164] As-Sajadah (41) : 46

[165] Al-Baqara>h (2) : 256

[166] Al-Ma>’idah  (5) : 61.

[167] Az-Zalzala>h (99): 7-8.

[168] Miftahul Huda, “Dimensi.,”hlm. 122.

                [169] Hardono Hadi, Jati Diri Manusia Berdasarkan Filsafat Organisasi Whitehead, (Yogyakarta : Kanisius, 1966), hlm. 32.

 

                [170] Qs. at Ti>n (95) : 4-6.

 

                [171] Musa Asy’ari,  Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur’an (Yogyakarta : LESFI, 1992), hlm. 89.

 

                [172] Ibid., hlm. 90.

                [173]  Pasal 1 Ayat (1-2), Kode Etik Profesi Hakim Indonesia.

 

                6. Pasal 2  Ayat (1-4) Kode Etik Profesi Hakim Indonesia

 

                [175] Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : Universitas Islam Bandung, 1995), hlm.100.

 

                [176]  Ibid.,

 

                [177]   Perlindungan disini adalah perlindungan hukum terhadap masyarakat (yang lemah) karena dalam Undang-undang semua hak warga negara adalah sama. Lihat Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Nomor 4 Tahun 2004, Pasal (37) mengatakan ” Setiap orang yang tersdangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”.

 

                [178] Pasal 4 Ayat (1-5) Kode Etik Profesi Hakim Indonesia.

 

                [179]  Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasan Kehakiman, Pasal 5 Ayat (2).

 

[180] Al-Hujura>t (49): 9.

 

                [181]  Al-Hafizh  Bin Hajar al-Asqolani, Bulu>bul Ma>ram, Kitab al-Qod}o, Hadis} nomor 5(Semarang : Toha Putra, tt), hlm.315.

 

                [182] Al-Hafizh  Bin Hajar al-Asqolani, Bulu>bul Mara>m Bab al-Qod}o, Hadis} nomor 12(Semarang : Toha Putra, tt), hlm.317.    

 

[183] Abi Dawud Sulaiman bin al-‘asy’as as-Sajsatani, Sunan Abi Dawud, “Bab as-Sulhu,Kitab al-Aqdiyah,“(Bairut: Dar al-Fikr, 1414atau1994), juz 3, hlm. 295-296, hadis nomor 3594 dari Abu Hurairah.

 

                [184]  An- Nisa> (4) : 58.

 

                [185] Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet. ke-1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.73. lihat juga Undang-undang  Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 Ayat (1) menyatakan : Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

 

                [186]  Ima>m Abi>  Husain Muslim Bin al-Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi> Annisaburi>, Kitab Ja>mi’ I As}ah}ih}, Bab Tahrimi D}olmi Muslim Wakhiz\luhu Waikhtiqo>ruhu wadimmuhu Wai’rduhu Wama>luh, (Bairut : Dar al-Fikr, tt),  juz 7, hlm.11.

 

                [187] Ibid., Pasal 25 Ayat (1) Menyatakan : Segala putusan pengadian selain harus memuat alasan dan dasar putusan, memuat pula pasal tertentu dari eraturan perundang-undangan yang bersangkutan  atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

 

                [188] Keterkaitan tugas ini karena antara hakim dan pegawai lainnya merupakan rangkaian proses peradilan dari mulai pendaftaran perkara sampai pada eksekusi., maka dengan itu mereka disumpah dan janji. Lihat. Undang-undang Nomor 4 ., menyatakan sebelum memangku jabatan hakim, panitera, juru sita untukmsing-masing lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah dan janji menurut agamanya.

 

[189] Al-Ma>’idah (5) : 2

 

                [190]  Tingkatan pengambilan dalil pada masa sahabat seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khatab yaitu al-Quran, as-Sunnah, dan penetapan-penetapan sahabat lainnya dan apabila tidak ada  maka melakukan musyawarah. Lihat Atiyah Musrifah, al-Qada> fi al-Isla>m, (Ttp : Syarkat al-Ausaq, 1996), hlm. 105.

 

                [191] Asy-Syu>ra (42) : 38.

 

[192] Busyro Muqoddas, “Etika Profesi: fungsi dan Prospek”, makalah Karya Latihan Hukum (Kartikum) XV yang diselenggarakan oleh Laboratorium Fakultas Hukum UII Yogyakarta, 1997, hlm. 3.

 

                [193] Pasal 2 Ayat (1) butir (a) dan (b), Kode Etik Profesi Hakim.

 

                [194] Pasal 4 Ayat (1-4), Kode Etik Profesi Hakim Tentang hubungan sesama rekan Menyatakan ” Memelihara dan memupuk kerjasama antara sesama rekan, memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa, dan saling menghargai antara sesama rekan memiliki kesadaran kesetiaan, penghargaan terhadap korp hakim secara wajar dan menjaga nama baik dan martabat rekan, baik dalam kedinasan maupun diluar kedinasan.

 

                [195] Al-Hafizh  Bin Hajar al-Asqolani, Bulu>bul Mara>m, Kitab al-Qod}o, Hadis} nomor 9 (Semarang : Toha Putra, tt), hlm.316.    

 

                [196]  As-S}a>d (38) : 24

                [197] Asafri Jaya Bakri, Konsep Syari’ah Menurut Syatibi, cet. ke-1(Jakarta : Raja Grapindo Persada, 1996), hlm. 94.

 

[198] An-Nisa> (4) : 85.

 

                [199] Al-Qiya>mah (50) : 36.

 

                [200] Kesadaran lahir dari pengetahuan  yang kemudian diperkuat oleh perilaku yang dilakukan secara terus menerus. Karena itu upaya merubah suatu kesadaran akan dapat berhasil bila diawali dengan suatu pengetahuan atau wawasan yang baru. Karena kesadaran adalah keinsyafan dan kadaan mengerti sedangkan hukum peraturan yang mengikat yang diteteapkan pemerintah atau yang mengatur pergaulan dalam masyarakat atau kaidah atau patokan mengenai peristiwa. lihat. Meretas kebekuan Ijtihad., hlm. 247.

 

                [201]  Muhammad Muslehuddin, penerj. Yudian Wahyudi Amin, Filsaafat Hukum Islam dan pemikiran orientalis Studi Perbandingan, cet. ke-3, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997). hlm. 70.

 

DISKURSUS PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA (STUDI PEMIKIRAN M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA)

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

      Gagasan tentang relasi Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia meskipun telah diperdebatkan beberapa tahun yang lalu, dan  mengalami fluctuative discourse dalam percaturan politik di Indonesia, akan tetapi wacana ini selalu survive pada momen-momen tertentu. Hampir bisa dipastikan ketegangan dan perdebatan ini muncul menjelang pemilu karena momen ini merupakan kesempatan besar bagi semua golongan yang ingin memperjuangkan aspirasi politiknya, baik itu yang berideologikan nasionalis, maupun Islam.

      Sejak pancasila dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada tahun 1945 oleh Soekarno, pancasila menjadi bagian perdebatan politik yang tak terelakan oleh Politikus dan Agamawan, khususnya Islam.[1] Pada tahun 1950-1955 melahirkan sistem multipartai, ini merupakan kesempatan besar bagi Partai Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai asas Negara, akan tetapi apa yang dicita-citakannya masih belum bisa dicapai sampai sekarang. Hal yang sama terjadi pada 1999 tahun lalu yang menggunakan sistem multipartai dan lagi-lagi Islam belum cukup kuat untuk meletakkan ideologi Islam sebagai dasar negara.  Berhubung partai politik merupakan salah satu alat untuk mewujudkan cita-cita gagasan, tidak menutup kemungkinan bahwa pemilu 2004 yang akan datang juga muncul polemik sistem negara apalagi Islam formalis masih berada di ujung kekakalahan.

      Sebelumnya pada tahun 1978-1985 telah terjadi ideologisasi pancasila yang diinstruksikan oleh Soeharto, dan kemudian menimbulkan perdebatan yang luar biasa di kalangan tokoh dan gerakan ideologi Islam. Insiden politik semacam itu sempat terulang kembali pada  tahun 1990 di negeri ini, yakni mengenai perdebatan ideologi. Sebenarnya sumber perdebatan itu adalah relasi Islam dan negara,[2]  khususnya mengenai sistem negara  apa yang akan dipakai untuk membangun Indonesia, apakah berasaskan Islam atau sekuler ?     

      Penelitian ini mengambil judul “Diskursus Pemikiran Politik Islam di Indonesia (Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid[3] tentang Relasi Islam dan Negara),” penyusun lebih memfokuskan pada dua tokoh ini yang tentunya telah banyak mewarnai wacana perdebatan Islam dan Negara sepanjang lahirnya kemerdekaan bangsa Indonesia sampai saat ini.

      Menurut Munawir Sjadzali ada tiga kategori dalam memandang hubungan Islam dan negara di kalangan tokoh Islam. Pertama, aliran konservatif tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Dan yang Ketiga, aliran nasionalis sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.[4]

      Dari ketiga aliran tersebut, M. Natsir dan Gus Dur memang masuk dalam kategori aliran integratif modernis yang sebenarnya dalam klasifikasinya Munawir Sjadzali merupakan terma dari modernis, dalam hal ini penyusun lebih suka memposisikan M. Natsir sebagai tokoh modernis, sedangkan Gus Dur sebagai tokoh neo-modernis (meminjam istilahGreg Barton), ini karena pemikirannya yang liberal dan rasional tentang isu kontemporer (baik itu politik, budaya dan agama) dengan tetap  setia pada posisi konservatif-tradisional bahwa kejujuran dan kebenaran al-Qur’an tidak perlu diganggu gugat.[5]   

      Kedua tokoh ini menarik untuk dikaji. Pertama, secara umum keduanya masuk dalam kategori aliran yang sama yaitu integratif modernis tetapi beda pendapat mengenai relasi Islam dan negara, khususnya azas negara, apalagi  kelompok (background) yang diwakilinya sangat kontradiktif dengan gagasan dan prilaku politik tokoh tersebut, Gus Dur yang dibesarkan dalam lingkungan kaum tradisionalis,[6] yaitu NU yang nota bene orientasi politiknya berkiblat pada ulama klasik seperti Al-Mawardi dan Al-Ghazali ternyata mampu mengapresiasikan pemikiran liberal yang cenderung ala Ali Abd al-Raziq,[7] sedangkan M. Natsir yang dibesarkan dalam lingkungan modernis justru lebih akrab dengan pemikiran politik Islam fundamentalis seperti al-Maududi yang sangat menginginkan Islam dijadikan sebuah dasar negarakarena menurut M. Natsir sendiri meniru sistem pemerintahan Barat adalah tindakan sekuler yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.[8]

      Kedua, wacana ini selalu aktual di Indonesia apalagi ketika mendekati pemilu. Dan tentunya gagasan kedua tokoh tersebut juga masih banyak mempengaruhi wacana perdebatan Islam dan negara di Indonesia. Setidaknya kedua alasan inilah yang menyebabkan penelitian ini dilakukan.

      M. Natsir menawarkan Islam sebagai azas negara bukanlah aksi pembangkangan negara (makar), akan tetapi lebih pada penghidupan demokrasi. Oleh sebab itu dalam pidatonya pada sidang pleno konstituante (12 November 1957) ia menghendaki negara Indonesia ini berazaskan ideologi  Islam. “Negara demokrasi berdasarkan Islam”.[9] Keinginannya ini Bukan semata-mata karena Islam agama mayoritas di Indonesia melainkan ajaran Islam mengenai ketatanegaraan dan kehidupan bermasyarakat itu mempunyai sifat yang sempurna dalam menjamin kerukunan beragama dan bernegara.[10]

      Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, M. Natsir berpendapat boleh meniru pemerintahan Barat asalkan tidak melanggar nilai-nilai dasar Islam. Karena baginya  Islam memang tidak mempunyai sistem ketatanegaraan yang sempurna.[11] Ini menarik untuk dicermati satu sisi M. Natsir terbuka untuk memakai sistem apa yang akan dipakai di Indonesia sisi lain dia bersikeras memperjuangkan Islam sebagai azas ideologi negara.[12]

      Sedangkan menurut Gus Dur apabila politik, budaya dan agama diideologikan fungsinya bisa terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik melainkan konflik horizontal.[13] Hal yang senada diungkapkan oleh Cak Nur bahwa Islam bukanlah sebuah ideologi, sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan menyamakan agama itu setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.[14]

      Dalam memandang relasi Islam dan negara, masalah ketatanegaraan merupakan hal yang tak bisa ditinggalkan, sebab faktor inilah yang kemudian seringkali memunculkan perdebatan antara kelompok muslim idealis dan realis di negara kita. Adanya “Sistem Kekhalifahan” di masa Rasulullah S.A.W. dan Sahabat membuat sebagian masyarakat muslim dunia semakin menyakini bahwa jauh sebelum sistem demokrasi muncul, sebenarnya Islam telah mempunyai sistem Tata Negara sendiri.

      Dalam perspektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama>‘ah pemerintahan dinilai dari segi fungsionalnya  bukan pada formalitas bentuknya, apakah negara Islam atau bukan. Disamping itu, menurut Gus Dur Islam tidak mempunyai konsep pemerintahan yang definitif, misalnya tentang suksesi kepemimpinan terkadang memakai istikhla>f, bay‘ah, dan ahl al-H{alli wa al-Aqdi (sistem formatur). Hal ini menunjukkan Islam inkonsisten dan tidak mempunyai konsep yang baku.[15]

      Atas dasar pemikiran inilah, Gus Dur menerima ideologi pancasila sebagai azas negara, dan yang terpenting baginya adalah umat Islam bisa melaksanakan kehidupan beragama secara penuh dan tetap berpegang pada etika sosial (social ethic).

      Berbeda dengan M. Natsir yang menolak secara tegas ideologi pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Tetapi bukan berarti jalannya pemerintahan terlepas dan terpisah dari keagamaan begitu saja karena baginya Islam sendiri tidak asing dengan nilai-nilai demokrasi dan kemajemukan. Menurut penyusun “posisi Gus Dur yang menempatkan pancasila sebagai pra-syarat demokratisasi dan pembangunan keIslaman yang sehat di Indonesia nampaknya harus dilihat dari perspektif neo-modernisme.”[16]

        Integrasi antara kemajemukan, demokrasi, Islam dan nasionalisme inilah yang secara intelektual politis melatarbelakangi keikutsertaan Islam dalam diskursus politik dan ideologi negara di Indonesia selama ini.

  1. B.     Pokok Masalah.

      Dari uraian di atas dipaparkan bahwa ada persamaan dan perbedaan pemikiran di antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai hubungan Islam dan negara, keduanya sama-sama menjunjung nilai demokrasi tetapi berbeda dalam gagasan dan prilaku politiknya Hal ini bisa disebabkan latar belakang sosiohistoris yang berbeda. Oleh sebab itu perlu penyusun tegaskan bahwa fokus dari permasalahan ini yaitu:

  1. Bagaimanakah pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai relasi Islam dan negara?
  1. Mengapa kedua tokoh itu mengajukan tesis yang berbeda?
  2. Apa implikasi tesis mereka terhadap pemikiran politik Islam di Indonesia?

      Tiga pokok masalah di atas diharapkan dapat mewakili (cover) dari beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Di samping itu juga berguna untuk memperjelas arah penelitian yang dimaksud.

  1. C.    Tujuan dan Kegunaan.

      Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam bidang Perbandingan Madzhab Dan Hukum di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu juga ada tujuan yang lain yaitu:

1. Untuk mendapatkan penjelasan (explanation) yang lebih tajam tentang karakteristik pemikiran antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai wacana Islam dan negara, khususnya azas negara Indonesia.

2. Mengidentifikasi asal-usul gagasan kedua tokoh tersebut dalam perspektif perbandingan, baik itu latar belakang sosial, pendidikan dan politik.

3. Mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai implikasi kedua gagasan tersebut dalam konteks perkembangan Islam dan politik Indonesia saat ini.

Adapun dari penulisan ini diharapkan dapat diambil beberapa manfaat atau kegunaan, di antaranya:

  1. Dapat diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap karakteristik pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mengkaji azas negara (Pancasila).
  2. Bisa dijadikan salah satu sumber diskusi dalam mengkaji relasi Islam dan negara di Indonesia, khususnya dalam perspektif Islam modernis dan neo-modernis.
  3. Sebagai prediksi, sejauh mana implikasi kedua pemikiran itu dalam perubahan dan perkembangan politik Islam di Indonesia saat ini.
  4. D.    Telaah Pustaka.

      M. Natsir dan Gus Dur adalah tokoh pemikir dan sekaligus seorang politikus yang sangat dikenal oleh masyarakat luas, meskipun keduanya hidup pada masa yang berlainan, namun gagasannya selalu aktual bahkan sering dijadikan rujukan dalam diskusi dan aksi politik.

      Penelitian ini mempunyai Dua variabel. Pertama, mengenai diskursus pemikiran politik Islam di Indonesia. Kedua, pemikiran M. Natsir dan Gus Dur mengenai Relasi Islam dan Negara di Indonesia. Banyak buku atau karya ilmiah yang membahas M. Natsir dan Gus Dur, baik itu biografi, prilaku politik maupun gagasannya. Akan tetapi pembahasan itu sering kali tidak dilakukan secara bersamaan hanya difokuskan pada satu tokoh saja kalau memang ada yang mengkaji perbandingan itu juga tidak membahas M. Natsir dan Gus Dur sekaligus. Karena penulisan ini meliputi dua variabel di atas, maka penyusun merasa perlu menelaah buku-buku yang berkaitan dengan variabel tersebut.

      Dalam tesisnya A. Syafi’i Maarif yang dibukukan dengan judul Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Karya ini meneliti tentang relasi Islam dan politik yang kemudian menggambarkan prilaku partai-partai Islam dalam menghadapi kebijakan politik Soekarno saat itu, khususnya partai Masyumi yang dibubarkannya. Di sini penyusun sempat membahas M. Natsir namun tidak lengkap karena lebih memfokuskan pada gerakan partai politiknya.

      Disamping itu, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at Islami (Pakistan) karya Yusril Ihza Mahendra, buku ini lebih menitik beratkan pada partai-partai di atas meskipun ada tokoh yang dilibatkan seperti M. Natsir dan Maududi sebagai representasi dari modernisme dan fundamentalisme akan tetapi kedua tokoh itu tidak menjadi fokus  kajiannya karena lebih pada partai tempat tokoh ini berpolitik.

      Bahtiar Effendy dalam bukunya Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (1998) yang menjelaskan relasi Islam dan negara di Indonesia. Dengan kesimpulan bahwa buku ini hanya menyoroti keterwakilan kaum muslim secara proporsional dalam lembaga-lembaga negara dan dipertahankannya komitmen bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler. Di samping itu penulis juga menyinggung sedikit polemik M. Natsir dengan Soekarno mengenai azas negara.

      Sedangkan Ahmad Suhelmi dalam bukunya Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler (1999) juga mengkaji pemikiran kenegaraan dalam perspektif M. Natsir, khususnya pandangan M. Natsir vis-a-vis Soekarno. Buku ini lebih melihat sosok pemikir M. Natsir dibanding Natsir yang mewakili tokoh modernisme Islam.

      Sementara itu, Buku politics in Indonesia: Democracy, Islam and Ideology of Tolerance yang ditulis Douglas E. Ramage membahas Islam dan demokrasi, khususnya mengenai ideologi pancasila dalam relevansinya dengan persoalan dekonfensionalisasi politik Islam di Indonesia. Buku ini merupakan hasil penelitian yang banyak didasarkan pada wawancara personal untuk melihat pola pemikirannya Abdurrrahman Wahid dalam mengakaji pancasila sebagai asas negara.

      Skrpisi yang dibukukan dengan judul Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi. Karya Umaruddin Masdar, berusaha melacak pola pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mempertemukan Islam dan demokrasi. Dalam hal ini  penulis lebih memfokuskan pada konsep demokrasi dengan menggunakan teori politik sunni sebagai rujukan utama untuk meneliti gagasan kedua tokoh tersebut.

      Sedangkan buku Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais yang disunting oleh Arief Affandi merupakan buku yang lebih menyoroti tentang strategi perjuangan kedua tokoh tersebut dalam menyikapi gerakan demokratisasi di Indonesia.

      Dan yang terakhir tesis yang berjudul Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Negara karya Ma’mun Murod al-Brebesy, tesis ini telah dibukukan dengan fokus kajian membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai relasi Islam dan negara, civil society dan demokratisasi.     

      Selain buku-buku di atas penyusun juga menelaah karya asli dari kedua tokoh tersebut yang banyak berupa tulisan lepas dan artikel media.

E. Kerangka Teoretis.

      Lahirnya kemerdekaan Indonesia membuat para tokoh nasional, baik paham nasionalis, sekuler maupun Islam untuk berfikir serius dalam meletakan dasar filosofis negara, terlepas itu perjuangan atau kepentingan golongan yang jelas Indonesia saat itu memerlukan konsep dasar negara yang kuat sehingga terjamin kemaslahatannya dan terhindar dari segala kemudlaratan .

      Lebih lanjut, karena penelitian ini mengkaji masalah Islam dan negara maka penyusun mengkategorikannya dalam perspektif Fiqih as-Siyya>syah atau Siyya>syah as-Syar‘iyyah. Menurut Abdul Wahab Khallaf definisi Siyya>syah as-Syar‘iyyahialah wewenang seorang penguasa atau pemimpin dalam mengatur kepentingan umum demi terciptanya kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan.[17] Dengan demikian siapapun yang ingin membangun pemerintahan yang baik harus berlandaskan pada Mas}lah}ah al-Mursalah  (kepentingan umum).

      Menurut Imam Malik Mas}lah}ah al-Mursalah itu merupakan salah satu dari epistimologi syari’ah. Dengan syarat bahwa: 1) kepentingan umum itu bukanlah suatu hal yang berkaitan dengan ibadat (transeden). 2) kepentingan umum itu selaras dan tidak bertentangan dengan nilai dasar Syari‘ah (Al-qur’an dan Sunnah).3) kemaslahatan umum itu haruslah merupakan kepentingan esensial yang sangat diperlukan.[18]

      Setidaknya kepentingan esensial yang diperlukan di atas sejalan dengan dirumuskannya lima tujuan syari’ah meskipun tidak tercover secara Ka>ffah, lima tujuan tersebut yaitu: memelihara kemaslahatan agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta dan kehormatan.[19]

      Objek kajian fiqih siyasahatau Siya>syah as-Syari‘yyah menurut Abdul Wahab Khallaf adalah membuat peraturan dan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk mengurus negara sesuai dengan dasar ajaran agama yang bertujuan merealisasikan kemaslahatan manusia untuk kebutuhan mereka.[20] Dengan demikian secara garis besar bahasan Fiqih as-Siya>syah meliputi tiga aspek utama di  antaranya: 1) Peraturan dan Perundang-Undangan Negara sebagai pedoman dan landasaan idiil dalam mewujudkan kemaslahatan umat. 2) Pengorganisasian untuk mewujudkan kemaslahatan. 3) Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai negara.[21]

      Untuk mengkaji pemikiran politik Islam memang tidak lepas dari Fiqih as-Siya>syah dan hukum Islam. Hukum Islam dibagi menjadi dua yaitu hukum yang bersifat Qat}‘i (Syari’ah) dan yang bersifat Z}anni (fiqih), karena politik seringkali mengalami perubahan sesuai dengan situasi maka penyusun memasukkanya dalam kategori fiqih. Dimana fiqih siyasah mempunyai dimensi yang sangat luas dalam mengimplementasikan kehidupan bernegara seperti menjamin kemaslahatan, keadilan dan kestabilan.[22]

      Dengan demikian al-Mas}lahah al-Mursalah menempati posisi yang sangat penting dalam mengkaji diskursus relasi Islam dan negara, lebih khusus lagi dalam menentukan sistem dasar ketatanegaraan. Apakah berideologikan Islam atau sekuler? Karena yang terpenting bukanlah formalitas bentuk pemerintahan tetapi esensi nilai dasar al-Qur’an dan Sunnah tetap berjalan (tidak kontradiktif),[23] sehingga terciptalah kemaslahatan umum sesuai dengan kebutuhan zaman.

      Dalam diskursus pemikiran politik Islam dewasa ini, penyusun meminjam istilah Munawir Sjadzali dalam mengkategorikan aliran yang concern terhadap relasi Islam dan negara, meskipun berbeda dalam menggunakan terma aliran ini akan tetapi substansinya sama. Ada tiga aliran dalam hal ini. Pertama, aliran konservatif tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara karena menurutnya Islam adalah ad-Din wa ad-Daulah, tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh aliran ini ialah Muhammad Abduh dan Muhammad Husein Haikal. Ketiga, aliran nasionalis sekuler, yang mengatakan Islam tidak ada hubungannya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.[24]

      Dalam paragraf ini penyusun mencoba memaparkan beberapa tokoh politik sunni kontemporer sebagai landasan teoritis penelitian ini, diantaranya Jamaluddin al-Afghani, Abdul Raziq dan Fazlur Rahman.[25] Tokoh-tokoh ini dikaji guna membidik kerangka teoritis pemikiran M. Natsir dan Gus Dur.

      Jamaluddin al-Afghani, [26] Pemikiran politiknya besifat reaktif terhadap kondisi kemunduran umat Islam saat itu, dengan menganjurkan pembentukan Jam‘iyah Isla>miyah yang biasa disebut Pan-Islamisme,[27] ikatan ini didasarkan pada akidah Islam yang bertujuan 1) menentang sistem pemerintahan yang despotik (sewenang-wenang) dan diganti dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam, 2) menentang kolonialisme atas dominasi barat.[28]

      Dalam perjalanan politiknya ia selalu memunculkan gagasan revolusioner, seperti pembentukan pemerintah dan dewan melalui partisipasi rakyat, selain itu dia juga menganjurkan kepada rakyat untuk merebut kebebasan dan kemerdekaannya melalui revolusi kalau perlu dengan pertumpahan darah.[29] Hal inilah yang sering kali mengakibatkan pengusiran atas dirinya dari negara yang ia kunjungi.[30]  Oleh sebab itu Afghani lebih cocok diposisikan sebagai tokoh aktivis dan agitator politik daripada pemikir politik.

      Ali Abdul Raziq,[31] menurutnya nabi Muhammad hanyalah seorang utusan Allah yang ditugaskan syiar agama Islam, untuk itu tidak ada maksud dalam misinya mendirikan sebuah negara Islam (Khilafah).[32] Dia sama seperti nabi-nabi sebelumnya bukan nabi atau pendiri negara yang diutus mendirikan kerajaan dalam arti politik, lebih lanjut ia menolak adanya keharusan sistem khilafah dalam pengertian pemimpin negara, karena menurutnya tidak ada ayat ataupun hadis yang bisa dijadikan dasar kuat untuk mendirikan khilafah. al-Raziq memang mengakui perlunya pemerintahan untuk mengatur negara tapi bukan berarti harus bentuk khilafah boleh konstitusional, diktator, republik atau totaliter.[33] 

      Meskipun ia mengakui Ijma‘ sebagai H{ujjah Syar‘iyyah akan tetapi dalam hal ini ia tidak mengakuinya sebagai ijma’ yang shahih, alasannya sejak sistem khilafah dibentuk sampai sekarang selalu saja ada pihak oposisi yang tidak setuju dan seringkali menimbulkan bencana bagi Islam dan umatnya, terkecuali Abu Bakar, Umar dan Usman.[34]

      Fazlur Rahman,[35] pada hakikatnya Pemikiran politik Rahman didasarkan pada konsepsi al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, menurut Rahman, umat merupakan suatu “penengah” sehingga menjadi saksi terhadap umat manusia. Umat Islam diharapkan mampu menengahi antara sikap kekakuan ideologi komunisme dan kapitalisme atau sikap ekstrem yang lain.[36] “Tugas umat adalah menciptakan ketertiban di muka bumi di mana tata tertib itu merupakan sosiopolitis yang harus ditegakkan atas dasar etika yang sah dan viable.[37] Sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an.[38]

 

كنتم خير أمـﺔ أخرجت للنـاس تأمرون بالمعروف وتـنهون عن المنكروتؤمنون بالله ولوأمن أهل الكـتاب لكان خيرالهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقـون !  (ال عمران: ١١۰)

 

الذين أخرجوامن ديارهم بغـيرحق إلاان يقولواربنـاالله ولودفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجديذكرفيهااسم الله كثيـراولينصرن الله من ينصره إن الله لقوى عزيز! (الحج:٤٠)

 

      Lebih lanjut, menurut Rahman Istilah syura yang merupakan nilai dasar al-Qur’an bisa dikembangkan menjadi sebuah institusi yang efektif dan permanen seperti halnya di Barat, akan tetapi apabila secara formal institusional proses dan bentuk demokrasi ‘ala Barat itu tetap sejalan dengan orientasi nilai dasar Islam maka sistem ini bisa diterapkan di dunia Islam.[39]

      Rahman memang liberal dan radikal dalam gagasannya, menurut hemat penyusun sikap ini muncul sebagai respon terhadap tantangan modernitas yang tak terelakan. Rahman dikenal sebagai pemikir kontemporer yang menggagas aliran neo-modernisme Islam. Dikatakan demikian karena pemikirannya yang selalu berusaha menemukan titik temu antara kaum Islam modernis dengan kaum Islam tradisionalis, bagi Rahman meskipun modernisme memberikan sumbangan positif pada era kebangkitan Islam tetapi tetap memperlihatkan kelemahan dan kekurangan tertentu.[40] 

      Demikianlah sepintas gambaran mengenai tokoh-tokoh Islam kontempoer yang nantinya diharapkan banyak membantu penyusun dalam membuat kerangka teoritis, menurut penyusun tidak ada seorang tokohpun yang bisa dibidik Pemikirannya menganut satu paham tokoh sebelumnya karena dalam kenyataannya banyak tokoh yang mengadopsi suatu paham tertentu untuk masalah tertentu dan paham lain untuk masalah yang lain pula.

      Hal yang sama terjadi pada M. Natsir dan Gus Dur, sekilas pemikiran Natsir tampak maududian akan tetapi banyak juga diwarnai paham Abduhis.

F. Metode Penelitian.

      Dalam sub bab ini perlu penyusun paparkan tentang metode penelitian yang digunakan. Antara lain meliputi jenis penelitian, sifat penelitian, tehnik pengumpulan data, pendekatan-pendekatannyadan analisa data.

  1. Jenis penelitian.

      Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yang mana lebih mengutamakan bahan perpustakaan sebagai sumber utamanya. Karena ini studi tokoh maka ada dua metode pokok untuk memperoleh pemikiran tokoh tersebut. Pertama, penelitian pikiran dan keyakinan kedua tokoh tersebut. Kedua, penelitian tentang biografinya sejak dari permulaan sampai akhir pemikiran politiknya.[41]

  1. Sifat Penelitian.

      Studi yang merupakan penelitian pustaka ini lebih bersifat deskriptif-analisis dan komparatif. Yang dimaksud dengan deskriptif adalah menggambarkan karakteristik dan fenomena yang terdapat dalam masyarakat atau literatur. Dengan kata lain karakter dan fenomena yang dikaji dalam penelitian ini ialah karakter dari kedua tokoh tersebut dan fenomena yang mempengaruhi pemikiran mereka. Adapun analisis disini adalah analisis dalam pengertian historis, yakni meneliti akar sejarah yang melatarbelakangi gagasan mereka, dalam hal ini penyusun lebih memfokuskan pada dua aliran pemikiran Islam kontemporer yakni modernis dan neo-modernis yang penyusun anggap sebagai representasi dari kedua tokoh tersebut.

Sedangkan komparatif berarti membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut dalam proses penelitiannya, supaya mendapatkan letak persamaan dan perbedaan yang tepat.

  1. Tehnik Pengumpulan Data.

        Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua macam yaitu: data primer dan data sekunder. Karya-karya asli dari kedua tokoh tersebut baik buku, artikel dan kumpulan tulisan yang dibukukan dianggap sebagai data primer. Sedangkan karya yang mengkaji tentang gagasan kedua tokoh tersebut dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan kajian ini dimasukkan sebagai data sekunder.

  1. Pendekatan.

      Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif dan sosio-historis. Yang dimaksud pendekatan normatif ialah suatu pendekatan untuk menjelaskan masalah yang dikaji dengan norma atau hukum (fiqih) yang berlaku sebagai upaya penegasan. Hal ini penting untuk dilakukan karena diskursus Islam dan negara merupakan bagian dari kajian hukum Islam, khususnya fiqih siya>sah.

      Adapun pendekatan sosio-historis yaitupendekatan yang menyatakan bahwa setiap produk pemikiran itu merupakan hasil interaksi pemikir dengan lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya.[42] Berkaitan dengan penelitian ini sudah barang tentu sosial politik dan kultur yang melatarbelakangi metode pemikiran M. Natsir dan Gus Dur akan dikaji sepanjang peristiwa tersebut mempengaruhi pemikiran mereka dalam masalah ini.

  1. Analisa Data

      Setelah data terkumpul penyusun akan menganalisa dengan metode kualitatif analisis deduksi dan komparasi. Deduksi yaitu metode yang berawal dari pengetahuan umum ditarik ke pengetahuan khusus.[43] Dalam hal ini analisa dari kedua tokoh tersebut tentang Islam dan negara di Indonesia, khususnya mengenai asas negara akan dipersempit dalam paradigma modernisme dan neo-modernisme Islam. Sementara komparasi dimaksudkan untuk membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut apakah terdapat persamaan dan perbedaan yang tajam dan signifikan di antara keduanya.[44]         

G. Sistematika Pembahasan.

            Dalam pembahasan ini penyusun membagi menjadi lima bab. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan yang terakhir sistematika pembahasan.

            Bab kedua melacak asal-usul dan tipologi relasi agama dan negara dalam sejarah politik Islam, yang tentunya berimplikasi terhadap pemikiran tokoh politik Islam Indonesia dalam mengkaji hubungan Islam dan negara di Indonesia. Selain  itu karakteristik pemikiran ini kemudian dibagi pada dua perspektif, yaitu modernisme dan neo-modernisme. Yang dalam pembahasannya  kedua perspektif tersebut akan dihadapkan pada dua tokoh yang dikaji.

               Bab ketiga memaparkan biografi M. Natsir dan Gus Dur. Penelaahan ini meliputi latar belakang sosial dan prilaku politik kedua tokoh tersebut dalam menggagas relasi Islam dan negara di Indonesia. Bab ini juga menyinggung sedikit cita-cita ideologi negara yang mereka perjuangkan sebagai repesentasi tokoh muslim yang peduli terhadap bangsa, di antaranya yang berkaitan dengan  Islam, demokrasi dan dasar negara.

               Bab keempat menganalisa pemikiran kedua tokoh tersebut tentang relasi Islam dan negara, khususnya tentang demokrasi dan ideologi pancasila,  yaitu dengan membandingkan gagasan kedua tokoh di atas,  apakah dalam penelitian ini terdapat persamaan dan perbedaan yang signifikan. Selain itu, bab ini juga berusaha menjelaskan implikasi gagasan kedua tokoh tersebut terhadap tokoh politisi muslim Indonesia dan pemikiran politik Islam generasi  saat ini.    

            Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan dimaksudkan untuk memperlihatkan letak signifikansi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, dengan memberikan konklusi pemikiran M. Natsir dan Gus Dur tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia, sedangkan saran-saran ditujukan bagi para penyusun atau peneliti yang akan mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan variabel skripsi ini lebih lanjut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

ASAL-USUL DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN

TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA

A. Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia.

Wacana tentang makna, penafsiran dan fungsi pancasila telah menjadi perdebatan sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia, setidaknya sejak bangsa ini merdeka, perdebatan ini selalu menjadi aktual di kalangan akademisi dan politisi Indonesia sampai saat ini. Apalagi didorong dengan lahirnya beberapa Partai Islam, permintaan diberlakukannya syariat Islam di Aceh (NAD), munculnya teroris-teroris yang  berkedok Islam, laskar serta organisasi yang bernafaskan Islam kanan, di antaranya Laskar Jihad, Hizbu Tahrer, Jaringan Islamiyah dan Front Pembela Islam (FPI). Selain itu yang paling jelas menjadi indikator perlunya kejelasan relasi Islam dan negara dalam kehidupan berbangsa terlihat pada menguatnya ide-ide pencantuman Syari‘at Isla>m dalam amandemen UUD 45 setiap ST MPR hasil pemilu 1999.[45]

      Hal ini juga sering terjadi dalam wacana politik Indonesia di penghujung tahun 1990-an yang juga sibuk memperdebatkan ideologi dan peristiwa-peristiwa politik yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, di antaranya mengenai hubungan Islam dan negara, peran ABRI dalam politik, dan bentuk demokrasi yang sesuai dengan negara ini.[46] Dalam skripsi ini penyusun menitikberatkan pada masalah yang pertama yaitu mengenai hubungan Islam dan negara.

      Untuk memperjelas tahap-tahap perjuangan umat Islam Indonesia dalam merespon perdebatan Islam dan negara. M. Rusli Karim membagi menjadi empat tahap. Tahap pertama, 1912 hinggga proklamasi kemerdekaan, tahap kedua 1945-1955, tahap ketiga, 1955-1965 dan tahap keempat 1965 sampai sekarang.[47] Akan tetapi dalam bab ini penyusun akan memfokuskan asal-usul lahirnya perdebatan Islam dan negara sepanjang sejarah perpolitikkan Indonesia secara global.   

      Perdebatan ini mulai aktual sejak dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai upaya persiapan kemerdekaan yang diharapkan,[48] dan telah disetujui oleh pemerintahan Jepang. Hal ini juga dinyatakan dalam pidato Perdana Menteri Kuniaki Koiso kepada Parlemen Jepang pada tahun 1944 yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam “waktu dekat”.[49]

      Akan tetapi kalau kita teliti lebih dalam bahwa persinggungan antara Islam dan negara di Nusantara ini sudah berlangsung lama sebelum Indonesia merdeka yakni di bawah tekanan kolonial Belanda dan Jepang, namun demikian untuk melacak isu tentang istilah negara Islam di Indonesia bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena sejauh ini yang diketahui hanyalah pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti Surjopronoto dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo yang telah mewacanakan suatu kekuasaan atau pemerintahan Islam di akhir tahun 1920-an.[50] Saat itu Surjopronoto menggunakan tema een Islamietsche regeering (Suatu Pemerintahan Islam) sementara Sukiman memakai istilah een eigen Islamietisch bestuur onder een eigen vlag (Suatu kekuassan Islam di bawah benderanya sendiri) semua ini digunakan untuk menciptakan kekuasaan Islam di Indonesia yang substansinya sebagai alat mencapai kemerdekaan.[51]

      Barangkali wacana dan teori tentang Negara Islam ini belum banyak ditulis secara terperinci oleh pemimpin Islam pada saat itu, sehingga dalam sidang BPUPKI pada 1945 wacana ini terkesan begitu aktual diperdebatkan karena secara resmi peristiwa ini muncul pertama kalinya dalam panggung politik Indonesia.

Anggota BPUPKI ini terdiri dari berbagai macam kelompok ideologi yang akhirnya mengalami kesulitan dalam mencari titik temu (Kalimah as-Sawa’) posisi masing-masing anggota tersebut, di antaranya. Pertama, mereka yang ingin menegakkan demokrasi konstitusional sekuler. Kedua, mereka yang menganjurkan negara integralistik, dan ketiga. Yang paling emosional dan konfrontasional adalah mereka yang menginginkan Islam dijadikan dasar negara.[52]

      Badan penyelidik ini mengadakan dua kali sidang, pada sidang pertama, dari 29 Mei – 2 Juni 1945 membahas masalah umum, dalam sidang ini  Soekarno membuat pidato yang sangat berpengaruh tentang dasar negara dan kemudian dikenal dengan Lahirnya Pancasila.[53] Sedangkan pada sidang kedua, 10-14 Juni 1945 membahas tentang isi konstitusi negara yang akan dibentuk.[54] Dalam kedua pembahasan sidang ini menimbulkan perdebatan keras di antara para anggota penyelidik terutama kalangan Islam yang diwakili Abdoel Kahar Moezakkir dengan cita-cita ideologi Islamnya dan kalangan nasionalis diwakili oleh Soekarno yang cenderung netral terhadap agama. Masalah yang sangat krusial dan mengundang perdebatan dalam sidang ini adalah  tentang “peletakkan dasar negara” sebab masalah ini berkaitan dengan integritas agama, budaya dan bangsa yang plural. Karena khawatir akan kegagalan Badan Penyelidik yang terus-menerus semakin memanas maka para anggota mengambil iniasiatif dengan membentuk panitia BPUPKI yang terdiri dari 9 orang.[55]

      Semula anggota BPUPKI ini berjumlah 62 orang, lalu ditambah enam orang yang kebanyakan berasal dari Jawa dan satu orang lagi dari Jepang yakniIchibangase yang menjabat sebagai ketua yunior dan anggota luar biasa, untuk mengamati secara lebih detail keanggotaan Badan Penyelidik ini maka penyusun paparkan pendapat Prawoto Mangkusasmito, dari 68 anggota BPUPKI, hanya 15 orang (+ 20%) yang menyuarakan aspirasi politik Islam yakni berasal dari nasionalisme-Islam, sedangkan 80 %-nya berasal dari kelompok nasionalis-sekuler.[56] Statistik ini menunjukkan betapa tidak seimbangnya representasi dari masing-masing kelompok itu.

      Di antara wakil dari kelompok Islam yaitu; K. H. Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Masykur, K.H. A. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosujoso, H. Agus Salim, Sukiman Wiryosanjoyo, K.H. A. Sanusi, dan K.H. Abdul Halim, sedangkan wakil dari kelompok nasionalis, antara lain, Rajiman Widiodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Prof. Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Soeroso, Dr. Buntaran Martoatmojo dan Muhammad Yamin, untuk Ketua dan wakil ketua BPUPKI dijabat oleh Rajiman Widiodiningrat dan R. P. Soeroso, ini menunjukkan bahwa kepemimpinan BPUPKI berada di tangan kelompok nasionalis. [57]

Akan tetapi karena banyaknya anggota Badan Penyelidik yang malah dikhawatirkan akan membawa kegagalan Badan Penyelidik itu sendiri (atas perdebatan yang semakin memanas) maka dibentuklah Panitia Kecil BPUPKI yang hanya terdiri dari 9 orang itu, yaitu: empat orang dari kalangan Islam (H. Agus salim, K.H. Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakkir) dan lima orang dari kalangan Naionalis (Soekarno, Mohammad Hatta, A. A. Maramis, Achmad Subarjo, dan M. Yamin).[58]

Dalam panitia ini, Islam politik mempunyai kepentingan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, sebab menurutnya yang paling banyak berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah kelompok Islam. Kepentingan tersebut menimbulkan reaksi keras dari kelompok nasionalis sekuler yang memang secara kuantitatif anggota mereka dalam badan ini merupakan mayoritas, sebagai jalan tengah akhirnya Jepang membentuk “Panitia Sembilan” di atas.

Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta yang rumusan sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari‘at Isla>m bagi pemeluk-pemeluknya”,[59] kesepakatan ini merupakan hasil perjuangan Islam politik dalam kepentingannya saat itu, akan tetapi umat Islam terpaksa harus kecewa karena dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata telah menghapuskan Piagam Jakarta tersebut.[60] Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang pertama dalam perjuangan politiknya.

Diterimanya pancasila sebagai asas dan ideologi negara merupakan puncak dari pertentangan dan sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok Islam yang harus berkompromi dengan kepentingan lain. Umat Islam yang sebelumnya memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara dalam mukadimah UUD 1945 harus mengalah dengan pancasila. Keinginan keras umat Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuang mayoritas kemerdekaan,  pancasila sendiri menyimpan dua faktor yang sangat debatable. Pertama, tentang kandungan pancasila itu sendiri. Kedua, tentang makna penting pancasila jika dibanding dengan agama.[61]

Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama yang mewajibkan umat Islam menjalankan Syari‘at Isla>m dirasakan oleh kawasan Timur Indonesia sebagai sikap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain.[62] Maka demi persatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik Islam  terpaksa menelan kekecewaan cita-cita politiknya pada 18 Agustus 1945 dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari pembukaan UUD 1945.

Peristiwa ini dikenal sebagai sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang merupakan pengganti dari BPUPKI yang telah dibubarkan. Jumlah anggota PPKI semula sebanyak 21 orang, kemudian atas usul Soekarno akhirnya ditambah menjadi 27 orang, dan yang menarik dicermati dari total jumlah ini ternyata hanya tiga anggota dari organisasi Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo.[63] Betapa ironisnya umat Islam sebagai mayoritas populasi dan penggerak melawan penjajah di negeri ini hanya diwakili oleh tiga anggota.

Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 bertujuan menetapkan UUD dan memilih presiden dan wakilnya, kebetulan presiden yang dipilih adalah ketua dan wakil PPKI saat itu yaitu Soekarno dan Hatta. Secara kultural Soekarno mewakili kultur Jawa sedangkan Hatta dari kultur Minang/Sumatera, terang saja latar belakang Hatta ini bisa dijadikan pelebur sikap keras Ki Bagus yang selalu bersekukuh mempertahankan rumusan Piagam Jakarta. Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi konsistensi Ki Bagus yang tetap bertahan dengan Piagam tersebut, maka melalui Hatta yang memanfaatkan Teuku Moehammad Hassan anggota PPKI dari Sumatera berhasil  melunakan sikap keras Ki Bagus dan dalam waktu 15 menit anak kalimat pada sila Ketuhanan itu diganti dengan Yang Maha Esa.[64]

Akar perdebatan ini tidak lepas dari letupan pertarungan ideologi saat itu, yaitu Nasionalis dan Islam.[65] Golongan nasionalis adalah kelompok yang berprinsip bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan negara) harus dipisahkan secara tegas dan proporsional, dengan keyakinan bahwa fungsi agama hanya mengurusi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kehidupan akhirat dan urusan pribadi saja, Sedangkan negara memang merupakan masalah politik yang berurusan dengan duniawi.[66] Sementara itu golongan Islam saat itu berprinsip bahwa agama (dalam hal ini Islam) tidak dapat dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena Islam menurut mereka tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga hubungan sesama manusia, lingkungan dan alam semesta.[67]

Indikasi pertarungan ideologi ini bisa dilihat sejak tahun 1920-1930-an dari kasus retaknya hubungan Sarekat Islam (SI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), kasus Jawi Hisworo, majalah Timboel, Swara Oemoem dan peristiwa itu perdebatan sengit antara tokoh Nasionalis-Muslim, seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan dan M. Natsir dengan tokoh-tokoh Nasionalis-sekuler yang diwakili Tjipto Mangunkusumo, Soekarno dan lain-lain, Polemik inilah yang kemudian berlanjut sampai sekarang. [68]

Di sisi lain, konsep “Piagam Madinah” dan praktek pemerintahan Islam pada zaman Rasulullah, sahabat dan komunitas muslim lainnya juga ikut   mempengaruhi lahirnya perdebatan Islam dan negara di Indonesia, sebab munculnya terma Piagam Jakarta di Indonesia sedikit banyak terinspirasi dari konsep Piagam Madinah yang pasti tidak bisa lepas dari persinggungan wacana politik Islam yang telah berlaku di bangsa Arab itu. Selain itu  praktik pemerintahan Negara Turki yang memisahkan negara dan agama juga ikut mewarnai perdebatan ini.[69]

Jadi, untuk memaparkan secara lebih jelas pemikiran politik tokoh Islam dan keterkaitan mereka dalam memperjuangkan negara berdasarkan Islam di Indonesia, perlu penyusun bahas secara singkat tentang teori-teori yang diajukan para intelektual muslim.

Secara umum pemikiran politik Muslim bisa diklasifikasikan menjadi tiga teori.[70] Pemikiran pertama berpendapat bahwa negara dan agama tidak harus dipisahkan, karena Islam merupakan agama yang integral dan komprehensif dalam mengatur kehidupan baik urusan duniawi maupun ukhrawi, oleh sebab itu menurut pandangan ini konstitusi negara harus didasarkan pada Islam. Tokoh teori ini antara lain , Abu A’la Maududi[71] (1903-1979) dari Pakistan yang memimpin Jamiy‘ah al-Isla>m, Sayyid Qutb[72] (1906-1966) dan para ideolog lain Ikhwan al-Muslimin[73] dari Mesir. Baik Jam‘iyah al-Isla>m  maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan Fundamentalis di Iran, Pakistan dan Saudi Arabia, hal ini bisa dilihat dari jargon politiknya bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan Negara) tidak bisa dipisahkan.[74] Pandangan komprehensif ini dikutip dari nash al-Qur’an[75]:

ياأيهاالذ ين أمنوا ادخلوا فىالسلم كآّفة ولا تتبعوا خطوات الشيطـن إنّه لكم عدوّ مّبين.! (البقرة :٢٠٨)

 

Menurut teori yang kedua, agama dan negara harus dipisahkan, urusan agama sebatas pada urusan pibadi dan ukhrawi tidak perlu mencampuri urusan politik. Oleh sebab itu konstitusi negara dalam pandangan ini tidak harus didasarkan pada Islam, namun pada nilai sekuler, contoh konkret teori ini adalah negara Turki Modern. Teori ketiga, sepakat dengan adanya pemisahan antara agama dan negara dalam arti konstitusi negara tidak harus didasarkan Islam, akan tetapi nilai agama harus menjadi ruh kehidupan masyarakat  bernegara, [76]

Ketiga teori ini mewakili pilihan-pillihan yang dapat menentukan karakteristik struktur sosial dan politik negara-negara muslim dunia dalam menghadapi tantangan modernitas. Terutama teori pertama ini sangat kuat mewarnai pemikiran politik muslim Indonesia tahun 1940-an dan 1950-an, karena dalam sidang BPUPKI 1945 maupun konstituante (1956-1959) para pemimpin muslim berjuang keras agar Islam dijadikan dasar negara.[77] Selain itu tidak ada indikasi yang tampak bahwa pemikiran politik nasionalis-muslim Indonesia  saat itu, dipengaruhi oleh Kemal Attaturk ataupun Ali Abd al-Raziq (1888-1966) yang berpendapat bahwa Nabi tidak pernah berupaya membangun sebuah negara, beliau hanyalah seorang utusan yang dikirim oleh Tuhan semata.

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, konflik ideologi antara kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-muslim bisa diperkirakan sejak menjelang kemerdekaan (Sidang BPUPKI). Melengkapi data sebelumnya, pada tanggal 31-Mei 1945 Soepomo lebih mendukung gagasan Hatta yang mengusulkan bentuk Indonesia sebagai negara kesatuan daripada keinginan umat Islam dalam meletakkan dasar negara , yakni memisahkan negara dari persoalan agama.[78]

Menurut Soepomo sendiri, jika negara Islam diciptakan di Indonesia maka sudah pasti persoalan minoritas, persoalan kelompok-kelompok kecil agama dan yang lainnya akan muncul. Meskipun Islam menjamin kelompok agama lain sebaik mungkin, kelompok kecil ini tidak akan merasakan keterlibatannya dalam negara, karena cita-cita negara Islam tidak sesuai dengan cita-cita negara kesatuan yang diharapkan bersama.[79] 

Pada tahun 1953  Soekarno juga mengungkapkan kekhawatirannya secara terbuka tentang implikasi-implikasi negatif yang muncul, apabila umat Islam Indonesia tetap memaksakan kehendaknya (negara Islam), yakni pengakuan Islam secara legal formal di negara ini.[80] Dengan mengingat kekhawatiran yang diungkapkan Hatta pada tahun 1945,  Soekarno mengatakan bahwa ia cemas, kalau banyak bagian negara Republik Indonesia memisahkan diri, atau negara bekas jajahan Hindia Belanda seperti Irian Barat juga tidak ikut menggabungkan diri dengan Indonesia yang ber-ruh Islami ini.[81]  

Melihat keberatan kelompok nasionalis-muslim terhadap Negara Sekuler mengharuskan kita meninjau kembali sejarah Islam yang menyatukan pemahaman antara agama (di>n) dan negara (daulah). Istilah  “negara” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti; pertama, organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Kedua, kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.[82]

Dalam Bab ini penyusun merasa perlu mengkaji pula istilah-istilah dalam kajian politik Islam seperti daulah, khalifah, imamah dan kesultanan yang seringkali dikonotasikan  dengan istilah negara. Di samping itu teori-teori tersebut paling tidak ikut mempengaruhi pemikiran politik Islam di Indonesia.

  1. a.      Daulah.

Istilah daulah berasal dari bahasa Arab yang bermakna bergilir, beredar dan berputar (rotate, alernate, take turns or Occur priodically).[83] menurut Olaf Schuman istilah “daulah” sama dengan  “dinasti atau wangsa” yang berarti sistem kekuasaan yang berpuncak pada seorang pribadi dan didukung oleh keluarganya atau clanya.[84] Jadi dalam konteks sekarang istilah tersebut bisa diartikan negara, selain itu Paham ini juga erat dengan paham Da>r al-Isla>m yang bermakna bahwa kekuasaan tertinggi terletak di tangan seorang penguasa muslim yang memberlakukan Hukum Islam sebagai hukum utama di dalam wilayahnya.[85]

Menurut sejarah istilah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam ketika masa kemenangan kekhalifahan dinasti Abbasiyyah pada pertengahan abad delapan.[86] Kalau memang istilah ini pernah ada, berarti masa itu terdapat pada daullah Umayyah yang kemudian begilir pada keluarga Bani Abbas (Daulah Abbasiyyah).[87]

  1. b.      Khilafah.

Istilah “Khila>fah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan atau pergantian. Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma‘) dan pemberian legitimasi (Bay‘ah).[88] Oleh sebab itu sudah menjadi hal yang lazim dalam pemilihan pemimpin Islam bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit politik melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah , menurut Harun Nasution sistem ini menyerupai dengan sistem republik daripada sistem kerajaan, karena pemimpin dalam hal ini dipilih bukan merupakan sistem monarkhi yang bersifat turun-temurun.[89]

      Sistem khilafah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam setelah  Nabi Muhammad wafat, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, dalam pidato inagurasinya Abu Bakar menyatakan dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah dalam artian sebagai “Pengganti Rasulullah” yang bertugas meneruskan misi-misinya.[90] Sedangkan menurut Bernard Lewis istilah khalifah muncul pertama kali pada masa pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam suatu prasasti Islam di Arabia.[91]

  1. c.       Imamah.

Selain kedua istilah di atas, “imamah” dalam kajian Islam juga sering digunakan sebagai teori yang menyerupai makna negara. Menurut Mawardi, imam bisa dimaknai khalifah, raja, sultan atau kepala negara, dengan demikian menurut Munawir Sjadzali, Mawardi memberikan ruang bagi agama suatu jabatan politik yaitu kepala negara.[92] Sementara menurut Taqiyuddin an-Nabhani, imamah dan khilafah merupakan dua istilah yang sama maknanya, karena khilafah adalah suatu kepemimpinan yang berlaku secara umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at dan mensyiarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.[93]

      Pada dasarnya teori imamah lebih banyak berkembang di aliran syi’ah daripada aliran sunni, dalam aliran Syi’ah Imama>h menekankan dua rukun, yaitu kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian Imam (‘ismah).[94]

  1. d.      Kesultanan.

Adapun istilah kesultanan seringkali diartikan kekuasaan dalam kitab al-Qur’an, menurut Lewis ada seorang penulis dari kelompok scribal, Abd Hamid, yang hidup pada awal abad kedelapan, secara umum menggunakan istilah sultan untuk pemerintah.[95]  

Dari uraian di atas, tampak bahwa istilah negara dalam Islam memiliki beberapa sinonim di antaranya Daulah, Khila>fah, Ima>mah dan S{ult}aniyyah, oleh sebab itu merupakan hal yang lazim kalau wacana Negara Islam selalu hangat untuk diperdebatkan, karena secara de facto ternyata Islam mempraktekkan beberapa istilah yang bersinonom dengan konsep negara, sedangkan  secara konseptual atau de jure Islam memang tidak mengenal konsep negara yang detail. Namun demikian patut diteliti apakah teori-teori tersebut untuk konteks modern saat ini bisa dikategorikan sebuah konsep negara.

Mengingat wacana negara Islam di Indonesia selalu menjadi perdebatan panjang dalam sejarah didirikannya negara ini, sejak pra-kemerdekaan sampai sekarang. Patut dicari apa sebenarnya yang membuat tokoh muslim berkeinginan keras meletakkan Islam sebagai dasar negara Indonesia? Salah satu jawaban atas pertanyaan ini, yaitu karena mereka bertujuan menerapkan Syari‘at secara efektif di seluruh penjuru wilayah negara, M. Natsir salah satu tokoh Islam yang kontra dengan gagasan Soekarno mengklaim bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan salah satu cita-cita Islam oleh sebab itu pencapaian kemerdekaan Indonesia merupakan bagian integral dari perjuangan Islam untuk menerapkan Syari‘at.[96]

Tampaknya klaim ini didasarkan pada kenyataan saat itu, bahwa umat Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas mempunyai peran yang sangat besar dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Untuk mendukung opini ini bisa dilihat dari semangat jihad Islam yang terukir dalam sejarah tanah air ini, seperti Sultan Babullah dari Ternate, Sultan Hasanuddin  dari Makassar, Pangeran Diponegoro (pemimpin Perang Diponegoro 1825-1830, Imam Bonjol (pemimpin Perang Padri 1921-1937), Teuku Umar, Tjut Nya’Dien dan Tengku Tjhik di Tiro (pemimpin Perang Aceh tahun 1872-1912).[97] Di samping itu terdapat juga ulama-ulama Jawa, salah satunya Syekh Hayim Asy’ari yang terkenal dengan “Resolusi Jihadnya”.

Selain alasan di atas, kekecewaan umat Islam atas dihapuskannya “Piagam Jakarta” bisa juga dipahami melalui berbagai organisasi kultural dan ekonomis Islam yang telah didirikan jauh sebelum Indonesia merdeka, apalagi organisasi tersebut banyak memberi konstribusi dalam kemerdekaan ini, misalnya Sarekat Islam  (didirikan tahun 1912), gerakan Modernis Muhammadiyah (yang juga didirikan tahun 1912, dan organisasi Tradisionalis NU (didirikan 1926).[98] Menurut hemat penyusun organisasi ini merupakan alat konsolidasi yang sangat efektif saat itu.

Meski dalam kenyataanya umat Islam merupakan mayoritas dalam bangsa ini dan organisasi Islam memainkan peran penting pada masa kemerdekaan, menurut Fred von den Mehden “Indonesia sebagai satu bangsa Islam tidak seluruhnya sepakat dengan apa yang harus dilakukan sebagai pemeluk Islam”.[99] Hal ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran dan praktik agama yang dikerjakan, sebagaimana yang dinyatakan Cliford Geertz bahwa rakyat Indonesia terbagi menjadi tiga aliran atau trikotomi, yaitu Priyayi, Santri dan Abangan.[100]

Perbedaan relegius dan politik dalam komunitas Muslim tampak jelas dalam wacana pancasila, Seperti halnya yang penyusun bahas di atas. Dengan demikian suatu dinamika “Islam versus Pancasila” telah mempengaruhi sebagian besar perdebatan dan wacana pemikiran politik Indonesia sepanjang tahun 1980-an sampai 1990-an.[101] Sebagaimana yang akan dibahas dalam bab-bab berikut, dinamika ini memiliki implikasi-implikasi penting bagi perpolitikan nasional.

      Dalam catatan sejarah, tuntutan-tuntutan Islam politik atas negara sangat tampak dalam pemberontakkan Darul Islam melawan Pemerintahan Pusat antara tahun 1948-1962.[102] Akibat serangan pemberontakan ini, bentuk konkret ancaman “ekstrem kanan” (istilah yang secara resmi dipakai untuk menunjuk fundamentalisme Islam di era Orde Baru) semakin jelas. Djohan Effendi menambahkan bahwa Darul Islam mempertinggi kecurigaan militer bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara partai-partai Islam dengan pemberontak Darul Islam. Satu-satunya perbedaan, menurut pihak militer adalah bahwa yang pertama memperjuangkan negara Islam dengan jalan legal, sedangkan yang kedua dengan kekuatan illegal.[103]

Deliar Noer, tidak sepakat dengan cara pandang militer ini, baginya cita-cita partai Islam ini dilakukan secara demokratis. Jadi tentu berbeda dengan gerakan Darul Islam yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo, gerakan ini menggunakan kekerasan dan mementingkan simbol-simbol, seperti nama Darul Islam, istilah Imam untuk  Kepala negara dan lain sebagainya, Sedangkan partai Islam lebih pada substansi tujuan. Dalam kasus ini gerakan Kartosuwiryo tidak berkesempatan mengembangkan pemikiran substansi tujuannya karena terburu menggunakan kekerasan.[104] Peristiwa ini sedikit banyak menumbuhkan citra negatif pada sebagian kalangan bangsa kita dalam merespon hubungan Islam dan negara, yang kemudian berdampak negatif pula terhadap cita-cita dan perjuangan partai-partai Islam  selama ini.

Dan saat itu, citra negatif ini digunakan untuk mendeskriditkan kedudukan partai Masyumi[105] dan umat Islam secara umum. Padahal dalam kasus DI ini secara perlahan-lahan juga ditunggangi oleh golongan yang tidak bersimpati terhadap RI, di antaranya orang-orang Belanda seperti Jungschlager, Schmidt, dan Van Kleef. Selain itu masalah pemberontakan PRRI/Permesta (1958-1961) juga sering dihubungkan dengan cita-cita Islam sehingga membuat partai Masyumi dibubarkan (tahun 1960), walupun banyak orang Kristen yang terlibat di dalamnya karena tokoh-tokoh cabang Parkindo dan komandan daerah yang beragama Kristen jelas-jelas menyokong pemberontakan ini.[106]

Posisi Islam semakin mengkhawatirkan ketika  Soekarno membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan regional berideologi Islam. Dalam usaha menyeimbangkan kekuatan-kekuatan ideologis antara Islam, nasionalisme, dan komunisme  Soekarno tidak hanya menganjurkan konsep Pancasila, melainkan juga sebuah konsep NASAKOM,[107] yang akhirnya malah menimbulkan struktur politis dan ideologis yang labil pada awal tahun 1960-an karena masing-masing kepentingan politisnya jelas saling berlawanan.[108]

        Demikian pembahasan asal-usul perdebatan Islam dan negara di Indonesia. Semoga prawacana ini akan lebih memudahkan kita dalam memahami bab-bab berikutnya.

B. Tipologi Pemikiran Relasi Islam dan Negara.

Islam di Indonesia dewasa ini tidak lepas dari dinamika pemikiran dan gerakan pembaharuan, di antaranya dipengaruhi ide-ide pembaharuan Abduh yang dianggap rasional-liberal, dan kemudian di Indonesia berpadu dengan faham Wahabiyyah yang skriptural-formal.[109] Di sisi lain, masih terdapat kuatnya  madzhab yang dilestarikan oleh para kyai melalui pesantren, yang dianggap sebagai basis kelompok tradisionalis Islam. Dengan adanya dialektika modernis versus tradisionalis inilah yang akhirnya melahirkan pemikiran neo-modernisme Islam Indonesia.

Sebelum membahas lebih jauh, penyusun ingin mempertegas antara Islam dan pemikiran Islam. Menurut Moslem Abdurrahman “Islam” adalah wahyu, sedangkan “pemikiran Islam” adalah kebenaran subjektif yang dihasilkan dari penangkapan seseorang terhadap pesan obyektif Tuhan.[110] Sebagai kebenaran subjektif pemikiran Islam bisa berubah-rubah sesuai dengan konteks dan perkembangan pemahaman seseorang tersebut terhadap pesan Tuhan. Oleh sebab itu untuk memamahami tokoh pemikir Islam harus diletakkan pada kerangka Ijtiha>d.

Suatu hal yang wajar sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia wacana relasi Islam dan negara mendapatkan komentar, kritik dan debat yang tajam karena masalah ini termasuk kategori Ijtiha>d seseorang dalam memahami teks Tuhan.

Pada tahun 1940-an sampai 1990-an sering terjadi perdebatan hangat mengenai masalah tersebut, Seperti yang penyusun bahas sebelumnya. Padahal perdebatan ini sudah pernah menemukan titik temunya, yaitu dalam konsep “Piagam Jakarta”, yang kemudian dianulir sehari setelah kemerdekaan. Upaya penyelesaian masalah tersebut pada sidang konstituante kandas di tengah jalan karena dipotong oleh  Soekarno melalui Dekrit 1959. Demikian pula yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru, yang sengaja menutupi kemungkinan-kemungkinan  pembicaraan mengenai persoalan tersebut.

Diawali perdebatan antara Natsir dan   Soekarno, akhirnya Islam mencari jalannya sendiri dalam kehidupan sosial politiknya dengan cara yang bisa dibilang formalistik, agar kehadirannya tidak hanya dirasakan tapi juga diakui. Dalam pandangan umum, langkah-langkah ini telah menempatkan Islam dalam posisi antagonistik vis-a-vis negara dengan seluruh implikasinya.[111]

      Akhirnya, situasi inilah yang mendorong pemikir Islam Indonesia generasi kedua (sejak tahun 1970-an), yang kemudian sering disebut sebagai kelompok “Islam kultural”. Dalam pandangan ini Islam politik merupakan sesuatu yang sulit untuk dijual karena trauma politik yang membekas para aktivis politik saat itu, baik dari pihak Islam politik maupun negara. Untuk itu generasi kedua ini tidak menginginkan Islam dijadikan sebuah ideologi, dengan memfokuskan pada bidang garapan “transformasi sosial” yang disesuaikan dengan kebutuhan tertentu. Di antaranya pandangan dasar Nurcholish Madjid yang mengemukakan desakralisasi; Abdurrahman Wahid dengan gagasan Pribumisasi Islam,[112] Dawam Rahardjo yang menggeluti Masyarakat pedesaan melalui pesantren; dan Munawir Sjadzali yang menyatakan perlunya melihat Islam dalam konteks Indonesia.[113]

Sebenarnya kalau dilihat dari aspek politik, aktivitas Islam kultural dan Islam politik mempunyai persamaan, karena kalangan inilah yang meletakkan dasar-dasar kehidupan politik yang demokratis, dengan menonjolkan aspek-aspek keadilan, musyawarah, dan egalitarianisme yang disesuaikan dengan spirit Islam. Lebih spesifik dalam pembahasan ini, Munawir Sjadzali mengklasifikasikan relasi Islam dan negara menjadi tiga kategori.

Pertama,aliran konservatif, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Ketiga, aliran sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein[114] 

Akan tetapi dalam tipologi ini, penyusun akan mengkaji pada kategori kedua, yakni aliran Modernis, yang kemudian penyusun klasifikasikan kembali menjadi dua aliran: modernis dan neo-modernis. Pemetaan ini didasarkan pada analisa pemikiran yang telah bekembang, bahwa pemikiran politik Islam di Indonesia memang tidak lepas dari hubungan dialektis antara aliran tradisionalis dan modernis,[115] yang akhirnya melahirkan neo-modernisme tersebut.

Dalam pandangan politik Islam, kelompok modernis biasanya menggunakan pendekatan struktural yang dapat juga disebut sebagai kaum idealis, sementara kelompok neo-modernis menggunakan pendekatan kultural yang biasa disebut kaum realistis atau akomodasionis.[116]

  1. 1.      Perspektif Modernisme.

Pemikiran modernisme Islam sudah dimulai sejak abad ke 20-an sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1912 didirikan sarekat Islam, yakni sebuah organisasi politik Islam modern pertama kali di Indonesia yang didasarkan pada sebuah prinsip antipenjajahan.[117] Di bawah pengaruh modernisme Islam, nilai-nilai demokrasi menjadi suatu yang lazim di kalangan intelektual muslim prakemerdekaan.[118]

Menurut Mukti Ali, munculnya Modernisme karena didorong kesadaran akan kemunduran umat Islam yang disebabkan telah meninggalkan sumber ajaran al-Qur’an yang asli, Oleh sebab itu kalangan modernisme seringkali menyerukan umat Islam untuk “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah secara murni”.[119] Sebagai reaksi terhadap Barat, wajar apabila kalangan modernisme mengagendakan sebuah apologia melalui “ideologisasi Islam” bahwa Islam adalah agama yang Ka>ffah.

Dalam konteks pembahasan, perspektif ini dihadapkan penyusun pada pemikiran M. Natsir. Tokoh ini dikategorikan dalam perspektif modernis karena gagasannya yang rasional-fundamental, penulis katakan rasional-fundamental karena satu sisi Natsir mengakui bahwa di dalam Islam juga mengandung unsur-unsur demokrasi, dalam artian demokrasi adalah sistem pemerintahan yang bermanfaat bagi rakyat atau dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat,[120] sisi fundamentalnya, M. Natsir bersikap keras meletakkan Islam sebagai dasar negara, dengan tujuan supaya ajaran Islam bisa laksanakan secara utuh dan konsekuen dalam kehidupan bernegara.[121]

Ide-ide pemikiran modernisme tentang Islam dan negara cenderung bercirikan konservatif, liberal dan demokratis sosial.[122] Di Indonesia sendiri menurut Dawam Rahardjo ciri yang menonjol dari kalangan modernisme adalah “apologik”, pemurnian dan “skripturalistik”,[123] sedangkan dalam pandangan Liddle istilah modernisme dalam politik mempunyai dua corak, pertama, “skripturalistis”-yang masih menginginkan bentuk negara Islam dan berlakunya undang-undang Islam; kedua, “substansialis”-kelompok ini lebih mengedepankan pada isi daripada bentuk.[124]

Untuk memperjelas pada pembahasan lebih lanjut, perlu penyusun  tegaskan bahwa yang dimaksud modernisme di sini adalah aliran pemikiran yang selalu mengidealkan pemerintahan Islam, dengan tetap menerima sistem Barat asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebenarnya secara genetik kelompok ini sudah ada sebelum Orde Baru lahir, yaitu Masyumi dan Muhammadiyah.[125] Kedua organisasi ini mempunyai pemikiran yang sama dalam memandang konsep negara, menurut tokoh-tokoh modernis, Islam dan negara mempunyai hubungan integral, tetapi bukan berarti menolak sistem Barat secara totalitas. Karena menurut M. Natsir sendiri Islam memang tidak mempunyai sistem ketatanegaraan yang sempurna, maka dari itu apabila negara Islam nanti didirikan boleh mengadopsi sistem Barat asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.[126]

Pada intinya aliran modernisme semacam ini mendukung negara Islam secara ideologis, karena baginya secara  tekstual, al-Qur’an dan Sunnah telah menunjukkan perangkat dasar negara yang dapat diterapkan di zamannya.[127] Selain itu,  masih ada alasan-alasan lain yang akan dibahas dalam bab selanjutnya, mengapa tokoh modernisme seperti M. Natsir ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Untuk lebih lengkapnya akan penyusun bahas dalam bab selanjutnya.

  1. 2.      Perspektif  Neo-Modernisme.

Pola pemikiran neo-modernisme sangat identik dengan Fazlur Rahman, menurutnya meskipun di era modern pemikiran modernisme memberikan sumbangan positif terhadap kebangkitan Islam, tetapi aliran ini masih menunjukkan kelemahan-kelemahan tertentu, di antaranya adalah kurangnya metodologi dalam menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah, dan terlalu apriori terhadap kekayaan potensi pemikiran Islam tradisional.[128]

Lebih lanjut, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa meninggalkan tradisi lama akan menimbulkan jump to conslusion (kesimpulan yang melompat), artinya mengambil pokoknya saja tanpa memahami latar belakangnya,[129] dengan meminjam istilah H.A.R. Gibb, dia mengkritik kaum modernisme Islam bahwa kalangan ini menurutnya, akan terancam intellectual impoverisment (pemiskinan intelektual), karena pemikiran-pemikirannya seringkali terjebak pada proses pengambilalihan konsep-konsep Barat. Oleh sebab itu kaum neo-modernisme menggunakan kaidah Islam klasik berikut ini, [130]  sebagai prinsip pengembangan pemikirannya.  Yaitu:

المحافظـﺔ على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح !

 

Neo-Modernisme adalah aliran pemikiran yang melakukan usaha-usaha untuk menemukan titik temu antara kaum Islam tradisionalis dengan kaum Islam modernis.[131] Di Indonesia sendiri gagasan neo-modernisme Islam dimulai sejak tahun 1970-an, sebagai pemikiran generasi kedua setelah modernisme yang mengarah pada Islam politik, kemudian pada tahun 1980-an generasi kedua ini dikenal dengan sebutan Islam kultural.[132]

Menurut Greg Barton, ada lima ciri yang menonjol dari aliran neo modernisme. Pertama, neo modernisme adalah gerakan pemikiran progresif yang mempunyai sikap positif terhadap modernitas, perubahan dan pembangunan. Kedua, aliran ini sangat berbeda dengan fundamentalisme yang menganggap Barat sebagai ancaman bagi umat Islam. Neo-modernis justru membela ide-ide liberal Barat, tetapi juga mengajukan argumentasi bahwa Islam juga mempunyai kepedulian yang sama terhadap ide-ide Barat seperti demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Ketiga, neo-modernisme Islam mengarfimasi semangat sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena menurutnya al-Qur’an dan Sunnah tidak pernah menyuruh mendirikan negara Islam. Keempat, neo-modernisme sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal, khususnya dalam merespon pluralisme masyarakat. Kelima, neo-modernisme selalu berijtihad dalam membuat sintesis antara khazanah pemikiran Islam tradisional dengan gagasan-gagasan Barat mengenai ilmu-ilmu sosial dan humoniora.[133] 

 

Banyak penulis yang mengkategorikan tokoh-tokoh muslim Indonesia, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, dan Munawir Sjadzali masuk dalam aliran ini, di antaranya.[134] Dalam pembahasan ini, corak pemikiran neo-modernisme akan penyusun hadapkan dengan pemikiran Abdurrahman Wahid, ia seorang neo-modernis yang latar belakang sosialnya berasal dari golongan tradisionalis, meskipun Abdurrahman Wahid sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah di tahun 1990-an, tetapi dia  tergolong akomodasionis terhadap sistem sosial yang berlaku di Indonesia.[135]

Dalam memandang relasi Islam dan negara, kalangan ini lebih suka menggunakan pendekatan kultural, yakni dengan memerankan Islam sebagai “faktor komplementer” untuk mengembangkan sosio-ekonomi, politik, dan moralitas bangsa. Di antara kalangan neo-modernis yang paling utama  mendukung pendekatan kultural ini adalah Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid, meskipun mereka tidak sepenuhnya sama dalam berpendapat, tetapi mereka menyadari bahwa secara historis ekspresi Islam ideologis tidak pernah berhasil.[136]

Selain itu, menurut Abdurrahman Wahid kalau Islam di Indonesia   dijadikan faktor alternatif, yakni diideologikan, maka fungsinya bisa terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik melainkan konflik horizontal dan ancaman disintegrasi bangsa,[137] hal yang senada diungkapkan oleh Nurcholish Madjid bahwa Islam bukanlah sebuah ideologi, sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan menyamakan agama itu setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.[138]

Meskipun demikian, bukan berarti pemikir neo-modernisme ini mengabaikan aspek agama dalam politik, karena dalam pemikirannya selalu mempertimbangkan aspek fiqih. Hal ini terlihat dalam pemikiran Abdurrahman Wahid yang mengajukan dalil agar kebijaksanaan pemerintah harus senantiasa disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan fiqih, dalam kaidah fiqihnya “Tas}araf al Ima>m manu>t}un bi al-Mas}lahah” (kebijaksanaan kepala pemerintah harus mengikuti kesejahteraan rakyat)”.[139]

Pokok pikiran kedua aliran ini, baik modernisme maupun neo-modernisme dalam memandang agama dan negara sudah tentu berbeda, karena secara teoritis dalam konteks agama dan negara kedua pemikiran tersebut memang terbagi dua, yakni idealistik dan realistik. Dalam kerangka pemikiran idealistik dirumuskan sebuah sistem negara yang sepenuhnya berdasarkan wawasan Islam. Kelompok inilah yang kemudian menggunakan Islam sebagai “tawaran alternatif” dan selanjutnya penyusun kategorikan dalam “kelompok modernis”. Sementara pemikiran realistik lebih tertarik menempatkan Islam sebagai “faktor komplementer”, yang menekankan pada substansi bukan sebuah bentuk formal, [140] dan kemudian penyusun kategorikan sebagai kelompok neo-modernisme.

Sebenarnya kedua kelompok di atas sama-sama menyadari bahwa di dalam al-Qur’an maupun Sunnah memang tidak ada yang menyatakan untuk mendirikan negara Islam, akan tetapi dalam aksi politiknya  masing-masing berbeda. Kelompok modernis lebih suka menggunakan pendekatan Islam politik dalam kehidupan bernegara, karena untuk memberlakukan syari’ah pasti membutuhkan kekuatan politik dan yang memiliki kekuatan itu adalah negara, sedangkan negara dalam pandangan mereka adalah penjaga syari’ah.[141] Sementara generasi kedua, neo-modernisme tidak tertarik dengan pendekatan Islam politik tetapi lebih pada Islam kultural, yang menempatkan syari’ah sebagai tata nilai masyarkat dalam kehidupan bernegara, karena pada dasarnya agama adalah urusan pribadi yang tidak bisa diintervensi siapapun.

Dari uraian di atas, bisa dimengerti mengapa persoalan agama dan negara di Indonesia selalu menjadi pembicaraan hangat di kalangan intelektual muslim kita. Ini tidak lain karena pengaruh geneologi pemikiran yang melatarbelakangi keduanya, baik itu faktor organisasi ataupun studi yang dijalaninya.   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

POKOK-POKOK PEMIKIRAN

M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID

TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA

Sketsa Biografi M. Natsir

  1. 1.      Latar Belakang Sosial Politik

      Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, nama M. Natsir tidak pernah luput dari pembahasan. Selain seorang tokoh yang gigih memperjuangkan cita-cita Islam, dia juga dikenal sebagai bapak pemersatu bangsa karena mosi yang dilontarkannya dalam Sidang Parlemen RIS 3 April 1950, yang kemudian dikenal dengan Mosi Integral Nastir.[142] M. Natsir berasal dari Sumatera Barat, daerah yang memang banyak memunculkan tokoh-tokoh pembaharu nasional, baik dalam bidang politik, pendidikan, maupun keagamaan. Diantaranya: Imam Bonjol, HAMKA, Haji Agus Salim, Muhammad Hatta, dan Sutan Sjahrir.[143]

Secara tidak langsung, masyarakat Minangkabau telah akrab dengan dunia politik, budaya dan agama. Hal ini bisa dilihat dari masyarakatnya sendiri yang terdiri dari sejumlah republik (negeri-negeri), dan dibentuk sesuai tradisi kepala kelompok suku keluarga yang didasarkan pada suatu sistem Matriarchat.[144] Di sisi lain adat-istiadat, suku juga sangat dipertahankan, terutama oleh golongan adat atau kaum tradisionalis.

Akibat tradisi keagamaan yang berlangsung di daerah itu, melahirkan para gerakan pembaharu Islam, mereka adalah ulama muda yang dipengaruhi oleh gerakan Wahabi di Arab Saudi dan gerakan pembaharuan Islam Mesir. Bahkkan di antara mereka itu ada yang berguru secara langsung kepada tokoh-tokoh Wahabi, dan dipengaruhi kuat dengan gagasan-gagasannya M. Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh.[145] Salah satu tuntutan gerakan ini adalah pemurnian ajaran Islam (purifikasi).

Menurut Mahmud Yunus, awal timbulnya aliran pembaharuan Islam ini disebabkan beredarnya buku yang mengecam ulama dengan melarang berdiri waktu membaca “Maulid Nabi” (waktu Marh}aban) dan melafalkan Us}alli  ketika niat sholat.[146] Deliar Noer menambahkan, selain dua masalah di atas Syeikh Ahmad Khatib selaku penulis buku tersebut, juga menentang keras praktik T{ariqah Naqsabandiyyah dan peraturan-peraturan adat tentang warisan. Padahal kedua praktik itu telah menjadi tradisi masyarakat setempat.[147]

Gerakan pembaharuan ini, menurut penyusun membawa implikasi besar dalam kehidupan masyarakat. Pertama, gerakan ini menimbulkan reaksi keras dari kalangan tradisionalis dan Kepala suku. Akibatnya masyarakat terpolarisasi menjadi kaum adat dan puritan. Kedua, gerakan ini membawa perubahan-perubahan positif bagi kehidupan keagamaan masyarakat Minangkabau, sehingga mengkondisikan lahirnya institusi keagamaan. Seperti yang di tulis Mahmud Yunus bahwa ada sisi positif dari dealektika dikotomi di atas, antara lain:

“Dari kalangan pembaharu melahirkan Sumatera Thawalib, majalah al-Munir, al-Bayan, al-Imam al-Basyir dan al-Ittiqan, sedangkan dari kalangan tradisional ada Tarbiyah Islamiyah dan majalah al-Mizan. Kedua golongan itu juga berlomba-lomba menyelidiki, membahas, mendalami ilmu-ilmu agama, dan mencari dalil untuk memperkuat fakta masing-masing, akibatnya ilmu agama semakin berkembang di Minangkabau dan melahirkan banyak madrasah agama.”[148]

 

M. Natsir lahir pada tgl 17 Jumadil Akhir 1326 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juli 1908 di Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok. Ia merupakan anak ketiga dari pasangan Idris Sutan Saripado Dan Khadijah,[149] pola pemikirannya sedikit banyak dipengaruhi dengan kondisi sosiologis di mana ia tumbuh, yakni saat masyarakat Minangkabau bersemangat bangkit melawan politik kolonial dan mengadakan perubahan doktrin keagamaan.

Pendidikan formalnya ditempuh di HIS (HollandInlandischeSchool) Adabiyah[150] dan Madrasah Diniyah Solok pada tahun 1916-1923. setelah lulus dari HIS ia melanjutkan ke MULO[151] (Meer Uitgerbreid Lager Onderswij)  Padang. M. Natsir mulai terlibat organisasi sejak di MULO, awalnya ia masuk Jong Sumatranen Bond di Padang, dan kemudian beralih ke Jong Islameten Bond (JIB), kedua organisasi tersebut diketuai oleh Sanusi Pane. Pada Juli 1927 ia tamat dari MULO dan melanjutkan ke AMS[152] (Algemene Middelbare School) dengan jurusan sastra Barat (Eropa) klasik di Bandung. [153]

Jika dilihat dari jenjang pendidikannya, M. Natsir tampak menguasai bahasa-bahasa Eropa tersebut, dengan demikian bisa dipastikan kalau ia tidak banyak mengalami kesulitan  dalam memahami karya-karya bangsa Eropa, di antaranya sejarah, filsafat, sastra, politik dan orientalisme.[154] Selain itu, M. Natsir sendiri mengakui bahwa bahasa-bahasa Eropa; Belanda, Inggris dan sebagainya memang banyak membantu kecerdasan bangsa Indonesia.[155]

Namun demikian, ia juga mempunyai kepedulian khusus terhadap karya-karya klasik ulama Islam yang berbahasa Arab. Baginya bahasa Arab bukanlah bahasa agama semata, bukan satu dialek atau salah satu bahasa propinsi, malainkan suatu bahasa dunia yang merupakan kunci dari berbagai pengetahuan yang kaya raya untuk mengutarakan suatu pengertian, dari yang mudah sampai yang sesulit-sulitnya atau dari yang bersifat Maddah (konkrit) sampai yang bersifat Ma‘nawi(abstrak), oleh sebab itu baginya bahasa Arab lebih kaya dari bahasa Eropa manapun juga.[156]

Melalui bahasa arab tersebut, tidak heran juga kalau M. Natsir sangat tertarik dengan karya Ibnu Taimiyah dan Ibn Qayyim.[157] Di samping itu ia juga  tertarik dengan pemikiran-pemikiran keagamaan para tokoh modernis, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Khan, dan Syed Amir Ali di Asia Selatan.[158]

Pada dasarnya M. Natsir telah mengenal ajaran-ajaran Islam yang bercorak pembaharuan sejak usia muda, hal ini bisa dilihat dari pengaruh gurunya, Tuanku Mudo Amid, seorang pengikut gerakan pembaharuan Islam yang juga  merupakan kawan dekat Haji Rasul yakni seorang tokoh pembaharu pemikiran di Minangkabau. Selain itu, M. Natsir mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Haji Abdullah Ahmad secara teratur, seorang tokoh pembaharu di Padang.[159]

Pemikiran Natsir semakin berkembang ketika ia belajar pada tokoh utama Persis (Persatuan Islam) di Bandung[160], Ahmad Hassan, salah seorang pendiri organisasi Persis, selain Ahmad Hassan ada juga Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus yang ikut mendirikan organisasi tersebut, tanpa bermaksud memperkecil peranan Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus sebagai pelopor pendiri Persis, namun organisasi ini memang baru terlihat karakternya sebagai kubu gerakan muslim modernis pada waktu dipimpin oleh Ahmad Hassan.[161]

Menurut M. Natsir ada dua alasan mengapa ia tertarik berguru pada Ahmad Hassan. Pertama, Hassan sangat menguasai berbagai ajaran Islam, hal ini terlihat bagaimana Hassan mampu menghadapi persoalan masyarakat muslim yang berkembang saat itu. Kedua, pendekatan Hassan terhadap kajian Islam sangatlah menarik bagi generasi muda muslim karena cara yang digunakan sangat berbeda dengan para ulama lainnya.[162]

Selain pengaruh dari tokoh-tokoh di atas, kondisi sosial masyarakat Minangkabau juga ikut mempengaruhi corak pemikiran M. Natsir. Karena pada masa kecil, ia telah menyaksikan pertentangan antara kaum adat dan agamawan di daerahnya. Oleh sebab itu tidak menutup kemungkinan kalau pandangan Natsir tentang keagamaan nanti sedikit banyak terpengaruh dengan fenomena yang ia lihat sewaktu kecil, yaitu pertentangan antara kaum adat dengan kaum muslim puritan, yang kemudian ikut membentuk pemikirannya dalam menentang paham sekulerisme.

Pola pemikiran politik Natsir mulai terlihat khas ketika ia berdomisili di Bandung, di mana ia banyak terlibat dalam organisasi, di antaranya Jong Islamieten Bond [163](the Association of Muslim Youth) dan Persis (The Unity of Islam). JIB berdiri pada tanggal 1 Januari 1925, organisasi ini merupakan perkumpulan generasi muda muslim yang didirikan di Jakarta dan kemudian membuka cabang di daerah-daerah. Pada tahun 1929 M. Natsir menjadi anggota JIB cabang Bandung.[164] Dan kemudian ia mengajar Islam di Hollands Inlandse Kweekkschool (HIK) atau sekolah guru dan MULO di kota ini juga.

Namun demikian, pengaruh Persis terhadap dirinya lebih dominan ketimbang JIB. Karena dalam Persis M. Natsir merasa lebih banyak mendapatkan teman yang dapat memecahkan masalah yang sedang berkembang dalam pemikirannya, khususnya dalam bidang politik dan agama.[165] M. Natsir mempunyai hubungan yang dekat dengan tokoh-tokoh Persis, apalagi ia juga sangat tekun dalam mengikuti kelas khusus yang memang diperuntukkan anggota muda Persis oleh Hassan, terutama yang sedang belajar di sekolah menengah Belanda.[166]

Ditambah lagi, adanya majalah Persis Pembela Islam [167] yang memberinya kesempatan untuk menuangkan pendapat-pendapatnya dalam bentuk tulisan, selain itu yang menarik bagi Natsir adalah perhatian besarnya Persis pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tabligh dan publikasi.[168] Yang semuanya itu mengantarkannya sebagai pejuang, negarawan, dan agamawan di negara Republik Indonesia ini.[169] Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa Persis merupakan wahana awal yang menjadikannya sebagai tokoh nasional, karena melalui kegiatan yang dipelopori Persis seperti tablig, penerbitan majalah, buku, dan pendidikan itulah ia berkesempatan terjun langsung sebagai juru bicara, pendidik, dan team redaksi Pembela Islam.[170]

Selain pengalaman organisasi di atas, secara akademis ia juga terlihat lebih serius dalam mempelajari ilmu pengetahuan Barat di AMS Bandung daripada sebelumnya, di sekolahan ini ia telah banyak mempelajari  berbagai aspek sejarah peradaban Islam, Romawi, dan Yunani dengan menggunakan literatur yang berbahasa Arab, Prancis dan Latin.[171]

Jadi bisa dikatakan bahwa dalam usia yang relatif muda (21 tahun) Natsir telah menguasai lima bahasa asing (Belanda, Arab, Inggris, Prancis, dan Latin), dengan demikian tidak heran apabila ia dengan mudah menjelajahi dunia intelektual. Melihat kecerdasan yang dimiliki Natsir, Pemerintah Belanda sempat menawarkan sebuah beasiswa untuk mengantarkannya ke  Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta atau Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam Belanda, tetapi ia menolak tawaran beasiswa tersebut karena kecintaannya terhadap studi keislaman saat itu.[172]

Kesadaran Natsir untuk menentang sistem kolonial Belanda, mulai terlihat saat ia mengkritik pandangan guru Belandanya yang menganggap bahwa sistem kerja kolonial di pabrik-pabrik gula di Jawa telah banyak memberi keuntungan kepada petani. Menurut M. Natsir yang mendapat keuntungan bukanlah petani melainkan para pemilik modal dan bupati yang memaksa rakyatnya untuk menyewakan tanah mereka dengan sewa rendah. Dan justru sistem inilah menurutnya yang membuat petani semakin menderita karena tidak pernah bebas dari beban-beban hutang.[173]

Inilah awal perlawanan Natsir terhadap kolonial Belanda, ia mulai berontak akan penindasan yang dilakukan Belanda atas bangsanya. Dari peristiwa tersebut, ia terdorong untuk mempelajari politik lebih dalam, ia sadar bahwa untuk melawan tirani kolonialisme sangat ditentukan oleh perjuangan politik rakyat.[174] Oleh sebab itu bisa dimungkinkan bahwa pemikiran   politik Natsir pasca kemerdekaan juga dipengaruhi atas perjuangan politiknya ketika memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini melawan bangsa kolonial.

Sedangkan Peristiwa lain yang juga memperkuat cita-cita politik keislaman Natsir pada periode ini adalah responnya terhadap kalangan nasionalis netral agama atau yang biasa dikenal dengan sebutan kalangan sekuler, yang dipelopori oleh PNI dengan tokoh utamanya Ir.  Soekarno, Tjipto Mangunkusumo dan lain-lain.[175] Organisasi ini berbasiskan anggota di  Bandung, tempat di mana Natsir mengembangkan pemikiran politik dan agamanya. Sebagai aktivis Persis yang bermukim di kota tersebut, M. Natsir tertarik dan seringkali mengujungi propoganda PNI yang dikampanyekan  Soekarno, hanya saja ia tidak suka ketika kampanye PNI merendahkan aturan-aturan agama.[176]

Perbedaan ideologi politik itulah, yang kemudian mempengaruhi perdebatan keras di antara keduanya dalam menentukan bentuk dan dasar negara, setelah kemerdekaan Indonesia ini tercapai. Dan selanjutnya, yang perlu dicermati setelah kondisi di atas adalah keterlibatan Natsir dalam mendirikan partai Islam di Indonesia yaitu Masyumi. Partai ini didirikan pada tanggal 7 Novemper 1945 dalam kondisi revolusi yang bergolak untuk menentang tentara kolonial yang hendak kembali lagi ke Indonesia.[177]

Menurut Yusril Ihza Mahendra, ide pembentukan partai ini datang dari sejumlah tokoh politik dan pergerakan sosial keagamaan Islam Indonesia yang telah aktif sejak zaman Belanda. Di antaranya adalah Haji Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasyim, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Sukiman Wiryosajoyo, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah.[178]

M. Natsir sendiri pernah memimpin partai ini selama beberapa periode, dalam pidatonya yang disampaikan pada hari jadinya Masyumi yang kesebelas (7 november 1956), ia menyampaikan bahwa Masyumi didirikan atas hasrat umat Islam yang diwakili oleh para tokoh Ulama dan Zuama dari seluruh kepulauan Indonesia di ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.[179]  

Dalam organisasi partai tersebut, pada tahun 1945, M. Natsir masih menjadi anggota, selanjutnya pada tahun 1945 ia dipilih sebagi ketua sampai lima kali berturut-turut dari tahun 1951, 1952, 1954, dan 1956.[180] Masyumi  merupakan partai Islam yang asalnya terdiri dari empat macam organisasi  masyarakat yang bernafaskan Islam, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam, dan persatuan Umat Islam Indonesia.[181]

Namun demikian, pada bulan April 1952 Nahdlatul Ulama sebagai Organisasi Masyarakat terbesar di nusantara ini, yang sekaligus menjadi salah satu anggota Partai Masyumi sebelumnya, akhirnya memisahkan diri dari keanggotaan partai tersebut dan kemudian mendirikan partai politik sendiri.[182]

  1. 2.      Pemikiran M. Natsir tentang Relasi Islam dan Negara.

Dalam pidatonya di Pakistan, M. Natsir menyatakan dengan tegas bahwa  Indonesia merupakan negara Islam, meskipun tidak disebutkan dalam konstitusi, Islam adalah agama negara. Baginya secara de facto sudah pasti menunjukkan bahwa Islam diakui sebagai agama dan anutan jiwa bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu persoalan kenegaraan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari agama.[183]

Menurut A. Muchlis, M. Natsir beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian integral Islam, yang di dalamnya mengandung falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, Fasis Atau Komunisme.[184] Dengan berdasarkan H{ujjahnas} al-Qur’a>n yang dianggapnya mendukung pendapatnya tentang Islam sebagai dasar negara, Natsir menyebutkan[185]:

و ماخلقـت الجن و الإنس إلا ليعبـد ون  ! (الذاريات:٥٦)    

 

Jadi, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, agar mendapat kejayaan dunia dan akhirat kelak.[186]

Namun demikian, untuk mencapai kejayaan tersebut, menurut M. Natsir Allah telah memberikan aturan-aturan kepada manusia, yakni :

Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita, dan cara kita berhubungan dengan sesama manusia. Di antaranya aturan-aturan yang berhubungan dengan sesama manusia, yang kemudian di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang, yang saat ini diistilahkan dengan urusan kenegaraan.[187]

 

Untuk melacak pemikiran M. Natsir tentang negara, menurut Ahmad Suhelmi ada dua faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, faktor sosial politik pada tahun 1940-an yang memunculkan polemik dan pertarungan ideologi antara kaum nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler. Kedua, faktor emosional Natsir selaku tokoh negarawan muslim saat itu, akhirnya melahirkan gagasan-gagasan yang cukup reaksioner terhadap pemikiran  Soekarno yang cenderung sekuler.[188]

Sedangkan dalam konteks eforia politik Islam saat itu, wacana tersebut juga sedang hangat diperdebatkan di Timur Tengah karena isu tentang sekulerisme juga sangat kuat di sana. Yakni pemisahan antara agama dan negara seperti halnya yang diterapkan Kemal Fasya di Turki.[189]

Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan bahwa pemikiran-pemikiran  Soekarno banyak dipengaruhi oleh sekularisasi yang sedang terjadi di Turki, dan di sisi lain, M. Natsir juga berkeinginan memposisikan Indonesia seperti Pakistan yang telah menjadi Republik Islam, meskipun dengan cara memperkenalkan Pancasila  yang sebelumnya ia tentang sendiri.[190]

Di samping itu, banyaknya ide pembaharuan dari tokoh-tokoh Indonesia dan Timur Tengah yang melekat dalam jiwa Natsir, juga telah ikut mempengaruhi pemikirannya  dalam menggagas kenegaraan dalam Islam. Khususnya dalam menyumbangkan pemikirannya tentang bentuk negara Indonesia yang ideal menurut Islam, Padahal saat itu Indonesia  belum merdeka.

M. Natsir pernah menegaskan dalam pidatonya dalam sidang Pleno Konstituante 12 November 1957 bahwa mengenai dasar negara Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu Sekulerisme; tanpa agama (La> diniyyah) dan paham agama (Dini>).[191] Dari pernyataan tegas Natsir tersebut bisa disimpulkan bahwa M. Natsir telah memberikan dua pilihan tersebut sebagai respon atas menguatnya dualisme pemikiran Islam saat itu antara yang menginginkan dasar negara Islam dan sekular.

Paham sekulerisme menurutnya sangat berbahaya dalam membentuk masyarakat ke depan, karena paham ini akan menagakibatkan manusia kehilangan pegangan hidup yang asasnya kokoh, yakni gampang terserang  penyakit syaraf dan rohani, seorang sekulerisme memang beranggapan bahwa konsep tentang Tuhan adalah relatif, yakni ditentukan oleh keadaan masyarakat sendiri, bukan oleh Wahyu.[192]

Sebagaimana yang ia katakan bahwa ajaran sekulerisme, selalu memandang remeh kehidupan agama, karena “menurunkan nilai-nilai hidup manusia dari taraf kehidupan kepada taraf kemasyarakatan semata-mata”.[193]

Paham inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menggerakkan fikiran Natsir, sebagai pemikir Islam. Dengan memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Selain itu berdasarkan atas alasan bahwa secara  sosiologis, mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, dan masyarakat muslimlah yang mempunyai andil besar dalam mengusir penjajah dari bumi nusantara ini, di samping itu baginya ajaran Islam mempunyai sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dalam menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan.[194]

Adapun Thohir Luth, memandang bahwa alasan Natsir bersama-sama partai-partai Islam lainnya mengusulkan Islam sebagai dasar negara karena tiga hal. Pertama, adanya fakta sosiologis, yakni mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim. Kedua, adanya fakta normatif yang jauh sebelum Pancasila  lahir, umat Islam di Indonesia telah menjadikan dan mengamalkan Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Ketiga, adanya komitmen yang sangat kuat tentang Islam dalam diri Natsir, hal ini terbukti dalam pernyataannya yang memperjuangkan Islam sebagai pedoman kehidupan bernegara dan bermasyarakat.[195]

Kalau kita meminjam perkataan seorang orientalis, H.A.R. Gibb, kata  Natsir, maka kita dapat simpulkan bahwa Islam is much more than a religious system, it is a complete civilization, Islam itu lebih dari sebuah sistem peribadatan, ia merupakan suatu kebudayaan yang lengkap dan sempurna.[196] Artinya Islam tidak hanya membicarakan persoalan keakhiratan unsich, melainkan juga masalah keduniawiaan, seperti masalah sosial politik, hukum dan pendidikan.

Bukan hanya itu, Natsir juga menyebutkan bahwa agama Islam adalah agama yang meliputi semua kaedah-kaedah, hudud-hudud (batas-batas) dalam muamalah (pergaulan) masyarakat, menurut garis yang telah ditetapkan oleh Islam.[197] Dengan demikian bisa dikatakan bahwa berdasarkan : pertama. Watak holistik Islam, kedua, keunggulan Islam atas ideologi dunia lain, dan ketiga,  kenyataaan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia, Natsir dan teman-temannya mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi bangsa Indonesia.[198]

Sedangkan menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa ketika Mohammad Natsir berbicara tentang kelebihan agama, mengemukakan dua premis pokok. Pertama, agama memberi kemungkinan lebih banyak kepada pemeluknya untuk mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran; sedangkan dalam filsafat hanya mengakui tiga dasar berpikir tidak mengakui adanya wahyu, yaitu empirisme, rasionalisme dan intusionisme. Kedua, jangkauan agama meliputi seluruh aspek kehidupan.[199]

Dari pandangan-pandangan tokoh dan pendapat Natsir sendiri, yang menyebutkan alasan historis sosiologis di atas; mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam, maka sangat ironis jika agama Islam menjadi minoritas di negara ini. oleh sebab, itu untuk memperkuat ajaran Islam dalam jiwa masyarakat muslim Indonesia, Islam perlu dijadikan dasar negara. apalagi dalam sejarah dinyatakan bahwa sejak Islam masuk di Indonesia telah menjadi salah satu sumber kekuatan politik di nusantara ini, ini terbukti dengan banyaknya kerajaan-kerajaan Islam yang hampir semuanya menjadikan Islam sebagai dasar ideologi kerajaan tersebut.[200]

Menarik untuk dicermati kembali isi pidato Natsir,  yang terkesan tidak konsisten dalam menyatakan alasan. Sebelumnya ia berpendapat bahwa sudah sewajarnya Islam dijadikan dasar negara karena secara sosiologis umat Islam di Indonesia memang mayoritas jumlahnya, sedangkan dalam kesempatan lain ia menyatakan:

“bukan semata-mata umat Islam adalah golongan terbanyak di kalangan rakyat Indonesia seluruhnya, kami memajukan Islam sebagai dasar negara kita, tetapi berdasarkan pada keyakinan kami bahwa ajaran-ajaran Islam yang mengenai ketatanegaraan dan masyarakat hidup itu mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat, serta dapat menjamin hidup keagaman atas saling harga menghargai antara berbagai golongan di dalam negara ini”.[201]

 

      Dengan usaha meyakinkan pada seluruh lapisan bangsa Indonesia, M. Natsir juga menyatakan dalam pidatonya, “kalau pun besar tidak akan melanda, kalupun tinggi malah akan melindungi”.[202]

Sedangkan dalam sisi lain, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, bahwa pernyataan Natsir sebagai salah satu anggota Masyumi tentang maksud suatu negara akan bersifat Islam bukan berarti secara formal harus dinamakan negara Islam ataupun berdasarkan Islam, tetapi negara disusun sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, baik dalam teori maupun praktiknya.[203] Dan mengenai dasar negara menurut Natsir dapat dirumuskan dalam klausul-klausul yang bersifat umum sepanjang mencerminkan kehendak-kehendak Islam.[204]

Untuk menjelaskan sebuah negara, menurut Natsir  tidak perlu memberi definisi panjang karena malah tidak akan menjelaskan pengertian apa-apa tentang negara ini, apalagi sudah terdapat banyak pandangan tokoh yang berlainan dalam hal ini di antaranya, Ibnu Khaldun, Machiavely, Hegel, Marx, Adam Smith, Robert Owen, Plato, Agustinus, Hobbes, Rosseau dan lain sebagainya.[205]

Negara menurut Natsir adalah suatu institusi yang mempunyai hak, tugas dan tujuan khusus. Institusi secara umum adalah suatu badan atau organisasi yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material, peraturan-peraturan sendiri dan diakui oleh umum.[206]

Lebih dari itu, Natsir menambahkan bahwa untuk sesuatu dinamakan institusi apabila[207] :

  1. Bertujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat di lapangan jasmani maupun rohani.
  2. Diakui oleh masyarakat.
  3. Mempunyai alat untuk melaksanakan tujuan.
  4. Mempunyai peraturan-peraturan, norma-norma dan nilai-nilai tertentu.
  5. Berdasarkan atas paham hidup.
  6. Mempunyai keanggotaan.
  7. Mempunyai daerah berlakunya.
  8. Mempunyai kedaulatan atas anggotanya.
  9. Memberikan hukuman terhadap pelanggaran atas peraturan-peraturan dan norma-normanya.

 

.

Maka negara sebagai suatu institutsi, menurutnya harus mempunyai: a) wilayah. b) Rakyat. c) Pemerintah. D) Kedaulatan. E) Undang-undang Dasar, atau suatu sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis. [208] Melihat dari karakteristik yang disampaikan Natsir di atas, maka  bisa dikatakan bahwa konsep negara yang dinyatakan termasuk syarat-syarat negara modern.

Menurutnya, dalam kenegaraan Islam memang hanya mengatur dasar dan pokok-pokoknya saja, seperti halnya kepentingan dan keperluan masyarakat manusia yang tidak berubah-ubah selama manusia masih bersifat manusia, baik itu manusia zaman unta, manusia zaman kapal terbang dan lain sebagainya.[209]

Mengenai bersikerasnya M. Natsir dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara republik ini, karena ia berpandangan bahwa negara bisa menjadi alat yang kokoh bagi berlakunya hukum-hukum Islam.[210] Dengan demikian negara hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan, yakni mewujudkan ajaran-ajaran Islam.

Sebagaimana di atas, Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan akhir Islam, melainkan hanya alat untuk merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah, ia menyebutkan bahwa di antara aturan-aturan tersebut yaitu kewajiban belajar, kewajiban zakat, pemberantasan perzinaan dan lain-lain.[211] Menurutnya negara di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi,baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri,(sebagai individu) ataupun sebagai anggota masyarakat”.[212]

Menanggapi statemen tentang tidak adanya doktrin agama yang menyuruh dan mendirikan negara sebagaimana dinyatakan oleh   Soekarno, bahwa tidak ada ijma‘ ulama yang memerintahkan membentuk negara dibantah oleh Natsir, menurutnya pengutipan ijma‘ oleh  Soekarno tentang masalah ini hanya mempersulit persoalan.[213]

Menurut Natsir, ada atau tidak adanya Islam, eksistensi negara nerupakan keharusan di dunia ini dan di zaman apapun, mendirikan negara tidak perlu disuruh Rasulullah lagi, eksistensi negara telah ada sebelum dan sesudah Islam, Jadi dengan Islam atau tidak tetap saja merupakan sebuah negara.[214]

Melihat pemikiran Natsir tentang dasar negara Indonesia di atas, menimbulkan kesan bahwa Natsir selama perjuangannya adalah anti Pancasila, padahal dalam pidatonya di depan Pakistan Institute of World Affairs pada 1952, sikapnya yang anti Pancasila  berubah. Ia menyatakan bahwa:

Tidak diragukan lagi Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena  telah menyatakan Islam sebagai agama negara, begitu pula Indonesia, menurutnya negara ini juga negeri Islam, karena kenyataannya negara ini diakui sebagai agama rakyat, meskipun dalam konstitusi kami tidak dinyatakan tegas sebagai agama negara. Tetapi Indonesia tidak mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan, bahkan kepercayaan tauhid (monothestic belief) telah ditempatkan pada tempat teratas dari sila Pancasila , yang berfungsi sebagai dasar etik, moral dan spritual bangsa dan negara kita.[215]

Dalam tulisannya yang berjudul “Apakah Islam bertolak belakang dengan doktrin al-Qur’an ?”, Natsir mengatakan:

“Pancasila  adalah formulasi lima cita-cita kebaikan sebagai hasil dari konsensus para pemimpin kita pada tahap perjuangan sembilan tahun yang lalu. Dan sebagai lima dasar kebaikan tidaklah bertentangan dengan al-Qur’an, kecuali apabila dimasuki oleh sesuatu yang tidak sesuai dengan al-Qur’an. Dalam pandangan umat Islam, rumusan Pancasila  tidak memperlihatkan sesuatu yang asing dalam ajaran al-Qur’an, dan meskipun tidak identik dengan Islam itu sendiri, Pancasila  telah mencakup cita-cita islam.

Dan kemudian ia menambahkan, Pancasila  adalah manifestasi dari maksud dan cita-cita tentang kebaikan dimana kita akan melakukan setiap usaha untuk meletakannya ke dalam praktik negara kita.[216]

 

Namun kemudian, Natsir terlihat inkonsisten dengan pendiriaannya, pada 1957 di sidang konstituante ia kembali menolak Pancasila  sebagai dasar negara, karena ideologi ini dianggap sebagai hasil ciptaan manusia dan tergolong sekuler. Dalan hal ini Syafi’i Ma’arif memandang bahwa mungkin Natsir mengambil sikap keras dalam majelis karena telah terjadi pengaburan interprestai Pancasila  yang dibuat-buat oleh masyarakat kita.[217]

Bahkan dalam sidang konstituante tersebut, terang-terangan ia menyatakan bahwa sidang konstituante adalah forum tempat mengemukakan pendapat dan pikiran anggota secara lurus, jujur, dan mencerminkan pemikiran yang hidup di masyarakat. Oleh sebab itu ia beranggapan bahwa kesempatan inilah yang tepat untuk menolak Pancasila .[218]

Menurut Njoto, salah satu tokoh komunis, mengatakan bahwa penerimaan Natsir terhadap Pancasila  selama 12 tahun sebagai dasar dan ideologi negara sekedar “di bibir saja”, karena dalam majelis tersebut, ia sepenuhnya menolak Pancasila , dan bahkan mengusulkan Islam sebagai dasar dan ideologi negara.[219]

Dan lebih keras lagi, Njoto menyerang pandangan Natsir di atas, dengan mempertanyakan mengapa Natsir dalam sidang-sidang majelis, memperlihatkan sikap-sikap “kejam” terhadap Pancasila  dengan menyebutnya tidak berdasar, netral, dan streril yang sepenuhnya menolak Pancasila. Njoto kemudian mengajukan pertanyaan: Natsir yang mana yang harus diikuti, apakah Natsir pada tahun 1954 atau Natsir pada tahun 1957? Atau malah tidak kedua-duanya.[220]

Sebagai seorang demokrat sejati Natsir harus menerima Pancasila  sebagai dasar negara, yang telah diberlakukan sejak 1945 sampai tejadinya perdebatan ideologis di majelis konstituante 1957. Namun perlu diketahui bahwa apa yang dilakukan Natsir dalam sidang konstituante tersebut secara konstitusional adalah sah, karena pada saat itu majelis belum menetapkan dasar negara baru yang permanen. Dan sebagaimana tokoh politik yang lain, Natsir sebagai representasi dari pihak muslim berhak mengajukan Islam sebagai dasar negara melawan pendukung Pancasila  dalam momen itu.[221]

Perubahan sikap Natsir dalam sidang konstituante saat itu, menurut Deliar Noer dipicu oleh tiga alasan. Pertama, majelis konstituante merupakan forum tertinggi bagi para anggotanya untuk mengusulkan ideologi negara yang mereka yakini dan cocok untuk negara Indonesia. Kedua, dalam majelis, Natsir dan teman-temanya memikul tanggung jawab agama dan politik dalam memperjuangkan   aspirasi politik umat Islam, yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Ketiga, sebagaimana wakil-wakil non muslim yang menjelaskan argumentasi usulan mereka, Natsir juga menjelaskan usulannya secara argumentatif pula.[222]

Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, Natsir mengatakan boleh saja meniru negara non Islam asalkan tidak menyalahi ajaran-ajaran Islam, sebab dari syarat-sayarat negara yang ia sebut di atas adalah tidak sepenuhnya sistem negara Islam. Kemudian menyinggung soal nama penguasa negara, Natsir juga tidak bersikeras menggunakan istilah-istilah penguasa Islam, menurutnya boleh saja bernama khalifah, Amir al-Mu‘minin, presiden dan lain sebagainya.[223]

Selain itu titel “kholifah” menurutnya tidak menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan conditio sine qua non, yang terpenting adalah seorang kepala negara tersebut sanggup bertindak bijaksana dan menerapkan peraturan-peraturan Islam dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik dalam kaidah maupun praktiknya.[224] Dan untuk syarat sebagai kepala negara Islam, Natsir menilai dari sisi: agamanya, sifat dan tabi’atnya, akhlak dan kecakapannya dalam menjalankan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Jadi, bukan dari bangsa dan keturunannya atau semata-mata keintelekannya saja.[225]

Dalam menjalankan roda pemerintahan, seorang kepala negara menurut  Natsir, wajib bermusyawarah dengan orang-orang yang layak diajaknya dalam mengatur umat. Adapun untuk urusan-urusan yang di luar ketetapan agama, semua boleh diatur menurut keadaan zaman, dengan cara-cara yang Muna>sabah, dan tidak melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan.[226]

Oleh sebab itu, Natsir membolehkan umat Islam untuk mencontoh sistem negara lain, dalam hal ini ia menuliskan:

Bila sudah ada sistem yang dikehendaki itu terdapat di negara-negara lain, kita orang Islam  ada hak mencontoh negara itu selama tidak berlawanan atau bertentangan dengan aturan-aturan yang diadakan Islam. Sebab tiap-tiap hasil kebudayaan, bukanlah monopoli salah satu bangsa atau salah satu negara saja. Kita ada hak mengambil peraturan-peraturan yang baik, yang tidak berlawanan dengan agama kita, dari Inggris, Jepang, Rusia, atau dari Finlandia umpamanya.[227]

 

Dengan demikian Natsir mengakui sistem pemerintahan sekular, sebab dari negara-negara yang ia sebut di atas adalah negara yang memisahkan agama dan negara. dan lebih spesifik, bisa dikatakan bahwa Natsir menganggap Islam tidak mempunyai sistem negara yang lengkap sehingga ia harus mencontoh Barat.

Lebih lanjut, Yusril Ihza Mahendra juga mengatakan hal yang sama, yakni contoh negara-negara yang disebutkan Natsir di atas sangatlah liberal, karena Jepang di masa itu adalah sebuah negara totaliter yang berhaluan fasis, apalagi Rusia adalah sebuah negara komunis. Contoh-contoh itu lanjut Yusril, sengaja ditunjukkan oleh Natsir, semata-mata ingin memeperlihatkan bahwa doktrin politik Islam itu bersifat terbuka untuk beradaptasi dengan sistem-sistem pemerintahan yang telah ada di dunia ini.[228]

Namun demikian, ketika Natsir berbicara tentang sistem pemerintahan demokrasi, perlu dicermati lebih lanjut, sebab dalam pandangannya prinsip musyawarah dalam Islam tidak selalu identik dengan azas demokrasi, meskipun ia mengemukakan bahwa Islam anti Istiibdad(despostisme), anti absolutisme dan kesewenang-wenangan.[229] Bukan berarti bahwa dalam pemerintahan Islam semua urusan diserahkan kepada keputusan majelis Syura, sebab Dalam parlemen negara Islam yang boleh dimusyawarahkan hanyalah masalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syari’at Islam), bukan dasar negaranya.[230] 

Dalam Islam pengertian demokrasi diartikannya suatu aturan yang memberikan hak kepada rakyat untuk mengkritik dan membetulkan pemerintahan yang zalim, kalau perlu menggunakan kekuatan dan kekerasan untuk menghilangkannya.[231]

Natsir mengakui bahwa demokrasi itu baik, akan tetapi sistem kenegaraan Islam tidaklah menggantungkan semua urusannya kepada instrumen demokrasi, menurutnya demokrasi tidak kosong dari berbagai bahaya yang terkandung di dalamnya. Ia menyatakan bahwa perjalanan demokrasi dari abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik. Akan tetapi bukan berarti ia lepas sama sekali dari pelbagai sifat-sifat bahaya.[232]

Dengan tegas ia mengatakan bahwa Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri, yang juga mempunyai sifat-sifat sendiri. Intinya “Islam tak usah demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam itu…yah Islam”.[233] Hal ini disebabkan karena politik tidaklah semata-mata harus didasarkan kepada kemauan mayoritas anggota parlemen. Keputusan itu tidak dapat melampaui H{udud(batas-batas) yang telah ditetapkan Tuhan.[234]

Dari uraian di atas, Natsir tidak menjelaskan bagaimana sesungguhnya demokrasi dalam Islam. Namun kemudian dalam sidang konstituante 1957 ia memperkenalkan konsep demokrasi yang ia maksudkan,  “Thestic Democracy”, yaitu demokrasi yang dilandasakan pada nilai-nilai ketuhanan.[235] Maksudnya keputusan mayoritas yang berpedoman kepada nilai-nilai ketuhanan, yang kemudian ia anggap sebagai ijma’ yang mengikat untuk tempat dan zaman tertentu.

Oleh sebab itu, berangkat dari pandangan-pandangan Natsir di atas dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa hubungan Islam dan negara tidak dapat dipisahkan, dan secara tersurat ia mendukung Islam dijadikan ideologi negara. kesimpulan tersebut bisa dilihat dari pernyataannya bahwa:

Fungsi agama dalam negara sangatlah penting dan tidak boleh diabaikan sama sekali, lebih lanjut ia mendefiniskan persatuan agama dan negara. Bagi kita kaum muslimin negara bukanlah suatu badan tersendiri yang menjadi tujuan, melainkan sebuah alat. Persatuan tersebut bukanlah dimaksudkan bahwa agama itu cukup dimasuk-masukkan saja di sana sini kepada negara,  bukan begitu!

Dan urusan kenegaraan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan, satu “intergreerend deel” dari Islam. Yang menjadi tujuan adalah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (individu), ataupun sebagai masyarakat[236].

 

Dan pada intinya. Pertama, sistem ketatanegaraan dalam pandangan Natsir boleh meniru bentuk mana saja (Barat), asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua, menurutnya, hubungan agama dan negara dalam politik Islam tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab Islam tidak seperti agama yang lain. Islam baginya telah menyediakan perangkat dasar yang dapat diterapkan sesuai zamannya. Ketiga, berdasarkan fakta di atas, Natsir sebagai tokoh muslim tampak ingin sekali menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia.

Kemudian, Natsir juga menghimbau kepada kaum muslimin agar dalam masalah persatuan atau pemisahan agama dan negara ini tidak menjadikan “sejarah sebagai ukuran” kebenaran terakhir.[237]

Sketsa Biografi Abdurrahman Wahid

  1. 1.      Latar Belakang Sosial Politik

Berbeda dengan Natsir, Abdurrahman Wahid lahir dari latar belakang kalangan tradisional, sejak kecil ia dididik dan dibesarkan dalam naungan keluarga ulama. Kakeknya adalah seorang pelopor pesantren Tebuireng, Jombang dan sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari.

Pada saat usia kanak-kanak ia tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya, Gus Dur tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut bersama kakeknya. Dan saat tinggal serumah dengan kakeknya itulah, ia mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah kakeknya.[238]

Tahun 1950, Gus Dur dan saudara-saudaranya harus pindah ke Jakarta,  sebab saat itu bapaknya dilantik menjadi menteri agama Republik Indonesia. Sehingga mengharuskannya bermukim di Jakarta. Keluarga Gus Dur tinggal di Hotel Des Indes yang sekarang menjadi pusat pertokoan Duta Merlin.  Karena kedudukan bapaknya ini pulalah, ia semakin akrab dengan dunia politik yang ia dengar dari rekan-rekan ayahnya saat bincang-bincang di rumahnya itu. Lagi pula, Gus Dur termasuk anak yang sangat peka mengamati dunia sekelilingnya. Maka tak heran menurut pengakuan ibunya, “sejak usia lima tahun, dia sudah lancar membaca, dan gurunya saat itu adalah bapaknya sendiri”.[239]

Selain membaca buku, Gus Dur mempunyai hobi lain, yaitu: main bola, catur, musik, dan nonton film. Di usia yang masih belasan tahun ia sudah banyak menghabiskan segala macam majalah, buku, surat kabar. Mulai dari filsafat, sejarah, agama, cerita silat, dan fiksi cerita.[240] Buku-buku itu bisa ia dapatkan dari perpustakaan pribadi bapaknya, yang memang terdapat berbagai macam buku yang dikoleksinya, baik buku yang diterbitkan oleh orang-orang katolik atau non muslim lainnya.[241]

Sementara itu, perkenalannya dengan musik dimulai lewat pertemuannya dengan seorang pria Jerman, teman baik bapaknya yang telah berpindah ke agama Islam dan dipanggil dengan nama Williem Iskandar Bueller. Dan dari  sinilah pertama kali Gus Dur tertarik dan mencintai musik klasik, khususnya karya Bethoven.[242]

Kegemaran Gus Dur terhadap berbagai hal tersebut, membuat sekolah formalnya terganggu, bahkan sampai membuatnya tidak naik kelas di sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP). Ini disebabkan sangat gandrungnya ia dalam menonton sepak bola dan membaca buku, di samping itu juga karena ia masih dalam keadaan sedih karena kehilangan bapaknya saat kecelakaan mobil tanggal 18 April 1953.[243]

Gus Dur dilahirkan di Denanyar, Jombang, pada tanggal 4 sya’ban menurut penanggalan Islam,  yang kemudian bertepatan dengan tanggal 7 September 1940 M. Namun demikian perayaan hari kelahirannya selalu diadakan pada tanggal 4 Agustus,[244] hal ini memang aneh, sebagaimana terlihat dalam aspek  kepribadiannya yang nyleneh pula, seringkali mengundang kontroversial.

Ditilik dari geneologi keluarganya, Gus Dur termasuk dari golongan “darah biru” pesantren. Ia merupakan anak dari K.H. Abdul Wahid Hasyim, yang ia sendiri merupakan anak dari Hadratu al-Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri pesantren Tebuireng, Jombang. Sementara ibunya, bernama Nyai Hj. Siti Salekhah yang merupakan anak dari K.H. Bisri Syamsuri, pendiri pesantren Denanyar, Jombang. Dan kedua kakeknya itu dikenal sebagai Founding Father  NU di samping K.H. Wahab Hasbullah.[245]

Walupun bapaknya seorang menteri dan terkenal di lingkungan Jakarta, Gus Dur tidak ingin sekolah di sekolahan elit yang biasanya dimasuki anak-anak pejabat pemerintah, ia lebih menyukai sekolah-sekolah biasa, menurutnya sekolahan elit membuatnya tidak betah.

Gus Dur memulai  pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat (SD) KRIS, di  Jakarta Pusat. Ia hanya mengikuti kelas tiga dan empat di sekolahan ini, karena kemudian ia pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari, yang terletak di dekat rumah  keluarganya yang baru di Matraman, Jakarta Pusat.[246]

Pada tahun 1953, Gus Dur tamat dari sekolah dasarnya di Jakarta. Lalu setahun setelah tamat SD, pada tahun 1954 ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta dan berhasil menamatkannya pada tahun 1956.[247] Di kota ini persisnya di desa Kauman, Gus Dur bermukim di rumah salah seorang teman ayahnya, Kiai Junaidi, seoarang ulama kecil yang terlibat dalam gerakan organisasi Muhammadiyah. Bahkan Lebih dari itu, ia juga termasuk anggota Majelis Tarjih (Dewan Penasihat Agama Muhammadiyah). Selain itu, Gus Dur juga mengaji tiga kali seminggu di pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan K.H. Ali Maksum. [248]

Ketika di Jakarta, Gus Dur sudah mampu berbicara bahasa Inggris dengan baik dan bisa membaca tulisan dalam bahasa Prancis dan Belanda, serta sudah mengerti bahasa Arab tetapi masih pasif. Namun ketika ia belajar di kota Yogyakarta, perkembangan bahasanya berkembang cepat.[249] Bagi Gus Dur yang suka membaca buku, Jogja merupakan kota pembawa berkah bagi perkembangannya.

Setelah tamat dari SMEP di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus Dur mulai mengikuti pelajaran pesantren secara penuh, tepatnya di pesantren Tegalrejo Magelang, yang terletak di sebelah utara kota Yogyakarta. Ia belajar di pesantren ini dari tahun 1957-1959 pada Kiai Khudori, salah satu pemuka NU.[250]  

Kemudian pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke pesantren Tambak beras Jombang. Di bawah bimbingan Kiai Wahab Chasbullah, sampai pada tahun 1963. Di sini ia sempat mengajar dan menjadi kepala sekolah, namun kemudian Gus Dur pindah lagi ke pesantren Krapyak Yogyakarta dan tinggal  di rumah Kiai Ali Ma’shum.[251] Pada masa-masa itulah (sejak akhir 1950-an sampai 1963) Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan sastra Arab klasik.

Di samping itu, perpindahannya dari Yogyakarta ke Magelang dan kemudian ke Jombang, yang dalam proses pertumbuhan dari kanak-kanak menjadi remaja, menjadikannya mulai serius memasuki dunia bacaan: tokoh-tokoh teori sosial Eropa dan novel-novel besar Inggris, Parancis dan Rusia. Sebagai seorang remaja ia mulai mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, dua pemikir penting bagi sarjana-sarjana mengenai Islam zaman pertengahan.

Pada saat yang sama ia juga tertarik menggeluti karya Das Kapital yang ditulis oleh Marx dan What is Tobe Done nya Lenin. Kedua buku itu menurutnya gampang diperoleh, karena saat itu partai komunis Indonesia membuat kemajuan besar. Di samping itu ia juga tertarik pada ide Lenin tentang ketelibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism (kekiri-kirian Penyakit Kekanak-kanakan) dan dalam Little Res Book-Mao (kutipan kata-kata ketua Mao).[252]

Setelah menimba ilmu dari pesantren-pesantren di atas, pada tahun 1964 Gus Dur memperoleh kesempatan belajar ke Universitas al-Azhar Kairo Mesir, melalui beasiswa Departemen Agama. Saat itu ia sedang berumur 23 tahun, dan telah menyelesaikan gramatika bahasa Arab  sebanyak 1000 bait (Alfiah)  di luar kepala. Di negeri ini, Gus Dur mengambil spesialisasi bidang Syari’ah. Namun, ia merasa tidak betah belajar di sini karena materi yang diajarkannya tidak jauh berbeda dengan apa yang ia dapatkan di pesantren dulu.[253]

Oleh sebab itu, di Mesir Gus Dur lebih memilih aktif di organisasi Perhimpunan Mahasiswa Indonesia daripada menekuni belajarnya. Dengan demikian, sebagian waktunya ia habiskan untuk membaca di perpustakaan terkenal di kota itu, American University Library, sebuah perpustakaan terlengkap di kota Kairo dan waktu lebihnya ia manfaatkan menonton film.[254] Namun demikian bukan berarti Gus Dur kecewa sepenuhnya kepada institusi al-Azhar, karena di kota ini ia juga banyak memanfaatkan kelompok diskusi dengan para intelektual muda Mesir untuk bertukar fikiran, di samping menonton kegemarannya film-film Prancis dan sepak bola.[255]

Dari Kairo Gus Dur pindah ke Irak, untuk mengikuti kuliah di Universitas Baghdad, Fakultas Sastra, selama empat tahun. Di sini ia banyak belajar tentang sastra dan kebudayaan Arab, filsafat Eropa dan teori sosial. Menurut pengakuannya ia sangat senang dengan sistem Universitas Baghdad ini karena kampus tersebut jauh lebih mirip Eropa daripada al-Azhar Kairo, selain itu Gus Dur juga pernah menjadi ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Timur Tengah dari tahun 1964 sampai 1970.[256]

Di negeri inilah bakat empirismenya tumbuh pesat, lingkungan baru ini juga membantunya banyak membaca karya-karya pemikiran seperti pemikiran Emile Durkhim. Minatnya tentang Indonesia juga mulai tumbuh di Universitas tersebut, sebab referensi buku tentang Indonesia cukup banyak tersedia di sana. Dan akhirnya di univesitas Baghdad ini pulalah ia diminta untuk meneliti asal-usul historis Islam di Indonesia.[257]

Lalu pada tahun 1971, Gus Dur melanjutkan petualangannya ke negeri  Eropa dengan harapan bisa belajar di salah satu universitas di sana, tetapi harapan ini sukar terwujud, karena background studinya di Kairo dan Baghdad tidak diakui di Eropa. Ia juga sempat bermaksud pergi ke McGill Univesity di Kanada, untuk belajar program studi Islam yang sangat diseganinya. Tapi tidak kesampaian karena ia lebih memilih balik ke Indonesia. [258] Tetapi, kemudian ia memutuskan untuk tetap tinggal di Indonesia saja, sebagian karena diilhami oleh berita-berita perkembangan baru dunia pesantren yang menggembirakan.[259]

Setelah itu, akhirnya Gus Dur kembali lagi ke Indonesia dan kehidupan pesantren. Pada tahun 1972-1974, ia menjadi dosen dan dekan Fakultas Ushuluddin di Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY), yang sekarang menjadi Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA), Jombang. Kemudian dari tahun 1975-1979, ia menjadi sekretaris umum pondok pesantren Tebuireng, Jombang.[260]

Selama periode ini, Gus Dur juga banyak terlibat dalam kepemimpinan nasional NU. Sampai akhirnya pada tahun 1979 ia hijrah ke Jakarta, dan mengawali kariernya di PB NU sebagai katib awal Syuriah NU, dan menjadi dosen IAIN Syarif Hidayatullah, sebelum akhirnya mendirikan Pesantren Ciganjur, di Jakarta Selatan.[261] Selain itu, ia juga banyak terlibat dalam berbagai proyek dan aktivitas di Jakarta termasuk mengajar di dalam program pelatihan bulanan kependetaan Protestan.[262]

Setelah menetap di Jakarta, secara teratur ia melakukan kontak dengan intelektual muslim progresif di Jakarta, seperti Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi untuk ikut bergabung dalam forum diskusi dan lingkaran studi mereka. Meskipun latar belakang pendidikannya berbeda, akan tetapi Gus Dur jauh lebih siap untuk menggagas wacana agama yang bercorak liberal.[263]

Rentetan petualangan pendidikannya di atas, telah menjadikannya sebagai tokoh intelektual yang berfikiran liberal, longgar dan moderat. Bahkan menurut Greg Barton, meskipun Gus Dur tidak pernah menempuh pendidikan formalnya di Barat, akan tetapi sikap dan pemikirannya jauh lebih siap untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran Barat, pendidikan Islam dan masyarakat muslim. Selain belajar secara otodidak, studinya di Baghdad juga banyak memberikan dasar-dasar yang baik mengenai wacana liberal yang bercorak Barat dan sekular.[264]

Karena sikap liberal, progresif dan inklusif inilah, kemudian ia diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1982-1985. Ia juga pernah menjadi juri pada Festifal Film Indonesia, yang saat itu masih dianggap tabu oleh kaum santri (NU).[265] Sikap dan pemikiran Gus Dur semakin liberal dan progresif  ketika dipercaya menjabat ketua PBNU pada tahun 1984,[266] hal ini bisa dilihat dari gagasan-gagasannya,[267] seperti Pribumisasi Islam, orang-orang non muslim menjadi presiden Indonesia, rukun tetangga (sosial), dan lain sebagainya.[268]

Kemudian dari tahun 1985 hingga 1990 ia berkhidmat dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan sejak tahun 1994 ia menjadi penasehat International Dialogue Foundation on Perspective Studies of Syari’ah and Secular Law, di Den Haag.[269]

Namun sebelumnya dalam periode yang sama tahun 1993, Gus Dur dinobatkan sebagai seorang yang layak menerima piagam “Ramon Magsasay” dan hadiah senilai 50.000 dollar AS, sebuah penghargaan bergengsi yang diberikan pada tokoh Asia karena dinilai telah memberi kemajuan yang khas bagi bangsanya.[270] Bersamaan pada periode itu,  Gus Dur juga terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial, seperti LSM Fodem (Forum Demokrasi), di sini ia menjabat sebagai ketuanya.[271]

Karena kritik politiknya terhadap kediktatoran negara dan gagasan-gagasannya yang berkaitan dengan demokrasi, pluralisme agama, kebebasan berpendapat, dan pribumisasi Islam, telah mendapat respon dari kalangan luas (sejak tahun 1980-an sampai 1990-an), maka tidak aneh saat reformasi 1998 terjadi, ia dijuluki sebagai salah satu tokoh pembawa gerbong reformasi.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            

Akhirnya pada tahun 1998 pasca reformasi, Gus Dur yang saat itu masih aktif menjabat ketua umum PBNU mendirikan sebuah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), pada tanggal 23 Juli 1998, dengan menyatakan bahwa PKB bukanlah Partai Islam dan merupakan partai yang menginginkan negara sekuler.[272] Dengan dukungan PKB dan Partai-Partai Islam yang dinamakan “poros tengah” saat itu, telah berhasil mengantarkannya pada kursi kepresidenan pada tahun 1999 di masa reformasi ini.

Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden, dengan cara yang sangat demokratis telah mengangkat citra kelompok santri dalam percaturan politik nasional, yang sebelumnya seringkali dimarginalkan. Namun sayang masa pemerintahan Gus Dur harus berhenti di tengah jalan pada tanggal 23 Juli 2001 secara inkonstitusional karena sikap politiknya yang mengundang banyak kritik, dari pengamat dan lawan politik yang mengantarkannya  dulu.

Cara pemberhentian ini benar-benar menyakiti kalangan santri, yang kemudian membuat mereka terpaksa kembali menelan kepahitan politik di awal sejarah reformasi ini. Namun yang menjadi cukup menarik setelah ia dijatuhkan dari kepresidenan, Gus Dur kembali membuat geger masyarakat muslim dengan menerima penobatan sebagai anggota kehormatan Legium Kristus pada 28 Januari 2002 di Tataaran Tonando, Minahasa, Sulawesi Utara.[273] Dan mengenai peran Gus Dur di PKB saat ini (tahun 2003-2004), ia masih menjabat sebagai ketua Dewan Syura partai tersebut.

  1. 2.      Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara.

Masalah relasi Islam dan negara merupakan salah satu hal yang penting dalam pemikiran Gus Dur, oleh sebab itu banyak orang yang melakukan review terhadap pemikirannya ini. Secara garis besar bisa dikatakan bahwa arus pemikiran Gus Dur mengenai relasi Islam dan negara dapat dikategorikan sebagai pemikiran yang sekularistik, yaitu pemisahan antara agama dan negara, yang sejalan dengan pemikiran Ali Abd al-Raziq.

Berbeda dengan M. Natsir dengan berbagai alasannya di atas, yang menginginkan Islam dijadikan kekuatan ideologi dan dasar negara ini. Gus Dur sebaliknya, ia menolak Islam dijadikan ideologi, karena menurutnya kalau agama, politik dan budaya diideologikan fungsinya akan terdistorsi dan bukan malah mendapatkan struktur yang lebih baik, melainkan justru akan memicu disintegrasi yang berbasis sekretarian dan konflik horizontal.[274]

Menurutnya, ada dua alasan mengapa ia menolak didirikannya negara Islam.[275] Pertama, argumentasi normatif-teologis, yang menyebutkan bahwa Daulah Isla>miyyah(Islamic State) tidak pernah disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an. Memang dalam al-Qur’an ada ayat yang berbunyi Baldatun T{ayibatun wa rabbun Gafur, sebuah ayat yang lebih pada konteks sosiologis, yaitu negara yang baik, penuh pengampunan Tuhan. Atas dasar inilah Islam tidak memberi konsep yang jelas, melainkan hanya memberi nilai etik bagi kehidupan bangsa dan negara.

Kedua, argumentasi historis, yaitu berkaitan dengan fakta bahwa dalam sejarah Islam tidak pernah menunjukan adanya mekanisme baku bagaimana suksesi dalam Islam. Ini bisa dilihat dari keempat khalifah pertama sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme yang berbeda satu sama lain,[276] padahal pengangkatan seorang kepala negara merupakan kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan.

Selain itu, dalam konteks negara pluralistik seperti Indonesia, menjadikan Islam atau agama apapun sebagai ideologi negara hanya akan memicu disintegrasi bangsa, karena menurutnya sangat tidak mungkin memberlakukan formalisme agama tertentu dalam komunitas agama masyarakat yang sangat beragam. Oleh sebab itu, baginya pluralitas merupakan hukum alam atau Sunnatullahdi negeri ini, dan seharusnya Islam dijadikan sebuah nilai etik sosial (social ethics), yang berarti Islam berfungsi komplementer dalam kehidupan negara.[277]

Apabila Islam dijadikan ideologi negara, berarti akan membuka peluang intervensi negara terhadap agama dan politisasi agama, padahal ajaran-ajaran agama itu sendiri bersifat privat, yang berjalan di kalangan masyarakat melalui persuasif, bukan melalui perundangan negara yang bersifat kohesif. Selanjutnya, Gus Dur menyatakan bahwa agama merupakan dimensi privat yang paling independen dari manusia dan tidak boleh diintervensi oleh negara yang bersifat publik.[278]

Baginya Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang, toleran dan keadilan. Untuk itu Gus Dur sepakat dengan aksioma bahwa Islam adalah agama pembebasan (a liberating religion), yang lahir dalam konteks  protes terhadap ketidakadilan di tengah komersial Arab dengan nilai-nilai dasarnya, seperti musyawarah, persamaan dan keadilan.[279]

Pemaksaan formalisasi hukum Islam melalui struktur negara, bagi Gus Dur, merupakan pengingkaran terhadap demokrasi yang ingin ditegakkan di negeri ini, padahal dalam negara demokrasi nilai egalitarianisme sangatlah dijunjung tinggi, bukan malah menjadikan pemeluk agama lain menjadi warga negara kelas dua.[280]

Dalam pandangan Greg Barton, Fachry Ali, dan Bachtiar Effendi, Gus Dur dikategorikan dalam aliran neo-modernis.[281] Ini dikarenakan gagasan-gagasannya yang liberal dan tetap menggunakan esensi khazanah pemikiran tradisional (legacy of past).

Berkaitan dengan ideologi Pancasila, yang ia sampaikan dalam sambutannya saat menerima penghargaan Magsaysay, Gus Dur menunjukkan pemikirannya dengan berkomentar mengenai prestasi umat Islam Indonesia:

“Pada mulanya ada semacam pertentangan antara Islam, yang saat itu ditawarkan dalam bentuk ideologi melawan Pancasila , di satu sisi adalah pemberontakan kelompok militan muslim yang dikenal pada tahun 1950-an sebagai Darul Islam. Sisi lain, pertentangan itu tercermin dalam kemacetan sidang konstituante pada tahun 1959, yang ditugaskan menetapkan sebuah konstitusi bagi republik ini.

 

Sebagai sebuah bangsa, Indonesia mampu menyelesaikan masalah itu secara pasti, yaitu dengan menghasilkan sebuah formulasi mendasar bahwa Pancasila  dijadikan asas dasar dan ideologi setiap organisasi, sementara agama tetap dijadikan landasan kepercayaan. Pengakuan atas berbagai ragam agama dan ideologi nasional itu memberi jaminan kebebasan bagi setiap pemeluk agama untuk menjalankan kepercayaannya masing-masing”.[282] 

 

Lebih dari itu, Gus Dur juga menyatakan bahwa tanpa Pancasila  negara Indonesia akan bubar, ideologi ini merupakan asas negara yang harus kita miliki dan perjuangkan. Dan Pancasila  ini akan saya pertahankan dengan nyawa saya sendiri, tidak peduli apakah ia dikebiri angkatan bersenjata, dimanipulasi umat Islam,  atau malah disalahgunakan oleh keduanya.[283]

Ini merupakan pernyataan yang penuh resiko pada tahun 1990-an, karena pada saat itu rakyat Indonesia sudah sangat bosan dan jenuh mendengar Pancasila  yang selalu disebut oleh pejabat-pejabat dan hampir setiap hari dipropogandakan dalam media massa. Seolah-olah Pancasila  saat itu telah menjadi mantra pemerintahan dalam menjalankan kebijakan, dan sempat menjadi ejekan karena semua kegiatan harus berlabelkan Pancasila , seperti pers Pancasila , ekonomi Pancasila , bahkan sepak bola Pancasila .[284]

 Selanjutnya, mengenai relasi antara agama dan negara yang selalu menimbulkan ketegangan sejak periode awal Indonesia merdeka, antara kaum nasionalis dan kaum muslim. Gus Dur sebagaimana K.H. Achmad Siddiq, berupaya untuk mencairkan ketegangan tersebut, dengan menyatakan bahwa Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan perorangan maupun kolektif, sedangkan negara tidak mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh masyarakat yang berbeda-beda agama dan pandangan hidupnya.[285]

 Singkatnya, Gus Dur menginginkan adanya pemisahan wewenang fungsional agama dan negara yang berbau sekularistik. Lalu bagaimana ia menanggapi tuntutan sebagian masyarakat yang selalu mendesak penerapan syari’at Islam dengan mengundangkan secara positif dalam hukum negara?

Untuk menjawab ini, Gus Dur berbicara tentang “hukum Islam” yang dalam kenyataannya hanya berlaku sebagai panduan moral yang dilakukan atas kesadaran masyarakat, mengikat dengan sendirinya (Mulzimun binafsihi), bukan karena dipaksa negara. Dan menurutnya, sebuah hukum agama dapat diundangkan negara apabila hal itu dapat berlaku untuk seluruh komponen masyarakat, meskipun berbeda agama, (Wad‘u al-Ah}kam fi H{alatiImka>niyyah Wad‘ihi). [286]

Sebagaimana yang ia katakan di atas, bahwa rumusan Pancasila  sebagai ideologi negara  harus kita pegang teguh. Di samping itu, yang terpenting bagi umat Islam menurut Gus Dur adalah pengaturannya (al-H{ukmu) bukan al-Qur’an. Dalam Islam sendiri tidak mengenal sistem pemerintahan yang definitif, seperti yang dikatakan negara bangsa (nation state) saat ini, memang pernah ada tiga sistem yang dipakai dalam Islam, di antaranya sistem Istikhlaf,Bay‘ah, Ahl H{alli wa al-‘Aqdi, tetapi ini hanya terjadi dalam tempo 13 tahun.[287]

Ada beberapa teoritisi Islam seperti al-Mawardi (al-Ah}ka>m as-S}ultaniyyah), Ibnu Abi ‘Arabi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun (Muqadimah), yang telah banyak merumuskan konsepsi kenegaraan. Dan ternyata paham kebangsaan ini, menurut Gus Dur pernah digali oleh pikiran cemerlang Ibnu Khaldun.[288]

Dalam konteks ini, Gus Dur setuju dengan pendapat Ibnu Khaldun yang menyatakan, bahwa agama saja tidak cukup untuk dapat membentuk negara. Pembentukan negara, disamping paham keagamaan juga diperlukan rasa ‘As}h}abiyyah (perasaan keterikatan) untuk membentuk ikatan sosial kemasyarakatan. Sebab, menurut Ibnu Khaldun, alasan berdirinya sebuah negara karena adanya perasaan kebangsaan.[289]

Dan yang tak kalah penting menurutnya adalah fungsi negara sebagai penyerap heterogenitas dan kepentingan masyarakat, oleh sebab itu tidak aneh kalau Gus Dur menolak Islam sebagai ideologi negara di Indonesia, sekalipun agama itu merupakan anutan mayoritas  penduduk di negara ini.[290]

Di Indonesia, hubungan Islam dan negara pernah mengalami ketegangan politik yang tajam, sebab Islam politik dianggap sebagai pesaing yang mengusik basis kebangsaan. Ketegangan itu bisa dikatakan relatif berhenti, setidaknya secara de jure, semua ormas Islam menerima Pancasila  sebagai satu-satunya asas organisasi pada tahun 1980-an yang lalu.[291]

Ada dua hal yang ditawarkan Gus Dur dalam menetralisasi ketegangan kedua pihak tersebut. Pertama, menjadikan Islam sebagai etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, mengembangkan Islam sesuai dengan konteks setempat atau yang biasa dikenal pribumisasi Islam.  Dan kedua tawaran itu kemudian mengarah pada penempatan Islam sebagai faktor komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik di Indonesia.[292]

Dengan berprinsip al-Gayah wa al-Wasa>il(tujuan dan cara penyampaiannya), Gus Dur menegaskan bahwa Islam bertugas melestarikan sejumlah nilai dan prilaku sosial yang mengaitkan pencapaian tujuan dengan kemulian cara yang digunakan. Oleh sebab itu, menurutnya selama tujuan masih tetap, maka cara penyampaian  menjadi masalah sekunder, dan yang dimaksud nilai dan prilaku tersebut adalah Ah}laq al-Karimah.[293]

 Jelaslah dengan demikian, Islam berfungsi sebagai etika sosial yang memandu jalannya kehidupan bernegara bukan sebagai bentuk kenegaraan tertentu.[294] Pendapat-pendapat Gus Dur tersebut merupakan konsekuensinya  dalam memperjuangkan demokrasi dan semangat pluralisme di negeri ini.

Di samping itu, menurutnya dalam prespektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah, pemerintahan ditilik dan dinilai dari segi fungsionalnya, bukan dari norma formal eksistensinya, negara Islam atau bukan.[295] Selama kaum muslim dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh, maka bentuk pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikirannya.

Dan atas dasar kerangka berfikir inilah, NU di bawah aksi politik yang dimotori Gus Dur secara sadar menerima asas tunggal Pancasila, dan tentunya dengan mendapat persetujuan para ulama organisasi tersebut. Lebih lanjut, Pancasila  dalam pandangan NU merupakan ideologi bangsa yang sejalan dengan visi Imam Syafi’i tentang tiga jenis negara: Da>ru al-Isla>m, Da>ru al-H{arbi dan Da>ru as-S}ulh}.[296] Dan Gus Dur sendiri dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa pemerintahan yang berideologikan Pancasila  ini, bisa dikategorikan dalam negara damai (Da>ru as-S}ulh) yang harus dipertahankan.

Melihat kebijakan NU, yang dalam sejarah politik Indonesia acapkali menunjukkan sikap akrab dengan negara, tak heran kalau banyak orang yang menuduh NU sebagai organisasi opurtunistik. Namun Gus Dur membantah itu, karena bagi NU, pedomannya bukanlah strategi perjuangan politik atau ideologi Islam dalam artian yang abstrak, melainkan keabsahan di mata hukum fiqih.[297]

Secara teoritis, Gus Dur juga mengakui bahwa pemikiran negara dalam Islam telah terbagi menjadi dua arus, yakni idealistik dan realistik.[298] Dalam pemikiran idealistik menginginkan sebuah konsep kenegaraan yang sepenuhnya berwawasan Islam, yang kemudian arus ini dinamakan Gus Dur  sebagai kelompok alternatif.

Sementara pandangan realistik, lebih tertarik pada pemecahan masalah bagaimana perkembangan historis yang berkaitan dengan negara dapat  ditampung dalam pandangan Islam, yang kemudian dalam konteks ini Islam dijadikan sebagai faktor komplementer bagi ideologi negara.

Gus Dur seringkali memunculkan gagasan kontroversial di mata masyarakat, baik ketika di NU, PKB maupun di Pemerintahan. Oleh sebab itu, ia kerap memperoleh serangan sebagai pro-Kristen, agen Zionis dan berbagai tuduhan minor lainnya.[299] Ini dikarenakan sepak terjangnya yang terkesan tidak membela Islam.

Bahkan menurut Liddle, di antara para tokoh tradisionalis, Gus Dur adalah seorang tokoh yang paling unik, karena sering memimpin ke mana para pengikutnya tidak mau ikut.[300] Sedangkan meminjam analisis Cak Nun, menurutnya kita bisa melihat sepak terjang Gus Dur, baik dari sikapnya yang biasa-biasa saja, yang kontroversial, yang radikal, yang gendheng, maupun yang membingungkan. Karena semuanya itu terletak pada grand theory yang tidak sukar dipahami.

Pertama, dalam perspektif universal ia bermaksud menumbuhkan demokrasi setelanjang-telanjangnya.

 

Kedua, dalam konstelasi keindonesiaan ia bermaksud menerapkan suatu ideologi nasionalisme habis-habisan, yakni dengan menomorsatukan apa pun yang indikatif  terhadap primordialisme dan anti-nasionalisme.

 

Ketiga, khusus kaitannya dengan Islam, Gus Dur dengan segala resikonya berkehendak melakukan domestikasi atau pembumian nilai-nilai Islam dalam kerangka nuansa kultural yang tak bersedia ditawar oleh segala “kegamangan teologis” apapun.[301]

 

Sejak dipilih sebagai pemimpin NU pada tahun 1984, retorika Gus Dur semakin bernada liberal dan progresif, ia banyak bersikap positif dan fleksibel dalam merespon modernitas, dan menegaskan bahwa watak pluralistik dan multi komunal masyarakat Indonesia harus dipertahankan dari kecenderungan-kecenderungan sektarianistik. Berkaitan dengan sumber-sumber pemikiran Islam, ia mengkombinasikan antara apa yang baik dalam nilai-nilai modernitas dengan komitmen terhadap rasionalitas, keulamaan dan kebudayaan tradisional.

      Untuk mendukung tujuan-tujuan demokratis dan sosialnya, Gus Dur lebih sering menggunakan ideologi Pancasila  daripada Islam dalam melegitimasi partisipasinya dalam wacana politik dan pengekspresian gagasan kunci politiknya. Dari sini bisa dilihat bahwa pemikiran politiknya didasarkan pada visi politik yang demokratis, sekular dan nasionalis.[302]

Bagi Gus Dur Pancasila  adalah ideologi nasional yang esensial untuk mempertahankan kesatuan nasional. Pandangan ini menurutnya penting untuk disampaikan karena beberapa muslim memandang Pancasila  sebagai ideologi sekular yang tidak sesuai dengan Islam. Ia kemudian menunjukkan bahwa  ayahnya, Wahid Hasyim, seorang pemimpin NU pada tahun 1945 juga sepakat mendukung sebuah negara nasional non Islam.[303]

Untuk memahami sepenuhnya politik Abdurrahman Wahid dan penggunaannya terhadap Pancasila  dalam mengembangkan demokratisasi, perlu ditinjau terlebih dahulu “keluarnya NU” dari panggung politik formal pada tahun 1984. Padahal pada tahun 1983, NU adalah ormas Islam yang pertama kali menyetujui asas tunggal.

Keputusan untuk keluar dari politik atau yang dikenal dengan kembali ke khittah 1926, menurut Gus Dur, bukan hanya karena adanya keinginan untuk memusatkan perhatian pada tujuan-tujuan sosial, pendidikan dan keagamaan, tetapi juga sebagai respons terhadap depolitisasi orde baru. Singkatnya, NU ingin tetap menjaga independensi politiknya dan menghindari intervensi serta manipulasi pemerintah, karena saat itu pemerintah terus-terusan menekan politik Islam dengan menggunakan Pancasila  untuk membatasi kegiatan partai politik yang legal pada tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an.[304]

Selanjutnya, berkaitan dengan perannya sebagai Kepala Presiden yang relatif singkat. Visi demokrasi, humanisme dan toleransi agama yang Gus Dur perjuangkan semakin kuat, ini terlihat dalam upaya pencabutan Inpres No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat cina. Dalam Inpres ini, terlihat tidak adanya pengakuan hak-hak penganut Konghucu sehingga mereka terpaksa harus pindah ke agama lain, Namun pada masa Pemerintahan Gus Dur Inpres No. 14 tahun 1967 itu dicabut dengan Kepres No. 6 tahun 2000.[305]

Selain itu, ada ide yang lebih kontroversial, yakni pencabutan Tap MPRS XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran Marxisme, Leninisme dan Komunisme, yang menurutnya telah mendiskriminasikan sebagian warga dalam kehidupan publik dan negara. Akan tetapi ide pencabutan kemudian memunculkan gelombang demonstran selama kurun masa kekuasaannya dan akhirnya di tolak oleh MPR.[306]

Di luar masalah tersebut, Gus Dur juga harus menghadapi sebuah cita-cita politik yang bertolak belakang dengan trade mark pemikirannya, yakni adanya masyarakat muslim yang ingin menghidupkan kembali “Piagam Jakarta” dan mengharapakan penerapan Syari‘ah Islam melalui power negara. sebagai seorang demokrat Gus Dur tidak memangkas keinginan itu melalui kekuasaannya, melainkan membiarkan rakyat untuk menguji wacana tersebut.

Akhirnya, pada Sidang Tahunan Agustus 2000, dua partai politik Islam (PPP dan PBB) mengusulkan kembali “Tujuh Kata Piagam Jakarta”[307] untuk dimasukkan dalam pasal yang mengatur bab agama dalam proses amandemen 1945. Tetapi hasrat kedua parpol tersebut gagal, karena banyaknya kalangan yang khawatir akan campur tangan negara terhadap agama dan politisasi agama, sebagaimana yang pernah diungkapkan Gus Dur.[308]

Berdasarkan uraian panjang lebar di atas, dapat disimpulkan beberapa hal pemikirannya mengenai hubungan Islam dan negara. Pertama,  Gus Dur selalu ingin menjaga independensi keberagamaan masyarakat dalam menghadapi negara, karena ketaatan seseorang harus muncul dari kesadaran pribadi, bukan dari paksaan negara.

Kedua, penolakan Gus Dur terhadap sebagian masyarakat muslim yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara, merupakan konsekuensi dari pemahaman demokrasi yang ia perjuangakan, yakni menempatkan masyarakat secara egaliter di hadapan negara. Karena  pengistimewaan agama tertentu dalam negara yang plural ini, berarti pengingkaran nilai-nilai demokrasi.

Ketiga, negara tidak boleh mengintervensi urusan-urusan agama masyarakat. Begitu juga sebaliknya agama tidak perlu mengemis legitimasi kepada negara karena hal tersebut bukan menguatkan eksistensi agama sebagai kepercayaan, melainkan justru merendahkan.

Sebagai seorang pemikir dan aktivis Islam, sikap dan gagasan Gus Dur mengenai relasi Islam dan negara sebenarnya cukup jelas, yaitu bagaimana membangun independensi agama dan para pemeluknya vis a vis negara. Yang mana agama sebagai wilayah privat manusia seharusnya tidak boleh dicampuri oleh siapapun.

Sikap itu begitu tegas disampaikan oleh Gus Dur, baik melalui tulisan-tulisan maupun ceramahnya, yang menunjukkan bahwa ia menolak bentuk formalisme agama dalam kehidupan politik, baik sebagai kehendak masyarakat maupun sebagai kehendak negara. Hal ini juga bisa dilihat dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikannya, partai mayoritas muslim yang tidak melabelkan Islam, sebuah refleksi pemikirannya dalam membangun relasi Islam dan negara.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN

M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID

  1. A.    Persamaan.

Sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab III, bahwa gambaran kedua tokoh di atas sangat diperlukan untuk menganalisa pemikiran keduanya. Di antaranya mengenai latar belakang kehidupan, karier politik, dan  organisasi yang menjadi dapur pertama pemikiran politiknya. Selain itu ulasan tersebut, setidaknya dapat dijadikan pertimbangan sebelum menempatkan atau mengklaim kedua tokoh tersebut dalam kategori aliran tertentu.

Pada bab-bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa M. Natsir sebagai Prototype modernisme Islam dan Gus Dur sebagai neo-modernisme Islam, telah banyak mewarnai sejarah perpolitikan Indonesia. Terlepas dari itu, perlu diakui bahwa perdebatan Islam dan negara sudah lama terjadi, sejak dasawarsa 1930-an antara M. Natsir dan  Soekarno, yang kemudian dalam situasi itulah Islam menapaki langkah-langkah yang boleh dibilang idealistik atau formalistik. Singkatnya, gerakan ini ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara.[309]

Situasi inilah yang mendorong aktivis dan pemikir Islam generasi kedua pada tahun 1970-an, yang kemudian dinamakan Islam kultural. Dalam pandangan kelompok ini, Islam politik merupakan sesuatu yang sulit dijual, karena masih kuatnya trauma politik yang membekas antara aktivis politik Islam dengan negara. Oleh sebab itu kalangan ini lebih memilih garapan transformasi sosial, dengan menawarkan Islam yang sesuai dengan konteks Indonesia dan tidak begitu ideologis.[310]

Meskipun keduanya hidup pada masa yang tidak bersamaan, tetapi pemikiran politik kedua tokoh tersebut masih tetap mewarnai panggung politik Indonesia sampai saat ini. Yang kemudian terpolarisasi pada kelompok modernis dan neo-modernis.

Dalam diskursus kaum modernis, ada dua faktor yang telah disepakati sebagai penyebab kemunduran dunia Islam.  Pertama, secara internal, praktik-praktik keagamaan umat Islam telah banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang asli, al-Qur’an dan Hadits, yang kemudian menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran, oleh sebab itu pembaharuan doktrin Islam sangat diperlukan. Kedua, peradaban Barat sekular yang mulai masuk dalam percaturan peradaban Islam, dianggap sebagai faktor lain (eksternal) yang dominan menyebabkan kemuduran dunia Islam.[311]

Di Indonesia Gerakan modernis ini termanifestasikan dalam beberapa organisasi, seperti Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad dan Sarekat Islam, sebuah organisasi yang mengedepankan motif gerakan  kembali ke al-Qur’an dan Hadis, yang menurutnya sebagai sumber ilmu yang otentik, abadi dan akan tetap relevan dengan perubahan zaman dan tempat. (S{a>lih} Likulli Zama>nin wa Maka>nin).

Dengan demikian pemikiran-pemikiran politik kaum modernis Islam banyak diwarnai oleh idiom-idiom al-Qur’an dan Hadis. Pada dasarnya doktrin kembali ke al-Qur’an dan Hadis di atas, merupakan rintisan yang tepat dengan realitas politik Islam saat itu, hanya saja doktrin tersebut kemudian terkontaminasi dengan sikap anti Barat yang rigid dan akhirnya melahirkan pemikiran normatif dan cenderung apologetik, misalnya dengan menawarkan sistem ekonomi Islam dan negara Islam sebagai alternatif menghadapi Barat.

Dalam diskursus politik Islam (al-Fiqh as-Siya>syi), upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dirumuskan dalam suatu kaidah[312]:

تصرف الإمام على الرعـية منوط بالمصلحـﺔ !

 

Menurut Abd al-Wahab Khalaf, kaidah di atas dapat dijadikan sebagai landasan teori hukum atau referensi untuk pengambilan keputusan hukum aktual, apabila memenuhi tiga kriteria berikut ini. Pertama, maslahah itu bersifat essensial, yakni kepentingan yang secara praksis dapat mewujudkan kesejahteraan umum dan mencegah timbulnya kerusakan. Kedua, maslahah itu ditujukan pada kepentingan rakyat banyak, bukan individu. Ketiga, maslahah itu tidak bertentangan dengan ketetentuan atau dalil-dalil umum nash.[313]

Teori kemaslahatan inilah yang kemudian dijadikan pisau analisis oleh M. Natsir dan Gus Dur dalam memecahkan persoalan hubungan Islam dan negara. Dan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran kedua tokoh tersebut, memang perlu diawali dari teori ini.

Ada beberapa persamaan dari kedua tokoh tersebut dalam merespon hubungan Islam dan negara. Dan yang pasti secara esensial kedua tokoh tersebut sepakat bahwa tujuan diterapkannya demokrasi di negeri ini adalah untuk mencapai kemaslahatan bersama dan keadilan yang merata bagi umat manusia.

Dalam sejarah politik Indonesia, M. Natsir dan Gus Dur dikenal sebagai  pemikir muslim yang sekaligus praktisi politik terkemuka di negeri ini, keduanya sama-sama mempunyai komitmen untuk menjadikan Islam sebagai agama pembebas yang membebaskan manusia dari segala bentuk eksploitasi dan diskriminasi

Sedangkan sisi persamaan yang dominan antara M. Natsir dengan Gus Dur dalam membangun relasi Islam dan negara adalah pengakuan mereka tentang tidak adanya sistem politik yang rigid dalam Islam sebagaimana yang telah ada dewasa ini, dan bagi mereka yang ada dalam Islam hanyalah prinsip dasar berbangsa dan bernegara, seperti musyawarah, keadilan, persamaan, kebebasan, dan kebersamaan.

Menurut Natsir, dalam kenegaraan, Islam hanyalah mengatur dasar dan pokok-pokokmya saja seperti yang dinyatakan di atas, maka dari itu dalam membangun sebuah negara M. Natsir banyak menggunakan syarat-syarat sebuah negara modern, di antaranya harus mempunyai wilayah, rakyat, Pemerintah, Kedaulatan, Undang-Undang Dasar atau sumber hukum atau kekuasaan lain yang tidak tertulis.[314]

Masih dalam konteks yang sama, Gus Dur juga menyatakan secara tegas bahwa Islam tidak memberi konsep yang jelas untuk membangun sebuah negara, melainkan hanya memberi nilai etik bagi kehidupan bangsa dan negara. Secara historis juga telah terbukti bahwa dari keempat khalifah  sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme yang berbeda satu sama lain,[315] ini menunjukkan bahwa Islam memang tidak mempunyai mekanisme baku sebuah suksesi, padahal pengangkatan seorang kepala negara merupakan kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan.

Oleh sebab itu, sistem demokrasi menurut kedua tokoh tersebut merupakan sistem yang paling realistik untuk mewujudkan terbentuknya suatu masyarakat yang adil, egaliter dan manusiawi sebagaimana yang dicita-citakan Islam. Karena dengan adanya nilai-nilai dasar di atas Islam bisa dikatakan sebagai agama pembebas sepenuhnya kompatibel dengan aturan demokrasi.

Mengenai tipologi pemikiran kedua tokoh tersebut, memang tidak sepenuhnya murni sebagaimana yang telah penyusun tempatkan, sebab walaupun Yusril mengkategorikan Natsir sebagai kalangan modernis, akan tetapi tidak jarang pendapat-pendapat Natsir yang mengarah pada faham fundamentalisme, menentang pemisahan agama dan negara. Begitu juga dengan pemikiran Gus Dur, yang menurut Greg Barton seringkali terkesan sekuler , namun juga terkadang terlihat konservatif dalam wacana keislaman yang lain.

Sebagaimana Abduh, M. Natsir menganggap sumber kekuasaan bagi pemerintahan adalah rakyat. Karena itu, demokrasi yang berdasarkan doktrin kedaulatan rakyat diterima secara terbuka, akan tetapi bukan berarti ia menerima konsep sekulerisme sebagaimana yang inheren dalam sistem demokrasi Barat. Oleh sebab itu ia menawarkan sebuah konsep thestic democracy, yaitu demokrasi yang sesuai dengan prinsip tauhid.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa konsep demokrasi ini ditujukan untuk  menetapkan hak-hak dan kewajiban timbal balik antara rakyat dengan penguasa, dan sistem yang ada harus mampu menegakkan keadilan, kebebasan, persamaan sebagaimana yang dituntut oleh Islam secara radikal.

Menurutnya, Syari‘ah sebagai suatu sistem hukum terpadu dan lengkap hanya bisa dilaksanakan apabila ada suatu otoritas yang melakasanakan penerapan (law enforcement), sehingga pelaksanaan Syari‘ah memerlukan dukungan kekuasaan politik, yaitu negara. Dengan demikian tujuan pertama didirikannya negara demokrasi adalah untuk menjaga  dan melindungi Syari‘at itu sendiri.

Sedangkan Gus Dur ingin menegakkan demokrasi yang seutuhnya, artinya tidak ada tendensi agama yang melekat pada konsep ini. Dengan demikian ada perbedaan yang sangat mendasar mengenai paradigma dalam memperjuangkan konsep demokrasi, meskipun keduanya sama-sama menerima demokrasi secara terbuka.  Dan sebenarnya sikap ini sudah jelas terlihat di atas, bagaimana reaksi dan sikap keduanya dalam memandang Pancasila  di negeri ini.

Atas dasar pemahaman, Islam mempunyai prinsip-prinsip dasar dalam berbangsa dan bernegara, maka keduanya sepakat untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem yang paling rasional untuk negara republik ini. Terlepas bagaimana cara kedua tokoh itu dalam memperjuangkannya.

  1. B.     Perbedaan.

Sedangkan sisi perbedaan antara pemikiran M. Natsir dan Gus Dur dalam memandang relasi Islam dan negara yang paling fundamental terdapat dua hal. Pertama, respon mereka terhadap paham sekuler, yang memisahkan antara agama dan negara. Kedua, pemikiran politik mereka dalam menyikapi demokrasi dan ideologi Pancasila  sebagai dasar negara di Indonesia ini.

Berangkat dari wacana relasi Islam dan negara di atas, M. Natsir dengan tegas menolak negara yang berdasarkan sekularisme, menurutnya sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap yang  hanya sebatas keduniawian saja. Walaupun para sekularis mengakui  adanya Tuhan, tapi dalam kehidupan sehari-harinya tidak menganggap perlu adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku, ibadah dan tindakan sehari-harinya.

Ditarik dalam konteks Indonesia, tampaknya M. Natsir ingin membuktikan bahwa Indonesia telah terkontaminasi dengan paham ini. Baginya dengan adanya konsep Pancasila berarti telah terbukti bahwa negara Indonesia telah terjangkit penyakit sekularisme, karena konsep ini jelas bercorak La>-diniyyahyang tidak mau mengakui wahyu sebagai sumbernya, di samping itu Pancasila  adalah hasil penggalian dari masyarakat.[316]

Dilihat dari beberapa pernyataan Natsir pada bab-bab sebelumnya, bisa dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara, menurutnya tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mempunyai fungsi timbal balik, simbiosis mutualisme. Baginya,  negara adalah sebuah alat bukan tujuan, berarti  negara di sini selain merupakan institusi pemerintahan, juga mempunyai kekuatan penuh untuk menjaga dan memberlakuan undang-undang Syari‘ah, yang berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai individu, maupun masyarakat secara kolektif.[317]

Sedangkan Gus Dur, lebih mengasumsikan agama sebagai sumber motivasi pandangan hidup bangsa atau ideologi negara (Pancasila). Maksudnya agama berperan mendorong kegiatan individu melalui nilai-nilai yang diserap Pancasila  dengan menjadikannya sebagai bentuk pandangan hidup bangsa.[318] Jadi agama di sini hanyalah bersifat dialogis bukan simbiosis.

Pola pemikiran Gus Dur ini bisa dikategorikan cukup sekuler, mengingat gagasan yang ia hasilkan selalu mengesampingkan simbolisasi agama terhadap negara atau sebaliknya. Ia tidak pernah berkeinginan untuk memanfaatkan negara sebagai alat pemberlakuan hukum agama tertentu, seperti tuntutan diberlakuannya syariah oleh negara, karena menurutnya hanya akan menciptakan diskriminasi agama.

Dan tentunya, kalau kebijakan tersebut sampai diterapkan di negara yang sangat heterogen ini, berarti kita telah melakukan pengingkarana terhadap nilai-nilai demokrasi, karena telah mengabaikan prinsip-prinsip pluralisme agama, persamaan hak dan kemaslahatan umat. Jadi, bagi Gus Dur, Pancasila  sebagai ideologi negara sudah sesuai dengan konteks demokrasi dan tidak perlu lagi diperdebatkan, apalagi diganti. Meskipun ia merupakan hasil ijtihad manusia.    

Selain itu, demokrasi yang menurut Natsir dan Gus Dur merupakan konsep paling rasional untuk sistem negara. Secara tegas dikatakan Natsir, Islam tetap tidak perlu menganut demokrasi 100%, dan konsep demokrasi yang cocok bagi Indonesia  adalah demokrasi yang tidak meninggalkan nilai-nilai ketuhanan, thestic democracy, maksudnya, keputusan mayoritas yang berpedoman pada ketuhanan.[319] Ini menunjukkan bahwa Natsir selaku tokoh modernis muslim sangat selektif dalam menerapkan filterisasi (saringan) terhadap Barat.

Dalam modernisasi politik Islam, Natsir mempunyai pandangan untuk berusaha menerapkan ajaran dan nilai-nilai, kerohanian, sosial, dan politik Islam yang terkandung di dalam al-Qur’an dan sunnah dengan menyesuaikan terhadap perkembangan zaman. Selanjutnya, Natsir mewajibkan seoarang muslim untuk berpolitik sebagai sarana dakwah Islam.[320]

Berbeda dengan Natsir, Gus Dur menilai demokrasi sebagai suatu kedaulatan rakyat sepenuhnya, ia tidak sepakat kalau urusan Tuhan dicampuradukkan dalam kepentingan ini. Baginya demokrasi adalah urusan manusia yang diberi kebebasan untuk mengatur dunia, sedangkan kedaulatan Tuhan (Syari‘ah) merupakan prinsip-prinsip universal yang menjadi patokan etik moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.[321]

Terlebih lagi, apabila hukum Islam atau hukum gereja harus diberlakukan oleh negara melalui (taqnin, legislasi) ajaran agama tersebut pada hakikatnya merupakan pengingkaran hakikat demokrasi yang ingin kita tegakkan di negeri ini,[322] karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama mayoritas menjadi warga negara kelas dua dan kehilangan haknya dalam memperoleh  keadilan sesama dalam bernegara.

Untuk merealisasikan demokrasi tersebut, ada enam kaidah demokrasi dalam Islam, yaitu: 1) Ta‘a>ruf(saling mengenal); 2) Syu>ra (musyawarah); 3) Ta‘a>wun(kerja sama); 4) Mas}lah}ah(menguntungkan masyarakat); 5) ‘Adl (adil); dan 6) Tagyir(perubahan).[323]

Natsir dan Gus Dur sama-sama terlibat dalam pemerintahan, akan tetapi keduanya mempunyai tujuan politik yang berbeda, Natsir masuk dalam birokrasi pemerintahan berharap akan bisa memperjuangkan pemeberlakuan syari’ah Islam melalui otoritas negara. Sedangkan Gus Dur justru sebaliknya, ia malah berkeinginan untuk meminimalisir intervensi negara terhadap agama, termasuk penolakannya terhadap pemberlakuan syari’ah di negara ini.

Berbicara mengenai Syari‘ah, terdapat berbagai macam pemahaman.  Menurut terori klasik, Syari‘ah merupakan kehendak Ilahi yang suci dan bertujuan mengatur kehidupan masyarakat muslim.[324] Sedangkan dalam al-Qur’an kata Syir‘ahatau Syari‘ahdimaknai agama,[325] baik sebagai jalan lurus (T{ariq Mustaqi>mah) yang ditentukan oleh Allah untuk manusia atau suatu ketentuan yang harus dilaksanakan. Ketika nabi Muhammad S.A.W. ditanya tentang syari’at Islam, beliau menjelaskan tentang sholat, zakat, puasa, dan haji.[326]

Ini menunjukkan bahwa secara terminologis, Syari‘ah pada masa nabi Muhammad S.A.W. digunakan untuk menyebut masalah essensial dalam ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah yang telah diyakini kesahihannya. Lebih lanjut, Manna al-Qattan (ahli fiqh) mendefiniskan Syari‘ah sebagai segala ketentuan Allah bagi hambanya yang meliputi masalah akidah, ibadah, dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai kebahagian mereka di dunia dan akhirat.

Berdasarkan definisi Syari‘ah di atas, ulama fiqih dan usul fiqih menyatakan bahwa Syari‘ah merupakan sumber fiqih. Dinyatakan demikian, karena fiqih merupakan hasil ijtihad atau pemahaman ulama terhadap ayat-ayat suci al-Qur’an tersebut.

Ada beberapa definisi fiqih yang kemudian dikemukakan oleh ulama.  Imam Abu Hanifah yang mendefinisikan fiqih dengan Ma‘rifat al-Nafsi ma>laha wa ma> ‘alaiha(pengetahuan seseorang tentang hak-hak dan kewajibannya), definisi ini memberi gambaran bahwa fiqih meliputi aspek kehidupan, baik dari akidah, hukum sampai pada tingkah laku kehidupan.[327]

Sedangkan al- Amidi, seorang ulama Syafi’iyyah terkemuka dalam bukunya al-Ih}kam fi us}uli al-Ah}ka>m, mendefinisikan fiqih sebagai ilmu tentang hukum-hukum syari’ah amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci (‘adilah tafs}iliyyah),[328] selain itu, menurut fuqaha Malikiyyah, fiqih adalah ilmu tentang perintah-perintah syari’ah dalam masalah khusus yang diperoleh dari aplikasi teori Istidla>latau pencarian hukum dengan dalil (process of reasoning).

Tampaknya, pola pemikiran Gus Dur di atas, didasarkan pada pertimbangan fiqih bahwa urusan politik atau negara lebih pada kepentingan dan kreativitas manusia, sehingga masuk dalam wilayah fiqih. Dan sebagai wilayah fiqih, setiap apa yang dirumuskan dan diinterpretasikan merupakan produk ijtihad yang bebas. Namun demikian, kreativitas itu harus mengacu pada kemaslahatan rakyat, sebagaimana dalam kaidah fiqihnya bahwa “seluruh kebijakan penguasa harus sesuai dengan kepentingan seluruh warga negara”.

Paradigma di ataslah, yang kemudian secara teoritis membedakan gagasan kedua tokoh tersebut, Walaupun pada masalah-masalah tertentu mereka juga mempunyai persamaan pendapat. Pola pemikiran Natsir yang cenderung idealistik dalam memahami ad-Din wa ad-Daulah, sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari pemikiran politik yang didasarkan pada konsep tauhid.

Konsep tauhid menderivasikan prinsip-prinsip universal yang kemudian menjadi sumber etik-moral bagi sebuah negara demokrasi, selain itu Natsir juga lebih suka mendasarkan gagasannya pada dua sumber utama Syari‘ah, al-Qur’an dan sunnah, daripada menggunakan metodologi khazanah intelektual sunni klasik, seperti fiqih, Us}ul al-Fiqh ataupun Qawa>‘id al-Fiqhiyyah.

Di samping paradigma, faktor perbedaan masa kehidupan juga cukup mempengaruhi pola pemikiran keduanya, di mana Natsir hidup pada masa kolonial dan pasca kolonial yang selalu berjuang memerdekakan bangsa ini melalui jargon Islam. Sedangkan gagasan dan perjuangan Gus Dur dihadapkan pada masa 1980-an, pasca kolonial. Namun demikian, apa yang dihadapi Gus Dur tentang wacana keislaman sebenarnya juga masih banyak diwarnai wacana-wacana keislaman di masa Natsir hidup. 

Perbedaan paradigma dan masa itulah yang kemudian melahirkan polarisasi aliran, antara modernisme dan neo-modernisme. Gerakan modernisme di Indonesia lahir sejak tahun 1912-an, sebagai salah satu respon intelektual terhadap berbagai persoalan aktual modern yang secara umum menempatkan Islam pada posisi dilematis, antara keharusan menyesuaikan diri dengan perubahan arus modernitas atau menegaskan diri sebagai agama secara eksklusif.

Modernisme Islam mempunyai kecenderungan kuat untuk mengembalikan kejayaan dan keunggulan Islam atas partai atau peradaban yang lain, dengan cara memperbaharui doktrin-doktrin sesuai dengan tuntutan zaman. Secara teoritis gerakan ini cenderung eksklusif karena dasar argumentasinya lebih ditekankan pada sumber Syari‘ah  yang absolut, al-Qur’an dan sunnah.

Lain halnya, dengan pemikiran neo-modernisme Islam, yang baru lahir pada masa 1970-an. Kalangan ini cenderung akomodasionis dalam merespon tradisionalisme dan modernisme. Menurutnya, sikap modernitas seharusnya tidak menggantikan sama sekali nulai-nilai lama dengan nilai-nilai baru, seperti apa yang diungkapkan oleh mayoritas kalangan modernis Islam saat ini, melainkan bahwa antara tradisi dan modernitas harus dilihat sebagai proses kontinuitas.

Sedangkan untuk mengelaborasi wacana pemikiran Islam semacam ini, bagi mereka penggunaan metodologi fiqh atau Qawa>‘id al-Fiqh  transformatif lebih cocok daripada memakai konsep tauhid yang cenderung dogmatis. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa gagasan modern yang mereka tawarkan bukan berarti anti tradisionalisme sama-sekali, seperti apa yang tertulis dalam Qawa>‘id al-Fiqh.

المحافظـﺔ على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح !

Selain kaidah di atas, masih banyak kaidah lain yang digunakan sebagai upaya melaksanakan transformasi gagasan. Di antaranya,[329] yaitu:

درء المفا سد مقدم على جلب المصالح !

الحاجـﺔ تـنزل منزل الضرورة !

الضرورة تبيح المحظورة !

Selanjutnya, Gus Dur menjelaskan bahwa apa yang ditawarkan kelompok modernis, seperti legalisme (pemikiran keislaman yang telah dibakukan lewat mazhab yang empat) baik dalam kerangka mazhab fiqih, maupun melalui pembaharuan (pemurnian) ternyata malah tidak mampu menjawab tantangan zaman. Ditambah lagi, over idealissasi Islam sebagai sistem kehidupan alternatif tidak menunjukkan prospek yang baik, bahkan menjurus ke situasi traumatik di masa depan.

Untuk itu, menurutnya perlu dibuat kerangka pemahaman kontekstualisasi ajaran Islam dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut: 1) asas menyeluruh. 2) asas keterbukaan. 3) asas kontinuitas sejarah. 4) asas deinstitusionalisasi Islam, 5) asas depoloitisasi Islam. 6) asas kesejarahan 7) asas pluralitas. 8) dan asas konvergensi.[330]

Beradasarkan uraian di atas dan bab-bab sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa antara M. Natsir dan Gus Dur sangat berbeda dalam memandang relasi Islam dan negara, Natsir beranggapan bahwa agama dan negara tidak dapat dipisahkan sebagai konsekuensi dari penolakannya atas paham sekular, sebaliknya dengan Gus Dur, ia lebih mengarah pada paham sekular,  memisahkan agama dan negara,  tetapi dengan tetap menjadikan nilai-nilai agama sebagai motivasi bukan formalisasi dalam berbangsa dan bernegara.

Dan pandangan inilah, yang kemudian mempengaruhi sikap mereka dalam menerima ideologi Pancasila. Bagi Gus Dur, meskipun Pancasila  merupakan hasil ijtihad manusia yang ditentukan oleh kondisi sosialnya, akan tetapi konsep ini harus tetap dipertahankan demi kemaslahatan bangsa Indonesia yang plural ini, sedangkan Natsir lebih memilih Islam sebagai ideologi negara daripada Pancasila, karena dengan ideologi ini masyarakat akan terjamin kehidupan beragama dan bernegaranya.[331]

Demikianlah persamaan dan perbedaan antara pemikiran M. Natsir dan Gus Dur. Sebenarnya apa yang ingin penyusun tegaskan di sini adalah bahwa pemikiran kedua tokoh di atas, sangat dipengaruhi oleh realitas sosial politik di saat mereka hidup. Dan dari sisi inilah, yang kemudian melahirkan  klasifikasi pemikiran, yakni modernisme dan neo-modernisme. Untuk lebih singkatnya bisa dilihat dalam tabel berikut ini.

 

 

 

 

 

 

PERSAMAAN PEMIKIRAN

M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID

  1. Islam adalah agama pembebasan (a liberating religion) yang membebaskan manusia dari segala bentuk eskploitasi dan diskriminasi.

 

  1. Sebagai agama pembebasan Islam sepenuhnya kompatibel dengan demokrasi.

 

  1. Demokrasi diterima sebagai sistem yang paling rasional dan realistik untuk mewujudkan masyarakat yang adil, egaliter, dan manusiawi sebagaimana yang diidealkan Islam.

 

  1. Seorang pemikir dan praktisi politik yang terlibat langsung dalam lembaga kenegaraan.

 

  1. Penggagas dan pendiri partai politik.

 

PERBEDAAN PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID

Perbedaan tentang

M. Natsir
Gus Dur
  1. Basis pendidikan

 

  1. Dasar paradigma pemikiran

 

  1. Sifat pemikiran

 

  1. Tipologi aliran   pemikiran

 

  1. Pandangan terhadap sistem nilai Islam

 

 

  1. Sikap terhadap sekularisasi

 

  1. Negara demokrasi yang dicita-citakan

 

 

 

  1. Tujuan membela demokrasi

 

  1. Pluralisme yang diterima

 

  1. Penerapan ideologi Pancasila

 

  1. Partai yang diperjuangkan

 

  1. Fungsi politik

 

 

Pendidikan modern

 

Al-qur’an dan Hadits.

 

 

Islam ideologis

 

Modernisme

 

 

Islam sebagai sumber hukum yang lengkap

 

 

Negatif (menolak dengan tegas)

 

Thestic Democracy (Demokrasi yang tidak meninggalkan nilai-nilai ketuhanan)

 

Untuk melindungi Syari’ah

 

Pluralisme eksklusif

 

 

Menolak

 

 

Partai Islam

 

 

Gerakan dakwah

Pesantren tradisional

 

Konsep Fiqih Transformatif

 

Islam kultural

 

Neo-modernisme

 

 

Islam hanya salah satu unsur dalam bangunan kebangsaan yang ada

 

Afirmatif

 

 

Negara demokrasi yang utuh dan tidak ada unsur fundamentalismenya

 

 

Untuk melindungi pluralitas

 

Pluralisme inklusif

 

 

Menerima secara terbuka

 

 

Partai sekular

 

 

Gerakan moral

 

 

  1. C.    Implikasi.

Pemikiran-pemikiran M. Natsir dan Gus Dur yang berkaitan dengan wacana relasi Islam dan negara di atas, sudah pasti semakin menambah  khazanah pemikiran politik Islam di negara kita. Dan tentunya, pemikiran-pemikiran tersebut membawa implikasi besar terhadap  kehidupan politik masyarakat Indonesia, khususnya bagi generasi muslim selanjutnya.

Untuk lebih jelasnya, penyusun akan membagi implikasi pimikiran kedua tokoh tersebut menjadi dua aspek, yaitu implikasi yang bersifat institusional (Institusional Implication) dan implikasi personal (Personal Implication). Pertama, implikasi institusional, aspek ini lebih mengarah pada pemikiran suatu lembaga organisasi atau partai politik saja, baik itu partai yang mereka pimpin sendiri atau bukan. Kedua, implikasi  personal, yang berarti pemikiran mereka tidak hanya berimplikasi pada sebuah partai saja, tetapi juga terhadap  praktik dan pemahaman masyarakat dalam bernegara. Khususnya bagi generasi pemikir politik masa sekarang. 

Peran politik Natsir mulai diperhitungkan oleh khalayak umum, sejak keterlibatannya dalam pembentukan partai Islam yang pertama kali di Indonesia, Masyumi, sebuah partai Islam yang berhasil mengantarkannya ke kursi birokrasi negara. Sebenarnya, keaktifan Natsir di partai ini sudah jelas menunjukkan bahwa manuver dan pemikirannya memang bersifat idealistik. 

Kegigihannya dalam memperjuangkan Islam melalui dakwah politiknya, banyak mengundang simpati para kalangan modernis Islam Indonesia. Manuver dan pemikiran politiknya sampai saat ini masih tetap mendapat tempat istimewa di kalangan generasi muslim modernis abad 20-an ini, bahkan lebih dari itu, tampaknya generasi yang terinspirasi ini, tidak hanya mengaguminya namun juga mengembangkan ide dan perjuangan politiknya melalui gerakan dan partai Islam yang sama sekali baru.

Implikasi Pemikiran M. Natsir

Dari sisi institusional, ide-pemikiran M. Natsir ini sangat mempengaruhi karakter partai dan organisasi muslim modernis Indonesia, di antaranya Masyumi, Parmusi (Partai Muslim Indonesia), PBB dan DDII. Dalam pandangan Natsir dakwah merupakan sarana yang cukup efektif dalam memperjuangkan ajaran dan kepentingan politik umat Islam Indonesia, bahkan ia menganjurkan umat Islam untuk menggunakan politik sebagai media dakwah umat.

Pemikiran-pemikiran Natsir disambut baik oleh kalangan modernis muslim Indonesia, sebab spirit pesan yang disampaikannya sama-sama bertujuan mengembalikan kejayaan Islam, yakni dengan cara menerapkan pembaharuan pemikiran-pemikiran Islam klasik dan kemudian dipadukan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern.

Pada zaman orde lama, pemikiran Natsir banyak mempengaruhi visi dan strategi partai politik Masyumi yang dibubarkan Soekarno, selain disebabkan keterlibatannya sebagai pendiri yang sekaligus pemimpin partai selama 5 kali berturut-turut. Ia juga tertarik lantaran platform partai ini sangat cocok dengan ide perjuangannya yang menurutnya sebagai representasi kelompok Islam. Dan salah satu cita-cita partai yang sesuai dengan ide pemikirannya yaitu  mentransformasikan hukum Islam menjadi hukum nasional.

Sebagai tokoh politisi Islam modernis, ia mencoba memadukan ilmu pengetahuan modern dengan ajaran-ajaran Islam yang kemudian diaplikasikannya sesuai dengan keadaan masyarakat setempat. Keinginannya untuk memasukkan nilai-nilai dasar Islam dalam institusi negara inilah yang kemudian menggerakkannya untuk tetap konsisten mempertahankan dan memperjuangkan misi partai Islam yang bercorak modern di atas (Masyumi).[332]

Tampak jelas, bahwa cita-cita dan pemikiran Natsir mempunyai pengaruh yang besar terhadap misi perjuangan partai Islam ini. Meskipun partai Masyumi sebelumnya merupakan partai Islam yang terdiri dari berbagai aliran Islam (fundamentalis, tradisionalis dan modernis), namun pada perkembangan selanjutnya partai ini lebih didominasi oleh pemkiran-pemikiran kelompok Islam modernis.

Selanjutnya pada masa orde baru, politik Islam masih saja menemui jalan buntu. Selain dibatasi ruang geraknya, ia juga ditempatkan sebagai kelompok yang berhaluan ekstrem kanan[333] serta dinilai berpotensi melahirkan kekacauan nasional karena berupaya mendirikan negara Islam di tengah masyarakat yang plural, sehingga pada proses selanjutnya politik Islam seringkali menerima intimidasi, pengekangan dan pengkebirian hak politiknya oleh negara.

Sikap negara yang memusuhi politik Islam ini, tampaknya membuat mantan aktivis Masyumi harus memilih jalan lain, yakni dengan membentuk sebuah partai politik yang sama sekali baru, tetapi idealisme dan semangat Masyumi diharapkan tetap mengalir di dalamnya. Akhirnya dengan jalan penuh liku negara mengizinkan pembentukan partai ini, asalkan pemimpin dan penggiat partai Masyumi dicoret dari daftar kepemimpin, sehingga pada tanggal 20 Februari 1968 lahir “Partai Muslimin Indonesia” (Parmusi) di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun, dua pegiat terkemuka dari Muhammadiyah.[334]

Selain di Masyumi dan Parmusi, pemikiran M. Natsir juga masih banyak mempengaruhi peta politik Islam saat ini, khususnya PBB (Partai Bulan Bintang). Partai ini bukan hanya lahir karena dorongan eforia politik pasca reformasi 1998, akan tetapi juga mempunyai perjalanan sejarah yang lebih panjang, yakni dari masa politik orde lama, orde baru dan sampai sekarang masa reformasi.  

Sejatinya secara historis, embrio lahirnya partai ini telah dirintis oleh tokoh-tokoh Islam terkenal, seperti Dr. H. M. Natsir, K.H. Masykur, K.H. Rusli Abdul Wahid dan Prof. Dr. H.M. Rosjidi yang sebelumnya bergerak dalam satu wadah  yang dinamai dengan Forum Ukhuwah Islamiyyah (FUI). FUI didirikan pada tanggal 17 Agustus 1989, pendiriannya dilatarbelakangi oleh keprihatinan para pemuka muslim tersebut, atas gencarnya gerakan tans}iriyyah (kristenisasi) dalam merongrong akidah umat Islam Indonesia selama rezim Orde Baru berkuasa.[335]

Pada mulanya Partai Bulan Bintang akan diberi nama “Partai Politik Islam Masyumi” oleh tim perumus partai ini. Namun keinginan itu diurungkan karena beberapa alasan. Pertama, tokoh-tokoh Masyumi di masa lalu dikenal integritas pribadinya yang tak tebantahkan, sehingga generasi baru yang akan memimpin partai ini dikhawatirkan akan sangat berat menanggung beban  moral apabila tidak mampu menjaganya, dan akibatnya akan mencoreng nama baik Masyumi. Kedua, selama ini penyebutan keluarga besar Bulan Bintang pun identik dengan keluarga Masyumi.[336]

Dari uraian-uraian tersebut bisa dipahami, bahwa pemikiran M. Natsir secara institusional mempunyai implikasi besar terhadap pembentukan partai-partai Islam di atas, di antaranya Masyumi, Parmusi, dan PBB. Meskipun masih banyak organisasi lain yang juga terpengaruh oleh pemikirannya, seperti DDII, FUI, Persis dan lain sebagainya.

Di antara implikasi yang sangat menonjol dari partai-partai Islam itu adalah semangat juangnya yang selalu menjadikan prinsip-prinsip Universal Islam itu sebagai rujukan dalam memecahkan masalah-masalah masyarakat dan negara seperti kemiskinan, ketimpangan sosial ekonomi, sistem kenegaraan, dan simbiosisme antara agama dan negara dan seterusnya. Selain itu labelisasi Islam sebagai asas partai ini tidak pernah mereka tinggalkan.  Sehingga tidak aneh kalau kelompok ini sangat kritis dan selektif terhadap pemikiran Barat, sebagaimana yang ditunjukkan Natsir sebelumnya.

Sedangkan dari aspek personal, pemikiran Natsir ini juga cukup berpengaruh pada generasi intelektual muslim Indonesia zaman sekarang. Ini terlihat dalam pemikiran-pemikiran tokoh muslim modernis seperti Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Yusril Ihza Mahendra. Meskipun tidak sepenuhnya mereka sama dalam memahami relasi Islam dan negara, akan tetapi ada masalah-masalah tertentu yang membuat mereka terkesan Natsiris dalam mengkomunikasikan gagasan-gagasannya.

Sebagai tokoh pembaharu Muhammadiyah, Amien Rais sangat apresiatif dengan pemikiran-pemikiran Natsir sepanjang sejarah perpolitikan bangsa ini, baik itu yang berkaitan dengan masalah kenegaraan maupun keagamaan. Apalagi mengingat figur tokoh Islam Indonesia yang sangat dikagumi Amien ketika muda adalah M. Natsir, oleh sebab itu tidaklah berlebihan kalau Cak Nur mengatakan : “Dia itu sangat Natsiris”.[337] Ini terlihat dari sikap kritisnya terhadap Barat dan kecintaannya terhadap umat Islam.

Lebih khusus, Amien cenderung anti terhadap Orientalisme dan sekularisme. Dalam analisanya, umat Islam dunia sengaja dipisahkan dari ajaran-ajarannya oleh hegemoni Barat, yakni dengan cara imprerialisme baru, melakukan proses peng-alienasian masyarakat Islam dari agamanya dan  meracuninya dengan pemikiran-pemikaran Barat (Westoxication), yang mengakibatkan umat Islam terjangkit penyakit Westomania, sejenis penyakit jiwa yang menganggap Barat adalah segala-galanya.[338]

Selanjutnya, ia berpendapat bahwa antara agama dan negara adalah saling bersatu yang berarti satu sama lainnya tak bisa dipisahkan, oleh sebab itu ia dengan tegas menolak ide sekularisme, baik itu sekulerisme moderat ataupun radikal. Dari uraian-uraian tersebut tampak jelas bahwa pengaruh Natsir dalam pemikiran Amien sangatlah besar.[339]

Berbeda dengan Nurcholis Madjid, yang justu menggagas wacana sekularisme di tahun 1980-an. Namun demikian, sewaktu muda Cak Nur juga pernah menyandang gelar sebagai  “Natsir Muda”. Hal ini disebabkan inovasi pemikirannya yang dirasa sesuai oleh kaum Islam modernis yang lebih tua saat itu,[340] bahkan selama masih menjadi mahasiswa Cak Nur secara luas dianggap sebagai generasi penerus spritual M. Natsir.[341]

Selain Amien Rais dan Nurcholis, Yusril Ihza Mahendara juga sangat dikenal sebagai kader penerus gagasan-gagasan M. Natsir. Ini terlihat bagaimana ia memperjuangkan aspirasi partai yang dipimpinnya, yakni PBB (Partai Bulan Bintang) yang sampai saat ini masih eksis mempertahankan Islam sebagai asas dasar partainya.

Implikasi Pemikiran Gus Dur

Secara institusional, pemikiran Abdurrahman Wahid cukup mewarnai manuver politik  NU. Meskipun secara lahiriyah NU merupakan organisasi sosial akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa sense natural politiknya selalu muncul di tengah-tengah kemelut politik bangsa ini. Hal ini bisa dilihat dari sejarah perjuangannya, pada tahun 1978-an NU yang saat itu masih berafiliasi dengan PPP, dituduh oleh rezim Orde Baru sebagai embrio gerakan anti Pancasila.

Tuduhan itu diangkat dari tindakan protes dan walk out para tokoh NU dari sidang MPR yang membahas tentang rancangan ketetapan P4. Menurut Sidney Jones NU adalah Organisasi Sosial terbesar di negara ini yang masih memiliki aspirasi-aspirasi politis. Dan pada tahun 1971 ia menolak untuk mematuhi pedoman-pedoman Orde Baru tentang prilaku Politik, kemudian pada tahun 1981 NU juga menolak mendukung Soeharto untuk menjabat kembali atau memberinya gelar “Bapak Pembangunan”.[342] Prilaku inilah yang membuat NU menjadi sasaran  tuduhan anti Pancasila  oleh rezim Soeharto.

 Lebih lanjut, ditegaskan dalam pidato presiden Soeharto pada Rapim ABRI 1980 di Pekanbaru. Soeharto memperingatkan untuk tidak mencoba mengubah Pancasila  atau UUD 1945, ia mengingatkan “walk out” (walau tidak menyebut NU) sebagaimana yang dilakukan ketika pembahasan masalah P4 pada tahun 1978 adalah salah satu contoh gerakan anti-Pancasila  yang harus diwaspadai.[343] Ini menunjukkan kecemasan Soeharto terhadap gerakan politik Islam.

Dalam perkembangan politik selanjutnya, NU yang saat itu sedang dipimpin Gus Dur semakin dinamis dan akomodatif  dalam merespon kebijakan pemerintahan, ia menjadi aktor politik “nonpolitis” yang paling penting atau yang biasa disebut dengan istilah NU kembali ke khittah 1926, dan tentu saja inisiatif ini dimaksudkan untuk menjaga independensi politik NU dari intervensi Soeharto.

Pemikiran liberal Gus Dur sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan Ormas Islam ini, meskipun ada juga beberapa pemimpin NU terkemuka yang tidak sepakat dengan pemikirannya, di antaranya para Kyai dan tokoh senior NU, termasuk pamannya, Yusuf  Hasyim, yang seringkali menentang inisiatif dan pernyataan-pernyataannya. Untuk itu, implikasi pemikiran Gus Dur terhadap NU ini tampaknya harus dilihat dari aspek nasionalisme dan Islam.

NU menurut Gus Dur, mempunyai akar fondasi nasionalis yang kuat sebagaimana yang telah dikatakan bapaknya (Wahid Hasyim)  bahwa ia bersedia mendukung suatu negara nasionalis non-Islami. Selain itu, Gus Dur juga sering menekankan aspek-aspek nasionalis NU. Misalnya, dalam sebuah pidato penting kepada anggota-anggota NU pada tahun 1992, ia mengingatkan bahwa penerimaan NU kepada Pancasila  bisa diterima karena beberapa alasan.

Dia menjelaskan bahwa pada tahun 1945  Soekarno meminta nasihat para pemimpin NU, termasuk bapaknya untuk membantu Soekarno merumuskan lima asas Pancasila. Lebih dari itu, Gus Dur menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada kontradiksi antara Islam dan nasionalisme, karena Islam tetap bisa berkembang dalam suatu negara nasionalisme yang tidak didasarkan pada Islam resmi.[344]

Akibat dari pemikirannya yang bisa dikatakan nasionalis-Islam, Akhirnya pada tahun 1983 Nahdlatul Ulama menjadi Ormas Islam besar pertama yang menerima Pancasila  dalam Anggaran Dasarnya, yang kemudian dipertegas kembali pada Muktamar ke 27-1984 di Situbondo Jawa-Timur bahwa Indonesia adalah negara yang didasarkan Pancasila, dan UUD 1945 adalah merupakan “Bentuk Final dari Negara” yang akan memerintah kepulauan Indonesia. Dan yang perlu diingat bahwa Pernyataan tersebut ditegaskan di tengah-tengah iklim politis yang saat itu benar-benar dalam keadaan memanas antara Islam dan negara, yakni  pasca peristiwa Tanjungpriok dan pengeboman di Jakarta.[345]

Sebenarnya yang mengeluarkan inisiatif kompromi Pancasila  di atas adalah Kyai Ahmad Shidiq[346] (almh) dan Gus Dur sendiri dalam membentuk dwitunggal yang bertangung jawab bagi transformasi dan revitalisasi NU sebagai basis kekuatan Islam yang pluralis dan neomodernis. Sebelumnya Ahmad Shidiq pernah menjelaskan bahwa NU menerima Pancasila  sebagai asas tunggal karena merupakan hasil filsafat manusia, sementara Islam merupakan wahyu Tuhan.

Selain berimplikasi di NU, pemikiran Gus Dur juga banyak mempengaruhi visi dan misi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang ia pelopori sendiri. Maka tidaklah mustahil kalau PKB selama ini tetap menempatkannya sebagai Dewan Pertimbangan Penting di partai ini. PKB dipelopori oleh K.H. Ilyas Ruchiyat, K.H. Munasir Ali, K.H. Mustofa Bisri, K.H. Muchit Muzadi, dan K.H. Abdurrahman Wahid.[347]

Melihat komposisi dari para pelopor di atas, sangatlah absurd kalau PKB tidak terkait sama sekali dari kepentingan NU, sebab sebagian besar yang membidani pembentukan partai ini adalah dari kalangan Kyai NU, ditambah lagi Gus Dur yang saat itu sebagai Ketua Umum PB NU, meskipun masih juga terdapat pro-kontra dalam pembentukannya. Pembentukan PKB merupakan upaya jalan tengah warga NU untuk berjuang di garis struktural politik, dengan seraya melakukan gerakan kultural melalui NU yang tetap dipertahankan sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam‘iyah Diniyyah)  seiring dengan perubahan yang terjadi di pentas nasional.

Kekonsistenan pemikiran para tokoh NU, termasuk Gus Dur, masih tetap bertahan  dalam memberlakukan Pancasila  sebagai asas tunggal di era reformasi ini, meskipun saat itu rezim Orde Baru telah jatuh dan eforia politik Islam sedang  mendapatkan kebebasannya. Di lain kesempatan, Gus Dur yang saat itu didampingi oleh Matori Abdul Djalil pernah menyatakan, bahwa PKB bukanlah partai Islam dan merupakan partai yang menginginkan negara sekuler.[348]

Dari sini bisa dilihat seberapa jauh implikasi pemikiran Gus Dur terhadap strategi perjuangan partai ini. Sebagaimana uraian di atas bahwa implikasi pemikiran Gus Dur ini tidak lepas dari aspek nasionalisme dan Islam, yang keduanya itu tampak dalam AD/ART PKB yang menjadikan Pancasila  sebagai asas partai.[349] Mengenai  dipilihnya nasionalisme dan demokrasi yang dijadikan landasan dasar PKB daripada dasar agama, Gus Dur mengatakan bahwa PKB mengutamakan kepentingan nasional.[350]

PKB senantiasa mengutamakan substansi Hukum Islam melalui Hukum Nasional dan bukan mengutamakan simbol-simbol formal keagamaan, karena Republik Indonesia adalah sebuah negara dengan kepentingan-kepentingan nasional dan bukan sebuah negara agama.[351] Sedangkan dari sisi Islamnya, bagi Gus Dur bukan berarti karena PKB tidak mengusung simbol-simbol Islam kemudian dikatakan partai yang tidak Islami.

Dalam kaitan ini Gus Dur mengatakan:

“Tidak penting bagi PKB berasaskan Islam. Yang penting PKB adalah Partai Islam. Banyak partai yang berasaskan Islam, tapi mereka main tipu, main curang dan tidak berakhlak Islami. Islam hanya dijadikan mereknya saja. Jadi, parpol berasaskan Islam tidak bisa dibuat jaminan. Dan PKB tidak mementingkan mereknya, tapi isinya.[352]

 

“Akhlak dari Tauhid PKB adalah Islam. Daripada parpol yang berasas Islam tapi tidak Islami, maka lebih baik seperti PKB, asas bukan Islam, tetapi kelakuan dan tauhidnya orang Islam.[353]

 

Penegasan bahwa PKB merupakan Partai Islam dengan corak keislaman yang substantif dapat ditemukan pula dalam Prinsip Perjuangan Partai yang menyatakan: “pengabdian kepada Allah S.W.T., menjunjung tinggi kebenaran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah”.[354] Walaupun kekentalan PKB dengan aspek Islam sedemikan rupa, akan tetapi dalam kenyataannya tetap tidak membuat partai ini tergoda untuk menegaskan dirinya sebagai partai Islam.

Pemikiran-pemikiran Gus Dur tampaknya banyak mewarnai perjuangan PKB, di mana sebuah partai yang nota bene berbasiskan muslim santri pedesaan ternyata mampu membuat mereka (konstituennya) menerima pendekatan partai yang bersifat nasionalis atau Islam-kultural dibanding Islam-formal. Pemakaian Pancasila  sebagai asas partai dilandasi oleh cara pandang tokoh PKB dalam melihat Islam, mereka meyakini bahwa Islam tidak perlu dilembagakan secara formal, tetapi yang penting adalah nilai ajaran Islam harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari.[355]

Selain dari aspek institusional di atas, pemikiran Gus Dur juga mempunyai implikasi yang bersifat personal terhadap tokoh-tokoh politik dan pemikir Indonesia, Alwi Shibab merupakan salah satu politisi sekaligus akademisi yang sedikit banyak mempunyai persamaan visi dan misi dengan Gus Dur   dalam memandang “relasi agama dan negara”, sebagaimana yang sering dikatakan Gus Dur mengenai demokrasi, Alwi juga menandaskan agama idealnya dapat mendorong proses demokratisasi bukan malah menjadi alat legitimasi politik.[356]

Dan istimewanya lagi ia dinilai mampu menerjemahkan pola pemikiran Gus Dur, sehingga banyak kalangan yang menganggap kedua tokoh ini merupakan duet yang ideal.[357] Di samping itu, ia juga dikenal sebagai politisi yang mengedepankan etika dan moralitas. Mengenai visi dan misinya dalam PKB, ia menyatakan bahwa partai ini merupakan partai terbuka dan inklusif yang bercita-cita mewujudkan masyarakat bermoral, bukan membentuk sebuah negara yang berdasarkan Syari‘at Isla>m.[358]

Menurutnya, apabila Masyarakat telah menerapkan moralitas tentunya akan membentuk negara yang bermoral pula. Bukan bentuk, sistem atau asas yang diutamakannya, tetapi yang terpenting adalah usaha untuk menanamkan substansi dan essensi Islam dalam menciptakan masyarakat yang beradab.[359] Lebih lanjut, Alwi mengatakan bahwa agama dan demokrasi juga sangat berkaitan, karena nilai-nilai substansi tersebut telah mendukung proses demokrasi, di antaranya yaitu keadilan, pemerataan, dan persamaan. Sekali lagi, ia menegaskan bahwa tujuan Islam adalah menciptakan masyarakat yang bermoral bukan menciptakan negara agama karena hanya akan memecah belah keutuhan bangsa saja, maka ide semacam itu harus ditinggalkan.[360]

Saat ini Alwi Shihab menjabat sebagai Ketua Umum PKB, kehadirannya dalam dunia politik patut diperhitungkan oleh kawan dan lawan politiknya. Di samping itu, sebelum mejabat Ketua Umum PKB Alwi juga sempat menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia di era kepresidenan Gus Dur. Persamaan visi dan misi membuatnya dekat dengan Gus Dur, bahkan karena kedekatannya ia diangap sebagai loyalis Gus Dur. Maka tak heran kalau dia kelihatan cukup fasih dalam membahasakan kebijakan Gus Dur seperti hubungan dagang dengan Israil. Namun demikian bukan berarti pembelaannya ini hanya  disebabkan kedekatannya dengan Gus Dur semata, tetapi karena secara argumentatif memang ada nilai-nilai positif baginya.[361]

Sebenarnya Karier politik Alwi lebih dilatarbelakangi dari jalur akademisi daripada organisasi, sebab sebelum terjun di dunia politik praktis, Alwi adalah seorang pengajar Islamic Studies di Harvard Divity School dan di Auburn Theological Seminary of New York. Namun demikian, sikap dan pemikiran politisnya yang elegan tersebut membuatnya bisa diterima oleh kalangan organisatoris tokoh NU dan PKB dan terpilih sebagai Ketua Umum PKB.

  Mengenai eksistensi agama di Indonesia, penulis buku inclusive Islam (1997) ini, tidak jauh berbeda dengan pemikiran Gus Dur. Baginya Islam adalah agama rah}matan li al-‘alami>n, jadi tidak perlu menggunakan kekerasan dalam mendakwahkan ajaran, seperti yang dilakukan kalangan Islam Radikal. Dalam acara silaturrahmi warga NU dan PKB di Jember, Alwi Shihab meminta pada seluruh umat Islam Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah untuk berhati-hati terhadap berkembangnya Islam radikal, menyusul banyaknya pengeboman yang dilakukan Islam radikal itu. Dan katanya, kita adalah satu-satunya partai yang memiliki otoritas keagamaan yang dapat menkounter radikalisme ini.[362]

Untuk itu, ia juga sepakat kalau Syari‘at Isla>m  tidak perlu diundang-undangkan di negara ini, karena hanya akan memicu disintegrasi bangsa yang plural ini. Selain itu, meskipun Islamlah yang mayoritas di negara ini, namun dalam kenyataannya tidak semua orang Islam Indonesia mengerti dan menjalankan ‘Aqidah dan Syari‘ah-nya. Lalu apakah harus dipaksa? Padahal Islam dalam mensyiarkan Syari‘ah-nya itu selalu bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan manusia itu sendiri.[363]

Selain Alwi Shihab, banyak generasi muda NU yang saat ini masih terus mencoba mengembangkan pemikiran-pemikiran Gus Dur, baik dalam memahami agama  maupun negara (politik). Salah satunya adalah Ulil Abshar Abdalllah, ia dikenal sebagai intelektual muda yang sangat kontroversial di kalangan NU, meskipun ia tidak akrab dengan dunia politik praktis tetapi kekritisannya mengenai intervensi negara terhadap agama menyegarkan kembali pemahaman wacana Islam di negara kita yang cenderung membeku baginya.

Saat ini Ulil menjabat sebagai Direktur JIL (Jaringan Islam Liberal) di Jakarta, sebelumnya ia aktif di LAKPESDAM NU. Pemikirannya sempat mengundang reaksi keras para tokoh Islam Indonesia yang tergabung dalam FUI, yang sampai mengeluarkan fatwa hukuman mati untuknya. Sebenarnya ada beberapa pokok pikiran Ulil yang secara essensial sama dengan pemikiran Gus Dur, seperti Pribumisasi Islam, Islam kontekstual, dan Islam Universal.

Beberapa pemahaman yang menurut Ulil perlu disegarkan kembali, di antaranya yaitu:[364] Pertama, penafsiran Islam yang non literal, substansial dan sesuai dengan peradaban manusia yang selalu berubah. Kedua, pemisahan unsur-unsur budaya lokal dan nilai fundamental dalam ajaran Islam, artinya kita harus membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan yang bukan. Misalnya, masalah jilbab, potong tangan, rajam,  jenggot, Jubbah dan ekspresi budaya arab lainnya. Bagi Ulil budaya semacam itu tidak wajib diikuti, karena itu hanyalah ekspresi lokal partikular Islam Arab saja, justru yang wajib diikuti adalah nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu.

Ketiga, perlu adanya pemisahan yang jelas antara kekuasaan politik dan agama. Bagi Ulil agama adalah urusan pribadi, sedangkan pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil konsesi masyarakat melalui prosedur demokrasi. Meskipun demikian nilai-nilai universal agama[365] tetap diharapkan partisipasinya dalam membentuk nilai-nilai publik.

Dalam wawancara yang dilakukan majalah Gatra, mengenai tuntutan pemberlakuan syariat Islam oleh negara. Ulil mengatakan bahwa Islam sebagai agama adalah masalah privat.[366] Oleh sebab itu menurutnya, Islam tidak perlu memformalkan Syari‘at Isla>m  karena hanya akan melibatkan peran negara (publik) secara penuh terhadap kehidupan beragama kita (privat), dan kemungkinan yang lebih parah lagi adalah terjadinya penyempitan pemahaman dan penyeragaman umat Islam dalam beragama, padahal perbedaan itu sendiri adalah sunnatullah.

Selanjutnya ia mengkritik secara tegas terhadap cara pandang yang menyebutkan Islam adalah agama dan negara, baginya agama haruslah dipisahkan dari peran negara sebagaimana yang ia uraikan di atas, agar kesucian agama tetap terjaga.[367] Hal ini sesuai dengan apa yang Gus Dur cita-citakan selama ini bahwa umat Islam tidak harus menjadikan Islam sebagai merk atau label belaka, akan tetapi lebih ditekankan pada nilai-nilai substansinya karena kita hidup di negara yang sangat plural agama dan budayanya, dan tentunya sangat berbeda dengan tradisi Arab di sana.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB V

PENUTUP

  1. A.    Kesimpulan.

Dari uraian di atas, bisa dipahami bahwa secara historis kondisi sosial politiknya M. Natsir dan Gus Dur memang berbeda, Akan tetapi secara ideologis perjuangan dan cita-cita politik mereka masih terus mewarnai panggung politik Indonesia hingga saat ini. Hal ini bisa dilihat dari implikasi pemikiran dan cita-cita mereka terhadap pemikiran politik Islam  yang sedang berkembang kini. Dan untuk lebih jelasnya, penyusun simpulkan sebagai berikut: 

  1. Mengenai relasi Islam dan negara, meskipun secara teoritis keduanya sepakat bahwa Islam tidak mempunyai sistem kenegaraan yang baku, akan tetapi secara praksis aksi politik mereka berbeda. Menurut M. Natsir, Islam dan negara adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan (integratif), ia beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian integral Islam yang di dalamnya mengandung ideologi atau falsafah hidup. Sementara menurut Gus Dur, antara agama dan negara harus dipisahkan secara jelas fungsi wewenangnya (sekular), supaya tidak terjadi pendistorsian. Dan seharusnya Islam hanya dijadikan sebagai etika sosial saja dalam kehidupan bernegara, bukan sebagai landasan ideologi.
  2. Secara normatif paradigma M. Natsir mengenai relasi Islam dan negara di atas didasarkan pada salah satu ayat al-Qur’an yang berbunyi:

 

و ماخلقـت الجن و الإنس إلا ليعبـد ون (الذاريات : ٥٦)  !

Sedangkan paradigma Gus Dur didasarkan pada salah satu kaidah Usul Fiqih yang berbunyi:

 تصرف الإمام على الرعـية منوط بالمصلحـﺔ !

Selain dari aspek normatif tersebut, aspek sosio-historis juga sangat mempengaruhi cita-cita politik mereka baik dari setting sosial maupun aktivitas organisasinya. M. Natsir dibesarkan di lingkungan Islam modernis, yang sudah banyak melakukan pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam. Sedangkan Gus Dur tumbuh besar di lingkungan Islam tradisionalis, yang memegang teguh doktrin Islam klasik dengan mengkontekskan pada tradisi atau budaya setempat.

  1. Corak pemikiran politik M. Natsir dikategorikan sebagai kelompok idealis dalam wacana politik Islam. Dan sebagai konsekuensinya, pemikiran semacam ini banyak berimplikasi pada tokoh Islam modernis, yang mereformasi doktrin-doktrin lama dengan tetap berlandaskan al-Qur’an, akan tetapi tetap menolak keras paham sekular.

Sedangkan pemikiran politik Gus Dur dikategorikan sebagai kelompok realis, yang cenderung moderat dalam merespon realitas sosial. Meskipun berlatar belakang tradisionalis, akan tetapi pemikirannya cukup mewarnai di kalangan Islam neo-modernis, sebuah kelompok yang afirmatif dalam merespon sekulerisme, dan secara tegas menolak formalisasi agama.

 

 

  1. B.        Saran-saran.

Relasi Islam dan negara selalu mengalami ketegangan, dalam kehidupan politik Indonesia, apalagi menjelang Pemilu baik di era orde lama ataupun orde baru. Akan tetapi ketegangan itu telah mengalami metamorfosis di era reformasi ini, karena aspirasi politik Islam sudah tidak dipasung lagi dalam berpolitik praktis seperti mendirikan partai Islam.

Selanjutnya, skripsi ini hanyalah salah satu cara bagaimana menyikapi relasi Islam dan negara di Indonesia. Dan lebih menitik beratkan pada perbedaan cita-cita ideologi negara yang kemudian penyusun hadapkan pada dua tokoh,  M. Natsir dan Gus Dur. Untuk itu masih banyak aspek lain yang bisa diteliti oleh penyusun selanjutnya mengingat baru sebagian masalah yang saat ini penyusun kaji dari pemikiran kedua tokoh tersebut. Di antaranya mengenai demokrasi, sistem tata negara Islam, eksistensi partai Islam di Indonesia dan pandangan mereka terhadap pemberlakuan Syari‘at Isla>m.

Dan tentunya,  berkaitan dengan skripsi ini penyusun mengharapkan saran dan kritik para pembaca guna memperbaiki kesalahan atau kekurangan yang ada. Selain itu penyusun sendiri sadar bahwa karya ini merupakan buah pertama dari proses panjang pendewasaan intelektual penyusun, sehingga masih sangat dimungkinkan jauh dari kesempurnaan.

  

 

 

BIBLIOGRAFI

 

 

 I.      Kelompok Al-Qur’an/Tafsir

 

Departemen Agama RI (pengawas), Al-Qur,an dan Terjemahnya, Madinah: tp, 26 Rajab 1415 H

 

II.      Kelompok Fiqih/Usul Fiqih

 

Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Madinah Dan Masa Kini, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.

 

Dkk, Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

 

Haikal, Muhammad Husein, al-Hukumat al-Islamiyyat, Mesir, Dar al-Ma’arif, 1983.

 

Khallaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kairo, Dar al-Qolam, 1977.

 

—————————, Al-Siyasat as-Syari’at, AL-Qahirat: Dār al-Anshār, 1977.

 

Pulungan, J. Suyuthi, Fiqih Siyasah: ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.

 

Sirry, A Mun’im, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya, Risalah Gusti, 1996.

 

III.      Kelompok Buku Lain

 

Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.

 

Abdurrahman, Moslem, Islam Transformatif, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995.

 

Anggaran Dasar PKB.

 

Ahmad, Abd. Al-‘Athi Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Li al-Imam Muhammad   Abduh, Mesir, al-Maiat al-Mishriyyat al-‘Ammat li al-Kitab, 1978.

 

Ali, A. Mukti, Metode Memahami Agama Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1991.

 

Ali, Fachry & Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi       Pemikiran Islam Di Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1995.

 

—————————————-, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1990.

 

Amal, Taufiq Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung, Mizan 1989.

 

Amir, Zainal Abidin, Peta Islam Politik: Pasca-Soeharto, Jakarta, Pustaka LP3ES, 2003.

 

An-Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Pemerintahan dan Realitas Doktrin, Sejarah dan Doktrin, Sejarah Empirik, Bangil, al-Izzah, 1996.

 

Anshari, Endang Saefuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler, tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1949-1959, Bandung, Pustaka Salman, 1981.

 

Azhar, Muhammad, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat,      Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.

 

Azra, Azyumardi, dan Saiful Umam (ed), Tokoh dan Pimpinan Agama: Biografi Sosial Intelektual, Jakarta, Badan Litbang DEPAG RI dan PPM, 1998.

 

———————, Jaringan Ulama Timur Tengah Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1994.

 

———————, Pergolakan Politik Islam di Indonesia dari Fundamentalisme, Modernisme dan Post Modernisme, Jakarta, Paramadina, 1999.

 

Bakker, Anton & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,         Yogyakarta, Kanisius, 1999.

 

Barton, Greg, Biografi Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LKiS, 2003.

 

—————-, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, alih bahasa Nanang Tahqiq, Jakarta, Paramadina, 1999, cet. 1.

 

Barton, Greg, dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama Negara, Yogyakarta, LKiS, 1997.

 

Boland, B.J., The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Hgue, Martinus Nijhoff, 1971 dan 1982.

 

Dkk, Andrrée Fillard, Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta, LKiS,   1994.

 

Dkk, Anwar Haryono, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001.

 

Dkk, Hasyim Wahid, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangkitan Indonesia, Yogyakarta, LKiS, 1999.

 

Dkk, Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Bumi Aksara,    1992.    

 

Dkk, Ulil Abshar Abdalla, Islam Liberal dan Fundamental: sebuah Pertarungan Wacana, Yogyakarta, eLSAQ, 2003.

 

Effendy, Bahtiar, dan Fachry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung, Mizan, 1986.

 

Effendy, Bahtiar, (RE) Politisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung, Mizan, 2000.

 

——————–, Islam dan Negara, Jakarta, Paramadina, 1999.

 

——————–, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Paramadina, 1998.

 

Effendy, Djohan, The Contribution of The Islamic Parties to The Decline of Democracy in the 1950, makalah Confrense on Indonesia Democrasy, Monash University, 18 Desember 1992.

 

Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke 20, Bandung, Pustaka, 1998.

 

Feillard, Andrée, NU vis-a-vis NEGARA: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta, LkiS, 1999.

 

Gatra, No. 15, 16 Desesmber, 2002.

 

Hadi, Sutrisno, Metodologi Reseach, Yogyakarta, Andi Offset, 1989,

 

Hakim, Abd al-Hamid, as-Sulam, Jakarta, Sa’adiyah Putra, tt.

 

Hakim, M. Arief, Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU, Yogyakarta, Titian Ilahi Press.

 

Hamzah, K.H. Imron, dan Choirul Anam, Sebuah Dialog Mencari Kejelasan, Gus Dur diadili Kiai-kiai, Surabaya, Jawa Pos, 1989.

 

Hasil Mukernas I Partai Bulan Bintang, Jakarta, DPP PBB, 1999.

 

Hatta, Memoir, Jakarta, Tintamas, 1978.

 

http://www.tokohindonesia.com, Dr. Alwi Shihab Kandidat Wakil Presiden 2004, 11 Desember 2003.

 

Hoesen, K.H. Ibrahim, Fiqih Siyasi Dalam Tradisi Pemikiran Islamik Klasik,    Ulumul Qur’an, No.2 Vol.IV/1993.

 

Ida, Laode dan & Thantowi Jauhari, Gus Dur di antara Keberhasilan dan        Kenestapaan, Jakarta, Rajawali Press, 1999.

 

Ismail, Faisal, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1999.

 

Jawa Pos, Surabaya, 29 Mei 1999.

Jaiz, Hartono Ahmad, Gus Dur Menjual Bapaknya, Bantahan Pengantar Buku: Aku Bangga Jadi Anak PKI, Jakarta, Darul Falah, 2003.

 

Kreatif Islam dan Pancasila , Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.

Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara: Perspektif Modernis Dan     Fundamentalis, Magelang, IndonesiaTera, 2001.

 

Karim, A. Gaffar, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995.

 

Karim, Muhammad Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.

 

Kompas Harian Amanat Rakyat, PKB Rekrut Nur Mahmudi juga Tokoh-tokoh Muhammadiyah, Selasa, 4 Februari 1999.

      

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung, Mizan, 1999.

 

Lewis, Bernard, Bahasa Politik Islam, Jakarta, Gramedia, 994.

 

Liddle, William, Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thougt and Action in New Order Indonesia, kertas kerja tidak diterbitkan.

 

Luth, Thoir, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta, Gema Insani Press, 1999.

 

Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta, LP3ES, 1996.

 

—————————, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi terpimpin 1959-1965, Jakarta, Gema Insani Press, 1996.

 

—————————, Peta Bumi Intelektualisme Islam Indonesia, Bandung,     Mizan, 1995.

 

Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at I-Islami (Pakistan), Jakarta, Paramadina, 1999.

 

Mahendra, Yusril Ihza,  Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik Natsir, Jurnal ISLAMIKA, No 13, 1994.

 

Malik, Dedy Djamaluddin & Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Zaman Wacana Mulia, 1998.

 

Mangkusasmito, Prawoto, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Refleksi, Jakarta, Hudaya, 1970.

 

Masdar, Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.

 

Maududi, Islamic Law and Constitution, Lahore, Islamic Publication, 1990.

 

MD, Moh. Mahfud, Konfigurasi Politik dan Hukum pada Era Orde Lama dan Orde Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.

 

Mehden, Fred Den, Religion and Modernization in South East Asia Syracuse, Syracuse University Press, 1986.

 

Minhaji, Ahmad, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958), Yogyakarta, Kurnia Kalam Semesta, 2001.

 

Mitchel, Richard P., The Society of Muslim Brother, Oxford, Oxford Universuty Press, 1969.

 

Mochtar, Kustiniyati (peny), Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, Jakarta, Gramedia, 1989.

 

Mudzhar, M. Atho’,  Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1998.

 

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, 1985.

 

Nasution, S, Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara, 1995.

 

Natsir, M, Capita Selecta, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.

 

———–, Agama Dan Negara Dalam Perspektif Islam, Jakarta, Media Dakwah, 2001, cet 1.

 

Noer, Deliar, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Singapura, Oxford University Press, 1973.

 

—————-, Gerakan Modern, Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1966.

 

—————-, Gerakan Modern, Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1982.

 

—————-, Islam, Pancasila  dan Asas tunggal, Jakarta, Yayasan Perkhidmatan, 1983.

 

—————-, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Bandung, Mizan, 2000.

 

—————-, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1987.

 

Poesponegoro, Marwati Djoenod, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta, Departemen P&K, 1984.

 

Qutb, Sayyid, Khas}ais} al-Tasawwur al-Isla>mi wa Muqawwamatuhu, Kairo: Issa al-Babi al-Halabi wa Shuraka’uhu, 1962

 

Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung, Mizan, 1993.

 

Rahman, Budhy Munawar, Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta, Paramadina, 1995.

 

Ramage, Douglas Edward, Percaturan Politik Di Indonesia: Demokrasi,          Islam, dan Ideologi Toleransi,  Jogjakarta, Mata Bangsa, 2002, cet. I.

 

Republika, 27 Mei 1999, hlm. 3.

 

Rosidi, Ajib, M. Natsir, Sebuah Biografi, Jakarta, Girimurti Pustaka, 1990.

 

Schuman, Olaf, “Dilema Islam Kontemporer antara Masyarakat Modern dan Negara Islam”, Jurnal Paramadina, No. 2, Vol I, Jakarta, Paramadina, 1999

 

Shihab, Alwi, Mengemban Tuntutan Jaman, Yogyakarta, Wahyu Pustaka, 2000.

 

Sitompul, Einar M., NU dan Pancasila, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1989.

 

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,     Jakarta, UI Press, 1993, edisi V.

 

Soekarno, Memudahkan Pengertian Islam, di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, Panitia di Bawah bendera Revolusi, 1994.

 

Soenjoto, Peneliti dan peteliti, Yogyakarta, Ranggon Studi, 1983.

 

Suhelmi, Ahmad, Polemik Negara Islam:  Soekarno Versus Natsir, Bandung, Teraju, 2002.

 

Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta, Logos, 2000.

 

Tempo, No. 42, 22 Desember 2002.

 

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1994.

 

Uhlin, Anders, Oposisi berserak, Arus Deras Demokratisasi Glombong Ketiga di Indonesia, Bandung, Mizan, 1998.

 

Ulum, Bahrul, Bodohnya NU apa NU Dibodohi?, Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, Yogyakarta, 2002.

 

Wahid, Abdurrahman, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta, P3M, 1989.

 

—————————, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta, Grasindo, 1999.

 

—————————, Prisma Pemikiran Gus Dur, yogyakarta, LkiS, 1999.

 

—————————, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia, Prisma, No. 4, April 1984.

 

Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Yayasan Prapanca, 1959.

 

Yogya Post, 12 April 1991, hlm. 2.

 

 

 

 

                                   

Lampiran I.

 

TERJEMAHAN

 

 

Hlm

F.N.

Terjemahan

 

 

18

 

 

 

 

 

 

18

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

34

 

 

 

 

52

 

 

 

 

69

 

 

 

 

113

 

 

125

 

 

125

 

125

 

 

 

38

 

 

 

 

 

 

38

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

75

 

 

 

 

130

 

 

 

 

185

 

 

 

 

312

 

 

329

 

 

329

 

329

Bab I

 

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

 

 

(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

 

Bab II

 

 

Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.

 

 

Memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik.

 

Bab III

 

Tidaklah aku jadikan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.

 

Bab IV

 

Kebijakan penguasa yang diberlakukan untuk warga negara harus didasarkan pada pertimbangan kesejahteraan.

 

Menutup kemungkinan bahaya harus didahulukan sebelum melakukan kemaslahatan.

 

Kebutuhan setara dengan keadaan darurat.

 

Keadaan darurat kemungkinan dihalalkannya yang dilarang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lampiran II.

 

BIOGRAFI TOKOH-ULAMA

 

 

 

  1. 1.      Abu al-A’la al-Maududi.

Lahir pada 25 September 1903 M (3 Rajab 1321 H) di Aurangabad India Selatan, dan berasal dari keluarga syarif (keluarga tokoh muslim India Utara) dari Delhi yang bermukim di Deskan. Ia sempat berkiprah di Dar al-Islam, sebuah proyek pendidikan di Punjab yang semula diprakarsai oleh M. Iqbal, namun ketertarikannya pada politik memalingkannya dari Dar al-Islam. Momentum dari aksi politik Maududi adalah berdirinya Jema’at Islam pada 1941. Ketika India pecah, Maududi bersama 385 anggota Jema’at Islam memilih Pakistan dan mendirikan markas di Lahore. Melalui Jema’at Islam Maududi banyak berkiprah dalam perpolitikan Pakistan, sejak pemerintahan Ayub Khan sampai Ziaul Haq. Maududi meninggal di Bufallo, New York, pada 22 September 1979 dan dimakamkan di Lahore.

 

  1. 2.      Ahmad Syafi’i Ma’arif.

Lahir pada tanggal 31 Mei 1935 di Sumpurkudus Sumatera Barat. Ia pernah belajar di Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Lintau (1953) dan Yogyakarta (1956), FKIP Universitas Cokroaminoto Surakarta sampai sarjana Muda (1941), dan tamat FKIS IKIP Yogyakarta (1968), belajar sejarah pada Nothern Illionis University (1973) dan memperoleh gelar MA dalam ilmu sejarah pada OHIO University, Athens Amerika Serikat (1980) dan meraih gelar ph.D dalam bidang pemikiran Islam diperoleh dari the University of Chichago, Amerika Serikat (1982). Kemudian menjadi dosen FKIS IKIP Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga dan UII Yogyakarta, dan pada tahun 1999 ia menjabat sebagai Ketua Umum P.P Muhammadiyah sampai sekarang.

 

  1. 3.      Alwi Shihab.

Lahir pada 19 Agustus 1946 di Rappang Sulawesi Selatan, sebelum terjun di politik ia dikenal sebagai seorang akademisi dan pengusaha. Alwi mendapat gelar sarjana di bidang Akidah Filsafat di IAIN Alaudin Ujung Pandang pada 1986, ketika itu ia sudah meraih gelar Master dari Universitas al-Azhar, Mesir, dalam bidang yang sama. Pada tahun 1980 ia meraih gelar Doktornya yang pertama dari Universitas ‘Ain Syam, Mesir dalam bidang Filasafat, karena belum merasa cukup, kemudian ia hijrah ke Universitas Temple, Amerika,  untuk meneruskan studinya di bidang Agama. Sembari meluangkan waktu untuk mengajar studi agama Islam di almamaternya tersebut. Antara 1995-1996, Alwi mengikuti Program Pasca Doktoralnya di Pusat Studi Agama-Agama Dunia (The Centre for Studi of World Relegion), di Universitas Harvard. Dan sejak 1996 ia tercatat sebagai pengajar agama Islam di Hartford Seminary. Kemudian pada tahun 1999-2000 ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI, dan saat ini ia memegang jabatan penting di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai Ketua Umum, selain itu ia masih tercatat sebagai anggota International Connection Commite, American Academy of Relegion, Atlanta, Georgia. Karya-karyanya yang telah diterbitkan yaitu : Inclusive Islam (1997), Muhammadiyah Movement and Controversy With Christian Mission (1998), Sufistic Islam (2001) dan Teaching Islam in the West (segera). 

 

  1. 4.      Amien Rais.

Lahir pada 26 April 1944 di Solo, ayah dan ibunya adalah aktivis Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial keagamaan kalangan modernis Islam yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan. Sejak jenjang TK hingga SMA seluruh pendidikannya dihabiskan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Setamat dari SMA Muhammadiyah Solo, pada 1962, Amien melanjutkan kuliah di Fisipol  UGM, ia juga tercatat sebagai mahasiswa Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Lalu pada tahun 1972 Amien melanjutkan pendidikannya di Universitas Notre Dame, Indiana, AS. Pada tahun 1974 ia berhasil meraih gelar Master of Art (MA), kemudian pada tahun 1975 ia berangkat ke Universitas Chichago, AS, untuk melanjutkan studi Doktornya di Ilmu Politik, akhirnya pada tahun 1981 ia berhasil meraih gelar ph.D. selanjutnya ia juga sempat tercatat sebagai mahasiswa luar biasa di Universitas al-Azhar,  Kairo (1978-1979). Selain menjadi Dosen di UGM, pada 1995 Amien juga sempat menjabat sebagai ketua umum P.P Muhammadiyah. Selain itu. Ia juga dikenal sebagai seorang politisi, tepat pasca Reformasi 1998 ia mempelopori  berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN) dan diketuainya. sehingga pada tahun 1999-sekarang ia menjabat di birokrasi pemerintahan sebagai Ketua Umum MPR RI.

 

  1. 5.      Azyumardi Azra.

Lahir pada Maret 1955 di Lubuk Aling, Sumatera Barat. Pada tahun 1982 ia menyelesaikan sarjana strata 1 di Fakultas Tarbiyyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan pada tahun 1986 ia memperoleh beasiswa Fullbright untuk melanjutkan studi di Columbia University, saat ini ia menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, karya tulisnya antara lain: Islam dan Masalah-masalah Kemasyarakatan, Perkembangan Modern dalam Islam, Perspektif Islam di Asia Tenggara dan Jaringan Ulama Timur Tengah Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII.

 

  1. 6.      Fazlur Rahman.

Lahir pada tahun 1919 M di Barat Laut Pakistan, ia termasuk salah satu pemikir pembaharuan Islam yang liberal dan radikal. Rahman dibesarkan di keluarga yang memiliki tradisi Madzhab Hanafi yang dikenal lebih rasionalis dibanding dengan madzhab lainnya. Pada tahun 1942 ia berhasil meraih gelar MA dalam bidang Sastra Arab dari Universitas Punjab. Sebelumnya ia pernah diajak bergabung oleh Maududi dalam Jama’at al-Islami, seraya berkata “semakin engkau (Rahman) banyak belajar maka semakin beku kemampuan praktismu” akan tetapi Rahman lebih memilih meneruskan studinya, bahkan menjadi seorang kritikus yang tangguh terhadap pemikiran keagamaan Maududi. Pada tahun 1950 ia berhasil meraih gelar Doktor dari Universitas Oxford Inggris dengan desertasi tentang Ibnu Sina, setelah menyelesaikan studinya Rahman lebih memilih untuk tetap tinggal di Inggris sambil mengajar di berbagai perguruan tinggi seperti Durham University, Inggris. Dan Institute of Islamic Studies, McGill Kanada. Pada tahun 1962 Rahman kembali ke Pakistan dan mendapat banyak jabatan di negerinya, akan tetapi ia merasa lingkungannya tidak mendukung pengembangan intelektualnya, akhirnya ia pindah ke Chichago, Amerika Serikat Departement of Near Eastern Languages and Civilization. Rahman sudah banyak menghasilkan karya ilmiah, di antaranya adalah Islam and Modernity: Transformation of Intellectual Tradition, Islamic Methodology in History, Major Themes of The Qur’an dll.

 

  1. 7.      Kuntowijoyo.

Seorang dosen Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Lahir di Yogyakarta pada 18 September 1938. Ia memperoleh gelar MA dari Universitas Connecticat, Amerika Serikat dan ph.D pada 1980 dari Colombia University, selain menerbitkan banyak karya tulis yang terhimpun dalam beberapa buku, Kunto juga dikenal sebagai budayawan yang banyak menghasilkan karangan-karangan fiksi, di antara tulisan-tulisannya yang sudah diterbitkan yaitu: Paradigma Islam, Interprestasi untuk Aksi (1991), Identitas Politik Umat Islam (1997) dan Muslim tanpa Masjid, Esai-esai Agama Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Trasendental (2001).

 

  1. 8.      M. Din Syamsuddin.

Seorang guru besar pemikiran politik Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, lahir di Sumbawa Besar, 31 Agustus 1958. Ia pernah nyantri di Gontor sampai tahun 1975, lalu melanjutkan di IAIN Jakarta sampai tahun 1982. Dan meraih gelar Master (1988) dan Doktor (1991) dari University of Califonia Los Angeles (UCLA). Selain seorang akademisi, ia juga aktif di banyak organisasi seperti Muhammadiyah, ICMI, MUI, bahkan sempat menjadi aktivis Golkar, dan saat ini menjabat sebagai Sekretaris Umum MUI Pusat dan menjadi Pengurus Pusat Muhammadiyah.

 

  1. 9.      Munawir Sjadzali.

Lahir di Klaten 7 November 1925, ia seorang intelektual, pernah belajar di University of Exeter, Inggris (1953-1954) dan memperoleh gelar MA dari Georgetown University, Washington DC, Amerika Serikat. Setelah menyelesaikan tesisnya yang berjudul Indonesian’s Muslim Parties and Their Political Concept (1959). Selain seorang intelektual ia juga dikenal sebagai seorang diplomat dan pernah menjabat berbagai posisi penting di Pemerintahan, antara lain: Dubes untuk beberapa negara Timur Tengah seperti Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Perserikatan Keamiran Arab (1976-19800), menjadi Menteri Agama selama dua periode yaitu Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) dan Kabinet Pembangunan V (1988-1993).

 

 

  1. 10.  Nurcholish Madjid.

Lahir 17 Maret 1939 di Mojoanyar, Jombang Jawa Timur, Ia dikenal sebagai tokoh pembaharu pemikiran Islam di Indonesia. Cak Nur menyelesaikan pendidikannya dengan meraih gelar ph.D dari University of Chichago dengan desertasi yang berjudul Pimikiran Filsafat dan Kalam Ibnu Taimiyyah. Semasa mahasiswa Cak Nur aktif di organisasi, HMI dan IFSO (International Islamic Federation of Students Organizations). Saat ini, ia menjabat sebagai rektor Universitas Paramadina Mulya Jakarta. Selain itu menjelang pemilu 2004 ini, Cak Nur juga sedang sibuk dicalonkan menjadi calon Presiden RI ke-6. Karya-karyanya banyak yang telah diterbitkan.  Di antaranya Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (1988), Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Terhadap Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (1992).   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lampiran III.

 

 

DAFTAR ISTILAH

 

Ahl al-H{all wa al-Aqdi: Kelompok sahabat-sahabat utama Nabi Muhammad yang senantiasa diajak bermusyawarah dalam mengambil keputusan yang behubungan dengan kepentingan umum, semacam parlemen di dalam konsepsi fiqih abad pertengahan.

 

Ahl as-Sunnah wa al-Jama>ah: Madzhab yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad dan merupakan menempati posisi mayoritas secara nominal.

 

Ash}abiyah: Sentimen etnik, chauvinism

 

Asas Tunggal: Prinsip yang terdapat dalam ideologi nasional, Pancasila, yang diberlakukan sebagai asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi pada masa tahun 1985.

 

Bayah: Sumpah setia kepada seorang khalifah atau pemimpin

 

BPUPKI: Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

 

DDII: Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia, badan dakwah kaum modernis radikal. Dipimpin oleh M. Natsir hingga wafatnya tahun 1993.

 

Darul Islam: Nama yang diberikan untuk negara Islam yang diproklamasikan oleh Kartosoewiryo di Jawa Barat tangal 7 Agustus 1949. Sebagai perluasan makna digunakan juga untuk menyebut pemberontakan.

 

DI-TII: Singkatan dari Darul Islam-Tentara Islam Indonesia, untuk menyebut pemberontakan Kartosoewiryo dan tentaranya yang memberontak.

 

Doktrin: Ajaran agama, teks-teks keagamaan.

 

Fodem: Forum Demokrasi, kelompok pro-demokrasi yang diketuai oleh Abdurrahman Wahid, dibentuk pada tahun 1991.

 

Ijtiha>d: Dalam hukum Islam adalah upaya untuk menetapkan hukum melalui penalaran bebas berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam arti yang lebih sempit adalah upaya untuk menggunakan metode pemikiran melalui analogi.

 

Muammalah: Amalan-amalan yang bersifat kemasyarakatan dan keduniaan.

 

Masyumi: Singkatan dari Majelis syura Muslimin Indonesia, didirikan pada tahun 1943. ia menjadi partai politik muslim modernis yang kemudian dilarang oleh Soekarno tahun 1960.

 

Muhammadiyah: Gerakan reformis dan modernis yang didirikan pada tahun 1912 di Yogyakarta, Muhammadiyah merupakan gerakan reformis yang lebih luwes dibanding Persis dan al-Irsyad. Secara politis ia menyalurkan aspirasi politiknya melalui Masyumi, kemudian melalui Parmusi, lalu ke PPP di bawah Orde Baru, namun juga dapat ditemukan di Golkar.

 

Nahdlatul Ulama (NU): Kebangkitan kembali para ulama, perkumpulan alim ulama yang didirikan pada tahun 1936, menjadi partai politik pada tahun 1952 kemudian kembali menjadi organisasi sosial pada tahun 1984.

 

Nasakom: Singkatan yang menunjukkan persekutuan antara nasionalisme, agama dan komunisme, konsep yang diajukan oleh Soekarno.

 

PKI: Partai Komunis Indonesia

 

PRRI: Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, pemerintahan ini dibentuk untuk menentang Soekarno dan partai komunis yang sedang menanjak, didirikan pada tahun 1958 di Sumatera Barat dan dihancurkan dalam beberapa bulan saja.

 

Pesantren: Sekolah agama yang didirikan oleh para kyai, murid dari sekolahan ini biasa disebut santri.

 

Pribumisasi: Kata baru yang dibentuk dari “pribumi”, penekanan identitas muslim khas Indonesia, Islam tanpa arabisasi, juga berarti dominasi penduduk asli di bidang ekonomi Indonesia.

 

Sekularisme: Paham yang memisahkan urusan keagamaan dengan urusan keduniaan; Nasionalis sekular: golongan yang menganut paham kebangsaan yang menghendaki agama dipisahkan dari kehidupan negara.

 

Syariah: Peraturan-peraturan hukum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

 

Tradisionalisme: Paham yang mempertahankan pandangan-pandangan keagamaan yang diwariskan oleh tradisi Islam zaman abad pertengahan.

 

Tanfidziah: Badan eksekutif NU.

 

Wahhabi>: Paham pembaharuan keagamaan Islam yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahab di tanah Hijaz.

 

 

 

Lampiran IV.

 

CURRICULUM VITAE

 

Nama                           : Ahmad Anfasul Marom.

Tempat/Tgl Lahir        : Bojonegoro, 7 November 1981.

Alamat Asal                : Jl. Kanor 504 RT 16 RW 9 Pasinan-Baureno, kabupaten  Bojonegoro Jawa-Timur 62192.

Alamat di Yogyakarta   : Komplek IAIN “Griya Natural” CT XI 45i Sapen Yogyakarta 55281.

Nama Ayah                 : H. Ahwan Affandi.

Nama Ibu                    : Hj. Siti Azah (Almarhumah).

Pendidikan Formal:

  1. MI Darul Ulum Baureno – Bojonegoro (1987 – 1993).
  2. MTs Islamiyyah at-Tanwir Sumberjo – Bojonegoro (1993 – 1996).
  3. MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) Tebuireng – Jombang, (1996-1999).
  4. Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (1999 –  Sekarang).
  5. English Extension Sanata Dharma Yogyakarta, Masuk 2001 –  Sekarang.

Pendidikan Informal:

  1. Pondok Pesantren “at-Tanwir” Sumberjo Bojonegoro Jawa-Timur.
  2. Pondok Pesantren “Tebuireng” Jombang Jawa-Timur.
  3. Kursus Bahasa Inggris di “Wisma Bahasa” Yogyakarta.
    1. Kursus Komputer di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Yogyakarta.

Pengalaman Organisasi :

  1. Sekretaris Organisasi Daerah CSPB (Collega Siswa Pesantren Bojonegoro) 1997-1998 di Pesantren Tebuireng Jombang.
  2. Anggota Divisi Lembaga Kajian eLSIP (Lingkar Studi Islam Pembebasan) 2000-2001 Kordiska IAIN Sunan Kalijaga.
  3. Sekjend PMII Rayon Faklutas Syari’ah 2000-2001 IAIN Sunankalijaga Yogyakarta.
  4. Ketua Ospek 2001 Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga-Yogyakarta.
  5. Departemen Kajian dan Intelektual BEMJ PMH 2000-2002, IAIN     Sunan kaliga Yogyakarta.
  6. Sekjend Senat Mahasiswa Institut (SMI) 2003-2004 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

 

 

 

 

 

                                     

           

 

 

 

 

 

 


[1] Douglas E. Ramage, Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi,  alih bahasa Hartono Hadikusumo, cet. ke-1(Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 2

[2] Ibid., hlm. 19.

[3] Untuk penulisan selanjutnya Penyusun akan mengganti nama Abdurrahman Wahid menjadi Gus Dur yang telah akrab dikalangan masyarakat luas.

[4] Baca, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, edisi ke-5 (Jakarta: UI Press, 1993),  hlm. 1-2.

[5] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, alih bahasa Nanang Tahqiq, cet. ke-1 (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 518.

[6] Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), hlm. 39.

[7] Andrée Feillard, NU vis-a-vis NEGARA: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 380.

[8] M. Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, cet. ke-1 (Jakarta: Media Dakwah, 2001), hlm. 200.

 

[9] Ibid.

[10] Ibid., hlm. 203.

[11] Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis. (Magelang: IndonesiaTera, 2001), hlm. 70.

[12] Natsir berpendapat bahwa Islam bukan hanya suatu agama tapi juga sebuah ideologi karena di dalamnya mengandung dua unsur yaitu Mu‘ammalah ma‘a Allah dan Mu‘a,,alah ma‘a an-Nas. baca M. Natsir, Agama dan Negara, 219.

                [13] Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), hlm. 77.  

                [14] Ibid. hlm. 169.

                [15] Ibid.

                [16] Andrrée Fillard dkk., Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 104.

                [17] Abdul Aziz Dahlan (ed), dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996)V: 1626, artikel “Siyasyah as-Syar’iyyah”.

               

[18] Dikutip dari, Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 7

[19] Ismail Muhammad Syah dkk., Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 67.

[20] Abdul Wahab Khallaf, Al-Siyasat al-Syari’at, (AL-Qahirat: Dār al-Anshār, 1977), hlm. 4.

               

[21] J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 28.

                [22] K.H. Ibrahim Hoesen, “Fiqih Siyasi dalam Tradisi Pemikiran Islamik Klasik”, Jurnal Ulumul Qur’an, No.2 Vol. IV (1993), hlm. 58. lihat, Muhammad Azhar, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam Dan Barat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 15.

                [23] Nilai dasar al-Qur’an dalam hal ini ialah amanah, musyawarah, keadilan, kebebasan, perdamaian, kesejahteraan dan ketaatan rakyat. Lihat, M. Tahir Azhary, Negara Hukum, hlm. 79.

                [24] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,  hlm. 1-2. M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 14. lihat juga Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 57.

                [25] Untuk memastikan tokoh-tokoh tersebut adalah kelompok pemikir kontemporer, baca. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 111. M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 142.

               

[26] Ia dilahirkan pada tahun 1838 di As’adabad, dekat Kanar, wilayah Kabul, Afganistan. Dikutip dari Munawir Sjadzali, Ibid, hlm. 117. 

                [27] Pan-Islamisme yaitu suatu ikatan politik yang bertujuan mempersatukan seluruh ummat Islam di dunia, yang kemudian saat ini berembrio menjadi OKI,  yang tidak jauh berbeda visi dan misinya. Lihat, M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 107. 

                [28] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 126.

                [29] Ibid., hlm.128-129. 

                [30] Negara-negara tersebut yaitu: Afganistan, India, Mesir, Inggris, Prancis, Teheran, dan Persia. Baca, Ibid., hlm. 117.  

                [31] Lahir pada tahun 1888 dan wafat 1966 M, ia penganut Abduh meskipun secara langsung tidak sempat belajar banyak darinya. Disamping itu dia cukup reseptif dan akomodaif terhadap peradaban Barat yang kemudian membawanya pada semangat nasionalisme dan paham sekulerisme di kalangan cendikiawan  Islam Mesir. Karyanya yang terkenal yaitu Islam wa Usul al-Hukm. Dikutip dari Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 139.

                [32] Ibid., hlm. 142.

                [33] M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 116.

                [34] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 141.

                [35] Dikutip dari Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan,1989), hlm. 79.

               

[36] M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 155.

                [37] Ibid.

[38] Ali ‘Imran (4 ) : 110., dan al-Hajj (17): 40.

                [39] Ibid., hlm. 156.

                [40] “Salah satu kelemahan tersebut ialah kurangnya sistematika dan metodologi yang komprehensif untuk menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah, selain itu penolakannya terhadap potensi kekayaan pemikiran Islam tradisional.”Baca, Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 12.

 

[41] H. A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 34.

                [42] M. Atho’  Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 105.

               

[43] Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach, (Yogyakarta:Andi Offset, 1989), hlm. 42. Di samping itu penelitian ini berupa telaah pustaka maka metode yang dipakai adalah deduksi sebab metode ini memang tidak menuntut penelitiaan lapangan. Baca, Soenjoto, Peneliti dan Peteliti, (Yogyakarta: Ranggon Studi, 1983), hlm. 8.

                [44] Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 51.

[45] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, cet. ke-1 (Bandung: Teraju, 2002), hlm. xi

                [46] Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 16.

[47] Tahap keempat ini masih dibagi lagi menjadi empat era: 1965-1972 sebagai era mencari bentuk, 1973-1985 sebagai era partai tunggal, 1985 1989 sebagai era transisi rekonsiliasi, dan 1990 sampai sekarang sebagai era akomodasi, baca M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, cet. ke-1 (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 21.

                [48]Badan Penyelidik Usaha-Usaha kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di bentuk pada tanggal 7 Desember 1945 yang terdiri dari tokoh-tokoh kelompok sosial, etnis, regional dan politisi di Hindia Belanda yang diduduki Jepang. Lihat, Douglas E Ramage, ibid, hlm. 18.

                [49]Deliar Noer, Partai Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), hlm. 30. Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, vol. VI (Jakarta: Departemen P&K, 1984), hlm. 66.

[50] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. Viii.

[51] Ibid.

                [52] Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 19.

                [53] Departemen Penerangan, Lahirnya Pancasila, (Jakarta:). kalau memang tulisan Yamin tentang perdebatan sidang BPUPKI dapat dipercaya maka lahirnya pancasila itu belum tentu gagasan Soekarno murni karena sebelum Soekarno melahirkan konsep Pancasila , Yamin telah mengemukakan kelima sila tesebut dalam pidatonya di depan sidang  Badan Penyelidik, yaitu: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ke-Tuhanan, peri kerakyatan , peri kesejahteraan rakyat yang juga meliputi keadilan sosial. lihat, Muhamad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), hlm. 87-21.

[54] Mengenai sidang BPUPKI terdapat perbedaan dalam tenggang waktunya, dalam bukunya  Deliar Noer sidang pertama berlangsung dari 29-Mei-2 Juni 1945 dan sidang kedua dari 10-14 Juni 1945, sedangkan menurut Yamin sidang pertama berlangsung dari 29 Mei-1 Juni dan sidang keduanya berlangsung dari 10-16 Juli 1945, dikutip dari karyanya Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, cet. ke-1 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 17.

                [55]Deliar Noer, Parta-Partai Islam, hlm. 34-35.

                [56] Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Refleksi, (Jakarta: Hudaya, 1970), hlm. 60-61.

                [57] Muhamad Yamin, Naskah Persiapan, hlm. 60-61.

                [58] Deliar Noer, Partai-Partai Islam, hlm. 35.

[59] M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, hlm. 170.

[60] Ibid., hlm. 23.

[61] Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, (Jakarta: yayasan perkhidmatan, 1983), hlm.108.

[62]  Hatta, Memoir, (Jakarta: Tintamas, 1978), hlm. 452- 458.

[63] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965, cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 29.

[64] Prawoto Mangkusasmito, Perumusan Historis, hlm 21-22. Hatta, Memoir, hlm 457-458.

[65] Akan tetapi apabila diteliti lebih jauh pertarungan ideologi yang menjadi pertimbangan dalam peletakkan dasar negara saat itu bukan hanya ideologi nasionalis dan Islam, tetapi lebih besar dari itu yaitu pertarungan dua ideologi besar dunia antara kapitalis dan komunis. Baca Hasyim Wahid dkk, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangkitan Indonesia, cet. ke-1 (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm.17-24.

[66] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 4.

[67] Ibid., lihat juga, Endang Saefuddin Anshary, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler, tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1949-1959, (Bandung: Pustaka Salman, 1981), hlm. 8.

[68] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm 4 dan 54-55. Yang dimaksud nasionalis sekuler adalah kelompok pemimpin politik Indonesia yang menolak secara tegas agama sebagai dasar negara, kelompok ini terdiri dari muslim, katolik, protestan, Hindu dll. Meskipun secara personal mereka bukan kaum sukularis dan kelompok yang tidak lepas dari sentimen, tendensi dan afiliasi keagamaan. Mereka tetap memilih untuk tidak menggunakan agama sebagai ideologi politik. Sebaliknya apa yang dimaksud nasionalis muslim adalah kelompok pemimpin muslim yang menginginkan Islam harus dijadikan dasar negara, karena bagi mereka agama dan politik tidak bisa dipisahkan, jelasnya bahwa tidak ada pemisahan antara persoalan duniawi dan ukhrawi dalam ajaran Islam. Baca, Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 5.

[69] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 5, Soekarno, Memudahkan Pengertian Islam, di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta:Panitia di bawah bendera revolusi, 1994), hlm. 369- 402.

[70] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,  hlm. 1-2. M. Azhar, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 14. lihat juga Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, hlm. 57.

[71] Maududi , Islamic Law and Constitution, alih bahasa Khursihid Ahmad, edisi ke-10 (Lahore: Islamic Publication, 1990), hlm. 203. Maududi adalah seorang politikus dan pengarang yang terkenal dalam Islam, dia pernah akan dijatuhi hukuman mati oleh penguasa karena aktivitas politiknya pada tahun 1953, namun hukuman tersebut dibatalkan atas desakan pemimpin dunia muslim pada Pemerintahan Pakistan.

[72] Pada tahun 1966, Sayyid Qutb dan beberapa pemimpin Ikhwan al-Muslimun lainya ditangkap dan diadili, setelah Nasser mengetahui rencana makar mereka dalam menjatuhkan rezim, salah satu karyanya yaitu, Khas}ais} at-Tas}awwuri al-Isla>mi wa Muqawwamatuhu (Kairo: Issa al-Babi al-Halabi wa Shuraka’uhu, 1962); Hadha al-Din, (Kairo: Dar al-Qalam, 1962). 

[73] Tentang Ikwan al-Muslimun, bisa dibaca dalam karyanya, Richard P. Mitcell, The Society of Muslim Brothers, (Oxford: Oxford University Press, 1969).

[74] Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 37.

[75] al-Baqarah (2): 208.

[76] Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 38.

[77] Faisal Ismail, Ibid.

 

[78] Lihat Muhammad Hatta, Memoir, hlm. 456-458, M. Yamin, Naskah Persiapan, Vol. I, hlm. 115.

[79] Dikutip dari Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 40.

[80] Dikutip dari, Douglas E. Ramage. Percaturan Politik, hlm. 29.

[81] Ibid.

[82] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-2, cet. ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 685.

[83] Sebenarnya yang dimaksud bergilir, beredar dan berputar adalah perputaran (legitimasi) kekuasaan dari yang lama (demisioner) kepada yang baru diamanati oleh kekuasaan lama tersebut. Lihat  Olaf Schumann, “Dilema Islam Kontemporer antara Masyarakat Modern dan Negara Islam,Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, No, 2, Vol I  (Jakarta : Paramadina, 1999), hlm. 57.

[84] Olaf Schumann, Ibid., hlm. 59.

 

[85] Ibid.

[86] Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, alih bahasa Ihsan Ali Fausi, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 50.

[87] M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), hlm. 78.

[88] Hamid Enayat, alih bahasa Asep Hikmat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke 20, (Bandung: Pustaka, 1998), hlm. 8.

[89] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, cet. ke-5 (Jakarta: UI Press, 1985), I: 95.

[90] M. Din Syamsuddin, Etika Agama, hlm. 80.

[91] Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, hlm. 61.

[92] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 63.

[93] Dikutip dari Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 32. baca juga karya asli, Taqiyuddin an-Nabhani, alih bahasa Moh. Magfur Wachid, Sistem Pemerintahan dan Realitas Doktrin, Sejarah dan Doktrin, Sejarah Empirik, (Bangil: Al-Izzah,1996), hlm. 39.

 

[94] Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni, hlm. 9. M. Din Syamsuddin, Etika Agama, hlm. 79.

[95] Bernard Lewis, Bahasa Politik, hlm. 49.

[96] Dikutip dari Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 41.

[97] Ibid.

 

[98] Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942 (Singapura: Oxford University Press, 1973). Lihat juga Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 26.

[99] Fred von den Mehden, Religion and Modernization in South East Asia Syracuse: Syracause University Press, 1986), hlm. 184. Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 27.

[100] Aliran santri menunjuk pada pemeluk Islam yang taat dan setiap harinya dekat dengan prilaku spritual atau sosial yang didasarkan pada al-Qur’an. Sementara Abangan adalah pemeluk Islam nominal, yang bagi mereka Islam adalah lapisan terakhir yang menyelubungi kepercayaan-kepercaaan relegius Hindu, Budha, dan kejawen. Baca, Douglas E. Ramage. Ibid, hlm. 27.

[101] Douglas E. Ramage. Ibid, hlm. 28.

[102] Mengenai pemberontakan Darul Islam bisa dilihat B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971 dan 1982), hlm. 54-74.

[103] Dikutip dari Douglas E. Ramage. Percaturan Politik, hlm. 31. Djohan Effendi, The contribution of the Islamic Parties to the Decline of Democracy in the 1950s, makalah Confrence on Indonesia Democracy, Monash University, 18 Desember 1992.

[104] Deliar Noer, Partai-Partai Islam, hlm. 430.

[105] NU saat itu masih bergabung dalam partai tersebut.

[106] Ibid.

 

[107] NASAKOM, berarti persatuan antara nasionalisme, agama dan komunisme. Konsep ini dimunculkan  Soekarno pada masa demokrasi terpimpin.

 

[108] Douglas E. Ramage. Percaturan Politik, hlm. 34.

[109] Moslem Abdurrahman, Islam Transformatif, cet. ke-2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 66.

[110] Ibid., hlm. 67.

[111] Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, cet. ke-1 (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 191.

[112] Yang dimaksud Pribumisasi Islam adalah bagaimana mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Jadi bukan meninggalkan norma demi budaya, akan tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan budaya dengan mempergunakan pemahaman nash, yaitu fiqih dan qaidah fiqih. Lihat Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam” dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), hlm. 83.

[113] Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, hlm. 191.

[114] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 1-2.

[115] Untuk lebih lengkapnya baca, Moslem Abdurrahman, Menyimak Pemikiran Islam, dalam karyannya, Islam Transformatif, hlm.62-114.

[116] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 227.

 

[117] Anders Uhlin,  alih Bahasa Rofik Suhud, Oposisi Berserak, Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, cet. ke-2 (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 32

[118] Deliar Noer, Pengantar ke pemikiran politik, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), hlm. 215-216.

[119] Dikutip dari, Moslem Abdurrahman, Islam Transformatif, hlm. 28.

[120] Moh. Mahfud MD, Konfigurasi Politik dan Hukum pada Era Orde Lama Dan Orde Baru, dalam, M. AS. Hikam,dkk., Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999), hlm. 20.

[121] Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 98.

[122] Bahtiar Effendy dan Fachry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 171. Baca juga, Anders Uhlin, Oposisi Berserak, hlm. 77.

[123] M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim.(Bandung:Mizan, 1993), hlm. 284. lihat juga, M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, hlm. 211.

[124] Dikutip dari, M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, hlm. 211, lihat karya asli William Liddle, Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New Order Indonesia. kertas kerja belum diterbitkan.

[125] Ibid.

[126] Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 70-72.

[127] Ibid., hlm. 73.

[128] Dikutip dari, Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 12.

[129] Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 178.

[130] Ibid.

[131] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 11.

[132] Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, hlm. 191.

[133] Dikutip dari, Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 122.

[134] Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, hlm. 191.

[135] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 18.

[136] Ibid., hlm. 239.

                [137] Dedy Djamaluddin M, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 77. baca juga, Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 116.  

                [138] Dedy Djamaluddin M, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 169.

[139] Ibid., hlm. 170.

[140] Ibid.

[141] Amien Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 41.

[142] Anwar Harjono, dkk, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, cet. ke-3 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm.10. Selama pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat), Indonesia terpecah-belah menjadi 17 negara bagian. Keadaan inilah yang akhirnya menggigihkan semangat M. Nastir untuk meyakinkan masyarakat bahwa ada kemungkinan RI bisa bersatu kembali.

[143] Thohir Luth,  M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 21.

[144] Dikutip dari, Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 29. lihat juga, B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies: Selected Writing, Vol. I, (Amsterdam: W Van Hoeve ltd, 1955), hlm. 95.

[145] Ibid.

[146] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidayat Agung, 1982), hlm. 91. Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 29.

[147] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 91.

[148] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 92

[149] Ajib Rosidi, M. Natsir, Sebuah Biografi, (Jakarta: Girimurti Pustaka, 1990), hlm. 145-152.

[150] H.I.S. (Hollands Inlandsche School) Adabiyah adalah madrasah sekolah agama yang pertama di Minangkabau, sekolah ini didirikan oleh almarhum Abdullah Ahmad pada 1909. Adabiyah ini berlangsung sebagai sekolah agama sampai tahun 1914, yang kemudian berubah menjadi H.I.S pada tahun 1915. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 63.

[151] MULO adalah sekolah rendah dengan program yang diperluas. Sekolah ini berfungsi sebagai subkultur AMS, sekolah kejuruan, dan sekolah terminal bagi mereka yang tidak melanjutkan studinya. Di dalamnya terdiri 4 program bahasa, yaitu: Belanda, Prancis, Inggris, dan Jermaan. Setengah waktu digunakan untuk pelajaran bahasa, sepertiga untuk matematika dan ilmu pengetahuan sosial. Baca, S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 122 dan 128.

[152] AMS adalah sekolah lanjutan MULO dan sebagai persiapan untuk Universitas di Nederland, oleh sebab itu bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa belanda. Ibid, hlm. 137-141.

[153] Yusril Ihza Mahendra, “Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik Natsir,” Jurnal ISLAMIKA, no 13, (1994), hlm. 65.

[154] Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara, hlm. 55.

[155] M. Natsir, Capita Selecta, cet. ke-3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 132.

[156] Ibid., hlm. 133.

[157] Dikutip dari, Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 55.

[158] Ali Nuhannif, Mohammad Natsir Pemadu Politik dan Dakwah, dalam  Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.). Tokoh dan Pimpinan Agama: Biografi Sosial-Intelektual, (Jakarta: Badan Litbang Agama Depag RI dan PPIM, 1998). Hlm. 227. Lihat juga, Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 55.

[159] Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 56.

[160] Persis resmi dibentuk pada tanggal 12 September 1923 oleh sekelompok Muslim yang pada dasarnya menaruh perhatian pada kajian dan kegiatan keagamaan, tetapi kemudian meluas pada diskusi pergerakan dan wacana pembaharuan Islam. Lihat Howard Fidersfield, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentith Century Indonesia, (Ithacha: Cornell University Press, 1970), hlm. 11., Baca juga, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 95.

[161] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 36.

[162] Akhmad Minhaji, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958), (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2001), Hlm. 340; Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 56.

[163] JIB merupakan organisasi yang bertujuan untuk mempelajari dan memotivasi hidupnya agama Islam, menumbuhkan rasa simpati dan toleran antar sesama muslim atau dengan golongan yang lain, menyelenggarakan kursus agama, seni, darmawisata dan olah raga dengan menggunakan label Islam, selain itu orgainasasi ini juga meningkatkan kemajuan jasmani dan rohani anggotanya dengan cara menahan diri dan sabar. Untuk lebih detailnya baca, Mohammad Roem, Sejarah Berdirinya Jong Islamieten Bond, dalam Kustiniyati Mochtar (peny), Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm 129.

[164] Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 57.

[165] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 100.

[166] Ibid.

[167] Pembela Islam adalah Majalah tengah bulanan yang diterbitkan tokoh-tokoh Persis di Bandung (1929-1935), dan kemudian majalah ini dilarang penguasa karena dianggap menyerang misi Kristen.

[168] Ibid.

[169] Thoir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, hlm 29; Kamaruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 58.

[170] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 37.

[171] Dikutip dari Ahmad Suhelmi, Ibid, hlm. 33.

[172] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 100.

[173] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 34.

[174] Ibid.

[175] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, cet. ke-2 (Bandung: Mizan, 2000), hlm 49. Lihat juga, Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 38.

[176] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 39.

[177] Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia dan Partai Jama’at I-islami (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 62.

[178] Ibid.

[179] Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm.59.

[180] Lihat data lengkap Deliar Noer, Partai Islam, Hlm. 107-111.

[181] Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 60.

[182] Andrée Feillard, NU Vis-à-Vis Negara: Pencariaan isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 45.

[183] M. Natsir, Agama dan Negara, 128.

[184] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 87.

[185] ِِaż-ża>riya>t (27) : 56.

[186] M. Natsir, Capita Selecta, hlm. 436.

[187] Ibid.

[188] Ahmad Suhelmi,  Soekarno Versus Natsir, hlm.73. lihat Juga, Kamaruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 61. Deliar Noer juga berpendapat bahwa pandangan mereka ( Soekarno dan Natsir) mewakili pandangan dua golongan besar di Indonesia, yakni golongan nasionalis Islam dan nasionalis netral agama, baca Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, 315.

[189] Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 61.

[190] Ibid.

 

[191] M. Natsir, Agama dan Negara, hlm. 204.

[192] Ibid.,hlm. 206

[193] Ibid.

[194] Dikutip dari Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 62.

[195] Thohir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 105.

[196] Anwar Harjono, dkk, Pemikiran dan Perjuangan, hlm. 199.

[197] Natsir, Capita Selecta, hlm. 437.

[198] Bahtiar Efendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 107. Yang dimaksud teman-teman Natsir adalah Kasman Singodimedjo,  Zaenal Abidin, Isa Anshari, dan K.H.Masjkur.

[199] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, cet. ke-3 (Jakarta:LP3ES, 1996) hlm. 164.

[200] Dikutip dari Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 65. untuk lebih lengkapnya mengenai kedatangan Islam dan perkembangannya di Indonesia. Baca, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Abad XVII dan XVIII: Melcak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 23-58.

[201] M. Natsir, Agama dan Negara, hlm. 203.

[202] Ibid.

[203] Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme, hlm. 205.

[204] Ibid., yang diperkuat dengan hasil wawancara antara Yusril dan M. Natsir pada 24 Oktober 1988.

[205] M. Natsir, Agama dan Negara, hlm. 198.

[206] Ibid.

[207] Ibid., hlm 199.

[208] Ibid.

[209] Natsir, Capita Selecta, hlm. 447.

[210] Ibid., hlm. 452.

[211] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 89.

[212] Natsir, Capita Selecta, hlm. 442.

[213] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 89.

[214] M. Natsir, Capita Selecta, hlm.442-443.

[215] Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 66.

[216] Dikutip dari, Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 72

[217]Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, hlm. 155.

[218] Deliar Noer, Partai Islam, hlm. 141.

[219] Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni. 72

[220] Ibid., hlm. 73.

[221] Ibid., hlm. 74.

[222] Deliar Noer, Partai Islam, hlm. 284-285. Lihat juga, Faisal, Ibid., hlm. 74.

[223] Natsir, Capita Selecta, hlm. 447.

[224] Ibid., hlm.443..

[225] Ibid., hlm. 448. Baca juga Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 90

[226] Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 69.

[227] Natsir, Capita Selecta, hlm. 450.

[228] Dikutip dari, Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 70.

[229] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 91

[230] M. Natsir, Capita Selecta, hlm. 452.

[231] Ibid., hlm. 439.

[232] Ibid., hlm. 452.

[233] Ibid., hlm. 453.

[234] Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 71.

[235] Ibid., baca juga, Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Islam, hlm. 79.

[236] Natsir, Capita Selecta, 442.

[237] Ibid., hlm. 489.

[238] Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 79.  

[239] Ibid.

[240] Ibid.

[241] Greg Barton, Biografi Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 40.

[242] Ibid., hlm. 39.

[243] Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 80.

[244] Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 25. Memang dalam kebanyakan penulis yang menulis biografi Gus Dur selalu menganggapnya tanggal 4 bulan Agustus sebagai hari kelahirannya.

[245] Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 27.

[246] Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 40.

[247] Hartono Ahmad Jaiz, Gus Dur Menjual Bapaknya, Bantahan Pengantar Buku: Aku Bangga Jadi Anak PKI, (Jakarta: Darul Falah, 2003), hlm. 30. akan tetapi menurut tulisannya Greg Barton, tentang Biorafi Gus Dur, ia tamat dari SMEP pada tahun 1957. Lihat, hlm. 49.

[248] Ini sangat menarik untuk dicermati, karena Gus Dur lahir dari latar belakang NU, yang  pada saat itu jelas sekali tidak ada pertautan antara organisasi modernis Muhammadiyah dengan kaum tradisionalis NU, baik dalam aspek pendekatan maupun penafsiran agama. Baca Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 47-49.

[249] Greg Barton, Ibid, hlm. 49.

[250] Di bawah asuhan Kiai Khudori, Gus Dur termasuk santri yang cerdas dan berbakat. Karena kebanyakan para santri di sini menghabiskan waktu studinya selama empat tahun sedangkan Gus Dur cuma dua tahu, selain di pesantren Gus Dur juga menghabiskan sebagaian besar waktunya di luar kelas dengan membaca buku-buku Barat. Lihat Greg Barton, Ibid, hlm. 50.

[251] Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 119.

[252] Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 53.

[253] Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 83.

[254] Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 83.

[255] Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, (Yogyakarta: LkiS, 1997), hlm. 164.

[256] Ibid., hlm. 165.

[257] Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 83.

[258] Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal,  hlm. 165.

[259] Akan tetapi dalam wawancaranya Ma’mun Murod dengan Gus Dur, dinyatakan bahwa petualangan Gus Dur ke Eropa yang menghabiskan waktu selama satu tahun itu, yaitu setengah tahun di Belanda, empat bulan di Jerman, dan dua bulan di Prancis. Sempat mengantarkannya menjadi kandidat Master (S2) di Sorbone University, Prancis. Baca, Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 33.

[260] Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal,  hlm. 165.

[261] Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 33

[262] Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal,  hlm. 165.

[263] Ibid.

[264] Ibid., hlm. 166.

[265] Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 120.

[266] Gus Dur telah terpilih empat kali menjabat ketua PBNU, di antaranya pada tahun 1984, 1989, 1994 dan 1999. Baca Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 83.

[267] Maksud Pribumisasi Islam ialah mengokohkan kembali akar budaya kita dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama. Kemudian Rukun tetangga, sebuah istilah yang memandang dimensi pribadi menjadi dimensi sosial. Berangkat dari usaha menjembatani persoalan antara kehidupan muslim yang baik tapi a-sosial dengan muslim yang begitu sosial tapi tanpa keimanan. Baca, K.H. Imron Hamzah dan Drs. Choirul Anam, Sebuah Dialog Mencari Kejelasan, Gus Dur Diadili Kiai-Kiai, cet. ke-1 (Surabaya: Jawa Pos, 1989), hlm. 30

[268] Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 33

[269] Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal,  hlm. 166.

[270] Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 93. tokoh tokoh Asia tersebut ialah Noboru Iwamura (Jepang), Banoo Coyaji (India), Vo-Tong Xuan (Vietnam), dan Bievendido Lumbrera (Filiphina).

[271] Jabatannya di Fodem bersamaan dengan masa jabatannya sebagai ketua PBNU, oleh sebab itu menimbulkan kritik keras di kalangan NU, khususnya pamannya sendiri, K.H. Yusuf Hasyim. Namun Gus Dur tetap tabah, bahkan sempat menyatakan akan memilih Fodem daripada NU, ini menunjukkan bahwa Gus Dur sebenarnya seorang demokrat. M. Arief Hakim, Gus Dur dan Demokrasi, dalam Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur Dan Gerakan Sosial NU, (Yogyakarta, Titian Ilahi Press), hlm. 147

[272] Dikutip dari karyanya Bahrul Ulum, Bodohnya NU Apa NU Dibodohi?, Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz: 2002), hlm. 135-136.

[273] Hartono Ahmad Jaiz, Gus Dur Menjual Bapaknya, hlm. 32.

[274] Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 78.

[275] Dikutip dari, Khamami Zada, Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta: Lakpesdam, 2002), hlm. 122-123.

[276] Mengenai hal ini bisa dibaca lebih jauh dalam karyanya, Munawir Sjadzali, Islam, dan Tata Negara, hlm. 21-33.

[277] Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 129.

[278] Khamami Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 125.

[279] Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 127.

[280] Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 169.

[281] Baca, Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikian Islam Indonesia Masa Orde Baru, cet. ke-2 (Bandung: Mizan, 1990). Hlm. 29-81.

[282] Dikutip dari, Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 93.

[283] Dikutip dari pernyataan Gus Dur dalam, Douglas E. Ramage, Percaturan Politik,  hlm. 80.

[284] Ibid., hlm. 85.

[285] Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Kerja di Indonesia, dalam Budhy Munawar Rahman, Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 583. lihat juga Khamami Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 124.

[286] Khamami Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 124.

[287] K.H. Imron Hamzah dan Drs. Choirul Anam, Sebuah Dialog Mencari Kejelasan, hlm. 55.

[288] Ibid.

[289] A. Gaffar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasai Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm.105.

[290] Ibid.

[291] Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 132.

[292] Ibid., hlm 132-133.

[293] Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 75.

[294] Ibid.

[295] Abdurrahman Wahid, “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia,Prisma, no. 4 (April 1984), hlm 35. lihat juga, Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 169.

[296] Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm 170.

[297] Ibid.

[298] Ibid.

[299] A. Gaffar Karim, Metamorfosis NU, hlm. 108.

[300] Dikutip dari, Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 95.                                                                

[301] Ibid., hlm. 94. Untuk lebih jelasnya baca,  Emha Ainun Nadjib,“Gus Dur Pelindung Minoritas,” Yogya Post, (12 April 1991).

[302] Douglas E. Ramage, Demokrasi, Toleransi Agama Dan Pancasila : Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid, dalam Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal,  hlm. 194.

[303] Pernyataan Wahid Hasyim, dikutip dari, Ibid., hlm 196. baca juga, Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm.93.         

[304] Ibid., hlm. 200.

[305] Khamami Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 142.

[306] Ibid., 62.

[307] Tujuh kata itu berbunyi: …dan kewajiban menjalankan Syari‘ah Isla>m bagi para pemeluknya.

[308] Ibid., hlm. 145.

[309] Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam,  hlm. 190.

[310] Ibid.

[311] Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais, hlm. 160.

[312] Abd al-Hamid Hakim, As-Sulam, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, t.t.), II: 65.

[313] Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Usūl al-Fiqh, cet. ke-11 (Kairo: Dar al-Qalam, 1977), hlm. 86-87.

 

[314] Natsir, Capita Selecta, hlm. 199.

[315] Mengenai hal ini bisa dibaca lebih jauh dalam karyanya, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 21-33.

[316] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, hlm. 127.

[317] Natsir, Capita Selecta, hlm. 442.

[318] Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, hlm. 92.

[319] Yusril Ihza Mahendra, “Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik M. Natsir,” Jurnal Islamika, No. 3, (1994), hlm. 79. baca juga Kamaruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 71.

[320] Thoir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 85.

[321] Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien, hlm. 176.

[322] Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 169.

[323] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 91-105.

[324] Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam; Sebuah Pengantar, cet. ke-2 (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 16.

[325] Al-Qur’an, Surat 5: 51: 17.

[326] Mun’im A. Sirry., Ibid.

[327] Ibid., hlm. 13.

[328] Ibid., hlm. 14; Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, I: 5.

[329] Abd al-Hamid Hakim, Ibid, II: 65.

[330] Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 182.

 

[331] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 114

[332] Untuk mengetahui visi dan misi partai Masyumi bisa dilihat dalam karyanya Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme.

[333] Istilah ekstrem merupakan stigma politik yang dilontarkan negara terhadap kelompok tertentu, ektsrem kanan untuk partai Islam (Masyumi) dan ekstrem kiri untuk partai komunis (PKI).

[334] Bahtiar Efendy, Islam dan Negara  (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 113-115.

[335] Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik: Pasca-Soeharto, cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003), hlm. 61

[336] Ibid., hlm. 65. untuk lebih lengkapnya mengenai proses pembentukan PBB didasarkan pada buku Hasil Mukernas I Partai Bulan Bintang (Jakarta: DPP PBB, 1999)

[337] Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 112.  

[338] Amien Rais, “Beberapa Catatan Kecil tentang Pemerintahan Islam”, dalam Cakrawala Islam, hlm. 36

[339] Ibid., hlm. 123. baca juga, Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 113.

[340] Akan tetapi harapan kalangan Modernis untuk menjadikan Cak Nur sebagai generasi penerus M. Natsir kemudian pupus, karena pemikiran Cak Nur yang saat itu dianggap mereka kelewat liberal, sekuler dan bahaya (tidak berdasarkan informasi yang cukup). Secara pribadi M. Natsir merasa kecewa dan marah terhadap Cak Nur yang sudah dianggap sebagai anak asuhnya sendiri itu.

[341] Greg Barton, Islam dan Modernitas,  dalam tulisannya, Biografi Gus Dur, hlm. 137.

[342] Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 56.

[343] Ibid., hlm. 58.

[344] Ibid., hlm. 94-95.

[345] Ibid., hlm. 97.

[346] Kyai Ahmad Shidiq adalah sosok Kyai kharismatik yang sangat dihormati di kalangan  NU, sikap dan manuver politiknya membuat NU yang sebelumnya sering dicurigai menjadi lebih bisa diterima oleh negara.

[347] Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik, hlm. 113.

[348] Bahrul Ulum, dkk., Bodohnya NU Apa NU Dibodohi, hlm. 136.

[349] Lihat, Anggaran Dasar PKB BAB III pasal 3

[350] Bahrul Ulum, dkk., Bodohnya NU Apa NU Dibodohi, hlm. 140.

[351] Abdurrahma Wahid, PKB, “Syariah dan Negara Sekuler”, dalam tulisannya, Mengurai Agama dan Negara, hlm. 352-353.

[352] Republika, 27 Mei 1999. baca juga, Zainal Abidin Amir, Peta Politik Islam, hlm. 114.

[353] Jawa Pos, 29 Mei 1999.

[354] Anggaran Dasar PKB BAB III pasal 4.

[355] Zainal Abidin Amir, Peta Politik Islam, hlm. 114.

[356] Alwi Shihab, Mengemban Tuntutan Jaman, cet ke-1 (Yogyakarta: Wahyu Pustaka, 2000), hlm. 60.

 

[357] Kompas Harian Amanat Rakyat, PKB Rekrut Nur Mahmudi juga Tokoh-tokoh Muhammadiyah, Selasa, 4 Februari 1999.

 

[358] Alwi Shihab, Mengemban Tuntutan, hlm. 60.

 

[359] Ibid.

[360] Ibid., hlm. 62

[361] http://www.tokohindonesia.com, Dr. Alwi Shihab Kandidat Wakil Presiden 2004, 11 Desember 2003.

[362] Ibid.

[363] Ibid.

[364] Ulil Abshar Abdalla, dkk., Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, dalam tulisannya, Islam Liberal dan Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, cet. ke-2 (Yogyakarta: eLSAQ, 2003), hlm. 2.

[365] Yang dimaksud nilai-nilai universal agama adalah prinsip-prinsip umum universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut Maqa>s}id al-Syari’ah atau tujuan umum syari’at Islam. Di antaranya yaitu perlindungan atas kebebasan beragama, akal, kepemilikan, keluarga/keturunan, kehormatan dan lain sebagainya.

[366] Majalah GATRA, Tafsir Agama Pemicu Fatwa, no. 05, 16 Desember 2002. Baca juga Ulil Abshar Abdalla, dkk., Ibid., 206.

[367] Majalah TEMPO, Fatwa Itu Lemah Tapi Menghawatirkan, no. 42, 22 Desember 2002.

DEMOKRASI TERPIMPIN DALAM PEMIKIRAN IDHAM CHALID

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Demokrasi Terpimpin ( guided democracy ) adalah suatu fase politik dan realitas ketatanegaraan dalam perjalanan sejarah negeri ini. Sebuah eksperimentasi sistem politik yang pernah dilakukan oleh tokoh dan pemimpin bangsa ini. Terlaksana secara formal antara tahun 1959-1965, atau tepatnya sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga gagalnya kudeta 30 September ( G 30 S ) 1965. Suatu masa yang tidak lebih lama dari masa Demokrasi Parlementer yang sebelumnya pernah dijalankan di Indonesia.[1]

          Demokrasi Terpimpin muncul karena ketidaksenangan sebagian dari masyarakat politik di Indonesia terhadap sistem demokrasi parlementer.[2] Adalah Soekarno yang menggagas Demokrasi Terpimpin. Seorang presiden yang hanya berposisi sebagai kepala negara, sebuah jabatan simbolik dan seremonial, di masa demokrasi parlementer.

Ia mengemukakan gagasannya ini dengan mengajak untuk menguburkan partai-partai politik pada 28 Oktober 1956. Sistem kepartaian yang dianut di Indonesia saat itu dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan, sehingga tidak mampu menyelesaikan masalah nasional. “Demokrasi Liberal”, demikianlah Soekarno menyebutnya, mengizinkan pemaksaan mayoritas oleh minoritas, dan itu tidak sesuai dengan sifat orang Indonesia.

Dengan terinspirasi oleh model pengambilan keputusan di pedesaan, di mana setiap ada pihak yang belum yakin terhadap satu usul, maka musyawarah tetap akan dijalankan hingga dicapai kata mufakat. Tidak ada pemaksaan, tidak ada vooting. Keputusan-keputusan diambil sesudah pertimbangan-pertimbangan yang lama dan cermat dengan seorang pimpinan. Tata cara musyawarah mufakat yang khas Indonesia ini bersama dengan kepemimpinan, memungkinkan semua pendapat dipertimbangkan dengan menenggang perasaan minoritas ; dan ini seharusnya menjadi model untuk bangsa Indonesia. Demokrasi liberal didasarkan kepada pertentangan – tata kerja musyawarah-untuk-mufakat meningkatkan kerukunan.[3]

Dalam prakteknya, Soekarno menginginkan terbentuknya Kabinet Gotong-Royong yang terdiri dari empat partai besar pemenang pemilu yang dianggapnya sebagai manifestasi parlemen[4]. Empat partai dimaksud adalah PNI, mewakili golongan nasionalis, NU, mewakili muslim tradisionalis, Masyumi, mewakili muslim modernis, dan PKI, mewakili kaum komunis. Selain itu, perlu dibentuk suatu lembaga yang disebut Dewan Nasional yang terdiri dari wakil-wakil golongan karya, seperti buruh, petani, ulama dan sebagainya yang dipimpin oleh Soekarno yang bertugas menyusun arah kebijakan politik negara. Dewan ini dalam pandangan Soekarno merupakan cerminan dari seluruh rakyat Indonesia [5]

          Gagasan ini disampaikan Soekarno seiring situasi politik nasional yang mulai memanas. Kabinet yang saat itu sedang menjalankan pemerintahan adalah kabinet Ali Sastroamijoyo II. Masalah terbesar yang mereka hadapi adalah semakin berkembangnya krisis politik di berbagai daerah. Ketidakpuasan beberapa daerah di luar Jawa atas berbagai kebijakan politik pemerintah pusat telah dirasakan sejak awal tahun 1950-an dan akhirnya mencapai puncaknya pada 1956.[6]

Aksi Kudeta di Sumatera menjadi penyebab timbulnya perpecahan dalam Kabinet Ali. NU dan PNI menentang segala bentuk perubahan dalam pemerintahan, sedangkan Masyumi dan Perti, dua partai yang banyak memiliki pengikut di Sumatera, mendukung pembentukan kabinet baru di bawah pimpinan Hatta. Masyumi dan Perti secara berturut-turut memutuskan untuk mengundurkan diri dari semua jabatan menteri pada tanggal 9 dan 15 Januari 1957. Pada tahun 1958 beberapa tokoh Masyumi dan PSI terlibat dengan panglima-panglima militer daerah dalam pendirian PRRI/ Parmesta. Tak ayal lagi ini merupakan pemberontakan yang terjadi di tengah carut-marut pertikaian politik.

          Terjadinya krisis dalam kabinet dan kekecewaan masyarakat yang semakin mendalam terhadap partai-partai politik semakin meningkatkan dukungan terhadap mereka yang mengusulkan dilakukan perubahan politik secara menyeluruh untuk mengatasi berbagai masalah nasional. Reformasi politik secara menyeluruh inilah yang diajukan oleh Soekarno dan militer. Meskipun terdapat perbedaan mendasar antara Soekarno dan militer, namun keduanya sama-sama menginginkan agar kekuatan dialihkan dari tangan partai-partai politik dan parlemen ke lembaga eksekutif. Usulan yang mereka ajukan ini jelas bertujuan untuk memperluas peran politik mereka sendiri.[7]

          Akhirnya setelah berbagai dinamika yang terjadi, kekuatan pendukung sistem baru ini terkonsolidasikan dengan baik dan mendapatkan kemenangan dengan “peresmiannya” dalam satu dekrit. Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 menandai kemenangan perebutan kekuasaan ini oleh koalisi Soekarno-Militer. Dekrit ini berhasil pula “menyelesaikan” beberapa masalah yang selama ini melanda. (Pertama), menyelesaikan perdebatan alot dan melelahkan mengenai dasar negara dengan “kembali ke UUD 1945” yang berarti Indonesia bukan negara agama, (kedua) mengalihkan kekuasaan dari parlemen kepada eksekutif yang berarti memberikan legitimasi pada kekuasaan Soekarno, dan (ketiga) membubarkan Majelis Konstituante. Konstelasi politik pun berubah: Partai-partai politik telah kehilangan kekuatan yang pernah mereka miliki semasa demokrasi parlementer.

Penguasa melanjutkan gebrakannya dengan melakukan penyederhanaan partai politik dan pembubaran parlemen lama hasil pemilu dan pembentukan parlemen baru (DPR-GR) dengan cara penunjukan atau pengangkatan. Parlemen tidak lagi punya hak interpelasi, pers diberangus, tokoh-tokoh politik oposisi dipenjarakan, tulisan-tulisan kritis dilarang beredar, dan sebagainya. Sebuah cara yang tidak demokratis bagi sistem politik yang menyebut diri Demokrasi. Tetapi, alasan yang dikemukakan adalah bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Segala bentuk demokrasi liberal kemudian digusur, dicap Barat dan dimusuhi hingga menjadi tidak populer dan partai-partai tak bisa berbuat banyak.

Hanya dua hal yang menjadi pilihan bagi partai-partai politik saat itu: menerima Demokrasi Terpimpin dan mau bekerja sama dengan elemen-elemen di dalamnya atau menolak dan terlempar dari percaturan politik secara menyakitkan. PNI, NU, (apalagi) PKI dan beberapa partai kecil lainnya memilih yang pertama sehingga mereka “diperbolehkan” terus terlibat di arena politik. Sementara pimpinan Masyumi dan PSI menolaknya dan mereka harus menerima kenyataan partainya dibubarkan dan banyak di antara anggotanya yang ditangkap.[8]  

NU yang diketuai Idham menerima Demokrasi Terpimpin terutama karena alasan politis, yakni mempertahankan posisi NU di tengah percaturan politik nasional. Para pemimpin NU di masa ini menganggap politik adalah sarana utama untuk mewujudkan kepentingan keagamaan dan melayani ummat. Kehilangan tempat di peta politik berarti NU tak bisa mencapai tujuannya, baik sebagai organisasi keagamaan maupun partai politik. Selama masa transisi hingga pelaksanaan Demokrasi Terpimpin partai ini banyak menggunakan politik akomodasi sebagai strategi.[9]

Selain karena pertimbangan-pertimbangan politis, para pemimpin NU menyatakan kewajiban amr ma’ruf nahi mungkar[10] lebih mungkin dilakukan bila berada di dalam sistem. Kesempatan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah lebih besar jika NU masih diperhitungkan sebagai sebuah kekuatan politik.

Pertimbangan keagamaan lainnya berasal dari Idham Chalid. Dia menyatakan bahwa Demokrasi Terpimpin yang menonjolkan musyawarah mufakat sejalan dengan syu>ra dalam Islam. Idham berpendapat bahwa “pertentangan” di antara partai-partai politik yang sangat khas di era Parlementer tidak diajarkan dalam Islam. Islam tidak mengajarkan pertentangan melainkan menawarkan syu>ra (musyawarah) untuk memecahkan masalah. Kata syu>ra sendiri berarti musyawarah atau dengar pendapat. Seorang pemimpin harus selalu bermusyawarah dengan para ahli (ahl hall wa al aqd) sebelum mengambil keputusan. Di dalam syu>ra yang diharapkan adalah munculnya pendapat-pendapat yang lebih tepat untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, diharapkan munculnya solidaritas dari masyarakat yang mencerminkan rasa tanggung jawab bersama. Dengan demikian tidak akan terjadi perdebatan untuk saling mengalahkan. Lagi pula, jika pendapat yang beredar dianggap tidak tepat, seorang pemimpin boleh saja memutuskan lain asalkan tindakannya itu dilandasi rasa tanggung jawab.[11]

Pemikiran Idham ini berbeda dengan rekan-rekannya dari Partai Masyumi. Mereka menolak gagasan Demokrasi Terpimpin karena menganggapnya sebagai sistem yang tidak demokratis. Hamka, seorang tokoh Masyumi misalnya, menyatakan bahwa Demokrasi Terpimpin hanyalah namanya pada lahirnya. Adapun hakikatnya ialah demokrasi funksionil dengan tujuan membulatkan kekuasaan kepada Presiden. “Dalam cara berfikir yang logis, apabila kekuasaan seluruhnya telah berkumpul ke dalam satu tangan, atau total ke dalam satu tangan bernamalah dia “totaliter”, ujarnya.[12]

Sejalan dengan pemikiran tersebut, Hatta juga mengkritik keras tindakan-tindakan Soekarno sebagai “tidak konstitusional” bahkan merupakan “coup d’etat”. “Demokrasi Terpimpin Soekarno”, ujar  mantan wakil presiden itu, “mendjadi suatu DIKTATUR jang didukung oleh golongan-golongan tertentu.”[13]

Pemikiran Idham tentang syu>ra yang dianggapnya sejalan dengan Demokrasi Terpimpin inilah yang menarik untuk dicermati. Bukan saja karena fungsi legitimasinya, tetapi terutama karena sebelumnya belum ada yang membicarakan syu>ra dalam konteks seperti ini. Bila sebelumnya kaum intelektual muslim membicarakan syu>ra dalam persinggungannya dengan konsep demokrasi Barat (baca: liberal), maka Idham menelaahnya dalam konteks Demokrasi Terpimpin yang khas Indonesia. Artinya, realitas politik Indonesia era Demokrasi Terpimpin telah membuat Idham memahami konsep syu>ra dari sisi yang lain dari biasanya.

B. Pokok Masalah

Dari uraian pada latar belakang di atas, penyusun akan merumuskan masalah yang akan diteliti dalam skripsi ini. Perumusan tersebut tercermin dari pertanyaan berikut :

  1. Bagaimanakah pemikiran Idham Chalid tentang syu>ra yang dianggap sejalan dengan Demokrasi Terpimpin ?
  2. Dalam konteks sosial-politik seperti apa pemikiran tersebut muncul dan bagaimanakah implikasinya bagi NU ?

C. Tujuan Penelitian

  1. Menelaah pemikiran Idham Chalid tentang syu>ra yang dianggap sejalan dengan Demokrasi Terpimpin.
  2. Menelaah konteks sosial-politik di mana pemikiran tersebut muncul dan implikasinya bagi NU.

D. Kegunaan Penelitian

  1. Menambah khazanah penelitian pemikira tokoh NU dan sejarah Islam politik di Indonesia.
  2. Memberikan gambaran positioning seorang ulama yang sekaligus politisi.

E. Telaah Pustaka

Dari sekian penelitian mengenai Demokrasi Terpimpin, tidak ada yang secara khusus membahas pemikiran Idham mengenai sistem tersebut. Howard Federspiel sempat menyentuh secara sepintas pemikiran Idham, terkait dengan aktivitasnya dalam Yayasan Api Islam. Di dalam artikelnya berjudul “Soekarno dan Apolog-apolog Muslimnya”, Federspiel menjelaskan bahwa Idham senantiasa mendukung gagasan mendiang presiden pertama RI itu. Idham menerima konsep dasar revolusi Soekarno-isme dan menyatakan bahwa Islam harus menjadi bagian dari revolusi ini, karena ia telah dijegal kolonialisme. Idham juga mengatakan bahwa Pancasila dirumuskan dengan “inspirasi dari Allah” karenanya kaum muslim punya kewajiban untuk menerima dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menerapkan “konsep api Islamnya Soekarno”, ujar Idham, kaum muslim dapat melepaskan belenggu pemikirannya dan dengan semangat jihad akan bisa memerangi eksploitasi manusia oleh manusia, dan eksploitasi negara oleh negara.[14] Demikianlah, Federspiel tidak menjelaskan lebih mendalam pemikiran Idham, kecuali bahwa ia mendukung Soekarno-isme. Dan sebuah fakta yang lebih penting lagi, Federspiel tidak mencantumkan buku Idham “Islam dan Demokrasi Terpimpin” yang berisi pemikiran atas sistem politik yang dibawa Soekarno, sebagai salah satu sumbernya.

Penelitian lainnya lebih banyak memfokuskan pembahasan pada transisi kekuasaan menuju Demokrasi Terpimpin dan dinamika yang terjadi di sekitarnya. “The Transition to Guided Democracy : Indonesian Politics, 1957-1959”[15] yang ditulis Daniel S. Lev mengamati masa transisi menuju Demokrasi Terpimpin, baik kondisi sosial maupun politik. Sementara 3 buah artikel Herbert Feith yang diterbitkan menjadi satu buku berjudul “Soekarno – Militer dalam Demokrasi Terpimpin”[16] membahas dinamika Demokrasi Terpimpin. Yakni mengenai segi-segi penting kehidupan politik dan pemerintahan, struktur konstitusi dan ideologi Demokrasi Terpimpin, dan terakhir beberapa aspek interaksi politik dan ekonomi pada masa tersebut. Dalam dua penelitian di atas Idham hanya disebut sebagai pimpinan partai muslim tradisional yang cenderung oportunis dan sama sekali tidak menyentuh pemikirannya.

Salah satu penulis Indonesia yang mengkaji masa Demokrasi Terpimpin adalah Syafi’i Ma’arif. Kajiannya berfokus pada peran politik partai-partai Islam di masa Demokrasi Terpimpin. Dengan mengambil judul “ Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)”,[17] Syafi’i Ma’arif menggambarkan bahwa sistem baru ini menyebabkan partai-partai Islam harus menempuh jalan bersibak dua. Terlibat dalam sistem baru ini dan bisa terus hidup, atau mati dikubur sebagai kontra-revolusioner. Ia menyoroti betapa ukhuwwah Isla>miyyah (solidaritas Islam) tidak mampu menjadi perekat partai-partai Islam pada masa sulit itu.

Secara khusus dia memandang bahwa masa Demokrasi Terpimpin sebagai masa “kolaborasi” partai Islam dengan Soekarno. Dengan NU sebagai partai Islam yang memiliki kekuatan basis massa yang besar, yang lalu menjadi manifestasi politik golongan Islam di Indonesia saat itu, Soekarno membangun persatuan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin.

Terakhir sebuah karya Greg Fealy harus diketengahkan di sini. Disertasi doktoral yang kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967”. [18] Sesuai dengan judulnya, buku ini membahas sejarah NU di tahun-tahun mana organisasi ini tengah giat bermain di kancah politik praktis. Walaupun demikian, di dalamnya Fealy menjelaskan banyak hal mengenai kondisi politik Indonesia pada awal 50-an, saat mana pertikaian politik menjadi-jadi. Partai-partai berebut menguasai parlemen, tentara mulai bergerak masuk ke kancah politik dan akhirnya Soekarno mulai membangun sistem Demokrasi Terpimpin sebagai tawaran solusi atas persaingan politik elit yang semakin negatif. Idham Chalid adalah ketua PBNU saat itu, sehingga di dalam buku ini namanya seringkali disebut. Idham Chalid bersama dengan Abdul Wahab Chasbullah, Saifuddin Zuhri dan juga Zainal Arifin digambarkan sebagai tokoh-tokoh yang membentuk corak dan warna NU yang akomodatif pada masa Soekarno.

Argumen pokok buku ini bertujuan merevisi pandangan para peneliti sebelumnya terhadap NU yang dianggap oportunis, dalam pengertian tidak berprinsip. NU sebenarnya selalu konsisten berpegang pada ideologi politik keagamaan yang sudah lama dianutnya. Ideologinya didasarkan pada fikih Sunni klasik yang meletakkan prioritas tertinggi pada perlindungan terhadap posisi Islam dan para pengikutnya. Ideologi ini menuntut kaum muslimin, terutama para ulama yang memimpin mereka, agar menjauhi segala bentuk aksi yang dapat mengancam kesejahteraan fisik dan spritual masyarakat.

Karya-karya tersebut di atas secara umum dapat menjadi perbandingan dengan apa yang nantinya penyusun inginkan dalam penelitian ini. Penyusun akan lebih mengkonsentrasikan diri pada pandangan-pandangan Idham mengenai Demokrasi Terpimpin dan ingin melihat faktor-faktor apa saja yang mendorong pandangan tersebut muncul. Tetapi sebagaimana akan terlihat, karya-karya tersebut sangatlah membantu bahkan tergolong data primer dalam memahami konteks pemikiran Idham.

F. Kerangka Teoretik

            Menelaah pemikiran Idham Chalid tentang Demokrasi Terpimpin berarti melihat sistem politik yang dicetuskan Soekarno tersebut dari kacamata seorang tokoh Islam. Tokoh yang menjadikan agama Islam sebagai cara pandang bagi dunianya, baik dalam menjalani kehidupan sosial maupun politik.

Idham menemukan konsep musyawarah atau syu>ra sebagai bentuk demokrasi di dalam Islam dan kemudian memberikannya makna baru dalam konteks Demokrasi Terpimpin. Dengan demikian Idham mengaitkan Demokrasi Terpimpin dengan ajaran-ajaran yang berasal dari tradisi Islam. Hal ini dapat dimaknai sebagai usaha memberikan warna Islam pada Demokrasi Terpimpin atau bahkan usaha untuk “meng-Islam-kan” Demokrasi Terpimpin.

            Dua hal pokok di atas : konsep syu>ra yang dikaitkan dengan Demokrasi Terpimpin dan konteks sosio-politis dimana gagasan itu muncul, akan menjadi dua poin yang dianalisa dalam penelitian ini. Terkait dengan itu, berikut penulis akan memaparkan teori yang berhubungan dengan poin-poin tersebut.

Pembicaraan mengenai syu>ra dan demokrasi telah banyak dilakukan oleh para intelektual Muslim. Pertama, karena kemunculan wacana Demokrasi sebagai suatu sistem, baik sosial maupun politik, yang diterima oleh sebagian terbesar masyarakat dunia abad ini. Sejak negeri-negeri Arab mengalami masa-masa kejatuhan, dan penerapan beberapa ideologi politik menemui jalan buntu, tuntutan terhadap demokrasi tampak semakin nyaring terdengar. Hal ini disebabkan demokrasi tampak memberikan jalan menuju kebebasan dan persamaan, yang selama ini absen dalam memori kolektif umat Islam, karena hampir seluruh pengalaman historis umat Islam berjalan dalam koridor kekuasaan khalifah dan dalam bentuk monarki. Dan alasan kedua, karena Demokrasi berasal dari tradisi Barat yang nyaris selalu dikontraskan dengan tradisi Islam. 

            Salah satu tokoh pemikir Islam yang membahas mengenai hal ini adalah Muhammad ‘Abed al-Ja>biri>. Ia menyatakan bahwa demokrasi berbeda dengan syu>ra. Syu>ra berarti meminta pendapat kepada ahl al-hall wal-a’qd yang terdiri dari para ulama, fuqaha, pemuka-pemuka masyarakat sebelum melakukan tindakan apapun. Syu>ra dalam pengertian ini tidak mengikat penguasa: ia memang melakukan konsultasi, namun keputusan akhir tetap berada di tangannya sendiri, baik keputusan itu merupakan hasil konsultasi tersebut atau tidak sesuai dengan hasil keputusan tersebut.[19]

Hal ini karena syu>ra, sebagaimana dalam rujukan bahasa, berasal dari kata syara yang berarti mengambil. Contoh yang dikemukakan oleh kamus-kamus dalam menjelaskan arti kata ini adalah perkataan orang Arab: syartu al-‘as}al artinya aku mengambil madu dari tempatnya, juga ungkapan syawartu fulanan artinya aku mengemukakan pendapatku dan pendapatnya. Dengan demikian menurut al-Ja>biri>, syu>ra artinya mengambil sesuatu dari tempatnya, yaitu kepada seseorang yang memang pantas diambil pendapatnya. Mengambil pendapat seseorang sama sekali tidak berarti adanya keharusan mengikuti pendapat tersebut sebagaimana “orang-orang yang diambil pendapatnya” juga sama sekali tidak ditentukan dan dibatasi.[20]

Jadi syu>ra itu bukan hanya tidak mengikat penguasa, tapi juga tidak memberikan penentuan mengenai siapa yang harus diajak bermusyawarah selain istilah umum: ahl hall wa al-‘aqd. Yang dimaksud dengan istilah ini adalah setiap orang yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat baik karena ilmu, hubungan sosial, ekonomi atau agama, namun tanpa adanya batasan kuantitas, kualitas, ruang ataupun waktu.

Sedangkan demokrasi memiliki pola yang berbeda dengan syu>ra baik dalam pengalaman historis Eropa maupun dalam aplikasinya. Secara historis demokrasi pertama kali muncul di Yunani dan kemudian disusul oleh bangsa Romawi. Demokrasi berkaitan erat dengan kehancuran sistem kesukuan dan pudarnya kekuasaan kepala suku dan sebagai gantinya muncullah fenomena “masyarakat sipil” dan gagasan tentang “warga negara”.

Pada saat agama Kristen tampil, negara dan imperium benar-benar kokoh, agama menjadi medium resistensi terhadap kekuasaan imperium. Ini adalah awal dari rangkaian konflik yang sangat panjang antara agama dan negara di mana masing-masing ingin membatasi kekuasaan yang lain dan ingin menjadikan kekuasaanya di atas kekuasaan lainnya. Konflik seperti yang terjadi antara penguasa dan gereja ini juga terjadi pada kaum feodal melawan “para feodal besar” yang berkuasa atas nama mereka dengan bertopang pada fasilitas, alat-alat, uang dan tentara yang mereka kuasai. Konflik ini terus menerus terjadi sebagai satu bentuk pembatasan wilayah kekuasaan. Konflik ini kemudian melahirkan dewan-dewan “perwakilan” yang bersifat lokal maupun umum.

Sedangkan di abad modern, dimulai pada abad 17, konflik melawan kekuasaan tiranik semakin meluas dan mendalam seiring dengan munculnya kekuatan-kekuatan sipil, terbentuknya kelompok-kelompok pedagang dan kaum pengusaha industri sebagai kekuatan sosial yang kemudian menjadi kelas borjuis dan membawa panji perjuangan demi demokrasi dalam arti kontemporer, yaitu demokrasi berarti membangun pemerintahan melalui proses pemilihan bebas, adanya pengawasan terhadap penguasa dan pembagian kekuasaan: legislatif, eksekutif dan yudikatif[21]. Demikianlah, al-Ja>biri> menyimpulkan bahwa syu>ra berbeda dengan demokrasi.

Lebih lanjut bagaimana menilai pemikiran Idham (setelah mengetahui konteks sosio-politisnya). Hal ini bisa kita lihat dengan mencari tahu bagaimana Islam “digunakan” tokoh ini dan untuk tujuan yang seperti apa. Atau dengan kata lain bagaimanakah kedudukan dan fungsi Islam baginya.

Mengenai hal ini, Taufik Abdullah dalam tulisannya “Islam dalam Sejarah Nasional” menjelaskan bahwa Islam di Indonesia memiliki 3 kedudukan (dan fungsi).[22] Pertama, Islam sebagai dasar kesadaran yang membentuk etos dan pandangan hidup. Tak kurang pentingnya ialah Islam sebagai peletak dasar ukuran tentang sah atau tidaknya sesuatu. Dengan begini Islam menentukan pula corak interpretasi terhadap situasi yang mengitari diri. Dalam interpretasi inilah tersalur segala hasrat normatif dan pengetahuan akan kenyataan berbagai corak perilaku.

Kedua, Islam sebagai dasar ikatan solidaritas dari komunitas-komunitas pemeluknya. Hal ini akan menjadi jelas ketika kekuasaan politik dari masing-masing komunitas itu telah digerogoti ataupun ditiadakan oleh kolonialisme. Islam bahkan menjadi simbol perjuangan menghadapi penjajah dan dengan demikian Islam telah memberikan cita kesatuan dan anti-kolonialisme. Dan ketiga, sebagai agama yang universal, Islam memberikan kepada pemeluknya kosmopolitanisme Islam. Perasaan sebagai bagian dari masyarakat penganut yang menjembatani berbagai ikatan politik dan kultural, memberikan suatu corak komunitas yang bersifat antar bangsa. Dengan kosmopolitanisme, maka pengambilan inspirasi – atau bahkan peniruan dari apa yang telah terjadi pada masyarakat Islam di negeri lain – tidaklah dirasakan sebagai suatu peniruan atau imitasi. 

 

 

G. Metode Penelitian

  1. Jenis Penelitian

Penelitian ini pertama-tama menggunakan model kepustakaan (librarian research). Artinya, bahan-bahan penelitian beroleh data dari sumber-sumber kepustakaaan, baik berupa buku-buku, hasil penelitian, naskah, jurnal, maupun majalah. Tetapi, penulis juga melakukan serangkaian wawancara untuk melacak informasi yang tidak direkam oleh sumber tertulis. Wawancara dilakukan bersama tokoh-tokoh yang mempunyai hubungan dengan Idham Chalid. Sumber tertulis yang akan menjadi rujukan utama penyusun yaitu : booklet yang berjudul “Islam dan Demokrasi Terpimpin”[23] yang ditulis oleh Idham Chalid sebagai bahan-bahan kuliah yang disampaikannya di Perguruan Tinggi Islam Nahdlatul Ulama Surakarta dan  kumpulan pidatonya sekitar tahun-tahun berlangsungnya Demokrasi Terpimpin, yang diberi judul “Mendajung dalam Taufan”.[24]

  1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik dalam pengertian pemikiran Idham tentang demokrasi terpimpin dan konteks sosio-politisnya akan didiskripsikan secara sistematis dan sesudah itu akan dilakukan  analisis terhadap kedua poin tersebut.

 

 

  1. Pendekatan      

Untuk memahami pemikiran Idham Chalid mengenai Demokrasi Terpimpin dan konteks sosio-politisnya, penulis menggunakan pendekatan historis. Artinya, pemikiran Idham Chalid dan alasan-alasan sosial dan politik yang melatar belakanginya dicari melalui rekaman perjalanannya di dalam sejarah Indonesia atau bahkan sejarah dunia.

  1. Pengumpulan Data

Di dalam pengumpulan data tidak digunakan metode khusus. Hanya saja diupayakan agar data-data yang berkaitan dengan penelitian ini dapat dikumpulkan selengkap mungkin, baik yang termasuk data primer maupun sekunder. Semua karya, maupun ceramah Idham Chalid merupakan sumber primer, sedangkan tulisan-tulisan orang lain tentang dia dijadikan bahan penunjang penelitian (data sekunder). Termasuk juga dalam data-data sekunder tulisan-tulisan yang memaparkan tulisan-tulisan tentang partai-partai politik di masa orde lama.

  1. Analisis Data

Data yang telah dikelola akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode Induktif dan Deduktif secara bergantian. Dalam metode Induktif, kita punya kasus dan akibat, kemudian kita mengasumsikan sebuah aturan umum (generalisasi), hasilnya adalah probabilitas. Sementara dengan metode deduktif kitadapat menarik kesimpulan dengan berangkat dari aturan umum dan kasus, dan hasilnya adalah validitas logis.[25]

Metode deduktif dipakai saat menganalisa pemikiran Idham Chalid. Adapun metode induktif akan digunakan dalam menganalisa akibat-akibat dari pemikiran dan sikap politik Idham

H. Sistematika Pembahasan

          Penulisan skripsi ini akan terdiri dari lima bab di mana di dalamnya terdiri dari sub-sub sebagai perinciannya. Adapun sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut :

          Bab pertama merupakan panduan umum penelitian ini. Berisi pemaparan masalah, urgensi penelitian, cara penulis menjawab permasalahan dan lain sebagainya.

Bab kedua menguraikan biografi singkat Idham Chalid. Biografi ini berguna untuk memahami lika-liku perjalanan hidup, karakter dan kepribadian, gaya berpolitik, serta orang-orang yang memiliki pengaruh besar terhadap dirinya.

Bab ketiga berisi pemikiran Idham Chalid tentang syu>ra yang dianggap sejalan dengan Demokrasi Terpimpin.

Bab keempat menjelaskan konteks sosial dan politik dimana pemikiran Idham Chalid muncul.

Bab kelima merupakan analisis poin-poin yang terdapat di bab ketiga dan keempat. Analisis diarahkan untuk mengungkap watak, menafsirkan konteks, dan implikasi dari pemikiran Idham Chalid bagi perjalanan NU selanjutnya.

Bab keenam berisi kesimpulan penelitian ini dan saran dari penulis

BAB II

IDHAM CHALID: BIOGRAFI, KARYA DAN GAYA KEPEMIMIPINAN

A. Asal-usul dan Pendidikan

          Tidak banyak yang bisa dilacak mengenai asal-usul Idham Chalid- selanjutnya disebut Idham, dari sumber tertulis. Publikasi yang ada hanya menyentuhnya sedikit sekali dengan validitas data yang kurang akurat.[26] Sebagian besar bagian ini didapat dari wawancara yang dikonfrontir dengan beberapa catatan yang termuat dalam sumber tertulis. 

Idham dilahirkan di Setui, (dekat wilayah Kota Baru-bagian tenggara Kalimantan) Kalimantan Selatan, pada 27 Agustus 1922.[27] Ayahnya orang Amuntai dan ibunya orang Setui, dan inilah yang menjadi alasan mengapa Idham lahir di Setui. Ayahnya bernama H. Muhammad Chalid, seorang penghulu (pemuka agama yang berwenang untuk mengawinkan orang). Ia memiliki empat saudara kandung dalam keluarga, dua laki-laki dan dua adik perempuan.[28] Data ini merupakan koreksi bagi Greg Fealy, seorang sarjana Australia yang menulis tentang sejarah NU  1952-1967, yang menyebutkan bahwa Idham adalah anak lelaki satu-satunya seorang ulama lokal.[29]

Ketika berumur sekitar 6 tahun, Idham dan keluarganya pindah ke kampung halaman ayahnya, Amuntai- Hulu Sungai Utara (kurang lebih 200 KM dari Banjarmasin). Di Amuntai, keluarga ini tinggal di daerah Tangga Ulin dimana sanak familinya telah tinggal secara turun-temurun. Menurut cerita, kepindahan ini didahului oleh suatu kejadian dimana Idham dan orang tuanya diserang oleh sekelompok orang. Walaupun mereka selamat, tak pelak kejadian itu menimbulkan perasaan tidak aman dan tidak nyaman, sehingga orang tua Idham memutuskan untuk meninggalkan daerah tersebut.[30]

          Di Amuntai Idham menghabiskan masa kecilnya. Ia adalah seorang anak yang cerdas dan berbakat. Idham langsung ditempatkan di kelas II ketika mendaftar masuk ke Sekolah Rakyat (SR) Amuntai. Selain itu, kemampuannya berpidato sudah mulai kelihatan sejak Idham bersekolah di SR. Teman akrabnya sejak kecil, H. Napiah, bercerita bahwa dengan penuh percaya diri Idham berpidato di depan teman-teman sekolahnya pada 31 Agustus 1934. Berarti usia Idham saat itu baru sekitar 12 tahun. Pidato buatan gurunya tersebut disampaikan dengan lantang tanpa teks. Hari itu merupakan hari yang tak terlupakan, dan sejak itulah Idham semakin sering berpidato di depan khalayak ramai dan berproses menjadi seorang pembicara yang ulung. Kelak kemampuan berpidatonya diakui secara luas baik di Amuntai maupun di kancah Nasional, baik sebagai penceramah, juru kampanye ataupun pengajar. Dan tak tanggung-tanggung, da’i kondang selevel Zainuddin MZ dan Syukron Makmun pun pernah berguru padanya. Kemampuannya ini pula – yang dikombinasikan dengan kecerdasan dan kerendahan hati, yang menjadi modal bagi perjalanannya di dunia politik. Pada tahun 1935, ia menamatkan pendidikan dasarnya. [31]

Idham kemudian melanjutkan pendidikannya di Madrasah al Rasyidiyyah (dulunya bernama Arabisch School), sebuah lembaga pendidikan agama Islam. Didirikan oleh Tuan Guru H. Abdurrasyid pada tahun 1922. Beliau merupakan lulusan universitas Al-Azhar yang saat itu terkenal sebagai pusat studi agama Islam. Lembaga ini awalnya hanya pengajian yang dilangsungkan di rumah dengan sistim halaqah (para santri duduk di sekeliling guru sambil mengikuti pelajaran). Bertambahnya jumlah santri menyebabkan tempat pengajian dipindah ke surau (mushalla). Tetapi, yang cukup menarik dan terbilang maju saat itu adalah penggunaan perlengkapan belajar seperti meja, kursi dan papan tulis.  Meningkatnya animo masyarakat membuat sang guru membangun gedung dan dinamainya ArabischeSchool (sekolah Arab).

H. Abdurrasyid adalah tipikal ulama pelopor pendirian perguruan agama. Beliau tidak hanya mendirikan sekolah di Amuntai, tetapi di berbagai wilayah di Hulu Sungai. Murid-murid beliau yang terkemuka juga diberi tugas membuka sekolah-sekolah agama jika telah kembali ke daerah mereka. Ia yang lulusan Al Azhar merekrut ulama-ulama setempat  yang sebagiannya adalah lulusan Mekkah dan memberikan keleluasaan bagi pengembangan sekolah. Bila telah ada generasi muda yang siap untuk menerima tongkat estafet kepemimpinan, beliau akan menyerahkannya dan pergi ke daerah lain untuk mendirikan perguruan agama yang lain.

22 Agustus 1931 kepemimpinan sekolah ini diserahkan oleh Tuan Guru H. Abdurrasyid kepada H. Juhri Sulaiman, karena beliau akan pergi ke Kandangan (HSS) untuk mendirikan perguruan Islam di sana. Pada saat itulah sekolah ini diganti namanya menjadi Madrasatur Rasyidiyyah dengan pengertian bahwa perguruan Islam ini adalah warisan sekaligus cita-cita Tuan Guru Abdurrasyid yang harus terus diperjuangkan.[32]

Sekolah ini merupakan alternatif bagi sekolah yang didirikan Belanda. Selain faktor ke-pribumi-annya, sekolah ini mendapat respon positif karena latar belakang keagamaan masyarakat Amuntai yang mempengaruhi pilihan pendidikan bagi putra-putri mereka.

Kesinambungan dan perubahan (dan juga pengembangan) menjadi ciri khas sekolah ini. Beberapa kali terjadi perubahan sistim pendidikan seiring dengan bergantinya pucuk pimpinan. Direkrutnya para pengajar dari Pondok Modern Gontor adalah salah perkembangan yang terjadi saat Idham bersekolah di sana. Tokoh dari Gontor yang berpengaruh bagi sekolah ini di masa-masa awal pengembangannya adalah ustadz Arif Lubis. Pengajar dari gontor inilah yang kemudian memberikan warna “modern” bagi sekolah ini. Pengetahuan umum dimasukkan, organisasi didirikan, bahasa Arab dan Inggris dipraktekkan. Hal ini memberi pengaruh yang positif bagi Idham. Bahasa yang dikenalnya bertambah, yakni bahasa Arab dan Inggris, dan merupakan pengalaman pertama pada organisasi. Para pengajarnya pula yang membuat Gontor menjadi tujuan para murid setamatnya dari sekolah tersebut.[33]

Semenjak tamat tahun 1938, Idham semakin sering diundang untuk berceramah di berbagai acara dan pertemuan. Hal ini membuat nama dikenal luas dan pergaulannya tidak terbatas pada teman-temannya saja, melainkan pemuka-pemuka agama yang sudah terkenal di daerah itu.[34] Tetapi, pihak keluarganya menginginkan dirinya melanjutkan pendidikannya. Idham adalah anak yang cerdas dan berbakat, sehingga sayang kalau pendidikannya tidak dilanjutkan. Kira-kira demikianlah kesimpulan keluarganya dalam mengamati perkembangan tokoh kita ini.

Tahun 1938, Idham dikirim bersama beberapa orang temannya melanjutkan pendidikannya ke Pondok Modern (PM) Gontor Ponorogo dalam “missi studi” almamaternya. Selama lima tahun menimba ilmu di sana Idham menyelesaikan pendidikannya di sana. Tiga tahun di Kulliyah al Mu’allimin al Islamiyah (pendidikan guru agama Islam) dan sisanya di tingkat Kweekschool Islam Bovenbouw.[35] Hal ini kembali menunjukkan kecerdasannya karena lazimnya hingga tingkat tersebut seorang santri harus menghabiskan waktu 7 hingga 8 tahun. Tahun 1943 Idham meneruskan pendidikannya ke Jakarta dan setahun kemudian menjadi guru di Gontor, sekaligus menjabat wakil direktur di sana.[36]

          Di Gontor kesadaran berorganisasi Idham semakin meningkat dan menemukan salurannya dengan aktif di gerakan kepanduan. Dalam hal kemampuan berbahasa, selain penguasaan bahasa Arab dan Inggris yang semakin meningkat, di Gontor ia mendapatkan kemampuan berbahasa Jepang. Ia bahkan menjadi pengajar bahasa ini. Pihak Jepang yang sangat senang ada anak muda pribumi yang menguasai “bahasa ibu” mereka bahkan sempat mengundangnya untuk berkunjung ke negeri Matahari Terbit tersebut. Dan sebagaimana lazimnya tokoh yang lahir di masa-masa pemerintahan kolonial, Idham juga bisa berbahasa  Belanda. [37]

B. Menjadi Kepala Sekolah dan Mendirikan IMI

          Kabar tentang diundangnya Idham ke Jepang sampai ke kampung halamannya. Orang tuanya bukannya senang, justru mengkhawatirkannya. Hal ini wajar karena Jepang datang ke Indonesia bukan sebagai tamu atau penolong, melainkan penjajah yang menggantikan Belanda. Ditambah kerinduan setelah lima tahun berpisah, orang tua Idham memanggilnya pulang. Pada tahun 1945 Idham kembali ke Kalimantan Selatan dan tak berapa lama kemudian diminta menjadi Kepala di sekolahnya dulu, Madrasatur Rasyidiyyah. Sekolah tersebut mengalami kekosongan pimpinan dalam rentang waktu hampir satu tahun, sejak 1944, terkait dengan semakin ketatnya pengawasan dari pihak Jepang.

Kedatangannya  ke  almamaternya  ini  membawa  semangat  perubahan.  Oleh  Idham,  nama  sekolah  dirubah  dengan  nama  baru – Normal Islam Amuntai. Normal berasal dari bahasa Belanda (Noormaal) yang berarti sekolah lanjutan.[38] Perubahan nama ini seiring dengan perubahan sistim pengajaran dan pendidikan yang disesuaikan dengan yang diikuti Idham di PM Gontor. Sebagian dari guru-guru yang mengajar di Gontor berasal  dari  Normal  Islam  Padang  yang  sudah terkenal saat itu.[39] Sistim pengajaran ini sudah mendapat fondasi, karena pimpinan sekolah sebelum Idham telah mengenalkannya. Kepala sekolah tersebut adalah H. M. Arif Lubis yang merupakan lulusan Normal Islam Padang dan pernah mengajar di Gontor. 

          Perubahan terutama pada penambahan mata pelajaran ilmu-ilmu eksakta dan pengetahuan umum di samping ilmu-ilmu agama beserta penunjangnya (Ilmu Alat). Perbandingannya adalah 60 % pelajaran agama dan 40 % pelajaran umum. Sebagai catatan, bahasa Arab digunakan sebagai bahasa pengantar.[40] Nampaknya jiwa dan roh dari kurikulum ini adalah tekanannya kepada penguasaan bahasa Arab dan Inggris, sebagai bahasa agama, ibadah dan ilmu pengetahuan serta komunikasi internasional. Karena itu bukan saja mata pelajaran agama diajarkan dengan mempergunakan kitab-kitab berbahasa Arab, bahkan pelajaran umum pun juga diajarkan dengan referensi kitab-kitab berbahasa padang pasir tersebut. Mata pelajaran umum yang diajarkan dengan mempergunakan buku-buku berbahasa Arab seperti pelajaran At Tarbiyah wa  at Ta’lim, al Adyan, Ilm an Nafas, Falsafah, Thabaqah al Umam dan sebagainya.[41]

          Tahun 1945 adalah tahun yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tahun itu, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta yang mewakili seluruh Rakyat Indonesia. Idham Chalid yang terlahir dan tumbuh pada di zaman revolusi kemerdekaan mendapatkan kesadaran tentang Indonesia Merdeka. Kemungkinan besar kesadaran ini telah didapat sewaktu masih di Amuntai dan diperkuat saat bersekolah di Gontor. Kesadaran yang sama “ditularkan” dan ditanamkan kepada murid-muridnya di Normal Islam Amuntai pada saat proses belajar-mengajar di kelas.[42] Ini adalah bagian kedua dari semangat perubahan yang dibawakannya.

          Kecenderungan aktifisnya dan kemampuannya mengorganisir massa terlihat ketika Idham bersama teman-temannya mendirikan Ittihad al Ma’ahid al Islamiyyah (IMI) atau Ikatan Sekolah-sekolah Islam. Sebagaimana telah disebutkan, ada kecenderungan untuk mendirikan perguruan-perguruan agama dalam masyarakat di Amuntai. Pada saat kekuasaan Jepang di Hindia Belanda hampir lumpuh, kondisi perguruan-perguruan Islam di daerah ini sangat menyedihkan sebagai akibat ketatnya sistem yang dijalankan oleh Jepang. Tidak sedikit sekolah yang tutup karena dicurigai pemerintah Jepang. Idham melihat adalah saat yang tepat bagi perguruan-perguruan yang masih tersisa untuk bangkit kembali. Terdorong oleh komitment terhadap pendidikan Islam Idham Chalid dan beberapa temannya mendirikan IMI dengan tujuan mempersatukan dan membangun kerja sama di antara perguruan-perguruan Islam. Ada tujuh perguruan yang saat itu bergabung dalam IMI, yaitu Normal Islam– Pekapuran, Amuntai; Al Fatah– Paliwara Hilir; Zakhratun Nisaa– Paliwara Hulu; Al Hidayah– Sungai Durian; At Tadlhiyyah– Pekapuran; Al Fajar– Paringin; As Sullamun Najah– Telaga Selaba; dan Asy Syafi’iyyah– Lok Bangkai. Mereka menyadari hanya dengan bekerja sama maka umat Islam dapat maju ke depan dan terus menyebarkan ajaran Islam dan pengetahuan umum. Idham Chalid pun diangkat menjadi Ketua Umumnya dan Normal Islam sebagai pusat segala kegiatan.[43]

Jaringan IMI terus bertambah luas dan nama Normal Islam Amuntai pun semakin melambung tinggi. Kepopulerannya dan kemajuan sistim pengajarannya membuat sekolah-sekolah lain di daerah ini meniru dan bekerjasama untuk mengembangkan diri. Bahkan, para pengajar di sekolah lain selalu menginginkan kesempatan mengajar di sekolah ini.[44] Hal ini juga semakin mempopulerkan nama Idham.

Kemerdekaan Indonesia dan kemudian kedatangan NICA membuat Rakyat Kalimantan kembali terlibat perjuangan mempertahankan Tanah Air. Idham sudah terlibat dalam dunia pergerakan saat masih menjabat Kepala Sekolah. 

C. Terlibat di Pergerakan.

          Seorang Idham ternyata tidaklah puas dengan hanya menjadi seorang kepala sekolah saja. Adalah benar bahwa ia telah membangun kembali almamaternya, membangun jaringan, dan menjadikannya dikenal luas. Tetapi, ia merasa perjuangannya memiliki lingkup yang melebihi batas-batas sekolahnya. Perjuangan demi bangsa dan tanah air. Maka tugas-tugas keseharian sebagai kepala sekolah diserahkan kepada “tangan kanannya”, H. Napiah, dan memungkinkannya memiliki waktu yang lebih banyak untuk terlibat dalam berbagai aktivitas di luar sekolah.     Catatan yang dibuatnya menunjukkan keterlibatannya sebagai Sekretaris Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah (HSU) di kota Amuntai tahun 1945.[45] Terpilihnya Idham kemungkinan terkait dengan meningkatnya popularitas Idham di Amuntai setelah ia menjadi Kepala Sekolah Normal Islam dan kesuksesannya mendirikan IMI. Sekolah menengah Agama ini adalah salah satu dari pesantren yang tertua  di Kal-Sel dan hingga sekarang nama Idham Chalid di daerah ini tidak bisa dipisahkan dari pesantren tersebut. Pada zaman penjajahan banyak alumni, pengajar dan murid-murid sekolah ini yang terlibat di dalam perang gerilya atau aktifitas politik legal.[46]      

Usai kekalahannya dari pihak Sekutu di perang Pasifik, Jepang meninggalkan Indonesia. Pasukan Sekutu datang untuk melucuti sisa pasukan Jepang yang telah menyerah tanpa syarat itu. NICA (Netherland Indies Civil Administration) membonceng tentara Sekutu dengan maksud kembali melakukan kegiatan kolonisasi. Kalimantan pun tak luput dari arus besar kedatangan kembali pasukan NICA yang saat itu berada di bawah pimpinan Mayor A. L Assenderp.[47]

Sebagai tentara sekutu yang menang perang, NICA berusaha menyusun kembali pemerintahan sipil dengan cara menghubungi bekas pegawai Binnenlands Bestuur untuk kembali bekerja bersama mereka. Tindakan ini menimbulkan beberapa pilihan dan kategori bagi pemimpin-pemimpin rakyat di Kalimantan bagian Selatan :

  1. Menolak kedatangan NICA dan meninggalkan daerah, pergi ke Pulau Jawa. Mereka adalah kaum cerdik pandai atau intelektual yang berpandangan bahwa kekuatan untuk melawan Belanda belumlah cukup. Sehingga, menyingkir untuk sementara adalah pilihan yang realistis bagi mereka.
  2. Menerima kedatangan NICA dan bersedia bekerja sama sebagai pegawai NICA. Kebanyakan dari mereka adalah bekas pegawai Belanda yang tidak mau berkonflik dan pernah menikmati keuntungan-keuntungan saat bertuankan bule dari tanah rendah itu.
  3. Mereka yang menentang kembalinya NICA berkuasa dan berjuang secara politik. Terdiri dari tokoh-tokoh politik yang dengan intens mengikuti perkembangan dan berjuang secara legal parlementer dengan menyalurkan aspirasi politiknya lewat partai-partai politik, seperti Persatuan Rakyat Indonesia (PRI), Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI), Serikat Muslimin Indonesia (Sermi) dan lain sebagainya. Corak pergerakan organisasi-organisasi ini memang lebih menampakkan sisi perjuangan politik legal di luarnya, tetapi hubungan dengan organisasi pemberontak atau badan-badan perjuangan yang menggunakan senjata tetap dijalin bahkan ada yang sengaja membikin kesatuan bersenjata underbouw-nya. Tidak jarang, sebagian aktifisnya merangkap keanggotaannya; menjadi politisi sekaligus orang gerilya.
  4. Kelompok yang menentang dengan tegas kembalinya NICA berkuasa dan berjuang mengangkat senjata untuk mengusir mereka. Kelompok ini dimotori ulama dan rakyat biasa. Mereka bergerilya keluar-masuk hutan, bersembunyi di gunung-gunung sambil menyusun kekuatan untuk mengusir NICA. ‘Banteng Indonesia’ pimpinan Hassan Basry di Kandangan, “Badan Pemberontakan Rakyat Kalimantan” (BPRK) di Banjarmasin, “Barisan Pelopor Pemberontak Kalimantan Indonesia” (BPPKI) pimpinan Gusti Saleh di Martapura, “Gerakan Rakyat Pengejar dan Pembela Indonesia Merdeka” (Gerpindom), di Amuntai dan “Gerakan Pemuda Indonesia Merdeka”- dengan singkatan yang sama (Gerpindom) di Birayang adalah contoh dari kelompok keempat ini. [48] 

Pada tahun 1945 Idham menjadi anggota Persatuan Rakyat Indonesia (PRI) yang bertempat di Banjarmasin.[49] PRI adalah partai politik pertama yang didirikan di Kalimantan atas anjuran pemerintah Jepang di saat mereka akan meninggalkan pulau ini akibat kekalahan dari pihak Sekutu. Berdiri secara resmi pada tanggal 16 Agustus 1945 dengan Ketua Umum Pangeran Muda Ardi Kesuma.[50]

            Setahun kemudian Idham bergabung di Serikat Muslimin Indonesia (Sermi) dan duduk sebagai Anggota Pengurus Besar dan Komisaris Daerah Hulu Sungai Utara dan Selatan. Sermi juga merupakan organisasi politik dari kalangan masyarakat muslim setempat dengan tujuan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia sesuai cita-cita proklamasi. Penduduk Kalimantan bagian Selatan mayoritas beragama Islam sehingga Sermi mendapat sambutan yang luas. Didirikan di Banjarmasin tahun 1946 dengan pimpinan seorang ulama bernama H. Abdurrahman Siddik. Sebagai organisasi pergerakan Sermi secara diam-diam membentuk Lasykar Saifullah yang tugasnya menyambut kiriman senjata dari Pulau Jawa. Senjata-senjata tersebut kemudian digunakan untuk melawan Belanda.[51]

Pada tahun 1947 Idham bergabung dengan Sentraal Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimatan (SOPIK), sebuah organisasi bawah tanah yang melakukan perang gerilya melawan Belanda. Pemimpinnya adalah seorang yang pernah berguru padanya, Brig.Jen Hassan Basry[52]. Hassan Basry sebelumnya adalah pemimpin Lasykar Saifullah. Mulai bergerilya sejak akhir September 1946 ketika banyak pimpinan Lasykar tersebut ditangkap Belanda. Ia berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di hutan sambil menyusun kekuatan. Baik Hassan Basry maupun Idham pernah “nyantri” di Pondok Modern Gontor-Ponorogo dan besar kemungkinan bertemu di sana sebagai guru dan murid. 

Organisasi ini kemudian dilebur menjadi ALRI DIVISI IV.[53] Di sini Idham menjadi Penasehat Staf Umum. Keterlibatannya di SOPIK menyebabkan dia ditangkap dan ditahan tentara NICA pada 27 Maret 1949 dengan tuduhan menjadi penasehat, pelatih, dan mendalangi gerilya. Tuduhan tersebut didasarkan pada fakta bahwa pimpinan gerilya adalah Hassan Basry yang pernah jadi muridnya ditambah sebuah fakta lain. Yaitu, ditemukannya selembar photo oleh tentara NICA ketika menggerebek sebuah studio photo Banjarmasin. Photo tersebut memuat Idham Chalid bersama J. Hamdi dan Chairul Lima dengan seragam masing-masing sebagai pelatih, ketua dan penulis Kwartir Cabang Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI) di Amuntai. Sekaligus ketiga orang itu juga dituduh sebagai onderbouww gerakan bawah tanah Gerpindom.[54] Di tahun 1948 Idham bersama Hassan Basry dan anggota ALRI DIVISI IV mendirikan Fonds Nasional Indonesia Kalimantan (Fonik) di Banjarmasin.[55]

            Pada tahun yang sama pula Idham dicalonkan oleh Badan Koordinasi Partai-partai Republiken (SKI, Sermi, Gappika) sebagai Anggota Dewan Daerah Banjar untuk daerah pemilihan Amuntai Utara. Pemilihan ini diadakan Belanda dalam rangka Plebeseit[56] untuk mendirikan Negara Kalimantan. Negara Kalimantan akhirnya gagal didirikan Belanda karena calon-calon yang didukungnya kalah dalam Plebeseit tersebut. Pada bulan Maret 1950, Idham diangkat menjadi Anggota Parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS), mengganti anggota-anggota yang semula dipilih oleh Dewan Daerah Banjar, tetapi dibatalkan. Kemudian ia menjadi anggota Parlemen Sementara Negara Kesatuan sampai tahun 1955 mewakili Kalimantan.[57]

D. Karir di NU dan Pemerintahan 

Idham diangkat menjadi anggota Parlemen Sementara (DPRS) 1950 sebagai wakil Masyumi.[58] Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, Idham memilih terlibat di NU dan aktif dalam melakukan konsolidasi ke dalam, antara lain dengan menjadi anggota Majelis Pertimbangan Politik PBNU yang pada garis besarnya bertugas mengikuti perkembangan politik di tanah air, membuat analisa dan menyimpulkannya untuk diserahkan kepada PBNU, sebagai suatu saran atau usul. Majelis ini dibentuk pada 2-3 September 1951.[59]

Pada awal 1950-an Idham sering menemani Wahab Chasbullah, Rais ‘Aam PBNU yang sangat besar pengaruhnya dalam berpisahnya NU dari Masyumi, mengikuti ‘safari’ rutin ke cabang-cabang NU. Wahab inilah juga yang memiliki peranan penting dalam karir Idham di NU. Dengan kelihaian Wahab, namun penuh kehati-hatian serta faktor insting politik yang tajam membuat Idham mengalami kemajuan pesat di bawah bimbingannya, dengan belajar banyak mengenai teknik berorganisasi, berdebat dan berpidato, sambil juga membangun jaringan dukungan sendiri dalam partai.[60] Kedekatan dengan Wahab inilah yang antara lain membuatnya bertahan lama sebagai Ketua Umum.

Idham Chalid memulai kariernya di Jakarta dengan aktif di gerakan Pemuda Ansor[61], kemudian sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi yang berafiliasi kepada NU dengan konsentrasi pada penanganan masalah pendidikan, pada tahun 1952. Pada tahun yang sama ia diangkat PBNU menjadi Sekretaris Jendral partai dan dua tahun kemudian, terpilih sebagai Wakil Ketua. Selama masa kampanye Pemilu 1955 ia memegang jabatan penting sebagai Ketua Lajnah Pemilihan Umum Nahdhatul Ulama (Lapunu)[62].

Dalam Demokrasi Parlementer, Pemilu merupakan alat uji utama bagi sebuah partai politik. Keberhasilan dalam Pemilu akan memberikan kekuasaan dan pengaruh serta kesempatan untuk menentukan arah kehidupan bangsa, sebaliknya kegagalan dalam pemilu akan mengakibatkan marjinalisasi dan ketergantungan pada pihak lain. Pemilu 1955 adalah ujian pertama bagi NU yang pada tahun 1952 keluar dari Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri. Walaupun pemilu tersebut juga yang pertama kali dihadapi semua partai peserta, akan tetapi partai-partai lain, khususnya partai-partai besar mempunyai lebih cukup waktu dan kesempatan menanamkan pengaruh politik kepada rakyat. Akan halnya NU, partai ini hanya memiliki waktu yang singkat: tiga tahun. Dengan demikian Ketua Lapunu memiliki tugas penting bagi partai di kancah politik selanjutnya. Dan terpilihnya Idham menjadi anggota DPR pada Pemilu 1955 dengan tiket NU adalah konsekuensi logis belaka.

Dalam pemilu yang pertama kali diselenggarakan ini NU meraih keberhasilan yang mengejutkan, bahkan bagi pihak NU sendiri. Dari hanya delapan kursi Parlemen yang dimiliki, NU berhasil mencapai prestasi sebagai empat besar, dengan 45 kursi. Total suara yang dikumpulkan NU pada Pemilu 1955 sebesar 6.955.141 (18,4 %) dari total suara pemilih sebesar 37.785.299. Keberhasilan ini dinilai oleh Alfian karena kemampuan NU menggalang solidaritas di lingkungan kaum santri dan itu berarti memperjelas perjuangan mereka untuk memenangkan ideologi Islam dan sekaligus menunjukkan sikap anti komunis. Dari segi ini nampaknya tiga pilar utama yang menyangga kekuatan NU yaitu ulama, pesantren, dan politisi memegang peranan penting dalam keberhasilan NU menjalani pemilihan umum itu.[63] Ali Haidar menambahkan bahwa faktor utama skeberhasilan NU pada Pemilu ini adalah tema dan metode kampanye yang digunakan NU terbukti sangat efektif.[64]

Dengan peningkatan jumlah kursi di Parlemen, pengaruh NU menjadi semakin besar dalam pembentukan Kabinet. Sewaktu masih bergabung dengan Masyumi, NU hanya berharap mendapat jatah Menteri Agama dan kadang harus bersaing dengan golongan muslim Modernis untuk posisi tersebut. Pada 1956 lima Menteri menjadi jatah NU dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo II, termasuk Wakil Perdana Menteri yang diserahkan pada Idham.

Fealy menilai naiknya Idham Chalid ke jabatan Wakil Perdana Menteri merupakan hal yang luar biasa. Dengan usianya yang baru 35 tahun[65] dan tanpa pengalaman sebagai menteri, pengangkatannya mencerminkan bahwa NU tidak hanya menaruh harapan besar terhadap perkembangan karir Idham, tetapi juga tidak mempunyai calon lain yang layak. Idham menyatakan bahwa pada awalnya ia enggan untuk menerima jabatan itu dan mengusulkan Dachlan[66] sebagai penggantinya. Namun ia dibujuk Ali Sastroamijoyo untuk menerima penunjukan itu.[67]

Pada Muktamar NU ke-21 yang diselenggarakan di Ibukota Sumatera Utara, Medan, di bulan Desember tahun 1956 Idham terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Ia dengan telak mengungguli Mohammad Dachlan yang telah memegang jabatan tersebut sejak April 1953. Pesatnya perkembangan karirnya sangat mengagumkan mengingat bahwa, berbeda dengan para pengurus PBNU lainnya, ia bukan orang Jawa dan merupakan lulusan Pesantren Modern Gontor di Ponorogo, lembaga yang tidak punya kaitan dengan NU dan oleh banyak ulama banyak dipandang sebagai tulang punggung modernisme Islam.[68] Jabatan ini terus dipertahankannya hingga diminta mundur pada tahun 1982 oleh para kiai.[69] Secara keseluruhan, Idham Chalid memimpin NU selama delapan periode dalam waktu hampir tiga dekade.

1956-1957 adalah tahun yang penuh dengan pergolakan politik di negara ini. Pertikaian partai-partai di parlemen dan kabinet, perdebatan di konstituante, pergolakan di beberapa daerah yang melibatkan pimpinan-pimpinan militer dan akhirnya manuver-manuver politik Soekarno yang hendak mendirikan Demokrasi Terpimpin. Harapan besar masyarakat terhadap wakil-wakilnya di parlemen dan pemerintahan tidak banyak terlaksana. Kabinet hasil Pemilu pun tak bertahan lama sampai ketika Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya pada Presiden 14 Maret 1957. Dalam pembentukan Kabinet selanjutnya, Idham Chalid terpilih kembali sebagai wakil NU pada Kabinet pimpinan Djuanda sebagai Wakil Perdana Menteri. Jabatan ini dipegangnya sampai terjadi momen yang merubah secara total konfigrasi politik dan arah pembangunan demokrasi politik di Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada bulan Juli 1959. Dekrit 1959 seringkali dipatok sebagai titik dimulainya masa Demokrasi Terpimpin.

Sebulan sesudah Soekarno mengumumkan Dekrit, pada bulan Agustus, Idham diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Badan ini berfungsi memberikan pertimbangan kepada Presiden dan Pemerintah, dan pada saat itu nampak lebih berpengaruh dari pada parlemen.[70] Oleh van Bruinessen pengangkatan Idham menjadi anggota DPAS ini adalah karena kedekatannya dengan Soekarno, sebagaimana mayoritas tokoh-tokoh NU lainnya. Idham bahkan menjadi pembela blak-blakan dari manifesto ideologis nasionalistik populis Soekarno, Manipol Usdek. Pada 1964, Idham dan Saifuddin Zuhri, Menteri Agama, mendirikan sebuah Yayasan (Jajasan Api Islam) yang fungsi utamanya nampaknya adalah mempropagandakan gagasan-gagasan Soekarnois di kalangan Muslim Tradisional.[71]

Tokoh NU yang juga dikenal dekat dengan Soekarno, adalah Kiai Wahab Chasbullah, yang saat itu masih menjabat Rais ‘Aam, adalah seorang pengagum Soekarno dan tetap menjadi pendukung setia sampai akhir. Demikian pula beberapa pimpinan puncak lainnya seperti Masjkur, Zainul Arifin, Saifuddin Zuhri, Ahmad Sjaichu, juga Jamaluddin Malik. Soekarno secara berkala mengundang mereka ke istana untuk menghadiri acara kenegaraan atau berdiskusi mengenai masalah agama dan politik. Diskusi itu juga meliputi isu nasional dan pribadi. Kiai Wahab juga mengatakan bahwa ia sering memberikan nasehat spritual kepada Soekarno.[72]

Selanjutnya di tahun 1960, Idham menjadi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara,[73] yang antara lain tugasnya membuat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam sejarahnya, penyusunan GBHN ini didasarkan pada pidato-pidato Presiden Soekarno, yaitu pidato pada 17 Agustus 1959 atau yang biasa disebut Manifesto Politik, pidato di depan Dewan Perancang Nasional pada 28 Agustus 1959, pidato 17 Agustus 1960 dan pidato di depan Sidang Umum PBB pada 30 September 1960. MPRS setelah membahas keempat pidato tersebut kemudian memperkuatnya dan meresmikannya menjadi GBHN. Hal ini antara lain karena belum ada preseden tentang bagaimana pembentukan GBHN dan dari mana saja bahan-bahannya dicari. Perlu dicatat bahwa MPRS tidak mempunyai staf ahli yang dapat dimintai bantuannya.

Para anggota MPRS yang berjumlah lebih dari 500 orang itu, pada waktu itu merupakan suatu jumlah yang besar karena belum pernah ada lembaga negara yang sedemikian besar jumlah anggotanya. Berasal dari berbagai lapisan masyarakat dan sebagian besar dari mereka belum pernah menangani masalah-masalah politik kenegaraan. Rupa-rupanya bagi keanggotan MPRS yang pertama ini yang diutamakan adalah pencerminan masyarakat dari pada kemampuan atau keterampilan di bidang politik kenegaraan. Selain itu, suasana politik pada waktu itu didomonasi oleh Presiden Soekarno yang dipuji-puji dan diagung-agungkan karena dekritnya tanggal 5 Juli 1959 telah berhasil menyelamatkan negara Pancasila dari jurang kehancuran.[74] Posisi Wakil Perdana Menteri Kedua kembali dijabat Idham pada tahun 1966 dalam jajaran Kabinet Dwikora hasil reshuffle, walaupun dalam jangka waktu yang sangat pendek- hanya empat bulan. Jabatan ini pula yang terakhir didudukinya di masa Orde Lama.[75]

Walaupun Idham mempunyai hubungan dekat dengan “Orde Lama”, dia tetap dianggap penting oleh pemerintah Orde Baru hingga dua kali menjabat dalam Kabinet. Pada kabinet Orde Baru yang pertama Idham diangkat menjadi Menteri Kesejahteraan Rakyat dalam kurun waktu 1967 hingga 1970. Kemudian dia menduduki posisi Menteri Sosial di tahun 1970 sampai 1971.[76]

Pemilu pertama di masa Orde Baru dilangsungkan pada tahun 1971. Pemilu ini merupakan yang kedua sekaligus yang terakhir bagi partai Nahdhatul Ulama karena Pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan penyederhanaan partai yang lebih ekstrim dari yang dilakukan Soekarno. Kebijakan tersebut ditempuh melalui fusi atau penggabungan beberapa partai yang memiliki kedekatan atau kesamaan ideologi. Hal ini dilakukan oleh Orde Baru sebagai bagian dari programnya menata kehidupan berpolitik. Demikianlah, NU akhirnya bergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan di tahun 1973.[77]

Hal ini tentu saja merugikan Nahdhatul Ulama karena perolehan suara yang didapatnya di Pemilu 1971 tidak melorot, melainkan naik 0,2 persen. Jika pada 1955 NU meraih 18,4 %, maka pada Pemilu ini NU mendapatkan 18,6 % atau 10,2 juta lebih suara dari total pemilih 54.696.887.[78] Penggabungan menjadi PPP muncul sebagai kenyataan yang harus diterima bagi kebanyakan politisi NU; Idham Chalid dan kawan-kawan terdekat langsung menerima campur tangan yang sangat jauh ini tanpa terlebih dulu bermusyawarah dengan anggota PBNU lainnya. Dapat dimengerti, hal ini menyebabkan munculnya ketidakpuasan di lingkungan NU, tetapi semua tampaknya setuju untuk berbuat yang terbaik dalam kondisi baru ini daripada menentang secara aktif.[79] Idham Chalid diberi kedudukan bergengsi, tetapi tidak sangat berpengaruh, sebagai presiden partai sampai tahun 1989.[80] 

Idham dipilih menjadi Ketua DPR dan MPR sesudah Pemilu 1971 dalam masa bhakti 1971-1977. Jabatan terakhir yang dipegangnya adalah sebagai Ketua DPA.[81] Jabatan ini tidak lagi punya pengaruh besar dalam kehidupan bernegara, dan sering dianggap posisi kehormatan bagi para pejabat tinggi atau tokoh politik sebelum dipensiunkan.

E. Karya, Publikasi dan Penghargaan

          Walaupun Idham bukan seorang penulis produktif dan kemampuan menulisnya tidak sebaik performanya ketika berpidato, tidak berarti tidak ada karya yang dihasilkannya. Idham, terutama, menulis untuk Duta Masjarakat, sebuah koran milik Nahdatul Ulama. Satu artikel yang cukup penting berkaitan dengan aktifitas dan pemikirannya di masa Demokrasi Terpimpin berjudul “Haluan Politik” yang diterbitkan tahun 1965 oleh majalah “Api Islam”.

          Sewaktu masih aktif di pergerakan kemerdekaan di Kalimantan, Idham menghasilkan sebuah naskah yang akhirnya diterbitkan sewaktu ia dipenjara pada tahun 1949. Judulnya “Bertamasya ke Cakrawala”, dan diterbitkan atas kerja sama dengan Haspan Hadna, Pemimpin redaksi “Indonesia Berjuang”.[82]

Sebuah karya tentang Parlemen yang disusun sewaktu ia menjadi anggota DPRS mewakili Kalimantan. Diterbitkan tahun 1951 dan menjadi semacam buku panduan memahami apa itu parlemen dan bagaimana fungsinya dalam kehidupan bernegara. Tentu saja parlemen yang dimaksud adalah parlemen di alam demokrasi liberal, yakni saat partai-partai begitu berkuasa. Idham tidak cuma membicarakan hal-hal teknis di sini, tapi juga ada tinjauan historis dan pengalaman negara-negara lain dalam menjalankan Demokrasi.  Buku tersebut berjudul “Parlemen, Organisasi dan Tjara Bekerdjanja” dengan Astanabuku Abede-Semarang sebagai penerbitnya.

Ada pula booklet yang berjudul “Islam dan Demokrasi Terpimpin” yang ditulis oleh Idham Chalid sebagai bahan-bahan kuliah yang disampaikannya di Perguruan Tinggi Islam Nahdlatul Ulama Surakarta. Diterbitkan di Jakarta oleh  Endang-Pemuda di 1965. Buku ini menyiratkan pemikirannya dan usahanya memahami Demokrasi (Terpimpin) dari perspektif agama.

Buku lainnya berjudul “Mendajung dalam Taufan” yang berisi beberapa pidato di berbagai pertemuan resmi seperti muktamar dan pernyataan sikap NU. Buku ini bagian dari dokumentasi resmi NU di masa-masa menjelang dan berlakunya Demokrasi Terpimpin. Diterbitkan tahun1966 oleh penerbit Jakarta : Endang-Api Islam. 

Idham Chalid juga memperoleh beberapa penghargaan terkait dengan aktifitasnya, yakni Bintang Gerilja dari Presiden Soekarno tahun 1956 atas perjuangannya bersama-sama dengan kaum gerilyawan di Kalimantan; Bintang Vendera Yugoslavia dari Presiden Tito di tahun 1958; Bintang R. P. A. el Gumhuriyjah Tingkat I tahun 1959; dan Bintang Maha Putra dari Presiden Soekarno di tahun 1960.[83]

Di bidang akademis ia mendapat gelar Doktor  Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Mesir, dalam Pengetahuan Islam dan Perdjuangan Islam pada tahun 1959, dan menjadi Ketua Dewan Kurator Institut Agama Islam Negeri tahun 1960.[84]

F. Gaya Kepemimpinan : Kesamaan, Pengaruh dan Keyakinan.

            Dalam beberapa hal, Idham Chalid memiliki beberapa kesamaan dengan Presiden Soekarno. Kesamaan ini besar artinya dalam hubungan kedua tokoh ini dalam perjalanan politik, baik Idham dan NU. Pengaruh yang juga tidak kalah pentingnya berasal dari Kiai Abdul Wahab Chasbullah. Cukup aman untuk mengatakan bahwa gaya berpikir dan bersikap Idham sangat dipengaruhi oleh Rais ‘Aam NU tersebut.

Baik Idham maupun Soekarno memiliki gaya kepemimpinan yang mempribadi (personalized). Soekarno lebih suka mengatur taktik dan strategi politiknya sendiri. Ia tidak mempunyai partai yang selalu menyokongnya tetapi mengandalkan kharisma dan kemampuan membaca situasi dengan cerdas. PNI yang dulu didirikannya tidak lagi menjadi partainya sesudah kemerdekaan. Kemampuannya memanipulasi dan bermain di antara partai-partai besar dan militerlah yang membuatnya berhasil mendirikan sistem Demokrasi Terpimpin.

Sementara Idham, sejak diangkat menjadi Ketua Umum PBNU telah mengubah jalur administrasi kepengurusan dengan menjadikan rumahnya sebagai kantor. Dengan kata lain, Idham mengendalikan NU dari rumahnya. Ia bukan orang yang secara ketat menjalankan aturan-aturan organisasi layaknya Dachlan (Ketua Tanfidziyyah sebelumnya), melainkan suka memberi bantuan kepada siapapun yang datang, baik berupa materi, nasehat atau rekomendasi. Dengan sifat yang ringan tangan dan menggunakan kedudukannya untuk menolong siapa saja, ia membuat jaring-jaring patronase yang sangat berguna baginya karena banyak yang merasa berhutang padanya secara pribadi, bukan kepada NU.[85] Kharismanya membuat orang yang berhubungan dengannya merasa nyaman dan ia mendapat julukan ahli yahannu, istilah sehari-hari di kalangan pesantren yang berarti ‘mengatakan hal-hal yang menyenangkan orang, menyampaikan apa yang ingin mereka dengar’.[86] Gaya kepemimpinan seperti inilah yang membuatnya bertahan lama di jajaran teratas tanfidziyyah (eksekutif) NU.

Baik Soekarno maupun Idham adalah orator ulung. Sudah banyak cerita mengenai kehebatan Soekarno bila ia sedang berorasi. Ia mampu mempesona para pendengarnya, memainkan emosi mereka. Ucapan-ucapannya mampu membangkitkan semangat orang banyak. Dengan kata lain, Soekarno adalah seorang  singa podium yang kekuatan retorika mungkin hanya disaingi oleh pimpinan Sarekat Islam (SI) Tjockroaminoto, guru, induk semang dan juga mertuanya.

Idham lebih kalem, tetapi sama dasyatnya. Bukannya membangkitkan semangat, tetapi tahu menghadapi emosi massa dan mendatangkan simpati. Ia orang yang diplomatis. Selalu terlihat tenang, dan seringkali membuat orang yang marah menjadi tak berkutik. Fealy mencatat bahwa kepribadian dan gaya kepemimpinan Idham sebagai seseorang yang ahli dalam berkomunikasi, punya banyak lelucon dan sangat pandai membaca suasana hati pendengarnya. Kemampuannya menyenangkan hati dan menggerakkan massa membuatnya menjadi salah satu pembicara NU yang paling populer. Pidato-pidatonya merupakan perpaduan dari khutbah keagamaan, dongeng, propaganda politik selalu disampaikan dengan cara yang menyejukkan dan penuh kerendahan hati.[87] Kalau mau dianalogkan dengan jurus pesilat: Soekarno menyerang dengan jurus yang keras dan gesit, Idham menyambut serangan dengan jurus lembut tetapi mematikan.

Selain beberapa kesamaan di atas Idham, seperti kebanyakan orang NU lainnya dan juga mayoritas rakyat Indonesia saat itu, memiliki kekaguman dan rasa hormat yang besar terhadap Presiden PertamaRI ini. Walaupun dalam konteks politik hal ini tidak serta merta menjadi faktor yang menyebabkan Idham lebih bersepakat dan mendukung gagasan-gagasan Soekarno. Secara umum, seperti kesimpulan Fealy, cukup alasan untuk mempercayai hubungan Soekarno dan tokoh-tokoh NU terutama didasarkan atas kepentingan bersama dan bahwa NU, terlepas dari rasa hormatnya pada Soekarno, tidak akan memberikan dukungan politiknya kepada presiden tersebut bila tidak mendapat keuntungan.[88]

Idham menjadi pendukung Soekarno, terutama di masa Demokrasi Terpimpin dilaksanakan, demi menjaga agar NU dan dirinya terus bisa bermain di tengah-tengah arena politik, sekalipun bukan menjadi pemain utama bahkan nyaris terhimpit di antara segi tiga: Soekarno, militer, dan PKI. Pada masa itu, Idham menduduki posisi sebagai anggota DPA, dan Front Nasional dan wakil ketua MPRS. Ali Haidar menjelaskan, meskipun politik akomodasi atau penyesuaian diri harus dilakukan hal ini karena pertimbangan ketidaksiapan ummat pendukung untuk melakukan oposisi terhadap pemerintah. Tetapi, dalam berbagai hal NU mampu tampil dengan menggunakan posisi politiknya sebagai “orang dalam pemerintah” untuk melawan agitasi dan aksi sepihak PKI di banyak tempat, suatu hal yang menurut NU tak mungkin dilakukan jika NU melawan pemerintah, dicap kontra revolusi atau reaksioner. Hal ini pun diakui oleh Njono, gembong PKI, yang mengatakan “NU sangat menyulitkan PKI. Dikatakan reaksioner, nyatanya NU petani, buruh kecil dan dicintai rakyat. Menurut Njono, NU juga menyulitkan PKI karena posisinya yang dekat dengan Presiden Soekarno.[89]

Beberapa karakteristiknya yang lain, Idham sangat menghormati dan menghargai para ulama dan karenanya mampu bertahan lama di NU. Ia juga sering digambarkan memiliki kemampuan beradaptasi yang baik, sikapnya luwes dan cenderung menghindari konflik yang tidak perlu. Ia juga memiliki insting politik yang baik, pintar “membaca angin” dan karenanya cenderung pragmatis dalam bersikap. Perjalanan politiknya sering digambarkan seperti “mendayung dalam taufan” atau “meniti buih”.

Bagi Idham berpolitik semestinya berorientasi kepada kemaslahatan dan berguna bagi orang banyak, dan karenanya tidak mesti ngotot-ngototan atau kaku dalam bersikap. Ia menggambarkan seorang politisi yang baik mestilah memahami “filosofi air”.

Air apabila dimasukkan pada sebuah gelas maka ia akan berbentuk gelas, bila dimasukkan ke ember akan berbentuk ember. Apabila dibelah dengan benda tajam, ia terputus sesaat dan cepat kembali ke bentuk asalnya. Dan air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Apabila disumbat dan dibendung ia bisa bertahan, bergerak elastis mencari resapan. Bila dibuatkan kanal dia mampu menghasilkan tenaga penggerak turbin listrik serta mampu mengairi sawah dan tanaman sehingga berguna bagi kehidupan makhluk di dunia. –Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup (al Anbiya : 30)[90]

 

Sikap-sikapnya yang disebutkan ini menjadi kekuatan sekaligus kelemahannya, yang darinya Idham banyak mendapat kritik. Karena sikap ini, Idham terus berada di posisi Ketua Umum PBNU dalam waktu yang lama, mendapat posisi di pemerintahan dan berbagai Lembaga Negara sejak Orde Lama hingga Orde Baru. Di sisi yang lain para pengkritiknya menganggap sikap ini tidak layak dan seperti tidak memiliki prinsip. Para pemimpin Ansor, misalnya menjuluki Idham ‘politisi gabus’ karena apapun yang terjadi di sungai politik, ‘dia selalu mengambang di atas’. Mengenai keluwesan sikap Idham, Mahbub Junaidi menyatakan kepada rekan-rekannya bahwa Idham akan dapat dengan mudah menjadi wakil perdana menteri dalam pemerintahan Aidit hingga Soekarno.[91]

Latar belakangnya yang seorang guru membuatnya santun dalam berpolitik, mampu tenang berhadapan dan “bekerjasama” dengan musuh politik seperti Aidit dan PKI-nya. Ia juga sangat dipengaruhi Wahab Chasbullah, Rais ‘Aam Nahdatul Ulama, yang perannya sangat kuat dalam pembentukan karakter NU dan arah kebijakan partai. Dominasi Wahab dalam partai selama akhir 1950-an memperlihatkan bahwa sikap pragmatis tidak hanya wajar secara politik, tetapi dibenarkan secara keagamaan.

Fealy menyebutnya “luwes” dalam bersikap dan ini menjadi ciri khasnya yang mewarnai NU terutama di akhir tahun 50-an dan awal 60-an. Sikap ini didasarkan pada beberapa prinsip dalam hukum Islam, yang antara lain : pertama, ma> la> yudraku kulluh la> yutraku kulluh, yang artinya kewajiban yang tidak mungkin diwujudkan secara utuh tidak boleh ditinggalkan semua- bagian terpenting yang telah berhasil diwujudkan) ; kedua, dar’ al mafa>sid muqaddam ala jalb al masha>lih  artinya mendahulukan upaya menghindari bahaya atau kerusuhan daripada melaksanakan kemaslahatan yang mengandung resiko lebih besar ; ketigaiza ta’a>rada mafsadata>ni ru’iyaa a’zamuhuma dararan bi irtika akhaffihima artinya apabila terjadi kemungkinan kompilasi bahaya maka dipertimbangkan bahaya yang paling besar resikonya dengan melaksanakan yang paling kecil resikonya.[92]

Di pihak Soekarno, ia mempunyai keinginan keras untuk memperluas pengaruhnya lebih dari yang telah ditetapkan dalam konstitusi 1950 dan ia menganggap NU layak dijadikan pendukung keterlibatannya yang lebih luas dalam politik. Setelah Masyumi mengecewakan Soekarno, maka hanya NU kekuatan riel dan refresentatif kelompok Agama bagi konsep persatuan Nasakom yang dibangun oleh Soekarno. Soekarno akan menerima dengan senang hati pembelaan partai Islam itu terhadap kabinet presidensialnya dan pemerintahannya yang kuat.

Sampai Gerakan 30 September yang menghebohkan itu, ketika posisi Soekarno dipertanyakan dalam kejadian itu, Idham masih setia kepada Soekarno dan ia harus berhadapan dengan kaum muda NU militan yang membenci sikap akomodatifnya. Kaum muda ini berperan banyak dalam pembantaian massal terhadap PKI, memiliki kecenderungan untuk memuluskan transisi menuju Orde Baru dan membuka jalan penyerahan kekuasaan ke tangan Suharto.[93] Hanya di saat-saat terakhir ketika Soekarno dengan keras kepala terus mempertahankan pendapatnya tentang posisi kaum komunis dalam arah kehidupan bernegara, dan tampak tidak bersimpati pada korban kudeta dengan menyebut kejadian itu hanyalah ‘buih di lautan revolusi’, serta perlindungannya terhadap beberapa menteri yang dicurigai terkait dengan peristiwa itu; saat angin perubahan politik bertiup kencang meninggalkan Soekarno, Idham terpaksa meninggalkannya dan mempertahankan NU melewati transisi kekuasaan ini.

             

BAB III

PEMIKIRAN IDHAM CHALID TENTANG SYU<RA

            Bab ini akan memasuki perbincangan mengenai pemikiran Idham Chalid tentang syu>ra yang dianggapnya sejalan dengan Demokrasi Terpimpin. Tetapi, karena pada dasarnya pemikiran Idham ini adalah respon terhadap Demokrasi Terpimpin sebagaimana dirumuskan dan dijalankan Soekarno, maka pembahasan pada bab ini akan dimulai dengan paparan gagasan mendiang presiden tersebut. Setelah itu, pembahasan akan dilanjutkan dengan pemikiran Idham Chalid sendiri.

A. Demokrasi Terpimpin: Konsep Awal

          Demokrasi Terpimpin sebagai sebuah sistem politik adalah sesuatu yang khas bahkan identik dengan Soekarno. Mendiang presiden pertama inilah yang mempopulerkan istilah Demokrasi Terpimpin dalam kampanyenya “melawan” sistem parlementer yang disebutnya sebagai “Demokrasi Barat” atau “Demokrasi 50 persen lebih satu”. Soekarno pula yang berjaya memimpin pemerintahan di bawah sistem ini selama hampir enam tahun (1959-1965). Tetapi sebagai sebuah konsep, Demokrasi Terpimpin sebelumnya pernah disebut oleh tokoh lain dan hal ini diakui oleh Soekarno. Suatu ketika Soekarno mengatakan :

“Sebelum Bung Karno pergi ke R.R.Tj., sebelum Bung Karno pergi ke Sovjet Uni, Bung Karno sudah kadang2 mengutjapkan Demokrasi Terpimpin. Bahkan tanja kepada Ki Hadjar Dewantara, saudara2, di dalam tahun 1928, tiga puluh tahun jang lalu, Ki Hadjar Dewantara telah berkata dalam bahasa Belanda, kita memerlukan “Democratie met leiderschap”. Bukan demokrasi jang sekedar zonder leider, zonder pimpinan, de helft plus heeft altijd gelijk. Bukan ! tetapi demokrasi met leiderschap”. [94]

 

Ki Hajar Dewantara adalah tokoh pergerakan dan pendidikan yang- karena jasa-jasanya, hari lahirnya dijadikan sebagai hari pendidikan nasional.[95] Dalam sebuah tulisannya yang dimuat “Wasita”, tahun ke-1, no. 4 bulan Juni 1935, berjudul “Sistim Trisentra” Ki Hajar Dewantara menyebut bahwa dalam mendidik “guru-guru harus bersatu faham; kalau tidak dapat demikian, janganlah organisasi perguruan didasarkan atas demokrasi secara Barat, tetapi harus bersandar leiderschap atau pimpinan.[96]Tulisan itu sendiri berbicara mengenai pentingnya tiga pusat (Tri Sentra) dalam keberhasilan pendidikan. Tiga pusat tersebut adalah keluarga, sekolah, dan pergerakan.

            Istilah Democratie met Leiderschap (demokrasi dengan kepemimpinan) itu sendiri, bagi Ki Hajar Dewantara, sering dihubungkan dengan istilah “Demokrasi Kekeluargaan”. Demokrasi Kekeluargaan adalah kondisi yang tercipta dari pendidikan yang berasaskan kemerdekaan, berorientasi kepada kebudayaan sendiri, kerakyatan, kepercayaan kepada kekuatan sendiri untuk tumbuh dan disertai rasa pengabdian tinggi, memahami kemajuan sebagai bagian perkembangan kodrati dalam suatu sistem among. Salah satu segi dari sistem among ialah kewajiban para guru untuk bersikap “sebagai pemimpin yang mempengaruhi dari belakang, membangkitkan pikiran murid bila berada di tangah-tengah mereka dan memberi contoh bila didepan mereka”.[97]

            Menurut konsep demokrasi kekeluargaan, gambaran masyarakat yang dicita-citakan ialah (seperti dalam hidup keluarga) di mana setiap orang sama derajatnya, sama haknya, sama-sama bebas dan merdeka. Akan tetapi apabila kebebasan masing-masing itu akan mengganggu ketertiban dan keselamatan masyarakat banyak harus ada tindakan penyelamatan yang tegas, kalau perlu secara keras mengganggu pengganggu-pengganggu ketertiban. Dan yang mengambil tindakan adalah pemimpin yang bijaksana, yang tindakannya tidak berdasarkan kesewenang-wenangan atau berdasarkan pikiran yang pendek, tetapi berdasarkan musyawarah dengan pemimpin-pemimpin masyarakat lainnya. Itulah yang kemudian dirumuskan sebagai “hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dalam permusyawaratan/ perwakilan di dalam Pancasila”.[98]

            Sejauhmana hubungan antara konsep Soekarno dan Ki Hajar Dewantara mengenai Demokrasi Terpimpin atau Democratie met Leiderschap tentunya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.[99] Di sini penyusun tidak berpretensi untuk melakukan pelacakan, kecuali untuk menghadirkannya sebagai pengantar. Hal ini karena Idham Chalid mengutip ucapan Soekarno (yang juga mengutip Ki Hajar Dewantara) mengenai Demokrasi Terpimpin dalam buku yang menjadi rujukan utama penelitian ini. Hal yang relevan untuk disebutkan di sini adalah konsep Demokrasi Terpimpin yang dipaparkan Soekarno sejak tahun 1956.

Pada bulan Oktober 1956 Presiden Soekarno mengecam apa yang disebutnya sebagai ‘penyakit partai’ dan mendesak agar partai-partai sebaiknya “dikubur”. Soekarno mengusulkan “Demokrasi Liberal” diganti dengan “Demokrasi Terpimpin”, demokrasi dengan kepemimpinan, dan mengatakan bahwa ia memiliki ‘konsepsi’ untuk mengatasi berbagai masalah politik di Indonesia. Rincian ‘konsepsi’ akan diumumkan oleh Soekarno di kemudian hari.[100]

Soekarno kemudian mengumumkan konsepsinya di depan 900 tokoh politik dan pemimpin lainnya di Istana pada 21 Februari 1957. Sebagai titik tolak, ia mengulangi peringatannya supaya tidak meniru bentuk-bentuk bangunan politik negara lain, tetapi dengan memperhatikan lembaga-lembaga yang sesuai dengan sifat-sifat dan jiwa bangsa sendiri. Ia menolak gagasan demokrasi liberal dengan alasan bahwa demokrasi jenis itu adalah bentuk yang diimpor dari Barat, yang mengizinkan pemaksaan mayoritas atas minoritas. Ini bukanlah cara Indonesia. Ia mengatakan telah mendapatkan suatu gaya untuk mencapai kata sepakat dalam pengambilan keputusan pemerintah yang telah berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia – dalam bentuk musyawarah di pedesaan. Keputusan-keputusan hanya diambil sesudah pertimbangan-pertimbangan yang lama dan cermat. Selama ada golongan minoritas yang belum yakin akan suatu usul, musyawarah diteruskan, sampai akhirnya di bawah tuntutan seorang pimpinan, dicapai kata sepakat. Tata cara musyawarah untuk mufakat yang khas Indonesia ini bersama dengan Kepemimpinan, memungkinkan semua pendapat dipertimbangkan dengan menenggang perasaan minoritas; dan ini seharusnya menjadi model untuk bangsa Indonesia. Demokrasi liberal didasarkan kepada pertentangan – tata kerja musyawarah untuk mufakat meningkatkan kerukunan.[101]

Dalam menerjemahkan prinsip-prinsip ini ke dalam bentuk perangkat politik nyata, Soekarno mengajukan dua usul. Pertama, ia menyarankan dibentuknya apa yang dinamakannya ‘kabinet gotong-royong’ yang mewakili semua partai. PKI sekarang sudah menjadi unsur yang sangat penting sehingga tidak mungkin tidak memasukkannya ke dalam kekuasaan, katanya. Partai ini adalah satu bagian yang sah dari revolusi dan ia seharusnya diberi kesempatan untuk ikut serta dalam pembentukan suatu kesepakatan nasional. Dengan demikian, suatu pemerintahan yang berdiri di atas empat kaki, terdiri dari PNI, Masyumi, NU dan PKI, dan mungkin dibantu oleh wakil-wakil partai kecil lainnya, Kabinet gotong-royong ini akan lebih mampu menjalankan kebijaksanaan politik nasional yang dapat diterima dan meningkatkan kerukunan persatuan nasional daripada suatu kabinet koalisi yang terus-menerus diganggu oleh oposisi. Perkataan ‘gotong-royong’, kata Soekarno, adalah perkataan asli Indonesia yang menggambarkan jiwa Indonesia yang semurni-murninya. [102]

Ia selanjutnya mengatakan, bahwa ini bukan langkah ke kiri. “Ada orang berkata, Bung Karno mengusulkan konsepsi ini untuk membawa kabinet ke aliran kiri. Tidak, saudara-saudara, buat saya tidak ada istilah kiri, tidak ada istilah kanan! Saya sekedar menghendaki bangsa Indonesia utuh kembali”. Pernyataan ini kembali ditegaskan oleh Soekarno dalam kuliah umum di depan mahasiswa universitas Pajajaran bulan Mei 1958. Sambil “memamerkan” kemampuannya berbahasa asing, Soekarno berkata  :

Saja sudah memberi keterangan, apa itu demokrasi terpimpin. Bahwa demokrasi terpimpin itu his nothing to do with communism, bahwa demokrasi terpimpin itu heeft niets te maken met communisme, bahwa demokrasi terpimpin sama sekali tidak ada hubungannja dengan komunis. [103]

 

Kedua, ia mengusulkan pembentukan suatu Dewan Nasional, di bawah pimpinannya yang dapat memusyawarahkan garis-garis besar politik nasional. Dewan ini bukan suatu badan perwakilan partai-partai, tetapi perwakilan dari golongan-golongan fungsional – terdiri dari wakil-wakil buruh, tani, cendekiawan, pengusaha nasional – Islam, Protestan, Katolik – angkatan bersenjata, organisasi pemuda, organisasi wanita, dan juga wakil-wakil daerah. Dewan Nasional ini, katanya, adalah pencerminan dari masyarakat secara keseluruhan, sebagaimana kabinet empat kaki itu adalah pencerminan dari perlemen. Dengan memasukkan unsur-unsur utama dari masyarakat bangsa, maka keduanya, Pemerintah dan Dewan Nasional, akan dapat mengambil keputusan yang bukan didasarkan kepada penjegalan minoritas oleh mayoritas, tetapi didasarkan kepada musyawarah untuk mufakat, dan dengan demikian akan mendapat dukungan seluruh bangsa.[104]    

Itulah konsep Soekarno tentang Demokrasi Terpimpin, dan bila kita berusaha menangkap kata kunci dari konsep ini, dapatlah kita sebut beberapa di antaranya : musyawarah mufakat (sebagai lawan dari voting) dan pemimpin. Sementara keterlibatan PKI dalam pemerintahan dan pembentukan Dewan Nasional merupakan wacana politik yang akan dikampanyekan Soekarno. Berikut kita akan masuk kepada pemikiran Idham Chalid.

B.  Demokrasi dan Syu>ra

            Idham Chalid, ketua umum partai NU, adalah salah seorang yang berusaha “membaca” gagasan Soekarno ini. Sebuah gagasan yang menimbulkan pro-kontra baik di tingkatan pemikiran maupun politik praktis. Sebuah gagasan yang hadir di tengah pencarian bentuk demokrasi yang cocok untuk diterapkan di Indonesia (Syamsuddin Haris: 1994), bahkan di tengah pergumulan “pencarian identitas” sebagai sebuah bangsa yang baru lepas dari cengkeraman kolonialisme.

Marilah kita lihat bagaimana Idham melakukan “pembacaannya” atas Demokrasi Terpimpin. Demokrasi didasarkan pada keyakinan bahwa semua manusia adalah anggota masyarakat yang bebas dan memiliki hak yang sama. Lawan Demokrasi ialah Oligarki (dari bahasa Yunani : Oligoi, golongan kecil). Yakni, pemerintahan oleh segolongan kecil yang berkuasa. Demokrasi bersandar pada hak suara setiap anggota masyarakat yang dewasa untuk memilih parlemen, yang merupakan badan perwakilan segala partai, agama dan sebagainya seperti termaktub dalam undang-undang dasar. Hakekat demokrasi ialah menghormati pendapat golongan minoritas dan inilah perbedaannya dengan diktatur.

            Penjelasan di atas dikutip dari bagian ketiga buku “Islam dan Demokrasi Terpimpin” (h. 31). Bagian tersebut membahas tentang Demokrasi. Paham Demokrasi, lanjut Idham, sudah sejak lama hidup di muka bumi ini, yaitu sejak zaman keemasan kebudayaan Yunani. Telah banyak sarjana yunani kuno seperti Plato dan lain-lainnya yang membicarakan subyek ini. Walaupun demikian, sebenarnya demokrasi yang dipraktikkan di Yunani itu sangat jauh dari sempurna, karena perbedaan dalam hak-hak manusia dan status sosial dianggap sesuatu yang wajar.[105] Perbedaan muncul karena masih adanya perbudakan di zaman Yunani, serta karena anak-anak dan para wanita tidak memiliki hak politik. Hanya kaum laki-laki dewasa dan merdeka yang memiliki hak untuk menentukan kebijakan.[106]  

            Paham demokrasi tumbuh dan berkembang begitu rupa selama ribuan tahun sesudahnya, sehingga sekarang kita melihat negara-negara atau pemerintahan-pemerintahan di dunia ini menamakan diri sebagai Pelaksana atau penganut Demokrasi.  Idham mengkualifikasi dua macam demokrasi : Demokrasi Politik dan Demokrasi Masyarakat Sosial. Demokrasi politik berlambangkan “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.  Sedangkan Demokrasi Masyarakat Sosial berlambangkan “pemerintahan untuk kepentingan rakyat”. Tidak peduli siapa yang memerintah, bagaimana caranya dan atas hak apa mereka memerintah.[107] 

            Yang paling menonjol dan yang menjadi syarat mutlak bagi orang di dalam menilai suatu “demokrasi” biasanya ialah : sampai di mana kebebasan rakyat untuk bersuara menyatakan pikirannya, atau dengan kata lain, sampai di mana pihak yang berkuasa menghargai atau menjunjung “musyawarah” dan meletakkannya dalam badan apa, bagaimana pembentukan badan tersebut, sebesar apa kekuatannya, dan sampai di mana faktor musyawarah itu mempengaruhi dalam setiap kebijakan negara.[108]

            Bagi rakyat yang berpikir sederhana, apabila disebut “Demokrasi”, maka yang terbayang pertama kalinya di otak mereka bukanlah hak yang bermacam-macam yang dilahirkan oleh demokrasi itu. Tetapi yang paling pertama ialah mereka merasa bahwa negaranya diperintah dengan musyawarah, di mana mereka pun juga dalam tingkat tertentu diajak bertukar pendapat (musyawarah). Idham menyimpulkan bahwa faktor musyawarah, bagaimanapun caranya dan apapun peranannya di dalam sebuah negara adalah termometer (alat ukur) demokrasi di negara itu. Alasannya adalah karena dalam pengalaman sejarah apabila hak mengeluarkan suara atau hak musyawarah telah diperkosa atau dihilangkan, maka hak-hak yang lain sudah pasti tak ada lagi. Dengan demikian faktor “musyawarah” adalah “ukuran minimal” dari demokrasi suatu negara.[109]  

            Paparan Idham tentang demokrasi bisa disimpulkan dalam tiga poin utama. Yakni, (1) bahwa hakikat demokrasi adalah menghargai pendapat golongan minoritas, (2) kebebasan rakyat menyatakan pendapat atau kemauan penguasa bermusyawarah merupakan ukuran demokrasi dalam suatu negara dan terakhir (3), bahwa musyawarah adalah ukuran minimal dari demokrasi. Dan dari tiga poin di atas dapat terlihat bahwa demokrasi, dalam pemikiran Idham, sangat berkaitan dengan musyawarah.

            Setelah menemukan keterkaitan antara demokrasi dan musyawarah, Idham mulai menengok ke dalam tradisi Islam. Idham menyatakan bahwa kita dapat menemukan sebagian bukti-bukti “Demokrasi dalam Islam”. Bukti-bukti tersebut “berciri” musyawarah yang dapat ditemukan dalam tradisi Islam, baik pada teks-teks suci, yakni al-Qur’an dan al-Hadits, jejak langkah para sahabat maupun karya para ulama.[110]

Beberapa “bukti” mengenai keberadaan demokrasi dalam Islam, yaitu :

1.  al-Qur’an

والَذين استجابوا لربِهم وأَقاموا الصّلاة وأَمرهم شورى بينهم ومما رزقناهم ينفقون[111]

فبِما رحمة من الله لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القَلب لانفضوا من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في الأَمر فإِذا عزمت فتوكل على اللّه إِن اللّه يحب الْمتوكلين [112]

2. Pendapat Syaikh al-Azhar, Ustazd al-akbar Mahmud Syalthut dalam karyanya al Islam, ‘Aqi<dah wa Syari’ah. Syalthut, sebagaimana dikutip Idham, menjelaskan bahwa musyawarah adalah dasar dari segala hukum yang sempurna dan merupakan sebuah metode mencari kebenaran. Dalam musyawarah dapat ditemukan pikiran-pikiran yang matang.[113]

Al-Qur’an  memerintahkan sy>ura (musyawarah) dan menjadikannya sebagian unsur dalam pemerintahan Islam. Sebuah surah di dalam kitab suci dinamai “asy Sy>ura” menempatkan musyawarah pada posisi yang tinggi, yakni sebagai salah satu sendi keimanan. Musyawarah menjadi satu rangkaian dengan kesucian hati dan tawakkal, pemeliharaan diri dari perbuatan nista, serta taqarrub ilallah dengan melaksanakan sholat .[114]

Musyawarah memunculkan solidaritas dan perasaan bersaudara (ukhuwwah), serta memicu orang untuk mengorbankan harta benda di jalan Allah. Dengan sy>ura kejahatan dan angkara murka akan dikalahkan. Demikianlah yang disimpulkan Syalthut dari surah asy Sy>ura ayat 36-39.

Ayat ini, ujar Syeikh al Azhar, diturunkan sesudah kekalahan pahit kaum muslimin di perang Uhud. Setelah itu Allah memerintahkan Rasulullah untuk bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya dalam berbagai persoalan, termasuk pengembangan masyarakat. Hal ini antara lain menyebabkan terikatnya hati rakyat dan memunculkan rasa tanggung jawab bersama dalam menghadapi tantangan. [115]

3. Sebuah hadits yang diriwayatkan al Baihaqi dari Ibnu Abbas. Para periwayat ini menjelaskan ketika turun ayat  وشاورهم في الأَمر, rasulullah bersabda:

اما ان الله ورسوله لغنيان عنها ولكن جعلها الله رحمة لامتي ( رواه البيهقى [116](

4. Dalam tafsir as Shawi juz IV, sebagaimana dikutip Idham, disebutkan bahwa sebelum rasulullah hijrah, orang-orang Anshar (muslim Madinah) telah mempraktikkan musyawarah di antara sesama mereka dalam hampir setiap masalah. Allah memuji mereka dan memerintahkan rasul-Nya untuk bermusyawarah dengan mereka lewat firmannya: وشاورهم في الأَمر

Musyawarah itu menarik lebih banyak simpati dan menjinakkan hati. Metode musyawarah digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan ijtihadiyyah (yang tidak ada penjelasan dalam Al-Qur’an  dan al Hadits), seperti strategi berperang, mekanisme bertahan dan sebagainya. Tentu saja Rasulullah tidak mengajak bermusyarah dalam soal-soal Syara’, karena masalah itu harus dikembalikan kepada wahyu. [117]

Sepeninggal Nabi, para sahabat bermusyawarah di antara sesama mereka dalam masalah agama maupun dunia. Yang pertama kalinya mereka musyawarahkan adalah soal Khilafah (pengganti Rasulullah), karena tidak ada wasiat tertentu dari Rasulullah untuk masalah ini. Dalam sidang itu Umar bin Khattab berucap : ”kami bisa percayakan urusan dunia kami pada seseorang sebagaimana kami percayakan urusan agama kami pada Rasulullah semasa hidupnya”. Sebagai hasil dari pertemuan itu, Abu Bakar as Siddiq terpilih menjadi khalifah pertama.[118]

Empat poin di atas semuanya berbicara mengenai syu>ra (musyawarah). Menurut Idham syu>ra adalah bukti demokrasi dalam Islam atau dengan kata lain, Idham ingin mengatakan demokrasi dalam Islam adalah syu>ra (musyawarah)

C. Syu>ra : Kritik atas Demokrasi Parlementer.

Lalu bagaimana harusnya bermusyawarah? Siapa saja yang diajak bermusyawarah dan bagaimana cara mengambil keputusan di dalamnya? Idham melakukan pencarian mengenai “panduan bermusyawarah” di dalam jejak langkah Rasulullah dan para sahabat (dikutip dari karya Chudari Bek). Rasulullah selalu bermusyawarah dan mendengarkan pendapat para ahli di bidangnya masing-masing. Abu Bakar dan Umar bin Khatta>b, dua sahabat yang  menjadi tokoh dan dikenal masyarakat karena kepemimpinannya, diajak Rasulullah bermusyawarah dalam hal peperangan, pemerintahan sehari-hari, dan soal hubungan dengan negara-negara lain.

Pendapat Hubab bin Mundzir diambil ketika menentukan posisi yang strategis dalam perang Badr. Soal tawanan perang Badr  juga dimusyawarahkan dengan para sahabat. Dalam soal pertahanan kota Madinah, Rasulullah menyepakati usulan Salman al Fa>risi. Ali bin Abi Tha>lib diajak bermusyawarah dalam masalah rumah tangga dan banyak lagi contah-contah lainnya.

Demikianlah, ujar Idham, dalam setiap musyawarah tersebut Rasulullah menunjukkan penghargaan terhadap pendapat orang lain, terutama para ahli (experts) dalam setiap bidang dan

…nampak kelihatan bahwa Rasulullah SAW tidak MUSJAWARAH asal MUSJAWARAH sadja, ja’ni berunding dengan setiap orang dalam segala persoalan dan kemudian untuk mengambil kesimpulan/ keputusan diadakan stem-steman adu kekuatan, cari menang-menangan suara semata, seperti jang biasa dalam Demokrasi Parlementer Barat jang sudah usang. Tidak ! Rasulullah tidak pernah memberikan tjontoh demikian. Rasulullah memberikan tjontoh bagaimana orang ber-MUSJAWARAH bukan berdebat atau berkelahi dengan kata-kata ![119]

 

Pendapat terbanyak bukanlah segalanya di dalam menentukan keputusan, menurut Idham. Dia mengajukan dua contoh kasus yang dialami para sahabat. Pertama, ketika Khalifah Abu Bakar baru memulai tugasnya, ia langsung menghadapi sekian masalah. Ada sekelompok orang yang meninggalkan Islam, ada yang tidak mau membayar zakat, dan ada pula yang mengaku sebagai Nabi, seperti Musailamah al Kazdzda>b di Yamamah, Dzu al Hima>r di Yaman, Thulaihah bin Chuwailid dari Banu As’ad. Abu Bakar lalu bermusyawarah dengan para sahabat untuk menentukan sikap dan kebijakan.

Pendapat yang mendapat dukungan terbanyak adalah mengusahakan jalan damai dengan kelompok-kelompok tersebut. Pertimbangannya adalah jumlah para penyeleweng lebih besar dari pada kaum muslim yang tetap loyal dan taat pada Khalifah. Mendengar pendapat sebagian besar anggota sidang musyawarah yang serba ragu-ragu dan takut bertindak tegas ini, Abu Bakar berseru dengan suara yang menggetarkan: “Demi Allah, demi keselamatan Agama ini, kita harus bertindak tegas kepada penyeleweng-penyeleweng itu semua sampai mereka sadar dan mau kembali kepada yang haq, atau sampai Abu Bakar mati dalam menegakkan kalimah Allah”.

Walaupun djumlah anggauta sidang permusjawaratan jang sependapat dengan Chalifah Abu Bakar Shiddieq r.a. pada mulanja merupakan golongan jang lebih sedikit (minderheid), tetapi sidang para sahabat jang mengerti benar2 arti MUSJAWARAT, arti PIMPINAN, dan arti TANGGUNG DJAWAB dalam Islam, maka achirnja mereka pun tunduk pada keputusan tersebut….[120] 

 

 

Kedua, ketika terjadi perang Shiffi>n (antara Khalifah ‘Ali bin Abi Thali>b dan Mu’awiyah), dan nampak kemenangan pasukan Ali hampir dapat dipastikan, tiba-tiba dari pihak tentara Mua’wiyah ada orang yang mengangkat Mushhaf sambil berteriak : “inilah kitab yang harus menyelesaikan persengketaan kita!”

Banyak tentara Ali yang terpesona oleh teriakan itu. Mereka lalu mendesak Ali agar menghentikan pertempuran, walaupun kemenangan sudah nyata di depan mata. Sebagai ahli politik dan strategi perang Ali mula-mula menolak permintaan ini. Tapi, ada yang berkata dengan tajam : “Mereka memanggil kita untuk berhukum dengan Kitab Allah dan angkau masih mau berhukum dengan pedang?!”. Kata-kata itu terlalu menusuk perasaan khalifah Ali dan banyak yang mendukung usul ini. Akhirnya, Ali bin Abi Tha>lib mengalah. 

            Sebagaimana kita ketahui kemudian, disepakatilah tahki>m[121]  dimana Ali dikalahkan secara menyakitkan. Khalifah Ali terkecoh, karena beliau pada saat yang begitu menentukan “hanya tunduk pada suara yang terbanyak yang belum tentu HAQ dan BUKAN AHLI-nya”.[122] Anehnya sesudah selesainya peristiwa dramatis itu, banyak dari orang-orang yang telah memberi anjuran atau memaksa untuk gencatan senjata dan ber-tahki>m, malah berkata pada Ali :“memang kami keliru, tetapi kenapa engkau mau menuruti kekeliruan kami ?! padahal engkau adalah khalifah, seharusnya lebih jauh pandangan dan lebih teliti pemikiran dari kami”, demikianlah akhirnya ucapan mereka. Idham menutup kisah ini dengan komentar :

Boleh djadi kita djidjik atau bentji terhadap mentaliteit pengikut Ali jang serupa itu, tetapi setjara djudjur terpaksa kita akui, bahwa ada benarnja “isi” utjapan itu.

Mengapa waktu itu hanja berpedoman kepada suara terbanjak (meerderheid) sadja; sedangkan Rasulullah SAW menjuruh musyawarah dan memimpin, bukan musyawarah sekedar tjari suara banjak, sehingga harus mengenjampingkan pendapat seorang Pemimpin Besar, Penanggung djawab, seorang ahli jang melebihi sahabat2 lainnja pada masa itu.[123]

 

Islam tidak mengajarkan untuk mengadu suara dalam mengambil keputusan. Pendapat yang paling benar dan tepat bukanlah yang didukung mayoritas, melainkan didasarkan pada faktor dari mana pendapat itu berasal: dari seorang ahli atau bukan. Jika terjadi perbedaan pendapat di antara sesama anggota permusyawaratan, padahal kapasitas mereka setara dalam arti sama-sama ahli untuk bermusyawarah (ahl halli wal ‘aqd), maka dalam kondisi itu Rasulullah, sebagaimana dijelaskan Idham,  memberi petunjuk

…فاذ اختلفتم فعليكم بالسواد الاعظم مع الحق و اهله  [124]

Ungkapan sawa>d al ‘adzam  (suara mayoritas) adalah sesuatu yang umum (lafdz Al ‘A<mm) telah ditakhsi<s dengan kalimat ma’ al haq wa ahlih (disertai kebenaran dan keahlian).[125] Dengan bahasa langsung bisa dijelaskan dengan “suara yang terbanyak (meerdeheid, majoriteit) yang disertai kebenaran dan keahlian”.

Keputusan yang didasarkan semata-mata pada suara terbanyak tanpa melihat haq dan keahlian, bisa menjerumuskan kepada bahaya dan kesesatan. Firman Allah:

وإِن تطع أَكثر من في الأَرضِ يضلُوك عن سبِيلِ اللّه إِن يتبعون إِلا الظّنّ وإِن هم إِلا يخرصون[126]

Lewat contoh-contoh yang di dapat dari para sahabat, Idham melakukan kritik terhadap cara pengambilan keputusan di dalam demokrasi Parlementer. Dalam sistem tersebut, sebuah pendapat bisa lolos menjadi keputusan apabila mendapat dukungan mayoritas. Cara ini dianggap demokratis dan mendekati kebenaran. Persoalannya kemudian, apakah pendapat yang didukung mayoritas selalu benar? Lalu bagaimanakah mencari tahu sebuah keputusan itu benar atau salah?. Bagaimana pula dengan faktor kepentingan yang bermain di setiap “pertarungan” mengambil keputusan?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut senantiasa memunculkan perdebatan. Yang jelas, bagi Idham kesadaran akan arti tanggung jawab (baik terhadap rakyat  atau keyakinan) haruslah tertanam dalam diri setiap orang yang bermusyawarah.

Seorang pemimpin yang baik tidak hanya harus menghargai pendapat para ahli dalam mengambil keputusan, ia juga mesti mengerti arti tanggung jawab yang diembannya, sehingga tidak sembarang memutuskan. Pada titik ini, walaupun tidak merinci lebih jauh, Idham menganggap penting arti dan kedudukan seorang pemimpin. Idham menegaskan arti tanggung jawab bagi seorang pemimpin dengan mengutip sebuah hadits yang sangat terkenal :

كلكم راع و كلكم مسئول عن رعيته. فالامام راع وهو مسئول عن رعيته[127]

Hal-hal yang telah dibahas di atas, yakni bermusyawarah dengan para ahli, tidak semata-mata mengandalkan suara terbanyak dalam mengambil keputusan, dan pentingnya kesadaran akan tanggung jawab bagi seorang pemimpin dan anggota permusyawaratan adalah pokok-pokok pikiran Idham tentang syu>ra. Syu>ra yang menurut Idham merupakan bentuk demokrasi di dalam Islam.

Idham berkesimpulan bahwa demokrasi dalam Islam sangat berbeda dengan demokrasi liberal Barat (menunjuk pada sistem Parlementer)

…yang memakai de helft plus een altijd gelijk (separuh lebih satu, harus selalu benar). Demokrasi Islam juga bukan demokrasi pura-pura (schijn democratie) dimana seorang diktator telah memutuskan sesuatu sebelum musyawarah. Musyawarah yang berlangsung kemudian tidak lebih sebagai formalitas untuk melegalisir kemauan para diktator saja.[128]

 

Dengan demikian apa yang hendak dikatakan oleh Idham sesungguhnya adalah bahwa jika yang dikritisi oleh Demokrasi Terpimpin dari sistem liberal adalah pentingnya suara mayoritas, maka Islam melakukan hal yang sama. Islam tidak pernah mengajarkan mengambil keputusan semata-mata karena banyaknya dukungan. Begitu pula, jika yang diandaikan oleh Demokrasi Terpimpin adalah suasana yang menghargai pendapat minoritas, musyawarah mufakat yang menghasilkan keharmonisan tanpa mengadu perlu suara, bukannya perpecahan sebagaimana yang menjadi efek samping sistem liberal, maka Islam pun mengajarkan hal yang sama. Oleh karena itu, Demokrasi Terpimpin sesungguhnya sejalan dengan syu>ra dalam Islam.

Tetapi, Idham tidak berhenti sampai di sini saja. Ia juga mewaspadai bahaya kediktatoran seorang pemimpin. Kediktatoran yang telah tercium sejak Soekarno mengkampanyekan gagasannya. Bagi Idham, seorang pemimpin tak boleh hanya mengandalkan kekuasaannya. Ia mesti mendengar dan sungguh-sungguh menghargai pendapat orang. Demokrasi terpimpin dalam Islam menurut Idham “bukanlah terpimpin oleh kemauan seseorang, bukan oleh nafsu berkuasa manusia, dan bukan oleh sembojan2 kosong, tetapi terpimpin oleh haq dan ahlinya.”[129]

Akhirnya, Demokrasi Terpimpin bisa sesuai dengan Islam apabila ada dua unsur yang saling melengkapi, saling mengisi dan saling mengawasi. Kedua unsur tersebut adalah: unsur musyawarah yang menghargai pimpinan dan unsur pimpinan yang menghargai musyawarah, atau dengan kata lain “sang pemimpin yang menghargai hikmat kebijaksanaan musyawarah dan ahli musyawarah yang menyadari dan menghargai leiderschap seorang pemimpin.”[130]  

 

 

 

 

 

 

BAB IV

KONTEKS SOSIAL DAN POLITIK : FAKTOR-FAKTOR YANG  MEMPENGARUHI PEMIKIRAN IDHAM CHALID

            Suatu pemikiran tidaklah bisa dilepaskan dari konteks sosial dan politik yang mengitarinya. Terlebih dalam upaya memahami pemikiran Idham yang merupakan tokoh politik yang sangat terkait dengan, tidak saja konteks politik saat dia mengemukakan pemikirannya, juga situasi sosial yang membentuk karakter berfikirnya. Berikut akan dipaparkan beberapa faktor sosial dan politik yang sangat mempengaruhi pemikiran Idham mengenai demokrasi terpimpin.

A. Kepemimpinan dalam NU dan Kecenderungan Bekerjasama.

            Fakta yang tak terelakkan dalam rangka melihat konteks sosial politik pemikiran tokoh ini adalah bahwa ia seorang pimpinan partai NU.Posisi itu sangat berpengaruh pada pemikirannya (NU memutuskan mendukung Demokrasi Terpimpin). Selain itu, sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan dan partai politik, NU memiliki nilai-nilai yang berpengaruh pada pribadi Idham.

NU pada mulanya didirikan sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyyah) oleh sekelompok ulama tradisional tahun 1926. Identitas yang disandangnya adalah penganut paham ahl al-sunnah wa-al jama’ah, yang merujuk kepada paham golongan Sunni. Dalam hal teologi dogmatis, NU mengikuti al Asy’ari (873-935) dan pada urutan berikutnya, al Maturidi (w. 944), yang ajarannya menjadi sendi utama teologi Sunni standar. Dalam bidang Fikih NU menganut salah satu dari empat madzhab, yakni Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah an Nu’man, atau Imam Ahmad bin Hanbal dan terutama Imam Muhammad bin Idris as Syafi’i. Yang terakhir, di bidang sufisme mereka merujuk pandangan Junaid al Bagdadi (w. 911) dan terutama Al-Ghazali (1058-1111). Basis massa organisasi ini adalah para kiai, pesantren dan kaum muslim tradisional. [131]

            Pada September 1937 para tokoh NU, Muhammadiyah dan SI bersama-sama membentuk MIAI (Majlis Islam A’laa Indonesia). Federasi organisasi Islam ini bertujuan meningkatkan komunikasi dan kerja sama di antara umat Islam. MIAI dibubarkan dan sebagai gantinya pada bulan November 1943 dibentuklah Masyumi (Majelis Syuro Muslimim Indonesia) oleh Jepang. NU dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam yang diakui, menjadi inti organisasi baru ini. Pada bulan November 1945, Masyumi berubah menjadi partai politik untuk mengikuti anjuran pemerintah Republik untuk membangun demokrasi multi partai. Sebuah kesepakatan ditandatangani oleh  semua anggotanya bahwa Masyumi akan menjadi satu-satunya kendaraan politik Islam. Akan tetapi, akibat memuncaknya ketegangan dan pertikaian di tubuh Masyumi, NU di tahun 1952 menarik diri dan kemudian mendirikan partai politik sendiri. [132]

Pada pemilu 1955, NU mengejutkan semua peserta pemilu dengan menjadi partai pemenang ketiga. Kursinya di DPR melonjak menjadi 45 buah dan menjadikannya kekuatan penentu dalam hampir setiap pengambilan keputusan. Wakil-wakil NU juga tidak pernah absen dari kebinet pemerintahan dan sekarang, telah menduduki posisi penting. Saat demokrasi terpimpin dijalankan secara resmi tahun 1959, NU memilih bekerja sama dengan rezim Soekarno dengan berbagai tuntutannya walaupun masih dalam koridor ideologi politiknya. Ketika rezim Soekarno tumbang dan rezim orde baru menapaki kekuasaan, NU menjadi salah satu penyokongnya. Partai ini bahkan terlibat di dalam “pembersihan” dan penumpasan orang-orang yang dianggap terlibat dengan PKI. Komunisme adalah suatu hal yang ingin dibuang oleh rezim orde baru, sebagaimana Masyumi dan PSI disingkirkan dari panggung politik oleh Soekarno karena dianggap sebagai kekuatan kontra revolusioner.  

            Ideologi politik keagamaan NU berasal dari filsafat politik Sunni abad pertengahan. Filsafat politik ini sudah mengalami perkembangan selama sekitar 500 tahun, diawali pada abad ke 9 oleh para ulama fikih, seperti Al Baqillani (950-1013), Al Bagdadi (w. 1037), Al Mawardi (974-1058), Al Ghazali (1058-1111), Ibnu Taymiyyah (w. 1328), ibu Jama’ah ( w. 1333), dan Ibnu Khaldun (w. 1406).[133] Dalam kesimpulan penelitiannya, Fealy menjelaskan, bahwa ideologi politik keagamaan NU tersebut meletakkan prioritas tertinggi pada perlindungan terhadap posisi Islam dan para pengikutnya. Ideologi ini menuntut kaum muslimin, terutama para ulama yang memimpin mereka, agar menjauhi segala bentuk aksi yang dapat mengancam kesejahteraan fisik dan spritual masyarakat. Ada sejumlah dalil fikih yang membentengi prioritas tersebut, di antaranya adalah jalb al maslahat (mengejar kemanfa’atan) dan daf’ al mafsadah (menghindari kerusakan), amar ma’ruf nahi mungkar ( menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran) dan akhaffud-dararrain (memilih yang paling kecil resikonya dari pilihan yang sama-sama buruk).[134]  

            Prinsip-prinsip yang dianut ini membawa beberapa konsekuensi terhadap pendakatan politik NU. Pertama, prinsip-prinsip ini dalam banyak situasi, lebih menekankan perlunya bersikap hati-hati, luwes dan memilih jalan tengah karena pendekatan ini jelas tidak begitu membahayakan dibandingkan dengan sikap memusuhi dan konfrontasi. Kedua, prinsip-prinsip ini membentuk pandangan yang realis dengan menempatkan kekuasaan sebagai penentu utama dalam memilih strategi. Sebelum mengambil keputusan-keputusan penting, para ulama harus terlebih dahulu memperhitungkan kekuatan umatnya di hadapan kekuatan pemerintah atau kekuatan lain di masyarakat. Melakukan perlawanan terhadap kekuatan yang lebih besar hanya akan memperbesar resiko kerugian bagi Islam. Ketiga, prinsip-prinsip ini memberikan dorongan yang kuat kepada NU untuk menggunakan pendekatan partisipasionis terhadap pemerintah. Bila ingin menggunakan politik untuk mencapai tujuannya, maka NU juga harus ikut memiliki andil kekuasaan dalam pemerintahan.[135]

            Selain hal yang bersifat makro di atas, Idham secara pribadi adalah seorang politisi moderat yang cenderung memilih kerja sama dari pada konfrontasi. Tempo menggambarkannya sebagai “tokoh moderat, lunak dan lebih suka mengikuti arus- tanpa hanyut ke dalamnya.”[136] Pendirian Idham ini telah disinggung pada bab II, tetapi untuk kepentingan pembahasan di sini, penyusun akan memberikan sedikit gambaran dari sumber yang belum disebutkan.

            Pendirian Idham melahirkan sikap politik yang luwes. Ada sebuah pernyataan klasik dari Idham Chalid mengenai hal ini. Dalam sebuah pertemuan partai pada 1959 ia mengatakan bahwa “Dari sudut pandang politik dalam negeri, Nahdlatul Ulama selalu mencoba sedapat mungkin, untuk menyesuaikan diri dengan waktu dan peristiwa yang sedang terjadi dan tidak pernah mengajukan sesuatu yang bersifat absolut dan tanpa syarat.”[137]   

            Idham membantah pandangan bahwa konsistensi sama artinya dengan kepemimpinan yang baik. Ia pernah menggunakan sebuah kisah tentang perbandingan dua ulama besar, Imam Syafi’I dan Imam Hanbali dalam menghadapi pengadilan Mihnah di zaman khalifah Abbasiyah Al-Ma’mun (w. 833). Pengadilan diselenggarakan oleh Al Ma’mun untuk menanamkan ajaran Mu’tazilah yang dianutnya. Al Ma’mun mengeluarkan keputusan yang berisi perintah kepada semua pejabat dan ahli agama untuk mengakui mereka percaya bahwa Al Qur’an tidak kekal (hadits), suatu keyakinan yang merupakan ajaran pokok dalam ajaran Mu’tazilah. Imam Syafi’i dan Imam Hanbali tidak menyetujui pandangan itu. Mereka mengikuti pemikiran umum bahwa Al Qur’an merupakan firman Allah yang kekal (qodim). Menurut Idham, kedua ulama tersebut dipenjarakan dan diinterogasi oleh khalifah.

Ketika Imam Hanbali ditanja oleh Chalifah al Makmun tentang al Qur’an, Hadits atau Qodim ? dengan penuh konsekuen, Imam Hanbali mendjawab: Qadim, sehingga Imam Hanbali dipendjarakan, bahkan karena Imam Hanbali tetap konsekuen, beliau selalu disiksa dalam pendjara tersebut. Berlainan dengan Imam Sjafii jang mendjawabnja setjara diplomatis. Katanja: Qur’an, Taurat, Indjil, Zabur dan Suhuf, jang lima ini ada (sambil berisjarat pada genggaman tangannja) jang lima ini adalah Hadits. (Djadi hakekat djawabannja, jang Hadits itu bukan Qur’annja, tapi genggaman tangannja itu). Namun demikian Cholifah jang mempunjai kekuasaan jang mutlak waktu itu merasa puas, dan selamatlah Imam Sjafii, sehingga beliau mempunjai kesempatan untuk menjebarkan adjarannja disegala pelosok, sehingga 45% didunia ini adalah penganut adjaran Imam Sjafii.[138]    

           

Walaupun banyak bagian dari cerita itu tidak sesuai dengan fakta sejarah, antara lain As Syafi’i tidak mungkin diinterogasi mengenai Al Qur’an karena ia meninggal tahun 820 atau tiga belas tahun sebelum peristiwa mihnah, yang terpenting adalah cara Idham menggunakannya sebagai pembenaran atas kepemimpinan yang ‘suka memilih berdamai’ dan luwes. Cerita itu disampaikan sebagai reaksi atas kecaman bahwa baik NU maupun Idham sendiri tidak punya pendirian, mementingkan diri sendiri dan merugikan kepentingan umat.[139] 

B. Pertarungan Ideologi

Faktor selanjutnya adalah pertarungan ideologi yang sangat hebat di Indonesia yang terjadi sejak sebelum kemerdekaan. Pertarungan Ideologi ini bisa menjelaskan mengapa Idham menggunakan konsep syu>ra untuk menjelaskan Demokrasi Terpimpin.

Indonesia, sebagaimana negara-negara terjajah lainnya di dunia, telah menjadi ladang persemaian yang subur bagi berbagai ideologi politik. Secara umum, ideologi mungkin dapat diartikan sebagai suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam yang dipunyai dan dipegang oleh suatu masyarakat tentang bagaimana cara yang sebaiknya, yaitu secara moral dianggap benar dan adil, mengatur tingkah laku bersama dalam berbagai segi duniawi mereka.[140]

Ideologi pada gilirannya memunculkan berbagai macam corak pemikiran politik. FeithdanCastle mencatat ada lima aliran yang menjadi sumber atau yang mewarnai pemikiran-pemikiran politik Indonesia, yaitu: (1) tradisi Jawa (2) Islam (3) nasionalisme radikal (4) komunisme, dan (5) sosial-demokrasi.[141] Terlepas dari berbagai kritik yang diarahkan pada penulis-penulis itu, tidak bisa disangkal adanya berbagai macam ideologi yang menghasilkan beragam pemikiran dan sikap politik di Indonesia.

Di masa sebelum kemerdekaan, ideologi-idologi tersebut berperan di dalam perjuangan melawan kolonialisme. Semasa menjelang dan setelah kemerdekaan, perdebatan/ pertarungan ideologi kembali terjadi. Perdebatan / pertarungan tersebut dapat dilihat dalam polemik antara Natsir dan Soekarno[142], juga dalam sidang-sidang BPUPKI dimana terbentuk dua kelompok besar: ada kelompok yang menginginkan agar agama (Islam) harus menjadi bagian integral dalam negara (Nasionalis Islam) dan kelompok lain yang menentang Indonesia dijadikan negara agama (Nasionalis Sekular).

Untuk menjembatani berbagai perbedaan di antara kedua kelompok ini, dibentuklah sebuah panitia kecil yang terdiri dari Soekarno, Hatta, Achmad Subardjo, Muhammad Yamin, Abikusno Tjokrosujoso, A. Kahar Muzakkir, Agus Salim, A. Wahid Hasjim, dan A.A Maramis. Panitia kecil ini menyusun sebuah kesepakatan bersama yang dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Pada intinya piagam ini mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara dengan penambahan bahwa sila ketuhanannya dilengkapi hingga menjadi “Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.[143]

            Akan tetapi, pada tanggal 18 Agustus 1945 kesepakatan di atas kembali dipersoalkan. Dikisahkan bahwa seorang pejabat angkatan laut Jepang datang kepada Hatta dan melaporkan bahwa orang-orang Kristen (yang sebagian besarnya berdomosili di wilayah timur Nusantara) tidak akan bergabung dengan Republik Indonesia, kecuali jika beberapa unsur dari Piagam Jakarta (yakni kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya, Islam sebagai agama negara, dan persyaratan bahwa Presiden harus seorang muslim) dihapuskan. Mereka menyadari bahwa penerapan Piagam Jakarta tidak akan mengancam kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dan politik mereka. Meskipun demikian, dalam pandangan mereka, kerangka konstitusional semacam itu akan mengundang diambilnya langkah-langkah yang diskriminatif.[144]

Atas desakan Hatta, akhirnya kelompok Islam bersepakat menghapus unsur-unsur legalistik/ formalistik, terutama pencabutan “butir-butir mengenai Islam sebagai agama resmi negara, presiden harus seorang muslim, dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”. Sementara itu, sebagai gantinya, unsur teologi monoteistik dimasukkan ke dalam sila pertama dalam Pancasila. Dengan demikian, sila pertama berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[145] Peristiwa ini mengandung dua sisi, baik dan buruk. Sisi baiknya, adalah menunjukkan betapa para pemimpin Islam itu memiliki komitmen yang tinggi terhadap persatuan nasional.[146] Sementara sisi buruknya, peristiwa ini dianggap kekalahan pertama kelompok Islam dalam upaya merealisasikan gagasan mereka untuk mengaitkan antara Islam dan negara secara legalistik dan formalistik.[147]

            Pemilu 1955 juga turut mengentalkan pertentangan ideologi. Kampanye pemilu sebagai usaha untuk merebut suara pemilih telah memaksa partai-partai politik yang bersaing untuk memperjelas posisi mereka vis-à-vis partai-partai lain.[148] Tambahan lagi, kampanye pemilu telah mepertajam perbedaan pandangan mengenai dasar tujuan negara dan bangsa. Sebuah isyu sentral muncul, apakah negara itu sebaiknya, seperti Masyumi meminta terutama didasarkan atas Islam; atau apakah, seperti PNI mengajukan pandangannya, dasar keagamaan itu sebaiknya cukup (tidak perlu ditambahkan lagi) sebagaimana yang telah ada dalam Pancasila itu, yang hanya menyatakan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[149]   

            Pertarungan ideologi “babak kedua” antara kubu Nasionalis Islam dan dan Nasionalis Sekular memang terjadi lagi, dan kini berpusat di sidang Majelis Konstituante. Majelis yang bertugas menyusun undang-undang baru ini, kembali menyentuh masalah dasar negara.[150] Perdebatan alot terjadi sampai akhirnya pemerintah turun tangan dengan menganjurkan untuk kembali kepada UUD 1945. Pada saat yang sama Soekarno telah memulai kampanyenya untuk merubah sistem politik di Indonesia menjadi Demokrasi Terpimpin. Tiga kali pemungutan suara dilaksanakan untuk usulan pemerintah tersebut, tetapi suara mayoritas dua-pertiga tidak pernah tercapai dan dengan begitu Majelis tidak dapat mengeluarkan keputusan apa-apa, baik menolak atau menerima. Jawaban atas kebuntuan ini akhirnya justru datang dari Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan pembubaran Majelis Konstituante dan kembali diberlakukannya UUD 1945.[151]

            Pada zaman Demokrasi Terpimpin pertarungan ideologi terus berlanjut. Hanya saja, karena perubahan peta kekuatan politik, maka medan pertarungan ideologi pun berubah. Pada masa itu bukan lagi golongan Islam dan Nasionalis yang bertikai, karena pertarungan itu dinyatakan selesai dan tertutup seiring dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden. Pertarungan ideologi yang terjadi kemudian adalah antara yang komunis dan yang anti komunis. Soekarno berusaha menghentikan pertarungan ideologi ini dengan menciptakan persatuan Nasakom, akronim dari Nasionalisme, Agama dan Komunisme. Usahanya ini dapat dimaknai sebagai pencarian sebuah landasan yang sama  atau kesatuan yang cocok (common denominator)[152]bagi masyarakatnya. Soekarno mencoba mengompromikan atau mengawinkan semua ide yang ada dan tumbuh dalam masyarakat menjadi satu ide baru yang lebih tinggi tempatnya yang bisa diterima oleh semua unsur penting yang ada.[153] Gagasan persatuan Nasakom  merupakan bentuk konsistensi dari pemikiran Soekarno yang tertuang dalam sebuah artikelnya tahun 1926 berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, dengan sedikit modifikasi tentunya. Ide dari artikel itu adalah mempertemukan aliran-aliran besar yang ada di tubuh Sarekat Islam. Modifikasi yang terjadi dalam ide persatuan Nasakom adalah diperluasnya Islamisme menjadi Agama hingga memasukkan semua agama yang ada di Indonesia sebagai ideologi yang hendak dipersatukannya.

Satu hal yang juga penting bahwa kekuatan kaum komunis pada masa ini menjadi lebih kuat di pemerintahan karena Soekarno melindunginya dan memperjuangkan keterlibatannya. Soekarno menyatakan bahwa PKI adalah satu kekuatan yang harus terlibat dalam menentukan arah perjalanan bangsa, sebagaimana yang dikumandangkannya sejak ia menyampaikan Konsepsinya.

            Hanya pertimbangan politik dan keagamaanlah  yang akhirnya memaksa NU untuk mau bekerja sama dengan kelompok lain yang berbeda ideologi. Demikian juga halnya dengan partai-partai lain yang masih ada pada masa itu. Ketegangan dan intrik politik yang bersifat ideologis pun sering terjadi. Misalnya yang terjadi di antara dua tokoh PKI dan NU. D. N. Aidit (PKI) melontarkan suatu pertanyaan yang dianggap Saifuddin Zuhri (Menteri Agama dari NU) sebagai sindiran (insinuasi) ideologis. Peristiwanya terjadi dalam sebuah sidang DPA yang tengah membahas soal membasmi hama tikus.

“Saudara Ketua, baiklah ditanyakan kepada Menteri Agama yang duduk di sebelah kanan saya ini, bagaimana hukumnya menurut agama Islam makan daging tikus?”, ujar Aidit pada Soekarno. Sebelumnya, pada suatu rapat umum “Pemuda Rakyat” di Istora Senayan, kaum komunis memperlihatkan demonstrasinya beramai-ramai makan dendeng tikus. Suatu latihan dari gerakan “pengganyangan” dimulai dari mengganyang tikus, mengganyang setan desa, mengganyang  setan kota dan mengganyang musuh PKI.

Saifuddin Zuhri menyatakan :

Aku merasa ditantang dengan sindirannya yang bernada penghinaan di muka orang banyak dan di muka presiden. Kalau D. N. Aidit bersikap ikhlas, apa salahnya ia bertanya langsung kepadaku, tempat kami duduk cuma berjarak 20 cm. Meskipun aku seorang menteri, tetapi tetap menjadi anggota DPA (merangkap). Selain itu sebagai seorang pemimpin kelompok, tentunya ia sudah mempelajari apa yang ia tanyakan dan pasti ia sudah tahu bagaimana pandangan kaum muslimin Indonesia tentang hukum makan daging tikus. Tetapi, dia sengaja mendemonstrasikan rasa antipatinya terhadap Islam.

“Saudara ketua, tolong beritahukan kepada si penanya di sebelah kiriku ini, bahwa aku sedang berjuang agar rakyat mampu makan ayam goreng. Karena itu jangan dibelokkan untuk makan daging tikus!”

Tentu saja jawabanku mengundang gelak tawa para anggota termasuk Bung Karno yang memimpin sidang.[154]

 

            Selain karena posisinya yang semakin kuat di Pemerintahan, NU mewaspadai PKI karena partai itu telah menjadi pelopor dalam menafsirkan gagasan-gagasan Soekarno. PKI menafsirkan gagasan mendiang presiden itu dengan marxisme dan sekali-sekali dengan maoisme yang mencerminkan ideologinya.[155] Dengan cara itu PKI bisa mendapatkan dua hal sekaligus, membayar “hutang politik” berupa perlindungan Soekarno dan menanamkan ideologi politiknya pada kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah. Secara pribadi, Soekarno menyukai PKI karena ideologi mereka yang revolusioner dan sejalan dengan ambisi politiknya. PKI juga memiliki organisasi yang rapi dan disiplin sehingga bisa dipakai untuk mengimbangi militer. Walaupun militer telah menjadi sekutu Soekarno dalam mendirikan Demokrasi Terpimpin, tetapi Soekarno tetap khawatir pada kemungkinan militer merebut kendali politik dari tangannya. 

            Idham ingin membukitkan bahwa Islam pun bisa sejalan dengan gagasan Soekarno yang posisinya sangat kuat saat itu. Kekuatan Islam akan mampu mendukung revolusi yang begitu kuat digelorakan Soekarno, bukan hanya komunisme dan para pengikutnya. Dengan begitu diharapkan pengaruh PKI terhadap Soekarno bisa dikurangi karena perhatiannya dialihkan pada kekuatan potensial lain, yakni kaum muslimin yang dipimpin oleh NU.

C. Ketidakmampuan dan Ancaman Politik di Era Demokrasi Terpimpin

Pertarungan ideologi pada masa ini tidak hanya berada di wilayah perdebatan, tetapi telah masuk dan bercampur dengan pertikaian politik. Jika dalam pertemuan para tokoh politik di atas perdebatan dan intrik selesai dengan gelak tawa, tidak demikian halnya dengan yang terjadi di tingkatan basis massa. Dan inilah faktor ketiga yang harus dibahas berkaitan dengan konteks pemikiran Idham.

            Secara umum, perubahan dari sistem Parlementer menjadi sistem Terpimpin membuat partai-partai yang dulu menjadi pemeran utama panung politik menjadi kehilangan power-nya. Kini, tinggallah Soekarno dan militer yang dapat mengklaim kekuasaan, dan memberi kesempatan pada pihak-pihak yang mau bekerja sama dengan mereka.

            PKI telah membuktikan kemampuannya dalam menarik minat Soekarno, sehingga partai tersebut mendapat kedudukan dan posisi politik; sementara umat Islam mengalami kerugian besar dan kehilangan pengaruh.  Penyebabnya antara lain, karena golongan Islam dianggap memiliki “dosa-dosa politik yang besar” karena terlibat dalam sistem parlementer yang lebih banyak menghasilkan pertikaian dari pada menyelesaikan masalah nasional, juga karena partai-partai ini mengalami demoralisasi yang berbentuk korupsi dan berbagai penyimpangan sebagaimana partai-partai lain yang pernah berkuasa.[156] Hal ini diperparah dengan buruknya hubungan beberapa organisasi Islam terkemuka dengan Soekarno, sang penguasa rezim Demokrasi Terpimpin. Akibatnya, hanya sekitar setengah umat Islam yang mau bekerja sama dengan rezim Soekarno. Organisasi-organisasi Islam terkemuka seperti Muhammadiyah, sebelumnya telah menunjukkan kekecewaannya dengan tidak turut memperebutkan pengaruh dan kekuasaan pada masa tersebut. Sedangkan kekuatan lainnya, terutama Perti dan Masyumi yang selama itu menjadi kekuatan oposisi di pedalaman, dapat ditaklukkan dan dibuat tak berkutik.[157]

            Praktis hanya NU yang merupakan kekuatan politik Islam yang diperhitungkan pada zaman Demokrasi Terpimpin. Walaupun demikian, kekuatan ini hanya cukup untuk sekedar berpartisipasi dan melindungi kepentingan partai dan basis massanya. Usaha Yayasan Api Islam (sebuah yayasan yang berafiliasi dengan NU) untuk melakukan rekonsiliasi antara Islam dan Soekarnoisme pun tidak cukup mampu menarik perhatian penguasa.[158] NU tidak banyak mempengaruhi arah dan kebijakan negara: porsinya sangat terbatas. NU seumpama “anak kecil” yang berdiri di hadapan “raksasa-raksasa” penguasa Demokrasi Terpimpin, yakni Soekarno, Militer dan PKI.

            Dalam kondisi seperti itu, NU harus menghadapi ancaman dari lawan politiknya, PKI. Ketegangan ini terutama terjadi di pedesaan, yang sama-sama merupakan basis massa kedua partai. Hubungan antara kaum muslimin di pedesaan dengan para anggota komunis, setelah sekian lama diwarnai oleh pra sangka dan kebencian, meledak dalam bentuk bentrokan dan kekerasan fisik pada 1964 dan 1965, ketika PKI melakukan ‘aksi sepihak’ untuk melaksanakan land reform. Aksi sepihak ini telah mengubah ketakutan terhadap serangan komunis menjadi kenyataan. Ini meruapakan faktor kunci dalam penjelasan mengenai kekerasan massal yang menyusul gagalnya kudeta pada bulan Oktober 1965.[159]

            Aksi sepihak didorong oleh keputusasaan PKI atas lambannya proses land reform. Sejak kebangkitan kembali partai ini pada awal 1950-an, proses pemerataan distribusi tanah telah menjadi sasaran utama kebijakannya untuk mengatasi kemiskinan yang kian meningkat di pedesaan dan untuk memperluas dukungan di kalangan petani. Atas desakan PKI yang mendapat dukungan kelompok nasionalis radikal dan Soekarno, pada 1960 diumumkan program land reform yang mengatur batas kepemilikan maksimum dan minimum atas tanah. Mereka yang memiliki tanah secara ‘berlebihan’ diharuskan melapor ke Kantor Agraria setempat, yang akan mengalihkan kelebihan tanah tersebut kepada petani yang membutuhkan setelah memberikan uang ganti rugi kepada pemilik lamanya. Program land reform ini direncakanakan akan selesai pada 1964. Akan tetapi hingga tahun 1963, karena adanya celah dalam peraturan, administrasi yang tidak efektif dan kolusi antara tuan tanah yang kaya dengan petugas, persentasi tanah yang akan didistribusikan sangat kecil.[160]

Pada 1963, para pemimpin PKI memberikan isyarat bahwa mereka siap melaksanakan aksi sepihak untuk mewujudkan program land reform secara ‘radikal’. Para kader PKI di pedesaan yang tergabung dalam Barisan Tani Indonesia dan Pemuda Rakyat mulai melakukan kampanye aksi sepihak pada awal 1964 yang dipusatkan di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Aksi ini memuncak selama enam bulan terakhir tahun ini. Aksi sepihak dilakukan dalam berbagai bentuk, antara lain, demonstrasi menentang pejabat dan pemilik tanah yang dianggap sebagai ‘penghambat’ dan mendukung pencaplokan ‘kelebihan’ lahan milik para tuan tanah. Kampanye tersebut dibarengi dengan pidato-pidato yang isinya mencap para penentang land reform sebagai ‘setan desa’ dan menuntut dilakukannya ‘tindakan keras’ terhadap mereka. Kaum muslimin pemilik tanah dan lembaga-lembaga Islam menjadi sasaran utama aksi sepihak. Banyak lahan luas di pedesaan Jawa yang dikuasai kaum santri kaya dan keluarga ulama. Lembaga Islam seperti pesantren dan madrasah, yang memiliki tanah yang luas dan menerima sumbangan tanah dari para santri, mencoba menghindari peraturan land reform.[161]

Aksi sepihak berdampak luar biasa terhadap masyarakat muslim yang kekesalannya sudah berada di ambang batas yang membahayakan. Aksi sepihak dianggap sebagai puncak dari serangkaian penolakan dan serangan terhadap keberadaan Islam di Indonesia. Sejak pertengahan 1950-an, PKI dan kelompok nasionalis kiri telah berulang kali berusaha merintangi berbagi kebijakan dan gagasan konstitusional yang diusulkan oleh partai-partai Islam. Menguatnya pengaruh PKI dalam pemerintahan Demokrasi Terpimpin memperburuk keadaan ini. Para santri di pedesaan juga merasa dirugikan oleh kebijakan keuangan pemerintah yang mengakibatkan inflasi dan mematikan usaha kecil. Kondisi keuangan mereka semakin parah dengan terjadinya kemarau panjang di beberapa daerah pada 1963 dan 1964. Serangan kelompok komunis terhadap para pemilik tanah tampaknya telah menghabiskan kesabaran kaum muslimin. Serangan ini dianggap bertentangan dengan hukum Islam yang mengizinkan kepemilikan perseorangan dan mengenakan sanksi berat terhadap tindakan mengambil milik orang lain secara paksa. Lebih jauh, mereka menganggap serangan aksi sepihak sebagai tantangan langsung terhadap kepentingan santri dan ulama terkemuka. Penghasilan keluarga para ulama dan pesantren sebagian besar berasal dari kepemilikan atas tanah, khususnya yang telah dijadikan lahan pertanian. Kehilangan tanah tersebut tentu akan sangat mempengaruhi kondisi keuangan mereka.[162]

Beberapa poin yang telah disebutkan diatas : bahwa Idham adalah salah satu pemimpin partai NU, dan seorang politisi moderat yang cenderung akomodatif, petarungan ideologi yang sangat hebat, dan pertikaian yang terjadi akibat aksi dari PKI merupakan konteks sosial dan politik pemikiran Idham. Analisa lebih lanjut akan dipaparkan pada bab selanjutnya.

BAB V

ANALISIS ATAS WATAK, KONTEKS DAN IMPLIKASI DARI PEMIKIRAN IDHAM CHALID

A. Pemikiran Idham Chalid di Tengah Perdebatan mengenai Syu<ra dan Demokrasi Terpimpin

1. Syu>ra : Antara Idham Chalid dan M. A<bed al-Ja>biri.

Pembicaraan mengenai syu>ra yang dikaitkan dengan demokrasi telah banyak dilakukan oleh para intelektual Muslim. Pertama, karena kemunculan wacana Demokrasi sebagai suatu sistem, baik sosial maupun politik, yang diterima oleh sebagian terbesar masyarakat dunia abad ini. Sejak negeri-negeri Arab mengalami masa-masa kejatuhan, dan penerapan beberapa ideologi politik menemui jalan buntu, tuntutan terhadap demokrasi tampak semakin nyaring terdengar. Hal ini disebabkan demokrasi tampak memberikan jalan menuju kebebasan dan persamaan, yang selama ini absen dalam memori kolektif umat Islam, karena hampir seluruh pengalaman historis umat Islam berjalan dalam koridor kekuasaan khalifah dan dalam bentuk monarki. Dan alasan kedua, karena Demokrasi berasal dari tradisi Barat yang nyaris selalu dikontraskan dengan tradisi Islam. 

Salah satu tokoh pemikir Islam yang membahas mengenai hal ini adalah Muhammad ‘Abed al-Ja>biri>. Syu>ra dalam Islam berarti meminta pendapat kepada ahl hall wal aqd yang terdiri dari para ulama, fuqaha, dan pemuka-pemuka masyarakat sebelum melakukan tindakan apapun. Syu>ra dalam pengertian ini tidak mengikat penguasa: ia memang melakukan konsultasi, namun keputusan akhir tetap berada di tangannya sendiri, baik keputusan itu merupakan hasil konsultasi tersebut atau tidak sesuai dengannya.

Al Ja>biri menjelaskan bahwa para pemikir yang menyamakan antara syu>ra dan demokrasi itu biasanya bersandar pada al Qur’an, khususnya Ali Imran (3) : 159 dan asy Syu>ra (42) : 38. Karena itulah mereka berani mengklaim bahwa tradisi “bermusyawarah” yang merupakan “ruh” dari demokrasi sudah lama dipraktekkan umat Islam. Padahal, penjelasan seperti itulah yang kita dapatkan dalam pemikiran Idham (h. 63-68). Pemikiran seperti ini dinilai al Ja>biri apologis dan a historis, karena tidak mendudukkan konsep tersebut sesuai dengan konteks historisnya dengan objektif.

Al Jabiri melihat ayat itu secara berbeda. Menurutnya, kalau ditelaah secara mendalam, baik dalam ruang lingkup bahasa maupun konteks pembicaraan ayat sebelumnya, ayat–ayat tersebut tidak memungkinkan akan adanya pengambilan keputusan yang cermat dan terlepas dari penguasa- sebagaimana yang selayaknya dalam demokrasi.

Syu>ra, sebagaimana dalam rujukan bahasa, berasal dari kata syara yang berarti mengambil. Contoh yang dikemukakan oleh kamus-kamus dalam menjelaskan arti kata ini adalah perkataan orang Arab: syartu al-‘asal artinya aku mengambil madu dari tempatnya, juga ungkapan syawartu fulanan artinya aku mengemukakan pendapatku dan pendapatnya. Dengan demikian menurut al-Jabiri, syu>ra artinya mengambil sesuatu dari tempatnya, yaitu kepada seseorang yang memang pantas diambil pendapatnya. Mengambil pendapat seseorang sama sekali tidak berarti adanya keharusan mengikuti pendapat tersebut sebagaimana “orang-orang yang diambil pendapatnya” itu juga sama sekali tidak ditentukan dan dibatasi.[163]

Jadi syura itu bukan hanya tidak mengikat penguasa, tapi juga tidak memberikan penentuan mengenai siapa yang harus diajak bermusyawarah selain istilah umum: ahl hall wa al-aqd. Yang dimaksud dengan istilah ini adalah setiap orang yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat baik karena ilmu, hubungan sosial, ekonomi atau agama, namun tanpa adanya batasan kuantitas, kualitas, ruang ataupun waktu.[164]

Sedangkan dari konteks pembicaraan ayat sebelumnya, ayat tersebut tidak menunjukkan bahwa perintah itu merupakan suatu keharusan. Hal ini tampak dari penjelasan para mufasir. Sebagian mufasir menjelaskan firman Allah “maafkan mereka, mintakan ampun buat mereka dan bermusyawarahlah kamu dengan mereka mengenai urusan itu” sebagai berikut: pembicaraan ayat itu ditujukan kepada Nabi, sedangkan kata “mereka” dalam ayat itu merujuk kepada kaum muslim yang saat itu mengalami kekalahan dalam perang Uhud. Jadi pengertian ayat ini adalah “maafkan mereka” atas kesalahan mereka padamu, dan “mintakan ampun kepada Allah” atas kesalahan mereka kepadaNya sebagai tanda kasih sayangmu pada mereka, serta “bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan ini” yaitu dalam masalah perang dan sejenisnya, jika tidak ada wahyu turun kepadamu agar hati mereka senang dan merasa dihargai. Sedangkan ayat ”Dan mereka bermusyawarah tentang masalah di antara mereka”, sebenarnya berbicara tentang ciri-ciri orang beriman secara umum, bukan tentang penguasa secara khusus, yang berarti bahwa syura merupakan keutamaan bagi setiap orang beriman. Seorang mukmin selalu bermusyawarah dengan saudaranya yang mukmin mengenai apa saja yang ingin ia lakukan, tetapi melaksanakan hasil  musyawarah  itu tidaklah suatu keharusan.[165]

Dengan demikian, apa yang seharusnya dilakukan seorang penguasa hanyalah melaksanakan musyawarah, sedangkan tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil harus “dipikul” penguasa itu sendiri, dan mereka yang dimintai pendapatnya dalam musyawarah itu tidaklah bertanggung jawab, walaupun keputusan yang diambil itu merupakan hasil musyawarah tersebut. Menurut al-Jabiri inilah konsep syu>ra yang dominan dalam dalam otoritas tradisi, sebuah konsep yang berada dalam ruang lingkup “kemuliaan akhlak” dan “kesopanan adat istiadat” dan bukan dalam ruang lingkup kewajiban dan keharusan.

Karena dalam makna ruang lingkup “ kemuliaan akhlak” dan “kesopanan adat istiadat” inilah menurut al-Jabiri para ahli usul fiqh di kalangan fuqaha dan lainnya, tidak menganggap kedua ayat di atas sebagai dasar pembuatan hukum syari’ah, namun hanya menganggapnya sebagai ayat-ayat yang mengajarkan etika Islam dan keutamaan agama secara umum. Oleh karena itu fiqh Islam sama sekali tidak memuat topik bahasan bertema “masalah syu>ra”. Sedangkan para mutakallimin sama sekali tidak menyentuh sedikitpun mengenai masalah syu>ra di dalam konsep khalifah. Singkatnya baik ahli fiqh maupun kalam sama sekali tidak menjadikan syura sebagai syarat bagi kekhalifahan. Konsep fiqh Islam berpijak pada pandangan bahwa seorang khalifah hanya bertanggung jawab kepada Tuhan saja, bukan kepada siapa yang membaiatnya dengan sukarela ataupun terpaksa. Akibatnya, dia tidak memiliki kewajiban apapun kepada mereka selain menjalankan hukum yang telah diturunkan Allah, dan tidak ada dalam wahyu yang diturunkan Allah itu yang mengharuskannya untuk mengikuti pendapat publik baik elit maupun awam sebab kewajibannya hanyalah menerapkan syari’ah sesuai dengan ijtihad pribadinya. Karena itulah para ahli fiqh dan kalam mensyaratkan agar seorang khalifah memiliki “pengetahuan yang dapat digunakan untuk berijtihad dalam berbagai kasus yang terjadi”.[166]

Sementara, demokrasi berasal dari pengalaman masyarakat Eropa. Secara historis demokrasi pertama kali muncul di Yunani dan kemudian disusul oleh bangsa Romawi. Demokrasi berkaitan erat dengan kehancuran sistem kesukuan dan pudarnya kekuasaan kepala suku dan sebagai gantinya muncullah fenomena “masyarakat sipil” dan gagasan tentang “warga negara”.

Agama Kristen tampil di saat negara dan imperium benar-benar kokoh. Agama menjadi medium resistensi terhadap kekuasaan imperium. Ini adalah awal dari rangkaian konflik yang sangat panjang antara agama dan negara di mana masing-masing ingin membatasi kekuasaan yang lain dan ingin menjadikan kekuasaanya di atas kekuasaan lainnya. Konflik seperti yang terjadi antara penguasa dan gereja ini, juga terjadi pada kaum feodal melawan “para feodal besar” yang berkuasa atas nama mereka. Para feodal besar bertopang pada fasilitas, alat-alat, uang dan tentara yang mereka kuasai. Konflik ini terus menerus terjadi sebagai satu bentuk pembatasan wilayah kekuasaan. Konflik ini kemudian melahirkan dewan-dewan “perwakilan” yang bersifat lokal maupun umum. Dewan ini tidak dipilih oleh semua penduduk melainkan terbentuk karena ditunjuk berdasarkan keturunan atau sejenis pemilihan di antara orang-orang kaya dari kaum feodal atau lainnya. Meski demikian dewan ini menjalankan sejenis pembatasan terhadap kekuasaan penguasa, raja atau kerajaan, sekurang-kurangnya di bidang keuangan, sebab raja tidak mungkin menentukan pajak kecuali disetujui mereka.

Sampai abad pertengahan, yang sering disebut dengan abad feodal di Eropa, konflik ini terus menerus berlangsung. Pertarungan keagamaan atau sipil melawan penguasa yang memiliki otoritas mutlak dan sewenang-wenang. Mungkin yang dapat dijadikan petunjuk mengenai hal ini adalah sistem politik Eropa abad pertengahan,”tyrannicide” yang berarti “menumpahkan darah tiran absolut”. Saat itu, sebagian dari tokoh agama mengungkapkan secara eksplisit bahwa berdasarkan kebiasaan, boleh menumpahkan darah seorang penguasa yang zalim dan tiran.

Sedangkan di abad modern, dimulai pada abad 17, konflik melawan kekuasaan tiranik semakin meluas dan mendalam seiring dengan munculnya kekuatan-kekuatan sipil, terbentuknya kelompok-kelompok pedagang dan kaum pengusaha industri sebagai kekuatan sosial yang kemudian menjadi kelas borjuis. Mereka membawa panji perjuangan demi demokrasi dalam arti kontemporer, yaitu demokrasi berarti membangun pemerintahan melalui proses pemilihan bebas, adanya pengawasan terhadap penguasa dan pembagian kekuasaan: legislatif, eksekutif dan yudikatif[167].

Yang menarik dari pemikiran Idham adalah ketika dia mencoba mencari persamaan antara syu>ra, yang ditambahnya dengan kata “terpimpin” dengan Demokrasi Terpimpinnya Soekarno. Yang Idham dapatkan justru hampir senada dengan penjelasan al Ja>biri di atas tentang syu>ra. Yakni, kurang lebih demikian,  bahwa seorang pemimpin yang sadar akan tanggung jawabnya pada rakyat tidak harus selalu mendasarkan diri pada pendapat mayoritas (kasus Abu Bakar: h. 69-70). Artinya, pemimpin tidak terikat pada usulan ahl hall wal aqd jika dipandangnya itu tidak tepat. Bahkan, semata-mata bersandar pada suara terbanyak tanpa melihat kebenarandan keahlian, bisa menjerumuskan kepada bahaya dan kesesatan (al An’a>m :116 dan kasus Ali bin Abi Thalib: h. 70-72)

Kedekatan praktek syu>ra dan Demokrasi Terpimpin- sebagaimana yang dikemukakan Idham, juga menjadi semacam “pembenaran” atas apa yang pernah diutarakan oleh al Jabi>ri mengenai perbedaan syu>ra dan demokrasi. Al Jabi>ri berkata jika seseorang (yang berpikir dalam kerangka tradisi Islam semata) meletakkan syu>ra sebagai padanan demokrasi dan menganggapnya sebagai pengganti terbaik dari berbagai sistem pemerintahan yang ada, maka

…yang kita temukan hanyalah model pelaksanaan pemerintahan yang direfresentasikan oleh perilaku khalifah Umar bin Khattab, seperti yang diriwayatkan oleh buku-buku tradisi, satu perilaku yang menggabungkan antara otokrasi dan keadilan. Jadi model pemerintahan yang ideal dari sudut pandang otoritas tradisi adalah pemerintahan yang dilakukan oleh seorang “otokrat yang adil”….

 

Rezim Demokrasi Terpimpin mungkin tidak tergolong otokrasi seperti praktek Umar bin Khattab dan khalifah lainnya dalam Islam, tetapi tidak dapat disangkal bahwa keduanya berlawanan dengan atau sedikitnya tidak termasuk sistem pemerintahan demokrasi.

            Pertanyaan selanjutnya adalah, jika benar syu>ra tidak jauh berbeda  dengan Demokrasi Terpimpin, apakah syu>ra bila dijadikan sistem politik dalam suatu negara muslim hanya akan menghasilkan pemerintahan yang tidak demokratis dan cenderung otoriter ?

Jawabannya bisa iya, tapi mungkin juga tidak. Iya, apabila kita menyadari bahwa syu>ra dan demokrasi itu memang berbeda, dan demokrasi absen dalam memori umat Islam sebagaimana dipaparkan di atas. Apalagi kalau yang menjadi pemimpinnya adalah orang yang “tidak mendapat petunjuk dari Allah” sebagaimana khalifah Umar, misalnya. Tetapi dengan satu dari tiga kerangka konseptual[168] yang digunakan al Ja>biri, yakni qabil li at tafkir fih atau yang terbuka untuk dipikirkan, kita bisa menjawab “tidak”. Konsep syu>ra itu terbuka untuk dipikirkan, yakni dapat dikembangkan penafsirannya menjadi konsep demokrasi dalam pengertian sekarang, sesuai dengan kebutuhan masyarakat muslim kontemporer. Dengan kata lain, demokrasi adalah arah yang dituju ke masa depan.

Idham tentu berbeda dari al Ja>biri, baik zaman, konteks sosial, politik maupun pemikiran. Dapat dipastikan bahwa kedua orang ini tidak pernah bertemu satu sama lain. Idham lahir di Indonesia, sewaktu perjuangan kemerdekaan mendekati puncaknya. Ia menjadi politisi sejak kemerdekaan dan melewati tiga masa politik yang berbeda, masa demokrasi parlementer, Demokrasi Terpimpin, dan orde baru. Partai politiknya adalah partai Islam tradisional yang berideologi politik yang segaris dengan pemikiran kaum Sunni. Pemikirannya tentang demokrasi dipaparkannya pada pertengahan tahun 1960-an, saat rezim Soekarno tengah berkuasa. 

Adapun al Ja>biri dan proyek nalar Arab serta berbagai pemikirannya barulah dikenal di Indonesia pada sekitar akhir tahun 90-an.[169] Sikap yang dikembangkannya adalah terbuka kepada ide-ide liberal Barat dengan kritis tanpa sedikitpun merasa terancam kehilangan identitas keislamannya.[170] Sejauh yang dapat diketahui, ia bukan seorang politisi, bahkan bisa dikatakan pemikir murni. Tentu saja pemosisian seperti ini tidak bermaksud menafikan nilai politis dari pemikirannya. Cita-cita besarnya adalah terwujudnya nasionalisme Arab dengan adanya semacam Negara Arab Serikat yang mempersatukan bangsa-bangsa berbahasa Arab dalam ikatan kearaban (mungkin sejenis Uni Eropa yang secara simbolik disatukan oleh mata uang Euro).[171]

Bagaimana bisa terjadi kesamaan dalam pemikiran dua orang tokoh yang dalam banyak hal berbeda ?. Mungkin inilah sebuah “kebetulan yang tak terduga” yang bisa saja terjadi di dunia ini. Tetapi, satu hal yang bagi kita cukup jelas bahwa faktor politiklah yang sangat dominan dalam membentuk arah pemikiran Idham mengenai Demokrasi Terpimpin. Justifikasi yang didapatnya dari sejarah perilaku para sahabat ditempatkannya sedemikian rupa sehingga “cocok” dengan kondisi di zaman Demokrasi Terpimpin. Dengan menyandarkan pemikirannya pada tradisi Islam sendiri, Idham telah berusaha menjembatani dua gagasan yang berbeda : Islam dengan konsep syu>ra-nya dan Demokrasi Terpimpin, sambil berupaya mengantisipasi kemungkinan kediktatoran yang bisa dibawa sistem mendiang Soekarno itu.

Hal ini juga menegaskan perbedaan kedua tokoh ini dalam memposisikan syu>ra. Bagi Idham syu>ra bersifat sangat politis, karena memberi efek legitimasi pada sikap-sikap politik yang telah diambilnya. Sementara bagi al Ja>biri dengan menjelaskan perbedaan syu>ra dengan demokrasi, dia memberikan pilihan sikap bagi masyarakatnya yang tengah berhadapan dengan ide-ide liberal Barat. Dengan demikian syu>ra baginya lebih bersifat kultural dan tidak langsung berhadapan dengan politik praktis.

2. Syu>ra : Konsep yang Melegitimasi Demokrasi Terpimpin.

Ada dua hal dalam pemikiran Idham Chalid yang mesti dicermati lebih jauh. Pertama, ketika dia menyatakan bahwa musyawarah (syu>ra) adalah bukti adanya demokrasi dalam Islam atau dengan kata lain syu>ra adalah demokrasi dalam Islam. Kedua, ketika Idham menyamakan beberapa hal dalam syu>ra dengan Demokrasi Terpimpin.

Suatu hal yang harus ditegaskan lebih dahulu di sini, bahwa Idham menganggap syu>ra (musyawarah) setara dengan demokrasi, sehingga Demokrasi Terpimpin dipadankannya dengan musyawarah terpimpin. Artinya, Idham mengukur baik demokrasi maupun Demokrasi Terpimpin dari kesamaannya dengan syu>ra. Di sinilah Idham menunjukkan sikap “eklektik” dengan pengertian mencari dari syu>ra hal-hal yang sesuai-untuk kemudian menjembataninya, dengan dua hal yang berbeda: demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin. Dengan mudahnya, Idham menemukan berbagai justifikasi sejarah dan “membongkar pasang” konsep syu>ra lalu menyesuaikannya dengan dua sistem besar yang pernah ada dalam sejarah politik Indonesia.

Eklektisisme adalah suatu alur argumentasi yang, sebagaimana dibongkar oleh Nasr Hamid Abu-Zaid, dikembangkan oleh Imam as Syafi’i dalam fiqh dan ushul fiqhnya sehingga memunculkan kesan moderat dalam pemikirannya.[172] Adakah hubungan alur argumentasi as Syafi’i ini dengan gaya berpikir Idham, tentu saja memerlukan studi lebih lanjut. Yang jelas, Imam Syafi’I adalah imam besar yang mazhabnya paling banyak dianut oleh kaum muslim tradisionalis Indonesia. Pada saat yang sama Idham adalah Ketua Tanfidziyyah NU, yang dalam bidang hukum terutama mengikuti madzhab Syafi’i. Idham juga seringkali mengungkapkan sikap Imam Syafi’i yang “moderat” saat menjustifikasi gaya politiknya yang lentur.

Pandangan Idham tentang syu>ra yang demikian telah melegitimasi sistem Demokrasi Terpimpin dan sikap bekerja sama dengannya. Idham yang merupakan ketua umum NU telah memutuskan untuk bekerja sama dengan rezim baru. Kerja sama berarti menerima dan mendukung program-program pemerintah dengan konsesi NU dibiarkan tetap eksis dalam percaturan politik nasional. Sebagai seorang pimpinan partai Islam tentulah Idham selalu mendasarkan segala aktifitas politiknya pada ajaran agama. Ajaran agamalah yang menarik basis massanya untuk mendukung partai.  Dalam hal menerima Demokrasi Terpimpin, Idham melakukan hal yang sama. Ia menjelaskan Demokrasi Terpimpin dari sudut pandang Islam, dan kesimpulannya sistem tersebut sejalan dengan syu>ra.

Penilaiannya pasti akan berbeda dengan penilaian orang yang melihat Demokrasi Terpimpin dari prinsip-prinsip demokrasi dan karenanya tidak mendukung rezim penguasa. Demokrasi Terpimpin dalam pandangan ini, bukan demokrasi yang sebenarnya. Demokrasi Terpimpin bahkan cenderung otoriter, sehingga dengan demikian tidak demokratis. Suatu sistem yang demokratis menjamin adanya kebebasan, persamaan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dalam Demokrasi Terpimpin kebebasan dibatasi oleh “kepentingan nasional”.

Pemikiran Hatta yang tertuang dalam tulisannya “Demokrasi Kita” dapat dijadikan sebuah contoh penilaian berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi.[173] Hatta adalah seorang muslim nasionalis yang dianggap sebagai pejuang demokrasi. Ia juga seorang politisi, negarawan dan juga cendekiawan yang integritasnya diakui.[174]

Hatta menyebutkan bahwa sejarah Indonesia 10 tahun terakhir (1950-1960) banyak memperlihatkan pertentangan antara idealisme dan realita. Idealisme yang menciptakan suatu pemerintahan yang adil, yang akan melaksanakan demokrasi dan kemakmuran rakyat. Pemerintahan yang ada- dalam perkembangannya, semakin jauh dari demokrasi yang sebenarnya. Apalagi, perkembangan dua-tiga tahun terakhir (1957-1960), menurut Hatta, menyaksikan tindakan-tindakan pemerintah yang bertentangan dengan undang-Undang Dasar.

…Presiden, jang menurut Undang-Undang Dasar tahun 1950 adalah Presiden konstitusionil jang tidak bertanggung djawab dan tidak dapat diganggu-gugat mengangkat dirinja sendiri mendjadi formatir kabinet. Dengan itu ia melakukan suatu tindakan jang bertanggung djawab dengan tiada memikul tanggung djawab…Kemudian Presiden Soekarno membubarkan Konstituante jang dipilih oleh rakjat, sebelum pekerdjaannja membuat Undang-Undang Dasar baru selesai. Dengan satu dekrit dinjatakannja berlakunja kembali Undang-Undang Dasar tahun 1945…Sungguhpun tindakan Presiden itu bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan suatu coup d’etat, ia dibenarkan partai-partai dan suara jang terbanyak didalam Dewan Perwakilan Rakjat…Tak lama sesudah itu Presiden Soekarno melangkah selangkah lagi…dengan suatu penetapan Presiden Dewan Perwakilan Rakjat dibubarkan dan disusunnja suatu Dewan Perwakilan Rakjat baru menurut konsepsinja sendiri…dengan menjingkirkan sama sekali anggota-anggota jang termasuk golongan oposisi.[175]

 

Pandangan-pandangan Hatta tentang demokrasi sebagai suatu sistem politik antara lain keharusan untuk berpegang teguh pada konstitusi. Tindakan yang berlawanan dengan konstitusi disebutnya sebagai coup d’etat (kudeta) sebagaimana yang telah dilakukan Soekarno dalam tiga tahun terakhir (1957-1960). Ada tekanan khusus pada ketiadaan oposisi sebagai tanda ketidak-demokratisan sistem yang ingin dibangun Soekarno.

Setelah apa yang dilakukan Soekarno terhadap DPR (pembubaran dan pembentukan lewat penunjukan), dan pembentukan lembaga-lembaga baru (Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional), maka tugas DPR hanya memberikan dasar hukum saja kepada keputusan-keputusan yang telah ditetapkan pemerintah, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan atau usul dari dua badan tersebut. Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional berhubung anggotanya disusun sendiri oleh Soekarno bisa merupakan suatu pressure grup, golongan pendesak. Hatta menganggap dengan perubahan DPR sama artinya dengan hilangnya “sisa-sisa demokrasi jang penghabisan. Demokrasi Terpimpin Soekarno mendjadi suatu DIKTATUR jang didukung oleh golongan-golongan tertentu”.[176]

B. Strategi Menghadapi Situasi Sulit : “Menyesuaikan” Islam

            Adalah sulit untuk melepaskan keterkaitan antara pemikiran Idham Chalid tentang Demokrasi Terpimpin dengan kedudukannya sebagai pimpinan NU. Walaupun pemikirannya adalah bersifat pribadi dan bukunya tidak diterbitkan PBNU, melainkan oleh majalah sepekan API ISLAM, tetapi tak pelak pemikirannya ini di(mem)pengaruhi oleh sikap politik NU yang mau menerima Demokrasi Terpimpin. Tujuan dari usahanya adalah melakukan “rekonsiliasi”, “penyesuaian”, atau “menjembatani” (beberapa istilah yang sering disandarkan pada aktivitas Idham saat itu) antara Islam dan Demokrasi Terpimpin. Aktivitas ini terutama dijalankan dengan “bendera” Yayasan Api Islam. Bersama-sama dengan Saifuddin Zuhri dan Achmad Notosoetarjo, Idham melakukan serangkaian aktivitas yang intinya adalah menunjukkan kesesuaian Islam dan gagasan-gagasan Soekarno.[177]

            Tokoh-tokoh tersebut melakukannya karena kebutuhan politik dalam situasi sulit. Masyumi, partai besar Islam yang menjadi partner NU dalam memperjuangkan gagasan Islam dalam Konstituante, memilih bersikap oposan terhadap Soekarno dan pendukungnya. Keterlibatan beberapa pimpinannya dalam pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi hanya menyediakan suatu dalih bagi Soekarno untuk membubarkan Masyumi di tahun 1960. Pembubaran Masyumi berarti hilangnya satu kekuatan politik Islam di pentas nasional. Karenanya, NU memutuskan untuk bekerja sama dengan rezim Soekarno. Fealy mengungkapkan bahwa bagi NU, sepanjang masa kepresidenan Soekarno, politik merupakan sarana utama untuk mengamankan kepentingan keagamaan, kesejahteraan sosial-ekonomi Muslim tradisional dan para ulama yang memimpinnya.[178]

Rezim Demokrasi Terpimpin tidak langsung mau menerima kesediaan NU dan partai-partai lainnya untuk bekerja sama. Sesuai dengan ideologinya, penguasa Demokrasi Terpimpin menghendaki bahwa para pemain politik harus diikat oleh satu orientasi, yakni meninggalkan “alam liberalisme” dalam arti yang sebenar-benarnya dan mendukung ideologi politik revolusioner Manipol Usdek. Itulah sebagian syarat yang harus dipenuhi oleh partai-partai politik yang ingin bergabung dengan di alam Demokrasi Terpimpin. Syarat-syarat itulah yang dimasukkan dalam program penyederhanaan partai politik yang dilaksanakan pemerintah di tahun 1960.

Hanya saja, untuk lolos “seleksi” penyederhanaan partai tidak cukup syarat administratif saja. Idham menyebutkan ada syarat lain yang dinamakannya syarat “praktis historis”. Syarat praktis historis ini, ujar Idham, sering tidak disadari.

…Sjarat ini tidak djelas tersurat, tetapi ia tersirat dan ternjata menentukan. Ternjata kemudian bahwa walaupun sjarat-sjarat technis tjukup dikerdjakan, sjarat-sjarat politis-pun, mitsalnja menerima MANIPOL USDEK dan sebagainja itu djuga sudah dipenuhi dengan pengakuan lisan, tertulis dan sebagainja, namun apabila praktek dari suatu Partai itu sebelumnja, tindak-tanduknja, utjapan-utjapannja, gerak-geriknja atau sedjarah hidupnja mengesankan atau mejakinkan pada P.J.M. Presiden Pemimpin Besar Revolusi bahwa kemungkinannja untuk diadjak bersama-sama dalam revolusi ini hanja akan mendjadi tukang gerutu, tukang cynis dan tukang gunting dalam lipatan sadja, maka Partai itupun djuga tidak diakui, tidak dibolehkan terus berdiri walaupun lahirnja dan juridis “tertulis”-nja dia kelihatan memenuhi sjarat technis dan politis…[179]

 

            Begitulah situasi yang tercipta di masa Demokrasi Terpimpin. Herbert Feith memberikan komentarnya, “belum pernah terjadi sebelumnya pemimpin pemerintahan yang memaksakan untuk mengulang-ulang dukungan terhadap ide-ide sebagai suatu syarat agar dapat berpartisipasi secara legal dalam politik.”[180]

            Idham Chalid, sebagai salah satu pimpinan NU, berupaya mencarikan jalan keluar yang kompromistis. Sebuah jalan keluar yang tidak menghilangkan Islam sebagai identitas NU, tetapi bisa sejalan dengan gagasan-gagasan Soekarno. Salah satunya dengan menjelaskan kedekatan dan kesesuaian Demokrasi Terpimpin dan praktek syu>ra dalam tradisi Islam. Inilah sebuah “Islam alternatif” -dalam arti alternatif dari yang dipraktekkan Masyumi, yang dijalankan NU di masa pemerintahan Soekarno.

            Pada masa yang lebih awal, tokoh-tokoh Islam juga pernah dihadapkan pada situasi yang sulit. Keberhasilan perjuangan kelompok Islam di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara dengan tercapainya kesepakatan berwujud “Piagam Jakarta” digugat. Gugatan itu berwujud ancaman memisahkan diri dari Negara KesatuanRI yang berasal dari penduduk wilayah Timur Indonesia yang mayoritas non muslim. Mereka menolak bergabung dengan NKRI apabila Piagam Jakarta dijadikan konstitusi. Tokoh-tokoh Islam berada dalam situasi yang sangat sulit : melepaskan “kemenangan” politik dan menunjukkan komitmen pada cita-cita persatuan nasional atau menunjukkan sikap tegas dan membiarkan ancaman itu menjadi kenyataan. Atas desakan Hatta, seorang muslim nasionalis yang integritasnya tidak diragukan, akhirnya kelompok Islam bersepakat “mengalah”. Semua ketetapan yang merupakan inti dari Piagam Jakarta, seperti Islam adalah agama resmi negara, Presiden Indonesia harus seorang muslim, dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya, dihapus. Mereka bahkan mengganti kata “Mukaddimah” dalam preamble menjadi “Pembukaan”, walaupun sebenarnya dua kata itu semakna. Kata “mukaddimah” berasal dari bahasa Arab dan barangkali dilihat sebagai simbol Islam di dalam negara, sementara kata “pembukaan” berasal dari bahasa Indonesia asli.[181] Sila pertama Pancasila yang tinggal berbunyi : “Ketuhanan” ditambah dengan kalimat “Yang Maha Esa”. Penambahan ini dapat dilihat sebagai langkah simbolik untuk menunjukkan kehadiran unsur monoteistik Islam dalam ideologi negara. [182]

            Dalam hal ini, Wahid  Hasjim[183], seorang tokoh di kelompok Islam yang berasal dari muslim tradisionalis (NU) menjelaskan bahwa Pancasila dekat dengan ajaran Islam. Ia sangat meyakini bahwa penambahan sifat monoteistik dalam Pancasila itu merupakan cermin dari (atau sedikitnya sejalan dengan) prinsip Tauhi>d dalam Islam.[184] Dengan demikian, Wahid Hasjim tidak ingin menganggap peristiwa ini semata kekalahan kelompok Islam. Ia bahkan berusaha mencarikan titik temu antara Pancasila sebagai ideologi negara dengan Islam yang menjadi ideologinya.

            Alasan lainnya bagi penerimaan ini adalah situasi yang berlangsung menyusul diproklamasikannya kemerdekaan mengharuskan para pendiri republik ini untuk bersatu menghadapi masalah-masalah lain. Yang paling penting di antaranya adalah upaya pemerintah Belanda – yang sudah diantisipasi, untuk menduduki kembali Nusantara. Didorong rasa optimisme karena jumlah konstituen yang besar, para tokoh Islam percaya bahwa lewat pemilihan umum, yang akan segera diselenggarakan dalam waktu yang tak lama lagi, mereka masih punya kesempatan untuk secara konstitusional menjadikan negara ini negara Islam. Untuk alasan ini Ki Bagus Hadikusumo (atas dukungan Kasman Singodimedjo) lama-kelamaan bersedia menerima usulan Hatta.[185]

            Situasi sulit kembali dihadapi oleh NU. Kali ini situasinya lebih buruk karena mereka berkonfrontasi dengan Pemerintah. Setelah sikap oposisional yang ditunjukkan oleh faksi NU dalam PPP selama tahun 1970-an, penguasa Orde Baru melakukan tekanan keras. Pada awal 1980-an, rezim memaksa NU mengambil pilihan yang jelas antara oposisi atau akomodasi. Dalam sebuah pidato yang keras pada tahun 1980, Soeharto menyerang semua kelompok di tanah air yang tampak memusuhi Pancasila dan justru berpegang kepada ideologi-ideologi saingannya, seperti komunisme, marhainisme atau agama dan dia mengancam akan menurunkan Angkatan Bersenjata untuk memukul mereka. Pidato ini jelas dialamatkan kepada tindakan walk out NU [186], sebagai peringatan tidak ada lagi toleransi untuk perlawanan terhadap ideologi resmi. Pada tahun-tahun berikutnya, Soeharto berulangkali mengulangi tema pembicaraan yang sama : kesetiaan kepada ideologi-ideologi selain Pancasila sama dengan tindakan subversi. Konsekuensi logis dari pandangan ini diumumkan untuk pertama kalinya pada 1983 dan diundangkan pada tahun 1985: semua partai dan organisasi kemasyarakatan diharuskan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas ideologis (asas tunggal)- yakni, dengan mengesampingkan Islam ataupun pandangan-pandangan dunia yang lain.[187]

NU segara mengalami tekanan-tekanan politik dari pemerintah. Patronase yang didapatnya karena kemauannya bekerja sama dengan pemerintah segera diputus. H. Djaelani Naro, calon dari pemerintah, ditunjuk sebagai ketua umum PPP menggantikan Mintaredja, tanpa bermusyawarah dengan anggota pengurus lainnya. Naro nampaknya mempunyai tugas mendisiplinkan partai ini dan menetralisir suara-suara sumbang NU. Dia segera menjalankan partai seperti miliknya sendiri, dengan memastikan bahwa tak seorangpun dalam partai ini yang mempunyai kekuatan yang independen. Dia secara efektif memusatkan seluruh saluran patronase kepada dirinya dan memastikan tidak seorang pun kecuali yang setia yang mendapatkan kemudahan. Pukulan terhadap semua jaringan NU di tingkat cabang ini menjadi semakin keras karena penguasa militer dan sipil, yang curiga atau marah kepada NU, memusuhinya dalam berbagai cara. Para usahawan kecil, yang merupakan sokoguru terpenting dari kebanyakan cabang NU, sangat merasakan tekanan tersebut.[188]

Sebenarnya, pelemahan peranan NU di dalam PPP sudah berlangsung lama sebelumnya. Pada muktamar pertama partai ini, 1975, sudah setujui bahwa jumlah kursi yang diperoleh NU, MI, SI dan Perti dalam pemilu 1971 dijadikan sebagai ukuran tetap dari kekuatan masing-masing. Pada pemilu berikutnya, para calon daftar PPP harus dibagi adil bagi keempat komponen ini dalam proporsi berdasarkan hasil pemilu 1971, dengan beberapa penyesuaian untuk membantu partner yang lebih kecil. Pukulan telak terhadap NU tiba ketika Naro secara sepihak mempersiapkan sebuah daftar calon untuk pemilu 1982 di mana proporsi anggota NU dikurangi secara drastis, dan kebanyakan anggota NU yang vokal- seperti Jusuf Hasjim, Saifuddin Zuhri dan Imron Rosjadi- diletakkan di urutan sangat bawah dalam daftar tersebut sehingga mereka tak mungkin terpilih. [189]

Masalah Pancasila sebagai asas tunggal merupakan batu uji nyata terhadap hubungan NU dengan pemerintah. Tuntutan pemerintah ini telah menimbulkan kecurigaan kalau-kalau pemerintah akan menggantikan Islam dengan Pancasila. Sebenarnya tuntutan asas tunggal ini mungkin sudah ditolak ulama seandainya tidak ada rumusan kompromistis yang telah diolah oleh Kiai Achmad Siddiq. Gagasan untuk menerima Pancasila sebagai simbol bangsa dan negara. Indonesia, sementara pada saat yang sama menegaskan bahwa NU berpegang kepada penafsiran Islami terhadap kelima sila Pancasila dan akan menjaga terhadap penyimpangan interpretasi dan penerapannya.[190]   

Resolusi yang disepakati oleh Musyawarah Nasional (Munas) berbunyi bahwa, “Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama, bahwa sila pertama Pancasila mencerminkan konsep Tauhid …, dan bagi NU Islam terdiri dari aqidah dan syari’ah, yang mencakup hubungan antar manusia dan juga hubungan antara manusia dan tuhan.[191]

Mencari titik temu Islam dan Pancasila kembali digunakan sebagai strategi dalam situasi yang sulit. Penerimaan Pancasila ini seiring dengan langkah “dramatis” menarik diri dari politik praktis yang dibahas pada Munas Situbondo 1983 diresmikan dalam Muktamar di tempat 1984. Keputusan-keputusan tersebut menunjukkan telah terjadinya rekonsiliasi NU dengan rezim Orde Baru dan menandai munculnya elite baru di pucuk pimpinan NU.

Sikap-sikap ini tidak diragukan lagi dibuat paling tidak untuk sebagian sebagai respon terhadap tekanan politik dari luar. Namun, keputusan tersebut juga menunjukkan adanya perubahan pandangan tentang apa yang seharusnya diperjuangkan NU, kepentingan para pendukung yang mana yang harus dibela, dan bagaimana hal itu dilaksanakan. Diklaim bahwa pandangan ini identik dengan pandangan asli para pendiri NU, yang telah ditinggalkan NU ketika ia menjadi partai politik, yang mengakibatkan terabaikannya tugas-tugas pendidikan dan sosial lainnya. Pandangan ini kemudian disebut sebagai Khittah, atau pola dasar dalam berpikir dan bertindak, 1926.[192]

Menyesuaikan Islam dalam arti mencari titik temu, kedekatan-kedekatan, atau bahkan rekonsiliasi adalah suatu strategi yang telah dimainkan oleh para tokoh NU dalam menghadapi situasi sulit. Situasi yang menuntut kejelian sikap untuk menentukan mana tindakan strategis dan merupakan kebutuhan politik. Sikap ini tertama diambil di saat-saat “genting” dan menentukan perjalanan ke depan. Keluwesan cara bertindak dan keluasan Islam sebagai sebuah ajaran dan pandangan hidup mampu menjadi motor penggerak bagi tokoh-tokoh tersebut dalam menyikapi kondisi sesuai dengan konteksnya.  

Cukup aman untuk mengatakan bahwa Islam dalam kasus-kasus diatas berfungsi sebagai dasar kesadaran yang membentuk etos dan pandangan hidup. Tak kurang pentingnya ialah Islam sebagai peletak dasar ukuran tentang sah atau tidaknya sesuatu. Dengan begini Islam menentukan pula corak interpretasi terhadap situasi yang mengitari diri. Dalam interpretasi inilah tersalur segala hasrat normatif dan pengetahuan akan kenyataan berbagai corak perilaku.[193]

C. Implikasi dari Sebuah Pemikiran : Survivalitas Politik yang Dibayar dengan Kehilangan Independensi.

      Respon Idham Chalid atas Demokrasi Terpimpin meliputi pemikiran dan sikap politiknya. Hal ini tak bisa disangkal karena Idham adalah seorang pelaku sejarah: ia bukan pengamat yang “berjarak” dengan kenyataan. Gambaran pemikirannya terhadap sistem tersebut telah dibahas pada bab sebelumnya. Nyatalah sudah bahwa Idham menerimanya atau seperti yang pernah ditulis oleh Feillard, “tidak memiliki keberatan yang mendasar terhadap Demokrasi Terpimpin.”[194]

      Ketika beredar berita mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin lewat Dekrit Presiden, PBNU menyatakan tidak akan ikut campur. Tetapi, PBNU berpendapat bahwa “NU tidak dapat menghindar dari kewajiban untuk amr ma’ruf nahi munkar”.[195] Untuk mencapai tujuan ini, NU mau tidak mau harus mengesampingkan keberatannya atas Demokrasi Terpimpin, kemudian mencari posisi dalam pemerintahan agar bisa menanamkan pengaruhnya.

Sikap PBNU ini merupakan sikap Idham dan mayoritas tokoh-tokoh partai NU di bawah pimpinan Kiai Abdul Wahab Chasbullah. Jadi atas dasar amr ma’ruf nahi munkar itulah Idham bersedia menerima Demokrasi Terpimpin. Sikap (menerima) atas dasar pemikiran (amr ma’ruf nahi munkar) ini pulalah yang nantinya turut membentuk pemikirannya tentang Demokrasi Terpimpin : yakni bahwa Islam dengan syu>ra-nya sesuai dengan Demokrasi Terpimpin.

Suatu hal lalu menjadi jelas bahwa, baik pemikiran “amr ma’ruf nahi munkar” maupun “Islam sesuai dengan Demokrasi Terpimpin”, semuanya adalah refleksi dari sikap “akomodatif” pada Idham. Akibat-akibat dari sikap inilah yang hendak penulis analisa pada bagian ini. Satu hal lagi yang tidak bisa dihindari, bahwa sikap dan pemikiran Idham juga mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil NU, karena posisinya di sana turut mewarnai perkembangan situasi. Dan sebaliknya, reaksi terhadap NU juga merupakan reaksi terhadap sebagian pemikiran dan sikap politik Idham.

Walaupun sudah ‘memilih berdamai’, NU ternyata tidak mendapatkan undangan untuk bertemu dengan Presiden Soekarno sebelum Dekrit 5 Juli secara resmi diumumkan. Soekarno hanya memberikan konsesi simbolis pada sentimen Islam ketika ia menyatakan Piagam Jakarta menjadi inspirasi sekaligus ‘rangkaian kesatuan’ dari UUD 1945. Minggu berikutnya, Presiden mengumumkan Kabinet Karya, dimana presiden sendiri menjabat sebagai perdana menteri. Dari 42 kursi kabinet, NU hanya mendapatkan dua jabatan, Menteri Agama dan KH Fatah Jasin sebagai Menteri Penghubung dengan Alim Ulama. Kabinet ini terdiri dari 11 menteri utama, 24 menteri muda, dan 7 menteri ex-officio. Semua menteri diwajibkan mengundurkan diri dari partainya. Meskipun kecewa dengan perannya yang sangat minim dalam pemerintahan yang baru, PBNU merasa cukup puas dan menyatakan ini merupakan ‘hasil maksimal yang bisa dicapai dalam keadaan [saat ini]’.[196]

Pada akhir Juli, susunan Dewan Pertimbangan Agung dan Badan Perencanaan Nasional diumumkan, di dalamnya masing-masing terdapat dua anggota politik NU serta wakil PKI dan PNI. Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri diangkat menjadi anggota DPA, Munasir dan Kiai Muchlish diberi posisi dalam Badan Perencanaan Nasional.

Pada 5 Maret 1960 Soekarno membubarkan parlemen hasil pemilu setelah mereka mengkritik kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah serta mengancam akan memblokir anggaran belanja. Sebagai gantinya, Soekarno mengusulkan susunan legislatif baru yang meliputi perwakilan dari golongan fungsional  dan militer, serta mengurangi anggota yang berasal dari partai. Seokarno memanggil Idham Chalid dari NU, Suwirjo dari PNI, D. N. Aidit dari PKI dan Ruslan Abdulgani (Wakil Ketua DPA) ke Istana Presiden di Tampaksiring, Bali untuk menentukan struktur DPR-Gotong Royong. Mereka menyetujui susunan DPR-GR yang beranggotakan 261 orang, 130 dari partai politik, 95 dari golongan fungsional dan 36 dari wakil militer. Dari jumlah tersebut, NU memiliki 35 kursi di perwakilan partai politik dan 15 kursi di perwakilan golongan fungsional. Ini berarti NU telah berhasil merebut 19,5% kursi dalam DPR-GR, atau lebih banyak dubandingkan di parlemen sebelumnya. Masyumi dan PSI tidak diikutsertakan dalam parlemen baru ini.[197]

Kesepakatan di Tampaksiring menimbulkan perdebatan sengit di tubuh NU mengenai keabsahan hukum dan susunan parlemen baru. Tokoh-tokoh seperti Bisri Syansuri, Achmad Siddiq, Mohammad Dachlan dan Machrus Ali mengatakan bahwa DPR-GR merupakan ghasab, sebuah terminologi fikih yang berarti perampasan atas hak atau kepemilikan orang lain. Berdasarkan interpretasi ini, tindakan pembubaran parlemen sebelumnya yang dilakukan oleh Soekarno telah merampas hak pemilih dalam pemilu dan anggota parlemen yang dipecat. [198]

Begitu kembali dari Tampaksiring, Idham langsung mendapat kecaman keras atas keputusannya menyetujui susunan kabinet baru yang dianggap telah mengorbankan kepentingan politik Islam yang lebih luas. Walaupun banyak dikritik, PBNU bergerak cepat menerima hasil kesepakatan di Tampaksiring. Mereka mengutip amar ma’ruf nahi munkar sebagai alasan utamanya, dengan mengatakan bahwa masyarakat Islam harus punya wakil di parlemen. Selain itu, PBNU juga merasa khawatir kalau-kalau wakil golongan komunis akan menggantikan posisi yang ditinggalkan anggota NU. [199]

Dengan menerima proses restrukturisasi politik ini, NU bisa mengamankan posisinya dalam rezim yang baru. NU bahkan memiliki wakil di semua lembaga Demokrasi Terpimpin, bahkan kini menjadi partai Islam terbesar. NU juga berhasil menjadi komponen utama dari organisasi keagamaan yang tergabung dalam Nasakom. Namun sebagai ongkosnya, NU kehilangan pengaruh dan independensi. NU juga terpaksa menerima retorika Demokrasi Terpimpin dan harus mendukung kebijakan pemerintah di segala bidang.

Idham Chalid mau tidak mau harus disebut sebagai tokoh yang sangat penting pada masa ini. Keberhasilan NU tetap bertahan di bawah sistem Demokrasi Terpimpin- untuk sebagiannya, adalah pengaruh dari sikap dan pemikirannya. Walaupun demikian apa yang diperbuat Idham dan pimpinan PBNU lainnya dinilai sebagai tindakan reaktif. Fealy “menyayangkan” ketergesaan mereka dalam mengambil sikap menyetujui penerapan Demokrasi Terpimpin. Untuk mencapai tujuan itu, Soekarno membutuhkan dukungan dari salah satu dari dua partai muslim terbesar, serta dukungan dari kelompok komunis dan partai–partai nasionalis. “Seandainya saja”, ujar Fealy, “NU jadi bergabung dengan Masyumi dan menolak Konsepsi Soekarno dan Kabinet Karya, barangkali Soekarno akan bisa ditekan agar membatalkan atau memoderatkan rencananya.”[200] Sikap NU yang senantiasa berusaha untuk menghindari resiko membuatnya tidak ingin berkonfontasi dengan Presiden menyangkut isu-isu tersebut. Perhatian terpenting PBNU adalah pada soal bagaimana menyesuaikan diri dengan keadaan politik, dan bukan dengan mengubahnya.

Sikap-sikap politik Idham akhirnya mendapat tentangan keras dari dalam NU sendiri. Mereka adalah kelompok yang disebut oleh Fealy sebagai ‘kelompok militan’. Kelompok ini mendukung keterlibatan NU dalam politik, tetapi mereka keberatan atas strategi akomodasionis yang diterapkan partai. Mereka berkeyakinan bahwa PBNU terlalu cepat menyetujui pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan Nasakom, sehingga peluang bagi PKI untuk semakin menancapkan pengaruhnya dalam pemerintahan.

Salah satu penyebabnya adalah kerentanan tokoh-tokoh PBNU terhadap bujukan dan tipu daya Soekarno. Idham Chalid menjadi sasaran utama kritik mereka. Mereka menggambarkan Idham sebagai tokoh yang terlalu banyak mengalah, akomodasionis bermulut manis yang terlalu cepat menanjak ke posisi senior sejak pertengahan 1950-an. Seorang mantan kelompok militan memberikan gambaran ringan sebagai berikut: “Idham terlalu lunak dan diplomatis. Inilah yang membuat Soekarno menyukainya. Ia [Idham] tidak pernah menentangnya. Ia hanya mengatakan apa yang ingin didengar Bung Karno.”[201]

Kelompok militan NU didominasi oleh mantan tentara dan pemuda, aktivis garis keras Ansor, Ikabepi, IPNU, dan PMII. Sikap anti komunis yang kental merupakan ciri utama pemikiran mereka. Berbeda dengan para pemimpin moderat NU yang memandang PKI semata-mata sebagai masalah politk, kelompok militan memandang PKI sebagai ancaman fisik yang membahayakan Islam. Tokoh penting kelompok militan, di antaranya, adalah M. Munasir (lahir 1919), Jusuf Hasjim (lahir 1929), Subchan Z E dan Bisri Syansuri. Subchan dan Bisri merupakan tokoh yang didengar suaranya di kalangan PBNU di luar kelompok moderat yang mendominasi partai.[202]

Demikianlah, akibat-akibat dari pemikiran dan sikap politik Idham Chalid. Ia menjadi orang yang selalu berusaha bersikap moderat, menghindari berkonfrontasi dan tetap menjaga kepentingan NU di era Demokrasi Terpimpin. Sikap dan pemikirannya ini didukung oleh sebagian besar tokoh-tokoh NU, terutama Wahab Chasbullah dan Saifuddin Zuhri.  Adanya pihak-pihak yang tidak sepaham dengan Idham adalah biasa, apalagi dalam dunia politik. Bagi NU sendiri, Idham tetap merupakan aset penting dan sampai beberapa tahun kemudian ia tetap terpilih menjadi Ketua Tanfidziyyah. Perdebatan dan pertarungan terbuka itu sendiri dimaknai sebagai sebuah “tradisi” menerima perbedaan di antara para ulama yang senantiasa berpegang pada doktrin-doktrin fiqh. Bukankah di hampir setiap pembicaraan dalam fiqh, terutama masalah mu’amalah, selalu terdapat kalimat fih qaula>ni, yang artinya : “dalam masalah tersebut ada dua pendapat”.

Kesimpulan penelitian Fealy (2003) menjelaskan bahwa adanya kelompok akomodasionis (Idham dan kawan-kawan) dan kelompok militan (Bisri Syansuri dan kawan-kawan) justru memberi peluang kepada NU untuk menjaga kepentingannya. Kemauan kelompok akomodasionis NU bekerjasama dengan pemerintah menyebabkan terbukanya kesempatan bagi kelompok militannya bergabung dalam banyak program dan pelatihan yang disponsori pemerintah. Kesempatan itu membuka peluang bagi mereka agar membangun jaringan dan memantau perkembangan kekuatan kaum komunis. Mereka diam-diam menyiapkan kekuatan dan berkonsolidasi dengan kekuatan anti komunis lainnya di tubuh tentara. Hubungan dekat kelompok akomodasionis dengan Soekarno membuat mereka memiliki kesempatan untuk melunakkan sikap Soekarno pada kelompok militan ini. Mereka juga berusaha menahan pengaruh PKI pada Soekarno.

BAB VI

PENUTUP

A.    Kesimpulan

1. Pemikiran Idham Chalid tentang Syu>ra. Syu>ra (musyawarah) adalah suatu cara menyelesaikan masalah dalam tradisi Islam. Al-Qur’an menyebutnya, Rasulullah menganjurkannya, para sahabat mempraktikkannya, baik semasa Rasulullah masih hidup maupun sepeninggalnya, kaum intelektual muslim mengapresiasi dan berusaha mencari rumusan agar syu>ra bisa terlembagakan dalam negara atau pemerintahan Islam. Syu>ra adalah bukti demokrasi dalam Islam, atau bisa disebut demokrasi Islam. Syu>ra mengharapkan munculnya beragam alternatif pemecahan dan memicu solidaritas masyarakat. Dalam syu>ra tidak ada pemaksaan mayoritas atas minoritas, karena tujuannya bukan cari menang-menangan atau berdebat dengan kata-kata. Seorang pemimpin harus selalu bermusyawarah dengan orang yang ahli (ahl hall wa al aqd). Suara mayoritas bukanlah yang utama dalam mengambil keputusan; semata-mata bersandar pada suara mayoritas bisa membawa pada kehancuran. Artinya, bila dirasa tidak cocok, pemimpin boleh mengambil keputusan yang berbeda dengan forum musyawarah. Oleh karena itu, syu>ra sejalan dengan konsep demokrasi Terpimpin. Catatannya adalah, Islam tidak menginginkan kediktatoran. Harus ada saling menghargai antara ahl hall wa al aqd dan pemimpin. Rasa saling menghargai ditambah dengan kesadaran akan tanggung jawab pada rakyat akan menghindarkan bahaya kediktatoran.

2. Konteks Sosial-Politik dan Implikasi Pemikiran Idham. Idham Chalid menyampaikan pemikirannya ketika NU telah menerima Demokrasi Terpimpin. Pada saat itu, Idham adalah ketua umum partai NU yang ideologi politik keagamaannya menuntut kaum muslimin, terutama para ulama yang memimpin mereka, agar menjauhi segala bentuk aksi yang dapat mengancam kesejahteraan fisik dan spritual masyarakat. Sementara itu, secara pribadi Idham adalah orang yang cenderung menghindari konfrontasi (dengan yang lebih kuat) dan mengutamakan kerja sama. Konsep syu>ra dimunculkan Idham untuk menandingi pengaruh ideologi komunis yang banyak mempengaruhi Presiden Soekarno. Idham ingin membuktikan bahwa Islam bisa mendukung gagasan revolusioner Soekarno. Pengaruh PKI yang semakin kuat di era Demokrasi Terpimpin dirasakan sebagai ancaman politik dan juga fisik bagi umat Islam. Suatu ancaman yang muncul di tengah ketidakberdayaan partai-partai di bawah rezim Soekarno. Dengan pemikiran akomodatif ini, Idham membuat NU bertahan di era Demokrasi Terpimpin, terwakili di semua lembaganya, dan melindungi sayap militan NU yang anti komunis. Tetapi, pemikirannya juga melegitimasi suatu rezim yang otoriter, dan membuat dirinya kehilangan independensi. Idham dan NU harus selalu mendukung program pemerintah dan banyak meniru retorika Soekarno.

B. Saran-Saran

          Telah banyak karya dan penelitian yang menyoroti era Demokrasi Terpimpin. Dari sekian karya-karya tersebut, analisis yang sering dipakai adalah analisis politik. Hasilnya adalah sekian dinamika politik mulai dari pembentukan, konsolidasi dan keruntuhan Demokrasi Terpimpin, serta munculnya tokoh-tokoh kunci baru dalam peta politik.

Mungkin sebuah analisis baru harus digunakan untuk melihat era ini. Salah satu yang patut dicoba adalah melihat Demokrasi Terpimpin dan segala yang berkembang di dalamnya sebagai bagian dari “pencarian identitas” oleh sebuah negara yang baru lepas dari kolonialisme. Wallahu A’lam

 

DAFTAR PUSTAKA

A. Al-Qur’an

 

Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989.

 

B. Hadits

 

Abu al Hajj<aj, Al Mazzi. Tahdzi>b al Kama>l,  Libanon: Da>r el Fikr, tt

 

Hibba>n, Ibnu. Shahih Ibnu Hibba>n, Lebanon : Da>r el Fikr, tt

 

C. Usul Fiqh

 

Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qorib,  Semarang: Dina Utama, 1994

 

D. Lain-lain

 

Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987.

 

Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999

 

Abu-Zaid, Nasr Hamid. Imam Syafi’i : Moderatisme, Eklektisisme, Arabisme, terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKiS, 1997

 

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1986

 

Antemas, Yusni, dkk. Lintas Sejarah Perjuangan Kemerdekaan dan Berdirinya Kabupaten HSU, Amuntai : Pemkab. HSU, 2003

 

Ansary, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1981

 

Anonim, Mengenang Hassan Basry, Banjarmasin: Pem. Prov. Kalimantan Selatan, tt.

 

Badan Pengembangan dan Penelitian Daerah Bappelda Pem. Prov. Kal-Sel, Sejarah Banjar, Banjarmasin: Pem. Prov Kal-Sel, 2003

 

Bakker, Anton dan Zubair, Ahmad. Metodologi Penelitian Filsafat, cet. VII, Yogyakarta: Kanisius, 1999

 

Barton, Greg. Biografi Gusdur, terj. Lie Hua, Yogyakarta: LKiS, 2002.

 

Benda, Harry J. The Cresent and The Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation 1942-1945, Den Haag-Bandung:  van Houve, 1958

 

Bruinessen, Martin van. NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS, 1994

 

Chalid, Idham. Islam dan Demokrasi Terpimpin,  Jakarta : Endang-Pemuda, 1965

 

—————–. Mendajung dalam Taufan,  Jakarta : Endang-Api Islam, 1966

Dahm, Bernard. Soekarno and Struggle for Indonesian Indepence, Ithaca: Cornell University Press, 1969

 

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Lambang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Balai Pustaka, 1978

 

Dewantara, Ki Hadjar. Karya Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama : Pandidikan, cet. II, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977

 

Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik di Indonesia, terj. Ihsan Ali-Fauzi, Jakarta: Paramadina, 1998

 

Fadhali, Amak. Partai NU dengan Aqidah dan Perkembangannja, Semarang: toha Putra, 1969

 

Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta : LKiS, 2003

 

————– dan Barton, Greg (ed). Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Yogyakarta: LKiS, 1997

 

Federspiel, Howard M. “Soekarno dan Apolog-apolog Muslimnya”, terj.  Jajat Burhanuddin dan Nasrullah Ali Fauzi, dalam Ulumul Quran no. 7,Jakarta: LSAF, 1990

 

Feith, Herbert. Dynamics of Guided Democracy, dalam Ruth T. Mc Vey  ed , Jurnal Indonesia, Southeast Asia Studies,  1963

 

—————-. Soekarno – Militer dalam Demokrasi Terpimpin, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.

 

—————-. dan Castle, Lance (ed), Indonesian Political Thinking, 1945-1965, Ithaca: Cornell University Press, 1970

 

Feeillard, Andree. NU vis-à-vis Negara, Pencarian Bentuk, Isi dan Makna, terj: Lesmana, Yogyakarta: LKiS, 1999

 

Gaffar, Afan. Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, cet. IV, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003

 

Hadariansyah, KH. Hasan Basri 1920-1998, Kajian Biografis Tokoh MUI, Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah, tidak terbit.

 

Haidar, Ali. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih dalam Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustataka Utama, 1998

 

Haris, Syamsuddin. Demokrasi di Indonesia, Gagasan dan Pengalaman, Jakarta: LP3ES, 1995

 

Hatta, Mohammad. Demokrasi Kita, Jakarta: Pustaka Antara, 1966

 

Irsyam, Mahrus. Ulama dan Politik, Upaya Mengatasi Krisis, Jakarta: Yayasan Pengkhidmatan, 1984

 

Ja>biri>, Muhammad ‘A<bed al-. Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahman, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001

 

————————————–. Syura, Tradisi-Partikularitas-Universalitas, terj. Mujiburrahman, Yogyakarta: LKiS, 2003

 

Kailani, Najib. Pemikiran Politik Islam Muhammad A>bid al Ja>biri, Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 2002, skripsi tidak terbit.

 

Kayam, Umar. Para Priyayi, Cet. VIII, Jakarta: Graffiti, 2001

 

Legge, John D. Soekarno : Sebuah Biografi Politik, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1985

 

Lev, Daniel S. Transition To Guided Democracy : Indonesian Politics, 1957-1959, New York : Cornel University, 1966

 

Ma’arif, Ahmad Syafi’I. Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin [ 1959-1965 ],  Jakarta : Gema Insani Press, 1996

 

Martimbang, Eka Dolok. Profil H. Syafriansyah : Pikiran dan Prilaku Islami, Banjarmasin : Keluarga Besar H. Syariansyah, 2003.

 

Mujiburrahman, “Muhammad ‘Abid al Jabiri dan Proyek Kebangkitan Islam, Pengantar Penerjemah” dalam Muhammad ‘Abid al Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahman, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001

 

Mujiburrahman, “Memadukan Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun, Pengantar Penerjemah” dalam Syura, Tradisi-Partikularitas-Universalitas, terj. Mujiburrahman, Yogyakarta: LKiS, 2003

 

Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1987

 

Panitia Pelaksana, 50 Tahun Perguruan Islam Rasyidiyyah Khalidiyyah Rakha Amuntai-Kalimantan Selatan 1922-1972, Amuntai : Yayasan Pemelihara Perguruan Islam Rakha, 1972

 

Partanto, Pius A., dan Al Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer,Surabaya: Arkola, 1994

 

Rafi’ie, A.  Kurikulum Pendidikan dan Pengajaran Pesantren Rasyidiyyah Khalidiyyah Amuntai, makalah disampaikan dalam Rapat Paripurna Reuni Alumni Rakha tahun 2001.

 

Sunardi, St. “Tujuh Hari Terakhir di Labirin”, pengantar dalam Umberto Eco, The Name of The Rose, Terj: Nin Bakdi Soemanto, cet. IIYogyakarta: Bentang, 2004

 

Sundhaussen, Ulf. Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi Fungsi ABRI, terj. Hasan Basari, cet. II, Jakarta: LP3ES, 1988

 

Surjomihardjo, Abdurrachman. Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: Sinar Harapan, 1986

 

Tambunan, A. S. S.  MPR, Perkembangan dan Pertumbuhannya, Suatu Pengamatan dan Analisis, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.

 

Tempo, Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982, Jakarta: Grafiti, 1981

 

The New Encyclopedia Britanica, vol. 4, Micropedia, Ready Reference,Encyclopedia Britania Inc. Chicago: University of Chicago Press, 1998

 

Wehr, Hans.  A Dictionary of Modern written Arabic, Arabic-English, cet. III, kerjasama antara Beirut: Librairie du Liban, dan London: MacDonald & Evans Ltd, 1980

 

Zaini, Achmad. Kyai Abdul Wahid Hasjim: His Contribution to Muslim Educational Reform and Indonesian Nationalism during the Twentieth Century, Indonesian Academic Society XXI, 1998. 

 

Zuhri, Saifuddin. Berangkat dari Pesantren,  Jakarta : Gunung Agung, 1987

 

Zuhri, Saifuddin. Guruku Orang-Orang dari Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2001

 

DAFTAR PUSTAKA

A. Al-Qur’an

 

Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989.

 

B. Hadits

 

Abu al Hajj<aj, Al Mazzi. Tahdzi>b al Kama>l,  Libanon: Da>r el Fikr, tt

 

Hibba>n, Ibnu. Shahih Ibnu Hibba>n, Lebanon : Da>r el Fikr, tt

 

C. Usul Fiqh

 

Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qorib,  Semarang: Dina Utama, 1994

 

D. Lain-lain

 

Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987.

 

Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999

 

Abu-Zaid, Nasr Hamid. Imam Syafi’i : Moderatisme, Eklektisisme, Arabisme, terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKiS, 1997

 

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1986

 

Antemas, Yusni, dkk. Lintas Sejarah Perjuangan Kemerdekaan dan Berdirinya Kabupaten HSU, Amuntai : Pemkab. HSU, 2003

 

Ansary, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1981

 

Anonim, Mengenang Hassan Basry, Banjarmasin: Pem. Prov. Kalimantan Selatan, tt.

 

Badan Pengembangan dan Penelitian Daerah Bappelda Pem. Prov. Kal-Sel, Sejarah Banjar, Banjarmasin: Pem. Prov Kal-Sel, 2003

 

Bakker, Anton dan Zubair, Ahmad. Metodologi Penelitian Filsafat, cet. VII, Yogyakarta: Kanisius, 1999

 

Barton, Greg. Biografi Gusdur, terj. Lie Hua, Yogyakarta: LKiS, 2002.

 

Benda, Harry J. The Cresent and The Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation 1942-1945, Den Haag-Bandung:  van Houve, 1958

 

Bruinessen, Martin van. NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS, 1994

 

Chalid, Idham. Islam dan Demokrasi Terpimpin,  Jakarta : Endang-Pemuda, 1965

 

—————–. Mendajung dalam Taufan,  Jakarta : Endang-Api Islam, 1966

Dahm, Bernard. Soekarno and Struggle for Indonesian Indepence, Ithaca: Cornell University Press, 1969

 

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Lambang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Balai Pustaka, 1978

 

Dewantara, Ki Hadjar. Karya Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama : Pandidikan, cet. II, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977

 

Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik di Indonesia, terj. Ihsan Ali-Fauzi, Jakarta: Paramadina, 1998

 

Fadhali, Amak. Partai NU dengan Aqidah dan Perkembangannja, Semarang: toha Putra, 1969

 

Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta : LKiS, 2003

 

————– dan Barton, Greg (ed). Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Yogyakarta: LKiS, 1997

 

Federspiel, Howard M. “Soekarno dan Apolog-apolog Muslimnya”, terj.  Jajat Burhanuddin dan Nasrullah Ali Fauzi, dalam Ulumul Quran no. 7,Jakarta: LSAF, 1990

 

Feith, Herbert. Dynamics of Guided Democracy, dalam Ruth T. Mc Vey  ed , Jurnal Indonesia, Southeast Asia Studies,  1963

 

—————-. Soekarno – Militer dalam Demokrasi Terpimpin, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.

 

—————-. dan Castle, Lance (ed), Indonesian Political Thinking, 1945-1965, Ithaca: Cornell University Press, 1970

 

Feeillard, Andree. NU vis-à-vis Negara, Pencarian Bentuk, Isi dan Makna, terj: Lesmana, Yogyakarta: LKiS, 1999

 

Gaffar, Afan. Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, cet. IV, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003

 

Hadariansyah, KH. Hasan Basri 1920-1998, Kajian Biografis Tokoh MUI, Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah, tidak terbit.

 

Haidar, Ali. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih dalam Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustataka Utama, 1998

 

Haris, Syamsuddin. Demokrasi di Indonesia, Gagasan dan Pengalaman, Jakarta: LP3ES, 1995

 

Hatta, Mohammad. Demokrasi Kita, Jakarta: Pustaka Antara, 1966

 

Irsyam, Mahrus. Ulama dan Politik, Upaya Mengatasi Krisis, Jakarta: Yayasan Pengkhidmatan, 1984

 

Ja>biri>, Muhammad ‘A<bed al-. Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahman, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001

 

————————————–. Syura, Tradisi-Partikularitas-Universalitas, terj. Mujiburrahman, Yogyakarta: LKiS, 2003

 

Kailani, Najib. Pemikiran Politik Islam Muhammad A>bid al Ja>biri, Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 2002, skripsi tidak terbit.

 

Kayam, Umar. Para Priyayi, Cet. VIII, Jakarta: Graffiti, 2001

 

Legge, John D. Soekarno : Sebuah Biografi Politik, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1985

 

Lev, Daniel S. Transition To Guided Democracy : Indonesian Politics, 1957-1959, New York : Cornel University, 1966

 

Ma’arif, Ahmad Syafi’I. Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin [ 1959-1965 ],  Jakarta : Gema Insani Press, 1996

 

Martimbang, Eka Dolok. Profil H. Syafriansyah : Pikiran dan Prilaku Islami, Banjarmasin : Keluarga Besar H. Syariansyah, 2003.

 

Mujiburrahman, “Muhammad ‘Abid al Jabiri dan Proyek Kebangkitan Islam, Pengantar Penerjemah” dalam Muhammad ‘Abid al Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahman, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001

 

Mujiburrahman, “Memadukan Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun, Pengantar Penerjemah” dalam Syura, Tradisi-Partikularitas-Universalitas, terj. Mujiburrahman, Yogyakarta: LKiS, 2003

 

Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1987

 

Panitia Pelaksana, 50 Tahun Perguruan Islam Rasyidiyyah Khalidiyyah Rakha Amuntai-Kalimantan Selatan 1922-1972, Amuntai : Yayasan Pemelihara Perguruan Islam Rakha, 1972

 

Partanto, Pius A., dan Al Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer,Surabaya: Arkola, 1994

 

Rafi’ie, A.  Kurikulum Pendidikan dan Pengajaran Pesantren Rasyidiyyah Khalidiyyah Amuntai, makalah disampaikan dalam Rapat Paripurna Reuni Alumni Rakha tahun 2001.

 

Sunardi, St. “Tujuh Hari Terakhir di Labirin”, pengantar dalam Umberto Eco, The Name of The Rose, Terj: Nin Bakdi Soemanto, cet. IIYogyakarta: Bentang, 2004

 

Sundhaussen, Ulf. Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi Fungsi ABRI, terj. Hasan Basari, cet. II, Jakarta: LP3ES, 1988

 

Surjomihardjo, Abdurrachman. Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: Sinar Harapan, 1986

 

Tambunan, A. S. S.  MPR, Perkembangan dan Pertumbuhannya, Suatu Pengamatan dan Analisis, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.

 

Tempo, Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982, Jakarta: Grafiti, 1981

 

The New Encyclopedia Britanica, vol. 4, Micropedia, Ready Reference,Encyclopedia Britania Inc. Chicago: University of Chicago Press, 1998

 

Wehr, Hans.  A Dictionary of Modern written Arabic, Arabic-English, cet. III, kerjasama antara Beirut: Librairie du Liban, dan London: MacDonald & Evans Ltd, 1980

 

Zaini, Achmad. Kyai Abdul Wahid Hasjim: His Contribution to Muslim Educational Reform and Indonesian Nationalism during the Twentieth Century, Indonesian Academic Society XXI, 1998. 

 

Zuhri, Saifuddin. Berangkat dari Pesantren,  Jakarta : Gunung Agung, 1987

 

Zuhri, Saifuddin. Guruku Orang-Orang dari Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2001


[1] Demokrasi Parlementer berjalan di Indonesia dari tahun 1950 – 1959 atau hampir sepuluh tahun, sampai tak bisa lagi mempertahankan diri, karena diserang terus menerus oleh para pembencinya dan ditinggalkan para pendukungnya. Babak selanjutnya adalah tegaknya Demokrasi Terpimpin yang merupakan kemenangan politik Soekarno dan sekutu-sekutunya ; ABRI, dan PKI. Herbert Feith, Dynamics of Guided Democracy, dalam Ruth T. McVey (ed), Jurnal Indonesia, Southeast Asia Studies (1963), hlm. 322 ; Afan Gaffar, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, cet. IV (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 12.

 

[2] Afan Gaffar, Politik Indonesia, hlm 24-29.

[3] John D. Legge, Soekarno : Sebuah Biografi Politik (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1985), hlm 324 . Cetak miring dari penulis.

 

[4] Ide tentang kabinet berkaki empat ini masih dalam kerangka besar “persatuan” yang telah dikemukakan Soekarno di tahun 30-an. Kelak, saat Masyumi dibubarkan dan tinggallah NU sebagai partai Islam terbesar, ide persatuan kembali dikemukakan  Soekarno lewat Nasakom, akronim dari Nasionalisme, Agama, dan Komunis. “Kegandrungan” Soekarno akan persatuan dan kerjasama semua golongan ini di satu sisi adalah cerminan pemikiran dan visi seorang pemimpin besar  terhadap bangsanya, namun di sisi lain ia mudah meremehkan jurang yang memisahkan pandangan-pandangan yang saling berlawanan. Ibid., hlm.  326.

Pandangan tokoh-tokoh NU menjadi satu bukti atas hal tersebut. “Soekarno kelewat gandrung persatuan hingga termakan oleh ambisinya mempersatukan partai-partai yang sejak semula mempunyai unsur-unsur yang berbeda, yang mustahil bisa dipersatukan,” ujar Kiai Wahab Chasbullah. Kiai Dachlan menambahkan, “Bagaimana politik Nasakom hendak diwujudkan padahal secara prinsipil nasionalisme bertentangan dengan komunisme, apalagi antar agama ( terutama Islam ) dengan komunisme yang tidak mungkin bisa dipersatukan”. Lebih jauh mengenai pembacaan tokoh NU mengenai Nasakom lihat. Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren ( Jakarta : Gunung Agung, 1987), hlm. 445-447. Dalam perkembangan selanjutnya, NU akhirnya mau bekerjasama dengan PKI, namun sesungguhnya itu hanya bersifat semu.

 

[5] John D. Legge, Soekarno, hlm. 325.

 

[6] Yang menjadi keluhan utama daerah antara lain adalah pembagian kembali kekayaan yang diperoleh dari daerah-daerah yang kaya minyak dan bahan tambang di luar Pulau Jawa, berkembangnya pengaruh kekuatan PKI dalam percaturan politik nasional, serta ‘Jawanisasi’ aparat pemerintahan. Ketidakpuasan daerah semakin meningkat setelah Hatta, yang dianggap sebagai pemimpin pemerintahan yang mewakili daerah luar Jawa, mengundurkan diri dari jabatan wakil PresidenRI pada awal Desember 1956. Sederetan upaya kudeta tak berdarah yang dipimpin para komandan militer terjadi di tiga propinsi di Sumatera selama 4 hari, 20-24 Desember. Para pemimpin kudeta di Sumatera menuntut agar Kabinet Ali segera mundur dan digantikan oleh Kabinet zaken yang dipimpin Hatta. Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama,Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta : LKiS, 2003),  hlm. 241 ; Feith, Dynamics, hlm. 317-319 ; Legge, Soekarno,, hlm.322-324.

 

[7] Greg Fealy,Ijtihad,  hlm. 242 .

[8] Alasan pembubarannya adalah karena sebagian pemimpinnya terlibat dalam pemberontakan PRRI/ Parmesta, dan penolakan mereka dalam melengkapi persyaratan untuk tetap “hidup” sebagai partai politik sebagaimana yang telah ditetapkan Soekarno dan militer.

 

[9] Greg Fealy, Ijtihad, hlm. 239-255

 

[10] NU menafsirkan istilah ma’ruf (baik) dan mungkar (buruk) secara luas, yang bukan hanya terkait dengan kepentingan keagamaan tetapi juga kepentingan politik dan sosio-ekonomi. Ketiga kaitan ini dipandang memiliki kaitan erat satu sama lain. Agar umat bisa tetap taat beribadah, merasa tenteram dan aman, mereka juga harus makmur dan memiliki pengaruh politik. Segala bentuk tindakan yang mendukung kepentingan-kepentingan di atas diklasifikasikan sebagai ma’ruf atau maslahat  (baik), sedangkan tindakan yang mengganggunya termasuk mungkar atau mafsadat. Greg Fealy, Ijtihad, 364

[11] Idham Chalid, Islam dan Demokrasi Terpimpin (Jakarta: Madjalah Sepekan Api Islam, 1965), hlm. 47-49

 

[12] Dikutip dari Endang Saifuddin Ansary, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, (Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1981), hlm. 86

 

[13] Mohammad Hatta, Demokrasi Kita (Jakarta: Pustaka Antara, 1966), hlm. 5-8

[14] Howard M. Federspiel, “Soekarno dan Apolog-apolog Muslimnya”, terj. Jajat Burhanuddin dan Nasrullah Ali Fauzi, dalam Ulumul Quran no. 7 (Jakarta: LSAF, 1990), hlm, 36-43.

 

[15] Daniel S. Lev, Transition To Guided Democracy : Indonesian Politics, 1957-1959 (New York : Cornel University, 1966).

 

[16] Herbert Feith, Soekarno – Militer dalam Demokrasi Terpimpin (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995).

 

[17] Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin [ 1959-1965 ] ( Jakarta : Gema Insani Press, 1996 ).

 

[18] Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967,  (Yogyakarta : LKiS, 2003 ).

[19] Muhammad ‘Abid al Ja>biri, Syura, Tradisi-Partikularitas-Universalitas, terj. Mujiburrahman (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 26.

 

[20] Ibid.

[21] Ibid., hlm. 32.

 

[22] Taufik Abdullah, “ Islam dalam Sejarah Nasional: Sekedar Penjelajahan Masalah” dalam Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 234-235.

 

[23] Idham Chalid, Islam dan Demokrasi Terpimpin ( Jakarta : Endang-Pemuda, 1965 ).

[24] Idham Chalid, Mendajung dalam Taufan ( Jakarta : Endang-Api Islam, 1966 ).

[25] St. Sunardi, Tujuh Hari Terakhir di Labirin, pengantar dalam Umberto Eco, The Name of The Rose, Terj: Nin Bakdi Soemanto, cet. II(Yogyakarta: Bentang, 2004), hlm. xx ; Anton Bakker dan Ahmad Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, cet. VII (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 15.

[26] Dari sedikit publikasi yang ada tentang Idham antara lain dalam Tim Penulis Tempo, Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (Jakarta: Grafiti, 1981), hlm. 99; Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 290-291; serta semacam Curriculum Vitae yang ditanda tangani  Idham yang dilampirkan dalam kumpulan pidatonya,  Mendajung dalam Taufan,  (Djakarta: Endang-Api Islam, 1966), hlm. 133-135. Selebihnya kisah Idham Chalid disajikan secara sepenggal-sepenggal  di berbagai tulisan baik ilmiah maupun berita di media massa dan biasanya berkaitan dengan sejarah NU. Selain dalam bentuk tulisan, riwayat hidup Idham direkam dalam kaset-kaset (Interview Series) yang disimpan Arsip Nasional.

 

[27] Idham Chalid, Mendajung, hlm. 133. Berbeda dengan yang dimuat Tempo, Idham disebutkan lahir 5 Januari 1921. Lih. Tim Penulis Tempo, Apa dan Siapa,hlm. 99. Data-data inilah yang dikutip Martin van Bruinessen, NU,  dan Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967, terj: Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar (Yogyakarta: LKiS, 2003).

 

[28] Wawancara dengan H. Taberani Basri dan Istri, 24 Oktober 2004, di  Banjarmasin.

H. Taberani Basri (lahir 1938) adalah alumni Pon-pes Rasyidiyyah Khalidiyyah (Rakha) Amuntai (lulus 1955) dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah menjadi Wakil Ketua Tanfidziyyah PWNU Kalimantan Selatan selama dua periode dan satu periode untuk jabatan Ketua Tanfidziyyah sampai 2002, Dosen di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin (pensiun tahun 2003). Isterinya bernama Hj. Rasyidah (lahir 1940), adalah puteri ketiga dari H. Juhri Sulaiman pimpinan kedua Pesantren Rakha (waktu itu masih bernama Madrasah al Rasyidiyyah). H. Juhri Sulaiman memiliki hubungan keluarga dengan Idham Chalid ( Idham adalah pamannya walaupun usianya jauh lebih muda) dan beliau tinggal di wilayah Tangga Ulin – Amuntai dimana Idham menghabiskan masa kecilnya.

 

[29] Greg Fealy, Ijtihad, catatan no 115, hlm. 231.

 

[30] Wawancara dengan H. Napiah, 24 November 2004 di Amuntai.

H. Napiah adalah sahabat Idham sejak kecil di Amuntai, orang dekat sekaligus tangan kanan Idham di Rakha. Sering berkunjung ke kediaman Idham di Jakarta atas undangan Idham bahkan sampai Idham sakit keras di pertengahan tahun 90-an. Menjadi pimpinan Rakha sejak awal tahun 1980-an. Sampai sekarang masih aktif di Yayasan Rasyidiyyah Khalidiyyah dan menjadi salah satu tokoh masyarakat Amuntai.

 

 

[31] Wawancara dengan H. Napiah, 24 November 2004 di Amuntai. Beliau bercerita bahwa badan Idham yang kecil membuat dia harus menggunakan bangku agar kelihatan saat berpidato di podium.  Ini terjadi ketika Idham diundang berpidato di Amuntai yang dihadiri khalayak ramai setamatnya dari Madrasatur Rasyidiyyah. Kemampuan berpidatonya di usia yang sangat muda menjadi daya tarik tersendiri bagi Idham Chalid.

 

[32] Panitia Pelaksana,  50 Tahun Perguruan Islam Rasyidiyyah Khalidiyyah (Rakha) Amuntai-Kalimantan Selatan 1922-1972 (Amuntai : Yayasan Pemelihara Perguruan Islam Rakha, 1972), hlm.23-32.

 

[33] Ibid.;  Wawancara dengan H. Taberani Basri dan Istri, 24 Oktober 2004, di  Banjarmasin.

 

[34] Wawancara dengan H. Napiah, 24 November 2004 di Amuntai..

 

[35] Panitia Pelaksana,  50 Tahun, hlm. 34 dan Idham Chalid, Mendajung …, hlm. 133.

 

[36] Idham Chalid, Mendajung, hlm. 133. ; Wawancara dengan H. Napiah, 24 November 2004 di Amuntai.

 

[37] Wawancara dengan H. Napiah, 24 November 2004 di Amuntai.; lih. Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 373-374.

 

[38] Lih. Umar Kayam, Para Priyayi, cet. VIII (Jakarta: Graffiti, 2001), hlm. 52.

 

[39] Panitia Pelaksana,  50 Tahun, hlm. 35

 

[40] Ibid.

 

[41] A. Rafi’ie, Kurikulum Pendidikan dan Pengajaran Pesantren Rasyidiyyah Khalidiyyah Amuntai, makalah disampaikan dalam Rapat Paripurna Reuni Alumni Rakha tahun 2001.

 

[42] Panitia Pelaksana,  50 Tahun, hlm. 34. 

 

[43] Idham Chalid, Mendajung, hlm. 133. Kepengurusan IMI terdiri dari dua Majelis, Majelis Syura dan Majelis Luhur. Idham menjadi Ketua Majelis Luhur. Susunan lengkap majelis luhur lih. Panitia Pelaksana,  50 Tahun, hlm. 114.

 

[44] Wawancara dengan H. Taberani Basri dan Istri, 24 Oktober 2004, di  Banjarmasin.

 

[45]  Idham Chalid, Mendajung, hlm. 133.

 

[46] Sekolah ini telah berdiri sejak tahun 1922 dan beberapa kali berganti nama. Saat ini dikenal dengan nama Pesantren Rasyidiyyah Khalidiyyah (Rakha) yang merujuk kepada dua orang pendirinya: Tuan Guru H. Abdurrasyid dan Tuan Guru H. Khalid. Pesantren ini juga telah banyak menyumbangkan alumni-alumni yang berkiprah sebagai ulama sekaligus bekerja di Pemerintahan atau Perguruan Tinggi Agama untuk daerah Kal-Sel di tahun 70-an hingga sekarang. Hal ini karena banyak dari mereka yang setamat dari pesantren tersebut melanjutkan pendidikan ke IAIN dan memperluas wawasan dengan bergabung di berbagai organisasi. Selain itu banyak pula tokoh-tokoh masyarakat daerah ini yang pernah nyantri atau merupakan alumninya. Banyak pula di antara alumninya yang menjadi aktivis NU yang lalu masuk PPP atau Golkar. Sebagai contoh dapatlah disebut nama Syafriansyah yang sekarang menjadi politisi PPP dan Ahmad Makki yang aktif di partai Golkar.

 

[47] Badan Pengembangan dan Penelitian Daerah (Bappelda) Pem. Prov. Kal-Sel, Sejarah Banjar (Banjarmasin: Pem. Prov Kal-Sel, 2003), hlm. 343.

 

[48] Badan Pengembangan dan Penelitian Daerah (Bappelda) Pem. Prov. Kal-Sel, Sejarah Banjar, hlm. 345-7.

 

[49] Idham Chalid, Mendajung, hlm. 133.

 

[50] Pada tanggal 15 Agustus 1945 tuan Hayakawa, Borneo Minseibu Cokan, memanggil tokoh-tokoh pergerakan di Banjarmasin, yaitu Hadariyyah M, Mr. Rusbandi dan Pangeran Muda Ardi Kesuma. Dijelaskan pada mereka bahwa Jepang sudah menyerah kepada sekutu dan dalam waktu dekat tentara sekutu akan tiba di Banjarmasin. Pemerintah Jepang juga menyarankan agar di Banjarmasin didirikan sebuah partai politik. Tuan Hayakawa semula mengharapkan agar PRI bisa membela kepentingan Jepang, sehingga segenap fasilitasnya digunakan untuk mengembangkan partai ini. Tetapi, orang-orang Jepang itu harus gigit jari karena keberpihakan pengurus PRI justru kepada kemerdekaan RI. Lih. Badan Pengembangan dan Penelitian Daerah (Bappelda) Pem. Prov. Kal-Sel, Sejarah Banjar, hlm. 343 dan Yusni Antemas dkk, Lintas Sejarah Perjuangan Kemerdekaan dan Berdirinya Kabupaten HSU (Amuntai : Pemkab. HSU, 2003), hlm. 28

 

[51] Badan Pengembangan dan Penelitian Daerah (Bappelda) Pem. Prov. Kal-Sel, Sejarah Banjar, hlm. 343 ; juga Hadariansyah, KH. Hasan Basri (1920-1998), Kajian Biografis Tokoh MUI, Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah, tidak terbit, hlm. 73. KH. Hasan Basri adalah tokoh Masyumi asal Kalimantan Selatan, kira-kira seangkatan dengan Idham Chalid. Pernah menjadi anggota DPRS mewakili Kal-Sel, salah satu Ketua Partai Masyumi, dan turut serta terlibat dalam usaha rehabilitasi partai ini di awal Orde Baru. Ia juga terlibat dalam pendirian Parmusi dan terakhir menjadi ketua MUI dalam masa yang cukup panjang.  

 

[52] Bukan yang disebut footnote di atas. Hassan Basry (yang) ini adalah Bapak Gerilya Kalimantan Selatan. Lahir 17 Juni 1923 di Desa Padang Batung. Lebih lanjut lih. Anonim, Mengenang Hassan Basry (Banjarmasin: Pem. Prov. Kalimantan Selatan, tt).

 

[53] ALRI atau Angkatan Laut Republik Indonesia DIVISI IV berdiri di Mojokerto (Jawa Timur). Organisasi ini bertugas mempersatukan kekuatan dan tenaga pejuang asal Kalimantan yang berada di pulau Jawa. Secara resmi kesatuan ini dilantik tanggal 4 April 1946 oleh Laksamana Muda M. Nasir dan bermarkas Mojokerto (kemudian pindah ke Tuban). 15 Nopember 1946 utusan ALRI DIVISI IV Mojokerto ke Kalimantan menemui Hassan Basry  untuk menyampaikan tugas yang diberikan padanya, yakni menyiapkan satu batalyon ALRI DIVISI IV di Kalimantan. Tugas itu dilakukan dengan cara meleburkan banyak organisasi dan badan-badan perjuangan. Anonim, Mengenang Hassan Basry, hlm. 8-10.

 

[54] Panitia Pelaksana,  50 Tahun, hlm. 35.

 

[55] Idham Chalid, Mendajung, hlm. 133.

 

[56] Pemungutan suara umum secara langsung pada suatu daerah untuk menentukan status daerah yang bersangkutan. Lih. Pius A. Partanto, M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer ,(Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 603.

 

[57]  Idham Chalid, Mendajung,  hlm. 134. 

 

[58]  Martin van Bruinessen, NU, hlm. 231 dan Wawancara dengan H. Taberani Basri dan Istri, 24 Oktober 2004, di  Banjarmasin.

 

[59]  Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren (Jakarta: Gunung Agung, 1987), hlm. 397.

 

[60] Greg Fealy, “Wahab Chasbullah, Tradisionalisme dan Perkembangan Politik NU” dalam Greg Fealy dan Greg Barto (Ed), Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (Yogyakarta: LKiS, 1997), hlm. 26.

 

[61]  Tim Penulis  Tempo, Apa dan Siapa, hlm. 99.

 

[62] Lapunu (Lajnah Pemilihan Umum Nahdhatul Ulama), sebuah dewan khusus yang menangani pemilu bagi partai NU yang dibentuk bulai Mei 1953. Lapunu bertanggung jawab menangani segala permasalahan yang berhubungan dengan pemilu, termasuk pengaturan logistik, pelatihan juru kampanye, perumusan strategi, penyusunan dan pemeriksaan (Screening) daftar para calon, pengumpulan dana, hubungan dengan pejabat yang berwenang, dan mengumpulkan hasil pemungutan suara. Struktur Lapunu menyerupai NU, dengan dewan pengurus dari tingkat nasional hingga cabang-cabang NU di daerah. Sebelum dijabat Idham tahun 1954, posisi ketua ditempati oleh Saleh Surjaningprojdo. Greg Fealy, Ijtihad, hlm. 186-187 dan 230. Tetapi, Saifuddin Zuhri menyebutkan bahwa Ahmad Sjaichu-lah yang mengetuai Lapunu. Lih. Saifuddin Zuhri, Berangkat, hlm. 432. Greg Fealy mendasarkan keterangannya pada Seri Wawancara Arsip Nasional dengan Idham (kaset no. 20), sementara Saifuddin Zuhri pada ingatannya sebagai pelaku sejarah. Fealy mengatakan bahwa dia meragukan akurasi beberapa data dalam buku Saifuddin tersebut. Menurutnya, Berangkat, walaupun sangat kaya informasi, tidak seseksama buku lain Saifuddin. Ditambah keterangan  beberapa sumber termasuk Nuddin Lubis dan Muslich yang memuji prestasi Idham sebagai ketua Lapunu.

[63] Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 33 dan Mahrus Irsyam, Ulama dan Politik, Upaya Mengatasi Krisis (Jakarta: Yayasan Pengkhidmatan, 1984), hlm. 83-131, dikutip dari Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustataka Utama, 1998),hlm. 170.

 

[64] Lebih lanjut tentang tema dan metode kampanye NU lih. Ali Haidar, Ibid., hlm. 170-174 ; Greg Fealy, Ijtihad, 187-192 ; juga Saifuddin Zuhri, Berangkat, hlm. 432-433.

 

[65] Dikutip dari Greg Fealy, Ijtihad, 225. tetapi, jika menggunakan tahun kelahiran Idham seperti yang saya tulis di bagian awal Bab ini, umurnya belum genap 34 tahun.

 

[66] Seorang kiai yang berubah menjadi politisi. Lahir di Pasuruan (Jawa Timur) pada 1909. Dia belajar di berbagai pesantren, termasuk Tebuireng, dan Akhirnya di Mekkah. Menjadi Ketua NU cabang Bangil  pada 1930 dan dengan cepat melejit, mewakili NU dalam kepengurusan Masyumi sejak 1945 hingga 1952. Pada April 1953  terpilih menjadi ketua umum hingga digantikan Idham Chalid tahun 1956. Dia adalah politisi NU yang sangat kritis terhadap Demokrasi Terpimpinnya Soekarno, menolak duduk di kuri DPR-GR yang ditawarkan padanya. Pendiri pendamping dan wakil ketua Liga Demokrasi (1960). Dia kembali tampil ketika terjadi Kup Untung sebagai aktif Front Pancasila, dan ditunjuk sebagai wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada 1966. (Roeder: 1971, 69) sebagaimana termuat dalam Martin van Bruinessen, NU, hlm. 290.

 

[67] Greg Fealy, Ijtihad, hlm. 225-226, dan catatan no. 104.

 

[68] Ibid., hlm. 231. Lulusan Gontor lainnya yang juga menjadi aktivis NU adalah Syukron Makmun dan Ketua PBNU sesudah Gusdur, Hasyim Muzadi.

 

[69] Secara kritis hal ini dibahas dalam Martin van Bruinessen, NU, terutama hlm.115-149; bdk. dengan Greg Barton, Biografi Gusdur, terj. Lie Hua (Yogyakarta: LKiS, 2002), hlm. 150-161.

 

[70] Keseluruhan anggotanya berjumlah 45 orang. Badan ini dibentuk bersamaan dengan pembentukan dua dewan agung baru, yang satu ialah (yang sebenarnya adalah Dewan Nasional dalam bentuk baru), diketuai oleh Ruslan Abdulgani. Yang kedua Dewan Perancang Nasional yang telah lama dijanjikan, beranggotakan 70 orang, diketuai oleh Prof. Muhammad Yamin. Pembentukan badan-badan ini oleh Soekarno adalah dalam rangka membangun struktur politik Demokrasi Terpimpin. Lih. Herbert Feith, ”Dynamics of Guided Democracy”, dalam Ruth T. McVey (ed), Indonesia (New Haven: Southeast Asia Studies, Yale University, 1963), hlm. 358-362.  

 

[71]  Martin van Bruinessen, NU, hlm.75.

 

[72] Greg Fealy, Ijtihad, 175 dan catatan no. 99.

 

[73] Idham Chalid, Mendajung, hlm. 135.

 

[74]. A. S. S. Tambunan, MPR, Perkembangan dan Pertumbuhannya, Suatu Pengamatan dan Analisis (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), hlm. 97-98.

 

[75] Dikutip dari Greg Fealy, “Lampiran 1: Menteri NU, 1957-1967” dalam Ijtihad., hlm. 375.

 

[76] Martin van Bruinessen, NU, hlm. 291.

 

[77] Ibid., hlm. 101.

 

[78] Ali Haidar,  Nahdatul Ulama, hlm. 175.

 

[79] Martin van Bruinessen, NU, hlm. 102.

 

[80] Ibid., hlm. 103 dan 291.

 

[81] Ibid., hlm. 291

 

[82] Panitia Pelaksana,  50 Tahun, hlm. 36. 

[83] Idham Chalid, Mendajung, hlm. 134-135.

 

[84] Ibid.

[85] Di sisi lain hal ini bisa jadi merupakan perwujudan dari sifat Idham yang tidak memaksakan NU sebagai sebuah ideologi kepada setiap orang yang dibantu atau ditemuinya. Ada suatu kejadian yang bisa menjadi bukti pendapat seperti ini. Ketika ada seorang rekannya yang aktif di kepengurusan Ma’arif daerah Kalimantan Selatan, yang berkeinginan untuk “me-Ma’arifkan” semua sekolah yang ada dalam jaringan IMI yang pernah dibentuk Idham ketika di Amuntai, Idham menolaknya. Ia berkata selama ia hidup maka hal itu takkan dibiarkannya terjadi. Wawancara dengan H. Taberani Basri dan Istri, 24 Oktober 2004, di  Banjarmasin.

 

[86] Greg Fealy, Ijtihad, 232.

[87] Ibid., hlm. 231. 

 

[88] Ibid., hlm. 177.

 

[89] Ali Haidar, Nahdatul Ulama, hlm. 168 .

 

[90] Dikutip dari Eka Dolok Martimbang, Profil H. Syafriansyah : Pikiran dan Prilaku Islami (Banjarmasin : Keluarga Besar H. Syariansyah, 2003), hlm. 106-107. H Syafriansyah adalah santri pondok pesantren Rakha, pernah menjadi wakil ketua partai NU Kalimantan Selatan. Ia menjadi bagian dari “Kubu Cipete” sebagai lawan dari “kelompok Situbondo” pada tahun-tahun penarikan NU dari politik praktis (Khittah 1926). Masih aktif sebagai politisi PPP dan saat menjadi anggota DPR RI. Syafriansyah dan Idham Chalid sama-sama putera Kalimantan Selatan, dan Syafriansyah menganggap seniornya itu sebagai gurunya.

 

[91] Greg Fealy, Ijtihad, hlm. 353. Kritik juga dilontarkan para peneliti NU yang menurut kategori Greg Fealy menggunakan ‘Pendekatan yang didominasi modernis’.

[92] Bdk dengan Ali Haidar : 1998. 

 

[93] Greg Fealy, Ijtihad, hlm. 325-351 dan Andree Feeillard, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Bentuk, Isi dan Makna, terj: Lesmana (Yogyakarta: LKiS, 1999), terutama hlm. 95-105.

[94] Dikutip dari Idham Chalid, Islam dan Demokrasi Terpimpin (Jakarta: Madjalah Sepekan Api Islam, 1965), hlm. 38.

 

[95] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Lambang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1978). Dikutip dari Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hlm.9 . Abdurrachman Surjomiharjdo juga merupakan salah satu anggota panitia pengumpulan karya-karya Ki Hadjar Dewantara.

 

[96] Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama : Pandidikan, cet. II (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977), hlm. 75. 

 

[97] Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hadjar Dewantara, hlm. 29.

 

[98] Ibid., hlm. 30. Seorang  penulis mengkritik konsep Ki Hajar Dewantara ini sebagai “domestikasi” gagasan demokrasi sebagaimana yang dikembangkan kaum tradisionalis Jawa. Padahal sebelumnya, bersama dengan Tjipto Mangunkusumo ia adalah sedikit dari elit pergerakan asal Jawa yang sungguh-sungguh berbicara tentang demokrasi dengan nilai-nilainya yang universal. Lih. Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia, Gagasan dan Pengalaman (Jakarta: LP3ES, 1995), hlm. 107-109.

 

[99] Sebuah perkembangan lebih lanjut dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang demokrasi tercermin dalam karyanya kemudian berjudul “Demokrasi dan Leiderschap”. Karya ini merupakan tanggapan atas sistem Demokrasi Terpimpinnya Soekarno. Diterbitkan Majelis Luhur Taman Siswa pada tahun 1959.

 

[100] John D. Legge, Soekarno, Sebuah Biografi Politik (Jakarta: Sinar Harapan, tt), hlm. 321-323.

[101] John D. Legge, Soekarno, hlm. 325.

 

[102] Ibid., hlm. 326.

 

[103] Dikutip dari Idham Chalid, Islam, hlm. 37.

 

[104] John D. Legge, Soekarno, hlm. 327.

[105] Idham Chalid, Islam, hlm. 32. 

 

[106]  The New Encyclopedia Britanica, vol. 4, Micropedia, Ready Reference,Encyclopedia Britania Inc. (Chicago: University of Chicago Press, 1998), hlm. 5. Dikutip dari Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), hlm. 71.

 

[107] Idham Chalid, Islam, hlm.32

 

[108] Ibid., hlm. 33.

 

[109] Ibid.

 

[110] Gaya pemaparan seperti ini sangat-lah khas Idham. Pemaparan yang diselingi kisah yang diambil dari sejarah Islam. Dengan menggunakan metode ini, konsep yang rumit dianggap lebih mudah untuk dipahami, dan  disisi lain menunjukkan bahwa Idham sangat menguasai pengetahuan keagamaan. Lih. Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967, hlm. 231 dan wawancara dengan H. Syafriansyah,  21 November 2004 di Banjarmasin. Tentang Syafriansyah telah diterangkan di bab II, catatan no. 65.

                                                                                                                  

[111] asy Sy>ura(42) : 38.

 

[112] Ali Imra>n (3) : 159.

 

[113] Idham Chalid, Islam, hlm. 40

[114] Ibid., hlm. 41

 

[115] Ibid., hm. 42

 

[116] Ibid., hlm. 44. Idham menyebutkan sumber kutipan sebagai berikut: (Tafsir al Alusi, juz IV) tanpa menyebut halaman.

 

[117] Ibid., hlm. 45.

 

[118] Ibid.

[119] Ibid., hlm. 47.

[120] Ibid., hlm. 49.

 

[121] Tahki>m sering dipadankan dengan  arbitrasi, atau penunjukan seorang penengah yang disepakati bersama untuk menyelesaikan suatu masalah. Lih. Hans Wehr,  A Dictionary of Modern written Arabic, Arabic-English, cet. III, kerjasama antara (Beirut: Librairie du Liban, dan London: MacDonald & Evans Ltd, 1980), hlm. 197. Dalam kasus perang Shiffi>n kelompok Ali menunjuk Abu Musa Al Asy’ary, sementara kelompok Mua’wiyah mendelegasikan ‘Amr bin al ‘Ash..  

 

[122] Idham Chalid, Islam, hlm. 50.

 

[123] Ibid., hlm. 51.

 

[124] Idham Chalid, Islam, hlm. 59. Idham tidak menyebutkan sumbernya. Penyusun menemukan hadist tersebut dengan redaksi yang agak berbeda dalam Al Mazzi Abu al Hajj<aj, Tahdzi>b al Kama>l, Juz. 21 ( Libanon: Da>r el Fikr, tt), hlm. 117. Selengkapnya berbunyi :

 

عن أنس بن مالك، قال: سمعتُ رسول الله يقول: «إنَّ أُمتـي لا تَـجتـمع علـى ضَلالة، فإذا رأيتُـم الاختلاف فعلـيكم بـالسَّواد الأعظم الـحق وأهله» (أخرجهُ من حديث الولـيد بن مُسلـم عن معاذ بن رفـاعة)

 

[125] Lafdz al ‘A<mm di sini bermakna suatu pedoman umum, sementara takhsi>s berarti spesifikasi atas pedoman yang berlaku umum tersebut.  Al ‘A<mm, al Kha>sh atau Takhsi>s merupakan istilah dalam Ushu>l Fiqh. Lebih lanjut lih. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qorib ( Semarang: Dina Utama, 1994), terutama kaidah keenam dan ketujuh, hlm. 278-308.

[126] al An’a>m  (6) : 116.

 

[127] Idham Chalid, Islam, hlm. 60. Penyusun menemukan hadits dengan redaksi yang sama dalam Ibnu Hibba>n, Shahih Ibnu Hibba>n, Juz. 4 (Lebanon : Da>r el Fikr, tt), hlm. 261.

 

[128] Idham Chalid, Islam, hlm. 57.

 

[129] Ibid., hlm. 59.

 

[130] Ibid., hlm. 58.

 

[131] Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967, terj: Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 25 dan 35-36; Bdk. Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1994), 41-45.

 

[132] Ibid., hlm. 48-50.

 

[133] Ibid., hlm. 62.

 

[134] Ibid., hlm. 362.

 

[135] Ibid., hlm. 363.

 

[136] Tim Penulis Tempo, Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (Jakarta: Grafiti, 1981), hlm. 99.

 

[137] Greg Fealy, Ijtihad, hlm. 76.

 

[138] Disampaikan dalam kursus pelatihan kader partai pada tahun 1969. Amak Fadhali (comp.), Partai NU dengan Aqidah dan Perkembangannja (Semarang: toha Putra, 1969), hlm. 13-14 . Dikutip dari Greg Fealy, Ijtihad, hlm. 77-78.

 

[139] Greg Fealy, Ijtihad, hlm. 78-79 dan catatan no. 43.

 

[140] Alfian, “Ideologi, Idealisme dan Integrasi Nasional” dalam Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia ( Jakarta: PT. Gramedia, 1983), hlm. 187.

 

[141] Herbert Feith dan Lance Castle (ed), Indonesian Political Thinking, 1945-1965 (Ithaca: Cornell University Press, 1970). Dikutip dari Alfian, “Pemikiran Politik di Indonesia” dalam Pemikiran, hlm. 101.

 

[142] Lih. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik di Indonesia, terj. Ihsan Ali-Fauzi (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 72-82.

 

[143] Ibid., hlm. 88.

 

[144] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 (Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1987), hlm. 40. 

 

[145]  Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hlm. 90.

 

[146] Misalnya seperti yang dipaparkan oleh Achmad Zaini tentang Wahid Hasjim (salah seorang wakil Islam di PPKI) dalam karyanya, Kyai Abdul Wahid Hasjim: His Contribution to Muslim Educational Reform and Indonesian Nationalism during the Twentieth Century (Indonesian Academic Society XXI, 1998). 

 

[147] Batiar Effendy, Islam dan Negara, hlm. 92. 

 

[148] Alfian, “Format Baru Politik Indonesia” dalam Pemikiran, hlm. 33.

 

[149] Herbert Feith, Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), hlm. 16.

 

[150] Salah satu kajian yang secara khusus membahas masalah ini adalah karya Endang Saifuddin Ansary, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959 (Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1981).

 

[151] Lih. Herbert Feith, Soekarno-Militer , hlm. 74-75; bdk. Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi Fungsi ABRI, terj. Hasan Basari, cet. II (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm 239, dan John D. Legge, Soekarno, hlm. 350.

 

[152]  Istilah Common Denominator digunakan oleh Bernard Dahm dalam karyanya, Soekarno and Struggle for Indonesian Indepence (Ithaca: Cornell University Press, 1969).

 

[153] Alfian, “Dasar-Dasar Pemikiran Soekarno” dalam Pemikiran, hlm. 119.

[154] Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren (Jakarta : Gunung Agung, 1987), hlm. 517-518.

 

[155] Howard M. Federspiel, “Soekarno dan Apolog-apolog Muslimnya”, terj. Jajat Burhanuddin dan Nasrullah Ali Fauzi, dalam Ulumul Quran no. 7 (Jakarta: LSAF, 1990), hlm. 43

 

[156] Lih. Herbert Feith, Soekarno-Militer, hlm. 29 dan Ulf Sundhaussen, Politik Militer, hlm. 230.

 

[157] Howard M. Federspiel, “Soekarno dan Apolog-apolog Muslimnya”, terj. Jajat Burhanuddin dan Nasrullah Ali Fauzi, dalam Ulumul Quran no. 7 (Jakarta: LSAF, 1990), hlm, 36.

 

[158] Ibid., hlm. 38.

 

[159] Greg Fealy, Ijtihad, hlm. 318.

 

[160] Ibid., hlm. 319.

 

[161] Ibid., hlm. 320.

 

[162] Ibid.,  hlm. 321.

[163] Muhammad ‘Abid al Jabiri, Syura, Tradisi-Partikularitas-Universalitas, terj. Mujiburrahman (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 26.

 

[164]  Ibid.

[165] Ibid., hlm. 27.

[166] Ibid., hlm. 28.

[167] Ibid., 32.

[168] Dua kerangka konseptual lainnya adalah al Mufakkar fih (yang terpikirkan) dan Alla Mufakkar fih (yang tak terpikirkan). Dalam konsep syu>ra misalnya, apa “yang dipikirkan” dalam konsep pada mulanya adalah konsultasi yang tidak mengikat. Sedangkan model demokrasi melalui pemilihan umum dengan melibatkan semua penduduk untuk memilih wakil-wakil mereka merupakan sesuatu “yang tak terpikirkan” saat itu. Ibid.

[169] Untuk Biografi dan Pemikiran Politiknya lihat misalnya, Najib Kailani, Pemikiran Politik Islam Muhammad A>bid al Ja>biri (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 2002), skripsi tidak terbit.

 

[170] Mujiburrahman, “Muhammad ‘Abid al Jabiri dan Proyek Kebangkitan Islam, Pengantar Penerjemah” dalam Muhammad ‘Abid al Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm. xxvi.

 

[171] Mujiburrahman, “Memadukan Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun, Pengantar Penerjemah” dalam Muhammad ‘Abid al Jabiri, Syura, Tradisi, hlm. xii.    

[172] Lihat Nasr Hamid Abu-Zaid, Imam Syafi’i : Moderatisme, Eklektisisme, Arabisme, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 1997).

 

[173] Dipublikasi pertama kali pada tahun 1960 dan dimuat dalam majalah Pandji Masjarakat yang dipimpin oleh Hamka. Penilaian politik yang dikemukakan Bung Hatta ini menyedot perhatian banyak pengamat politik, baik dalam maupun luar negeri. Belakangan, majalah ini dilarang terbit dan disertai pula larangan membaca, menyiarkan, bahkan menyimpannya.  Tahun 1966, tulisan tersebut diterbitkan oleh Pustaka Antara Jakarta menjadi sebuah buku dan mendapat pengantar dari Hamka.

 

[174] Lih. Misalnya, Alfian, “Bung Hatta sebagai Seorang Cendekiawan” dalam Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Kumpulan Karangan (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), hlm. 141-150.

 

[175] Mohammad Hatta, Demokrasi Kita (Jakarta: Pustaka Antara, 1966), hlm. 5-7.

 

[176] Ibid., hlm. 8.

 

[177] Howard M. Federspiel, “Soekarno dan Apolog-apolog Muslimnya”, terj.  Jajat Burhanuddin dan Nasrullah Ali Fauzi, dalam Ulumul Quran no. 7 (Jakarta: LSAF, 1990), hlm, 36-43.

 

[178] Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967, terj: Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 19.

 

[179] Pidato Ketua Umum PB. NU di Muktamar XXIII Sala, 26 Desember 1962 dalam Idham Chalid, Mendajung dalam Taufan (Jakarta: Endang-Api Islam, 1966), hlm. 24.

 

[180] Herbert Feith dan Lance Castle (ed), Indonesian Political Thinking, 1945-1965 (Itacha:Cornell University Press, 1970), hlm. 11. Dikutip dari Alfian, “Pemikiran Politik di Indonesia” dalam Pemikiran , hlm. 100.

[181] Achmad Zaini, Kyai Abdul Wahid Hasjim: His Contribution to Muslim Educational Reform and Indonesian Nationalism during the Twentieth Century (Indonesian Academic Society XXI, 1998), hlm. 96.

 

[182] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hlm. 90.

 

[183] Benda menyebut Wahid Hasjim sebagai tokoh politik penting Indonesia terutama di masa pendudukan Jepang. Ketika para tokoh-tokoh Nasionalis semakin terjepit di awal masa pendudukan Jepang, Wahid Hasjim mampu memainkan peranan pentingnya sebagai negosiator antara Indonesia dan Jepang. Jepang memutuskan untuk menggunakan kaum muslim sebagai tentara yang akan membela mereka dalam perang Pasifik melawan Sekutu. Banyak dari kaum santri dan kiai yang merupakan anggota NU terlibat dalam pasukan-pasukan bentukan Jepang. Lebih jauh lih. Harry J. Benda, The Cresent and The Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation 1942-1945 (Den Haag-Bandung:  van Houve, 1958).

 

[184] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hlm. 91. 

 

[185] Deliar Noer, Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, 1945-1965 (Jakarta: Pustaka Utama Grafitti, 1987), hlm. 43. Dikutip dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hlm. 91.

 

[186] Para anggota NU dalam DPR Orde Baru meninggalkan ruang sidang (walk out) sebanyak dua kali. Pertama di tahun 1978. Tindakan itu terjadi dalam Sidang Umum MPR 1978 ketika membicarakan GBHN. Kali ini GBHN mengandung dua item yang sulit diterima kebanyakan umat Islam. Satu item menyebutkan bahwa aliran kepercayaan berdampingan dengan agama-agama resmi dan karena itu secara implisit memberikan pengkuan formal kepada aliran-aliran kepercayaan sebagai agama tersendiri. Item lainnya adalah yang berkenaan dengan usulan program pemerintah untuk melakukan indoktrinasi ideologi Negara, Pancasila (menurut penafsiran Orde Baru). Kiai Bisri Syansuri memandangnya sebagai ancaman terhadap status Islam sebagai agama dan memprotesnya dengan keras. Ketika dilangsungkan voting atas pasal tersebut, para anggota NU, yang diikuti kelompok PPP lainnya, secara demonstratif meninggalkan tempat sidang. Kedua, pada 1980, ketika sebuah undang-undang baru yang mengatur proses pemilu, setelah terjadi perdebatan yang panjang dan terbuka, dibawa ke sidang DPR. Kali ini bukan masalah yang bersifat agama yang sedang dipertaruhkan tetapi prinsip kekuasaan yang demokratis. Partai-partai (PPP dan PDI) menginginkan agar undang-undang tersebut memuat jaminan ketakberpihakan pemerintah dalam proses pemilu, tetapi pemerintah tidak bersedia memberikannya. Pimpinan PPP baru Naro mengalah dan memrintahkan anggotanya untuk menyetujui undang-undang tersebut. Namun, NU tetap tidak mau menyerah: semua anggotanya secara terang-terangan tidak mau masuk ke ruang sidang ketika undang-undang tersebut disahkan.

Dalam konteks Orde Baru, yang sangat menekankan konsensus, tindakan walk out ini bentuk protes yang sangat radikal, yang sama artinya dengan melakukan delegitimasi. Pemerintah memandang kejadian ini sebagai tidak kurang dari penghinaan terhadap pemerintah dan ideologinya. Martin van Bruinessen Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 105-107. 

 

[187] Ibid., hlm. 112-113.

 

[188] Ibid., hlm. 110.

 

[189] Ibid., hlm. 111.

 

[190] Ibid., hlm. 136. 

 

[191] Ibid. Cetak miring dari penulis. Sebagaimana, ayahnya, Abdurrahman Wahid pun harus berusaha keras meyakinkan para ulama agar mau menerima Pancasila, dalam konteks Orde Baru, sebagai asas tunggal itu. Diceritakan bahwa Gus Dur berdebat serius dengan  Kiai Tolkhah Mansur dari Yogyakarta yang tidak setuju dengan penerimaan Pancasila. Saking seriusnya perdebatan itu, sampai makan waktu kurang lebih lima jam dari pukul 22.00 hingga pukul 04.00 pagi. Greg Barton, Biografi Gusdur, terj. Lie Hua (Yogyakarta: LKiS, 2002), hlm.157.

 

[192] Martin van Bruinessen, NU, hlm. 115. Karya-karya yang membahas perkembangan NU di tahun 1980-an misalnya, Kacung Marijan, Quo Vadis NU? Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Erlangga, 1991); Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, ; Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, terj. Lesmana(Yogyakarta: LKiS, 1999). Masalah Khittah 1926 yang aksentuasinya pada penarikan diri dari politik praktis kembali ramai diperbincangkan ketika Hasyim Muzadi, Ketua PBNU, menjadi calon Wakil Presiden di Pemilu 2004 tanpa melepaskan jabatannya. Perilaku ini dinilai menarik kembali NU (secara organisatoris) ke dalam dunia politik praktis. Sikapnya ini mendapat tentangan terutama dari Ketua Majelis Syura PKB, partai yang kelahirannya dibidani NU dan menjadikan anggota NU sebagai basis massa, dan juga mantan ketua PBNU sebelumnya, Abdurrahman Wahid. Selama masa kampanye hingga Pemilihan Presiden 2004, Hasyim Muzadi dinon-aktifkan dari jabatannya, dan penonaktifan tersebut dicabut beberapa saat setelah kekalahannya pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dalam putaran kedua pemilihan Presiden. Situasi-situasi di sekitar Pemilu 2004 menyebabkan polarisasi di kalangan elit NU. Polarisasi ini semakin nyata pada Muktamar NU di Boyolali, Desember 2004 dengan terjadinya pertarungan perebutan kursi Ketua Tanfidziyyah dan Rais’Aam PBNU. Abdurrahman Wahid menyebut pertarungan ini sebagai pertarungan antara NU struktural dan NU kultural, dengan menunjuk yang kedua sebagai gerakan yang dipimpinnya. Hasyim Muzadi kembali terpilih sebagai Ketua Tanfidyiyyah dan Kiai Sahal Mahfuz, Rais ‘Aam sebelumnya, tetap menduduki kursinya. Disinyalir kemenangan kembali Hasyim Muzadi disebabkan oleh, antara lain, pengaruhnya yang kuat pada cabang-cabang NU di daerah yang sebagian besar personilnya merupakan anggota tim suksesnya dalam pemilu 2004. Sebagai reaksi atas peristiwa ini, Abdurrahaman Wahid menyatakan akan membentuk suatu gerakan NU “tandingan” yang menurutnya akan dideklarasikan pada sekitar bulan Mei 2005, setelah Munas PKB.

 

[193] Taufik Abdullah, “ Islam dalam Sejarah Nasional: Sekedar Penjelajahan Masalah” dalam Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 234.

 

[194] Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm. 90. 

 

[195] PBNU, Siaran ke XXI, 1 September 1959. Dikutip dari Greg Fealy, Ijtihad, hlm. 287.

[196] Greg Fealy, Ijtihad , hlm. 288 dan catatan no. 127.

 

[197] Ibid., hlm. 289-290.

 

[198] Ibid.

 

[199] Perbedaan pendapat mengenai masalah DPR GR ini segera menyulut perpecahan terbuka di tubuh NU serta konflik di antara para pemimpin NU yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Pada 24 Maret, Mohammad Dachlan dan Imron Rosjadi bergabung dalam pembentukan Liga Demokrasi, kemudian mengecam DPR GR sebagai melanggar undang-undang dan bertentangan dengan demokrasi. Konferensi Syuriah PBNU yang membahas masal yang sama tanggal 21-25 April mengeluarkan dua keputusan  terpisah. Hal ini membuktikan bahwa menurut hukum Islam, keterlibatan NU dalam DPR-GR di satu sisi dimungkinkan dengan tujuan semata-mata untuk amar ma’ruf nahi munkar, namun di sisi lain dilarang karena mengandung unsur ghasab. Namun penolakan terhadap DPR GR tidak surut. Secara pribadi sejumlah anggota NU yang dicalonkan akhirnya menolak bergabung, beberapa pengurus di daerah bahkan meminta partai memboikot parlemen.  Peristiwa paling memalukan PBNU ialah pernyataan Bisri Syansuri di depan umum yang menolak DPR GR pada 20 Juni. Dalam menghadapi suasana penuh pertentangan ini dan keinginan untuk mencegah perpecahan lebih lanjut, sidang paripurna PBNU pada 23-34 Juni akhirnya memutuskan ‘memberi kebebasan kepada warga N. U. jang ditundjuk sebagai anggota DPRGR untuk menerima atau menolak penundjukan tersebut. Greg Fealy, Ijtihad., hlm. 291-294

[200] Ibid., hlm. 296.

[201] Ibid., hlm. 312-313.

 

[202] Ibid., hlm. 314.

BUNGA BANK (STUDI KOMPARASI ANTARA PENDAPAT NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH)

BAB. I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang Masalah.

Kegiatan ekonomi dari masa ke masa terus mengalami perkembangan, yang dahulu ada kini tidak ada, atau sebaliknya. Dulu institusi pemodal seperti bank tidak dikenal dan sekarang ada. Maka persoalan baru dalam fiqh muamalah muncul ketika pengertian riba dihadapkan pada persoalan bank. Di satu pihak, bunga bank (interest bank) terperangkap dalam kriteria riba, di sisi lain, bank mempunyai fungsi sosial yang besar, bahkan dapat dikatakan tanpa bank suatu negara akan hancur.1

Dalam Ensiklopedia Indonesia, bahwa Bank (perbankan) ialah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasanya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang, dengan mengedarkan alat tukar baru dalam bentuk uang atau giral. Jadi kegiatannya bergerak dalam bidang keuangan serta kredit dan meliputi dua fungsi yang penting yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan menciptakan uang.2 Ada yang mendefinisikan bank merupakan sebuah lembaga keuangan yang bergerak menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian dana tersebut disalurkan kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun kelembagaan, dengan sistem bunga.3

Sistem hubungan perekonomian dan keuangan zaman sekarang ini, baik dalam maupun luar negeri, adalah melalui saluran bank. Tidak ada suatu negara mana pun yang tidak mempunyai perusahan bank, karena bank dapat melancarkan segala perhubungan dan lebih menjamin selamatnya pengiriman.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tujuan dari suatu bank adalah mencari keuntungan dan keuntungan itu dicapai dengan berniaga kredit. Bank mendapat kredit dari orang luar dengan membayar bunga. Sebaliknya bank memberikan kredit dari kepada orang luar dengan memungut bunga yang lebih besar dari pada yang dibayarkannya. Jadi sedikit penjelasan di atas, maka yang disebut bunga bank adalah tambahan yang harus dibayarkan oleh orang yang berhutang kepada bank atau keuntungan yang diberikan pihak bank kepada orang yang menyimpan uang di bank dengan besar-kecil sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bank tersebut. Tetapi konsensus pendapat-pendapat menganggap bahwa bunga bank merupakan tambahan tetap bagi modal, dikemukakan bahwa tambahan yang tetap ini merupakan biaya yang layak bagi proses produksi.4

Jadi selisih bunga itulah keuntungan bank. Sehingga bunga  merupakan suatu masalah yang tidak dapat dilepaskan dari perusahan bank dunia (umum). Mengenai kedudukan bank tersebut, Moh. Hatta mengatakan bahwa sampai saat ini berbagai ulama ada yang mengharamkan pemungutan bunga. Dengan larangan itu maka hilanglah sendi tempat bank berdiri. Kalau bunga tidak boleh dipungut, maka tidak dapat pula orang Islam untuk mendirikan bank. Lebih lanjut ia juga berpendapat, ada pula ulama yang mengatakan, bahwa memungut rente itu merupakan perbuatan yang tidak terpuji, tetapi apabila masyarakat mengkehendakinya, rente itu dibolehkan juga. Hal seperti ini menimbulkan pemahaman masyarakat tentang sifat hukum dalam Islam mempertimbangkan buruk dengan baik. Jika lebih besar baiknya dari pada buruknya, hukumnya menjadi harus, pekerjaan seperti itu diperbolehkan.5    

Sementara Mirza Nurul Huda sebagaimana dikutip oleh A. Chatib,  memaparkan, bahwa satu segi kegiatan yang terpenting dari bank perdagangan adalah menerima titipan uang dari orang-orang dan meminjamkan dengan jangka pendek kepada orang lain guna menegakkan perdagangannya yang direncanakan. Oleh karena itu, maka bunga bank berdiri dan ada untuk mencari keuntungan. Apabila kita menghapus bunga—sebagaimana yang diwajibkan oleh negara Islam—maka bagaimana bank akan bekerja.6          

Dalam Islam telah mengharamkan adanya riba. Masyarakat masa awal Islam belum mengenal sistem perbankan modern dalam arti praktis, sehingga dalam menanggapi fenomena ini, terjadi pebedaan pendapat. Beda pandangan dalam menilai permasalahan ini menimbulkan kesimpulan–kesimpulan hukum yang berbeda pula, dalam hal boleh atau tidaknya, halal haramnya umat Islam bermu’amalah dengan bank.  Jika kembali kepada ajaran Islam di mana al-Quran sendiri telah melarang bentuk mu’amalah yang mengandung unsur riba. Dasar persoalan riba dapat diketahui dengan jelas dan tegas dalam 3 ( tiga ) tempat :

  1. Dalam al-Quran Surat al-Ruum : 39, sewaktu Nabi masih di Makkah di hadapan orang Arab Musyrikin.
  2. Dalam al-Quran Surat Ali Imran : 130-132, sewaktu Nabi sudah pindah ke Madinah.
  3. Dalam al-Quran Surat al-Baqarah : 275-280

Fenomena yang menarik kaitannya dengan ini adalah adanya respon dua organisasi besar Islam Indonesia dalam menyikapi masalah bunga bank tersebut, yaitu Nahdlatul Ulama melalui Bahsul Masail-nya dan Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya. Salah satu keputusan hukum tentang bunga bank yang selama ini telah beredar dalam kalangan umat Islam di antaranya adalah keputusan Mu’tamar NU XII di Malang pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1356 H atau 25 Maret 1937 No 204, dan hasil sidang Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo.

Telah menjadi sebuah pertanyaan besar masalah bunga bank ini dalam mu’tamar NU—terjadilah pembahasan yang begitu panjang tentang bagaimana hukum menitipkan uang dalam bank, hingga  kemudian pemerintah menetapkan pajak kerena alasan mendapatkan bunga. Halalkah bunga itu? Dan bagaimana hukumnya menitipkan uang dalam bank karena menjaga keamanan saja dan tidak menginginkan bunga? Jawaban dari pertanyaan tersebut diambil dengan merujuk pada keputusan Mu’tamar  NU  II  di Surabaya pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1346 H atau 9 Oktober 1927 No. 28. yang memutuskan bahwa hukum bunga bank dan sehubunganya itu sama dengan hukum gadai yang telah ditetapkan dalam mu’tamar tersebut.

Di antara hasil keputusan Mu’tamar NU II di Surabaya, tentang gadai telah menghasilkan tiga pendapat yaitu:

  1. Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente).
  2. Halal: sebab tidak ada syarat sewaktu akad, menurut ahli hukum yang terkenal bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk menjadi syarat.
  3. Syubhat (tidak tentu haram halalnya): sebab para ahli hukum masih terjadi selisih pendapat.7

Sebagai catatan penting dalam keputusan mu’tamar tersebut—bahwa  untuk lebih berhati–hati ialah dengan mengambil pendapat pertama—yakni  yang telah mengharamkannya. Adapun menitipkan uang dalam bank karena untuk keamanannya saja hukumnya makruh, dengan syarat apabila telah diyakini kalau uang tersebut akan digunakan untuk hal-hal yang bertentangan  dengan ajaran agama.

Sementara keputusan Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tanggal 21-25 Januari 1992. mengenai keputusan hukum bunga Bank ditempuh melalui prosedur yang lebih metodologis lagi, sebagai penyeimbang keputusan Muktamar NU XII di Malang. Adapun hasil keputusannya sebagai berikut :

  1. Haram, kerena bunga bank dipersamakan dengan riba secara mutlak
  2. Boleh, kerena bunga bank tidak dipersamakan dengan riba
  3. Subhat, kerena masih belum jelas

Sementara itu, salah satu respon dari Muhammadiyah melalui keputusan Majlis Tarjih tahun 1968 di Sidoarjo Jawa Timur tentang masalah–masalah fiqh kontemporer (khususnya mengenai bunga bank) telah dilakukan dengan cara berijtihad. Dalam berijtihad Majlis Tarjih menempuh tiga metode:

  1. Ijtihad Bayani, yaitu menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash al-Quran dan al-Hadis
  2. Ijtihad Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam nash al-Quran dan al-Hadis
  3. Ijtihad Istislahi, yakni menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber di atas, dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan.

Dalam menetapkan hukum bunga bank, Majlis Tarjih mangaitkannya dengan masalah riba, apakah bunga bank identik dengan riba atau tidak?, untuk memastikan jawaban tersebut, Majlis Tarjih menggunakan qiyas sebagai metode ijtihadnya.8 Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba adalah adanya pengisapan atau penganiayaan (az-Zulm) terhadap peminjaman dana. Konsekuensinya, kalau ‘illat itu ada pada bunga bank, maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya kalau ‘illat itu tidak ada pada bunga bank, maka bunga bank bukan riba, kerana itu tidak haram.9

Bagi  Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba disinyalir juga ada pada bunga bank, sehingga bunga bank disamakan dengan riba dan hukumnya adalah haram. Namun keputusan tersebut hanya berlaku untuk bank milik swasta. Adapun bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara pada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara musytabihat, tidak haram dan tidak pula halal secara mutlak.10

Dari diskripsi di atas nampak bahwa kedua organisasi tersebut mempunyai konsep yang berbeda bahkan berseberangan. Namun, keduanya mempunyai sisi kesamaan yaitu demi kemaslahatan umat manusia, meskipun implimentasinya juga berbeda. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya sudut pandang yang mempenagruhinya dalam menetapkan hukum tersebut.

Oleh karena itu penyusun tertarik untuk mencoba meneliti dan menelusuri  kembali permasalahan-permasalahan hukum bunga bank tersebut menurut pendapat Nahdlatul Ulama melalui Bahsul Masail-nya dan Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya, dengan titik tekan pada permaslahan dasar yang melatarbelakangi dari perbedaan tersebut mengenai bunga bank adalah melalui metode pengambilan keputasan hukumnya yang diambil dari segi kajian fiqhnya,

B. Pokok Masalah.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun perlu membatasi rumusan pokok masalah yang diteliti agar mengfokus dan tidak meluas, sehingga menjadi jelas. Adapun pokok masalahnya sebagai berikut : 

  1. Metode Istinbat hukum apakah yang digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam memandang hukum bunga bank?
  2.  Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mengenai hukum bunga bank dilihat dari segi hujjahnya?

 

C. Tujuan Dan Kegunaan.

Adapun tujuan dan kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :

  1. Tujuan penelitian .
    1. Untuk menjelaskan metode istinbat apakah yang dipakai oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam memandang hukum bunga bank
    2.  Untuk menggambarkan atau menjelaskan bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mengenai hukum bunga bank dilihat dari segi hujjahnya.
  2. Kegunaan dari penelitian adalah:
    1. Bagi kehidupan secara umum, yaitu memberikan atau membangkitkan pengertian dan kesadaran  bagi kebanyakan masyarakat yang masih beranggapan bahwa sistem perbankkan yang belaku sekarang ini masih belum tepat atau mengena dengan ketentuan-ketentuan agama yang telah diyakini karena hukum bunga bank masih menjadi perselisihan pendapat dan juga agar mereka memiliki landasan yang kuat dalam menjalani aktifitas perekonomian
    2. Bagi  pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu syariah, yaitu memberikan pemahamam yang kokoh bagi pemikiran hukum Islam sebagai upaya untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah kontemporer yang dihadapi umat Islam, khususnya masalah hukum bunga bank.

 

D. Telaah Pustaka

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, menuntut para ulama untuk melakukan restrukturisasi terhadap hazanah keislaman ke arah yang lebih inovatif. Termasuk di dalamnya melakukan ijtihad di bidang fiqh (hukum Islam) secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat kedudukan dan fungsi ijtihad dalam yurisprudensi, maka kajian tentang fiqh yang kontemporer akan selalu menjadi aktual.

Studi tentang  NU dan Muhammadiyah telah banyak dilakukan baik dari kalangan NU dan Muhammadiyah sendiri maupun dari luar serta telah dikodifikasikan.11 Seperti halnya Kacung Maridjan, dosen Fisip Unair, ia mengungkapkan bahwa dalam menghadapi perubahan-perubahan sosial yang begitu cepat, NU tidak menutup kemungkinan akan melakukan pembaharuan (tajdid) bahkan islah pemikiran, dengan catatan bahwa pembaharuan tersebut tetap berakar pada kaidah-kaidah yang telah dianutnya. Hal ini perna dilakukan dalam Munas ‘Alim Ulama di Cilacap. Meskipun buku tersebut tidak berorientasi terhadap tema pokok karya  ini. Namun, Kacung Maridjan banyak memaparkan mengenai hukum bunga bank menurut NU dalam beberapa kali mu’tamar.12

Kajian yang lain dilakukan oleh Sugiri. Dalam skripsinya, dia meneliti NU sebagai organisasi kerakyatan—meminjam bahasa Dawam Raharja—dari segi penetapan hukum secara umum. Dia juga membahas istinbat hukum. Dalam NU, kalimat istinbat tidak popular, apalagi dengan diartikan ijtihad. Hal ini sulit dilakukan, karena adanya keterbatasan yang disadari oleh jami’iyyah.13

Salah satu buku yang dikeluarkan PBNU, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama. Merupakan buku yang memuat banyak tentang hasil-hasil keputusan mu’tamar yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dalam merespon berbagai masalah-masalah kontemporer mengenai hukum Islam. Di antaranya adalah tentang bunga bank14

Sementara A. Wahid Zaini, pengarang buku dan kolomnis produktif, dalam bukunya Dunia Pemikiran Kaum Santri secara gamblang dan detail menjelaskan hukum tentang bunga bank yang telah diputuskan oleh Munas ‘Alim Ulama di Bandar Lampung, dan Majlis Tarjih Muhamdiyah di Sidorajo. Dengan harapan agar forum kajian atau musyawarah yang diikuti oleh ulama dan ahli-ahli perbankan agar kajiannya lebih komprehensip dan hasilnya diharapkan lebih mendekati bahkan sesuai dengan realita yang ada. 15

Begitu juga dengan Majlis Tarjih Muhammadiyah yang bertugas merespon dan memutuskan persoalan–persoalan hukum Islam termasuk masalah–masalah kontemporer dengan metode ijtihadnya., di antaranya adalah masalah yang telah menjadi tema pokok pembahasan penyusun yaitu mengenai bunga bank. Di mana hasil keputusan–keputusan Majlis Tarjih tersebut selanjutnya hasil keputusan-keputusannya dibukukan dalam Himpunan Putusan Tarjih,16 di samping ada arsip–arsip tersendiri dari setiap Mu’tamar Tarjih.

Selanjutnya kajian yang lebih lengkap membahas tentang metode ijtihad Majlis Tarjih adalah buku karya Fathur Rahman Djamil,17 buku ini secara detail telah menyoroti ijtihad yang dilakukan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah (khususnya tentang bunga bank) dengan berusaha untuk mengungkapkan kegiatan-kegiatan Majlis Tarjih Muhammadiyah yang merupakan motor penggerak tajdid Muhammadiyah.

Adapun penelitian ini tentunya berbeda dengan beberapa penelitian dan buku yang tersebut di atas. Dalam penelitian ini, lebih difokuskan terhadap penulusuran kajian tentang hasil dan keputusan mu’tamar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tentang bunga bank, dalam kapasitas keduanya  sebagai representasi pemberlakuan  hukum Islam dan merupakan organsisi Islam terbesar di Indonesia       

 

E. Kerangka Teoretik.

Dewasa ini perbincangan mengenai  riba di kalangan negeri dan para pemikir Islam mulai mencuat kembali. Sehingga upaya-upaya melakukan usaha yang bertujuan menghindari persoalan riba mulai dilakukan. Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, bahwa riba tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun. Sementara itu kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun, selama satu milenium, riba adalah barang yang terlarang dalam pandangan para teolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.18

Di sisi lain, apabila dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa melakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang.19 Perdebatan panjang di kalangan ahli fiqh tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul pendapat yang bermacam-macam mengenai bunga bank dan riba.

Apakah sama persoalan “Riba” dengan “Bunga” itu? Pada lahirnya memang sama saja rupanya, kedua-duanya adalah bunga dari pada harta yang dipinjamkan. Akan tetapi pada sifatnya dalam kemajuan masyarakat sampai sekarang ada perbedaan yang cukup besar.20 Pro dan kontra sekitar hukum bunga bank bukan saja terjadi di kalangan sarjana muslim.

Sebagaimana dikatakan Charles Gide, seorang ahli politik dan filsafat, menyebutkan, bahwa semua agama, lebih-lebih Islam, telah mengharamkan riba. Memang sudah sewajarnya apabila riba itu diharamkan. Sebab ketika itu, orang berhutang hanya semata-mata untuk mencukupi kebutuhan hidup kesehariannya yang sangat mendesak, bukan untuk modal usaha, sebagaimana yang banyak dilakukan orang masa sekarang.

Sejalan dengan apa yang diungkapkan Gide, Hatta sebagaimana dijelaskan A. Chotib, juga membedakan antara pinjaman yang terjadi di masa agraris, ketika periode bercocok tanam, yang umumnya orang meminjamkan uang bukan untuk modal usaha melainkan hanya karena keterpaksaan untuk menutupi kebutuhan hidup. Sementara untuk masa sekarang, orang meminjam uang umumnya bertujuan untuk modal usaha. Atau bunga yang semata-mata konsumtif adalah riba sedangkan bunga yang sifatnya produktif adalah sebagian dari keuntungan yang diperoleh dengan bantuan orang lain (bunga), jadi bunga produktif menurut Hatta adalah boleh.21

Dalam tafsir al-Manar, Abduh (w-1905 M) dan di dalam fatwa-fatwanya, sebagaimana dicatat ‘Ammarah, menyebutkan bahwa Muhammad Abduh membolehkan menyimpan uang di bank dan juga boleh mengambil bunga simpanannya, dengan kata lain ia mehalalkan bunga bank.22 Hal ini menurutnya, didasarkan pada maslahah-mursalah (kesejahteraan). Larangan riba menurut Muhammad Abduh adalah untuk  menghindari adanya unsur eksploitasi dan menghindari memakan harta orang lain secara batil (al-Baqarah : 188).

Sementara bunga bank, menurut Abduh tidak menimbulkan adanya pemerasan dan tidak ada persamaannya  dengan apa yang diharamkan al-Qur’an (al-Baqarah :188). Alasan lain yang menghalalkan menabung uang dan sekaligus mengambil bunga bank, menurut Abduh ada tiga alasan yaitu Pertama, karena dengan keberadaan perbankan yang ada sekarang tidak menciptakan penindasan, malahan sebaliknya mendorong kemajuan perekonomian. Kedua, bahwa menyimpan uang di bank, pada intinya sama artinya dengan perkongsian dalam bentuk lain. Ketiga, mendorong orang untuk maju di segala bidang, termasuk ekonomi, adalah sikap yang sangat dianjurkan dalam Islam. Sedangkan operasi dan jasa bank yang ada sekarang tampaknya memang mendorong kemajuan ekonomi.23

Salah satu ulama Indonesia, yang menghalalkan bunga bank, menurut catatan Khoiruddin Nasution selanjutnya adalah H. Abdullah Ahmad, seorang ulama yang berasal dari Padang, Sumatera Barat. Dia mengatakan, bunga bank boleh diambil dengan syarat, persentase bunga tersebut diumumkan lebih dahulu, sehingga jika bunga diumumkan sebelumnya maka berarti seorang yang meminjam rela dengan bunga yang diumumkan.24 Di sini sebagai tambahan, hendaknya agar prosentase bunga hendaknya selalu dikontrol oleh pemerintah agar bank dalam menetapkan bunga tidak sembarangan, namun mengikuti UU pemerintah

Sementara A. Hasan, pemimpin Perguruan Persis Bangil, Jawa Timur, mengatakan bahwa riba yang haram, menurutnya, mempunyai sifat :25

  1. Terpaksa, yaitu orang terpaksa menunda hutang karena tidak mampu membayar dan pihak si peminjam menerima dengan syarat  ada bayaran tambahan.
  2. Darar, yaitu pinjaman yang sekiranya digunakan untuk berdagang dengan uang tersebut tidak akan bisa untuk yang cukup buat makan, minum dan bayar hutang.
  3. Berlipat ganda.

Adapun yang dihalalkan sifat-sifatnya adalah:

  1. Tidak ganda-berganda.
  2. Tidak membawa kepada ganda berganda.
  3. Tidak mahal, artinya sekiranya orang berusaha dengan uang tersebut tidak akan membawa kepada kerugian.
  4. Pinjaman yang produktif.

Sedangkan pada tokoh yang kontra terhadap bunga bank, di antaranya adalah Mahmud Abu Su’ud, penasihat bank Pakistan, mengungkapkan bahwa bunga itu ditinjau dari segi moril dan materiil adalah memberi kemelaratan, segi morilnya ialah pengakuan dari para ahli ekonomi bahwa bunga itu memberi kemelaratan yang besar kepada rakyat dan segi materiilnya ialah bahwa kebanyakan orang yang meminjam uang itu orang-orang kaya, dan mengambil bunga dari orang-orang miskin yang meminjam uang itu tidak selayaknya.

Selanjutnya, Afif Abdulfatah Tabbarah berpendapat bahwa memungut bunga dari bank adalah haram, karena bunga itu riba. Agama Islam sudah menetapkan bahwa modal dan usaha itu harus bersekutu di dalam untung dan rugi. Dan memungut bunga yang tetap itu berarti bahwa modal itu selalu mendapat untung, meskipun usahanya rugi.

Tokoh yang berpendapat bahwa bunga itu haram karena sangat berpegang teguh pada konteks al-Qur’an (dalam arti konteksnya bukan maknanya) yang mana al-Qur’an dan as-Sunnah—dua sumber pokok Islam melarang keras adanya bunga karena kezalimannya (QS. al-Muzammil dan QS. al-Baqarah) dan mengatakan bahwa beberapa orang Islam terpelajar yang silau oleh pesona lahiriyah peradaban Eropa mengatakan bahwa yang dilarang Islam adalah riba  bukan bunga. Oleh karenanya Daoualibi, seorang ahli politik dan jurnalis Syiria mengatakan, Islam semestinya membedahkan antara bunga yang dihubungkan dengan tujuan produktif dan konsumtif. Bagi pinjaman yang berhubungan dengan usaha dan tujuan produktif, seperti untuk tujuan dangang atau usaha yang lainya, maka menjadi pantas untuk mendapatkan bagian dari keuntungan yang diperoleh si peminjam. Sebaliknya, untuk pinjaman yang sifatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari peminjam, maka tidak dipungut bunga dan digunakan prinsip saling tolong menolong.26

Kemudian menurut M. Abdul Manan, dalam bukunya “Teori dan Praktek Ekonomi Islam”, menyebutkan bahwa riba dengan nama bunga bank tidak akan mengubah sifatnya, karena bunga adalah suatu tambahan modal yang dipinjam, karena itu ia adalah riba baik dalam jiwa maupun peraturan hukum Islam. Dan ia menambahkan sebetulnya, tidak ada perbedaan yang cukup mendasar antara bunga dan riba. Islam dengan tegas melarang semua bentuk bunga betapapun hebat, dan meyakinkannya nama yang diberikan kepadanya.27 Tetapi dalam ekonomi kapitalis bunga adalah pusat berputarnya sistem perbankan. Dikemukan juga bahwa tanpa bunga, sistem perbankan menjadi tidak bernyawa, dan seluruh kegiatan perekonomian akan lumpuh. Sedangkan Islam adalah kekuatan dinamis dan progresif, dan jelas dibuktikan bahwa konsep Islam tentang suatu sistem perbankan bebas bunga lebih unggul dari pada perbankan modern. Pada taraf ini dapat ditetapkan bahwa suku bunga sama sekali tidak ada hubungan dengan pengaruh volume menabung.

K.H. Mas Mansur, pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, berpendapat, bahwa bunga bank, mendirikan bank, mengurus, mengerjakan dan berhubungan dengan bank adalah haram. Sementara, M. Bustami Ibrahim (Medan) adalah ulama Indonesia lain, yang mengharamkan bunga bank. Dalam upaya menolak bunga bank, ia berkata:

“Kita tidak usah berkilah ke sini dan kemari untuk mencari-cari jalan. Sebab Allah Maha Tahu apa yang tersembunyi dibalik itu, yang sama sekali di luar kemampuan manusia. Kita sudah melihat dengan mata kepala sendiri tentang apa manfaat dan kemudaratan bank. Maka walau bagaimana pun keadaan memaksanya, yang haram tetap haram. Sejalan dengan itu, dalam hal bank, sedikit dan banyak, dengan langsung atau perantara hukumnya adalah tetap haram.”28

Perlu dicatat, bahwa larangan adanya bunga tidak lebih dari pada sebuah usaha proteksi terhadap orang lemah dan melawan eksploitasi yang sekaligus mendorong penanaman modal dan buruh untuk bekerja sama dengan sebutan Mudarabah.

 

F. Metode Penelitian

  1. Jenis Penelitian

            Dalam penulisan sekripsi ini digunakan jenis penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang menjadikan bahan kepustakaan ini dijadikan sebgai sumber (data) utama, baik data primer maupun sekunder.

  1. Sifat Penelitian

            Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif,29 analitik dan komparatif. Penelitian ini berusaha memaparkan tentang hukum bunga bank secara umum sebelum akhirnya akan mendeskripsikan kerangka pendapat dua organisasi yang diteliti yaitu NU lewat Bahsul Masail-nya dan Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya, melalui data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis interpretasi tentang bagaimana metode pengambilan keputusan hukum yang dilakukan oleh kedua organisasi tersebut dengan membangun korelasi yang dianggap signifikan. Kemudian menjelaskan mengenai persamaan dan perbedaan pandangan tentang keharaman dan kebolehan mengambil bunga bank

  1. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam memperoleh data adalah menggunakan pendekatan normatif, yaitu suatu usaha untuk menjelaskan tentang keharaman dan kebolehan mengambil bunga di bank dengan melihat keputusan hukum yang dimiliki  NU dan Muhammadiyah dipandang dari sisi hukum Islam.Artinya, penelitian ini juga dapat dilihat baik dari kaidah ushuliyah maupun fiqhiyyah. Hal ini penting, karena masalah bunga bank merupakan satu bagian dari kajian Islam (fiqh) dan merupakan salah satu persoalan kontemporer dari sekian banyak persoalan atau masalah-masalah baru.

  1. Pengumpulan Data

Karena penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka pengumpulan data adalah dengan mengumpulkan karya-karya dari kedua organisasi tersebut. Adapun data primer, dalam NU adalah diambil dari hasil Keputusan Mu’tamar NU XII di Malang pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1356 H atau 25 Maret 1937 No 204. Sedangkan Muhammadiyah, dari hasil Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo Jawa Timur. Sementara  data sekunder diambil dari buku-buku yang dikarang oleh tokoh-tokoh lain yang dapat mendukung pendalaman dan ketajaman dalam analisis penelitian ini.

  1. Analisis Data

Dalam menganalisis dan menginterpretasikan data yang telah terkumpul. penyusun menggunakan cara berfikir komparasi. Komparasi, yaitu yakni membandingkan sebuah pendapat dengan pendapat yang lain tentang hal yang sama (hukum bunga bank), baik yang memiliki nuansa pemikiran yang hampir sama atau bahkan yang sangat bertentangan.30 Dalam penelitian ini, Pendapat NU dikomparasikan dengan pendapat Muhammadiyah, sehingga dapat diketahui persamaan maupun perbedaan pendapat keduanya dan dapat ditarik suatu kesimpulan yang konkrit tentang persoalan yang diteliti.

 

G. Sistematika Pembahasan.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pokok-pokok bahasan secara sistematis yang terdiri dari lima bab dan pada tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub sebagai  perinciannya. Adapun sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut :

Bab satu (I) merupakan pendahuluan yang berisi: pertama, latar belakang masalah yang memuat alasan-alasan pemunculan masalah yang diteliti. Kedua,  pokok masalah merupakan penegasan terhadap apa yang terkandung dalam latar belakang masalah. Ketiga, tujuan yang akan dicapai dan kegunaan (manfaat) yang diharapkan tercapainya penelitian ini. Keempat, telaah pustaka sebagai penelusuran terhadap literatur yang telah ada sebelumnya dan kaitannya dengan objek penelitian. Kelima, kerangka teoretik menyangkut pola fikir atau kerangka berfikir yang digunakan dalam memecahkan masalah. Keenam, metode penelitian berupa penjelasan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Ketujuh, sistematika pembahasan sebagai upaya yang mensistematiskan penyusunan.

Selanjutnya, tahap kedua yaitu isi, terdiri dari tiga bab, yakni bab II, III, dan IV. Bab kedua mengulas tentang gambaran umum masalah bunga bank. Hal ini diperlukan untuk memberikan gambaran tentang keberadaan dan praktek bunga bank saat ini. Bab ini terbagi atas enam sub, pertama, membahas sejarah bunga bank. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kapan bunga bank itu ada (dari masa pra-Islam hingga datangnya Islam). Kedua, bagaimana Islam menilik pengertian dan landasan hukum bunga bank. Ketiga, membahas mengenai macam-macam riba dan dampaknya. Keempat, menjelaskan betapa pentingnya fungsi bank dalam kegiatan transaksi ekonomi dan kehidupan modern ini. Kelima, menerangkan sejauhmana perbedaan bank konvensional dan bank Islam dan, Kelima, mengupas mengenai riba, bunga bank dan masyarakat Indonesia. Pemaparan ini perlu untuk memahami akibat hukum yang timbul dari dilaksanakannya praktek bunga bank dalam masyarakat Indonesia sekarang.

Sedangkan bab ketiga membahas pandangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mengenai bunga bank ditinjau dari hukum Islam. Hal ini diperlukan karena pada dasarnya penelitian ini terfokus pada praktek bunga bank tersebut. Bab ini terbagi menjadi menjadi tiga sub,  pertama,  mengulas tentang sejarah dan latarbelakang lahirnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah ditinjau dari segi sosial-kemasyarakatannya. Kedua, menjelaskan pokok-pokok pikiran Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kelima, mengupas pandangan Nahdlatul Ulama  dan Muhammadiyah tentang bunga bank. Hal ini dimaksudkan untuk memahami secara utuh atau mnyeluruh terhadap pandangan kedua organisasi tersebut dalam merespon praktek pembungaan dalam bank konvensional.

Selanjutnya, bab keempat, memuat pendapat NU maupun Muhammadiyah yang berkenaan dengan segi-segi persamaan dan perbedaan antara keduanya tentang bunga bank dalam kerangka perbandingan (komparatif) ditinjau dari segi ketentuan hukum dan metode yang digunakan (istinbatnya). Sehingga dari ulasan ini diharapkan akan ada kejelasan bagaimana hukum Islam memandang keberadaan bunga bank.

Bab kelima (V) sebagai bab terakhir dari keseluruhan rangkaian pembahasan, memaparkan kesimpulan dan pembahasan bab-bab sebelumnya sehingga memperjelas jawaban terhadap persolan yang dikaji serta saran-saran dari penulis berkenaan dengan pengembangan keilmuan agar dapat mencapai hal-hal yang lebih baik dan lebih maju.

 

BAB II 

GAMBARAN UMUM TENTANG BUNGA BANK

 

  1. Sejarah Bunga Bank Konvensional.

Bangsa-bangsa dahulu telah mengenal bank, tetapi bank ini berlainan dengan bank modern, sesuai dengan awal tingkat kejadiaannya transaksi di waktu itu. Saat itu belum ada mata uang dan baru muncul pada abad pertengahan, maka timbullah lembaga perbankan yang mereka gunakan sebagai alat mata uang, pertukaran uang dengan yang lain dan penyimpanan. Hal ini sesuai dengan tingkat kemajuan yang mereka capai pada saat itu. Mereka belum mengoperasikan uang yang didepositokan pada para bankir. Kemudian para bankir berpendapat bahwa adalah lebih baik kalau uang tersebut sebagian mereka kelola, karena pada umumnya pemilik uang tidak menginkan uang yang mereka titipkan itu dioperasikan. Sehingga, dengan uang yang dititipkan itu mereka dapat mengoperasikannya dalam jumlah tertentu, seraya mereka pun dapat mengembalikan uang titipan ini pada saat penitipnya memintanya kembali. Dengan cara semacam ini, penitip (deposan) tidak mengetahui bahwa uangnya telah dioperasikan atau dikembangkan oleh si bankir, karena yang bersangutan dapat mengembalikan kepada pemiliknya kapan saja uang itu ditariknya kembali, karena uang yang dititipkan pada si bankir itu banyak, sehingga ia dapat memperbesar operasinya dan mendatangkan keuntungan yang besar pula.1

Dengan demikian si bankir berpendapat bahwa suatu hal yang menguntungkan bagi dirinya kalau penitip uang (deposan) diberi bagian dari keuntungan uang yang mereka titipkan kepadanya, sehingga uang mereka pun berkembang pula, dengan cara ini, si penitip memperoleh keuntungan dan si bankir juga mendapatkan untung yang jauh lebih besar. Bilamana si deposan tidak diberi keuntungan, barangkali mereka tidak akan menitipkan uangnya lagi pada si bankir atau tidak mengizinkan untuk dikembangkan. Karena itu, akhirnya orang-orang lain dapat digalakkan untuk menitipkan uang mereka padanya, sehingga akan bertambah investasi dan keuntungannya. Dari sinilah kemudian lahir gagasan lembaga perbankan modern (bank konvensional). Yang menjadi sandaran paling besar bagi kelangsungan hidup perbankan adalah deposito, sekalipun bersandar juga pada dua sumber lain, yaitu:2

  1. 1.      Modal, meliputi modal yang diberikan pemegang saham dan modal yang didapat dari keuntungan.
  2. 2.      Kredit, hal ini dilakukan oleh bank-bank dagang bila membutuhkan modal, dan dipinjam dari bank sentral atau bank lain.

Menurut catatan sejarah, usaha perbankan sudah dikenal kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi dalam masyarakat Mesir Purba dan Yunani Kuno, kemudian masyarakat Romawi.3 Karena itu, sepantasnya kalau Plato (427-347 SM) sudah berbicara tentang bahaya rente. Perkembangan bank modern mulai berkemabang di Italia dalam abad pertengahan yang dikuasai oleh beberapa keluarga untuk pembiayaan kepausan dan perdagangan wol, kemudian perbankan berkembang pesat sesudah memasuki abad ke-18 dan 19.

Bank diambil dari kata banco, bahasa Italia, artinya meja.4 Dulu para penukar uang (money changer) melakukan pekerjaan mereka di pelabuhan-pelabuhan tempat para kelasi kapal datang dan pergi, para pengembara, dan wiraswastawan turun-naik kapal. Money changer itu meletakkan uang di atas sebuah meja (banco) di hadapan mereka. Aktivitas di atas banco inilah yang menyebabkan para ahli ekonomi menelusuri sejarah perbankan, mengaitkan kata banco dengan lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang ini dengan nama “bank”. Dengan demikian, bank di sini berfungsi sebagai penukaran uang antar bangsa yang berbeda-beda mata uangnya.5

Secara kultural, tiap peradaban manusia sebenarnya menolak keberadaan bunga bank. Apalagi dengan legitimasi ajaran agama, penolakan pun semakin kuat. Akan tetapi, kepentingan pragmatis ekonomi kapitalis meluluhlantakkannya. Para ulama fiqh mulai membicarakan tentang bunga bank (riba), ketika mereka memecahkan berbagai macam persoalan muamalah. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan riba sesuai dengan periode larangan. Sampai akhirnya datang larangan yang tegas pada akhir periode penetapan hukum riba. Riba pada agama-agama langit (samawi) telah dinyatakan haram, sebagaimana yang tertuang dalam Perjanjian Lama Kitab Keluaran ayat 25 pasal 22: “Bila kamu menghutangi seseorang di antara warga bangsamu uang maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang.” Namun orang Yahudi beranggapan bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau dilakukan di kalangan sesama Yahudi. Tetapi tidak terlarang dilakukan terhadap non-Yahudi. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Kitab Ulangan ayat 20 pasal 23.6

Kapan sebenarnya manusia mulai mempraktekkan riba? Tak ada catatan pasti tentang ini. Yang jelas, pada masa Nabi MusaAS. orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan bunga. Larangan ini, terdapat di Old Testament (Perjanjian Lama) dan UU Talmud. Di antaranya, Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19: “Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau apa pun yang dapat dibungakan”.7

Larangan serupa juga tercantum di Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 dan Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7. Ini menunjukkan, sebelum turunnya larangan ini, manusia telah mempraktekkan riba. Apalagi dalam al-Qur’an surat an-Nisa’: 160-161 ditegaskan bahwa Allah akan memberikan azab yang keras kepada orang-orang Yahudi yang memakan riba. Jadi, sebelum dan hingga masa Nabi Musa AS, manusia telah mempraktekkan riba.8

Pada masa Yunani (abad VI SM–I M), terdapat beberapa jenis bunga yang besarnya dikategorikan menurut kegunaannya. Untuk pinjaman biasa antara 6-18%, pinjaman properti 6-12%, pinjaman antar kota 7-12%, sedang pinjaman perdagangan dan industri 12-18%. Tapi, praktek ini dicela dua ahli filsafat, Plato dan Aristoteles. Plato beralasan, penerapan bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Selain itu, lanjut Plato, bunga merupakan alat kelompok kaya untuk mengeksploitasi masyarakat miskin. Sedangkan Aristoteles menyatakan, uang adalah alat tukar, bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Sehingga, pengambilan bunga secara tetap merupakan ketidakadilan.

Meski dikecam, praktek riba kian tumbuh subur, terutama pada masa Romawi (Abad V SM–IV M). Bahkan, saat Unciaria (342 SM) berkuasa di Byzantium, praktek bunga malah dilegalkan dengan UU. Dalam UU itu, masyarakat dibolehkan mengambil bunga selama tingkat bunganya sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan UU’ (maximum legal rate). Meski begitu, pengambilannya tidak boleh dengan cara bunga-berbunga (double countable). Bunga yang dikenal saat itu adalah: bunga maksimal 8-12%, bunga pinjaman biasa di Roma dan pinjaman khusus Byzantium 4-12%, sedangkan bunga untuk daerah taklukan mencapai 6-100%.9

Ibnu Abi Zayd (w 136 H754 M) mengungkapkan bahwa praktek riba juga melanda bangsa Arab pra-Islam, di mana riba dilakukan dengan berlipat ganda baik terhadap uang maupun berbagai macam komoditi, serta perbedaan umur berlaku bagi binatang ternak. Apabila sudah mencapai jatuh tempo, pihak piutang (kreditur) akan menanyakan kepada pihak yang berutang  (debitur), apakah engkau akan melunasi sekarang atau menambah pembayaran jumlah utang yang engkau pinjam? Jika pihak debitur mempunyai sesuatu maka ia akan membayarkannya, tetapi jika hutangnya berupa binatang ternak, maka umurnya dapat meningkat  (pada waktu pembayarannya). Apabila hutangnya berupa uang atau jenis komoditi lain, maka ia dapat meningkatkan dengan berlipat ganda pada waktu pengambilannya dalam jangka setiap tahun. Bila debitur tidak dapat membayarnya, maka hutang tersebut dapat berlipat lagi, misalnya hutang 100 dalam satu tahun dapat meningkat menjadi 200, jika tidak dibayar pada tahun berikutnya, hutang akan akan meningkat lagi secara berlipat ganda  menjadi 400. jelasnya, keterlambatan hutang akan bertambah berlipat ganda pada setiap tahunnya.10

Sementara, di belahan dunia yang lain, pada rentang waktu yang hampir bersamaan, di saat gereja masih mengharamkan riba (abad I–XII M), ternyata telah berkembang dengan pesat praktek perekonomian tanpa riba. Praktek ini, dimulai setahap demi setahap seiring keberhasilan dakwah Rasulullah SAW hingga terbentuknya negara Islam pertama di Madinah (sekitar tahun 3 H). Pelarangan total terhadap riba ini pun tercantum dengan tegas dalam QS. ar-Rum: 39, an-Nisa: 160-161, Ali Imran: 130, al-Baqarah: 278-279 dan Hadis-hadis Nabi sendiri. 11

Sepeninggal Rasulullah SAW. Seiring meluasnya pengaruh dan kekuasaan Islam hingga 2/3 dunia, perekonomian dan perdagangan di negeri-negeri Islam pun kian pesat berkembang. Di masa itu bermunculan ekonom-ekonom muslim yang tetap konsisten memandang riba itu haram dan keji. Misalnya, Abu Yusuf (182 H/798 M) dengan kitabnya al-Kharraj yang membahas keuangan publik dan akuntansi syariah. Kemudian, al-Gazali (451-505 H/1055-1110 M) dengan kitabnya Ihya’ Ulumu ad-Din, Ibnu Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M) dengan kitabnya al-Hisbah tentang konsep harga yang adil, hingga Shah Waliyullah (1114-1176 H/1703-1762 M) dengan kitabnya al-Baliqa tentang rasionalisasi pendapatan.

Tetapi, prinsip keadilan dan kebersamaan yang dibangun oleh sistem ekonomi Islam, akhirnya harus tersingkir dari peta perkembangan ekonomi dunia yang kian kapitalistik dan pragmatis. Melunturnya praktek ekonomi tanpa riba di sebagian besar negeri muslim, berjalan berkelindan dengan menurunnya pamor dan kekuasaan negeri-negeri muslim di belahan dunia mana pun. Puncaknya terjadi pada 4 November 1922, ketika Daulah Usmaniyah Turki sebagai pemegang amanah kekhalifahan harus rela melepas kekuasaannya, setelah berkuasa selama 633 tahun di Asia, Eropa, dan Afrika.

Seiring perjalanan waktu, kekejian sistem riba secara ekonomi maupun sosial, mulai terkuak ke permukaan. Publik pun mulai melirik kembali sistem ekonomi tanpa riba yang pernah dicampakkannya. Akhirnya, dunia Islam pun merespon ramai-ramai keinginan umat untuk kembali hidup tanpa riba. Tak heran, di penghujung tahun 1970-an, beberapa negara Islam mulai mengembangkan industri keuangan tanpa riba. Apalagi setelah berdiri Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB), sebagai hasil dari Sidang OKI di Karachi, Pakistan, Desember 1970.12

Pada akhirnya, ulama pun terlibat aktif untuk mendukung kembalinya sistem tanpa riba ini. Tak heran, jika kemudian ulama-ulama sedunia mengeluarkan fatwa yang pada intinya menegaskan kembali bahwa bunga (riba) apa pun bentuknya tetap haram, sedikit atau banyak. Di antara fatwa itu adalah: Pertama, fatwa dari Pertemuan OKI di Karachi tahun 1970. Kedua, Fatwa Kantor Mufti Negara Mesir tahun 1989 hingga 1900 yang memutuskan bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan. Ketiga, Konferensi II Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) di Universitas Al-Azhar, Cairo, Muharram 1385 H/Mei 1965 menetapkan, tak ada keraguan sedikit pun atas keharaman praktek membungakan uang seperti dilakukan oleh bank-bank konvensional. Keempat, Fatwa Lembaga Fiqh Rabitah Alam Islami Makkah dan Konferensi Islam Internasional di Jedah tahun 1976.13

  1. Pengertian dan Landasan Hukum Bunga Bank.

Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa “interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned”. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan presentase dari uang yang dipinjamkan. Pendapat lain menyatakan “interest yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan degan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang sekarang sering dikenal dengan suku bunga modal“.14

Ada yang memebedakan antara riba dan rente (bunga) seperti Mohammad Hatta. Mantan Wakil Presiden RI, sebagaimana dikutip oleh Masjfuk Zuhdi, menerangkan bahwa riba adalah untuk pinjaman yang bersifat kosumtif, sedangkan rente adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif, demikian pula istilah usury dan interest, bahwa usury ialah  bunga pinjaman yang sangat tinggi, sehingga melampaui suku bunga yang diperbolehkan oleh hukum. Sedangkan interest ialah bunga pinjaman yang relatif rendah. Tetapi dalam realitas atau praktek menurut Maulana Muhammad Ali adalah sukar untuk membedahkan antara usury dan interest, sebab pada hakekatnya  kedua-keduanya memberatkan bagi para peminjam.15

Oleh karena itu, apabila menarik pelajaran sejarah masyarakat Barat, terlihat jelas bahwa “interest” dan “usury” yang telah dikenal saat ini pada hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam prosentase. Istilah usury muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap wajar. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar yang sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.16

                  Berbicara mengenai bunga bank, maka tidak bisa lepas dari yang namanya riba. Dan kata riba itu sendiri dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti “tambahan” (az-Ziyadah)”.17 atau “kelebihan”18—yakni tambahan pemabayaran atas uang pokok d pinjaman. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa riba merupakan kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu dari orang yang sedang bertransaksi.

Pengertian riba di atas masih sangat umum sifatnya, dan belum memberikan ketentuan jenis riba apa yang diharamkan. Untuk mendekatkan pemahaman, ada ulama yang berependapat pentingnya melihat dan mempertimbangkan kata sandang yang ada dalam kata riba, di dalam al-Qur’an, dengan melihat fungsi kata sandang tersebut, diharapkan akan memperoleh pemahaman yang lebih mendekati pada kebenaran.

Dalam pandangan sebagian mufassir, kata sandang (definite article alif lam), berarti menunjuk kasus tertentu (ma’rifah). Maka makna kata ar-riba yang dimaksud adalah praktek pengambilan untung dari debitur yang sudah  biasa di kalangan orang-orang Arab pra-Islam ketika al-Qur’an belum diturunkan, dengan pemahaman ini, kesimpulan awal yang barangkali sangat penting untuk dicatat, bahwa untuk bias memahami ayat secara lebih tepat dan mengena, seorang harus mengetahui sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat (asbab an-Nuzul), barulah kemudian dapat diketahui apa arti riba sebenarnya.19

Oleh karena itu, pengertian riba menurut terminologi (pendapat ulama) adalah bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berhutang kepada orang yang berpiutang, sebagai imbalan untuk menggunakan sejumlah uang milik berpiutang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.20 Misalnya si A memberi pinjaman pada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman serta sekian persen tambahannya.

Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah terdapat beberapa ayat yang membicarakan riba secara eksplisit di antaranya adalah:

– Firman Allah SWT :

  1.  يايهاالدين امنوا لا تا كلوا الربوا اضعافا مضفة واتقوا الله لعلكم تقلحون           21.
  2. واحل الله البيع وحرم الربوا      22.
    1. ياايها الدين امنوا اتقوا الله ود روا ما بقي من الر بوا ان كنتم مؤمنين. فان لم تفعلوا فاد نوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لاتظلمون ولاتظلمون23

–  Hadis Nabi SAW:

  1. لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم اكل الربا وموكله وكاتبه وشاهد يه   24.
  2. انما الربا فى النسيئة  25.

Dari beberapa ayat dan hadis yang telah disebutkan tadi jelaslah bahwa riba itu betul-betul dilarang dalam agama Islam. Muncul sebuah pertanyaan, apakah semua riba termasuk dalam katagori arti atau maksud dari ayat dan hadits di atas?. Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah—ada  beberapa pendapat dari para ulama. Di sini dijelaskan  riba nasi’ah jelas-jelas dilarang karena ayat tersebut diturunkan karenanya (kejadian di masa jahiliyah). Jadi, dengan kata lain, turunnya ayat itu karena adanya riba nasi’ah. Menurut Ibnu Qayyim dalam kitab ‘Ilami al-Muwaqi’in, sebagaimana dikutip Sulaiman Rasjid, mengatakan, bahwa “riba nasi’ah adalah riba yang dilakukan oleh kaum jahili di masa jahiliyah. Mereka menta-khirkan utang dari waktu yang semestinya dengan menambah bayaran; apabila terlambat lagi, ditambah pula terus-menerus, tiap keterlambatan wajib ditambah lagi, sampai utang yang asalnya seratus rupiah akhirnya menjadi beribu-ribu. Kalau dengan gadai, barang yang tergadai juga tetap tergadai”26

Pelarangan riba nasi’ah mempunyai pengertian bahwa penetapan keuntungan positif atas uang yang harus dikembalikan dari suatu pinjaman sebagai imbalan karena menanti, pada dasarnya tidak diizinkan oleh syari’ah. Tidak ada perbedan apakah uang itu dalam prosentase yang pasti dari uang pokok atau tidak, atau suatu jumlah yang harus dibayar di muka atau dikemudian hari, atau diberikan dalam bentuk hadiah atau jasa yang diterima sebagai syarat pinjaman. Inti dari permaslahan di sini adalah keuntungan positif yang ditetapkan di muka. Penting untuk dicatat bahwa menurut syari’ah, waktu tunggu selama pembayaran kembali pinjaman tidak dengan sendirinya memberikan justifikasi atas keuntungan positif dimaksud.27

Hakikat pelarangan tersebut adalah tegas, mutlak, dan tidak mengandung perdebatan. Tidak ada ruang untuk mengatakan bahwa riba mengacu sekedar pada pinjaman dan bukan bunga, karena Nabi melarang mengambil, meskipun kecil, pemberian jasa atau kebaikan sebagai syarat pinjaman, sebagai tambahan dari uang pokok.28 Meskipun demikian, jika pemgembalian pinjaman pokok dapat bersifat positif atau negatif tergantung pada hasil akhir suatu bisnis, yang tidak diketahui terlebih dahulu. Ini diperbolehkan asal ditanggung bersama menurut prinsip-prinsip keadilan yang ditetapkan dalam syari’ah.

 

  1. Macam-macam Riba dan Dampaknya.

Para ahli hukum Islam (fuqaha’) secara sederhana membagi riba menjadi empat macam yaitu: Pertama riba fadli, yaitu  menukarkan dua barang yang sejenis dengan barang yang tidak sama. Kedua riba qardi, yaitu berutang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi hutang. Ketiga riba yad, yaitu berpisah dari tempat akad sebelum timbang-terima. Keempat riba nasi’ah, yaitu disyaratkan salah satu dari kedua barang yang ditukarkan tersebut ditangguhkan penyerahannya.29 Riba nasi’ah  juga disebut riba duyun—yakni riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko dan hasil usaha muncul bersama biaya. Transaksi semacam ini karena mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban hanya karena berjalannya waktu.30

Sebagian ulama ada yang membagi riba tersebut atas tiga macam, yaitu riba fadli, riba yad, dan riba nasi’ah. Riba qardi termasuk ke dalam riba nasi’ah. Barang-barang yang berlaku riba padanya adalah emas, perak, dan makanan yang mengenyangkan atau berguna untuk yang mengenyangkan, misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama sejenisnya—seperti emas dengan emas, gandum dengan gandum—diperlukan tiga syarat: 1. Tunai; 2. Serah terima; dan 3. Sama timbangannya. Kalau jenisnya berlainan, tetapi ‘illat ribanya satu—seperti emas dengan perak—boleh tidak sama timbangannya, tetapi mesti tunai dan timbang terima. Kalau jenis dan ‘illat ribanya berlainan perak dengan beras, boleh dijual bagaimana saja seperti barang-barang yang lain; berarti tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga tersebut.31

Sementara Ibnu Qayyim, membagi riba atas dua bagian: jali dan khafi. Riba jali adalah riba nasi’ah, diharamkan karena mendatangkan mandharat yang besar. Riba yang sempurna (riba al-kamil) adalah riba nasi’ah. Riba ini berjalan pada masa jahiliyah. Sedangkan riba khafi diharamkan untuk merutup terjadinya riba jali (wa al-khafi haramun li annahu zari’atun ila al-jali).32

Semua agama samawi (revealed relegion) telah melarang praktek bunga bank, karena dapat menimbulkan dampak bagi masyarakat pada umumnya dan bagi mereka yang terlibat langsung  pada praktek riba pada khususnya. Adapun dampak akibat dari praktek riba adalah:

  1. Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin.
  2. Uang modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke dalam usaha-usaha yang produktif, misalnya pertanian, perkebunan, industri, dan sebagainya yang dapat ciptakan lapangan kerja banyak, yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pemilik modal itu sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.
  3. Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga, jika si peminjam itu tidak mampu untuk mengembalikan pinjaman dan bunganya.33
  4. Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengurangi semangat kerja sama atau saling menolong dengan sesama manusia, dengan mengenakan tambahan kepada peminjam akan menimbulkan prasaan bahwa peminjam tidak tahu kesulitan dan tidak mau tahu penderitaan orang lain.
  5. Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan. Kreditur yang meminjamkan modal dengan menenutut pembayaran lebih kepada peminjam dengan nilai yang telah disepakati bersama menjadikan kreditur mempunyai legitimasi untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik untuk menuntut keasepakatan tersebut. Karena dalam kesepakatan kreditur telah memperhitungkan keuntungan yang telah diperoleh dari kelibahan bunga yang akan didapat, dan itu sebenarnya hanya berupa pengharapan dan belum terwujud.34

 

  1. Fungsi Bank

Karena pembahasan ini sangat erat kaitannya dengan lembaga bank, maka ada baiknya lebih dahulu diuraikan pengertian bank secara singkat dan sederhana. Bank atau perbankan adalah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalulintas pelayanan dan peredaran uang dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain.35 Selain itu, bank juga mempunyai fungsi mengedarkan alat tukar baru dalam bentuk uang bank atau giral.

Dari tinjauan bahasa, kata bank berasal dari bahasa Italia, Banco, yang berarti meja.36 Penyebutan ini didasarkan pada alasan, bahwa orang yang mengerjakan bank ini, umumnya memakai meja di tepi jalan untuk melayani orang-orang yang hendak berhubungan dengan mereka (pengelola bank). Pekerjaan semacam ini sudah dikenal dan dilakukan sejak zaman dahulu kala, dan lebih khusus dan lebih banyak dikerjakan oleh orang-orang Yahudi. Ketika ada kesewenang-wenangan dari pihak pengelola bank, maka pemerintah ikut campur dan melakukan pengawasan serta membuat peraturan untuk menghindari kesewenang-wenangan yang telah terjadi

Oleh karenanya, peraturan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap adanya bank tersebut, merupakan usaha untuk mencegah penipuan, atau tindakan yang bersifat aniaya. Namun pengawasan dan peraturan itu sendiri belum seluruhnya memenuhi prinsip-prinsip keadilan, dan masih banyak terjadi hal-hal yang bersifat negatif.

Semakin lama lembaga ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Akibatnya, muncullah definisi bank, yang diformulasikan oleh pemikir-pemikir dan ahli-ahli di bidang sosial, khususnya pemikir ahli ekonomi. Pierson, seorang ahli ekonomi dari Belanda abad ke-19 misalnya, mendefinisikan bank sebagai badan yang menerima kredit. Sementara Somary mendefinisikan bank sebagai lembaga yang mengambil kredit. Dari definisi yang kedua ini, terkesan pihak bank berlaku aktif. Lebih lengkap lagi G.M. Verrijn mendefinisikan bank sebagai lembaga yang berusaha memuaskan keperluan pihak kreditor, baik dengan uang yang diterimanya sebagai petaruh orang lain, maupun dengan jalan megeluarkan uang baru sebagai uang kertas atau giro.37

Menurut kenyataan sejarah, bahwa bank adalah suatu perusahaan yang bertujuan untuk mencari keuntungan yang diperoleh dari selisih bunga yang harus dibayarkan kepada pemberi pinjaman. Atau bunga-bunga yang harus dibayarkan kepada pemberi pinjaman atau yang menitipkan uangnya, dengan bunga yang didapat dari pemberian pinjaman kepada orang lain. Kalau ia membayar bunga  tiga persen kepada orang yang memberi pinjaman sedang ia menerima lima persen dari orang yang meminjam. Maka ia mendapat keuntungan dua persen. Di samping itu bank juga mendapat imbalan bagi kegiatan-kegiatan lainnya, umpamanya dalam pelayanan pengiriman, pertukaran mata uang dan sebagainya.38 Adapun fungsi bank, sebagaimana diformulasikan para ahli ekonomi, bertujuan untuk memajukan perekonomian atau kesejahteraan masyarakat secara umum, dan khususnya pihak-pihak yang terlibat dalam lembaga perbankan. Hatta misalnya mengatakan, bank merupkan sendi kemajuan masyarakat. Bahkan menurutnya, masyarakat tidak bisa maju seperti sekarang ini tanpa adanya lembaga bank. Untuk membuktikan fakta pernyataannya, Hatta memberikan bukti, bahwa masyarakat yang tidak menggunakan jasa bank menjadi masyarakat yang terbelakang.39

Sementara Najetullah, dengan uraiannya yang lebih rinci mengatakan, bahwa peranan atau fungsi utama dari bank adalah sebagai perantara keuangan antara para penabung (rumah tangga) dengan para investor (perusahaan).40 Tabungan bertambah dengan jutaan rumah tangga. Sedangkan perusahaan terbatas pada puluhan ribu saja. Dengan demikian, bank mempunyai peranan ynag sangat penting dan menentukan dalam mengalokasikan sumber-sumber keuangan yang tersedia di dalam masyarakat. Sebagai konsekuensinya, kebutuhan masyarakat modern tidak terbatas pada tukar menukar dengan mata uang logam dan sejenisnya saja, melainkan kemudian muncul kebutuhan cek dan sejenisnya. Lebih lanjut menurutnya fungsi bank adalah tempat simpanan dalam bentuk rekening, simpanan aman barang-barang berharga, dan pengiriman uang dalam jarak jauh. Akan tetapi fungsi bank yang lebih pokok, ungkap Najetullah, adalah sebagai:41 (1) perantara keuangan antar penabung dan pemakai akhir—yaitu rumah tangga dan perusahaan; dan (2) menawarkan sejumlah pelayanan lain misalnya, simpan-aman, kemudahan-kemudahan seperti cek, transfer, jaminan pembayaran dan penerimaan jual-beli, manajemen, promosi dan seterusnya.

Menurut Afzalur Rahman, bank berfungsi menerima deposito, memberikan pinjaman dan menerbitkan cek, transfer deposit bank dari perorangan atau perusahaan dan memberikan berbagai macam pelayanan kepada nasabahnya, termasuk bisnis taransaksi penukaran uang asing, membeli dan menjual jaminan penukaran atas nama mereka, serta bertindak sebagai pengawas maupun yang diberi kepercayaan. Bank juga memiliki fungsi menyediakan fasilitas pinjaman kepada para nasabahnya dalam bentuk kartu kredit dan overdraft. Bentuk kartu kerdit dimaksudkan untuk digunakan para ibu rumah tangga dan para pembelanja lainnya serta para bisnismen. Karena besarnya nasabah bisnis, fasilitas overdraft sangat bermanfaat dan biasanya dilakukan pembaharuan negeoisasi pada saat interklien mengadakan persetujuan dengan bank mengenai batas kredit, dan membuka kesempatan untuk menarik cek atas uangnya pada batas limit yang telah ditentukan. Untuk segala pelayanan ini, bank mengenakan suatu bunga atau menarik komisi atas pelayanannya dan para nasabahnya dikenakan bunga.42

 

  1. Bank Konvensional (sistem bunga) dan Bank Islam.

Bank sebagai lembaga keuangan yang melalui kegiatan-kegiatannya menarik uang dari yang menyalurkannya kepada masyarakat, dengan usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Bagi negara yang sedang berusaha meningkatkan ekonominya mempunyai peranan dan posisi yang sangat penting, terutama kaitannya dengan kontak-kontak ekonomi negara lain. Sulit dibayangkan melakukan kegiatan-kegiatan ekomomi tanpa behubungan dengan bank.

Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak bisa menghindari diri dari bermuamalah dengan bank konvensional dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya ibadah haji di Indonesia umat Islam masih harus memakai jasa bank, apalagi dalam kehidupan ekonomi tidak bisa lepas dari yang namanya jasa perbankan. Sebab tanpa jasa bank, perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju seperti sekarang ini.43

Istilah “Bank Konvensional”44 dalam hal ini dimaksudkan sebagai sebutan bagi bank yang dipraktekkan orang pada umumnya sebelum bank Islam lahir. Yaitu bank dengan penerapan sistem bunga.45 Usia lembaga perbankan sebenarnya sudah tua sehingga ketika orang Islam mulai melakukan kontak dengan bank, ia sudah berada pada tahap perbangkan dengan pola modern. Karenanya, benar bahwa kegiatan perbankan dengan sistem bunga disebut sebagai persoalan baru dalam kajian keislaman.

Dalam perekonomian modern, pada dasarnya bank adalah lembaga perantara dan penyalur dana antara pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana. Peran ini disebut “Financial Intermediary”. Dalam melaksanakan tugasnya yang paling menonjol sebagai financial intermediary itu, bank dapat dikatakan membeli uang dari masyarakat pemilik dana ketika ia menerima simpanan, dan menjual uang kepada masyarakat yang memerlukan dana ketika ia memberi pinjaman kepada mereka. Dalam kegiatan ini muncul apa yang disebut bunga. Sri Edi Swasano, seorang pakar muslim dalam disipilin ilmu ekonomi, berpendapat bahwa bunga adalah harga uang dalam transaksi jual-beli tersebut. Dengan demikian, bunga yang ditarik oleh bank dari pemakai jasa, merupakan ongkos adminitrasi dan ongkos sewa. Sehingga dari sini kelihatan bahwa penyimpanan uang di bank akan mendapat bagian keuntungan dari bank berupa bunga yang diambilkan dari bunga yang diterima oleh bank.46

Sebagai bank yang menerapkan sistem bunga, mekanisme perbankan konvensional sebagian besar ditentukan oleh kemampuannya dalam menghimpun dana masyarakat melalui pelayanan dan bunga yang menarik47 Suatu tingkat bunga simpanan akan dikatakan menarik manakalah: Pertama, lebih tinggi dari tingkat inflasi, karena pada tingkat bunga yang lebih renda, dana yang disimpan nilainya akan dikikis inflasi. Kedua, lebih tinggi dari tingkat bunga riil di luar negeri karena pada tingkat bunga yang lebih rendah dengan dianutnya sistem devisa bebas, dana-dana besar akan lebih menguntugkan untuk disimpan (diinvestasikan) di luar negeri. Ketiga, lebih bersaing di dalam negeri, karena penyimpanan dana akan memilih bank yang paling tinggi menawarkan tingkat bunga simpanannya dan memberikan berbagai jenis bonus atau hadiah. Kemudian pada sisi penyaluran dana tingkat bunga simpanan itu ditambah dengan prosentasi tertentu untuk spread yang terdiri dari; Biaya operasional, Cadangan kredit macet, Cadangan wajib, dan Profit marjin, dibebankan kepada peminjam dana. Artinya peminjam dana-lah yang sebenarnya membayar bunga simpanan dan spread bagi bank tersebut.

Sebagai intermediary, bank lalu memperoleh spread sebagai salah satu sumber pendapat yang pada umumnya justru merupakan pendapatan utama.  Hal tersebut di atas mengandung makna bahwa satu tingkat bunga simpanan yang tinggi itu bisa terjadi karena adanya tingkat inflasi yang tinggi, tingkat bunga riil di luar negeri yang tinggi, dan tingkat persaingan antar bank yang tinggi. Sebaliknya suatu tingkat buga pinjaman yang tinggi bisa terjadi karena tingkat bunga simpanan yang tinggi sebagai sumber dana dan tingkat spread yang tinggi pula.48 Proses penentuan tingkat bunga seperti tersebut di atas cenderung lebih mudah mengakomodir kenaikan dari pada penurunan tingkat bunga. Karena untuk menurunkan tingkat bunga harus dimulai dari menurunkan tingkat bunga simpanan yang mengandung resiko pindahnya penyimpanan dana dari bank yang menurunkan tingkat bunga ke bank yang memberikan tingkat bunga lebih tinggi. Oleh sebab itu, siapa yang berani terlebih dahulu menurunkan tingkat bunga? Tentu saja tidak ada walaupun melalui kesepakatan antar bank yang ada. Kesepakatan semacam itu sulit dilaksanakan karena adanya perbedaan kekuatan masing-masing bank. Di lain pihak, beban bunga pinjaman yang dibayar peminjam kepada bank itu lazimnya sebanyak mungkin akan digeserkan oleh peminjam dana kepada penanggung yang terakhir.

Jadi, apabila peminjam dana adalah perorangan untuk keperluan konsumtif, maka beban bunga pinjaman tadi tentunya harus ditangani sendiri. Tetapi apabila peminjam dana adalah pedangang maka logislah apabila beban bunga pinjaman itu digeserkannya kepada harga barang yang dijual.49 Dari mekanisme kerja antar bank dengan nasabah inilah, baik nasabah peminjam maupun nasabah penyimpan, maka bank konvensional tidak dapat mempertahankan hidupnya, apalagi mengembangkannya tanpa mekanisme sistem bunga. Oleh karenanya, di sini dapat diambil sedikit pengertian segi positif bank dari sistem bunga yaitu dengan melalui sistem bunga, bank dapat melaksanakan aktivitas perbankannya, namun dibalik semua segi positif dari sistem bunga, ternyata masih banyak kejelekan-kejelekan dari diterapkannya bank konvensional (sistem bunga). Diantaranya adalah:50 Pertama, dengan sistem ini, para wisatawan, pemerintah dan kelompok konsumen, berada dalam posisi yang terpojok. Sebab, kelompok ini akan mempunyai beban hutang dari sumber keuangan.

Kedua, kelompok yang bisa mendapatkan pinjaman pada umumnya hanyalah kelompok yang mempunyai jaminan yang lebih tinggi dan lebih terjamin. Sementara banyak kelompok lain yang lebih membutuhkan pinjaman dan mempunyai usaha yang lebih layak untuk dikembangkan, tidak mendapatkan pinjaman hanya karena tidak memiliki jaminan yang cukup dan aman.51 Ketiga, mengakibatkan tidak meratanya distribusi pendapatan. Sebagai contoh konkrit, dapat dilihat pekerjaan yang dilakukan perusahan, mulai dari proses produksi, pengelolahan sampai pada proses pemasaran. Dengan usaha yang sedemikian berat, pihak perusahaan masih penuh tanda tanya, antara berhasil atau tidak. Sementara pihak bank sendiri, hanya dan tinggal mengambil bunga bulanan.52 Keempat, perbankan dengan sistem bunga tidak mengenal adanya perbedaan antara peminjam komsumtif dan produktif. Padahal terlalu banyak orang yang meminjam uang untuk kebutuhan kosumsi, baik berupa kebutuhan sehari-hari, maupun untuk bekal masa depan yang sangat dibutuhkan, seperti rumah dan semacamnya. Semua kebutuhan konsumen tersebut, sama sekali tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan. Sementara bank mebebankan bunga yang sama dengan perusahaan-perusahaan yang masih ada kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan.53 Kelima, pihak bank juga tidak membedakan antara kebutuhan usaha dengan kebutuhan-kebutuhan umum,  seperti kebutuhan air minum, listrik dan semacamnya. Padahal hal-hal semacam itu merupakan kebutuhan masyarakat secara umum. Sementara pihak bank tidak membedakan kebutuhan tersebut dengan pinjaman untuk kepentingan lainnya. Akibatnya adalah munculnya konsentrasi kekuatan keuangan di pihak bank. Sehinga akibat selanjutnya adalah munculnya ketidakmerataan pendapatan, yang bisa terjadi akan memunculkan inflasi.54

Untuk itu Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin, berusaha melalui para pakar muslim yang berkecimpung dalam dunia ekonomi untuk memberikan solusi terhadap sistem bunga bank, yaitu dengan mendirikan bank Islam,55 di mana prinsip yang dipakai dalam bank Islam ini adalah tidak didasarkan pada sistem bunga, melainkan lewat sistem bagi hasil.56 Bank tanpa bunga ini akan menyediakan fasilitas kredit dan melaksanakan semua fungsi bank perdagangan. Prinsip bagi hasil akan mendorong investor untuk menanam uang mereka di bank non konvensional, sebab kongsi dalam bank ini akan menanggung untung dan rugi secara bersama, yang berbeda dengan sistem perbankan modern di mana kerugian hanya akan ditanggung oleh peminjam, sedangkan pemberi pinjaman dalam hal ini adalah pihak bank akan selalu mendapatkan keuntungan.57

Sebagai pengganti sistem bunga, bank Islam menggunakan berbagai cara atau prinsip yang bersih dari unsur riba, antara lain adalah sebagai berikut: Pertama. Wadiah, yaitu titipan uang, barang, dan surat-surat berharga atau deposito. Lembaga fiqh Islam “wadiah” ini, bisa diterapkan oleh bank Islam dalam operasinya menghimpun dana dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, surat-surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya (rente atau riba), tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu pada waktu pemiliknya (depositor) memerlukannya.58

Kedua. Mudarabah, yaitu suatu usaha kerjama antara tenaga kerja dengan pemilik modal bergabung bersama-sama sebagai mitra usaha untuk kerja. Ini bukan semata-mata usaha dalam arti modern. Ia punya kelebihan karena Islam telah memberikan kode etik ekonomi yang menggabungkan nilai material dan spiritual untuk jalankan sistem ekonominya. Kode etik ekonomi ini harus dicerminkan bila prinsip mudarabah dilaksanakan dalam praktek. Sistem perbankan Islam dapat membantu pembentukan lembaga tertentu atas dasar mudarabah dan dengan demikian, dapat menyelesaikan pertentangan yang berabad-abad lamanya antara tenaga kerja dan majikannya.59

Sungguh menyenangkan melihat bank Islam turut mngurus kontrak mudarabah, yaitu bank memberikan modal, sedangkan para nasabah memberikan keahlian mereka, sementara keuntungan dibagi menurut rasio yang disetujui. Telah dikemukan bahwa prinsip mudarabah dapat dimintakan dalam hal transaksi jangka pendek yang dapat membiayai dirinya sendiri (self liquidating), dan akibatnya permintaan untuk pinjaman jangka  pendek sedikit- banyak dapat dikurangi, karena dalam ekonomi Islam pinjaman jangka pendek dengan bunga seperti yang diberikan bank dagang tradisional atau lembaga diskonto tidak akan tersedia.60

Ketiga. Musyarakah (persekutuan), yaitu kerja sama antara pihak bank dan pihak pengusaha yang sama-sama memiliki andil (saham) pada usaha persekutuan (join venture). Karena itu, kedua belah pihak berpartisipasi langsung mengelola usaha perseketuan tersebut mulai dari menanggung untung dan ruginya bersama atas dasar perjanjian profit and lose sharing (PLS agreement).61 Sehingga dengan musyarakah ini, baik bank atau klien menjadi mitra usaha dengan menyumbangkan modal dalam berbagai tingkat dan mencapai kata sepakat atas suatu rasio laba di muka untuk suatu waktu tertentu.62

Keempat. Murabahah, yaitu jual beli barang dengan tambahan harga atau cost plus atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur. Dengan murabahah ini, orang pada hakikatnya ingin mengubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam-meminjam menjadi transaksi jual beli (lending activity menjadi sale and purchase transaction).63 Di sini bank Islam bisa membelikan atau menyediakan barang-barang yang diperlukan oleh pengusaha untuk dijual lagi, dan bank minta tambahan harga (cost plus) atas harga pembelinya. Syarat transaksi murabahah ini adalah si pemilik barang, dalam hal ini bank Islam harus memberikan informasi yang sebenarnya atau sejujurnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya (profit margin) dari pada cost plus-nya itu.

Kelima. Qard Hasan, yaitu pinjaman yang baik (benevolent loan). Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik, terutama nasabah yang memiliki deposito di bank Islam itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank terhadap para deposan, karena deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari bank Islam.64

Keenam. Bank Islam dalam melakukan transaksi juga diperbolehkan memungut dan menerima pembayaran untuk;65 1. Mengganti biaya-biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, misalnya biaya telegram, telepon, telex dalam memindahkan atau memeberitahukan rekening nasabah dan sebagainya. 2. Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, dan untuk sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank, dan biaya adminitrasi pada umumnya.

Dari keterangan tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa perbedaan prinsipil antara sistem bank konvensional dengan bank bebas bunga (bank Islam) adalah terletak pada cara penentuan keuntungan. Pada bank konvensional misalnya, jasa atau bunga pinjaman ditentukan lebih dahulu dan diperhitungkan menurut besar bunga yang ditetapkan dan jumlah pinjaman atau tabungan.66 Seorang atau suatu badan hukum yang meminjam uang dari bank sejak mulai hari pinjaman atau sejak saat yang ditentukan dalam perjanjian, ia sudah menanggung beban membayar bunga, tanpa diperhitungkan apakah uang pinjaman itu akan mendatangkan hasil atau tidak.

Sementara bank Islam menetukan keuntungan menurut laba yang telah diperoleh. Kedua belah pihak sama-sama menanggung untung dan rugi. Keuntungan bisa naik atau turun tergantung kepada besar kecilnya laba yang diperoleh. Kepada peminjam, bank Islam tidak menentukan bunga dan kepada penabung tidak memberikan bunga, yang diberikan adalah keuntungan yang diperhitungkan atas dasar besar kecilnya laba yang didapat.67

  1. Riba, Bunga Bank, dan Masyarakat Indonesia.

Evolusi konsep riba ke bunga tidak lepas dari perkembangan lembaga keuangan, khususnya bank. Lembaga keuangan timbul, karena kebutuhan modal untuk membiayai industri dan perdagangan. Modalnya terutama berasal dari kaum pedagang. Oleh karena itu, para bankir pada umumnya berasal dari pedagang. Dalam menjalankan bisnis, para pedagang, pengusaha selalu membutuhkan modal. Bisnis kecil-kecilan biasanya pelakunya dapat mengatasi modalnya sendiri. Tetapi, apabila bisnis telah menunjukkan pada perkembangan yang besar, dan untuk mengembangkan usahanya biasanya membutuhkan modal yang cukup besar. Dalam hal ini modal harus dicarikan dari sumber yang lain,. Tetapi siapa orangnya yang mau meminjamkan uangnya dengan cuma-cuma, apalagi dalam jumlah besar? Dari sisnilah timbul keperluan bank sebagai perantara antara mereka yang membutuhkan kredit dengan mereka yang memiliki surplus modal. Bank tidak memandang untuk keperluan konsumsi, produksi, perdagangan atau jasa, tetapi pada umumnya pinjaman diarahkan kepada kegiatan usaha. Kalaupun ada yang memerlukan untuk konsumsi, bank hanya bersedia memberikan pinjaman jika ada jaminan bahwa hutang itu akan bisa dibayar.68 

Dalam menjalankan transaksi bank harus mengenakan ongkos untuk peminjam, karena bank pun harus membayar ongkos itu untuk memberikan pinjaman. Di sini dikenal apa yang disebut sebagai modal murni, yaitu tingkat bunga nominal dikurangi beberapa ongkos, seperti biaya-biaya adminitrasi, jaminan terhadap keamanan hutang pokok maupun bunganya, kemungkinan merosotnya daya beli uang, baik karena inflasi maupun nilai tukarnya terhadap mata uang asing, dan juga ongkos-onkos yang diperlukan untuk menjaga keutuhan uang karena pembayaran dengan cara angsuran. Semua ongkos itu tentunya harus dipikul oleh debitur. Bank hanya menarik semua ongkos itu dalam rangka menjaga amanat dari para pemilik modal.

Oleh karenanya, mereka yang memiliki uang, baik besar maupun kecil sebenarnya menanggung beban dan resiko dengan meminjamkan atau menyimpan uangnya itu ke bank. Pertama, ia kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan uangnya itu. Baik untuk keperluan usaha maupun konsumsi. Kedua, nilai uangnya bisa merosot, apalagi karena adanya inflasi dan nilai tukar uang yang kini sudah bisa diperhitungkan, walaupun tidak terlalu persis. Ketiga, pemilik uang juga menaggung resiko uang tidak kembali, dan karena itu, maka bank perlu memperhitungkannya, demi keamann pemilik modal, agar bisa dipercaya untuk menyimpan uang masyarakat.69

Sementara itu, dalam perkembangannya lembaga keuangan syari’ah dengan berbagai instrumen yang telah ada telah menimbulkan optimisme akan perubahan sikap masyarakat terhadap keberadaan riba, tetapi masih ada beberapa alasan yang menjadikan bunga kurang bisa diterima sebagai riba oleh sebagian masyarakat. Adapun alasannya antara lain:70

  1. Masalah emosi keagamaan.

Wacana bunga sebagai riba masuk dalam urusan keyakinan. Hal ini menjadikan justifikasi bagi beberapa orang untuk menerima atau menolak bunga sebagai riba. Oleh karenanya berbicara mengenai keberadaan bunga sebagai riba oleh sementara pihak akan menyinggung keyakinan pihak lain—yang menganggap bunga bukan termasuk katagori riba—dan ini akan menimbulkan sikap emosional dalam memposisikan keberadaan pelarangan riba. Hal ini yang menyebabkan sukarnya menjelaskan mengapa riba itu dilarang?.71

  1. Selain riba, ada maisir (perjudian) dan garar (risiko).

Selain praktek riba yang dilarang, praktek maisir dan garar juga dilarang dalam Islam. Popularitas riba diakibatkan posisi riba yang banyak digunakan untuk melegitimasi haramnya bunga. Sehingga praktek garar dan maisir yang sebenarnya perlu disejajarkan dengan masalah riba kurang begitu mendapatkan perhatian. Dan ini lebih dikarenakan masir dan garar kurang populer untuk melegitimasi dilarangnya praktek-praktek perbankan yang tidak sesuai dengan syari’ah, sebagaimana pelarangan riba. Sehingga kadangkala keberadaan pelarangan riba  dalam perbankan dipandang semata-semata sebagai antitesis dari keberadaan bunga, dan lebih menkhawatirkan adalah pemahaman ini memposisiskan  pelarangan riba bukan untuk bertujuan memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, tetapi posisi pelarangan riba hanya karena adanya bunga.72

  1. Kritik yang berlebihan terhadap lembaga keuangan syari’ah.

Sebagian masyarakat yang menolak bunga sebagai riba—berlebihan terhadap permasalahan lembaga keuangan syari’ah, tetapi tidak mau lebih jauh mengetahui  ada apa dibalik permasalahan di lembaga keuangan syari’ah tersebut. Sedikit masalah dalam lembaga keuangan syari’ah selalu mendapat perhatian yang besar dibanding dengan lembaga keuangan konvensional—walaupun derajat permasalahannya sama. Hal ini dikarenakan lembaga keuangan syari’ah menanggung konsekuwensi untuk dianggap lebih baik dibanding dengan lembaga keuangan konvensional, karena awal eksistensinya telah dianggap sebagai kritik lembaga keuangan konvensional—yang menggunakan sistem bunga atau riba.73

 

  1. Kurangnya dukungan akademisi.

Masih banyak institusi pendidikan lebih mengenalkan bunga sebagai bagian instrumen moneter dari pada sistem keuangan di dalam suatu negara. Hal ini diakibatkan sebagaian akademisi mengambil rujukan berbagai literatur konvensional. Sehingga sistem moneter non-ribawi kurang begitu dikenal oleh kalangan akademisi dan masyarakat. Bahkan, timbul kecenderungan beberapa pihak bersikap tidak peduli atau sebaliknya terlalu kritis—berlebihan—terhadap keberadaan bagi hasil (profit sharing) sebagai instrumen moneter.74

  1. Lebih familier dengan sistem bank konvensional.

Kenyataan ini lebih disebabkan karena masyarakat lebih berkepentingan terhadap lembaga konvensional dibanding dengan lembaga keuangan syari’ah, di mana selama ini banyak bergaul dengan sistem keuungan konvensional. Sehingga ia merasa bahwa apa yang ia lakukan sekarang tidak menimbulkan konsekuensi buruk bagi mereka dan mereka pun menerima sebagai bagian dari sistem ekonomi yang berjalan.Sehingga keberadaan pelarangan riba dalam lembaga keuangan syari’ah lebih dianggap sebagai sebuah wacana normatif belaka

BAB III

BUNGA BANK DALAM PERSPEKTIF

NAHDLATUL ULAMA (NU) DAN MUHAMMADIYAH

 

Nahdlatul Ulama dan Pandangannya tentang Bunga Bank

Sejarah dan Latar Belakang Lahirnya.

            Memahami Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan, secara komprehensip dan proporsional, maka tidak dapat mengesampingkan aspek-aspek historis (aspek sejarah), yaitu peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi dan mendorong lahirnya Nahdlatul Ulama.1

Pada saat kegiatan reformasi mulai berkembang luas, para ulama belum begitu terorganisasi. Namun mereka sudah saling mempunyai hubungan yang sangat kuat. Perayaan pesta seperti haul, ulang tahun kematian kyai, secara berkala mengumpulkan masyarakat sekitar atau pun para mantan murid  pesantren mereka yang kini tersebar di seluruh nusantara. Selain itu. Perkawinan di antara anak-anak para kyai atau para murid yang baik, sering kali mempererat hubungan ini. Tradisi yang mengharuskan seorang santri pergi dari satu pesantern ke pesantren yang yang lainnya guna menambah ilmu pengetahuan agamanya juga ikut andil dalam memperkuat jaringan ini.2

Jauh sebelum lahir sebagai organisasi , NU telah ada dalam bentuk komunitas (jama’ah) yang diikat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karekter Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Wujudnya sebagai organisasi tidak lain adalah “penegasan formal dari mekanisme informal  para ulama sepaham”. Arti penting dibentuknya organisasi ini tidak lepas dari konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi jama’ah tradisional berhadapan dengan arus paham pembaharuan Islam, yang ketika itu telah terlembagakan, antara lain dalam Muhammadiyah.3

Masuknya paham pembaharuan ke Indonesia diawali oleh semakin banyaknya umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke Tanah suci, sejak dibukanya Terusan Suaez (1869). Bersamaan dengan itu, di Timur Tengah sedang merebak ajaran pembaharuan dan purifikasi ajaran Islam, seperti gerakan pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahab yang kemudian dikenal sebagai  Gerakan  atau Paham Wahabiyah, maupun pemikiran Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afgani yang kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Abduh. Tak pelak, kontak pemikiran intensif antara jama’ah haji Indonesia dengan paham pembaharuan ini berlangsung. Oleh karenanya, ketika kembali ke Tanah Air, para jamaah haji membawa pemikiran itu untuk memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur yang dianggap dari tradisi di luar Islam.4

Tidak semua kalangan menerima paham pembaharuan itu secara bulat-bulat. Sekelompok ulama pesantren (yang nota bene juga haji) menilai bahwa penegakan ajaran Islam secara murni tidak selalu berimplikasi perombakan total terhadap tradisi lokal.5 Taradisi ini bisa saja diselaraskan dengan ajaran Islam secara luwes. Kalangan yang dikenal sebagai kelompok tradisionalis ini mengamati upaya purifikasi ajaran Islam itu dengan cemas. Sebab tidak mustahil jika hal itu dilakukan secara frontal dan radikal akan munggungncang keyakainan masyarakat. Terlebih lagi, upaya itu ternyata mulai berindikasi pendrobakan taradsisi keilmuan yang selama ini dianut oleh para ulama pesantren.

Oleh karenanya, pada abad XX, dalam kurun waktu sepuluh tahun, seseorang yang sangat dinamis yang pernah belajar di Makkah, yakni KH. Abdul Wahab Hasbullah,6 mengorganisir Islam tradisionalis dengan dukungan seorang kyai asal Jombang Jawa Timur yang sangat disegani, KH. Hasyim Asy’ari. Sejak bermukim di Makkah, Kyai Wahab aktif  di Sarekat Islam (SI). Sebuah perkumpulan saudagar muslim, yang sejak semula bertujuan untuk memompa semangat nasionalisme dan menangkal para pencuri  dengan sistem ronda serta memperbaiki posisi pedagang   muslim, Arab, dan Jawa, dalam bersaing mengahadapi keterunan Tionghoa.7 Kyai Wahab juga berkerja sama dengan tokoh nasionalis, Soetomo, dalam sebuah kelompok diskusi, Islam Studie Club.

Keterlibatan Kyai Wahab dalam SI tampaknya kurang memberikan kepuasan pada dirimya, karena dalam perkembangannya SI lebih cenderung mengarah kepada persoalan-persoalan politik.8 Sebenarnya Kyai Wahab menginginkan untuk membangun semangat nasionalisme melalui jalur pendidikan. Sebab dengan demikian langkah yang ditempuh selain mengobarkan semangat perjuangan juga membangun dan meningkatkan kapasitas intelektual para pemuda.

Untuk mewujudkan obsesinya tersebut Kyai Wahab ketika bertemu dengan Kyai Mas Mansur, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah, mengajak berunding untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan guna mendidik dan mengobarkan semangat nasionalisme para pemuda dalam rangka memperoleh kemerdekaan RI. Ide yang dicetuskan oleh Kyai Wahab tersebut nampaknya mendapat sambutan hangat dari tokoh-tokoh masyarakat. Terbukti pada  tahun 1916, KH. Wahab mendirikan sebuah madrasah yang bernama “Nahdatu al-Watan” (Kebangkitan Tanah Air), dengan gedungnya yang besar dan bertingkat di Surabaya—madrasah ini mempunyai tujuan untuk mendidik para remaja guna mendapat ilmu pengetahuan agama yang cukup, disamping juga sebagai markas   penggemblengan para pemuda sebagai calon pemimpin muda untuk kegiatan dakwah—yang  sering dikenal dengan “Jam’iyah Nasihin”.9  Kemudian menjelang tahun 1919, sebuah madrasah baru yang sehaluan berdiri lagi di daerah Ampel, Surabaya, dengan nama Taswiru al-Afkar,10 yang tujuan utamanya adalah menyediakan tempat bagi anak-anak untuk mengaji dan belajar, lalu ditujukan menjadi “sayap” untuk membela kepentingan kelompok Islam Tradisionalis.11

Perdebatan antara kaum tradisionalis dengan kaum reformis menjadi semakin seru pada tahun dua puluhan.12 Sehingga  dalam beberapa diskusi, termasuk di forum Sarekat Islam (SI), KH. Wahab berhadapan dengan Ahmad Soerkati. Seorang guru besar dari Sudan, Afrika Timur, pendiri gerakan reformasi  al-Irsyad. Demikian pula dengan Ahmad Dahlan, seorang pendiri Muhammadiyah.

Selanjutnya, pada tahun 1924-an merupakan masa-masa ramainya perdebatan masalah khilafiyah dalam Islam; mengenai bid’ah, mengenai ijtihad, mengenai madzhab dan masalah-masalah fiqhiyah lainnya. Berkali-kali telah diadakan munazarah (perdebetan sehat) untuk menyelesaikan masalah ini. Di Surabaya, munazarah diikuti oleh para ulama dari berbagai daerah, sebagian di bawah kepimimpinan KH. Abdul Wahab Hasbullah, sebagian di bawah naungan KH. Mas Mansur, dan sebagian lagi dipimpin oleh Sorkati. Dalam munazarah ini Kyai Wahab tetap mempertahankan adanya bermazhab, sementara pihak lain menentangnya dengan gencar, bahkan membid’ah-bid’ahkan masalah-masalah semacam ziarah kubur, sholat tarawih 20 rakaat, pembacaan qunut pada saat sholat shubuh dan lain sebagainya, selalu dipertahankan  oleh Kyai Wahab sementara yang lainnya masih tetap menentangnya.13

Masalah-masalah khilafiyah yang diperdebatkan seperti ini, menurut Kyai Wahab telah dianggap selesai, dan tidak perlu diperdebatkan lagi, karena masing-masing pihak mempunyai dasar atau dalil sendiri-sendiri. Dan dalam perdebatan yang diadakan berulang-ulang kali itu pun, Kyai wahab telah banyak memaparkan dalil-dalil yang kuat dan tidak dapat dibantah lagi, namun pihak penentang tidak mau menerimanya dengan alasan kalau dalil yang diutarakan oleh Kyai Wahab adalah alasan yang dibuat-buat. Walaupun belum berhasil mengajak pihak penentang untuk menerima kebenaran yang telah disampaikannya itu, akan tetapi Kyai Wahab telah berhasil menunjukkan pada dunia Islam tentang alasan kebenaran paham yang dianutnya—yaitu paham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah—paham Ahlu al-Mazhabi al-Arba’ah. Dan beliau hanya mampu ikhtiar, sedangkan hidayah hanya bisa diberikan oleh Allah SWT.

Walaupun Kyai Abdul Wahab Hasbullah telah mengakhiri perdebatan itu dengan penuh toleransi, berjiwa besar dan menganggap perdebatan itu telah selesai segala-segalanya. Namun, kaum pembaharu (reformis) tetap tidak mau mengimbangi sikap terpuji yang ditunjukkan oleh Kyai Wahab itu, malahan telah  berbuat sepihak atau tidak adil.14 Di antara buktinya adalah,  pada bulan Agustus tahun 1925 diadakan kongres al-Islam ke-4 yang bermaksud membahas surat undangan yang datangnya dari Raja Ibnu Sa’ud Arab Saudi, untuk menghadiri pertemuan internasional di Hijaz. Dalam kongres tersebut forum lebih didominasi oleh kelompok Islam Modern (pembaharu), sehingga tidak dibicarakan secara jelas hal-hal yang berkaitan dengan Islam Tradisional. Bahkan terjadi perselisihan mengenai kongres yang mana seharusnya dihadiri hingga akhirnya kongres berakhir tanpa adanya suatu keputusan yang jelas. 15

KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai wakil dari kelompok Islam Tradisionalis menghendaki agar delegasi yang dikirim ke Hijaz meminta jaminan kepada Raja Ibnu Sa’ud untuk menghormati mazhab-mazhab fiqh dan memperbolehkan melakukan praktek-praktek peribadatan atau keagamaan secara tradisional. Demikian pula meminta untuk meniadakan pelarangan melaksanakan tarikat dan ziarah kubur ke makam-makam orang-orang suci di Makkah dan sekitarnya.16 Usulan itu sering dilontorkan oleh Kyai Wahab dalam berbagai pertemuan-pertemuan dengan ulama lain, namun kurang mendapat sambutan, bahkan kongres yang selalu didominasi oleh kelompok Islam Modern tidak begitu menghiraukan usulan Kyai Wahab tersebut. Mereka, kelompok Islam Modernis cenderung mendukung pendapat Raja Ibnu Sa’ud.

Sebelum kongres al-Islam ke-5 di Bandung, telah diadakan suatu rapat antar organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur dan memutuskan untuk mengirim utusan yang terdiri dari dua orang pembaharu ke Makkah—yakni, HOS. Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansur (Muhammadiyah). Satu bulan kemudian, ternyata kongres al-Islam tidak menyambut baik gagasan KH. Wahab yang menyarankan agar usulan-usulan kaum tradisonalis mengenai praktek-praktek peribadatan atau keagamaan agar di bawah oleh delegasi Indonesia.17 Penolakan yang memang masuk akal itu—karena sebagian kaum reformis menyambut baik pembersihan dalam kebiasaan ibadah agama di Arab Saudi.

Selanjutnya, dikarenakan Kyai Wahab dan kelompok Islam Tradisionalis semakin tidak mendapat tempat dalam berbagai forum, maka Kyai Wahab mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan sendiri. Akhirnya sebelum kongres al-Islam ke-5 dilaksanakan pada tanggal 6 Januari 1926, Kyai Wahab dan para ulama di Surabaya mengadakan pertemuan dengan tujuan membahas pengiriman delegasi ke Kongres Islam Internasional di Hijaz (Makkah). Pertemuan tersebut dilaksanakan di rumah Kyai  Wahab, atas undangan Komite Hijaz. Oleh karenanya, untuk memudahkan tugas ini, pada tanggal 31 Januari 1926 diputuskan beberapa hal yaitu;18

Pertama, mengutus KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Ahmad Ghana’im Al-Mishri agar dapat mewakili mereka di hadapan Raja Ibnu Sa’ud dalam Kongres Islam Internasional tersebut, untuk mencerahkan persoalan-persoalan peribadatan dan keagamaan yang akan dilaksanakan di Makkah.

 

Kedua, mendirikan sebuah jam’iyah yang dapat menampung aspirasi kelompok Islam tradisionalis, yaitu Nahdlatul Ulama (NU)—artinya;  organisasi kembangkitan ulama.

 

Kedua utusan ini ternyata membawa hasil yang memuaskan, seperti yang telah diharapakan sejak semula—yakni janji-janji yang diberikan oleh penguasa hijaz (Raja Ibnu Sa’ud-Arab Saudi), sebagaimana berikut:

  1. Meskipun penguasa Hijaz dan Nejed (Saudi Arabia sekarang) beraliran Wahabi, tetapi beliau akan bersikap adil serta melindungi adanya ajaran empat mazhab.
  2. Tidak dilarangnya pengajaran Ahlu as-Sunnah Wa  al-Jama’ah (paham yang berhaluan empat mazhab) yang biasa berlaku dalam Masjid al-Haram sejak dahulu kala.
  3. Tidak akan mengganggu atau melarang orang-orang yang akan berziarah ke makam-makam yang ada di wilayah Hijaz dan Nejed, terutama makam-makam yang bersejarah. Misalnya, makam-makam para Nabi, Sahabat, dan lain sebagainya.19

Selain rapat Hijaz memutuskan dua hal tersebut di atas, rapat juga menyusun pengurus besar NU yang terdiri dari dua bagian yaitu, Syuriyah dan Tanfiziyah.20 Pengurus Syuriyah saat itu adalah:

Rais Akbar                  : KH. Hasyim Asy’ari (Tebuireng, Jombang)

Wakil Rais Akbar        : KH. Dahlan (Kebondalem, Surabaya)

Katib Awal                 : KH. Abdul Wahab Hasbullah (Surabaya)

Katib Tsani                  : KH. Abdul Halim (Leuwimunding, Cirebon)

‘Awam                                    : KHM. Alwi Abdul Aziz (Surabaya)

                                       KH. Ridwan (Surabaya)

KH. Sa’id (Surabaya)

KH. Bisyri Syamsuri (Denanyar, Jombang)

KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)

KH. Nachrawi (Malang)

KH. Amin (Surabaya)

KH. Masykuri (Lasem)

KH. Nachrawi (Surabaya)

            Musytasyar                  : KHR. Asnawi (Kudus)

KH. Ridwan (Semarang)

KH. MS. Nawawi (Sidogiri, Pasuruan)

KH. Dhoro Muntaha (Bangkalan, Madura)

Syeikh Ahmad Ghona’im Al-Mishry (Mesir)

KHR. Hambali (Kudus).

 

            Sedangkan pengurus Tanfiziyah adalah:

            Ketua                          : H. Hasan Gipo (Blora, Surabaya)

            Seketaris                      : Muhammad Shiddiq (Pemalang)

            Bendahara                   : H. Burhan (Surabaya)

            Pembantu                    : H. Saleh Syamil (Surabaya)

                                                  H. Ihsan  (Surabaya)

                                                  H. Ja’far (Surabaya)

                                                  H. Utsman (Surabaya)

                                                  H. Achzab (Surabaya)

                                                  H. Nawawi (Surabaya)

                                                  H. Dahlan (Surabaya)

                                                  H. Mangun (Surabaya)         

 

                        Latar belakang lahirnya NU tersebut di atas perlu mendapat perhatian, sebab karakteristik organisasi atau jam’iyah ini lebih berakar dari sini. Satu hal yang perlu dicatat dari proses kelahiran yang pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap arus pembaharuan Islam tersebut— bahwa pola perilaku reaktif semacam itu ternyata menjadi inheren dalam dinamika NU selanjutnya.21

 

Pokok-pokok Pikiran.

            Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan yang berhaluan Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah,22 sebagai wadah pengemban dan mengamalkan ajaran Islam Ala Ahadi al-Mazhabi al-Arba’ah dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.23 Dengan kata lain sebagai salah satu ormas tertua, NU merupakan satu-satunya organisasi masa yang secara keseluruhan bahwa Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah sebagai mazhabnya.24 Sehingga, ketika NU berpegang pada mazhab, berarti mengambil produk hukum Islam (fiqh) dari empat Imam Mazhab, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali.25 Dalam kenyataan NU lebih condong pada pendapat Imam asy-Syafi’I, oleh karenanya NU sering “dicap” sebagai penganut fanatik mazhab Syafi’i. Hal ini dapat dilihat dari cara NU mengambil sebuah rujukan dalam menyelesaikan kasus-kasus atau permasalahan-permasalahan yang muncul. Alasan yang sering dilontarkan adalah umat Islam Indonesia manyoritas bermazhab Syafi’i.

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah yang bertujuan membagun atau mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada  Allah SWT senantiasa berpegang teguh pada kaidah-kaidah keagamaan (ajaran Islam) dan kaidah-kaidah fiqh lainnya dalam merumuskan pendapat, sikap dan langkah guna memajukan jam’iyah tersebut. Dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan  alam pikiran (pokok ajaran) Nahdlatul Ulama (NU)  secara ringkas dapat  dibagi menjadi tiga bidang ajaran yaitu; bidang aqidah, fiqh, dan tasawuf.26

Dalam bidang aqidah yang dianut oleh NU sejak didirikan pada 1926 adalah Islam atas dasar Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Faham ini menjadi landasan utama bagi NU dalam menentukan segala langkah dan kebijakannya, baik sebagai organisasi keagamaan murni, maupun sebagai organisasi kemasyarakatan. Hal ini ditegaskan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)., bahwa NU mengikuti Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (mazhab). Adapun faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah  yang dianut NU adalah faham yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.27 Keduanya dikenal memiliki keahlian dan keteguhan dalam mempertahankan i’tiqad (keimanan) Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah seperti yang telah disyaratkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya. Jadi dalam melaksanakan ajaran Islam, bila dikaitkan dengan masalah-masalah aqidah harus memilih salah satu di antara dua yaitu al-Asy’ari dan al-Maturidi.

Sementara dalam bidang fiqh ditegaskan bahwa: Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan mengikuti faham salah satu mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Namun dalam prakteknya para Kyai adalah penganut kuat dari pada mazhab Syafi’i.28

Jadi dengan demikian NU memegang produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu empat mazhab tersebut—artinya bahwa dalam rangka mengamalkan ajaran Islam, NU menganut dan mengikuti bahkan mengamalkan produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu empat mazhab empat sebagai konsekuensi dari menganut faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Walaupun demikian tidak berarti terus Nahdlatul Ulama tidak lagi menganut ajaran yang diterapkan Rasulullah SAW. sebab keempat mazhab tersebut dalam mempraktekkan ajaran Islam juga mengambil landasan dari al-Qur’an dan as-Sunnah di samping Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber pokok penetapan hukum Islam.29

Adapun alasan kenapa Nahdlatul Ulama dalam bidang hukum Islam (fiqh) lebih berpedoman kepada salah satu dari empat mazhab;30 Pertama, al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam yang pokok atau utama bersifat universal, sehingga hanya Nabi SAW. yang tahu secara mendetail maksud dan tujuan apa yang terkandung dalam al-Qur’an. Nabi  SAW sendiri menunjukkan dan menjelaskan makna dan maksud dar al-Qur’an tersebut melalui sunnah-sunnah beliau—yaitu berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Kedua, sunnah Nabi SAW. yang berupa perkataan, perbuatan, maupun  taqrirnya yang hanya diketahui oleh para sahabat yang hidup bersamaan (semasa) dengan beliau, oleh karena itu perlu untuk memeriksa, menyelidiki dan selanjutnya berpedoman pada keterangan-leterangan para sahabat tersebut. Namun sebagian ulama tidak memperbolehkan untuk mengikuti para sahabat dengan begitu saja. Maka dari itu untuk mendapatkan kepastian dan kemantapan, maka jalan yang ditempuh adalah merujuk kepada para ulama mujtahidin yang tidak lain adalah imam madzhab yang empat—artinya bahwa dalam mengambil dan menggunakan produk fiqh (hukum Islam) dari ulama mujtahidin harus dikaji, diteliti dan dpertimbangkan terlebih dahulu sebelum dijadikan pedoman dan landasan bagi Nahdhatul Ulama.

Oleh karena itu, untuk meneliti dan mengkaji suatu produk fiqh (hukum Islam) dalam NU ada suatu forum pengkajian produk-produk hukum fiqh yang biasa disebut “Bahsul Masail ad-Diniyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan)”.31 Jadi dalam forum ini berbagai masalah keagamaan akan digodok dan diputuskan hukumnya, yang selanjutnya keputusan tesebut akan menjadi pegangan bagi Jam’iyah Nahdlatul Ulama.

Faham Nahdlatul Ulama dalam bidang tasawuf. Tasawuf sebenarnya merupakan dari ibadah yang sulit dipisahkan dan merupakan hal yang penting, terutama yang berkaitan dengan makna hakiki dari suatu ibadah. Jika fiqh merupakan bagian lahir dari suatu ibadah yang segala ketentuan pelaksanaannya sudah ditetapkan dalam agama, untuk mendalami dan memahami bagian dari ibadah, maka jalan yang dapat ditempuh adalah melalui tasawuf itu sendiri.

Di antara berbagai macam aliran tasawuf yang tumbuh dan berkembang, NU mengikuti aliran tasawuf yang dipelopori oleh Imam Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Gazali. Imam Junaid al-Bagdadi adalah salah seorang sufi terkenal yang wafat pada tahun 910 M di Irak, sedangkan Imam al-Gazali adalah seorang ulama besar yang berasal dari Persia.

Untuk kepentingan ini, yaitu membentuk sikap mental dan kesadaran batin yang benar dalam beribadah bagi warga Nahdlatul Ulama, maka pada tahun 1957 para tokoh NU membentuk suatu badan “Jam’iyah at-Tariqah al-Mu’tabarah” badan ini merupakan wadah bagi warga NU dalam mengikuti ajaran tasawuf tersebut. Dalam perkembangannya pada tahun 1979 saat muktamar NU di Semarang badan tersebut diganti namanya “Jam’iyah at-Tariqah al-Mu’tabarah an-Nadiyyah”.32 Dengan melihat nama badan tersebut di mana di dalamnya ada kata nadhiyyin ini menunjukkan identitasnya sebagai badan yang berada dalam linkungan Nahdhatul Ulama.

Selanjutnya, sejalan dengan derap langkah pembangunan yang sedang dilakukan, maka Nahdlatul Ulama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan bangsa harus mempunyai sikap dan pendirian dalam dan turut berpartisipasi dalam pembangunan tersebut. Sikap dan pendirian Nahdlatul Ulama ini selanjutnya menjadi pedoman dan acuan warga NU dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara. Sikap NU dalam bidang kemasyarakatan diilhami dan didasari oleh sikap dan faham keagamaan yang telah dianut. Sikap kemasyarakatan NU bercirikan pada sifat: tawasut dan i’tidal, tasamuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi munkar.33Sikap ini harus dimiliki baik oleh aktifis Nahdlatul Ulama maupun segenap warga dalam berorganisasi dan bermasyarakat:

 

  1. 1.      Sikap Tawasut dan I’tidal.

Tawasut artinya tengah, sedangkan I’tidal artinya tegak. Sikap tawasuth dan i’tidal maksudnya adalah sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan bersama.34 Dengan sikap dasar ini, maka NU akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersikap membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatarruf (ekstrim).

  1. 2.      Sikap Tasamuh.

Maksudnya adalah Nahdlatul Ulama bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan teruma hal-hal yang bersifat furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah maupun dalam masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan kebudayaan.

  1. 3.      Sikap Tawazun.

Yaitu sikap seimbang dalam berkhidmad. Menyesuaikan berkhidmad kepada Allah SWT, khidmat sesama manusia serta kepada lingkungan sekitarnya. Menserasikan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.

  1. 4.      Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Segenap warga Nahdlatul Ulama diharapkan mempunyai kepekaan untuk mendorong berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat, serta mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahakan nilai-nilai kehidupan manusia.

Dengan adanya beberapa aspek tersebut di atas, diharapkan agar kehidupan umat Islam pada umumnya dan  warga Nahdlatul Ulama pada khususnya, akan dapat terpelihara secara baik dan terjalin secara harmonis baik dalam lingkungan organisasi maupun dalam segenap elemen masyarakat yang ada. Demikian pula perilaku warga Nahdlatul Ulama agar senantiasa terbentuk atas dasar faham keagamaan dan sikap kemasyarakatan, sebagai sarana untuk mencapai cita-cita dan tujuan yang baik bagi agama maupun masyarakat.

 

Pandangannya tentang Bunga Bank.

Persoalan bank dan bunganya dalam pandangan Nahdlatul Ulama (NU) telah menjadi persoalan yang signifikan, sehingga perlu mendapat perhatian yang cukup besar dari para ulama NU. Kaitannya dengan masalah bunga bank, NU melalui forum kajian Bahsul Masailnya telah mengaharamkannya, hal ini dikarenakan bunga bank disamakan dengan gadai yang digunakan pada zaman jahiliyah, jika pemilik barang gadai tidak bisa membayar uang pada waktunya, maka barang gadaiannya lepas dari pemiliknya dan menjadi milik penggadai dan hal ini telah ditetapkan hukumnya dalam Mu’tamar  II tahun 1927 di Surabaya.

Dalam masalah bunga bank ini terdapat tiga pendapat dari para ahli hukum (ulama):35

                        a. Haram        : Karena termasuk barang yang dipungut manfaatnya (rente).

                        b. Halal     : Sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sebab menurut para ahli hukum terkenal, bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk menjadi syarat.

c. Syubhat      : (tidak tentu halal-haramnya)

Sedangkan mu’tamar memutuskan, bahwa yang lebih hati-hati adalah pendapat mu’tamirin yang pertama—yakni mengaharamkan adanya bunga dalam dunia perbankan. Sikap NU ini didasari dengan mengambil hujjah dari kitab mu’tabar yaitu :

واما القرض بشرط جرنفع لمقرض ففاسد                  36

                        Adapun hukum menitipkan uang di bank, demi keamanan saja, NU menyatakan makruh kalau meyakinkan bahwa uangnya tersebut akan digunakan untuk kegiatan yang melanggar norma-norma agama.37

                        Dalam keputusan lain juga telah ditetapkan:

                                    Mengigat bahwa dalam bank, pihak debitur memiliki dan bertanggungjawab penuh atas uang yang dipinjamkan dan bunganya ditentukan atas dasar untung rugi atau besar kecilnya keuntungan dari hasil usahanya, maka transaksi bank tersebut termasuk dalam akad qard dan dengan sendirinya bunga bank termasuk riba qard. Dilihat dari sudut ini bahwa besar kecilnya bunga tergantung pada lama atau sebentarnya tempo pengambilan bunga bank cenderung masuk dalam riba nasi’ah—yang berlipat ganda.38

 

                        Meskipun telah diambil kesepakatan tentang hukum bunga bank, tampaknya para muktamirin masih berbeda pendapat, terutama dalam Munas ‘Alim Ulama di Bandar Lampung, 21-25 Januari 1992, khususnya mengenai hukum bunga bank konvensional. Di antaranya sebagai berikut:

  1. Ada pendapat  yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya adalah haram.
  2. Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya adalah boleh.
  3. Ada pendapat yang mengatakan bunga bank hukumya syubhat (tidak identik dengan riba).

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, NU memberikan solusi: Mengingat warga NU merupakan  potensi yang terbesar dalam pembangunan nasional dan dalam kehidupan sosial ekonominya, diperlukan adanya suatu lembaga keuangan sebagai peminjam dan pembina yang memenuhi syarat sesuai dengan keyakian keyakian warga NU, maka dipandang perlu untuk mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam—yakni bank tanpa suku bunga dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a.   Sebelum tercapainya cita-cita di atas, hendaknya sistem perbankan yang dijalankan sekarang ini harus segera diperbaiki

  1. Perlu diataur—dalam penghimpunan dana masyarakat dengan prinsip:39

1)      Wadi’ah (simpanan) bersyarat atau dhamanah, yang digunakan untuk menerima giro (current account) dan tabungan (seving account) serta pinjaman dari lembaga keuangan lain yang menganut sistem yang sama—Dalam  hal ini yang menerima simpanan dana (bank) bertanggungjawab atas pengembalian dana tersebut sesuai dengan akad.

2)      Mudarabah—dalam prinsip ini pemilik dana bersepakat dengan bank untuk melakukan usaha bersama dengan membagi keuntungan yang diperoleh dengan suatu rasio yang telah disepakati terlebih dahulu.

Dalam prakteknya, bentuk ini disebut investment account (deposito berjangka), mislanya 3 bulan, 6 bulan dan sebagainya, yang pada garis besarnya dapat dinyatakan dalam:

1)      Genaral Investment (GIA).—Peraturan perbankan mewajibkan pengembalian dana nasabah secara utuh pada saat jatuhnya jangka waktu deposito, atau dapat ditarik seluruhnya jika dikehendaki oleh nasabah karena ia sebagai titipan (wadi’ah/amanat).

2)      Special Investment (SIA).—Dana digunakan untuk membiayai proyek atau jenis perdagangan tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Sumber dana Bank Islam dapat juga dalam bentuk infaq, zakat, sedekah, hibah dan lain-lainnya. Special Investment ini meliputi:

a)      Penanaman dana dan kegiatan usaha. Dalam penanaman dana atau kegiatan usaha lainnya, bank Islam pada dasarnya bergerak dalam tiga bidang yaitu:

–                Pembiayaan proyek

–                Pembiayaan perdagangan perkongsian

–    Pemberian jasa atas dasar upaya melalui usaha patungan, profit sharing dan sebagainya.

b)      Untuk proyek financing sistem yang dapat digunakan, atara lain:

(1)   Mudarabah muqaradah

(2)   Musyarakah

(3)   Murabahah

(4)   Pemberian kredit dengan service change (bukan bunga)

(5)   Ijarah

(6)   Bai’ ad-Dain, termasuk di dalamnya Bai’ as-Salam

(7)   Al-Qard al-Hasan (pinjaman kredit tanpa bunga, dan tanpa service change)

(8)   Bai’ al-‘Ajil.

c)      Untuk aqriten participation, bank dapat membuka LC (letter of credit) dan pengeluaran surat pinjaman. Untuk ini dapat ditempuh kegiatan tersebut dengan dasar:

(1)   Wakalah

(2)   Musyarakah

(3)   Murabahah

(4)   Ijarah

(5)   Sewa-beli

(6)   Bai’  as-Salam

(7)   Bai’ al-Ajil

(8)   Kafalah (garansi bank)

(9)   Working capital financing (pembiayaan modal kerja) melalui purshase order dengan menggunak prinsip murabahah

d)      Untuk jasa-jasa perbankan (banking service) lainnya, seperti pengiriman dan transfer uang, jual beli valuta asing dan penukarannya dan lain-lain, tetap dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip tanpa bunga.40

 

                        Selanjutnya berkaitan dengan bank-bank yang ada sekarang (bank yang didirikan pemerintah). Nahdlatul Ulama tetap memperbolehkan beroperasinya bank-bank dan bahkan pemerintah dapat mendirikan bank-bank yang baru, karena kebutuhan yang kuat (hajat rajihah). Dalam hal ini NU menetapkan:

      Indonesia sebagai negara yang melindungi tegaknya semua ajaran yang dianut oleh mayoritas penduduknya berada dalam posisi yang serba sulit. Di satu pihak negara dihadapkan pada sistem ekonomi modern yang tidak bisa lepas dari perbankan, di lain pihak negara didhadapkan pada ajaran agama yang mengharamkan adanya bunga. Dengan adanya kebutuhan yang mendesak dan tidak dapat dihindari itu, sementara bank Islam belum bisa memenuhi kebutuhan, maka sambil melakukan perbaikan secara bertahap, negara diperbolehkan untuk meneruskan operasinya bank milik pemerintah dan mendirikan bank-bank negara yang baru, disesuaikan dengan kadar kebutuhan.41

 

               Tampaknya pernyataan NU di atas masih terdapat sedikit kerancuan. Satu sisi NU mengharamkan bunga bank, di sisi lain NU memperbolehkan terbentuknya bank-bank pemerintah walaupun dengan keadaan darurat (emergency). Sehubungan dengan keadaan tersebut, NU membagi tiga katagori bagi umat Islam kaitannya dengan bank. Pertama, orang Islam yang dalam hidupnya tidak dapat terlepas dari bank seperti para pengusaha,, para kontraktor dan lain sebagainya, dengan alasan darurat, maka boleh bermuamalah dengan bank. Kedua, orang Islam yang tidak terikat pada bank tetapi sangat butuh pada bank, maka  hukumnya boleh berhubungan dengan bank tetapi disesuaikan dengan kadar kebutuhannya. Ketiga, bagi orang Islam yang tidak membutuhkan bank hukumnya haram untuk berhubungan dengan bank.42

 

 

B.   Muhammadiyah dan Pandangannya Tentang Bunga Bank.

  1. Sejarah dan Latar Belakang Lahirnya.

            Sebelum masuknya agama Islam di Indonesia, masyarakat Inndonesia kebanyakan memeluk agama Hindu dan Budha  dengan segalah amalan dan tradisi yang ada di dalamnya. Sementara itu pula agama Islam telah sampai ke Nusantara telah melawati perjalanan yang sangat panjang. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri lagi adanya kenyataan berbagai pengaruh kepercayaan lain yang menempel secara tidak sengaja ke tubuh ajaran Islam. Melihat kondisi yang semacam itu dapat dimaklumi kalau akhirnya dalam prakateknya umat Islam di Indonesia pada saat ini memperlihatkan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.43

            Dalam kehidupan beraqidah (keyakinan hidup) agama Islam mengajarkan pada umatnya untuk memiliki tauhid yang murni, bersih dari berbagai macam syirik maupun khurafat (tahayul). Namun dalam prakteknya banyak orang Islam yang percaya terhadap benda-benda keramat semacam keris, tombak, batu aji, percaya pada hari baik dan hari buruk, bulan baik dan bulan buruk dan lain sebagainya. Mereka sering pergi kekuburan-kuburan yang dianggap keramat, seperti kuburan para wali, ulama besar, dan sebagainya dengan tujuan untuk meminta berkah kepada mereka. Mereka percaya terhadap ramalan bintang,  ramalan burung, ramalan nasib, ramalan dukun dan ramalan gaib lainnya.

            Sementara dalam kehidupan beribadah, agama Islam memberikan tuntunan secara pasti sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW. Bertitik-tolak pada prinsip ini dalam ilmu usul fiqh ada kaidah yang menyatakan bahwa “dalam ibadah mahdah semua amalan terlarang, kecuali hal-hal yang telah di ajarkan Nabi SAW. Sedangkan dalam urusan keduniaan semua amalan diperbolehkan, kecuali yang secara jelas telah dilarang oleh oleh agama”. Rasulullah sendiri telah menyatakan dengan tegas bahawa “semua rekan-rekan (bid’ah) dalam ibadah mahdiyah adalah sesat, dan semua yang sesat akan masuk neraka”. Namun dalam kenyataannya masih banyak sekali umat Islam yang dalam praktek ubudiyahnya bercampur-aduk antara apa yang diajarkan oleh agama Islam dengan berbagai amalan yang berasal dari kepercayaan lain, sebagi contoh dapat dilihat masih mentradisinya sesaji yang ditujukan kepada para arwah, kepada roh-roh halus, selamatan saat kematian, semacam mentuju hari; empat puluh hari, seratus hari, seribu hari dengan dibacakan bacaan tertentu seperti bacaan tahlil, surat Yasin, ayat Kursi dan sebagainya.44 Bukankah hal semacam itu bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam sebagaimana yang telah digariskan dalam al-Qur’an surat al-Fatihah ayat 5, al-Baqarah ayat 286, al-An’am ayat 164 dan an-Najm ayat 39.

            Sementara itu pondok pesantren yang merupakan salah satu lembaga pendidikan  khas milik umat Islam di Indonesia, sekaligus merupakan sistem pendidikan yang sangat khas Indonesia. Ditilik dari sejarahnya sistem ini sebenarnya sudah ada dan berkembang sejak zaman Hindu-Budha, dan terus berlanjut ketika Indonesia memasuki zaman Islam. Sistem pondok pesantren yang dikembangkan oleh umat Islam Indonesia telah banyak memberikan sumbangan bagi nusa dan bangsa dari sejak sebelum masa penjajahan Belanda hingga masa penjajahan Belanda.

                        Lewat lembaga pesantren dilahirkan kader-kader umat Islam dan bangsa yang tidak sedikit jumlahnya. Namun kalau ditinjau dari fungsinya selaku lembaga yang harus menyiapkan kader-kader umat dan bangsa pada masa mendatang dalam rangka menghadapi tantatangan kemajuan zaman yang tidak perna mengenal berhenti, maka akan terasa bahwa muatan isi yang ada dalam sistem pondok pesantren yang hanya mengajarkan “mata pelajaran agama” dalam arti sempit, yaitu terbatas dalam bidang; fiqh agama atau fiqhuddin sebagaimana yang disyaratkan dalam surat at-Taubah ayat 122, yang meliputi pelajaran bahasa Arab, terjemah dan tafsir, hadits, akhlak atau tasawuf, aqaid, ilmu mantiq (logika) dan ilmu falaq. Sedangkan pelajaran yang berhubungan dengan urusan keduniaan, yang sering dikenal dengan istilah ilmu pengetahuan umum semacam sejarah, ilmu bumi (geografi), fisika, kimia, biologi, matematika, ekonomi, sosiologi dan sebagainya sama sekali belum diperkenalkan di lembaga pendidikan pondok pesantrem. Padahal justru lewat ilmu-ilmu pengetahuan ini seorang akan lebih mampu melaksanakan tugas-tugas keduniaan, satu dari tugas yang diemban oleh “Khalifah Allah”. Padahal semestinya lembaga pendidikan Islam sudah seharusnya menyiapkan diri menjadi lembaga pembibitan kader-kader penerus cita-cita Islam dan siap mengemban amanat Allah sebagai khalifah di muka bumi.45

            Menigingat fungsi pendidikam Islam seperti ini, maka apa yang ada dalam lembaga pendidikan pondok pesantren pada saat itu dirasakan oleh KHA. Dahlan masih ada satu kekurangan mendasar yang harus segera disempurnakan. Kalau pada awalnya sistem pondok pesantren membekali kepada para santri-santrinya hanya dengan ilmu-ilmu agama semata, maka untuk penyempurnaannya diberikan juga kepada mereka ilmu-ilmu pengetahuan umum, sehingga dengan pengetahuan umum tersebut akan lahirlah dari lembaga pendidikan ini manusia yang bertaqwa kepada Allah menjadi “Cerdas lagi Ttrampil”, yang dalam terminologi al-Qur’an disebut sebagai Ulul Albab.46

            Demikian pula dengan kedatangan bangsa-bangsa Eropa terutama bangsa Belanda ke Indonesia, khususnya dalam aspek kebudayaan, peradaban dan keagamaan telah membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan agama Islam di Indonesia. Sebagaimana halnya bengsa-bangsa Eropa lainnya, bangsa Belanda pun ketika masuk negeri Indonesia juga mengibarkan panji-panji “Tiga G”, yaitu Glory, Gold, dan Gospel.  Ketiga G tersebut sebenarnya menggambarkan motif kedatangan kaum penjajah ke negeri-negeri jajahannya. Yang pertama motif politik (Glory = menang); suatu motif untuk menjajah dan menguasai negeri jajahannya sebagai negeri kekuasaannya. Kedua motif ekonomi (Gold = emas atau kekayaan); suatu motif untuk mengekploitasi, memeras dan mengeruk harta kekayaan negeri jajahan. Dan ketiga (Gospel = Injil); motif untuk menyebarluaskan agama Kristen kepada anak negeri jajahan, atau motif untuk mengubah agama penduduk, yang Islam atau bukan Islam agar menjadi Kristen. Ketiga motif tersebut di atas, khususnya motif yang terkhir (Kristenisasi)47 inilah yang menjadikan KH. Ahmad Dahlan khawatir dengan perkembangan Islam selanjutnya—umat Islam banyak ikut-ikutan dengan ajakan pemerintah Hindia Belanda dengan menerima dan menerapkan kebudayaan Barat yang telah dibawanya.

            Selanjutnya pendidikan model Barat yang mereka kembangkan, dengan ciri-cirinya yang sangat menonjolkan sifat intelektualistik, individualistik, elistis dan diskriminatis, sama sekali tidak memperhatikan dasar-dasar asas moral kegamaan (sekuler), sehingga lahirlah generasi baru bangsa Indonesia yang terkena pengaruh paham rasionalisme dan individualisme dalam pola berfikir mereka. Bahkan lebih jauh dari pada itu, H.J. Benda sebagaimana dikutip oleh Mustafa Kamal Pasha, menyatakan bahwa dalam analisisnya terakhir maka pendidikan Barat adalah sebagai satu-satunya alat yang paling pasti untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Apa yang diharapakan oleh pemerintah Hindia Belanda seperti di atas tanda-tandanya akan segera terlihat, antara lain seperti muculnya generasai baru bangsa Indonesia yang bersikap acuh tak acuh terhadap agama Islam, kalau tidak malah melecehkannya. Mereka menganggap selama mereka masih menampakkan ke-Islam-annya, mereka rasanya belum dapat disebut sebagai orang modern, orang yang berkemajuan tinggi dan sebagainya.48

            Dari beberapa faktor di atas , tampaknya telah membuat KH. Ahmad Dahlan merasa terpanggil untuk memurnikan kembali ajaran-ajaran Islam dari beberapa pengaruh tersebut, dengan banyak melakukan dakwah dan pengajian yang berisi faham baru dalam Islam dan menitikberatkan dalam segi amaliyah. Baginya, Islam adalah agama amal—suatu agama yang mendorong umatnya untuk banyak melakukan kerja dan berbuat sesuatu yang bermanfaat. Dengan bekal pendalamnya terhadap pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah, sampailah  KH. Ahmad Dahlan pada pendirian dan tindakannya yang banyak bersifat pengamalan Islam dalam kehidupan nyata.

Akhirnya, pada tahun 1911 KH. Ahmad Dahlan mendirikan “Sekolah Muhammadiyah”.49 Dalam sekolah tersebut, dimasukkan pula beberapa pelajaran yang lazim diajarkan di sekolah model Barat, seperti ilmu bumi, ilmu alam, ilmu hayat, dan sebagainya. Begitu pula diperkenalkan cara-cara baru dalam pengajaran ilmu-ilmu keagamaan sehingga lebih menarik dan menyerap. Dengan murid yang tidak begitu banyak, jadilah “Sekolah Muhammadiyah” tersebut sebagai tempat persemaian bibit-bibit pembaharu dalam Islam di Indonesia.

            Sebagai puncaknya, berdirlah organisasi atau jam’iyah pembaharu dalam Islam sebagai wahana untuk menjembatani dan menyelamatkan ajaran Islam dari  adanya pengaruh obyektif yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal bagi perkembangan Islam selanjutnya di Indonesia. Maka pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 yang bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 Jam’iyah Muhammadiyah berdiri—yang di dalam anggaran dasarnya pertama kalinya  bertujuan: “Menyebarkan Pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. kepada  penduduk bumi-putera, di dalam residensi Yogyakarta” serta “Memajukan perihal agama Islam kepada sekutu-sekutunya”.50

 

  1. Pokok-pokok Pikiran.

Muhammadiyah merupakan salah satu orgnisasi Islam pembaharu di Indonesia. Muhammadiyah yang dibangun oleh K.H. Ahmad Dahlan51 sesungguhnya merupakan salah satu mata rantai yang panjang dari gerakan pembaharuan Islam yang dimulai sejak tokoh pertamanya, yaitu Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Sayyid Jamaludin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida, dan sebagainya. Pengaruh gerakan pembaharuan tersebut terutama berasal dari Muhammad Abduh melalui tafsirnya, al-Manar, suntingan dari Rasyid Rida serta majalah al-Urwatu al-Wusqa.

Muhammadiyah sebagai persyarikatan yang merupakan gerakan Islam. Maksud gerakannya adalah melakukan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan dalam dua bidang perseorangan dan masyarakat. Dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang yang pertama terbagi mrenjadi dua golongan, kepada yang Islam bersifat pembaharuan (tajdid) yaitu mengembalikan kepada ajaran-ajaran agama Islam yang asli dan murni dengan jalan menghilangkan bid’ah, khurafat, dan lain sebagainya. Yang kedua kepada yang belum Islam—bersifat seruan dan ajakan untuk mengikuti atau memeluk ajaran agama Islam. Adapun Dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang yang kedua adalah kepada masyarakat, bersifat perbaikan dan bimbingan serta peringatan. Kesemuanya itu dilakukan bersama dengan bermusyawarah atas dasar taqwa dan mengharap keridhaan Allah semata-mata.52 Dengan melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan cara masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuaannya adalah; terwujudnya masyarakat yang Islam yang sebenar-benarnya.

Dalam perjuangan melaksanakan usaha menunju tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya di mana kesejahteraan, kebaikan dan kebahagiaan luas merata serta menuju tujuan terwujudnya masyarakat utma, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT. Maka  Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya atas prinsip-primsip yang tersimpul dalam Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, yaitu:53

  1. a.      Hidup manusia harus berdasarakan tauhid, ibadah dan taat kepada Allah SWT.

Dalam melaksanakan segala gerak dan kegiatannya maka tauhid dan tawakkal kepada Allah SWT harus senantiasa menjadikan landasan dasar utamanya, dengan maksud semata-semata untuk beribadah serta mentaati semua perintah dan larangan-Nya. Dasar seperti inilah yang harus menjadi ciri milik pribadi setiap warga Muhammadiyah sehingga dapat menjadi contoh teladan dalam bangunan dan perbaikan negara dan masyarakat.

  1. b.      Hidup Manusia bermasyarakat.

Muhammadiyah adalah salah satu faktor yang kuat dalam perkembangan masyarakat serta warga Muhammadiyah merupakan anggota masyarakat yang tidak diam, akan tetepi bergerak maju, aktif dinamais dalam membangun. Oleh karena itu, gerakan Muhammadiyah harus aktif dan menonjol di tengah-tengah masyarakat untuk memimpin atau paling tidak menjadi sosok penerang yang cemerlang dalam kehidupan  bermasyarakat.

  1. c.       Menegakkan ajaran Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam adalah asatu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagian dunia dan akhirat.

Muhammadiyah berkeyakinan bahwa tidak ada dasar landasan yang dapat membahagiakan manusia di dunia ini kecuali dengan dasar al-Qur’an dan as-Sunnah yang akan membawa kebahagian manusia yang hakiki di akhirat kelak. Oleh karena itu, apa pun ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah wajib dan mutlak dipatuhi oleh setiap warga Muhammadiyah. Segala kebijaksanaan pimpinan serta taktik daa srrategi perjuangan harus dinilai dan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

  1. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah wajib, sebagai ibadah kepda Allah dan berbuat ihsan dan islah kepada kemanusiaan.

Setelah Muhammadiyah dapat berdiri tegak dan berjalan di atas landasan seperti di atas, barulah kuat untuk menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam serta mampu mengatasi berbagai rintangan, hambatan, tantangan dan segala halangan yang akan terjadi.

  1. e.       Ittiba’ kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad SAW.

                  Ittiba’ atau mengikuti jejak langkah perjuangan Rasulullah SAW. adalah wajib menjadi syarat yang tidak boleh tidak harus dan wajib dilakukan oleh setiap muslim, dan sesungguhnya dalam rangka menggerakkan Umat Islam ke arah ittiba’ itulah hakikatnya Muahammadiyah didirikan

Umat Islam wajib mencontoh sikap keteguhan Rasulullah dalam menghadapi penderitaan dan rintangan, kesabaran dalam duka dan derita serta kesyukurannya dalam menerima nikmat-nikmat Allah SWT—di mana umat Islam harus senantiasa berusaha memiliki sifat-sifat yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

  1. f.       Melancarkan amal usaha dan perjuangannya dengan ketertiban organisasi.

Muhammadiyah beramal dan berjuang dengan berorganisasi yang didasarkan atau musyawarah bersama. Menghimpun dan mendidik kader pimpinan, mengaktifkan gerak anggota, menentukan peraturan-peraturan untuk mencapai hasil yang jauh kebih besar dan lebih dapat menanggulangi berbagai rintangan dan halangan karena bergerak dengan menggunakan sebuah organisasi.

 

  1. Pandangannya tentang Bunga Bank

            Mu’tamar Majlis Tarjih Muhammadiyah setelah mempelajari:54

  1. Uraian tentang masalah bunga bank dalam segala seginya yang disampaikan oleh Nandang Komar, Direktur Bank NegaraIndonesia Unit 1 CabangSurabaya.
    1. Pembahasan dari para Mu’tamirin

 

 

 

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT.

Menyadari:

1)      Bahwa bank dalam sistem ekonomi-pertukaran adalah mempunyai fungsi yang vital dalam perekonomian pada masa sekarang

2)      Bahwa bank dalam wujudnya sekarang bukan merupakan lembaga yang lahir dari cita-cita sosial ekonomi Islam.

3)      Bunga adalah sendi dari sistem perbankan yang berlaku selama ini.

4)      Bahwa umat Islam sebagai umat pada dewasa ini tidak dapat melepaskan diri daripada pengaruh perbankan yang secara langsung atau tidak langsung telah menguasai perekonomian umat Islam.

 

Mengingat:

1)      Bahwa nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah dengan jelas mengharamkan riba.

2)      Bahwa fungsi bank dalam perekonomian modern sekarang ini bukan hanya menjadi sumber penghasilan bagi bank, melainkan juga berfungsi sebagai alat politik perekonomian Negara untuk kesejahteraan umat (stabilisasi ekonomi).

3)      Bahwa adanya undang-undang yang mengatur besar kecilnya bunga adalah untuk mencegah kemungkinan terjadinya penghisapan pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah di samping untuk melindungi berlangsungnya kehidupan bank itu sendiri.

4)      Bahwa hingga saat ini belum ada konsepsi sistem perekonomian yang disusun dan dilaksanakan dengan kaidah Islam.

 

Menimbang:

1)      Bahwa nas-nas al-Qur’an dan as-Sunnah tentang haramnya riba mengesankan adanya ‘illat terjadinya penghisapan oleh pihak yang kuat terhadap yang lemah.

2)      Bahwa perbankan adalah suatu sistem lembaga perekonomian yang belum pernah dialami umat Islam pada masa Rasulullah SAW.

3)      Bahwa hasil keuntungan Bank-bank milik Negara pada akhirnya akan kembali untuk kemaslahatan umat.

4)      Bahwa termasuk atau tidaknya bunga bank ke dalam pengertian riba Syar’i  dirasa belum mencapai bentuk yang meyakinkan

 

Memutuskan:

1)      Riba hukumnya haram, dengan nas sarih al-Qur’an dan as-Sunnah.

2)      Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.

3)      Bunga bank yang diberikan oleh Bank-bank milik Negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara  Musytabihat.55

4)      Menyarankan kepada PP. Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah IslaM.

BAB IV

ANALISIS KOMPARATIF PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH TENTANG BUNGA BANK

 

  1. A.       Ketentuan Hukum Bunga Bank.

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang fungsi utamanya adalah menerima dan menyalurkan dana. Penerimaan dana masyarakat selalu dihubungkan dengan penyalurannya kepada orang atau lembaga yang memerlukan dana itu. Besar bunga yang diberikan oleh bank kepada pemasok modal disesuaikan dengan bunga yang dikenakan kepada peminjam dari bank. Selisih antara bunga yang diberikan kepada pemasok modal dan bunga yang dikenakan kepada peminjam merupakan keuntungan bank itu sendiri. Biasanya bank hanya akan memberikan kredit kepada orang atau lembaga yang diduga kuat dapat mengembangkan usahanya, dan bukan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan kata lain, bank hanya memberikan pinjaman yang bersifat produktif, bukan konsumtif.1

Karena itu, wajar kalau pemilik modal dan bank mendapatkan keuntungan, seiring dengan keuntungan yang akan diperoleh pengusaha yang meminjamkan modal. Sedangkan bagi orang yang memerlukan bantuan keuangan untuk kebutuhan harian atau (misalnya untuk biaya pengobatan), tidak selayaknya menggunakan jasa bank dengan sistem bunga tersebut. Sehingga di sini perlu adanya lembaga sosial yang menyediakan dana yang bersifat non-profit. Jika kepada orang yang terakhir ini dibebankan bunga, maka kemungkinan adanya unsur “pemerasan” yang menjadi illat haramnya riba, menjadi lebih besar. Karena itu, pembebanan tambahan atas pokok pinjaman menjadi riba, sebagaimana yang dikehendaki al-Qur’an.

Terjadinya riba(yang sekarang sering lebih dikenal dengan istilah bunga bank) merupakan kenyataan “normatif tekstual” yang dinyatakan jelas dalam al-Qur’an.2 Demikian pula didukung oleh kenyataan “historis” yang menunjukkan bahwa bunga bank telah berkembang di tengah-tengah masyarakat sebelum datangnya Islam. Kemudian Islam dengan ajarannya tentang riba bermaksud mengatur melalui cara melaksanakan sistem bagi hasil dalam mejalankkan segala transaksi perekonomian.

Dalam dataran pemikiran tersebut baik NU maupun Muhammadiyah sepakat bahwa riba hukumnya adalah haram karena nash tentang itu sudah jelas, tetapi kedua organisasi tersebut masih berbeda pendapat di dalam melihat hukum bunga bank karena pada dasarnya nas al-Qur’an dan al-Hadits yang tegas tentang pelarangan bunga bank tidak ada.

Maka untuk menganalisis lebih jauh dari pernyataan NU dan Muhammadiyah tentang bunga bank, sebelumnya perlu dikemukan terlebih dahulu tentang keharaman riba dalam al-Qur’an secara berangsur-angsur (tadriji) yang biasa berlaku dalam proses penetapan hukum, yaitu:

–          وما اتيتم من ربا ليربوا في اموال الناس فلا يربوا عندالله وما اتيتم من زكوة تريدون وجه الله فاولئك هم المضعفون.    3

–          واخدهم الربوا وقدنهوا عنه واكلهم اموال الناس باالباطل واعتدنا للكافرين منهم عدابا اليما. 4

–          يايهاالدين امنوا لا تاكلوا الربوا اضعافا مضعفة واتقوا الله لعلكم تقلحون      5 .

–          ياايها الدين امنوا اتقوا الله ودروا مابقي من الربوا ان كنتم مؤمنين .فان لم تفعلوا فادنوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لاتظلمون ولاتظلمون 6

Dari ayat-ayat di atas, walaupun minimal ada empat tahapan dalam pengaharaman riba, tetapi yang relevan untuk pembahasan ini adalah paling tidak pada tahap ayat ketiga dan keempat, karena dalam memahami dua ayat tersebut masih menjadi perdebatan panjang oleh para ulama. Maka tulisan ini hanya menekankan pada kedua ayat tersebut.7

 Dengan memperhatikan ayat ketiga dan kempat di atas, terlihat dengan jelas tentang pengharaman riba, namun masih bersifat parsial (juz’i), karena belum bersifat menyeluruh (kulli), yaitu pada surat Ali Imran ayat 130. sebab pengaharaman tersebut baru pada katagori riba yang berlipat ganda (ad’afan muda’afah) dan sangat memberatkan bagi peminjam. Sedangkan sebab turunnya (asbab an-Nuzul) ayat tersebut, menurut satu riwayat dari ‘Ata’ disebutkan bahwa, kaum Saqif biasa meminjamkan uang kepada keluarganya Mugirah, pada waktu jatuh tempo mereka berjanji akan membayar lebih di kemudian hari apabila diberi tenggang waktu. Dengan lain perkataan, jikalau tidak bisa membayar pada waktu pembayaran, disuruh untuk menunda dengan syarat menambahkan jumlah dikarenakan penundaan waktu pembayaran, baik berupa mata uang maupun benda (barter). Keadaan ini disebabkan oleh faktor ketidakmampuan membayar pinjaman. Tegasnya, tambahan itu dikenakan berdasarkan perjanjian pada waktu transaksi utang piutang itu berlangsung. Itulah yang dimaksud riba nasi’ah  dalam literatur fiqh.8

Sejalan dengan dengan ayat di atas, di dalam melihat kata-kata ad’afan muda’afah (berlipat ganda). Persoalannya adalah apakah kata ad’afan muda’afah dalam ayat tersebut dianggap sebagai kriteria (syarat) dalam pelarangan riba atau untuk menerangkan kondisi obyektif dan sekaligus mengecam terhadap perbuatan atau praktek riba. Oleh karenanya dalam menyikapi hal ini menurut Fuad Zein, diperlukan ihwal analisis hukum bunga bank, dengan berpijak kepada kerangka penalaran bayani dan ta’lili untuk menelusuri karakteristik riba yang disebutkan dalam al-Qur’an.9

  1. 1.        Penalaran Bayani.

Dalam al-Qur’an surat Ali Imran: 130, riba diberi sifat “berlipat ganda”. Tidak demikian dengan yang tersurat di dalam surat al-Baqarah: 278. dalam ayat ini disebutkan bahwa setiap pengambilan yang melebihi jumlah pokok modal disebut riba. Ada kesan paradok antara dua ayat dari surat di atas. Sehingga ada ulama yang mengatakan, riba yang terlarang adalah yang mempunyai unsur berlipat ganda (ad’afan muda’afah). Ada pula yang tidak membatasi riba harus berlipat ganda, seperti pendapat fuqaha pada umumnya.

Dalam akhir surat al-Baqarah: 278, yang artinya “..…kamu tidak berbuat zalim, dan tidak pula menjadi korbannya”. Jika ini dijadikan tolak ukur riba, maka jalan tengah dapat ditemukan, yaitu betapapun kecilnya tambahan itu apabila menimbulkan kesengsaraan (zulm) maka termasuk riba. Hanya saja, karena di masa Rasulullah riba selalu mengambil bentuk ad’afan muda’afah, tidak dalam bentuk lain. Dengan demikian, ad’afan muda’afah relevan dengan ketidakadilan.10

Lebih lanjut Fuad Zein mengungkapkan, perlu dijadikan pertimbangan, bahwa di masa Rasulullah tidak ada inflasi, karena mata uang yang berlaku adalah emas dan perak (dinar dan dirham). Karenanya, pengembalian hutang sebesar jumlah pinjaman menggambarkan keadilan. Dalam suatu kurun waktu di mana  inflasi melanda mata uang tertentu, maka pengembalian suatu hutang sebesar jumlah pinjaman tidak mengambarkan keadilan. Sebaliknya menimbulkan kerugian sepihak. Kalau statemen la tazlimun wa  la tuzlamun (al-Baqarah: 278) maka kembalian hutang sebesar pinjaman berikut bunga yang proporsional dengan besarnya inflasi akan menjamin keadilan daripada tanpa tambahan. Kalau demikian, maka pemahaman lebih adil tentang pokok modal masa sekarang untuk kasus Indonesia, adalah modal yang dihitung berdasarkan nilai kurs, bukan berdasarkana nilai nominal. Dengan cara ini maka pihak pemberi pinjaman maupun yang meminjam tidak dirugikan.

  1. 2.        Penalaran Ta’lili.

Berdasarkan dan merujuk pada pengertian riba pada pembahasan sebelumnya, di mana riba didefinisikan dengan kata-kata ziyadah, yakni “tambahan yang diperjanjikan atas besarnya pinjamaan ketika pelunasan hutang…”. Jadi tekanannya adalah pada “ziyadah” sebagai ciri pokok riba.

Riba dapat juga didefinisikan dengan “tambahan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang yang mendatangkan kesengsaraan pihak peminjam.” Di sini titik tekanannya ada pada “kesengsaraan atau zulm”, bukan “tambahan”. “Tambahan” sebagai an-nau’ atau spicies, sedangkan “kesengsaraan” sebagai al-jins atau genus atau ‘illat. Sama halnya dengan ungkapan “khamr adalah minuman yang memabukkan,” maka khamr adalah sesuatu yang didefinisikan, minuman sebagai an-nau’ atau spicies, dan memabukkan sebagai al-jins atau genus atau ‘illat., ungkap Fuad Zein.

Dengan demikian, bahwa esensi riba adalah “tambahan” dan ada juga yang mengatakan esensinya adalah zulm. jika kembali pada pangkal persoalan larangan riba, maka “tambahan” tidak memiliki makna apa-apa. Sebaliknya, ketidakadilan adalah hal yang bertentangan dengan tujuan penetapan prinsip ekonomi Islam. Karenanya, ‘illat pelarangan riba seharusnya adalah zulm bukan “tambahan”. 11

Orang yang berpandangan pada teks tentu akan menyatakan bahwakata ad’afan muda’afah tersebut merupakan syarat keharaman riba, di antara tokoh yang berpandangan seperti itu adalah Rasyid Rida. Di dalam makalahnya “Hukum Bunga Konvensional”12 Anwar Abbas menjelaskan tiga alasan yang dikemukan Rida untuk membuktikan bahwa kata riba yang termaktub dalam surat al-Baqarah adalah riba yang merujuk kepada riba yang berbentuk ad’afan muda’afah.

Pertama, kaidah kebahasaan, yaitu kaidah pengulangan kosakata yang berbentuk makrifah—di mana apabila ada suatu kosakata berbentuk makrifah berulang, maka pengertian kosakata kedua (yang diulang) sama dengan kosakata yang pertama. Kata riba pada Ali-Imran ayat 130 dalam bentuk makrifah demikian halnya dalam al-Baqarah 287, sehingga hal ini berarti bahwa riba yang dimaksud pada ayat tahapan terakhir sama dengan riba yang dimaksud pada ayat pada tahapan kedua yaitu berbentuk ad’afan muda’afah.

Kedua, kaidah memahami ayat yang tidak bersyarat berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Penerapan kaidah ini pada ayat-ayat riba adalah memahami arti riba pada ayat al-Baqarah yang tidak bersyarat itu berdasarkan kata riba yang bersyarat ad’afan muda’afah pada ayat Ali- Imran. Sehingga yang dimaksud dengan riba pada ayat tahapan terakhir adalah riba yang berlipat ganda.

Ketiga, diamati oleh Rasyid Rida bahwa pembicaraan al-Qur’an tentang riba selalu digandengkan atau dihadapkan dengan pembicaraan tentang sedekah, dan riba dinamainya sebagai“zulm” (penganiayaan atau penderitaan). Jadi dengan demikian riba yang diharamkan itu adalah riba yang  ad’afan muda’afah (yang berlipat ganda), sedangkan riba yang kecil seperti 8 % atau 10 %, tidak termasuk riba yang diharamkan atau dilarang al-Qur’an.

Pendapat Rasyid Rida ini masih menimbulkan sebuah pertanyaan. Apakah hal ini berarti bahwa bila penambahan atau kelebihan itu tidak bersifat “berlipat ganda” menjadi tidak diharamkan oleh al-Quran? Jawaban untuk pertanyaan tersebut, menurut Quraish Syihab adalah terdapat pada kata kunci berikutnya, yaitu fa lakum ru’usu amwalikum  (bagimu modal-modal kamu) (QS 2: 279). Dalam arti bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah modal-modal mereka. Jika demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari modal tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan. Dan dengan demikian kata kunci ini menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan baik berlipat ganda atau tidak dalam sebuah transaksi, telah diharamkan oleh al-Quran dengan turunnya ayat tersebut. Dan ini berarti bahwa kata ad’afan muda’afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang riba yang sudah lumrah mereka praktekkan.13

Sehingga di sini menjadikan persoalan, di mana kata ad’afan muda’afah tidak penting lagi, karena apakah ia syarat atau bukan, apakah yang dimaksud dengannya pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya yang diharamkan adalah segala bentuk kelebihan. Namun perlu digarisbawahi bahwa kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi pada masa turunnya al-Quran dan yang diisyaratkan oleh penutup ayat pada  al-Baqarah 279 tersebut, yaitu la tazlimuna wa la tuzlamun (kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya).

Penjelesan yang diperoleh dari riwayat-riwayat tentang praktek riba pada masa turunnya al-Quran, sebagaimana telah dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa praktek tersebut mengandung  penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan yang seharusnya mendapat uluran tangan. penjelasan tersebut dikonfirmasikan oleh ayat al-Baqarah 279 di atas, sebagaimana ia sebelumnya diperkuat dengan diperhadapkannya uraian tentang riba dan sedekah, seperti dikemukakan Rasyid Rida, yang menunjukkan bahwa kebutukan si peminjam sedemikian mendesaknya dan keadaannya sedemikian parah, sehingga sewajarnya ia diberi bantuan sedekah, bukan pinjaman, atau paling tidak diberi punjaman tanpa meniadakan sedekah. Kemudian pada ayat 280 ditegaskan bahwa, “Dan jika orang yang berhutang tidak mampu membayar pada waktu yang ditetapkan, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan”.

Ayat-ayat di atas lebih memperkuat penjelasan bahwa kelebihan yang dipungut, apalagi bila berbentuk pelipatgandaan, merupakan penganiayaan terhadap si peminjam.14

Sejalan dengan pendapat di atas, ketika membahas ad’afan muda’afah, yang merupakan bantahan terhadap orang yang berpendapat bahwa riba yang diharamkan hanya riba yang berlipat ganda, Ali as-Sabuni mengatakan: Pertama, lafad tersebut bukanlah qayyid dan syarat. Tujuan dari ungkapan ini hanya menerangkan tentang praktek yang dilakukan orang-orang Jahiliyah Arab pra-Islam. Kedua, kaum muslimin telah sepakat tentang pengharaman riba baik sedikit maupun banyak. Pengharaman riba sedikit karena mendorong banyaknya. as-Sabuni beralasan, Islam ketika mengharamkan seluruhnya (kulli) sebab kaidah sadd az-zari’ah. Dan kebolehan yang sedikit niscaya akan menarik kepada yang banyak. Untuk menguatkan pendapatnya, al-Sabuni menulis ayat-ayat yang melarang riba sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah dan Ali Imran. Demikian juga dengan hadis:

لعن رسولوالله صلي الله عليه وسلم اكل الربا وموكله وكاتبه وشاهد يه 15.             

Jika dikaitkan dengan istilah ushul fiqh, maka menyikapi kata ad’afan muda’afah, tidak bisa dijadikan mafhum al-Mukhalafah. Artinya, jika rente (bunga bank) tidak berlipat ganda boleh dipungut, sebab batasan qayyid dalam nas tersebut hanya untuk membatasi hukum. Jika qayyid mempunyai tujuan lain, seperti untuk dorongan (targib), memberikan peringatan (tarhib), atau agar orang menjahuinya (tanfir), maka tidak dapat ditarik mafhum al-mukhalafah.

Oleh karenanya dalam mensifati ad’afan muda’afah dalam ayat tersebut semata-mata agar orang-orang mukmin menjahuinya (tanfir), karena yang dimaksud riba adalah menambah pada setiap tahun (waktu).16 Dan dalil yang menunjukkan bahwa sifat tersebut hanya agar dijauhi (tanfir) adalah firman Allah:

وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لاتظلمون ولاتظلمون  17

Setelah memeperhatikan penafsiran-penafsiran ayat di atas, dapat dikatakan bahwa riba yang dilarang Allah dalam ayat-ayat tersebut adalah masih umum sifatnya, tidak membedakan sedikit atau banyak, produktif atau konsumtif. Dan jenis riba ini adalah riba yang telah dipraktekkan dalam sistem perekonomian masyarakat jahiliyah Arab pra-Islam. Dengan demikian, jelas bahwa pada masa jahiliyah apabila terjadi akad perdagangan yang dikenakan bunga terhadap debitur oleh si kreditur tetap diharamkan.

Selanjutnya, untuk mengetahui bahwa bunga bank termasuk riba yang telah ditetapkan hukum keharamannya, perlu dikaji lebih dalam mengenai “kriteria” mengapa bunga bank tersebut diharamkan oleh NU, terutama yang berakaitan dengan para debitur yang ingin mengembangkan usahanya dengan menggunakan jasa perbankan, sehingga umat Islam (umumnya) dalam kehidupan dapat berusaha menghindarkan diri dari bermuamalah dengan perkara yang dilarang oleh ajaran Islam. Sebagaimana diketauhi bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang fungsi utamanya adalah menerima dan menyalurkan dana.18

Pemberian kredit oleh pihak bank kepada nasabah dengan mempersyaratkan bunga tertentu dalam persentase pinjamannya. Bahkan apabila nasabah tidak bisa melunasi kreditnya pada waktu yang telah ditentukan oleh pihak bank (kreditur) maka pinjaman itu bisa menjadi berlipat ganda. Dan jika nasabah dibebankan bunga, maka kemungkinan adanya unsur “penambahan atas jumlah pinjaman dengan tenggang waktu” menjadi lebih besar. Karena itu, pembebanan tambahan atas pokok pinjaman menjadi riba, sebagaimana yang dikehendaki al-Qur’an.19

Sebaliknya, tambahan tanpa risiko tidak dapat dikatagorikan dalam riba, karena Nabi SAW. pernah malakukannya. Kemudian, bagaimana apabila hal itu dihubungkan dengan pemberian bunga oleh pihak bank atas simpanan para nasabah dan diberikannya dalam prosentasi oleh pihak bank sendiri untuk kepentingan para nasabahnya, sepenjang para nasabah tidak mempersyaratkan tambahan bunga kepada bank, karena bank sebagai debitur memberikan bunga atas kehendaknya sendiri.

Sehubungan dengan itu, walaupun NU tidak menjelaskan secara detail tentang hal di atas, NU menyatakan bahwa menitipkan uang di bank dengan alasan demi keamanan dan meyakinkan bahwa uangnya tidak digunakan untuk larangan agama adalah makruh.20 Inipun apabila seorang nasabah yang tidak ingin menarik bunga. Pernyataan NU ini tidak disertai dengan ungkapan yang jelas, yaitu pada kalimat “larangan agama”. Tampaknya batasan “larangan agama” yang dimaksud adalah meliputi larangan bagi pihak bank untuk menyalurkan uang kepada debitur yang memakai jasa bank dengan tambahan pinjaman atau pihak bank sebagai kreditur meminjamkan dana kepada perseorangan (bunga konsumtif). jadi, apabila bank tempat para nasabah menyimpan uang, memakainya untuk larangan agama, NU tetap mengharamkan praktek bunga bank tersebut.

NU nampaknya sependapat dengan Yusuf al-Qardawi. Dia meyatakan bahwa bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang diharamkan. Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa bersusah payah sebagai tambahan pokok hartanya, maka yang demikian itu termasuk riba. Hal ini juga berimplementasi dengan ibadah mahdahnya, yaitu tidak boleh memberikan zakat atau bersedekah dengan hasil bunga bank tersebut. al-Qardawi kemudian menguatkan pendapatnya, bahwa segala sesuatu yang haram, tidak boleh dimiliki dan wajib disedekahkan sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama muhaqqiq, sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa uang itu tidak boleh diambil meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya atau membuangnya. Akan tetapi, hal ini juga betentangan denga kaidah syar’iyah yang melarang menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya.21

Lebih lanjut NU mengungkapkan, bahwa pengambilan bunga bank oleh nasabah yang menyimpan uangnya di bank adalah haram. Tetapi NU lebih tegas dalam menetapkan hukumnya yaitu apabila pihak bank menggunakannya untuk perbuatan yang telah dilarang agama.

Sementara Muhammadiyah agaknya  masih ragu terhadap ada atau tidak adanya ‘illat riba pada bank milik negara, hal ini terlihat dengan penetapan, bahwa hukum bunga bank milik negara adalah musytabihat. Alasan mengatakan musytabihat, adalah karena ada dua kecenderungan yaitu halal atau haram,22 di samping juga  karena dalam bank itu tidak dibedakan antara orang yang meminjam uang untuk konsumsi dan meminjam untuk diproduksikan. Maka hal ini harus dihindari, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa). Tampaknya keputusan Muhammadiyah ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank boleh karena darurat, seperti pendapat Mustafa az-Zarqani, yang mengatakan bahwa bank merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Karenanya umat Islam boleh bermu’amalah dengan bank atas pertimbangan darurat.23 Lebih lanjut, Muhammadiyah menyatakan, bahwa riba yang diharmakan oleh agama adalah sifat pembungaan yang selalu disertai unsur penyalahgunaan kesempatan dan penindasan. Sedang yang berlaku dewasa ini sama sekali tidak menimbulkan rasa penindasan atau kekecewaan oleh siapapun yang berkepentingan.24

Akan tetapi, jika Muahmmadiyah berkeyakinan  bahwa ‘illat haramnya riba adalah pemerasan (zulm), maka Muhammadiyah dapat menetapkan hukumnya yang tegas, apakah hukumnya bunga bank negara itu haram atau halal. Dengan kata lain, apabila ‘illat itu ada, maka dapat dinyatakan bahwa bunga adalah haram, dan apabila tidak ada ‘illat maka bunga bank dapat dinyatakan halal.25 Alasan yang mendasari Muhammadiyah masih ragu untuk menetapkan kehalalan bunga bank negara adalah karena adanya pendapat anggota panitia perumus hasil mu’tamar tarjih yang menyatakan, bahwa dalam masyarakat terdapat praktek pembungaan uang yang berlaku pada salah satu bank swasta di Indonesia.—Seseorang yang akan menitipkan sejumlah uang pada bank tersebut untuk memperoleh bunga tiap bulannya sebanyak 10 %, suatu pembungaan yang tidak kecil.—Kemudian bank itu pada gilirannya memberikan pinjaman kepada pedagang dengan menarik bunga sebesar 15 %.26

Gambaran dalam keadaan ekonomi seperti di Indonesia dewasa ini, besar sekali adanya kemungkinan si pedagang meminjamkan lagi uang pinjaman itu kepada pihak keempat untuk mendapatkan keuntungan bunga lagi. Sebenarnya, kalau praktek bank itu ada, maka tindakan itu telah menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI), sebagai bank sentral. Dalam ketentuan itu disebutkkan, bahwa suku bunga maksimal pada saat Majlis Tarjih bermu’tamar adalah 18 % per-tahunnya. Jadi tindakan tersebut merupakan penyimpangan dari peraturan yang berlaku. Sekiranya itu merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian bank swasta, maka kurang bijaksana kalau Muhammadiyah menetapkan hukum haram terhadap bunga bank milik swasta secara keseluruhan, apalagi terhadap bunga bank milik negara.27

Asumsi yang menguatkan bahwa Muhammadiyah, pada dasarnya cenderung kepada halalnya bunga bank milik negara, dikuatkan oleh pengamatan Kasman Singodimedjo (wakil ketua-III PP. Muhammadiyah periode 1971-1974) terhadap putusan Majlis Tarjih tentang bunga bank itu. Menurut pengamatannya, Muhammadiyah sebenarnya sudah membenarkan praktek bank konvensional (yang memakai sistem bunga). Argumentasi yang dimajukannya adalah bahwa penjelasan Majlis Tarjih Muhammadiyah tentang bunga bank disebutkan: “kecuali apabila ada suatu kepentingan masyarakat atau kepentingan pribadi yang sesuai dengan maksud-maksud dari pada tujuan agama Islam pada umumnya, maka tidak ada halangan perkara musytabihat tersebut dikerjakan sekedar sesuai dengan kepentingan itu”.28 Pertanyaan yang diajukan oleh Kasman Singodimedjo adalah, apakah ketika putusan itu diambil telah terdapat kepentingan-kepentingan seperti yang disebutkan di atas? Ternyata, jawabannya telah terdapat dalam konsideran dan penjelasan dari putusan tersebut. Di antara konsideran dan penjelasan yang menjawab persoalan tersebut adalah:29

  1. Konsideran “mengingat” no.2: “bahwa fungsi bunga bank dalam perekonomian modern sekarang ini bukan hanya menjadi sumber penghasilan bagi bank, melainkan juga berfungsi sebagai alat politik perekonomian negara untuk kesejahteraan umat (stabilitasi ekonomi)”.
  2. Konsideran “menimbang” no.3: “bahwa hasil keuntungan bank-bank milik negara pada akhirnya akan kembali untuk kemaslahatan umat”.
  3. Konsideran “menyadari” no.3: “bunga adalah sendi dari sistem perbankan yang berlaku selama ini”.
  4. Konsideran “menyadari” no.1: “bahwa bank dalam sistim ekonomi pertukaran adalah mempunyai fungsi yang vital bagi perekonomian pada masa sekarang”.
  5.  Konsideran “menyadari” no.4: ‘bahwa umat Islam sebagai umat pada dewasa ini tidak dapat melepaskan diri daripada pengaruh perbankan yang lansung atau tidak langsung mengenai perekonomian umat Islam”.
  6. Konsideran “mengingat” no.3: “bahwa adanya undang-undang yang mengatur besar kecilnya bunga adalah untuk mencegah terjadinya penghisapan pihak yang kuat terhadap yang lemah, disamping untuk melindungi berlangsungnya kehidupan bank itu sendiri”.
  7. penjelasan dari mu’tamar tarjih sendiri: “bank negara dianggap badan yang mencakup hampir semua kebaikan dalam alam perekonomian modern dan dipandang memiliki norma yang menguntungkan masyarakat dibidang kemakmuran. Bunga yang dipungut dalam sistim perkreditan adalah sangat rendah sehingga sama sekali tidak ada pihak yang dikecewakan”.
  8. Penjelasan dari mu’tamar tarjih sendiri: “…tetapi terang diinsafi bahwa segi positif daripada bank perkreditan sangat besar bagi dunia perekonomian”.
  9. Penjelasan dari mu’tamar tarjih sendiri: “…sedang (pembangunan) yang berlaku selama ini sama sekali tidak menimbulkan rasa penindasan atau kekecewaan oleh siapapun yang bersangkutan”.

 

  1. B.       Metode Pemahaman Dalil (Istinbat)

Untuk memutuskan atau menetapkan suatu hukum, ulama tentunya memiliki metode pemahaman dalil (istinbat). Karena penetapan hukum tidak dilakukan secara gegabah (kurang hati-hati), hanya orang-orang tertentu yang dapat melakukan dan dianggap telah memenuhi kapasitas berijtihad (memiliki ilmu-ilmu yang kompeten).

Secara umum, ijtihad dapat dikatakan sebagai suatu upaya berfikir secara optimal dalam menggali hukum Islam dari sumbernya untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat.30 Antara upaya ijtihad di satu pihak dan tuntutan perubahan sosial di pihak lain terdapat suatu interaksi. Ijtihad, baik langsung atau tidak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial, sedangkan disadari bahwa perubahan-perubahan sosial itu harus diberi arah oleh hukum sehingga dapat mewujudkan kebutuhan dan kemaslahatan umat manusia.

Ijtihad dalam kehidupan manusia merupakan kebutuhan yang bersifat kontinuitas di mana realitas kehidupan ini senantiasa berubah, begitupun situasi masyarakatnya yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan. Ijtihad yang benar tentunya yang dapat menjelaskan kehendak agama (maqasid at-tasyri’) dengan kebutuhan masyarakat, dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum Islam sebagai produk ijtihad hendaknya mampu mengelaborasikan nilai-nilai dan aturan normatif yang telah mentradisi dalam sebuah tatanan suci (syari’ah) yang telah menjadi landasan hidup beragama. Hal ini sesuai dengan penerapan sosial hukum, bahwa suatu hukum hendaknya dapat memainkan peranan ganda yang sama-sama penting. Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai kontrol sosial terhadap perubahan-perubahan yang berlangsung dalam kehidupan manusia. Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai alat rekayasa sosial dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia, sebagai tujuan hakekat hukum itu sendiri.31

Masalah bunga bank pada hakekatnya tidak lepas dari dua hal yang mendasar, yakni peraturan syar’i dan kondisi masyarakat (sosio kultural). Kemudian dari dua dasar tersebut kemudian menimbulkan berbagai interpretasi. Pandangan NU maupun Muhammadiyah sebenarnya bermuara pada nas yang sama mengenai riba, yaitu Q.S.: Ali Imran 130 dan al-Baqarah: 278-279.

Persoalan riba tidak akan terlepas dari masalah teori pembungaan uang. Identifikasi ini juga telah begitu kuat di masyarakat. Sepertinya telah menjadi kehendak sejarah, bahwa bunga (interest) dalam institusi keuangan dewasa ini menjadi instrumen yang sangat urgen di hampir sistem ekonomi dunia. Bunga (interest) telah diterima sebagai suatu kewajaran dan dianggap sebagai salah satu ciri perekonomian modern. Bahkan bunga telah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan dalam proses perputaran keungan dan kegiatan bisnis. Dalam pada itu bank dan institusi keuangan lainnya (lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan IDB) sebagai lembaga perantara antara sektor riil dan moneter telah mendesain sedemikian rupa untuk menjadikan bunga supaya bisa merangsang terlaksananya tabungan dan kredit (baik konsumtif maupun produktif).32

Betapapun kredit dari bank itu dimaksudkan untuk usaha yang bersifat produktif, sehingga uang yang dipinjamkan akan menghasilkan keuntungan kepada debitur, seharusnya perlu ditinjau kembali. Karena adakah jaminan bahwa pinjaman selamanya akan mendapat keuntungan dari usahanya (perusahaan)?. Sedangkan bunga akan terus dikenakan selama masih ada simpanan atau pinjaman, tidak terbatas jangka waktunya dan pihak bank tidak melihat, apakah peminjam mendapat keuntungan atau malah rugi dari pinjaman tersebut. Dengan sistem bunga, kelihatan pihak pemberi pinjaman (kreditur) membiarkan wiraswastawan menanggung risiko ketidakpastian itu sendirian, yang sebenarnya adalah resiko kedua belah pihak. Keadaan semacam ini yang menggambarkan ketidakadilan.

Dalam masalah ini, NU berpendapat bahwa pihak debitur yang bertransaksi dengan bank harus bertanggung jawab penuh atas uang yang dipinjamnya dan bunganya ditentukan atas dasar untung rugi atau besar kecilnya keuntungan dari hasil usahanya. Maka transaksi tersebut termasuk aqad qard dan dengan sendirinya bunga bank yang terikat aturan, haram hukumnya, karena termasuk riba qard. NU memandang, bahwa setiap pinjaman kredit yang menarik manfaat yang diberikan oleh debitur yang dipersyaratkan oleh kreditur, bukan merupakan kebaikan hati dari pihak debitur. Karena hal ini juga bertentangan dengan firman Allah:

فلكم رءوس اموالكم لاتظلمون ولاتظلمون  33 

Ikhtiar dari permasalahan itu tidak terlepas dari praktek riba dalam pemikiran hukum, bukan pada ayat-ayat mengenai keharaman riba itu sendiri, melainkan pada benda-benda yang boleh atau tidak tatkala dilakukan secara riba. Dan hal ini bermula dari tidak adanya permasalahan yang muncul menyangkut pemahaman masalah riba nasi’ah di kalangan para ulama dalam kurun waktu yang lama, sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh kaum jahiliyah pra-Islam. Sebuah hadis yang bisa diambil sebagai dasar para ulama untuk riba adalah:

عن عبادة بن الصامت قال النبى ص.م. الدهب بالدهب والفضة بالفضة والبر باالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل سواء بسواء يدا بيد فادا احتلفت هده الاصناف فبيعوا كيف شئتم ادا كان  يدا بيد.  34         

Rumusan yang digunakan para ulama terhadap ketidakbolehan terjadi riba nasi’ah pada kebutuhan jenis barang tersebut, bila dibandingkan dengan rumusan mufassirin tidak ada perbedaan, dan rumusan itu dapat dilihat bahwa riba nasi’ah mempunyai unsur:

  1. Terjadi karena peminjaman dalam jangka waktu tertentu.
  2. Pihak peminjam berkewajiban memberi tambahan kepada debitur untuk mengangsur atau melunasi, sesuai dengan pinjaman,
  3. Obyek peminjaman berupa benda ribawi.35

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan (khulasah), menurut metode pengambilan hukum yang dilakukan NU mengikuti prosedur pengambilan dengan cara ilhaq al-masail bi nazairiha. NU menjadikan riba qard sebagai mulhaq ‘alaihi, transaksi bank adalah mulhiq. Hukum mulhaq ‘alaihi adalah haram dan wajh al-‘ilhaqnya adalah timbangan atau takaran dan juga standar harga emas dan perak atau harga saja. Kecenderungan pernyatan NU ini agaknya memperlihatkan corak fiqh Syafi’I (Syafi’i oriented).

Atas dasar keterangan ini, maka NU mengambil hukum bunga bank diharamkan baik kecil atau besar, sedikit atau banyak. Keharaman yang berlipat ganda atau besar, hukumnya sama dengan ad’afan muda’afah (riba jahiliyyah), yakni haram li zatihi. Adapun bunga yang kecil atau sedikit termasuk riba khafi yang hukumnya haram karena untuk menutup riba yang besar haram li sadd az-zari’ah. Namun demikian, keharaman karena sadd az-zari’ah diperbolehkan karena adanya hajah maslahah.

Adapun Muhammadiyah dalam menetapkan bunga bank bermaksud menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukumnya. Bagi Muhammadiyah, ‘illat diharamkannya riba adalah adanya penghisapan atau penganiayaan terhadap pihak peminjam. Konsekuwensinya, kalau ‘illat itu ada pada bunga bank, maka bunga pada bank sama dengan riba dan hukumnya haram. Sebaliknya, kalau ‘illat tidak ada pada bunga bank, maka bunga bank bukan riba, karena itu tidak haram.36

Untuk memahami masalah ini secara utuh, berikut ini dijelaskan cara kerja qiyas dalam menetapkan kasus bunga bank. ‘Asl dalam kasus ini adalah riba yang terdapat dalam al-Quran. Far’u-nya adalah bunga bank. Hukmu al-Asl-nyaadalah bahwa riba itu hukumnya haram. ‘illat diharamkannya riba adalah zulm atau penghisapan dan pemerasan terhadap peminjam. Menurut Muhammadiyah, oleh karena riba itu telah terdapat pada bunga bank, maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya haram. Tetapi kesimpulan ini hanya berlaku untuk bank swasta. Adapun bunga bank  pada bank-bank milik negara, ‘illat-nya belum meyakinkan. Karena itu, menurut Muhammadiyah, hukum bunga bank milik pemerintah adalah musytabihat, tidak haram dan tidak pula halal secara mutlak.37

Telah dijelaskan bahwa illat adalah sifat tertentu yang dapat diketahui secara objektif (zahir), dapat diketahui tolak ukurnya (mundabit), dan sesuai dengan ketentuan hukum (munasib). illat dapat diambil dari hikmah ditetapkannya hukum. Hikmah baru dapat ditetapkan sebagai ‘illat kalau terdapat mazhinnat atau indikator yang menunjukkan bahwa hikmah itu telah ada pada kasus tersebut. Hubungannya dengan masalah riba, apakah sifat zulm itu sudah dapat dikatakan ‘illat atau baru hikmah? Kalau sudah termasuk ‘illat apakah indikator yang menunjukkan hal tersebut? Dengan memperhatikan praktek riba pada masa ayat al-Quran ini diturunkan, dapat difahami bahwa pemerasan merupakan hikmah diharamkannya riba. Hikmah ini dapat menjadi ‘illat setelah adanya mazhinnat, yaitu bahwa tambahan itu dipersyaratkan ketika transaksi utang-piutang itu berlangsung. Oleh karena ‘Illat ini tidak secara eksplisit disebutkan dalam al-Quran maupun al-Hadis, maka kedudukannya termasuk ‘illat mustanbatah, dan bukan ‘illat mansusat. Karena itu, ketika Muhammadiyah menyatakan bahwa’illat diharamkan riba adalah pemerasan kreditur kepada debitur, tentu sudah melalui proses pencarian ‘illat, atau yang dalam ushul fiqih dikenal sebagai masalik al-‘illat.38

Secara garis besar proses penemuan ‘illat dapat dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah takhrij al-manat, yakni menginventarisasi beberapa sifat yang dapat dijadikan ‘illat. Tahap kedua adalah tanqih al-manat, yakni menyeleksi beberapa sifat yang telah diinventarisasi pada tahap pertama. Sedangkan tahap ketiga adalah tahqiq al-manat, yakni membuktikan keefektifan ‘illat haramnya riba, apakah dapat diterapkan dalam kasus bunga bank atau tidak.39

Berdasarkan cara kerja itu, pertama sekali dicari dan dihimpun beberapa sifat yang dapat dijadikan ‘illat haramnya riba. Pada tahap ini diperoleh informasi, bahwa sifat yang dapat dijadikan riba adalah pemerasan atau penganiayaan (istiglal wa az-zulm), tambahan tanpa risiko (ziyadah al-Khaliyat ‘an al-‘Iwad) dan tambahan yang berlipat ganda (ziyadah  al-Muda’afat). Tahap berikutnya diadakan seleksi, mana di antara ketiga sifat itu yang dianggap relevan. Dalam tahap ini dapat diketahui, bahwa sifat “tambahan tanpa resiko” tidak dapat dijadikan ‘illat, karena ternyata nabi sendiri pernah memberikan kelebihan pembayaran kepada kreditur. Begitu pula sifat “tambahan yang berlipat ganda” semata-mata tidak dapat dijadikan ‘illat, karena Allah SWT menyatakan “wa in tubtum falakum ru’usu amwalikum”. Dari sini tinggalah sifat “pemerasan dan penganiayaan” yang dapat dijadikan ‘illat haramnya riba. Sifat yang terakhir ini, di samping dapat dilihat dalam sabab an-Nuzul ayat terakhir tentang riba, juga diisyaratkan oleh ungkapan al-Quran sendiri: “la tazlimuna wa la tuzlamun”. 40

Melalui proses pencarian ‘illat seperti di atas dapat disimpulkan bahwa pemerasan dan penganiayaan merupakan ‘illat diharamkannya riba. ‘illat di sini masih perlu diteliti lagi, dalam kaitannya dengan penerapan kasus bunga bank, karena sifat itu belum dapat diketahui tolak ukurnya (mundabit). Untuk itu ditetapkan ketentuan bahwa unsur pemerasan itu telah dianggap ada manakala ada “perjanjian pada awal transaksi utang piutang itu”. Persyaratan ini dianggap sebagai mazinnat, yaitu pemerasan. Inilah yang dianut mayoritas oleh ahli ushul fiqh.41

Pernyataan Muhammadiyah mengenai bunga bank seperti  di atas tidak lepas dari komitmennya untuk menggunakan tolak ukur kemaslahatan yang menjadi tujuan utama diyariatkan hukum dalam Islam. Menurut pendapatnya, bahwa kepentingan dan kebutuhan umat Islam tidak boleh diabaikan. Sebab kalau kepentingan itu diabaikan, maka akan berakibat modal berada pada tangan orang non-muslim. Pada gilirannya harta ummat Islam akan semakin menipis, sementara harta orang-orang non-muslim akan semakin banyak jumlahnya. Dalam kondisi demikian, kemungkinan terjadinya kemiskinan  di kalangan umat Islam akan semakin besar pula. Tidak mustahil hal ini akan membawa kepada kekufuran. Jadi, menjaga stabilitas ekonomi umat Islam berarti menjaga keutuhan agama yang dianut mereka. Menjaga harta dari kepunahan dan menjaga agama merupakan aspek esensial (daruriyat).42

Dapat dikatakan, bahwa Muhammadiyah menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukum bunga bank. Hikmah dan ‘illat, yang menjadi faktor penentu dalam metode ini, difahami oleh organisasi ini sebagai satu istilah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena itu, Muhammadiyah mengalami kesulitan untuk memutuskan kasus bunga bank ini. Lebih jauh dari itu, organisasi ini juga menggunakan istihsan bi ad-darurat sebagai metode penetapan hukum bunga bank. Namun metode ini juga tidak sepenuhnya ditetapkan. Baginya, meskipun berdasarkan qiyas jali ternyata bunga bank itu sama dengan riba, tapi demi kepentingan umat Islam, maka hukum haram riba tidak dapat diterapkan sepenuhnya pada kasus bunga bank.43

BAB. V

P E N U T U P

 

  1. Kesimpulan.
  2. Bahwa dalam merespon tentang masalah bunga bank, NU telah melakukan ijtihad (jama’i) ketika menghadapai persoalan fiqh kontemporer, khususnya persoalan bunga bank, akan tetapi juga tidak meninggalkan cara-cara lama. Yaitu bermazhab secara qauli, dengan hanya mengambil pendapat ulama (Syafi’iyah) secara sporadis dan apa adanya. Ijtihad bagi NU hanya dilakukan jika “benar-benar” persoalan hukum Islam yang dihadapi tidak ditemukan dalam kitab-kitab mu’tabar. Dan paling jauh menerapkan metode ijtihad yang telah dibangun oleh ulama terdahulu, karena sebagai cermin sikap tawaddu’ NU kepada mereka. Lebih lanjut, dalam hal ini (masalah bunga bank) NU memandang bahwa hukum tentang bunga bank adalah sebagaimana yang telah diputuskan dalam Sidang Lajnah Bahsul Masa’il NU di Malang, Jawa Timur tahun 1937, yang memutuskan: Pertama, haram, karena termasuk utang yang dipungut rente. Kedua, halal, karena tidak ada syarat pada waktu aqad, sementara adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat. Ketiga, syubhat, sebab para ahli berselisih paham tentangnya. Meski begitu, Lajnah memutuskan, pilihan yang lebih berhati-hati adalah bunga bank haram.

2. Sementara Muhammadiyah menggunakan qiyas sebagai metode ijtihad dalam merespon bunga bank. Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba adalah adanya pengisapan atau penganiayaan (az-Zulm) terhadap peminjaman dana. Konsekuensinya, kalau ‘illat itu ada pada bunga bank, maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya kalau ‘illat itu tidak ada pada bunga bank, maka bunga bank bukan riba, kerana itu tidak haram. Bagi  Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba disinyalir juga ada pada bunga bank, sehingga bunga bank disamakan dengan riba dan hukumnya adalah haram. Namun keputusan tersebut hanya berlaku untuk bank milik swasta. Adapun bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara pada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara musytabihat, tidak haram dan tidak pula halal secara mutlak. Pendapat Muhammadiyah mengacu pada hasil mu’tamar Majlis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo Jawa Timur, tahun 1968 yang memutuskan: Pertama, riba hukumnya haram dengan nas sarih al-Qur’an dan as-Sunnah. Kedua, Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal. Ketiga, Bunga yang diberikan oleh bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara musytabihat (yang meragukan).. Keempat, Menyarankan pada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan, yang sesuai dengan kaidah Islam.

3. Baik NU Maupun Muhammadiyah  sama-sama sependapat bahwa riba hukumnya adalah haram hal ini berdasarkan pada nas sarih al-Qur’an dan al-Hadis yang dengan jelas-jelas telah mengharamkan adanya praktek riba. Meskipun dalam melihat aplikasi hukum Islam tentang riba sama-sama mengharamkanya, tetapi NU dan Muhammadiyah memiliki cara pandang atau berfikir yang berbeda. Bagi NU bahwa hukum bunga bank adalah haram baik itu bank milik swasta maupun bank milik negara. Lebih lanjut, NU mengungkapkan bahwa bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang diharamkan. Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa bersusah payah sebagai tambahan pokok hartanya, maka yang demikian itu termasuk riba.. NU kemudian menguatkan pendapatnya, bahwa pengambilan bunga bank oleh nasabah yang menyimpan uangnya di bank adalah haram. Dalam hal ini NU lebih tegas dalam menetapkan keharaman bunga bank—yaitu apabila pihak bank menggunakannya untuk perbuatan yang telah dilarang agama. Sedangkan bagi Muhammadiyah agaknya  masih ragu terhadap ada atau tidak adanya ‘illat riba pada bank milik negara, hal ini terlihat dengan penetapan, bahwa hukum bunga bank milik negara adalah musytabihat. Alasan mengatakan musytabihat, adalah karena ada dua kecenderungan yaitu halal atau haram, di samping juga  karena dalam bank itu tidak dibedakan antara orang yang meminjam uang untuk konsumsi dan meminjam untuk diproduksikan. Maka hal ini harus dihindari, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa). Tampaknya keputusan Muhammadiyah ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank boleh karena darurat, seperti pendapat Mustafa az-Zarqani, yang mengatakan bahwa bank merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Karenanya umat Islam boleh bermu’amalah dengan bank atas pertimbangan darurat. Lebih lanjut, Muhammadiyah menyatakan, bahwa riba yang diharamkan oleh agama adalah sifat pembungaan yang selalu disertai unsur penyalahgunaan kesempatan dan penindasan. Sedang yang berlaku dewasa ini sama sekali tidak menimbulkan rasa penindasan atau kekecewaan oleh siapapun yang berkepentingan.

 

  1. B.     Saran-saran.
  2. Dalam melihat permaslahan fiqh yang akan diberi ketetapan norma hukumnya, baik NU maupun Muhammadiyah hendaknya mengkaji permasalahan yang ada tersebut dari berbagai sudut pandang yang menyangkut hakekat permasalahan, latar belakang sosial, ekonomi politik, budaya dan yang semisalnya, di samping juga dengan tidak mengesampingkan al-Qur’an dan al-Hadis sebagai rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam. Karena fiqh sebagai suatu bentuk ketetapan hukum akan selalu berubah sesuai dengan masyarakat yang dihadapinya (salih li kulli zaman wa makan). Sehingga akhirnya dalam memberikan norma hukum yang ada dapat bersesuaian dengan kebutuhan yang telah berkembang dan berlaku di tengah-tengah masyarakat.
  3. Diperlukan adanya forum kajian atau musyawarah yang harus dilakukan oleh NU atau Muhammadiyah yang diikuti oleh para ulama dan ahli-ahli perbankan agar kajiannya lebih komprehensif dan hasilnya diharapakan lebih mendekati bahkan sesuai dengan realita yang sebenarnya.
  4. Dalam menyikapi perbedaan persepsi tentang bunga bank yang berkisar pada persoalan prosedurnya, maka disarankan agar bagaimana prosedur itu dapat disesuaikan dengan keyakinan banyak pihak yang akan menggunakan jasa bank, karena sesuai dengan perundang-undangan yang ada sekarang ini, maka masih ada kemungkinan untuk diupayakan terwujudnya ketentuan hukum bunga bank yang lebih sempurna bagi masyarakat.
  5.  Untuk para cendekiawan terutama kalangan muda untuk pro aktif dan serius menggali sekaligus ikut memecahkan masalah-masalah fiqh kontemporer, agar dapat memperkaya hazanah pemikiran dengan tidak membatasi disiplin ilmu, tokoh maupun kelompoknya, sehingga tidak membuka ruang konflik yang membodohkan. Tetapi lebih mengembangkan sikap toleran dan saling memahami sehingga sikap mengklaim diri atau kelompoknya yang paling benar dapat terhindarkan.


1 Muhammad Zuhri, Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif, cet. I (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hlm. 4.

 

2 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Husada, 1996), hlm. 39-40

 

 

3 Djejen Zainudin dan Suparta, Fiqh,  (Semarang: Toha Putra, 1996), hlm. 71

 

4 M. Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam,alih bahasa Nastangin(Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1997),  hlm. 120

 

 

5 Fuad M Fahruddin, Riba dalam Bank: Koprasi, Perseroan dan Asuransi, (Bandung: al-Ma’arif, 1985), hlm. 21

 

6 A. Chotib, Bank dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1962),  hlm. 16

 

7 Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama’,  (Semarang: Toha Putra, t.t.), I:22. sebagai perbandingan lihat Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama’, (Semarang: Toha Putra, t.t.), II: 71.

8 Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. I (Jakarta: Logos Publishing House, 1995 ),  hlm. 64

 

9 Ibid., hlm. 125-126.

 

10 Urain selengkapnya dapat dilihat dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Persatuan, t.t), hlm 304-307

 

 

11 Studi tentang NU telah banyak dilakukan oleh banyak tokoh. Misalnya, M. Masyhur Amin menulis tentang sejarah berdirinya NU dan pasang surut perjalanan organisasi tersebut. Baca M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraan, cet. I (Yogyakarta: al-Amin Press, 1996), hlm. 55 dst. Kemudian lihat juga Khoirul Fathoni dan Muhammad Zein, NU Pasca Khittah: Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah, cet. I (Yogyakarta: Media Mandala Manggala, 1992), hlm. 9. Topik ini juga dibahas dalam desertasi yang telah diterbitkan dalam sebuah buku. Lihat M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fiqh dalam Politik, cet. II (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 38-45.

 

12 Kacung Maridjan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Erlangga, 1992).

 

13 Sugiri, Studi Perbandingan Pelaksanaan Tata Cara Penetapan Hukum antara Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Syuriah NU, skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1998.

 

14 Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama’, (Semarang: Toha Putra, t.t.).

15 A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri (Yogayakarta: LKPSM: 1994).

 

16 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah,, (Yogyakarta: Persatuan, t.t.).

 

17 Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. I ( Jakarta : Logos Publishing House, 1995 ).

18 Muhammad, Lembaga-lembaga  Keuangan Umat Kontemporer, cet. I ( Yogyakarta: UUI Pres, 2000), hlm. 143.

 

19 Ibid., hlm. 143-144.

 

20 A. Chatib, Bank dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 38.

 

21 Ibid.

 

22 Sebagaimana dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet, I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.59.

23 Ibd., hlm. 61-62

 

24 Ibid., hlm. 69-70

 

25 A. Hasan. Soal-Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama, (Bandung: Diponegoro, 1983), hlm. 368-369.

 

26 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 63.

 

27 Abdul Manan, Teori dan Praktek, hlm. 165.

 

28 Sebagaimana dikutip A. Chatib, Bank dalam Islam, hlm. 93.

 

29 ) Lexy J. Moleong,  Metodelogi Penelitian Kualitatif, cet. XIII  (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000),  hlm. 6

 

30 Anton Bakker dan Achmad Charis Zubar, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1992), hlm. 71.

 

1 Abu Sura’i Abdul Hadi, Bunga Bank dalam Islam, alih bahasa M. Tholib, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), hlm. 95.

2 Ibid., hlm. 96.

 

3 Usia lembaga perbankan sebenranya sudah tua, sejak awal hingga sekarang, bank mengalami perkembangan melalui tahapan-tahapan. Perkembangannya dapat diklasifikasikan menjadi empat tahap, yaitu; (1) Sebelum tahun 500 (2) Antara tahun 500 sampai dengan tahun 1500 (3) Antara tahun 1550 sampai dengan tahun 1750 dan (4) Antara 1750 sampai sekarang. Lihat Soetatwo Hadiwigeno, Lembaga-lembaga Keuangan dan Bank, (Yogyakarta: UGM Press, 1984), hlm. 15-67

4 M. Zuhri, Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif, cet.I (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 142-143.

 

5 Ibid.

6 Sebagaimana dikutip Muhammad, Lembaga-lembaga  Keuangan Umat Kontemporer, cet. I ( Yogyakarta: UII Pres, 2000), hlm. 144.

 

7 Dwi Hardianto, Sejarah Riba dari Masa ke Masa, www.sabili.or.id, hlm, 1

 

8 Ibd.

 

9 Ibid., hlm 2

 

10 Sebagaimana dikutip oleh Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, alih bahasa Muhammad Ufuqul Mubin. cet I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 38

 

 

11 Dwi Hardianto, Sejarah Riba,. hlm. 2-3.

12 Ibid., hlm 3.           

 

13 Uraian selengkapnya lihat Anwar Abbas “Hukum Bunga Bank Konvensional”,  makalah disampaikan pada diskusi Majlis Tarjih tentang Bunga Bank, diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah, Jakarta, 22 Desember 2003, hlm 4-6.

 

14 Muhammad, Lembaga-lembaga  Keuangan, hlm. 146-147.

 

15 Masjfuk Zuhdi,  Masail Fiqhiyah,cet VIII (Jakarta: Surya Grafindo, 1998), hlm, 103.

 

 

16 Muhammad, Lembaga-lembaga  Keuangan, hlm. 147

 

17 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet, I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 37  sebagai perbandingan lihat Imam Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayah al-Akhyar fi Halli Gayati al-Ikhtisar, (ttp: Darul Haya, tt), hlm. 246.

 

18 Masjfuk Zuhdi,  Masail Fiqhiyah, hlm. 102. Sementara Makhalul Ilmi. SM mengatakan bahwa arti “kelebihan” tidak berhenti di sini saja—karena “kelebihan” yang lahir akibat dilakukannya transaksi ekonomi antara dua pihak atau lebih disebut sebagai riba, termasuk mengambil keuntungan atas suatu transaksi jual beli yang lazim berlaku dalam tatanan masyarakat

bangsa-bangsa di dunia sejak dahulu hingga sekarang. Sudah barang tentu bukanlah yang dimaksud al-Qur’an demikian, karena tegas-tegas salah satu ayatnya menyebutkan: “Allah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba”. Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syari’ah, cet. I (Yogayakarta: UII Press, 2002), hlm. 19.

 

 

19 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 38

 

20 Ali as-Sabuni, Rawai ‘al-Bayan fi  at-Tafsir Ayati al-Ahkam, (ttp: Dar al-Qur’an, 1391/1972), I: 383.

 

 

21 Ali-Imran (3): 130. Ayat ini jelas menyatakan bahwa, memakan bunga dapat menyebabkan rakus, tamak, kikir, dan egois bagi orang yang mengambilnya; dan kebencian, kemarahan, kecemburuan bagi orang yang membayarkannya. Oleh karena itu, Allah telah mengecam dan melarang riba dan menganjurkannya untuk berbuat amal baik sebagai suatu penangkal terhadap praktek riba. Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam,jlid 4 (Yogayakarta: Dana Bakti Wakaf, 1996), hlm. 131.

 

22 Al-Baqarah (2): 275

 

23 Al-Baqarah (2): 278-279

 

24 Muslim, Sahih Muslim, “Babu La’ana Akila ar-Riba wa Muwakkalah” (Bandung: al-Ma’arif, tt), I: 697. Hadis sahih riwayat Muslim dari Jabir. Lihat juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulug  al-Maram (Surabaya: al-Hidayah, tt), hlm.169.

 

25 Muslim, Sahih Muslim, “Babu Bai’ at-Ta’am Mislan bi Mislin”. (Bandung: al-Ma’arif, tt), I: 694-697

26 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algasindo, 1997), hlm. 293.

 

27 Muhammad, Lembaga-lembaga  Keuangan, hlm. 149.

 

 

28 Ibid.

 

29 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, hlm. 290.

 

30 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi, cet. I (Yogyakarta: Ekonsia,  2003), hlm 6.

 

31 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, hlm 290.

 

32 Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Sukarja, “Riba, Bunga Bank, dan Kredit Perumahan” dalam Chuzaimah T. Yanggo dkk (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet. I (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 35.

33 Masjfuk Zuhdi,  Masail Fiqhiyah, hlm. 103

 

34 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga, hlm 12.

 

35 Ahmad Sukarja, “Riba, Bunga Bank”, hlm. 43. Sebagai perbandingan Baca A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri (Yogayakarta: LKPSM: 1994), hlm. 69-70.

 

36 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 39.

.

 

37 Ibid.

38 Ahmad Sukarja, “Riba, Bunga Bank”, hlm. 43-44

 

39 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 39-40.

 

40 Muhammad Najetullah, Bank Islam, alih bahasa Asep Hikmat Suhendi (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), hlm. 58.

 

41 Ibid.

 

42 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeroyo dan Nastangin (Yogayakarta: Dana Bakti Wakaf, 1996), hlm. 345-346

 

43 Masjfuk Zuhdi,  Masail Fiqhiyah, hlm. 111-112.

 

44 Bank non Islam atau konvensional, ialah sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana, baik perorangan atau badan guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan semacamnya dengan adanya sistem bunga. Ibid., hlm. 109.

 

45 Teori dan sistem bunga muncul sejak manusia mulai melakukan pemikiran ekonomi. Para filosof Yunani Kuno telah melakukan pembahasan tentang bunga, diantara filosof tersebut adalah Plato dan Aristoteles. Mereka melarang dan mengutuk orang yang melakukan aktivitas ekonomi dengan sistem bunga. Mereka memandang uang bukan sesuatu yang dapat berbunga atau membuahkan harta, akan tetapi uang adalah merupakan alat tukar. Setelah itu, maka pemikiran bunga semakin berkembang. Para pakar ekonomi masa lalu telah mengembangkan berbagai teori atau sistem bunga uang. Pro dan kontra pembahasannya selalu  terjadi di antara mereka. Namun secara umum, perkembangan teori bunga dapat dikelompokkan menjadi dua. Yaitu kelompok pertama adalah teori bunga murni dan kelompok kedua adalah teori bunga moneter. Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syari’ah, cet. I (Yogayakarta: UII Press, 2001), hlm. 14.

 

46 Muhammad Zuhri, Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan (Jakarta: Raja Gradindo Persada, 1996), hlm. 148.

 

47 Muhammad, Lembaga-lembaga  Keuangan, hlm. 155-156.

 

 

48 Ibid.

 

49 Ibid.

 

50 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 67

 

51 Ibid.

 

52 Ibid.

 

53 Ibid

 

54 Ibid., hlm. 67-68.              

 

55 Bank Islam adalah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut hukum syariat Islam—yakni menggunakan sistem bagi hasil. Sudah tentu bank  Islam tidak memakai sistem bunga, sebab bunga dilarang dalam Islam. Sementara pemikiran ke arah pembentukan Bank Islam telah menghasilkan deklarasi yang dicetuskan oleh Menteri-menteri Keuangan negara-negara Islam di Jedah pada tahun 1393 H atau 1973 M. Pada tahun 1975 secara resmi dibuka Islamic Development Bank, berpusat di Jedah Saudi Arabia. Keanggotaannya terdiri dari negara-negara Islam. Pada awal berdirinya bank ini beranggotakan 22 negara, dan sampai tahun 1988 telah berkembang menjadi 44 negara. Masjfuk Zuhdi,  Masail Fiqhiyah, hlm. 109. Dan Ahmad Sukarja, “Riba, Bunga Bank”, hlm. 46.

 

56 Barang kali timbul pertanyaan dalam  dunia perbankan  modern, apakah yang dimaksud dengan bagi hasil? Bagi hasil menurut termenologi asing (Inggris) dikenal dengansebutan profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definitif  profit sharing diartikan:distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan”. Lebih lanjut dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan. Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil, hlm. 22.

 

57 Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan dalam Islam (Jakarta: PT. Rhineka Cipta, 1994), hlm. 51.

 

58 Masjfuk Zuhdi,  Masail Fiqhiyah, hlm. 109

59 Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam: Dasar-dasar Ekonomi Islam (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1997), hlm. 167.

 

60 Ibid., hlm.168 Ibid., hlm.168

 

61 Masjfuk Zuhdi,  Masail Fiqhiyah, hlm. 109-110.

 

62 Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, hlm 168

 

63 Masjfuk Zuhdi,  Masail Fiqhiyah, hlm. 110

 

64 Ibid.

 

65 Ibid., hlm 111.

 

66 Ahmad Sukarja, “Riba, Bunga Bank”, hlm. 49.

 

 

67 Ibid.

 

68 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan, hlm. 150.

 

69 Ibid., hlm. 151

 

70 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, 13.

 

71 Ibid., hlm. 13-14

 

72 Ibid.

 

73 Ibid.

 

74 Ibid.

 

75 Ibid.,  hlm. 15

1 Peristiwa-peristiwa yang paling mendasar melatarbelakangi lahirnya NU adalah: adanya pertentangan pendapat antara Islam Tradisionalis dengan Islam Modern, semangat nasionalisme, basis sosial Islam Tradisional dan peristiwa-peristiwa internasional dsb. Uraian selengkapnya lihat www.nu.online.or.id. Sejarah NU, hlm. 1-2. atau M. Masyhur Amin,  NU  dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, cet, I (Yogyakarta: Al-Amin Press. 1996), hlm. 21.

 

2 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, alih bahasa Lesmana cet. I (Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm. 7-8.

 

3 A. Gafar Karim, Metamorfosis: NU dan Politisasi Islam Indonesia, cet, I (Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 47.

 

4 Ibid., hlm. 47-48

 

5 Ibid., hlm. 48

 

6 KH. Abdul Wahab Hasbullah dilahirkan pada tahun 1888 di Jombang,  Jawa Timur. Sejak kecil beliau telah menerima pendidikan Islam di tingkat dasar sampai berusia 13 tahun dari ayahnya sendiri, KH. Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Tambak Baras Jombang. Setelah itu beliau meneruskan ke Pesantren Langitan selama satu tahun, kemudian melanjutkan ke Pesantren Mojosari di Nganjuk, Jawa Timur. selama empat tahun, selanjutnya beliau memperdalam ilmu agamanya ke Pesantren Kademangan di Bangkalan,  Madura. Yang diasuh oleh KH. Kholil, kemudian melanjutkan ke Pesantren Tebuireng untuk belajar ilmu alat kepada KH. Hasyim Asy’ari, setelah dari Tebuireng kemudian KH. Abdul Wahab Hasbullah melanjutkan belajar ke Arab Saudi. M. Yeonus Noor dan Ismail S. Ahmad, “KH. Abdul Wahab Hasbullah: Santri Kelana Sejati”, dalam Huwaidy Abdussami dan Ridwan Fakla AS (ed.), Biografi 5 Rais ‘Am NU, Cet. I (Yogyakarta: LTN-NU, 1995),  hlm. 27-29.

 

7 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm. 8

 

8 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 41

 

9 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm.9.

 

10 Taswiru al-Afkar atau dikenal juga dengan Nahdatu al-Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sossial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdatu at-Tujjar, (pergerakan kaum sudagar) serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdatul at-Tujjar itu, maka Taswiru al-Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Taswiru al-Afkar juga merupakan sebuah kelompok diskusi yang mana kegiatan di dalamnya adalah membahas persoalan-persoalan agama dan kehidupan masyarakat, yang dipelopori oleh Kyai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Kyai Mas Mansur, Kyai Mangun, dan Kyai Wahab Hasbullah. M. Masyhur Amin,  NU  dan Ijtihad Politik, hlm. 33. Atau www.nu.online.or.id. . Sejarah NU, hlm. 1.

 

11 Dikatakan kelompok Islam Tradisionalis karena memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Petama, berpegang teguh pada produk fiqh dan kalam serta tasawwuf seperti yang terungkap dalam kitab-kitab kuning dan tidak suka melakukan pembaharuan ajaran Islam. Apa yeng yang terungkap dalam teks kitab itu yang dipegangi secara utuh oleh kelompok  ini. M. Masyhur Amin,  NU  dan Ijtihad Politik, hlm. 11-12.

 

Kedua, tradisi kefeodalan yang masih kental dikalangan mereka, kefeodalan ini nampaknya memperoleh legitimasi dari kitab Ta’lim al-Muta’allim  yang terlalu mengagung-agungkan seorang guru. M. Mashur Amin. “Anatomi Umat Islam”, dalam Bankit, N0. 6, 1993, hlm. 59-62.

 

 Ketiga, pintu ijtihad telah tertutup atau setidak-setidaknya sulit dilakukan, karena syarat-syarat yang harus dipenuhi jauh dari kemungkinan bisa dipenuhi bagi orang biasa. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri (Yogayakarta: LKPSM: 1994), hlm. 11-173.

 

12 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm.9.

 

13 Ali As’ad, ke-NU-an. (Yogyakarta: PWNU DIY Prees, 1981), hlm. 19.

 

14 Ibid., hlm.20.

15 M. Masyhur Amin,  NU  dan Ijtihad Politik, hlm. 47.

 

16 Ibid., hlm. 48.

 

17 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm. 11.

 

18 Ali As’ad, ke-NU-an, hlm. 21.

19 Janji-janji tersebut selanjutnya termaktup di dalam surat resmi Raja Ibnu Sa’ud, Nomor: 2082, tanggal 24 Dzulhijjah H/13 Juni 1928 M. Ali As’ad, ke-NU-an, hlm. 21-22

 

20 Ibid., hlm. 22-23.

21 A. Gafar Karim, Metamorfosis, hlm. 50.

 

22 Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah pada hakekatnya adalah ajaran Islam yang sebenarnya, seperti yang diajarkan dan daiamalkan oleh Rasulullah SAW bersama  para sahabatmnya. Oleh karena itu Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah sudah timbul bersamaan dengan munculnya agama Islam sejak disampaikan syari’ah dan ajarannya oleh Rasulullah SAW. Jadi, golongan Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah adalah golongan pengikut setia ajaran yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran, hlm 39.

 

23 Sekretariat Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasil-hasil Muktamar XXX Nahdhatul Ulama (Jakarta:  Sek. Jen. PBNU, 1999), hlm.23.

 

24 Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota: Aktivitas Muda NU Merambah Jalan Lain, cet. I (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 86.

 

25 Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam: Dalam Perspektif Historis dan Ideologis, cet. I (Yogyakarta: LPPI, 2000), hlm. 58.

 

26 M. Masyhur Amin,  NU  dan Ijtihad Politik, hlm. 80. Lihat juga Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota, hlm. 97.

 

27 Ibid., hlm. 81

 

28 Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota, hlm. 97.

 

29 M. Masyhur Amin,  NU  dan Ijtihad hlm. 83

 

30 Ibid., hlm. 83-84

 

31 Ibid., hlm.  84.

 

32 Ibid., hlm. 85

 

33 Ibid., hlm. 86-88.

 

34 Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota, hlm. 98.

 

35 Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama’,  (Semarang: Toha Putra, t.t.), I: 22.

 

36 Sayyid Bakr ad-Dimyati, Ianah at-Talibin (Semarang: Toha Putra t.t.), hlm. 56.

 

37 A Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’, hlm. 71. Atau Zuhdi Mukhdlor, NU dan Beberapa Soal Keagamaan, cet I (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1992), hlm. 40

 

38 Tim Penyusun, Keputusaan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung 1992, Lajnah wa Ta’lif wa Nasyr, (Semarang: Sumber Barakah, 1993), hlm. 20.

 

39 Sekretariat Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, “Bank Dalam Islam”, materi pelengkap disajikan pada Munas ‘Alim Ulama NU tentang hukum bunga bank, diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Bandar Lampung, 21-25 Januari 1992, hlm. 28-29.

 

40 Ibid.,  hlm. 30-37.

 

41 Tim Penyusun, Keputusan , hlm. 2.

 

42 Ibd., hlm. 22.

43 www.muhammadiyah.online.or.id, Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah, hlm. 1. lihat juga Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah, hlm. 72.

 

 

44 Ibid., hlm. 73.

45 Ibid., hlm. 74.

 

46 Ibid., hlm. 75.

 

47 Ibid. Lihat juga www.muhammadiyah.online.or.id, Latar Belakang, hlm. 1.

 

48 Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah, hlm. 76-77.

 

49 Ibid., hlm. 56

 

50 Ibid., hlm. 57.

51 K.H. Ahmad Dahlan. Ia lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya adalah K.H. Abubakar, seorang Khotib masjid Besar Kesultanan Yogyakarta, yang apabila dilacak silsilahnya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim. Ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim, Penghulu kesultanan Yogyakarta. Pada usia delapan tahun ia telah lancar membaca al-Quran hingga khatam. Kemudian ia belajar fiqh kepada K.H. Muhammad Shaleh, dan nahwu kepada K.H. Muhsin. Keduanya adalah kakak ipar Muhammad Darwis sendiri. Ia juga berguru kepada K.H. Muhammad Nur dan K.H. Abdul Hamid dalam berbagai ilmu. Pada tahun 1889 M ia dinikahkan dengan saudara sepupunya, Siti Walidah, putri K.H. Muhammad Fadil, Kepala Penghulu Kesultanan Yogyakarta. Beberapa bulan setelah pernikahannya, atas anjuran ayah-bundanya, Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji. Ia tiba di Makkah pada bulan Rajab 1308 H (1890 M). Setelah menunaikan umrah, Ia bersilaturahmi dengan para ulama, baik dari Indonesia maupun Arab. Di antaranya, ia mendatangi ulama mazhab Syafi’i Bakri Syata’ dan mendapat ijazah nama Haji Ahmad Dahlan. Ia telah berganti nama, dan juga bertambah ilmunya.  Sepulang dari ibadahnya itu, ia membantu ayahnya mengajar santri-santri remaja. Sehingga, ia mendapat sebutan K.H. Ahmad Dahlan. www.muhammadiyah.online.or.id, Tokoh Pendirinya, hlm, 1-2.

 

52 Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah, hlm. 181.

 

53 Ibid., hlm. 205-206

54 Uraian selengkapnya dapat dilihat dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Persatuan, t.t), hlm. 304-305.

 

 

55 Kata-kata Musytabihat dalam pengertian bahasa adalah perkara yang tidak jelas. Adapun menurut pengertian Syara’ ialah bahwasannya yang halal itu sudah jelas, demikian pula yang haram yaitu yang diterangkan oleh al-Qur’an atau al-Hadits dengan nash-nash sharihnya. Misalnya, daging unta adalah halal untuk dimakan, daging khinzir adalah haram dan lain-lain, selain yang ditentukan hukumnya dengan jelas itu, terdapat beberapa hal yang hukumnya tidak jelas bagi seseorang atau beberapa orang apakah itu halal atau haram, sehingga dari mereka timbul rasa ragu-ragu dan tidak dapat menentukan salah satu diantara dua macam hukum itu. Perkara yang masih meragukan karena tidak jelasnya inilah yang disebut Musytabihat. Ibid., hlm. 307.

1 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. I (Jakarta: Logos Publishing House, 1995 ),  hlm. 128.

2 Ali-Imran (3): 130. dan  al-Baqarah (2): 278-279

 

                3 ِِِAr-Rum (30): 39.

 

4 An-Nisa’ (4): 161.

 

5 Ali Imran (3): 130.

 

6 Al-Baqarah (2): 278-279.

 

7 Uraian tentang penjelasan ayat tersebut di atas, baca Abu Zahra, Buhus fi ar-Riba, (ttp:Dar al-Buhus al-Ilmiyyah, 1970), hlm 25-30.

 

8 Riba nasi’ah  juga disebut riba duyun—yakni riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al-Gummu bi al-Gummi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-Kharaj bi ad-Damam). Transaksi semacam ini karena mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban hanya karena berjalannya waktu. Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi, cet. I (Yogyakarta: Ekonsia,  2003), hlm. 6

 

9 Fuad Zein, “Aplikasi Ushul Fiqh Dalam Mengkaji Keuangan Kontemporer”, dalam Ainur Rafiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, cet. I (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), hlm. 175.

 

10 Ibid., hlm. 176.

11 Ibid., hlm. 177.

 

12 Anwar Abbas “Hukum Bunga Bank Konvensional”,  makalah disampaikan pada diskusi Majlis Tarjih tentang Bunga Bank, diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah, Jakarta, 22 Desember 2003, hlm 1-2.

 

 

13 M. Quraish Syihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. XXVI (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 266.

14 Ibid., hlm. 267

 

15 Tentang hadis di atas, lihat Muslim, Sahih Muslim, “Bab La’ana Akali ar-Riba wa Muawakkalah”. (Bandung: al-Ma’arif, t.t.), I: 697. Hadis sahih riwayat Muslim dari Jabir.

16 Abu Zahrah, ‘Ilm Usul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.), hlm. 151-152.

 

17 Al-Baqarah (2): 279

18 Muhammad Najetullah, Bank Islam, alih bahasa Asep Hikmat Suhendi (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), hlm. 58. Atau Bambang Sugono, Pengantar Hukum Perbankan (Bandung: Mandar Maju, 1996), hlm. 11-16.

 

19 Al-Baqarah (2): 278-279

20 Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama’, (Semarang: Toha Putra, t.t.), II: 71.

 

21 Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Kontenporer, alih bahasa As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 765-766

 

22 Urain selengkapnya dapat dilihat dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Persatuan, t.t), hlm 304-305. Lihat juga Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad,  hlm.129.

 

23 A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri (Yogayakarta: LKPSM: 1994), hlm. 71.

 

24 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan, hlm. 305.

 

25 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad,  hlm. 129.

 

26 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan, hlm. 305.

 

27 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad,  hlm. 130.

28 Ibid., hlm. 131

 

29 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan, hlm. 304-305.

 

 

30 Lihat Abdul Wahab Khallaf, Ilm Usul Fiqh (Kairo: Dar al-Kuwaitiyyah, 1968), hlm. 216.

 

               

31 Soerjono Soekamto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Rajawali Press, 1980),  hlm. 115-116.

 

32 Abd. Salam Arief, “Bank Islam: Suatu Alternatif Pemberdayaan Ekonomi Umat”, dalam, Asy-Syir’ah, No. 7. TH. 2000,  (Yogyakarta: Fak. Syari’ah Press, 2000), hlm. 63-64.

 

33 Al-Baqarah (2): 279.

 

34 Muslim, Sahih Muslim, “Bab as-Sarf wa Bai’ az-Zahab bi al-Waraq Naqdan”. (Bandung: al-Ma’arif, t.t.), hlm, 692. Lihat juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulugu al-Maram (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), I: 170.

 

35 Muhammad Zuhri, Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif, cet. I (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hlm. 109.

36 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad,  hlm. 125-126

 

37 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan, hlm. 304-306.

38 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad,  hlm. 127.

 

39 Ibd.

 

40 Ibid.

 

41 Ibid., hlm. 128.

 

42 Ibid., hlm. 132

 

43 Ibid., hlm. 133.

BATAS-BATAS HAK SUAMI DALAM MEMPERLAKUKAN ISTERI SAAT NUSYUZ DAN KEMUNGKINAN SANKSI PIDANANYA

BAB I

PENDAHULUAN

 

Latar Belakang Masalah

Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara suami dan isteri, bukan saja untuk merealisasikan ibadah kepada-Nya, tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya. Namun demikian, karena tujuan perkawinan yang begitu mulia yaitu untuk membina keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan ketuhanan yang maha Esa, maka perlu diatur hak dan kewajiban antara masing-masing suami dan isteri tersebut. Apabila hak dan kewajiban mereka terpenuhi, maka dambaan berumah tangga dengan didasari rasa cinta dan kasih sayang akan dapat terwujud.[1]

Konsep sebuah “keluarga” biasanya tidak dapat dilepaskan dari empat perspektif berikut: (1) keluarga inti (nuclear family); bahwa institusi keluarga terdiri dari tiga komponen pokok, suami, isteri dan anak-anak. (2) keluarga harmonis. (3) keluarga adalah kelanjutan generasi. (4) keluarga adalah keutuhan perkawinan. Dari keempat perspektif ini bisa disimpulkan bahwa institusi keluarga (rumah tangga) adalah suatu kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu (yang terikat dalam perkawinan), anak-anak yang bertalian erat dengan unsur kakek-nenek serta saudara yang lain, semua menunjukkan kesatuanya melalui harmoni dan adanya pembagian peran yang jelas.[2]

Umumnya setiap orang yang akan berkeluarga pasti mengharapkan akan terciptanya kebahagiaan dan keharmonisan dalam rumah tangganya. Namun kanyataanya tidak selalu sejalan dengan harapan semula. Ketegangan dan konflik kerap kali muncul, perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, saling mengejek atau bahkan memaki pun lumrah terjadi, semua itu sudah semestinya dapat diselesaikan secara arif dengan jalan bermusyawarah, saling berdialog secara terbuka. Dan pada kenyataannya banyak persoalan dalam rumah tangga meskipun terlihat kecil dan sepele namun dapat mengakibatkan terganggunya keharmonisan hubungan suami isteri. Sehingga memunculkan apa yang biasa kita kenal dalam hukum Islam dengan istilah nusyuz.

Istilah nusyuz atau dalam bahasa Indonesia biasa diartikan sebagai sikap membangkang, merupakan status hukum yang diberikan terhadap isteri maupun suami yang melakukan tindakan pembakangan atau “purik” (Jawa) terhadap pasanganya. Dan ini bisa disebabkan oleh berbagai alasan, mulai dari rasa ketidakpuasan salah satu pihak atas perlakuan pasanganya, hak-haknya yang tidak terpenuhi atau adanya tuntutan yang berlebihan terhadapnya. Jadi persoalan nusyuz seharusnya tidak selalu dilihat sebagai persoalan perongrongan yang dilakukan salah satu pihak terhadap yang lain, tetapi juga terkadang harus dilihat sebagai bentuk lain dari protes yang dilakukan salah satu pihak terhadap kesewenang-wenangan pasangannya.

Selama ini memang persoalan nusyuz terlalu dipandang sebelah mata. Artinya, nusyuz selalu saja dikaitkan dengan isteri, dengan anggapan bahwa nusyuz merupakan sikap ketidakpatuhan isteri terhadap suami. Sehingga isteri dalam hal ini selalu saja menjadi pihak yang dipersalahkan. Begitu pula dalam kitab-kitab Fiqh, persoalan nusyuz seakan-akan merupakan status hukum yang khusus ada pada perempuan (isteri) dan untuk itu pihak laki-laki (suami) diberi kewenangan atau beberapa hak dalam menyikapi nusyuznya isteri tersebut. Tindakan pertama yang boleh dilakukan suami terhadap isterinya adalah menasehatinya, dengan tetap mengajaknya tidur bersama. Tidur bersama ini merupakan simbol masih harmonisnya suatu rumah tangga. Apabila tindakan pertama ini tidak membawakan hasil, boleh diambil tindakan kedua, yaitu memisahi tempat tidurnya. Apabila dengan tidakan kedua isteri masih tetap tidak mau berubah juga, suami diperbolehkan melakukan tindakan ketiga yaitu memukulya.[3] Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qur’an dalam surat an-Nisa’ (2): 34.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri disebutkan dalam pasal 80 ayat (7), “kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila isteri nusyuz”.[4] Yang dimaksud dengan kewajiban suami di sini adalah kewajiban memberi nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri. Seperti yang telah dijelaskan dalam ayat (4) dalam pasal yang sama sebelumnya.

Tindakan-tindakan yang bisa dilakukan suami tersebut sepertinya sudah menjadi hak mutlaknya dengan adanya justifikasi hukum yang menguatkannya. Dan hal itu dapat ia lakukan setiap kali ada dugaan isterinya melakukan nusyuz. Dalam suatu kutipan kitab klasik dinyatakan, “nusyuz ialah wanita-wanita yang diduga meninggalkan kewajibannya sebagai isteri karena kebenciannya terhadap suami, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suami dan menentang suami dengan sombong.[5]

Apabila dipahami dari pernyataan dalam kitab tersebut, baru pada taraf menduga saja seorang suami sudah boleh mengklaim isterinya melakukan nusyuz, jelas posisi isteri dalam hal ini rentan sekali sebagai pihak yang dipersalahkan. Isteri tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pembelaan diri, apalagi mengkoreksi tindakan suaminya. Sebaliknya, suami mempunyai kedudukan yang sangat leluasa untuk menghukumi apakah tindakan isterinya sudah bisa dikatakan sebagai nusyuz atau tidak.

Orang sering mengkaitkan konsep nusyuz sebagai pemicu terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini ada benarnya juga, karena jika isteri nusyuz suami diberikan berbagai hak dalam memperlakukan isterinya. Mulai dari hak untuk memukulnya, menjahuinya, tidak memberinya nafkah baik nafkah lakhir maupun batin dan pada akhirnya suami juga berhak menjatuhkan talak terhadap isterinya. Tentu saja pihak isteri yang terus menjadi korban eksploitasi baik secara fisik, mental maupun seksual. Hal itu diperparah lagi dengan belum adanya aturan yang jelas dalam memberikan batasan atas hak-hak suami tersebut, sehingga kesewenang-wenangan suami dalam hal ini sangat mungkin sekali terjadi. Oleh karena itu ketika berbicara persoalan isteri yang nusyuz dan hak-hak yang menjadi kewenangan suami, perlu juga diajukan batasan-batasan hak suami itu sendiri secara jelas.

Di pihak lain perlu juga diupayakan agar terciptanya sebuah ruang bagi isteri untuk bisa melakukan pembelaan atas kemungkinan segala tindak kekerasan terhadap dirinya. Dan hal itu bisa dilakukan dengan menyediakan seperangkat aturan hukum pidana yang dapat melindungi terjadinya tindak kekerasan terhadap mereka. Hal itu ditempuh karena persoalan nusyuz berangkat dari aturan hukum yang telah diterima oleh masyarakat sehingga dalam upaya menyikapinya pun harus menggunakan perspektif hukum pula. Dan itu dapat diupayakan jika batas-batas hak suami dalam memperlakukan isteri saat nusyuz telah jelas aturannya, sehingga jika sewaktu-waktu suami melampaui batas-batas yang menjadi haknya, isteri dapat melakukan tuntutan pidana.    

Di sinilah yang menjadi nilai penting dari penelitian dalam skripsi ini nanti, disamping untuk mengetahui sampai di mana batas-batas hak suami dalam memperlakukan isterinya yang nusyuz sekaligus menegaskan adanya kemungkinan sanksi pidana atas suami yang melampaui batas-batas haknya tersebut. Hal ini dengan tujuan untuk melindungi isteri dari  tindakan sewenang-wenang suami. Apalagi dengan adanya rencana untuk menjadikan persoalan pidana dalam rumah tangga menjadi wewenang pengadilan agama.

 

Pokok Masalah

Berangkat dari latar belakang permasalahan di atas, maka pokok masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:

  1. Sampai mana batasan hak-hak suami dalam memperlakukan isteri yang nusyuz.                                                                   
  2. Adakah ketentuan sanksi pidana dalam menindak suami yang melampaui batas-batas haknya tersebut.

 

Tujuan dan Kegunaan

Tujuan

a. Mengetahui sampai di manakah batas-batas hak suami dalam                                                                                                                           memperlakukan isterinya saat nusyuz.

b. Menemukan ketentuan hukum dalam bemberikan sanksi pidana terhadap suami yang melampaui batas-batas haknya dalam memperlakukan isterinya yang nusyuz.

Kegunaan

  1. Sebagai sumbangsih pemikiran dalam persoalan nusyuz agar lebih memiliki nilai keadilan.
  2. Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan Islam khususnya dalam bidang keluarga Islam.
  3. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pembuat hukum dalam merumuskan ketetapan-ketetapan hukum, khususnya yang berkaitan dengan upaya perlindungan hukum bagi perempuan atas kekerasan dalam rumah tangga.

 

Telaah Pustaka

Sejauh telaah yang telah dilakukan oleh penyusun atas berbagai karya tulis baik berupa buku-buku ilmiah, skripsi, jurnal, ataupun yang lain, telah banyak ditemukan karya-karya yang membahas persoalan nusyuz, hal ini tentu saja karena tema nusyuz sendiri termasuk dalam kategori persoalan klasik. Namun dalam mencari referensi yang membicarakan tentang batas-batas hak suami dalam memperlakukan isterinya saat nusyuz dan mengkaitkannya dengan kemungkinan sanksi pidananya maka penyusun belum menemukan adanya sebuah karya yang membahasnya dalam satu bahasan secara khusus. Hal ini mungkin karena kedua persoalan tersebut berasal dari dua wilayah hukum yang berbeda, yang satu dari wilayah hukum agama yang bersifat privat sedangkan yang satunya dari wilayah hukum negara yang bersifat publik.

Di antara telaah yang sudah dilakukan penyusun terhadap karya-karya yang terbatas itu terdapat beberapa karya yang relevan dengan penelitian ini yang mencoba mengkorelasikan kedua persoalan tersebut, yaitu karya-karya yang mencoba mengupas persoalan nusyuz sebagai bagian isu-isu wacana keperempuanan kontemporer baik itu yang berupa refleksi pemikiran dalam menggukuhkan pemahaman yang telah ada ataupun upaya untuk mendiskontruksinya. Dan di antara karya-karya yang dapat disebutkan di sini adalah:

Wajah Baru Relasi Suami-Isteri; Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn, yang dikeluarkan oleh Forum Kajian Kitab Kuning (FK3). Buku ini merupakan sebuah telaah secara kritis terhadap kitab ‘Uqud al-Lujjayn karangan syaikh an-Nawawi yang sangat popular di kalangan pesantren. Dalam membicarakan hak-hak suami ketika memperlakukan isterinya yang nusyuz, pembahasannya diawali dengan menjelaskan makna surat al-Nisa’ (4):34. “Dan pisahlah dari tempat tidur mereka”, maksudnya adalah para suami dianjurkan untuk meninggalkan para isteri dari tempat tidur mereka bukan menghindari berbicara dan memukul. Sebab, memisahkan diri dari tempat tidur memberi dampak yang jelas dalam mendidik wanita. Sedangkan kalimat “dan pukullah mereka”, maksudnya adalah wanita-wanita yang nusyuz itu boleh dipukul dengan pukulan yang tidak membahayakan tubuh, hal itu dilakukan kalau memang membawa faedah. Jika tidak, maka tidak perlu melakukan pemukulan. Bahkan lebih baik jika suami memaafkan.[6]

Sebuah skripsi hasil penelitian lapangan dengan judul, “Nusyuz Sebagai Alasan Penolakan Memberi Nafkah (Studi Analisis Terhadap Putusan PA. Seleman)” yang disusun oleh Isa Ansari. Setelah dilakukan penelitian ternyata dalam memutuskan persoalan nusyuz kreteria yang dipakai oleh PA. Sleman adalah sebagaimana yang ada dalam Hukum Islam serta penafsiran hakim terhadap prinsip-prinsip yang ada. Yaitu perbuatan isteri meminta cerai kepada suami tanpa ada uzur (alasan yang dibenarkan syar’i) dan isteri meninggalkan kediaman bersama tanpa izin dari suami serta tidak mau diajak tinggal di rumah kediaman bersama. Dan dalam membuktikan terjadinya nusyuz tersebut PA. Sleman mendasarkan pada alat bukti saksi-saksi, pengakuan dan alat bukti persangkaan, hal ini sebagaimana disebut dalam surat keputusanya No. 23 / pdt.G / 94 / PA. Slm. No. 185 / pdt.G / 94 / PA. Slm. Dan No. 197 / pdt.G / 94 / PA. Slm.[7]

Skripsi tentang “Korelasi nusyuz dengan Kekerasan Terhadap Isteri, Studi Kasus di Rifka Annisa’ Women’s Crisis Center Yogyakarta” yang disusun oleh Wahid Hasyim. Sebagai hasil kesimpulan dari penelitiannya ia menyatakan bahwa nusyuz bukan merupakan sebab tunggal dan mandiri dari kekerasan rumah tangga, tetapi merupakan rangkaian peristiwa yang rumit dalam lingkaran kekerasan terhadap isteri. Di satu sisi nusyuz menjadi sebab pemicu kekerasan tetapi di sisi yang lain nusyuz adalah respon isteri terhadap tindak kekerasan suami. Dengan kata lain, kekerasan dan nusyuz telah menjadi cara dan pola komunikasi antara suami isteri.[8]

Skripsi studi tokoh, “Nusyuz Dalam Pandangan Amina Wadud Dan Relasinya Dengan Upaya Penghapusan Kekerasan Terhadap Isteri”yang disusun oleh Nailis Sa’adah. Pada bagian akhir pembahasannya penyusun mengemukakan kesimpulannya tentang pandangan Amina Wadud tentang nusyuz yang lakhir dari penafsirannya terhadap ayat 34 surat an-Nisa’. Amina wadud mendefinisikan nusyuz tidak lain hanya sebatas pengertian gangguan keharmonisan rumah tangga, dan bukan kedurhakaan isteri terhadap suami sebagaimana pendapat para mufassir pada umumnya. Karena menurutnya nusyuz tidak hanya disebabkan oleh pihak isteri saja, tetapi juga pihak suami. Oleh karena itu menurut Amina Wadud usaha penyelesaianya pun harus ditempuh secara harmonis pula, tidak boleh dengan kekerasan.[9]

Skripsi studi tokoh dengan judul “Studi Terhadap Ibn Hazm Tentang Nafkah Isteri Nusyuz”, yang disusun oleh Lindra Darnela. Sebagai sebuah kesimpulan atas studinya terhadap Ibn Hazm penyusun memberikan kesimpulannya bahwa menurut Ibn Hazm Suami berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya meskipun isterinya itu dalam keadaan nusyuz. Kerena menurut Ibn Hazm ukuran kewajiban suami dalam memberikan nafkak kepada isterinya itu adalah karena telah terjadinya akad nikah semata, jadi selama ikatan perkawinan itu masih ada, suami masih tetap wajib memberikan nafkah kepada isterinya itu dalam keadaan apa pun.[10]

Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan, tentang isu-isu keperempuanan dalam Islam, karya Syafiq Hasyim. Di sini banyak masalah-masalah keperempuanan  yang telah dikonsepsikan pada masa klasik dicoba untuk diurai kembali (dekontruksi) sebagai langkah awal dalam upaya memperjuangkan nasib perempuan baik dalam wilayah publik maupun domestik. Dalam wilayah domestik, salah satunya adalah dengan usaha menafsirkan kembali konsep nusyuz yang selama ini lebih mengarah pada pengukuhan otoritas kaum laki-laki dan subordinasi kaum perempuan dalam rumah tangga. Fiqh menurutnya tampak hanya mempertimbangkan kepentingan laki-laki sehingga kedudukan perempuan dalam hal ini sangat lemah. Untuk itu dalam memahami persoalan nusyuz menurutnya harus mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, prinsip keadilan. Kedua, prinsip Mu’asyarah bil Ma’ruf. Kedua prinsip ini pada dasarnya merupakan prinsip umum dari keseluruhan tata hubungan suami isteri. Baik isteri maupun suami, masing-masing harus saling mempergauli secara baik. Apabila prinsip ini benar-benar dilaksanakan, kecil kemungkinan akan terjadinya nusyuz.[11]

Perempuan Kekerasan dan Hukum. Buku yang ditulis oleh Aroma Elmina Martha ini diawali dengan uraian panjang tentang fenomena kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan dalam wilayah domestik atau rumah tangga. Walaupun istilah kekerasan terhadap perempuan sendiri tidak digunakan dalam rumusan hukum. KUHP telah menempatkan masalah kekerasan terhadap perempuan sebagian besar dalam bab kejahatan dan kesusilaan yang termuat dalam bab XIV. Begitu pula pasal 356 tentang penganiayaan terhadap anggota keluarga termasuk terhadap isteri dimasukkan dalam bab penganiayaan.

Pasal-pasal 351, 354 dan 355, yang semuanya mengatur tentang penganiayaan, justru hukumnya diperberat dengan menambah sepertiganya, jika kejahatan tersebut dilakukan kepada ibunya, bapaknya, isteri (suami) atau anak. Secara sepesifik, domestic violence diletakkan sebagai unsur yang memberatkan (aggravating circumtances). Dan dalam KUHP sendiri tindak kekerasan yang telah diatur lebih banyak merupakan tindak kekerasan fisik, seperti pornografi, perkosaan, perbuatan cabul, penganiayaan, pembunuhan dan penculikan. Lebih lanjut lagi dijelaskan, bahwa sejumlah tindak kekerasan fisik lainnya tidak diberi sanksi pidana, dan akibatnya adalah walaupun terjadi viktimisasi terhadap perempuan, tidak dilakukan tindakan hukum apa pun terhadap perempuan, misalnya incest, marital rape dan sexual harrasment.[12]

 

Kerangka Teoritik

Secara etimologis, nusyuz berarti “menentang” (al-isyan). Istilah nusyuz sendiri diambil dari kata al-nasyaz, artinya bangunan bumi yang tertinggi (ma-irtafa’a minal ardi). Makna ini sesuai dengan pengertian yang ada dalam surat al-Mujadalah (58):11, “waiz\a qila unsyuzu”. Secara terminologis nusyuz berarti tidak tunduk kepada Allah SWT. untuk taat kepada suami.[13] Sedangkan menurut Imam Ragib sebagaimana dikutip oleh Asghar Ali Engineer dalam bukunya menyatakan bahwa nusyuz merupakan perlawanan terhadap suami dan melindungi laki-laki lain atau mengadakan perselingkuhan.[14]

Al-Tabari juga mengasumsikan makna kata nusyuz ini dengan mengartikannya sebagai  suatu tindakan bangkit melawan suami dengan kebencian dan mengalihkan pandangan dari suaminya. Dia juga mengatakan makna literer dari nusyuz adalah menentang dan melawan. Sedangkan menurut az-Zamakhsyari, ia mengatakan nusyuz bermakna menentang suami dan berdosa terhadapnya (an ta’s\a zawjaha). Imam Fakhr al-Din al-Razi juga berpendapat bahwa nusyuz juga dapat berupa perkataan (qawl) atau perbuatan (fa’l). Artinya, ketika isteri tidak sopan terhadap suaminya ia berarti nusyuz dengan perkataan dan ketika ia menolak tidur bersamanya atau tidak mematuhinya maka ia telah nusyuz dalam perbuatan (fa’l).[15]

Rumusan konsep nusyuz yang lebih menyudutkan pihak perempuan tersebut, menimbulkan implikasi tidak hanya dalam memahami makna ayat al-Qur’an yang membicarakanya, seperti pada surat an-Nisa’ (4): 34 dan 128 tetapi juga berimplikasi dalam memahami kedudukan dan hak-hak perempuan dalam Islam. Ayat dari surat tersebut banyak dikutip oleh para ahli hukum Islam untuk menunjukkan bahwa perempuan benar-benar berada di bawah laki-laki dan bahwa laki-laki memiliki hak-hak tertentu dalam memperlakukannya, terutama saat perempuan itu (isteri) melakukan pembangkangan atau nusyuz.

Hak-hak yang dimiliki laki-laki (suami) dalam memperlakukan isterinya yang sedang nusyuz dengan mengacu pada surat an- Nisa’ (4) 34 ada tiga macam: (1) menasehati isteri yang sedang nusyuz. (2) memisahi ranjangnya. (3) boleh memukulnya. Walaupun dalam memahami ketiga hal tersebut banyak memunculkan penafsiran-penafsiran yang berbeda mengenai tujuannya, apakah murni sebagai pendidikan (li-ta’z\ib) atau lebih merupakan sebagai bentuk penghukuman suami terhadap isterinya. Kebanyakan panafsir klasik sepakat bahwa pemukulan tersebut dilakukan setelah dicoba berbagai cara untuk mempengaruhi isteri, jika dia tetap keras kepala baru diberikan pukulan ringan, bukan untuk melukai tapi untuk menghukum. Namun apa pun alasannya perosalan hak-hak suami dalam memperlakukan isteri yang nusyuz kiranya tetap saja menjadi ajang legitimasi yang membolehkan tindak kekerasan suami terhadap isteri.

Hal itu tentu saja berkaitan dengan batas-batas pengertian nusyuz yang belum jelas dan juga pemberian status hukum nusyuz yang merupakan hak seorang suami. Artinya, suami berhak menentukan apakah isterinya melakukan nusyuz atau tidak. Seperti halnya yang dijelaskan dalam kitab ‘Uqud al-Lujjayn tentang beberapa hal yang membolehkan seorang memukul isterinya antara lain; jika isteri menolak berhias dan bersolek di hadapan suami, menolak ajakan untuk tidur, keluar rumah tanpa izin, memukul anak kecilnya yang sedang menangis, mencaci maki orang lain, menyobek-nyobek pakaian suami, menarik jenggot suami (sebagai penghinaan), mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, seperti bodoh, dungu. Meskipun suaminya mencaci lebih dahulu, menampakkan wajahnya kepada orang lain yang bukan mahramnya, memberikan harta suami di luar batas kewajaran, menolak menjalin hubungan kekeluargaan dengan saudara-saudara suami.[16]

Begitu pula ketika kita mencoba memahami hak suami dalam memisahi ranjang isteri yang nusyuz. Tidak ada ketentuan yang menjelaskan secara terperinci sampai dimana batasan-batasannya. Walaupun ada sebagian ulama’ yang berpendapat bahwa hijr yang dilakukan suami itu boleh dilakukan asal tidak melebihi tiga hari. Sedangkan yang lain berpendapat dengan menganalogikannya pada batas hak ila’ yaitu empat bulan. Meskipun begitu perlakuan hijr suami itu sendiri  dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual terhadap isteri. Sebab jika dikembalikan lagi pada tujuan asal perkawinan yang salah satunya adalah untuk pemenuhan kebutuhan biologis, maka sikap tidak perduli terhadap kebutuhan biologis pasangannya yang ditunjukkan dengan cara menjahui ranjangnya dan menghindari dalam berhubungan seks merupakan tindakan yang salah. Karena kebutuhan itu tidak hanya merupakan hak suami saja namun juga merupakan hak isteri.[17] Seperti yang dijelaskan oleh beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menyinggung tentang arti pentingnya penyaluran kebutuhan biologis secara sehat dan benar. Di antaranya yaitu;

أحل لكم ليلة الصيام الرفث الى نسائكم هن لباس لكم وأنتم لباس لهن علم الله انكم كنتم تختانون انفسكم فتاب عليكم وعفاعنكم[18]

Dalam ayat yang lain;

 

نسائكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم[19]

      

Tidak hanya sebatas hak untuk memisahi ranjang dan memukul, suami pun masih memiliki hak yang lain dalam memperlakukan isterinya yang sedang nusyuz seperti pencegahan nafkah dan penjatuhan talak. Untuk pencegahan nafkah hal ini seperti yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), sesuai dengan penghasilan suami menanggung:

nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri

biaya pengobatan bagi isteri dan anak

biaya pendididkan bagi anak

Kewajiban-kewajiban di atas diperjelas lagi dengan ayat (5) kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya. Begitu pula pada ayat (7) dijelaskan lagi dengan menyatakan; kewajiban suami sebagaimana dimaksud pada ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.[20]

Harus dicatat, pemberian nafkah itu berarti meliputi makanan, tempat tinggal dan pakaian. Dan hal itu wajib bagi suami ketika isteri mulai tinggal bersamanya dan mengizinkan hubungan badan setelah pernikahan, asalkan tentu saja isteri mampu untuk itu.[21] Oleh karena itu sudah semestinya jika kewajiban itu tidak hilang hanya karena perkara-perkara sepele seperti hal-hal yang diklaim suami terhadap isterinya saat nusyuz. Menurut Ibnu Hazm bahwa apa pun alasannya memberi nafkah merupakan kewajiban pihak suami sejak terjalinnya akad nikah baik suami mengajak hidup serumah atau tidak, baik isteri masih dibuaian, atau berbuat nusyuz atau tidak, kaya atau fakir, masih punya orang tua atau telah yatim, gadis atau janda, merdeka atau budak, semua disesuaikan dengan keadaan dan kesanggupan suami.[22] Tidak mudah sebenarnya melacak sebab-sebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, karena tidak bisa dipungkiri kondisi sosial masyarakat kita masih beranggapan bahwa persoalan dalam rumah tangga merupakan sesuatu yang tabuh diungkapkan karena hal itu adalah urusan internal dan privasi sebuah keluarga.

Setidaknya ada beberapa faktor yang berpeluang dalam menimbulkan tindak kekerasan dalam rumah tangga khususnya terhadap isteri. Salah satunya adalah kekeliruan dalam memahami ajaran agama. Seperti kekeliruan dalam memahami surat An-Nisa’ (4):34 yang  sering dianggap sebagai pembolehan pemukulan suami terhadap isteri. Atau juga juga terhadap ayat dalam surat al-Baqarah (2):223 yang banyak dipahami sebagai pemberian hak terhadap suami dalam melakukan eksploitasi seksual terhadap isteri.[23] Semua itu tentu saja tidak terlepas dari asumsi dasar bahwa laki-laki adalah pemimpin atas perempuan dan mereka merupakan pihak yang berkuasa. Paradigma kekuasaan semacam itu tampaknya juga melakhirkan implikasi dalam teori perkawinan. Islam memandang bahwa perkawinan merupakan perjanjian yang menghalalkan laki-laki dan perempaun untuk menikmati naluri seksualnya. Melalui akad ini, isteri dianggap milik laki-laki atau suami dengan kepemilikan intifa’. Meskipun menurut sebagian ulama Syafi’iyyah, akad nikah bukanlah akad tamlik (kepemilikan), melainkan akad ibadah (pilihan).[24]

Sementara itu, seperti yang diketahui walaupun istilah kekerasan terhadap perempuan belum digunakan dalam rumusan hukum. KUHP menempatkan sebagian besar dalam bab kejahatan dengan kesusilaan. Khusus tentang penganiayaan terhadap anggota keluarga termasuk terhadap isteri dijelaskan dalam pasal 356 dalam bab penganiayaan. Dalam pasal itu disebutkan bahwa pidana dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, isterinya atau anaknya.[25]

Metode Penelitian

Jenis penelitian

Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian pustaka (Library research), yaitu suatu penelitian yang sumber datanya diperoleh dari pustaka, buku-buku atau karya-karya tulis yang relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Sumber tersebut diambil dari berbagai karya yang membicarakan mengenai persoalan-persoalan keluarga, hak-hak dan perlindungan terhadap perempuan, kekerasan dalam rumah tangga dan beberapa literatur tentang hukum pidana baik dari perspektif Islam maupun hukum positif.

Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, digunakan untuk melakukan inventarisasi dan identifikasi secara kritis analitis dengan melalui proses klasifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang telah berlaku selama ini dengan tujuan pertama menetapkan kreteria identifikasi untuk menyeleksi manakah norma-norma yang dapat disebut sebagai norma hukum positif, mana yang bersifat sebagai norma sosial, dan mana yang bersifat non hukum. Kedua, melakukan koreksi terhadap norma-norma yang teridentifikasi sebagai norma hukum (positif). Ketiga, mengorganisir norma-norma yang sudah diidentifikasi dan dikumpulkan ke dalam suatu sistem yang kompherensif.[26]

Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah normatif-  yuridis,pendekatan tersebut dipakai untuk menemukan asas atau doktrin hukum positif yang berlaku,[27] berupa Pendapat-pendapat ahli hukum baik hukum Islam maupun hukum positif umum untuk selanjutnya dianalisa secara kritis. Tidak lupa pula dengan mengadakan telaah terhadap fakta-fakta hukum yang relevan kemudian mengkorelasikannya dengan doktrin dan asaa-asas hukum tersebut.

Tekhnik pengumpulan data

Tehnik yang digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah tehnik dokumentatif. Yaitu dengan mengumpulkan data primer yang diambil dari buku-buku yang secara lansung berbicara tentang permasalahan yang diteliti dan juga dari data-data sekunder yang secara tidak langsung membicarakannya namun relevan untuk dikutip sebagai pembanding.

Analisa data

Sedangkan metode yang dipakai dalam menganalisa data agar diperoleh data yang memadai dan valid adalah dengan mengunakan analisa data kualitatif. Dalam oprasionalnya, data yang telah diperoleh digeneralisir, diklasifikasikan kemudian dianalisa dengan mengunakan penalaran induktif dan deduktif. Penalaran induktif dalam prosesnya bertolak dari premisa-premisa yang berupa norma-norma hukum yang diketahui, dan berakhir (sementara) pada penemuan asas-asas atau doktrin hukum.[28] Aplikasi dari metode tersebut dalam penelitian ini adalah bertitik tolak dari upaya untuk menemukan asas-asas dan doktrin hukum tentang Batas-batas Hak Suami dalam Memperlakukan Isterinya yang Nusyuz yang telah ada untuk digeneralisir, diklasifikasi dan dianalisa guna menemukan pemahaman baru yang lebih komprehensif dan sistematis. Sedangkan penalaran deduktif dipakai untuk mengimplementasikan norma-norma hukum in abstracto yang telah ditemukan tersebut untuk dijadikan titik tolak dalam melihat dan menilai masalah in concreto, yaitu terjadinya perlakuan suami yang melampaui batas-batas haknya dan kemungkinan sanksi pidananya.

 

Sistematika pembahasan

Dalam upaya mengkaji pokok permasalahan yang ingin digali dalam skripsi ini, penyusun mencoba untuk menguraikannya dalam lima bab bahasan, dimana antara masing-masing bab diposisikan saling memiliki korelasi yang saling berkaitan secara logis. Seperti biasa dalam skripsi nanti akan diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan bab kelima, yaitu penutup.

Bab pertama tentang pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah untuk memberikan penjelasan mengapa penulisan ini perlu dilakukan. Apa yang melatarbelakangi penelitian ini. Rumusan masalah dimaksudkan untuk mempertegas pokok-pokok masalah yang akan diteliti agar lebih terfokus. Kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan kegunaan penelitian untuk menjelaskan tujuan dan urgensi penelitian ini. Setelah itu telaah pustaka untuk memberikan penjelasan dimana posisi penulis dalam hal ini, dimana letak kebaharuan penelitian ini. Sedangkan kerangka teoritik merupakan tinjauan sekilas mengenai beberapa pandangan atau pendapat-pendapt tokoh tentang obyek bahasan yang diteliti. Adapun metodologi dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana cara yang akan dilakukan penulis dalam penelitian ini, pendekatan apa yang dipakai dan bagaimana langkah-langkah penelitian tersebut akan dilakukan. Terakhir sistematika pembahasan adalah untuk memberikan gambaran secara umum, sistematis, logis dan korelatif mengenai krangka bahasan penelitian.

 Bab kedua berisi tinjauan umum tentang nusyuz, yang mencakup pengertian nusyuz, bentuk-bentuk perbuatan nusyuz, dasar hukum perbuatan nusyuz dan akibat hukumnya. Hal ini penting dikemukakan meskipun secara umum, sebab tinjauan ini merupan pintu gerbang untuk memasuki pembahasan yang lebih spesifik dalam bab-bab berikutnya.

Bab ketiga berbicara tentang hak-hak suami dan batasan-batasannya dalam memperlakukan isteri yang nusyuz, bab ini merupakan pokok masalah pertama yang diteliti. Peneliti dalam hal ini akan mencoba mendiskripsikan berbagai pendapat atau ide-ide dari berbagai pemikir hukum Islam mengenai persoalan tersebut, sekaligus melakukan analisa secara kritis-analitis dalam menyaring setiap pendapat dari ulama yang telah ada dan memperbandingkannya dengan penafsiran kaum pemikir kontemporer guna menemukan sebuah pemahaman baru yang lebih  kontekstual dengan tuntutan kekinian. 

Bab keempat mengupas seputar tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri yang nusyuz dan kemungkinan sanksi pidana. Dalam bab ini peneliti akan mencoba mengkorelasikan hak-hak suami dalam memperlakukan isteri saat nusyuz dengan rentanya tindak kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga, yang salah satunya dipicu oleh pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama, seperti dalam memahami persoalan nusyuz. Begitu pula dalam bab ini peneliti akan mencoba mendiskripsikan mengenai ketentuan-ketentuan hukum pidana yang mengatur permasalah tindak kekerasan terhadap isteri. Hal ini merupakan upaya menemukan kemungkinan sanksi pidana terhadap suami melakukan tindak kekerasan terhadap isterinya yang nusyuz, walaupun dalam hal ini ia memiliki beberapa hak dalam memperlakukannya.

 Bab kelima penutup yang mencakup kesimpulan sekaligus saran-saran berkaitan dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh penyusun sekaligus diajukan sebagai jawaban atas pokok masalah.

Pada bagian akhir dari skripsi ini juga memuat hal-hal penting dan releven dengan penelitian yang tidak perlu dimuat pada bagian utama, terdiri atas daftar pustaka, lampiran-lampiran dan curriculum vitae.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG NUSYUZ

 

Pengertian Nusyuz

Menurut bahasa nusyuz adalah masdar atau infinitive dari kata, نشز, ينشز  yang mempunyai arti tanah yang terangkat tinggi ke atas.[29] ‘Ali as-Sabuni dalam tafsirnya mengatakan bahwa:     [30]النشزالمكان المرتفع ومنه تل ناسزأى مرتفع  Sedangkan menurut al-Qurtubi:  ما إرتفع من الأرض(suatu yang terangkat ke atas dari bumi).[31] Adapun Ahmad Warson al-Munawwir dalam kamusnya memberi arti nusyuz dengan  arti sesuatu yang menonjol di dalam, atau dari suatu tempatnya. Dan jika konteksnya dikaitkan dengan hubugan suami-isteri maka ia mengartikan sebagai sikap isteri yang durhaka, menentang dan membenci kepada suaminya.[32]

Menurut terminologis, nusyuz mempunyai beberapa pengertian di antaranya: Menurut fuqaha Hanafiyah seperti yang dikemukakan Saleh Ganim mendefinisikanya dengan ketidaksenangan yang terjadi diantara suami-isteri. Ulama mazhab Maliki berpendapat  bahwa nusyuz adalah saling menganiaya suami isteri. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah nusyuz adalah perselisihan diantara suami-isteri, sementara itu ulama Hambaliyah mendefinisikanya dengan ketidak-senangan dari pihak isteri atau suami yang disertai dengan pergaulan yang tidak harmonis.[33]

Menurut Ibnu Manzur, secara terminologis nusyuz ialah rasa kebencian suami terhadap  isteri atau sebaliknya.[34] Sedangkan menurut Wahbah Az-Zuhaili, guru besar ilmu fiqh dan ushul fiqh pada Universitas Damaskus, mengartikan nusyuz sebagai ketidakpatuhan atau kebencian suami kepada isteri terhadap apa yang seharusnya dipatuhi, begitu pun sebaliknya.[35]

Isteri yang melakukan nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam  didifinisikan sebagai sebuah sikap ketika isteri tidak mau melaksanakan kewajibannya yaitu kewajiban utama berbakti lakhir dan batin kepada suami dan kewajiban lainnya adalah menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.[36]

Bagi sebagian ulama berpendapat bahwa nusyuz tidak sama dengan syiqaq, karena nusyuz dilakukan oleh salah satu pasangan dari suami-isteri. Nusyuz berawal dari salah satu pihak, baik dari isteri maupun suami bukan kedua-duanya secara bersama-sama, karena hal tersebut bukan lagi merupakan nusyuz melainkan dikategorikan sebagai syiqaq.[37] Begitu pula mereka membedakan antara nusyuz dan i’radh.[38] Menurut mereka, dengan memperbandingkan antara surat an-Nisa’ (4): 34 dengan an-Nisa’ (4): 128 dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa pengertian kata nusyuz lebih menyeluruh dari pada kata i’radh. Hal ini tentu saja dikarenakan kandungan arti kata nusyuz melingkupi seluruh jenis perlakuan buruk dari suami dan isteri dalam hidup rumah tangga. Sedangkan i’radh hanya sebatas beralihnya perhatian suami dari isterinya kepada sesuatu yang lain.

Dari pengertian di atas, ternyata  para ulama memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lainya. Dan sebagai kesimpulannya,  disamping perbuatan nusyuz selain mungkin saja dilakukan oleh seorang isteri, juga mungkin bila dilakukan oleh seorang suami, jika suami tidak mempergauli isterinya dengan baik atau ia melakukan tindakan-tindakan yang melebihi batas-batas hak dan kewenangannya dalam memperlakukan isteri yang nusyuz sebagaimana yang digariskan oleh ajaran agama.

 

Dasar Hukum Perbuatan Nusyuz

Dalam kehidupan rumah tangga, tidak selalu terjadi keharmonisan, meskipun jauh dari sebelumnya, sewaktu melaksanakan perkawinan dikhutbahkan agar suami-isteri bisa saling menjaga untuk dapat terciptanya kehidupan yang mawaddah warahmah diantara mereka. Akan tetapi, dalam kenyataanya konflik dan kesalah-pahaman diantara mereka kerap kali terjadi sehingga melunturkan semua yang diharapkan.

Timbulnya konflik dalam rumah tangga tersebut pada akhirnya kerap kali mengarah pada apa yang disebut dalam fiqh dengan istilah nusyuz. Hal ini dapat ditemukan dalam Ayat al-Qur’an:

الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم فالصالحات قنتت حفظت للغيب بما حفظ الله والتي تخافون نشوزهن فعضوهن وهجروهن فىالمضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبتغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا[39]

Ayat diatas sering kali dikutip dan digunakan sebagai landasan tentang nusyuznya isteri terhadap suami, meskipun secara tersurat tidak dijelaskan bagaimana awal mula terjadinya nusyuz isteri tersebut melainkan hanya sebatas solusi atau proses penyelesaiannya saja yang ditawarkan. Atau dapat juga ditarik beberapa pemahaman mengenai kandungan hukum yang terdapat dalam Ayat tersebut yaitu:

  1. Kepemimpinan rumah tangga
  2. Hak dan kewajiban suami-isteri
  3. Solusi tentang nusyuz yang dilakukan oleh isteri

Terdapat Ayat lain juga yang biasa dikutip ketika membicarakan persoalan nusyuz  yaitu:

وإن امرأة خافت من بعلها نشوزا أو إعراضا فلا جناح عليها أن يصلحا بينهما صلحا والصلح خير وأحضرت الأنفس الشح وأن تحسنوا وتتقوا فإن الله بما تعملون خبيرا[40]

Ayat di atas sering dikutip sebagai dasar tentang nusyuznya suami, walaupun pada realitanya maupun dalam literatur-literatur kajian fiqh persoalan tentang nusyuznya suami kurang mendapat perhatian dan jarang menjadi obyek kajian secara khusus.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) aturan mengenai prsoalan nusyuz dipersempit hanya pada nusyuznya isteri saja serta akibat hukum yang ditimbulkannya. Mengawali pembahasannya dalam persoalan nusyuz KHI berangkat dari ketentuan awal tentang kewajiban bagi isteri, yaitu bahwa dalam kehidupan rumah tangga kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lakhir dan batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. Dan isteri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud tersebut. Walaupun dalam masalah menentukan ada atau tidak adanya nusyuz isteri tersebut menurut KHI harus di dasarkan atas bukti yang sah.[41]

 

Bentuk-bentuk Perbuatan Nusyuz

Bentuk-bentuk perbuatan nusyuz sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Hukum Islam dapat berupa perkataan maupun perbuatan. Bentuk perbuatan nusyuz, yang berupa perkataan dari pihak suami atau isteri adalah memaki-maki dan menghina pasanganya, sedangkan nusyuz yang berupa perbuatan adalah mengabaikan hak pasanganya atas dirinya, berfoya-foya dengan orang lain, atau menganggap hina atau rendah terhadap pasanganya sendiri.[42]

Dari pengertian nusyuz sebagaima yang telah dijelaskan di  atas yaitu sebagai sikap pembangkanggan terhadap kewajiban-kewajiban dalam kehidupan perkawinan,[43] sebenarnya para ulama telah mencoba melakukan klasifikasi tentang bentuk-bentuk perubuatan nusyuz itu sendiri. Dan diantara tingkah laku maupun ucapan yang dapat dianggap sebagai perbuatan nusyuz isteri ialah:

  1. Apabila isteri menolak untuk pindah kerumah kediaman bersama tanpa sebab yang dapat dibenarkan secara syar’i. Padahal suami telah mengajak pindah ke tempat kediman bersama sedang tempat kediaman bersama (tempat tinggal) tersebut merupakan tempat tinggal yang layak bagi dirinya. Sebagaimana dalil:

وترك إجابته إلى المسكن اللائك بها النشوز[44]

  1. Apabila keluar dari tempat tinggal bersama tanpa seizin suaminya. Akan tetapi mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa apabila keluarnya isteri itu untuk keperluan suaminya maka tidak termasuk nusyuz, akan tetapi jika keluarnya isteri itu bukan karena kebutuhan suami maka isteri itu dianggap nusyuz.[45]
  2. Apabila isteri menolak untuk ditiduri oleh suaminya. Dalam suatu hadis dijelaskan tentang kewajiban seorang isteri kepada suaminya, untuk tidak menolak apabila diajak oleh suaminya untuk melakukan hubungan suami-isteri, yaitu:

إذا دعا الرجل إمرئته إلى فراشه فلم تأته فبات غضبان عليها لعنتها الملائكه حتى تصبح[46]

Isteri yang menolak untuk ditiduri oleh suaminya, tanpa suatu alasan yang sah maka ia dianggap nusyuz, sesuai dengan dalil yang berbunyi:

النشوز : متى إمتنعت من فراشه أوخرجت من منزله بغير إذنه[47]

Menurut qaul yang lain nusyuz yaitu:

منعها نفسها من الاستمتاع بها إذا طلب لذ لك[48]

4.   Membangkangnya seorang isteri untuk hidup dalam satu rumah dengan suami dan dia lebih senang hidup di tempat lain yang tidak bersama suami. Hal ini sebagaimana dijelskan dalam kitab Tafsir Al-Bahrul Muhitdengan ungkapannya yaitu bahwa perbuatan nusyuz adalah:

ألنشوز هو امتناعها من المقام فى بيته واقمتها فى مكان لا يريد الإ قامة فيه[49]

Untuk mengenali bentuk-bentu perbuatan nusyuzdapat juga mengkaitkanya dengan kata yang artinya menghilangkan, dalam arti perempuan yang hilang rasa kasih sayangnya terhadap suami baik dzakhir maupun batinnya, sehingga seorang isteri tersebut selalu meninggalkan kehendak dan kemauan perintah suami, sehingga suami merasa benci dan tiada kepedulian kepadanya.[50]

Secara lebih khusus Wahbah al-Zuhaili mengemukakan bahwa, nusyuz isteri adalah lebih pada relasi seksual. Artinya ketika isteri tidak disibukkan oleh pelbagai alasan yang menjadi kewajibannya, atau tidak terbayang-bayangi oleh kekerasan yang mungkin dilakukan oleh suaminya.[51]

Sedangkan Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa ciri-ciri nusyuz isteri adalah:

  1. ia menolak untuk diajak pindah ke rumah suami tanpa alasan yang  sah.
  2. isteri mau untuk tinggal di rumah kediaman bersama, tetapi kemudian dia pergi dan tidak kembali tanpa alasan yang dibenarkan syara’.
  3. keduanya tinggal di rumah isteri, tetapi isteri melarang sang suami untuk memasuki rumahnya.[52]

Adapun bentuk-bentuk ucapan yang bisa dimasukkan dalam kategori nusyuznya isteri sehingga suami diprbolehkan memukulnya diantara mencaci maki orang lain, mengucapkan kata-kata yang tidak pantas seperti bodoh, kepada suami meskipun suami mencaci lebih dulu.[53]

Menurut Saleh bin Ganim, bentuk-bentuk perbuatan nusyuz yang berupa perkataan atau ucapan adalah seperti tutur sapa seorang isteri kepada suaminya yang semula lembut,  tiba-tiba beruba menjadi kasar dan tidak sopan. Bila dipanggil suami, isteri tidak menjawab, atau menjawab dengan nada terpaksa, atau pura-pura tidak mendengar dan mengulur-ulur jawaban, berbicara dengan sura keras dan nada tinggi, berbicara dengan laki-laki lain yang tidak mahramnya, baik langsung maupun tidak (lewat telepon atau bersurat-suratan), dengang tujuan tidak dibenarkan syara’, mencaci-maki, berkata kotor dan melaknat, menyebarkan berita keburukan suami dengan tujuan melecehkannya di hadapan orang lain, tidak menepati janji terhadap suami, menuduh suami berbuat mesum dan meminta cerai tanpa alasan yang jelas.[54]

Sebagaimana isteri, nusyuz suami pun dapat berupa ucapan, perbuatan atau juga dapat berupa kedua-duanya sekaligus. Dan hal ini sebagaimana diuraikan secara rinci oleh Saleh bin Ganim sebagai berikut:[55]

  1. mendiamkan isteri, tidak diajak bicara. Meskipun bicara tapi selalu menggunakan kata-kata yang kasar dan menyakitkan.
  2. mencela dengan menyebut-nyebut keaiban jasmani atau jiwanya.
  3. berburuk sangka terhadap isteri, dan tidak mengajak isteri tidur bersama.
  4. menyuruh isteri melakukan maksiat dan melangar larangan Allah.

Sementara itu, bentuk nusyuz yang berupa perbuatan dapat berupa:

  1. tidak mengauli isterinya tanpa uzur atau sebab-sebab yang jelas.
  2. menganiaya isteri, baik dengan pukulan, hinaan, atau celaan dengan tujuan hendak mencelakakan isteri.
  3. tidak memberi nafkah sandang, pangan dan lain-lain.
  4. menjahui isteri karena penyakit yang dideritanya.
  5. bersenggama dengn isteri melalui duburnya. 
  6. Memberikan nasihat dan bimbingan dengan bijaksana dan tutur kata yang baik.
  7. Memisahi ranjang dan tidak mencampurinya (mengaulinya).
  8. Pukulan yang sekiranya tidak menyakitkan, misalnya dengan siwak dan sebagainya, dengan tujuan sebagai pembelajaran baginya.
  9. Kalau ketiga cara diatas sudah tidak berguna (masih belum bisa mengatasi isteri yang nusyuz), maka dicari jalan dengan bertahkim (mengangkat hakim) untuk menyelesaikannya.[56]

Akibat Hukum Nusyuz

Menurut Muhammad ‘Ali al-Sabuni, apabila terjadi nusyuz yang dilakukan oleh isteri maka Islam memberikan cara yang jelas dalam mengatasinya:

Mengenai tiga tindakan yang harus dilakukan suami terhadap isteri yang nusyuz berdasarkan pada surat an-Nisa’ Ayat 34 di atas tersebut, ulama fiqh berbeda pendapat dalam pelaksanaanya, apakah harus berurutan atau tidak. Menurut jumhur, termasuk mazhab Hambali, tindakan tersebut harus berurutan dan disesuaikan dengan tingkat dan kadar nusyuznya. Sedangkan mazhab Syafi’i, termasuk Imam Nawawi, berpendapat bahwa dalam melakukan tindakan tersebut tidak harus berjenjang, boleh memilih tindakan yang diinginkan seperti tindakan pemukulan boleh dilakukan pada awal isteri nusyuz.[57] Hal itu dengan catatan jika dirasa dapat mendatangkan manfaat atau faedah jika tidak maka tidak perlu, malah yang lebih baik adalah memaafkannya.[58]

Sebagai akibat hukum yang lain dari perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa isteri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari isteri) tanpa adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli maka isteri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam hal suami beristeri lebih dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan giliranya. Tetapi ia masih wajib memberikan tempat tinggal.[59]

Menurut maz\hab Hanafi, apabila seorang isteri mengikatkan (tertahan) dirinya dirumah suaminya dan dia tidak keluar tanpa seizin suaminya, maka isteri seperti ini dianggap taat. Sedangan bila ia keluar rumah atau menolak berhubungan badan dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan secara syar’i maka ia disebut nusyuz dan tidak mendapatkan nafkah sedikitpun, karena sebab wajibnya nafkah menurut ulama Hanafiyah adalah tertahannya seorang isteri di rumah suami.[60]

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa kewajiban-kewajiban suami yang berupa kewajiban memberi nafkah, menyediakan tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan bagi isteri berlaku semenjak adanya tamkin sempurna dari isterinya. Dan kewajiban-kewajiban tersebut menjadi gugur apabila isteri nusyuz[61]

Dalam Pasal selanjutnya dijelaskan bahwa selama isteri dalam keadaan nusyuz kewajiban suami terhadap isterinya seperti yang telah disebutkan di atas gugur kecuali yang berkaitan dengan hal-hal untuk kepentingan anaknya. Dan untuk kewajiban suami terhadap isteri nusyuz yang gugur tersebut belaku kembali jika isteri sudah tidak nusyuz lagi.[62]

Begitu pula akibat hukum yang berupa perceraian, hal ini dimungkinkan jika kedua belah pihak sudah tidak mungkin untuk berdamai lagi, hal ini juga sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang hukum perkawinan pada Pasal 39 Ayat (2) jo. Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 116 huru f.

Dalam hal akibat hukum bagi nusyuznya suami maka tidak ada ketentuan yang secara jelas mengatur tentang kewenangan atau hak isteri dalam menindak suaminya tersebut. Walaupun seorang isteri memiliki kewenangan untuk ikut menanggulangi kekeliruan dan penyelewengan yang dilakukan suami, hal itu sebatas tanggung jawabnya sebagai seorang isteri. Seorang isteri tidak dibenarkan menjalankan atau menerapkan metode pengacuhan atau pemukulan seperti yang dilakukan suami kepadanya  saat ia nusyuz, hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan qodrat antara laki-laki dan wanita, serta lemahnya isteri untuk dapat menanggulangi suami.[63]

Seorang isteri dalam menyikapi nusyuznya suami hendaknya berusaha sekuat tenaga untuk menasihati suaminya akan tanggung jawabnya atas isteri dan anak-anaknya. Hal ini tentu saja ia lakukan dengan cara musyawarah secara damai dengan tutur kata lembut dan halus. Tidak lupa ia juga harus mengintropeksi diri atas segala kemungkinan dirinya sebagai pemicu suaminya dalam melakukan penyimpangan tersebut.[64]

Apabila dengan jalan musyawarah tidak tercapai perdamaian juga, maka menurut imam Malik sebagaimana dikutip oleh Nurjannah Ismail isteri boleh mengadukan suaminya kepada hakim (pengadilan). Hakimlah yang akan memberikan nasihat kepada sang suami. Apabila tidak dapat dinasihati, hakim dapat melarang sang isteri untuk taat kepada sang suami, tetapi suami tetap wajib memberi nafkah. Hakim juga membolehkan sang isteri untuk pisah ranjang, bahkan tidak kembali ke rumah suaminya. Jika dengan cara demikian pun, sang suami belum sadar juga, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman pukulan kepada sang suami. Setelah pelaksanaan hukuman tersebut, sang suami belum juga memperbaiki diri, maka hakim boleh memutuskan perceraian dintara keduanya jika isteri menginginkannya. Pendapat imam Malik ini seimbang dengan sikap yang harus diambil atau ditempuh oleh suami saat menghadapi isteri nusyuz, sebagaimana dijelaskan dalam surat an-nisa’ (4): 34, bedanya dalam kasus nusyuznya suami ini yang bertindak adalah hakim.[65]

BAB III

HAK-HAK SUAMI ATAS ISTERI NUSYUZ

DAN BATASAN-BATASANNYA

Terciptanya kebahagiaan dan ketentraman berumah tangga sangat tergantung pada komitmen suami-isteri dalam melaksanakan peran dan kewajiban masing-masing. Jika peran dan kewajiban mereka telah dilakukan secara baik, maka dapat dipastikan kehidupan perkawinan akan berjalan sesuai dengan apa yang mereka harapkan.

Akan tetapi, perjalanan suatu perkawinan tidak selalu tenang dan menyenangkan. Dalam berumah tangga, kadang-kadang muncul belbagai persoalan yang tidak dapat dihindari terutama jika di antara anggota keluarga tidak mau saling memahami dan bertenggang rasa. Apalagi jika tidak mau menjalankan apa yang disyari’atkan Islam dalam kehidupan berumah tangga, serta tidak berusaha menjalin hubungan suami-isteri atas dasar kaidah yang benar.[66]

Kerap kali persoalan muncul secara tiba-tiba, dan itu dapat mengancam keharmonisan dalam rumah tangga sehingga perlu dicarikan solusi secepatnya agar kondisinya kembali menjadi tenang dan penuh cinta. Terhadap persoalan nusyuz, al-Qur’an memberi banyak gambaran bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikannya. Dalam penyelesaian persoalan nusyuz pada dasarnya kedua belah pihak (suami-isteri) harus dapat berperan aktif untuk dapat terciptanya rekonsuliasi diantara mereka sendiri.

Akan tetapi, dalam kitab-kitab fiqh pembahasan mengenai penyelesaian persoalan nusyuz seolah-olah lebih banyak diserahkan kepada pihak laki-laki, hal ini tentu saja dilatar belakangi pemahaman tentang konsep kepemimpinan laki-laki sebagai penguasa dan pengatur dalam rumah tangga juga pemahaman sebagau ulama fiqh yang kerap kali mengkaitkan persoalan nusyuz hanya kepada pihak perempuan (isteri) saja, sedangkan pihak suami dalam hal ini adalah seolah-olah menjadi pihak yang dirugikan oleh nusyuznya isteri tersebut sehingga ia diberikan kewenangan atau hak-hak tertentu dalam menyikapinya.

Sebelum masuk dalam pokok bahasan tentang apa saja hak-hak yang dimiliki suami berkaitan dengan kewenangannya dalam memperlakukan isteri yang nusyuz dan sampai dimanakah batas-batas hak yang dimilikinya tersebut, terlebih dulu akan diuraikan sekilas dan secara umum tentang parameter dasar yang dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai apakah perlakuan seorang suami terhadap isteri nusyuz telah melampaui hak dan kewenangan atau tidak.

 

A.  Paramater Dalam Menentukan Batasan-Batasan Hak Suami

Minimal dua alasan mengapa batasan-batasan hak dan kewenangan suami perlu untuk didiskripsikan sacara jelas. Pertama, hal ini penting agar kemungkinan  terjadinya kesewenang-wenangan suami dalam memperlakukan isteri yang nusyuz dapat dicegah. Kedua, untuk menghindari adanya klaim saling tuduh-menuduh antara suami-isteri tentang siapa yang sebenarnya sedang melakukan nusyuz, sebab tanpa adanya aturan yang jelas tentang batas-batas hak dan kewenangan suami, maka perlakuan suami terhadap isterinya secara kasar dan dinilai melampaui batas, dengan memukul, mencela dan mempergauli secara tidak baik, tidak memberikan hak-hak isteri seperti nafkah dan lain sebagainya, semua itupun dapat dikaitakan sebagai betuk sikap nusyuznya suami. Dan di sini isteri berhak mendapatkan perlindungan hukum sekaligus suami harus dikenakan tindakan secara hukum pula.[67]

Terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan dalam menentukan batasan-batasan hak suami dalam memperlakukan isteri yang nusyuz. Hal ini menyangkut, pertama, prinsip-prinsip dasar pola relasi suami-isteri menurut Islam dalam kehidupan rumah tangga secara umum. Kedua, subtansi perbuatan nusyuz itu sendiri, sebagai sebuah perbuatan hukum yang harus dilihat dari segi kualitatatif maupun kuantitatif serta motifasi yang melatar belakanginya.

  1. Prinsip Dasar Pola Relasi Suami-Isteri

Bardasarkan kajian terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana diungkapkan oleh Khoiruddin Nasution terdapat minimal 5 prinsip perkawinan menyangkut pula di dalamnya adalah mengenai relasi suami-isteri, yaitu:

  1. prinsip musyawarah
  2. prinsip terwujudnya rasa aman, nyaman dan tentram
  3. prinsip anti kekerasan
  4. prinsip bahwa relasi suami-isteri adalah sebagai patner
  5. prinsip keadilan.[68]

Dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia juga dapat diketemukan beberapa prinsip dasar menyangkut relasi suami-isteri. Pertama, prinsip kebersamaan, dalam arti keduanya sama-sama berkewajiban dalam menegakkan rumah tangga.[69] Kedua, prinsip musyawarah dalam menyelesaikan persoalan rumah tangga.[70] Ketiga, keduanya berkedudukan secara seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan dalam masyarakat.[71] Keempat, mempunyai hak sama di depan hukum.[72] Kelima, prinsip saling cinta, hormat-menghormati dan saling membantu.[73]

Quraish Sihab sebagaimana dikutip dalam buku Wajah Baru Relasi Suami-Isteri, menyatakan bahwa akad nikah adalah penyerahan kewajiban-kewajiban perkawinan, sekaligus penerimaan di antara mereka selaku suami-isteri untuk hidup bersama selaku pasangan dan mitra yang berdampingan, menyatu dan terhimpun dalam suka dan duka.[74]

Begitu pula menurut Tolhah Hasan, hubungan suami-isteri dalam rumah tangga muslim bukanlah hubungan dominasi antara satu pihak terhadap pihak yang lainnya, tetapi hubungan yang harmonis dan saling menghormati. Dalam hal pergaulan suami-isteri, tidak hanya isteri yang dituntut untuk tidak berhianat kepada suami. Seorang suami pun wajib mempergauli isterinya secara baik dengan cara bersikap lembut terhadapnya dan tidak menyakiti hatinya dan melakukan segala hal yang mendatangkan rasa tentram, cinta dan damai.[75]

Sebagai implementasi prinsip-prinsip di atas, dalam menyikapi persoalan nusyuz harus mempetimbangkan dua hal: pertama, keadilan. Artinya ketika isteri nusyuz mereka harus dipahami tidak hanya pada sisi ketidakpatuhannya saja, tetapi harus dipahami secara menyeluruh, misalnya bagaimana perlakuan suami terhadap isterinya, apakah hak-hak isteri sudah dipenuhi suami atau belum. Kedua, prinsip mua’syarah bil ma’ruf. Artinya masing-masing harus tetap mempergauli secara baik, tidak terkecuali dalam menyikapi salah satu pasangan yang sedang nusyuz.[76]

 

  1. Subtansi Hukum Perbuatan Nusyuz Dan Tujuan Pemberian Sanksi

Dalam menyikapi isteri yang nusyuz, yang terpenting juga adalah harus dapat melihat persoalan tersebut secara subtantif. Artinya, melihat persoalan itu sebagai suatu permasalahan hukum yang harus memiliki unsur-unsur tertentu untuk bisa disebut sebagai perbuatan hukum. Yang dalam hal ini harus memenuhi tiga unsur; pertama, unsur formil, yaitu adanya undang-undang atau nas yang mengatur hal itu. Kedua, unsur matriil. yaitu adanya sifat melawan hukum, dengan berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Ketiga, unsur moril, yaitu pelakunya dapat dimintai pertanggung jawaban secara hukum.[77]

Jika dikaitkan dengan persoalan nusyuz maka untuk mengetahui apakah suatu perbuatan ‘ketidaktaatan’ tertentu seorang isteri dapat dikategorikan sebagai sikap nusyuz atau tidak maka hal itu dapat dilihat dari ada tidaknya dasar hukum yang menjelaskannya. Begitu pula perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum. Artinya, bahwa perbuatan tersebut harus bersifat telah pasti terjadinya, tidak hanya berdasarkan praduga atau perkiraan semata. Oleh karena itu untuk mengetahui telah terjadinya perbuatan nusyuz para mufassir berangkat dari pemaknaan atas kata “خوف” dalam rangkaian kalimat awal Ayat surat an-Nisa’ (4): 34 (واللا تى تخافون) yang menurut mereka memiliki dua arti yaitu ظن (prasangka) dan علم (pengetahuan), walaupun sebagian mufassir ada yang lebih condong menggunakan arti yang pertama seperti al-Jamal dan ar-Razi.[78]

Begitu pula masuk dalam pengertian subtansi hukum perbuatan nusyuz di sini adalah segi kualitatif, kuantitatif dan latar belakang pemicu perbuatan itu sendiri. Hal ini tentu saja karena jenis, sifat dan bentuk dari perbuatan nusyuz tersebut sangat beragam, sehigga diperlukan pengkategorian secara spesifik untuk dapat menentukan masuk dalam klompok apa bentuk perbuatan itu, ringan, sedang ataukah berat. Sehingga dalam menyikapinya pun suami dapat dinilai apakah ia telah berlebihan atau tidak.

Adapun tujuan penjatuhan sanksi terhadap isteri nusyuz juga dapat dugunakan sebagai paremeter seorang suami dalam melakukan hak-haknya, begitu pula dapat digunakan untuk menilainya, apakah dia telah melampaui batas-batas hak dan kewenanganya atau belum. Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan penjatuhan sanksi dapat dibagi menjadi lima hal, yaitu: (1) pembalasan (revenge), (2) penghapusan dosa (expiation), (3) menjerahkan (deterrent), (4) perlindungan terhadap umum (protektion of the public), (5) memperbaiki si pelaku (rehabilitation).[79] Dan dari kelima tujuan tersebut yang paling cocok untuk dijadikan peganggan bagi suami dalam menindak isteri yang nusyuz tentu saja adalah tujuan yang nomor tiga dan lima.

Dalam hal tujuan penjatuhan sanksi terhadap isteri yang nusyuz maka tidak lain hal itu sebagai media pembelajaran terhadap isteri.[80] Begitu pula menurut Sa’id Hawa bahwa hak-hak yang dimiliki suami dalam memperlakukan isteri nusyuz tidak lain merupakan upaya ‘penggobatan’ terhadap isteri.[81]

Begitu pula dalam metode penerapannya menurut pendapat Syafi’i sebagaimana dikutip oleh ar-Razi bahwa tiap-tiap tahapan harus saling berurutan, selama cara pertama dapat mengatasi maka tidak perlu memakai yang selebihnya. Seperti misalnya dalam tahap hijr, sebaiknya dimulai dalam bentuk hijr lisan lalu tempat tidur kemudian baru mubasyarah (bersetubuh).[82]

Menurut Muhammad Abduh dan kebanyakan para mufassir yang lain bahwa memang sudah menjadi keharusan jika dalam penerapan tiap-tiap tahapan berurutan, walaupun pada kenyataannya adanya huruf ‘wau’ diantara kalimat-kalimat yang ada tidak dimaksudkan dengan makna littartib (berurutan), sebab hal itu menurutnya sudah dapat diketahui dengan petunjuk nalar rasio.[83]

B.  Macam-macam Hak Suami Atas Isteri Nusyuz   

 

Hak atau wewenang adalah izin atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Menurut L. J. Van Apeldoorn sebagaimana yang dikutip oleh C.S.T. Kansil mendefinisikan hak ialah hukum yang dihubungkan dengan seseorang manusia atau subyek hukum tertentu dan dengan demikian menjelma menjadi sesuatu kekuasaan.[84]

Dalam ilmu hukum hak dibedakan menjadi dua, hak mutlak (absolut) dan hak nisbi (relatif). Hak mulak ialah hak yang memberikan kewenangan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum, dan hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapa pun juga. Seperti hak marital, hak suami untuk menguasai isterinya dan harta bendanya. Sedangkan hak nisbi atau relatif  ialah hak yang memberikan wewenang  kepada seseorang atau beberapa orang untuk menuntut agar supaya seseorang atau beberapa orang yang lain tertentu untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.[85]

Berdasarkan telaah yang telah dilakukan peneliti berkaitan dengan persoalan nusyuz secara umum, maka terdapat minimal tiga hak atau kewenangan yang dimiliki suami, dan selama ini dianggap sebagai hak bersifat mutlak (absolut) karena adanya beberapa alasan yang mendukungnya. Hal ini tentu saja berakar dari pemahaman dan penafsiran atas ayat an-Nisa’ (4): 34 secara keseluruhan terutama menyangkut konsep kedudukan dan relasi suami isteri dalam rumah tangga.

Hampir secara keseluruhan ulama sepakat bahwa laki-laki (baca: suami) adalah pemimpin bagi perempuan (baca: isteri) dengan dua alasan. Pertama, karena kelebihan laki-laki atas perempuan. Dan kedua, karena  nafkah yang mereka keluarkan untuk keperluan isteri dan rumah tangga lainnya. Sekalipun ulama sepakat dengan kelebihan laki-laki atas perempuan, tetapi dalam menjelaskan faktor-faktor sebagai penyebab nilai lebih laki-laki atas perempuan tersebut terdapat perbedaan.

Dalam menafsirkan Ayat tersebut, Az-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq At-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil menyatakan bahwa suami adalah pemimpin terhadap isterinya dalam rumah tangga. Kalimat kunci yang menjadi  landasan adalah   الرّجـال قوّامون على النساء. Oleh Az-Zamakhsyari,  kalimat  tersebut  ditafsirkan  dengan  يقـومـون عليهن آمرين ناهين كما يقوم الولاة على الرعايا (kaum laki-laki berfungsi sebagai yang memerintah dan melarang kaum perempuan sebagaimana pemimpin berfungsi terhadap rakyatnya). Dengan fungsi itulah laki-laki dinamakan qawwam. Alasan mengapa suamilah yang menjadi pemimpin rumah tangga, Al-Zamakhsyari menafsirkan Ayat:[86]

بما فضّل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم

Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka dan memberikan mahar.

Adapun dua alasan kenapa laki-laki yang memimpin perempuan dalam rumah tangga adalah:

Pertama, karena kelebihan laki-laki atas perempuan. Kata ganti hum pada kalimat بمافضّل الله بعضهم على بعض  menurut Az-Zamakhsyari berlaku untuk kedua-duanya, laki-laki dan perempuan.

Kedua, adalah karena laki-laki berkewajiban membayar mahar dan mengeluarkan nafkah keluarga.[87]

Sebagai konsekuensi dari penafsiran bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan dengan dua alasan seperti yang telah diuraikan di atas, Az-Zamakhsyari menafsirkan bahwa perempuan-perempuan yang saleh (fa assalihat), dalam lanjutan Ayat ini adalah perempuan-perempuan yang ta’at (qanitat) melaksanakan kewajibannya pada suami, dan menjaga kehormatan diri serta menjaga rumah tangga dan harta benda milik suami, tatkala para suami tidak berada di tempat (hafizat li al-ghaib), termasuk juga menjaga rahasia suami.[88]

Dengan menyebutkan hadits riwAyat Ibn Jarir dan Baihaqi dari Abu Hurairah r.a., dia berkata. Rasulullah SAW bersabda:

خيرالنساء امرأة إذا نظرت اليها سرّتك وإن امرتها أطاعتك وإن غبت عنها حفظتك فى نفسها ومالك

“Sebaik-baik isteri adalah perempuan yang apabila engkau memandangnya menggembirakanmu, apabila engkau memerintahnya dia patuh padamu, dan apabila engkau tidak ada di sisinya dia akan menjaga dirinya dan harta bendamu.”

Kata Abu Hurairah: Kemudian Rasulullah  SAW.  membaca:

الرجال قوامون على النساء[89]

Begitu pula pendapat at-T{abari dalam menafsirkan الرجال قوامون على النساء ia menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa alasan tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan itu didasarkan atas refleksi pendidikannya serta kewajibannya untuk memenuhi seluruh kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah. Hal ini pula yang tercermin dalam kalimat وبما أنفقوا من أموالهم  yang ditafsirkan sebagai kewajiban untuk membayar mahar, nafkah dan kifayah.[90]

Lebuh lanjut ia menjelaskan tentang keutamaan laki-laki dapat juga ditinjau dari sudut kekuatan akal serta kekuatan fisiknya, sehingga kenabian pun menjadi hak bagi kaum laki-laki. Dengan dasar kekuatan akal dan fisik inilah, maka at-T{abari menyatakan dengan tegas bahwa kepemimpinan dalam bentuk al-Imam al-Kubra(khalifah) dan al-Imam as-Sughra seperti imam salat, kewajiban jihad, azan, iktikaf, saksi, hudud, qisas, perwalian dalam nikah, talak, rujuk dan batasan jumlah isteri, semuanya didasarkan kepada laki-laki.[91]

Ar-Razi juga memiliki pendapat yang tidak jauh berbeda dengan at-T{abari mengenai masalah kepemimpinan laki-laki atas perempuan, menurutnya hal itu dikarenakan adanya keutamaan dalam diri laki-laki sebagaimana firman Allah, بما فضل الله بعضهم على بعض ia mengatakan bahwa keutamaan laki-laki itu berdasarkan dua aspek; hakiki dan syar’i. Secara hakiki laki-laki memiliki kelebihan dalam hal akal dan ilmu. Dalam segi syar’i laki-laki memiliki kontribusi dan peran optimal dalam segala hal yang berkaitan dengan ibadah tanpa ada halangan apa pun.[92]

Sedangkan menurut Muhammad Abduh pengertian kepemimpinan laki-laki dalam surat an-Nisa’ (4): 34 itu adalah memiliki arti menjaga, melindungi, menguasai dan mencukupi kebutuhan perempuan. Sebagai konsekwensi dari kepemimpinan itu adalah laki-laki mendapatkan bagian lebih banyak daripada perempuan dalam hal kewarisan, karena laki-laki bertanggung jawab terhadap nafkah mereka. Adapun perbedaan taklif dan hukum antara laki-laki dan perempuan menurutnya adalah akibat dari perbedaan fitrah dan kesiapan individu (potensi), juga sebab lain yang sifatnya kasabi, yaitu memberi mahar dan nafkah. Jadi sudah sewajarnya apabila laki-laki (suami) yang memimpin perempuan (isteri) demi tujuan kebaikan dan kemaslahatan bersama.[93]

Melengkapi penjelasan Muhammad Abduh, Rasyid Ridha menjelaskan bahwa termasuk dalam kategori kepemimpinan adalah akad nikah yang berada pada kekuasaan laki-laki dan laki-lakilah yang berhak menjatuhkan talak. Sementara itu menurut dia, alasan yang dikemukakan oleh para mufassir tentang kelebihan laki-laki terhadap perempuan, seperti menjadi nabi, imam, mu’azin, khatib jum’at dan sebagainya bukanlah yang dimaksud oleh Ayat ini.[94]

Berangkat dari akar pemikiran tentang konsep kepemimpinan laki-laki atas perempuan seperti di atas, selanjutnya hal ini berimplikasi dalam memahami persoalan nusyuz. Az-Zamakhsyari berpendapat. oleh karena isteri mempunyai kewajiban untuk patuh kepada suami sebagai pemimpin rumah tangga, sebagaimana telah disebutkan di atas, maka apabila isteri nusyuz (tidak menjalankan kewajiban sebagai isteri, tidak patuh atau melawan kepada suaminya), suami berhak bertindak dalam tiga tahapan: (1) menasehatinya (fa ‘izuhunna); (2) pisah ranjang (wahjuruhunna fi al-madaji’i); (3) memukulnya (wadribuhunna).

Seperti halnya Az-Zamakhsyari, al-Alusi juga berpendapat sama, kewenangan suami untuk memperlakukan isteri yang nusyuz merupakan konsekuensi dari penafsiran bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Kedua mufassir ini sepakat bahwa perempuan-perempuan yang saleh (fa as-salihat), dalam lanjutan Ayat tersebut adalah perempuan-prempuan yang taat (qanitat) melaksanakan kewajibannya pada suami, dan menjaga kehormatan diri serta menjaga rumah tangga dan harta benda milik suami, tatkala para suami tidak berada di tempat (hafizat li al-ghaib), termasuk juga menjaga rahasia suami. Tetapi ada perbedaan sedikit antara ‘Al-Alusi dengan mufassir lainnya dalam menafsirkan  kata qanitat. Bagi Al-‘Alusi, kata tersebut berarti perempuan-perempuan yang patuh kepada Allah dan suami-suami mereka. Sedangkan Az-Zamakhsyari dan Sa’id Hawa menafsirkan qanitatadalah perempuan-perempuan yang patuh pada suaminya, sebagaimana disebut di atas tanpa menyebutkan terlebih dahulu patuh kepada Allah.[95]

Begitu pula menurut keempat mufassir yang lain yaitu at-T{abari, ar-Razi, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Pendapat keempat mufassir tersebut bisa dikatakan hampir sama dengan pendapat az-Zamakhsyari maupun al-Alusi seperti di atas, dalam menyikapi isteri yang nusyuz karena laki-laki menempati posisi sebagai kepala rumah tangga maka ia diberikan kewenangan atau hak dalam mendidik atau juga dapat dikatakan sekaligus untuk menindak isteri mereka yang nusyuz tersebut dengan melakukan tiga tahap cara yang telah dijelaskan al-Qur’an; menasihati, memisahi ranjang dan memukul. Ketiga tahap tersebut harus dilakukan suami secara bijak dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi isteri.

Demikianlah akar pemikiran tentang kepemimpinan dalam rumah tangga yang sekaligus berimplikasi terhadap kewenangan suami dalam memperlakukan isteri yang nusyuzdengan berangkat dari penafsiran terhadap surat an-Nisa’ (4); 34. Dalam hal kewenangan ‘mengasingkan’ isteri (hijr), memukul, mencegah hak nafkahnya dan menjatuhi talak semua itu merupakan konsekuensi logis dari pemahaman mereka bahwa suami adalah  pemimpin rumah tangga, dan ini mendapat sorotan dari kalangan feminis Muslim.[96]

 Dan mengenai hak-hak yang dimiliki suami tersebut akan diperinci dan sekaligus akan dikemukakan batasan-batasannya menuru perspektif hukum sebagai berikut:

1.  Hak Persuasif dan Sanksi Fisik

Dengan merujuk dalam al-Qur’an pada surat an-Nisa’ (4): 34, seorang suami diberikan tiga hak yang merupakan bentuk dari kewenanganya dalam memperlakukan isterinya yang nusyuz. Yaitu: (1) menasihatinya, (2) memisahi tempat tidurnya (menghindari untuk berhubungan badan), (3) diperbolehkan memukulnya.

2.  Hak Mencegah Nafkah

Para ulama maz\hab sepakat bahwa isteri yang melakukan nusyuz tidak berhak atas nafkah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang batasan nusyuz yang mengakibatkan gugurnya nafkah tersebut.[97] Demikian pula menurut Sayyid Sabiq, bahwa suami berhak menta’zir isterinya yang nusyuz, seperti dengan pencegahan nafkah disamping melakukan tindakan-tindakan yang telah ditentukan dalam al-Qur’an, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.[98]

Menurut Muhammad Ali Sabikh, apabila seorang isteri berlaku nusyuz yaitu isteri yang durhaka terhadap suami atau keluar rumah tanpa seizin suami dan tidak dapat dibenarkan secara syar’i maka:

  1. menggugurkan haknya untuk mendapatkan nafkah.
  2. Menggugurkan nafkahnya yang berupa kebendaan
  3. Gugur pula nafkah yang terhutang.[99]

Dengan berdasarkan atas kaidah fiqh alasan gugurnya kewajiban suami memberi nafkah tersebut dapat dianggap suatu yang logis karena kedurhakaan isteri kepada suaminya dalam rumah tangga itu harus dihilangkan, hal ini sesuai kaidah fiqh yang berbunyi;

الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف[100]

Karena isteri meninggalkan kewajiban taat kepada suami, maka suami pun boleh meninggalkan kewajibannya memberi nafkah.[101]

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pencegahan nafkah bagi isteri yang nusyuzjuga diakui, sebagaimana yang disebutkan disana bahwa kewajiban suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal (5): nafkah, kiswah, tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan, semua itu akan menjadi gugur apabila isteri nusyuz.[102] Dan hak-hak tersebut dapat diperoleh isteri lagi jika ia tidak nusyuz lagi.[103]

 

3.  Hak Talak

Di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan dapat putus karena:[104]

  1. Kematian
  2. Perceraian; dan
  3. Atas keputusan pengadilan

Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal selanjutnya bahwa untuk melakukan perceraian harus ada alasan, bahwa antara suami-isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri.[105]

Suami-isteri yang sudah tidak dapat hidup rukun lagi karena terjadinya nusyuz oleh salah satu pihak atau kedua-duanya secara bersamaan (syiqaq) dan telah diupayakan sekuat tenaga untuk menyelesaikanya secara damai, baik oleh kedua belah pihak yang bersangkutan sendiri atau melalui pihak ketiga sebagai mediator, maka dalam kondisi seperti ini sudah tidak ada cara lain kecuali memutuskan hubungan tali perkawinan suami-isteri tersebut agar situasi tidak semakin parah dan dapat memicu terjadinya tindak kekerasan.[106]

Menurut pendapat prof. Mahmud Yunus bahwa sebab-sebab yang memperbolehkan menjatuhkan talak dengan tiada dibenci oleh Allah ialah:

  1. isteri berbuat zina
  2. isteri nusyuz setelah diberi nasihat dengan segala daya upaya

c.  isteri suka mabuk, penjudi atau melakukan kejahatan yang menggangu keamanan rumah tangga, dan lain-lain, sebab yang berat yang tidak memungkinkan berdirinya rumah tangga dengan damai dan teratur.[107]

 

C.  Batasan-Batasan Hak Suami Dalam Memperlakukan Isteri Nusyuz

Walapun pada dasarnya persoalan nusyuz tidak selalu muncul dari pihak isteri akan tetapi juga dapat timbul dari pihak suami, namun pada kenyataannya hak-hak yang dimiliki oleh suami selama ini lebih dominan dan mendapatkan pengakuan secara yuridis. Artinya, secara hukum maupun secara realitas di lapangan pihak suami selalu menjadi pihak yang menang dan diuntungkan ketika persoalan nusyuz terjadi, sedangkan bagi pihak isteri kerap kali menjadi korban yang dipersalahkan. Oleh karena itu batasan hak-hak suami di sini perlu untuk ditegaskan.

1.   Hak Persuasif dan Sanksi Fisik

Dalam Tafsir Ibnu Kas\irditerangkan bahawa bila kamu menghawatirkan nusyuz dari pihak isteri-isteri kamu, maka nasihatilah mereka, dan pisahkan dirimu di tempat tidur mereka, jika nasehatmu diacuhkan maka janganlah mereka diajak bicara tanpa memutus pernikahanmu dengan mereka, dan jika semua itu tidak berhasil juga, maka kamu boleh memukul mereka dengan pukulan yang tidak merusak bagian-bagian tubuhnya terutama wajah dan kepalanya.[108] Dalam hal ini bahwa tindakan bertahap yang dapat dilakukan oleh suami terhadap isteri yang nusyuz adalah:

  1. Menasihati (فعظوهنّ )

Dalam rangka menyikapi persoalan nusyuz ini, langkah pertama yang ditawarkan dalam al-Qur’an adalah dengan memberikan nasehat (advice) secara bijaksana kepada isteri yang nusyuz. Tentu saja nasehat kepada isteri berbeda antara satu dengan yang lainya, tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi, karena diantara mereka ada yang terpengaruh oleh sanksi-sanksi duniawi, seperi dimusuhi dan lain-lain ada juga yang tidak.

Nasihat merupakan upaya persuasif dan langkah edukasi pertama yang harus dilakukan seorang suami ketika menghadapi isteri yang nusyuz. Hal ini ditujukan sebagai cara perbaikan secara halus untuk menghilangkan semua kendala-kendala yang mengusik hubungan cinta kasih suami-isteri. Hampir seluruh ulama berpendapat sama, yakni, amat pentingnya cara memberi nasihat ini, sehingga hal ini menjadi urutan pertama dalam upaya menyelesaikan permasalahan nusyuz.[109]

Suami hendakanya menggigatkan kembali tentang ikatan janji yang kuat (mis\aqan galiza) diantara mereka yang tidak boleh pudar begitu saja oleh hati maupun aqal. Kepada isteri juga disampaikan akibat buruk yang akan menimpa hubungan mereka apabila ia tetap dan meneruskan jalanya itu.[110] Dalam Tafsir al-Bahru al-Muhit dijelaskan dalam usaha menasihati isteri yang nusyuz tersebut tidak lupa dengan mengingatkan kepadanya akan perintah Allah untuk taat kepada suami.[111] Hal ini senada dengan apa yamg diungkapkan oleh Abu Bakar Al-Jassas bahwa menasihati yaitu menakut-nakuti isteri dengan siksaan Allah.[112]

Mau’idah atau nasihat merupakan upaya persuasif yang penting dan sudah semestinya selalu dikedepankan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi antara suami-isteri dalam rumah tangga. Namun jika persoalan yang mereka hadapi terasa semakin berat dan diantara mereka tidak ada lagi pihak yang mau memulai untuk mengambil inisiatif damai secara persuasif ini, maka mereka dapat mendatangkan mediator pihak lain sebagai perwakilan mereka guna mendiskusikan persoalan yang sedang terjadi.[113] Upaya persuasif dengan jalan musyawarah dan diskusi dengan memakai mediator ini sendiri disinggung al-Qur’an secara langsung;

وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلا حا يوفق الله بينهما إن الله كان عليما خبيرا[114]

Diharapkan dengan adanya sikap saling memberikan nasihat secara baik dan bijak akan dapat menciptakan kondisi relasi suami-isteri dan kehidupan rumah tangga secara umum kembali harmonis dan kondusif. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari dibutuhkan adanya suasana musyawarah dan dimokratis dalam kehidupan rumah tangga. Musyawarah berarti dalam segala aspek kehidupan dalam rumah tangga harus diputuskan dan diselesaikan berdasarkan musyawarah minimal antara suami-isteri. Sedangkan maksud demokratis adalah bahwa antara suami dan isteri harus saling terbuka untuk dapat menerima pandangan dan pendapat pasanganya.[115]

Terciptanya suasana musyawarah dan demokratis dalam rumah tangga pada ahirnya akan menjadikan pasangan suami-isteri dalam menjalankan kewajiban dan memperoleh hak secara berimbang dan sejajar. Dan dari sini diharapkan dapat memunculkan sikap diantara mereka untuk:

1)      saling mengerti, mengerti latar belakang masing-masing dan diri sendiri.

2)      saling menerima, menerima sebagaimana adanya menyangkut kelebihan dan kekurangan pasangannya.

3)      saling menghormati, menghormati perasaan, keinginan dan pribadi masing-masing.

4)      saling mempercayai.

5)      saling mencintai, bijaksana dan menjahui sikap egois.[116]

 

  1. b.      Pisah ranjang (واهجروهنّ)

Secara etimologis hijr berarti meniggalkan, memisahkan dan tidak berhubungan dengan obyek yang dimaksud.[117] Sedangkan kata al-Madaji’ yang menjadi rangkaian kata hijr berarti tempat tidur atau tempat berebah.[118] Secara epistemologis atau istilah para fuqaha’, hijr adalah seorang suami yang tidak menggauli isterinya, tidak mengajaknya bicara, tidak mengadakan hubungan atau kerja sama apapun dengannya.[119]

Sedangkan hijr menurut pendapat Ibn ‘Abbas sebagaimana yang juga dikutip oleh as-Sabuni adalah sikap seorang suami yang memiringkan pinggang dan memalingkan pungungnya dari isterinya serta menghindari melakukan hubungan badan denganya. Pendapat yang lain mengatakan tentang hijr yaitu suami yang meninggalkan tempat tidur isterinya dan menjauhkan diri untuk kontak denganya.[120] Jadi batasanya jarak mengenai hijr itu sendiri dapat dikatakan sebatas kontak fisik, tempat tidur atau maksimal sebatas dalam rumah.

Dari pengertian di atas dapat disimpulakan bahwa hijr dapat berbentuk ucapan atau perbuatan. Hijr dengan ucapan artinya suami tidak memperhatikan atau memperdulikan perkataan isterinya serta tidak mengajaknya berbicara. Sedangkan hijr dengan perbuatan adalah bahwa suami berpisah tempat tidurnya dari isterinya atau sekedar tidak mengaulinya, atau memisahkan diri dari kamarnya.

Para ulama sepakat membolehkan hijr dengan ucapan selama tidak melebihi dari tiga hari. Mereka mendasarkan pendapatnya pada hadis Abu Ayyub al-Ansariy, bahwa Rasulullah bersabda:

لايحل لمسلم ان يهجر أخاه فوق ثلاث ليال[121]

Mengenai hijr dengan perkataan ini sebenarnya tidak ada ketentuan batas waktunya. Oleh karena itu para ulama membatasi waktunya dengan menganaloqikannya kepada hukum illa’,[122] yang menurut syara’ ditentukan selama 4 (empat bulan). Sebagaimana dijelaskan al-Qur’an:

للذين يؤلون من نسائهم تربص أربعة أشهر فإن فاءو فإن الله غفوررحيم[123]

Hanya saja batasan ini bukanlah batasan yang mutlak. Artinya boleh juga hanya sebulan dan sudah dianggap cukup untuk mengambil sebuah tindakan selanjutnya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap isteri-isterinya.

Adapun batas waktu hijr dengan perbuatan yang berupa sikap menjahui dan tidak melakukan hubungan intim dapat dilakukan suami tanpa batas, selama yang diinginkanya, selagi hal itu dipandang dapat menyadarkan isteri, asal tidak lebih dari empat bulan berturut-turut, karena jangka waktu empat bulan adalah batasan maksimal yang tidak boleh dilampaui, sesuai pendapat yang terkuat dari pendapat ahli hukum. Hal ini juga sebagaina yang dijelaskan dalam kitab Tafsir al-Qurtubi bahwa suami dibolehkan tidak mengauli isterinya selama empat bulan dalam upaya menyadarkan isterinya.[124]

Pada dasarnya jika diteliti lebih jauh tahap hijr ini masih merupakan upaya lanjut yang merupakan hak dari suami dalam menyikapi isteri nusyuz secara persuasif sebelumnya yaitu Mau’idah yang mana kedua langkah tersebut merupakan usaha bijaksana untuk rekonsisiliasi, penyatuan kembali dengan melakukan intropeksi diri masing-masing pasangan. Kalau perlu, dalam tahap intropeksi dan perenungan diri ini dilakukan dengan pisah ranjang sementara  (al-tahjir fil madaji’).[125]

Menurut Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Nurjannah Ismail ia berpendapat bahwa langkah kedua ini, yaitu menjahui isteri dari tempat tidurnya merupakan sanksi dan pelajaran yang diberikan kepada isteri yang sangat mencintai suami dan amat menderita bila dikucilkan. Menjahui tempat tidur bukan berarti harus meninggalkan tempat tidur atau kamar tidur untuk tidak tidur bersama isteri, karena itu malah akan dapat menambah kebandelan isteri. Sebab dengan masih tidur bersama isteri walaupun tidak mencampurinya diharapkan akan mampu menetralisir emosi suami dan isteri, sehingga jiwa menjadi tenang dan pertengkaran dapat diatasi.[126]

Oleh karena itu pemahaman tentang hijr yang selama ini lebih dipahami sebagai hak suami untuk ‘menghukum’ isterinya yang nusyuz dengan menjahuinya, mendiamkannya dan tidak melakukan hubungan badan dengannya merupakan pemahaman yang berlebihan. Sebab ketika tahap hijr diartikan seperti itu maka tentu saja persoalan yang ada di antara suami-isteri tidak akan selesai-selesai bahkan akan berlarut-larut. Hal itu ditambah lagi perasaan kecewa isteri karena kebutuhan psikologis dan biologisnya tidak terpenuhi oleh sikap suami yang berusaha menjahuinya.

Pencegahan atau kekurang puasan salah satu pasangan dalam urusan penyaluran biologis sendiri dapat memicu berbagai masalah yang dapat menganggu keharmonisan relasi suami-isteri antara lain penyelewengan, perzinahan dalam berbagai bentuknya dan perceraian.[127]

Dalam urusan penyaluran kebutuhan biologis Islam senantiasa menekankan arti penting keadilan diantara suami-isteri agar terjamin keadilan seksual sebagai kebutuhan biologis mereka secara berimbang. Hal ini sebagaimana disinggung oleh al-Qur’an sendiri, diantaranya:

ولهن مثل الذى عليهن بالمعروف وللرجال عليهن د رجة والله عزيز حكيم[128]

Dalam Ayat lain juga disebutkan:

ولا تتمنوا ما فضل الله به بعضكم على بعض للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن[129]

Ulama mazhab Hanafi berpendapat isteri boleh menuntut suami untuk melakukan persetubuhan dengannya, karena kehalalan suami bagi isteri merupakan hak isteri, begitu pula sebaliknya jika isteri menuntutnya maka suami wajib memenuhinya, ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa melakukan persetubuhan adalah kewajiban suami-isteri jika tidak ada uzur (alasan yang dibenarkan secara syar’i).[130]

Begitu pula masalah kewajiban isteri untuk melayani suami dalam berhubungan badan, al-Syirazi berpendapat bahwa meskipun pada dasarnya isteri wajib melayani permintaan suami, akan tetapi jika ia tidak ‘mud’ atau sedang tidak bergaira untuk melayaninya ia boleh menawarnya atau menagguhkannya sampai batas tiga hari. Dan bagi isteri yang sedang sakit atau tidak enak badan maka tidak wajib baginya untuk melayaninya sampai sembuh.[131] Jika suami tetap memaksa maka dia telah melanggar prinsip muasyarah bi al-ma’ruf dengan berbuat aniaaya kepada pihak yang justru seharusnya ia lindungi.

 Oleh karena itu suami tidak boleh mengklaim isterinya telah melakukan nusyuz hanya gara-gara dia tidak bersedia melayaninya di sesuatu ketika, karena hal itu harus juga mempertimbangkan situasi dan kondisi isteri. Bahkan dalam persoalan hijr yang selama ini dipahami sebagai kewenangan suami untuk menjahui isteri yang nusyuz sebagai bentuk pembelajaran sekaligus pemberian sanksi sudah semestinya jika harus dikaji kembali, karena dengan melakukan hal itu pada dasarnya suami telah melupakan prinsip keadilan, keseimbangan dan prinsip mu’asyarah bil ma’ruf . Dan dalam hal ini ia malah dapat dinilai telah melakukan nusyuz terhadap isterinya.

 

c.  Memukul (واضربوهنّ)

Dalam masalah pemukulan ini fuqaha’ mendefinisikannya dengan pengertian yang masih umum, yaitu suatu perbuatan yang menyakitkan badan, baik meninggalkan bekas atau tidak, dengan mengunakan alat atau tidak.[132]

Kalau diteliti lebih lanjut sebenarnya kalimat darababerasal dari fi’il madi daraba – yadribu yang di dalam Al-Qur’an kata ini mempunyai banyak arti:

1) Jika dalam Ayat واضربوهنّ  jelas fi’il amr yang berasal dari fi’il madI bermakna pukul artinya seseorang yang menjatuhkan sesuatu dari anggota tangannya kepada orang lain.

2) Untuk Ayat وضرب الله مثلا kalimat fi’il madI ini bukan arti pukul, namun mempunyai arti i’tibar (perumpamaan).

3) Jika untuk Ayat عن اضرب بعصاك الحجر artinya fi’il amar yang tersebut sama artinya dengan pukul, hanya bedanya dengan suatu alat.

Bagi fuqaha yang berpendapat tentang dibolehkanya melakukan pemukulan, mereka mendasarkannya pada surat an-Nisa’ (4): 34 yang memiliki kronologi historis (sabab an-nuzul) sebagaimana diriwAyatkat oleh az-Zamakhsyari tentang peristiwa Sa’ad ibn Ar-Rabi’ ibn ‘Amr dan isterinya Habibah binti Zaid ibn Abi Zuhair sebagai peristiwa yang melatar belakangi turunya Ayat ini. DiriwAyatkan bahwa Habibah nusyuz terhadap suaminya Sa’ad, salah seorang pemimpin Ansar. Lalu Sa’ad memukul Habibah, puteri Zaid ibn Zuhair ini mengeluhkan perlakuan suaminya kepada ayahnya. Sang ayah kemudian mengadukan hal itu kepada Nabi. Nabi menganjurkan Habibah membalas dengan setimpal (qisas). Berkenaan peristiwa itulah turun surat an-Nisa’ Ayat 34 ini. Setelah Ayat turun, Nabi bersabda: “Kita  menginginkan  satu cara, Allah menginginkan cara yang lain. Yang diinginkan Allah itulah yang terbaik” (أردنا أمرا وأراد الله أمرا والذى أراد الله خير). Kemudian dibatalkan hukum qisas terhadap pemukulan suami itu.[133]

Ada juga beberapa hadis yang dikerap kali dijadikan dasar dalam masalah ini oleh fuqaha, diantaranya:

ألآواستوصوا بالنساء خيرا, فإن هن عوان عندكم ليس تملكون منهن شيئا غير ذالك إلا أن يأتين بفاحشة مبينة, فإن فعلن فاههجروهن فى المضاجع واضربوهن ضربا غيرمبرح, فإن أطعنكم فلاتبغو عليهن سبيلا0 ألا إن لكم على نسائكم حقا0 فحقكم عليهن فلا يوطعن فروشكم من تكرهون ولايأذن فىبيوتكم لمن تكرهون0 ألاوحقهن عليكم أن تحسنوا إليهن فىكسوتهن وطعامهن[134]

Sebenarnya masih terdapat ayat lain yang cukup beralasan untuk dijadikan pembanding dalam mengkaji persoalan pemukulan terhadap isteri ini yaitu;

وخذ بيدك ضغثا فاضرب به ولاتحنث إنا وجدنه صابرا نعم العبدإنه أواب[135]

Sebagaian ulama berpendapat dengan berdasarkan pada ayat di atas tentang dibolehkannya suami memukul isterinya dalam rangka memberi pelajaran. Seperti halnya nabi Ayyub yang memukul isterinya karena telah melanggar hak-hak suami.[136]

Dari Ayat di atas juga menunjukkan tentang dibolehkannya pemukulan terhadap isteri dengan batasan tidak sampai melampaui batas sebagai instrument pendidikan, dalam arti lain, dibolehkanya tindakan tersebut bukan berarti tanpa adanya unsur kemakruhan atau suatu yang lebih baik jika harus dihindari.[137]

Walaupun kelihatanya secara tekstual syari’at membolehkan suami memukul isteri yang nusyuz, akan tetapi bagaimanapun harus diperhatikan penjelasan Rasulullah dalam menetapkan syarat-syarat diperbolehkannya tindak pemukulan tersebut, yaitu tidak boleh dimaksudkan untuk menghina derajat atau martabat wanita, menyakiti isterinya dan tidak boleh dilakukan dengan motifasi menggangu atau tindakan balas dendam.[138] Dalam hal pemukulan, para mufassir sepakat bahwa pemukulan yang dibenarkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan (ghair mubarrih) pukulan yang tidak melukai, tidak mematahkan tulang dan tidak merusak muka.

Menurut Muhammad ‘Ali as-Sabuni dan Wahbah az-Zuhaili, bagian yang harus dihindari dalam tahap pemukulan adalah:

  1. bagian muka, karena muka adalah bagian tubuh yang dihormati.
  2. bagian perut dan bagian lain yang dapat menyebabkan kematian, karena   pemukulan ini bukan bermaksud untuk mencidrai apalagi membunuh isteri yang nusyuz, melainkan untuk mengubah sifatnya.
  3. memukul hanya pada satu tempat, karena akan menambah rasa sakit dan akan memperbesar timbulnya bahaya.[139]

Dalam rangka memberi pendidikan bagi isteri yang nusyu ar-Razi dan at-T{abari juga tampaknya memiliki pemahaman yang tidak jauh berbeda dengan ulama fiqh. Mereka tidak menafikan adanya kemungkinan untuk memukul isteri asal telah diyakini melakukan nusyuz. Hanya  saja untuk masalah pemukulan ini, kedua mufassir tersebut bahkan tampaknya semua mufassir sepakat memberikan catatan bahwa pukulan yang dibenarkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan (ghaira mubarrih), yang tidak melukai, tidak mematahkan tulang dan tidak merusak muka. Ringkasnya, mereka mengatakan wa ad-dharbu mubah wa tarkuhu afdal(pemukulan itu boleh dan meninggalkannya lebih baik).[140]

Sebagaimana para mufassir yang lain Muhammad Abduh berpendapat perintah memukul isteri bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan akal dan fitrah. Memukul diperlukan jika keadaan sudah buruk dan akhlak isteri sudah rusak. Suami boleh memukul isteri ketika suami melihat bahwa rujuknya isteri hanya dengan cara memukulnya. Akan tetapi, jika keadaan sudah membaik dan isteri sudah tidak nusyuzlagi cukup dengan cara menasehatinya atau mengasingkannya dari tempat tidur, maka tidak perlu memukulnya. Setiap keadaan menentukan hukuman yang sesuai, sementara itu kita diperintahkan menyayangi kaum perempuan, tidak menganiaya, menjaganya dengan cara yang baik, dan jika menceraikannya harus dengan cara yang baik pula.[141]

Terdapat penjelasan yang menarik dari Rasyid Ridha, yaitu  penolakannya terhadap anggapan orang bahwa Islam menindas kaum perempuan karena adanya perintah pemukulan ini. Ia menggariskan bahwa pemukulan dilakukan sebagai langkah terakhir jika langkah-langkah sebelumnya tidak berhasil, dan itupun harus dalam batas tidak menyakitkan. Lebih lanjut ia menyatakan: “jangan membayangkan kaum perempuan Islam itu lemah dan kurus yang dagingnya disobek-sobek oleh cemeti suaminya.” Untuk itu, ia mengutip hadis Rasulullah SAW; “Apakah salah satu diantara kalian akan memukul isterinya seperti halnya memukul budak lalu menyetubuhinya di malam hari?”. Menurut Rasyid Ridha pemukulan adalah obat pahit (‘ilaj murr) dan ia mengatakan bahwa laki-laki yang saleh tidak akan memukuli perempuan (isterinya) walaupun itu diperbolehkan.[142]

Diantara ketiga hak atau kewenangan yang dimiliki seorang suami dalam memperlakukan istri nusyuz dengan berdasarkan pada surat an-Nisa’ (4): 34 di atas, hak suami dalam memukul merupakan salah satu hak yang mengundang polemik dan perdebatan panjang, khususnya dikalangan ulama fiqh, ahli tafsir (mufassir) dan pemikir-pemikir feminis kontemporer.

Jika para ulama sepakat dengan pemukulan terhadap isteri nusyuz diperbolehkan asal masih dalam batas-batas yang wajar dan tidak bertujuan untuk menyakiti, pada dasarnya ulama juga menekankan agar tidak memukul. Sedangkan bagi para feminis ada yang berpendapat bahwa pemukulan tidak pernah dianjurkan oleh Al-Qur’an. Pendapat ini dilontarkan oleh para kaum feminis seperti Ashgar Ali Engineer, ia berpendepat dengan mengutip pendapat Ahmed Ali dari kitab Ragib Al-Mufradat fi Garib Al-Qur’anyang menerangkan bahwa kata daraba mempunyai makna metaforis yaitu melakukan hubungan seksual.[143]

Pada dasarnya Nabi sangat menghargai perempuan, asbab an-nuzulayat 34 ini ketika Habibah mengadu bersama ayahnya kepada Nabi tentang pemukulan suaminya. Nabi ketika itu dengan bersimpati menyuruh Habibah agar membalas (qisas) terhadap suaminya, tetapi Allah menurunkan ayat ini. Di sini Nabi menunjukkan simpati, keinginan untuk mengangkat derajat perempuan atau korban kekerasan, tetapi Ayat ini terkesan memihak laki-laki. Menurut Ashgar dengan mengutip pendapat S.T Lokhandwala, dalam The Potition of Women Under Islam; bahwa ayat ini bersifat kontekstual, karena suami Habibah merupakan pemimpin Ansar (Sa’ad bin Rabi’). Keputusan Nabi untuk mengqisassuaminya mendapat penolakan dari laki-laki Madinah, mungkin kekhawatiran Nabi akan sarannya menimbulkan kegemparan dalam sebuah masyarakat di mana laki-laki benar-benar dominan. Ayat ini diwahyukan sebagai anjuran yang menyejukkan demi mengendalikan kekerasan laki-laki terhadap perempuan dan menganjurkan mereka untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat yang didominasi laki-laki.[144]

Ayat ini tampak mengizinkan pemukulan terhadap isteri, tetapi Lokhandwala berpendapat bahwa konteks Madinah tidak dapat diabaikan. Dilihat dari konteks ini, Ayat tersebut mempunyai maksud agar tidak menimbulkan reaksi yang terlalu keras, pertama Al-Qur’an mengatakan bahwa perempuan yang tidak taat sebaiknya diperingatkan, dan jika mereka tetap dalam nusyuz (pemberontakannya) mereka harus dipisahkan di tempat tidur, dan jika mereka tetap tidak berubah juga, maka mereka harus dihukum. Tetapi Allah meminta agar tidak mencari-cari jalan untuk memusuhi mereka dan berbaikan dengan mereka jika mereka taat.[145]

Dalam menyikapi persoalan nusyuz Amina Wadud menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Qur’an Dan Perempuan, bahwa nusyuzadalah  gangguan keharmonisan keluarga, dengan mengutip surat an-Nisa’ Ayat 34; karena itu, wanita yang baik adalah (qanitat), memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka. Adapun wanita-wanita yang kamu takutkan (nusyuz), nasihatilah mereka, pisahkan mereka di tempat tidur yang terpisah, dan pukullah mereka. Kemudian, jika mereka menaatimu, jangan mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Berarti, seorang wanita harus mematuhi suaminya, jika tidak, suami boleh memukulnya. Amina berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah untuk memberi jalan pemecahan ketidak-harmonisan antara suami dan isteri.[146] Oleh karena itu memahaminya sebagai sebuah dalil yang membolehkan seoarang suami dalam memberikan hukuman atau sanksi kepada isteri yang nusyuz adalah tidak tepat.

Bagi Amina, ia setuju dengan dua cara pertama dalam menyikapi isteri nusyuz, yaitu manasehati dan menjahuinya dari tempat tidur. Mengenai cara yang ketiga yaitu memukul, dia menentangnya. Menurutnya memukul bukanlah jalan terbaik dan tidak akan dapat menyelesaikan masalah yang terjadi, justru akan semakin membuat persoalan menjadi berat. Memukul harus dimaknai sebagai cara untuk kembali mengadakan usaha damai dan kalau tidak bisa maka lebih baik diakhiri dengan perceraian.

 

  1. Hak mencegah Nafkah

Dalam kitab Kifayat al-Ahyar dijelaskan bahwa ketika seorang isteri yang telah jelas-jelas nusyuz maka hendanya dinasihati, dan jika masih tetap tidak mau berubah maka boleh dijauhi (hijr), dan jika tidak mau berubah juga maka boleh dipukul. Gugur pula sebab nusyuz tersebut adalah hak nafkah isteri dan gilirannya.[147]

Hampir seluruh ulama sepakat tentang tercegahnya nafkah bagi isteri yang nusyuz. namun mereka berbeda pendapat di dalam menentukan bentuk dan sifat perbuatan nusyuz seperti apa yang menyebabkan tercegahnya nafkah isteri itu. Menurut Abu Hanifah, seorang isteri gugur hak nafkahnya manakalah dia berpergiang tanpa izin dari suaminya dan untuk sesuatu yang tidak menjadi kewajiban baginya. Sedangkan menurut Imam Malik dan Syafi’i, hal itu tidak sampai menyebabkan hilangnya hak nafkah isteri.[148] Dasar ketidakwajiban seorang suami dalam memberikan nafkah kepada isteri nusyuz adalah berdasarkan ijmak ulama.[149]

Ulama Hanafi berpendapt manakala isteri mengeram dirinya dalam rumah suaminya, dan tidak keluar rumah tanpa izin dari suaminya, maka ia masih disebut patuh (muti’at), sekalipun ia tidak bersedia dicampuri tanpa alasan syara’ yang benar. Penolakan yang seperti itu, walaupun haram, tetapi tidak menggugurkan haknya untuk mendapat nafkah. Oleh karena itu beliau berbeda pendapat dengan seluruh mazhab yang lainya. Sebab seluruh mazhab yang lain sepakat bahwa, manakala isteri tidak memberi kesempatan kepada suami untuk menggauli dirinya dan ber-khalawat dengannya tanpa alasan berdasar syara’ maupn rasio, maka dia dipandang sebagai wanita nusyuz yang tidak berhak atas nafkah. Bahkan Syafi’i mengatakan bahwa, sekadar kesediaan digauli dan ber-khalawat, sama sekali belum dipandang cukup kalau si isteri tidak menawarkan dirinya kepada suaminya seraya mengatakan dengan tegas, “aku menyerahkan diriku kepadamu.[150]

Ada pula yang mengkaitkan gugurnya hak nafkah isteri ini dengan pengertian perbuatan nusyuz secara umum, karena ketika isteri melakukan nusyuz, maka berarti ia telah keluar dari ketaatan, dan itu dapat menyebabkan hilangnya hak nafkah. Dan jika ia taat lagi, maka nafkah isteri tersebut wajib diberikan terhitung saat ia taat pada suaminya kembali.[151]

Adapun hikmah dari gugurnya hak nafkah tersebut bagi isteri yang nusyuz adalah diharapkan dengan itu sikap isteri akan kembali baik dan taat kepada suaminya sehingga terpeliharalah kekokohan dan kelangsungan rumah tangga karena gugurnya nafkah merupakan sanksi kepada isteri yang melakukan nusyuz.[152]

Dalam masalah nafkah bagi isteri yang nusyuz, Ibn Hazm mempunyai pendapat yang bertentangan dengan jumhur fuqaha. Ibn Hazm berpendapat bahwa isteri yang nusyuz tetap mendapatkan nafkah. Menurutnya, suami wajib memberinya nafkah sejak akad nikah, tidak ada perbedaan antara isteri yang nusyuz maupun yang tidak, yang masih kecil atu yang sudah besar dan sebagainya. Mengenai pendapat Ibn Hazm ini disebut dalam kitab al-Muhalla;

وينفق الرجل على امرائته حين يعقد نكاحها دعى الى البناء اولم يدع ولو أنها فىالمهد ناشزا كانت اوغير ناشز غنية كانت اوفقيرة ذات أب كانت اويتيمة بكر او ثيبا حرة كانت اوأمة[153]

Pendapat tersebut berdasarkan hadis yang diriwAyatkan oleh Muslim dari Jabir r.a. bahwa Nabi SAW. bersabda:

فاتقوا الله فىالنساء فإنكم أخذتموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمةالله ولكم عليهن ان لايوطئن فرشكم احدا يكرهونه فإن فعلن ذالك فضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف[154]

Dan juga riwAyat Abu Dawud dari Hakim bin Mu’awiyah dari ayahnya yang pernah bertanya kepada Nabi SAW;

 قلت يارسول الله ما حق زوجة احدنا عليه؟ قال: أن تطعمها إذا طعمت وتكسوها إذا اكتسيت ولا تظرب الوجه ولا تقبح ولا تجهر الا فىالبيت[155]

Dari kedua riwAyat hadis tersebut, menunjukkan bahwa Rasulullah SAW. menyamamaratakan seluruh wanita dan tidak menghususkan orang yang nusyuz dengan lainya, begitu pula wanita yang masih kecil atau pula yang sudah besar. Adapun pendapat sebagian yang menyatakan tidak ada nafkah bagi isteri yan tidak mau diajak serumah dengan suami, menurut Ibn Hazm, pendapat itu tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur’an, as-Sunnah, qaul Sahabat, qiyas maupun ra’yu. Jika ada pengecualian kepad isteri yang nusyuz atau masih kecil maka Allah tidak akan lupa menjelaskanya.[156]

Ibn Hazm tidak mengetahui alasan Fuqaha’ yang berpendapat bahwa isteri yang nusyuz tercegah (gugur) hak nafkahnya. Hanya ada satu riwAyat yaitu dari Nakhai, as-Sya’bi, Humad bin Abi Sulaiman, al-Hasan dan az-Zuhri, tetapi Ibn Hazm tidak mengetahui alasan mereka secara jelas, hanya saja mereka menyatakan;

النفقة بإزاء الجماع فإذا منعت الجماع منعت الفقة[157]

Fuqaha’ yang berpendapat demikian diantaranya adalah Imam Hanafi. Dalam mengomentari pendapat ini, Ibn Hazm berkata bahwa yang berpandangan demikian, maka berarti mereka telah berdusta, karena nafkah dan kiswah merupakan kewajiban apabila telah terjadi hubungan suami-isteri. Hal ini diungkapkannya dalam al-Muhalla;

وهذه حجة أفقر الىمايصحها مما راموا تصحيحهابه وقدكذبوا فى ذالك مالنفقة وكسوة إلا بإزاء الزوجية فإذا وجدت الزوجية فالنفقة والكسوة واجبتان[158]

Imam Syafi’i berpendapat bahwa isteri yang keluar dari rumah tanpa izin suaminya maka nafkahnya menjadi gugur. Dalam hal ni Ibn Hazm berargumen sebagai berikut;

ومن طريق شعبة سألت الحكم ابن عتيبة عن امرأة خرجت من بيت زوجها غاضبة هل لها نفقة ؟ قال:نعم[159]

Dan tentang isteri yang nusyuz, telah dijelaskan di dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ Ayat 34. berdasarkan Ayat tersebut Ibn Hazm mengatakan bahwa;

Allah telah menghabarkan atau memberitahu bahwasanya tidaklah kepada isteri yang nusyuz itu kecuali hijr dan pemukulan dan Allah tidak menggugurkan nafkah dan kiswah. Maka kamu sekalian telah menyiksanya dengan mencegah haknya, dan hal tersebut telah disyariatkan dalam agama bahwa tidak diizinkan berbuat begitu (menggugurkan nafkah dan kiswah) karena hal tersebut adalah batil.[160]

Sebenarnya, persoalan pencegahan hak nafkah bagi isteri yang nusyuz itu erat kaitannya dengan konsep patuh dan taatnya seorang isteri itu sendiri. Dan dalam aplikasinya istilah kepatuhan ataupun ketaatan adalah ‘urf, dan tidak diragukan sedikit pun bahwa menurut ‘urf, seorang isteri disebut taat dan patuh manakala tidak menolak bila suaminya meminta dirinya untuk digauli. Mereka tidak menawarkan bahwa si isteri harus menawarkan dirinya siang dan malam. Tapi bagaimana pun, di sini terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan persoalan nusyuz dan taat.[161] Bahkan hal itu pun seiring dengan perubahan zaman dan kedewasaan masarakat akan mengalami perubahan pula.

Disinilah letak pentingya pengkategorian mengenai bentuk-bentuk perbuatan nusyuz secara kualitatif, kuantitatif serta kemungkinan hal yang melatar belakanginya, agar dalam menyikapinya pun dapat secara proporsional. Seperti contoh, sangat tidak adil jika seorang isteri yang hanya bermuka masam ketika suaminya pulang kerja larut malam dianggap nusyuz kemudian tidak dikasih uang untuk belanja pada esok harinya. Dan seperti contoh perbuatan-perbuatan nusyuz ringan yang lainnya.

  1. Hak Talak

Al-Qur’an tidak memberi suatu ketentuan yang mengharuskan suami untuk mengemukakan sesuatu alasan untuk mempergunakan haknya menjatuhkan talak kepada isterinya. Namun biasanya suatu alasan yang dikemukakan suami untuk menjatukan talak kepada isterinya adalah bahwa ia merasa sudah tidak senang lagi kepada isterinya. Alasan ketidaksenangan suami ini sangan subyektif, yang dapat disebabkan oleh hal-hal yang subyektif pula.[162]

Sistem hukum yang ada di negara kita pada dasarnya menganut asas mempersulit dalam masalah cerai. Hal ini dapat kita baca sebagaimana yang tertera dalam Pasal 39 Ayat (1) Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 jo, Pasal 14 s.d. 18 peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang menentukan, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, dan untuk melakukan perceraian itu harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-isteri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami-isteri. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah sebagaimana tersebut dalam penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.[163]

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), berkenaan dengan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian dijelaskan dalam secara terinci sebagai berikut;[164]

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun secara berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
  5. Salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
  6. Antara suami-isteri terus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
  7. Suami melanggar taklik-talak.
  8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Talak adalah suatu perbuatan hukum dari seorang suami yang dilakukan kepada isterinya, yang mana dapat membawa akibat yang sangat luas bagi seseorang dan keluarganya, bisa mengubah corak kehidupan kekeluargaan menjadi lebih baik atau bisa menjadi lebih buruk. Karena itu Islam mensyari’atkan bahwa suami yang menjatuhkan talak itu harus memenuhi syarat-syarat, yaitu diantaranya: “sudah dewasa, berpikiran sehat, mempunyai kehendak bebas dan masih mempunyai hak talak.

Sebagai salah satu contoh talaknya orang yang dalam keadaan marah atau emosi, maka talaknya tersebut secara hukum tidak jatuh. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi;

لاطلاق ولاعتاق فى اغلاق[165]

Bila hal ini ditinjau lebih jauh lagi dengan mengkaitkannya pada persoalan nusyuz maka penjatuhan talak kepada isteri yang nusyuz patut diduga sebagai suatu keputusan yang mengandung cacat hukum karena dijatuhkan pada saat kondisi psikologis suami yang tidak stabil dan kondusif. Hal ini juga menghindari adanya kemungkinan pertimbangan-pertimbangan pendek yang temporal yang dapat mendorong kearah keputusan yang emosional dan kondisi sesaat yang menekan mereka.

Oleh karena itu dengan pertimbangan kemaslahatan dan kemudlaratan berkenaan dengan sebab musabab, hukum talak atau kedudukan talak berkutat dalam wilayah al-Ahkam al-khamsah. Karena itu hukum talak beredar antara wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Dan dapat dijelaskan sebagai berikut;

a. wajib, yaitu: “talak hakamain (juru damai) dalam hal syiqaq (perselisihan hebat antara suami-isteri), karena juru damai memandang bahwa talak itulah satu-satunya jalan untuk menghentikan syiqaq mereka”.[166]

b.   Sunat, yaitu: “talak dengan sebab buruknya akhlak isteri dan tabi’atnya dan tidak menjaga kehormatannya”.[167]

  1. Mubah, yaitu; talak ketika ada hajat karena kedua suami-isteri telah sepakat untuk bercerai, mungkin mereka merasa sudah tidak dapat lagi melanjutkan kehidupan perkawinan mereka lagi.[168]
  2. Makruh, yaitu; “menjatuhkan talak dengan tidak ada sebab yang berhajat pada cerai”.[169]
    1. Haram, “apabila menjatuhkan talak ketika isteri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci yang telah dicampuri”.[170] Atau menjatuhjkan talak kepada isteri tanpa ada sebab apa-apa, karena tindakan tersebut menyakiti isteri dan tidak patut.[171]

Dalam ketentuan perundang-undangan perkawinan di Indonesia sendiri hak talak tidaklah merupakan monopoli pihak laki-laki saja, sebab perempuan juga memiliki hak yang sama dalam hal ini walaupun dengan penggunaan istilah yang berbeda. Hal ini dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan, “masing-masing pihak (suami-isteri) berhak untuk melakukan perbuatan hukum”.[172] Dan dalam Pasal selanjutnya dijelaskan, “jika suami-isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan”.[173] Begitu pula dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan bahasa redaksi yang sama dalam Pasal 77 Ayat (5).

Sebagai catatan penting dalam masalah hak suami menjatuhan talak kepada isteri yang nusyuz, bahwasanya talak atau perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan yang terahir setelah ikhtiar dan segala daya upaya yang telah dilakukan guna perbaikan kehidupan perkawinan dan jika tidak ada jalan lain lagi kecuali perceraian suami-isteri. Atau dengan perkataan lain bahwa perceraian itu adalah way out pintu darurat bagi suami-isteri demi kebahagiaan yang dapat diharapkan setelah perceraian itu. Hal ini tentu saja dengan pertimbangan bahwa melakukan talak merupan sesuatu yang dibenci oleh Allah, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi;

وأبغض الحلال الى الله عزوجل الطلاق[174]

       Sungguh sangat tidak rasional dan terlalu gegabah jika permasalahan yang timbul dalam keluarga hanya diselesaikan dengan perceraian begitu saja, padahal masih ada seribu satu jalan keluar dan selalu masih ada harapan besar untuk kembali merajut beneng-benang yang terlanjur kusut dalam rumah tangga.

BAB I

 

 

 

 

Tindak Kekerasan Terhadap Isteri dalam Rumah Tangga

Menurut Emersen Dobas dan Russe Dobas sebagaimana dikutip Pajar P. Widodo menyatakan bahwa institusi keluarga merupakan tempat yang paling rawan bagi perempuan dan memungkinkan terjadinya kekerasan terhadap mereka. Selanjutnya disebutkan bahwa posisi perempuan tidak terlepas dari sistem masyarakat yang melingkupinya, subordinasi perempuan dalam masyarakat sebenarnya sudah berlangsung secara universal.[175] Hal ini sesuai dengan pendapat Rosaldo (1974) yang menyatakan adanya pembagian kerja peran asimetris antara pria dan wanita melalui model struktural  dimana ada hubungan dengan aspek psikologis, kultur dan sosial. Kondisi ini menumbuhkan konsep perbedaan orientasi antara perempuan dan laki-laki, antara orientasi domestik dan publik. Selanjutnya kondisi demikian menumbuhkan dan melegitimasi bahwa perempuan adalah sekunder dan laki-laki adalah primer.[176]

Kekerasan secara umum didefinisikan sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk melukai seseorang atau merusak barang. Dalam hal ini pengertian kekerasan lebih menekankan pada hal yang bersifat fisik. Tetapi pengertian ini diperluas lagi sesuai perkembangan masyarakat itu sendiri sebagaimana yang diungkapkan oleh Mac Kenzie (1978) yang dikutip Erina Pane menyatakan “kekerasan diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik untuk melukai manusia atau untuk merusak barang serta mencakup ancaman dan paksaan terhadap kebebasan individu”.[177] Sedangkan Harkistuti Harkisnowo sebagaimana dikutip oleh Sri Sanituti memberikan pengertian tindakan kekerasan terhadap perempuan secara luas sebagai berikut: “segala tindakan seseorang yang menyakiti seseorang perempuan, baik secara fisik maupun non fisik”.[178]

Berdasarkan pengertian di atas maka ada dua macam bentuk kekerasan yaitu kekerasan fisik dan kekerasan secara psikis. Menurut pendapat Joint Action Group Against Violence Women dari Malaysia (1985) kekerasan fisik dapat dibagi menjadi tiga yaitu: (1) pelecehan seksual, (2) perkosaan dan (3) pemukulan. Sedangkan kekerasan psikis dapat berbentuk ancaman atau gangguan yang dilakukan terhadap korban sehingga korban mengalami ketidakbebasan.[179]

Terminologi kekerasan domestik atau kekerasan rumah tangga pada dasarnya merupakan suatu batasan yang merujuk kepada kekerasan yang terjadi dalam lokus rumah tangga atau biasa disebut “keluarga”. Dalam arti kata, siapa pun yang dapat dikategorikan sebagai anggota keluarga adalah pihak yang dapat dikatgorikan sebagai pelaku atau korban kekerasan domestik ini. Fakta menyebutkan salah satu tindak kekerasan tersebut adalah dilakukan oleh suami terhadap isterinya, yang selanjutnya disebut kekerasan terhadap isteri.[180]

Dalam banyak kepustakaan, tindak kekerasan dalam rumah tangga dipersempit lagi artinya pada penganiayaan terhadap isteri sebagai korban, dibandingkan dengan anggota keluarga lainya. Dipertegas oleh Sanituti (1990) bahwa kekerasan terhadap isteri (perempuan) merupakan suatu gejala sub kebudayaan yang dihubungkan dengan faktor-faktor kultural tertentu, dimana kekerasan dipergunkan untuk menyelesaikan sengketa/perselisihan diantara mereka, seperti penekanan pengakuan pada adanya kekuatan/kekuasaan suami (laki-laki) dalam lingkungan keluarga yang banyak terdapat pada masyarakat timur umumnya dan masyarakat Indonesia khususnya. Sehingga pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga didominasi oleh laki-laki yang pada umumnya kaum muda yang berusia 20-40 tahun, walaupun ada juga pelaku dari kalangan yang berusia 41-55 tahun walaupun sedikit.[181]

Kekerasan terhadap isteri pada prinsipnya merupakan salah suatu fenomena pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan merupakan masalah sosial serius yang kurang mendapat tanggapan dari masyarakat. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa kekerasan terhadap isteri memiliki ruang lingkup relatif tertutup dan terjaga ketat privatinya karena persoalannya terjadi dalam area keluarga, dan terjadi dalam lembaga yang legal, yaitu perkawinan. Kekerasan ini juga dianggap “wajar”, karena diyakini bahwa memperlakukan isteri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga.[182]

Untuk memahami realita kekerasan terhadap isteri sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan (violence against women) diperlukan telaah yang berperspektif perempuan, sebab tanpa itu akan terus terjebak dalam berbagai mitos[183] yang menggiring pada pelestarian budaya viktimisasi terhadap perempuan. Padahal, kekerasan terhadap isteri adalah bahaya terbesar bagi kaum perempuan daripada bahaya kekerasan dijalanan. Hal ni disebabkan oleh beberapa faktor seperti yang telah dijelaskan di atas. 

Isu kekerasan terhadap isteri sendiri tidak bisa terlepas dari konteks budaya dan agama yang cendrung patriakhi dan juga moralitas suami. Karena tindak kekerasan dalam rumah tangga dikalangan umat mu4slim dewasa ini ketika dilacak tidak hanya bersumber dari Ayat-Ayat al-Qur’an saja,[184] kotruksi budaya dan agama yang patriakhi telah menimbulkan belbagai bentuk ekses negatif yang merugikan posisi dan peran isteri.[185] Agama-agama besar di dunia pada dasarnya melegitimasi pandangan-pandangan ini. Dalam dunia Islam misalnya, terdapat beberapa hal yang memberi peluang kepada suami untuk dapat menikahi perempuan lain, dan hanya dengan menegucapkan talak tiga secara otomatis suami-isteri secara hukum telah bercerai dan tidak ada alasan lagi bagi kedua belah pihak untuk mngadakan perujukan kembali.[186]

Sebenarnya kekerasan yang dilakukan oleh suami tidak sepenuhnya disebabkan oleh peluang yang diberikan oleh kultur dan agama yang patriakhi saja, tetapi juga bisa disebabkan oleh moralitas suami. Aspek ini cukup beralasan, sebab tidak sedikit kekerasan yang dilakukan terhadap isteri berawal dari adanya prilaku-prilaku abnormal suami, seperti penyimpangan dalam berhubungan seksual.

Menurut hemat penulis, kekerasan terhadap isteri terjadi karena:

  1. Adanya anggapan masyarakat bahwa laki-laki memiliki kedudukan lebih tinggi dari perempuan atau isterinya, sehingga suami berhak memperlakukan isteri sekehendak hatinya.
  2. Adanya prilaku meniru seorang anak laki-laki yang melihat bapaknya melakukan tindak kekerasan terhadap ibunya atau melihat kekerasan melalui telivisi dan media lainya sehingga ia memiliki kecendrungan akan melakukan hal yang sama terhadap pasangannya kelak.
  3. Adanya penafsiran yang keliru terhadap ajaran agama, misalnya suami boleh memukul isterinya apabila nusyuz. Ajaran ini sering dipahami sebagai pembenar tindak kekerasan terhadap isteri.

Kekerasan terhadap isteri, tergolong tema baru dalam khazanah ilmu sosial, sebab feminisme sebagai induk yang melahirkan konsep ini juga tergolong baru. Kekerasan terhadap isteri adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri.[187] Kekerasan terhadap isteri merupakan bagian dari kekerasan rumah tangga (domestic violence) dan kekeran dalam rumah tangga merupakan bagian kekerasan dalam keluarga (family violence).

Kekerasan terhadap isteri (KTI) mempunyai empat bentuk. Pertama, kekerasan fisik seperti memukul, menampar, meludahi, menjambak, menendang, menyulut dengan rokok, melukai dengan barang atau senjat dan sebagainya. Kedua, kekerasan emosional seperti mencela, menghina, berbicara secara kasar, mengancam atau menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak, mengisolir isteri dari dunia luar dan sebagainya. Ketiga, kekerasan ekonomi seperti tidak memberi belanja, memakai atau menghabiskan uang isteri dan sebagainya. Keempat, kekerasan seksual seperti memaksa berhubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak isteri.[188]

KTI ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, adanya budaya yang mengenal perbedaan posisi secara struktural dalam kehidupan perkawinan. Penetapan peran suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga memberikan peluang bagi terjadinya pelanggaran hak asasi perempuan dalam perkawinan. Selama ini pelanggaran terhadap hak asasi perempuan dalam perkawinan kurang terdengar karena hal itu dianggap lumrah dan biasa. Dalam masyarakat kebanyakan masih memegang norma sosial yang mengatakan bahwa kehidupan dalam perkawinan (rumah tangga) adalah merupakan sebuah area yang tertutup atau “hanya untuk kalangan sendiri”. Akar budaya yang melatar belakangi pemahaman hirarkhi struktural ini adalah budaya patriakhi.[189] Kedua, pemahaman yang berbias gender terhadap ajaran agama. Contoh pemahaman yang keliru terhadap makna nusyuz mengakibatkan pemahaman bahwa memukul isteri itu memang diperbolehkan, tanpa mengkaji lebih jauh mengenai hal itu.[190] Ketiga, kebijakan Negara yang mendukung supremasi laki-laki atas perempuan seperti kebijakan KB yang lebih menekankan perempuan (isteri) untuk memakai alat kotrasepsi, pembakuan Undang-Undang yang mendukung laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga.[191]

 

Nusyuz Sebagai Pemicu Tindak Kekerasan Terhadap Isteri

Dari hasil penelitian dalam skripsinya Wahid Hsyim tentang korelasi nusyuz dengan kekerasan terhadap isteri (studi kasus di Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta 2001) dinyatakan bahwa ada empat macam jenis kekerasan yang terjadi yakni pertama, kekerasan fisik. Kedua, kekerasan psikis. Ketiga, kekerasan seksual, dan keempat kekerasan ekonomi. Dan jika dilihat secara keseluruhan, maka kekerasan yang terjadi tidak selalu disebabkan secara mandiri oleh penyelewengan isteri. Hanya beberapa kasus menunjukkan karena perempaun mempunyai teman dekat laki-laki maka suaminya cemburu. Akan tetapi kekerasan yang dilakukan oleh suami tidak sekedar dipicu oleh penyelewengan itu.[192]

Penyelewengan isteri juga tidak bisa dipahami sebagai prilaku mandiri yang tidak berkaitan dengan suami. Ini merupakan respon dari jenis komunikasi yang diciptakan. Jadi penyelewengan isteri sebenarnya tidak bisa disebut sebagai pemicu atau sebab dari kekerasan. Oleh karena itu nusyuz tidak bisa dikatakan sebagai penyebab utama dari kekerasan terhadap isteri. Nusyuz hanya sebagai sebab salah satu pemicu kacil yang menyembunyikan sebab yang lebih besar.

Hampir dari kesemua persoalannusyuz bukanlah pemicu langsung yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap isteri, akan tetapi ada hubungan saling mempengaruhi diantara terjadinya nusyuz dan kekerasan terhadap isteri. Disuatu saat nusyuz menjadi pemicu kekerasan dan disaat yang lain kekerasan itu yang menimbulkan protes dari isteri sehingga ia berbuat nusyuz.[193]

Bentuk nusyuz lainya, adalah sikap isteri yang membantah perkataan atau perintah suami, pada beberapa kasus tampak bahwa suami merasa isteri melanggar etiket perkawinan karena membantah ataupun melanggar perintah suami. Misalnya, tidak boleh bekerja tetap saja bekerja. Pada beberapa kasus sikap membantah ini, menjadi penyebab terjadinya ketegangan antara suami dan isteri, dan ada yang di akhiri dengan tindak pemukulan terhadap isteri oleh suami. Dengan demikian, sikap membantah ini dalam kategori nusyuznya isteri berakibat negatif yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya tindak kekerasan terhadap isteri. Meskipun demikian, hal ini pun dipengaruhi faktor relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Dalam lingkungan budaya masyarakat yang patriakat jelas bahwa laki-laki (suami) selalu memandang dirinya sebagai pemimpin dalam keluarga, dan oleh karena itu wajib ditaati. Laki-laki (suami) secara sepihak memandang bahwa pihak perempuan telah berlaku nusyuz dengan membantah, maka dari itu layak untuk ditindak.

Berikut ini akan dipaparkar sebagian hasil survey dari sejumlah 1315 kasus kekerasan terhadap isteri yang masuk dan ditangani di Rifka Annisa’ antara tahun 1994-2000 yang menjadi obyek penelitian Wahid Hasyim. Walaupun tidak dari kesemua kasus yang ada menunjukkan adanya alasan nusyuz sebagai pemicu kekerasan terhadap isteri. Adapun beberapa kasus yang beralasan nusyuz adalah sebagai berikut.[194]

No

No. Registrasi

Nama

Usia

Pekerjaan

Agama

Pendidikan

Usia Perkawinan

Indikasi Nusyus

1

797

MMz

31 tahun

Karyawan

Islam

7 tahun

–       tidak mau tinggal di rumah.

–       cari kost sendiri tanpa izin suami

2

890

HSB

Karyawan

Islam

SLTA

7 tahun

–       boncengan dengan temen kerja.

3

920

Shr

25 th.

Karyawan

Islam

SLTP

5 tahun

–       menikah sebelum cerai suami.

4

625

Sbn

27 th.

Ibu RT.

Islam

SD

9 tahun

–       berhubungan seks dengan pria lain.

–       membantah perkataan suami.

5

799

SH

41 th.

Karyawan, PN

Islam

SLTA

15 tahun

–       berduaan bersama pria lain.

–       pergi ke hotel sampai pagi tanpa seizin suami.

–       tidak mau mengurusi anak.

6

797

SN

24 th.

Karyawan

Islam

D3

8 tahun

–       minta cerai karena suami belum kerja.

–       selingkuh dengan teman sekantor (menurut suami)

–       pulang ke orang tua tanpa izin.

7

812

ES

Ibu RT.

Islam

PT

10 tahun

–       selingkuh dengan temen.

8

670

DRD.

28 th.

Ibu RT.

Islam

SMA

8 tahun

–       tidak mau memenuhi kemauan suami.

9

685

Pr.

28 th.

Ibu RT.

Islam

SMP

4 tahun

–       tidak taat atas kehendak suami.

10

739

Ans.

39 th.

Swasta

Katolik

PT

15 tahun

–       tidak taat atas kehendak suami.

11

701

Ida

45 th.

Swasta

Islam

PT

14 tahun

–       bekerja yang tidak dikehendaki suami.

12

878

AP

27 th.

Ibu RT.

Hindu

PT

6 tahun

–       tidak patuh suami.

13

754

LS

23 th.

Ibu RT.

Islam

PT

1 tahun

–       punya teman dekat suami cemburu dan tidak setuju.

14

796

Try

31 th.

Ibu RT.

Islam

PT

7 tahun

–       selingkuh.

–       pulang ke rumah orang tua tanpa izin.

15

784

Dy

33 th.

Ibu RT.

Islam

PT

9 tahun

–       menolak kedatangan suami.

–       pulang kerumah orang tua tanpa izin.

16

889

Why

26 th.

Karyawan

Islam

PT

2 tahun

–       tidak taat suami.

17

847

Eri

49 th.

Ibu RT.

Islam

SD

31 tahun

–       menolak menerima anak dari wil suami.

18

806

Is

Pedagang

Islam

SLTA

25 tahun

–       dominan dan suka ngomel yang tidak disukai oleh suami.

19

Tuk

41 th.

Swasta

Islam

SD

23 tahun

–       keluar rumah karena takut suami.

20

714

YUR

53 th.

Swasta

Islam

PT

7 tahun

–       ingin cerai.

–       tidak patuh suami.

21

728

War

49 th.

PNS.

Islam

SMA

21 tahun

–       tidak patuh pada kehendak suami.

 

Dari sekian kasus yang ada sebagaima terklasifikasi dalam tabel di atas meskipun hanya empat di antaranya yang diteliti oleh Wahid Hasyim yaitu pada kasus  MMz (No. Reg. 794), kasus DRD (No. Reg. 670), kasus Ida (No. Reg. 701), kasus LS (No. Reg. 754), dan kasus Try (No. Reg. 796), namun identifikasi terjadinya tindak kekerasan oleh suami terhadap isterinya yang diindikasikan melakukan nusyuz tersebut bersifat hampir merata.

Tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka meliputi tindak kekerasan fisik seperti memukul, menampar, menjambak, melempar, meludah dan lain sebagainya. Kekerasan psikhis seperti mencela, membentak, marah-marah, mengancam dan lain-lain. Kekerasan ekonomi seperti tidak memperdulikan nafkah isteri dan anak secara cukup bahkan tidak sama sekali, memanipulasi harta bersama untuk kepentingan dirinya sendiri. Kekerasan seksual seperti tidak memperdulikan kebutuhan seksual isteri, memaksakan kehendak seksualnya tanpa perduli keinginan isteri dan sebagainya.[195]

Persoalan yang lain, dalam masyarakat ayat tentang nusyuz ini menjadi semacam pembenaran dari sikap sewenang-wenang suami terhadap isteri. Dan kebanyakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap isterinya dalam rumah tangga diklaim telah mendapatkan justifikasi dalam surat an-Nisa’ (4):34. Masyarakat tidak menyadari prilaku memukul terjadi karena suami “lepas kontrol”. Dan diantara penyebab kekerasan tersebut adalah adanya konflik antara suami dan isteri (nusyuz).

Karakteristik umum kekerasan terhadap isteri bersifat merata, baik dalam tingkat wilayah elit maupun kelas ekonomi rendah, namun tetap bersifat rahasia dan sulitnya mengakses informasi yang memadai tentang hal itu. Idiologi dikotomi publik dan privat dengan asosiasi bahwa publik adalah urusan laki-laki dan privat merupakan urusan perempuan memiliki peran besar dalam melanggengkan violence against women. Dikotomi ini menyebabkan masyarakat lepas tangan dari setiap persoalan kekerasan domestik karena dianggap masalah privat.[196]

Pemukulan sebagai langkah yang harus ditempuh dalam masalah nusyuz seringkali diyakini sebagai suatu landasan idiologis kekerasan terhadap isteri. Dan tidak hanya terbatas pada persoalan pemukulan saja tentunya, sebab dalam masalah nusyuz ini suami juga memiliki hak-hak yang lain seperti hak ‘mengkarangtina’ isteri atau hak hijr, memboikot hak nafkahnya dan menjatuhkan talak. Padahal, kalau melihat konteks turunya Ayat nusyuz tersebut sebenarnya turun dalam rangka merespons kasus Saad bin Rabi’ dengan isterinya Habibah binti Zaid.[197]

Dari kasus yang menjadi sabab an-uzul Ayat diatas dapat diambil suatu titik idealita yang menjadi cita-cita Nabi, yaitu keadilan tanpa memandang jenis kelamin, bahkan dalam relasi keluarga (suami-isteri). Namun dalam hal ini Nabi terlalu idialis sehingga Allah perlu meluruskan kembali dan mengigatkan kondisi kesiapan masyarakat Arab kala itu yang belum mampu untuk menerima perubahan secara radikal. Nabi diinggatkan untuk kembali bersikap realistik bahwa masyarkatnya masih sangat baru dalam mengenal konsep kesetaraan dalam tata kehidupannya. Sturktur masyarakat Arab yang masih sangat patriakhis akan bergejolak dan sulit untuk menerima misinya. Hukum, bagaimanapun, tidak dapat berjalan tanpa adanya pertimbangan terhadap kesiapan masyarakat dan kondisi sosial budayanya.

 

Upaya Penyelesaian Dalam Persoalan Nusyuz

Al-Qur’an berbicara tentang hubungan suami-isteri, sebagaimana hubungan layaknya mitra, bukan seperti antara majikan dan pembantu. Dalam kehidupan rumah tangga, untuk mencapai tujuan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, seseorang harus memahami bagaimana dia berperan dalam rumah tangga, pengetahuan tentang hak dan kewajiban sebagai suami-isteri dalam menjalani kehidupan rumah tangga berdasarkan kebersamaan yang saling menghormati.

Terhadap persoalan nusyuz ini ada beberapa cara mensikapinya atau aturan hukumnya. Bila nusyuz dari pihak suami, maka isteri bisa mengambil dua langkah. Pertama, dia berusaha untuk bersikap sabar dan kedua, meminta gugat cerai dengan tebusan atau khuluk. Jadi penyelesaianya lebih mengacu pada ketentuan hakim di pengadilan.

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dinyatakan seorang isteri mempunyai wewenang jika mengalami nusyuz suami yaitu: pertama; bersabar, jalan lainnya adalah mengajukan khulu’ dengan kesediaan membayar ganti rugi kepada suaminya sehingga suaminya mau menjatuhkan talak.[198]

Suami yang berubah sikapnya terhadap isteri, menurut Quraish Shihab juga disebut nusyuz. Memang secara teks terdapat perbedaan antara nusyuz yang dilakukan oleh suami maupun oleh isteri dalam hal solusinya, bahkan dalam Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam tidak menyebutkan secara terperinci hukum tentang nusyuz seorang suami. Hal inilah yang selama ini memberi kesan adanya ketimpangan dan ketidakadilan gender dalam masalah nusyuz. Di satu pihak ketika persoalan nusyuz muncul dari pihak isteri selalu saja direspon sebagai persoalan serius dan harus segera ditindak. Sedangkan bila hal itu muncul dari pihak suami maka dianggap sebagai hal wajar dan tidak perlu dibesar-besarkan, dan hendaknya isteri barsabar sekaligus berusaha untuk berdamai.

Dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ Ayat 128 menawarkan solusi bagi suami yang melakukan nusyuz yaitu sebuah perdamaian yang dilakukan oleh isteri kepada suaminya. Ayat ini, menurut Quraish Shihab, memberi contoh isteri atau suami memberi atau mengorbankan sebagian haknya kepada pasangannya demi menghindari sebuah perceraian.[199]

Dalam al-Asas fi at-Tafsir, Sa’id Hawa menjelaskan bahwa berdamai itu lebih baik dari pada berpisah, nusyuz atau pun setiap jenis permusuhan adalah salah satu  dari  kejahatan, sebaliknya  berdamai  adalah merupakan salah satu dari kebaikan. Sa’id mengutip  Ayat وأحضرت الأنفس الشحّ (perangai  kikir). Artinya jika kekikiran sudah menjadi tabiat dan sulit dielakkan, namun keduanya masih tetap mencari solusi untuk mendapatkan kemaslahatan dan kemanfaatan, kemudian dengan begitu Tuhan akan meningkatkan kebaikan dan ketaqwaan. Dalam firman tersebut terdapat anjuran untuk menghindari tabiat-tabiat yang jelek dan supaya mengikuti anjuran syari’at seperti firman Allah:

وإن تحسنوا وتتقوا فإن الله كان بما تعملون خبيرا[200]

Maksudnya adalah jika kamu membenci dan tidak mencintainya, maka bersabarlah atas keadaan demikian. Hal ini di dasarkan atas (untuk) menjaga hak-hak dan menghindari berbuat durhaka, berpaling dari apa-apa yang akan membawa kepada kehancuran dan permusuhan. Asbab an-nuzuldari Ayat ini adalah Sa’id mengutip dalam Sunan Sa’id bin Mansur dari Uswah: Saudah adalah wanita yang sudah tua, maka Saudah meminta kepada Rasul (sekalipun berat) untuk memberikan jatah harinya (gilirannya) kepada Aisyah, karena dia tahu kecintaan Rasul kepada Aisyah, kemudian Rasul menerimanya.[201]

Bila nusyuz berasal dari pihak isteri, maka suami bisa mengambil empat langkah penyelesaian. Pertama, menasehati setelah berintropeksi dan menasehati diri sendiri. Kedua, pisah ranjang dan tidak saling tegur sapa. Langkah kedua ini tidak boleh dijalankan lebih dari tiga hari atau maksimal empat bulan kalau dianologikan dengan hukum illa’. Ketiga, memukul. Para ualama berbeda pendapat mengenai bentuk pemukulan ini. as-Sabuni dan Wahbah az-Zuhailiy mengatakan tidak boleh memukul muka, perut dan pukulan yang menetap pada satu bagian sehingga dapat menambah rasa sakit. Imam Hanafi menetapkan, berdasarkan hadis riwAyat Bukhari dan Muslim, untuk pukulan ini mengunkan tidak lebih dari sepuluh batang lidih.[202]

Di dalam Minhaj yang dikutip oleh al-Jamal (W.1204) menyebutkan bila telah muncul tanda-tanda nusyuz dari isteri, suami bisa menasehati. Bila telah jelas-jelas yakin dia nusyuz, maka suami bisa memisahi ranjang dan memukul tanpa menyakitkan.[203] Langkah keempat adalah mengadakan perjanjian damai dengan juru damai. Perdamaian ini bukan lagi kategori dalam nusyuz, tetapi dalam syiqaq, yakni kebencian yang telah mewarnai kedua belah pihak. Bagi pihak yang secara jelas membedakan nusyuz dan syiqaq.

Sebagai sebuah catatan yang harus selalu diperhatikan adalah bahwa hak atau kewenangan suami dalam memperlakukan isteri saat nusyuz seperti yang dijelaskan dalam surat an-Nisa’  (4): 34, juga haknya untuk melakukan pencegahan nafkah isteri dan juga hak untuk menjatuhkan talak, semua itu diberikan kepada laki-laki bukan dengan tujuan sebagai pihak yang berwenang menghukum, juga bukan dengan pertimbangan kekuasaan ada pada dirinya sebagai pemimpin, tetapi hal itu diberikan  kepadanya sebatas sebagai metode edukatif sekaligus solusi dalam menyikapi persolan yang timbul dalam rumah tangga sesuai dengan fungsinya sebagai pengayom, pelindung dan pengatur untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh;

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة[204]

Penulis beranggapan bahwa ketimpangan menyangkut relasi suami-isteri dalam rumah tangga yang terjadi dalam kehidupan sosial kita adalah karena beberapa faktor. Salah satunya adalah kontruksi budaya tentang anggapan wanita atau isteri merupakan hak sepenuhnya suami, dan isteri berkewajiban merahasiakan persoalaan keluarga kepada orang lain. Banyak korban yang menderita di dalam rumah tangganya, isteri yang kehilangan hak-haknya sebagai manusia yang seharusnya  diperlakukan secara manusiawi.

Ketika persoalan nusyuz muncul, baik yang dari pihak isteri maupun dari pihak suami sering kali menggiring mereka dalam situasi genting dan lepas kontrol dalam bersikap terhadap pasangannya. Hal ini tentu saja lebih rawan lagi bagi posisi perempuan, baik itu saat mereka yang nusyuz atau ketika ia berhadapan dengan suami yang nusyuz. Dalam dua masa transisi semacam ini kerap kali       mereka harus menjadi korban yang sangat tidak diuntungkan. Artinya, ketika mereka nusyuz, maka posisi mereka sangat terancam dengan adanya hak-hak suami yang telah mendapatkan legalitas hukum untuk menindak mereka, yang selama ini lebih dipahami oleh para lelaki sebagai hak untuk menghukum. Begitu pula di saat yang nusyuzpihak suami, pihak isteripun yang kerap kali dijadikan alasan sebagai faktor pemicunya dan sebagai pihak yang patut dipersalahkan, sehingga kerap kali pihak isteri mendapatkan “getah” yang berupa tindak kekerasan.

 

Sanksi Pidana Terhadap Suami Yang Melampaui Hak-haknya

Dalam menghadapi persoalan nusyuz memang hendaknya hal tersebut dapat disikapi secara proporsional, artinya sudah semestinya salah satu diantara suami dan isteri mampu memahami kondisi psikologis pasangan masing-masing yang sedang nusyuz sekaligus melakukan koreksi terhadap diri sendiri dan berani mengaku salah jika memang adanya demikian, sehingga kesepahaman dapat kembali terbangun diantara mereka. Dengan istilah lain mereka harus tetap mengupayakan rekonsuliasi dengan mengedepankan keutuhan rumah tangga dan kepentingan mereka beserta anak-anak. Namun jika persoalan nusyuz tersebut tak kunjung usai dan terasa semakin memuncak sehingga sudah mengarah pada tingkat syiqaq atau percekcokan diantara suami-isteri secara timbal balik dan tidak mungkin lagi untuk diselesaikan dengan jalan damai, maka upaya jalur hukum yang lain seperti perceraian merupakan jalan yang dapat ditempuh sebagai solusi akhir. Terlebih lagi ketika percekcokan itu mengakibatkan timbulnya tindak kekerasan terhadap salah satu pasangan, khususnya isteri. Maka jalur hukum sebagai upaya memberikan jaminan perlindungan terhadap korban dan pemberian hukuman terhadap pelaku sudah semestinya ditempuh.

Salah satu aspek hukum dalam upaya membantu korban tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah perundang-undangan. Sampai saat ini perundang-undangan yang dipergunakan atau menjadi rujukan penegak hukum dalam mengenai kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dan istilah yang biasa digunakan dalam kedua Kitab Undang-undang tersebut menyangkut tindak kekerasan adalah penganiayaan. Sedangkan istilah tindak kekerasan baru digunakan dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang baru saja disahkan oleh pemerintah.

Kata “aniaya” berarti perbuatan bengis seperti perbuatan penyikasaan atau penindasan; menganiaya artinya memparlakukan sewenang-wenang dengan mempersakiti, atau menyiksa, dan sebagainya. Penganiayaan artinya perlakuan yang sewenang-wenang dengan penyiksaan, penindasan dan sebagainya terhadap teraniaya.[205]

Kasus-kasus yang berhubungan dengan kekerasan terhadap isteri di dalam rumah tangga dimasukkan dalam jenis perkara penganiayaan dengan tuntutan hukum penjara berdasarkan Pasal 351 Ayat (1) KUHP yang berisi mengenai penganiayaan yang diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Dan Pasal 351 Ayat (2) yang berisi mengenai penganiayaan yang mengakibatkan luka-luka berat, dan pelaku diancam pidana penjara paling lama lima tahun dan satu kasus dengan junto Pasal 356 untuk penganiayaan terhadap isteri pelakunya dapat dihukum berdasarkan Pasal 356 (penganiayaan dengan pemberatan pidana) karena penganiayaan itu dilakukan terhadap isteri, suami, ayah, ibu dan anaknya. Perbuatan penganiayaan dalam KUHP dibedakan atas:[206]

(a)      penganiayaan ringan, apabila penganiayaan itu tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekarjaan jabatan atau pencaharian, yang diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Hukuman ini dapat bertambah sepertiga bagi pelaku yang menganiaya orang yang bekerja padanya atau sebagai bawahanya (Pasal 352 KUHP)

(b)      penganiayaan dengan rencana, apabila sebelum perbuatanya dilaksanakan telah direncanakan atau disiapkan lebih dahulu untuk pelaksanaanya. Penganianyaan dengan rencana diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika teraniaya menderita luka berat pelakunya dipidana penjara paling lama tujuh tahun, jika teraniaya itu mati maka pelakunya dipidana paling lama sembilan tahun (Pasal 353 KUHP)

(c)      penganiayaan berat, apabila perbuatan itu dilakukan dengan sengaja untuk melukai orang lain. Pelakunya diancam penjara paling lama delapan tahun, jika teraniaya sampai mati maka pelakunya dipidana penjara paling lama sepuluh tahun (Pasal 154 KUHP)

Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selain melindungi hak-hak asasi tersangka atau terdakwa juga melindungi hak-hak asasi orang yang menjadi korban tindak pidana (victim crime), serta pihak lain yang dirugikan dalam kasus pidana. Hal ini diatur dalam KUHAP Bab XIII tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian, yaitu dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101.[207]

Penganiayaan ini juga dapat dijadikan alasan bagi isteri untuk mengajukan gugatan perceraian berdasarkan Pasal 19 PP nomor 9 tahun 1975 dan dapat menyebabkan jatuhnya talak menurut sighat taklik talak yang diucapkan suami sesaat akad dilangsungkan. Masalahnya, dalam prakteknya perlindungan hukum yang ada ini tidak efektif karena berbagai faktor. Salah satunya adalah karena kurang sensitifnya para penegak hukum terhadap kepentingan dan hak-hak perempuan. Demikian pula sifat masyarakat kita yang cendrung menyalahkan perempuan dalam banyak hal telah menghambat kaum perempuan untuk memperkarakan persoalannya secara hukum. Dengan kata lain jika kita berbicara pada tingkat perlindungan kepada korban-korban kekerasan, dapat dikatakan keadilan masih jauh dari jangkauan kaum perempuan. Hal ini terjadi karena masih adanya asumsi-asumsi gender dan nilai-nilai patriarkhi baik dalam subtansi hukumnya sendiri (legal substance), struktur hukumnya (legal structure) maupun dalam sikap masyarakat termasuk sikap kaum perempuan sendiri.[208]

Setelah disahkannya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004 pada tanggal 22 bulan September tahun 2004 yang lalu, upaya penghapusan tindak kekerasan dalam rumah tangga khususnya terhadap kaum perempuan kiranya telah mendapatkan pijakan yuridis yang kokoh. Walaupun di dalam upaya sosialisasi dan implementasinya masih belum maksimal, namun setidaknya Indonesia sekarang telah memiliki perangkat hukum yang jelas dan secara khusus mengatur tentang perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga sekaligus ketentuan pidana bagi pelaku tindak kekerasan tersebut. Dengan itu diharapkan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga khususnya terhadap perempuan bagaimanapun bentuknya dan apa pun alasan yang melatarbelakanginya dapat diproses secara hukum sehingga rasa keadilan dapat diperoleh oleh pihak yang dirugikan.

Terdapat hal yang menarik ketika mencoba membawa persoalan hukum nusyuz dalam Islam ke dalam konteks hukum ke-Indonesiaan, hal ini berkaitan dengan adanya kenyataan, pertama, bahwa mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Kedua, hukum perdata keluarga yang dipakai juga hukum Islam yang juga di dalamnya memuat ketentuan tentang nusyuz. Ketiga, masih kuatnya dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam segala sektor karena kokonya budaya patriakhi dalam realitas sosialnya.

Maksud pengkorelasian beberapa fakta tersebut adalah untuk mengambarkan bahwa dalam kenyaataan masyarakat kita persoalan nusyuz yang merupakan hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan rumah tangga, dan akan sangat mungkin sekali menjadi pemicu terjadinya tindak kekerasan terutama terhadap pihak perempuan oleh suami karena adanya hak dan kewenangan yang dimilikinya dalam menyikapi atau menanggulangi sikap nusyuznya isteri. Dan dalam persoalan ini, bagi pihak isteri telah tersedia sebuah jalur hukum untuk membela diri dan hak-haknya di depan hukum. Sebagaimana telah diketahui bahwa hak atau kewenangan suami terhadap isteri nusyuz, seperti haknya untuk menjahui isteri, memukulnya, dan mencegah hak nafkahnya dalam ketentuan hukum di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004, semua itu merupakan sebagian dari tindak kekerasan terhadap isteri yang dapat dituntut dan dijatuhi sanksi pidana.

Sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004, bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[209]

Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini adalah sebagaimana yang dijelaskan di dalamnya bahwa lingkup rumah tangga di sini meliputi:[210]

  1. suami, isteri, dan anak;
  2. orang-orang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau
  3. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Mengenai bentuk-bentuk kekerasan yang masuk dalam kategori dan klasifikasi Undang-undang ini sendiri dijelaskan bahwa, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:[211]

  1. kekerasan fisik
  2. kekerasan psikis
  3. kekerasan seksual, atau
  4. penelantaran rumah tangga.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Sedangkan mengenai kekerasan psikis yang dimaksud dalam huruf b adalah perbuatan yang yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam huruf c meliputi:[212]

  1. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut
  2. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Dan yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga dalam Undang-Undang ini adalah bahwasanya setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran sebagaimana dimaksud juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja secara layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.[213]

Sedangkan ganjaran bagi pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga hal itu diatur secara jelas dalam bab VIII tentang ketentuan pidana dengan penjelasan yang terinci sebagai berikut;

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud Ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).[214] Dan jenis tindak pidana ini sebagaimana disebut dalam Pasal 51 merupakan delik aduan.

Begitu pula setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).[215] Dan jenis tindak pidana ini sebagaimana disebut dalam Pasal 52 merupakan delik aduan.

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta).[216] Dan jenis tindak pidana ini sebagaimana disebut dalam Pasal 53 merupakan delik aduan. Begitu pula setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).[217]

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 di atas mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau (satu) tahun berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00).[218]

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:[219]

  1. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1);
  2. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (2).

Selain pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Bab ini hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan berupa:[220]

  1. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
  1. penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu.

BAB IV

TINDAK KEKERASAN TERHADAP ISTERI NUSYUZ

DAN KEMUNGKINAN SANKSI PIDANANYA

 

Tindak Kekerasan Terhadap Isteri dalam Rumah Tangga

Menurut Emersen Dobas dan Russe Dobas sebagaimana dikutip Pajar P. Widodo menyatakan bahwa institusi keluarga merupakan tempat yang paling rawan bagi perempuan dan memungkinkan terjadinya kekerasan terhadap mereka. Selanjutnya disebutkan bahwa posisi perempuan tidak terlepas dari sistem masyarakat yang melingkupinya, subordinasi perempuan dalam masyarakat sebenarnya sudah berlangsung secara universal.[221] Hal ini sesuai dengan pendapat Rosaldo (1974) yang menyatakan adanya pembagian kerja peran asimetris antara pria dan wanita melalui model struktural  dimana ada hubungan dengan aspek psikologis, kultur dan sosial. Kondisi ini menumbuhkan konsep perbedaan orientasi antara perempuan dan laki-laki, antara orientasi domestik dan publik. Selanjutnya kondisi demikian menumbuhkan dan melegitimasi bahwa perempuan adalah sekunder dan laki-laki adalah primer.[222]

Kekerasan secara umum didefinisikan sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk melukai seseorang atau merusak barang. Dalam hal ini pengertian kekerasan lebih menekankan pada hal yang bersifat fisik. Tetapi pengertian ini diperluas lagi sesuai perkembangan masyarakat itu sendiri sebagaimana yang diungkapkan oleh Mac Kenzie (1978) yang dikutip Erina Pane menyatakan “kekerasan diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik untuk melukai manusia atau untuk merusak barang serta mencakup ancaman dan paksaan terhadap kebebasan individu”.[223] Sedangkan Harkistuti Harkisnowo sebagaimana dikutip oleh Sri Sanituti memberikan pengertian tindakan kekerasan terhadap perempuan secara luas sebagai berikut: “segala tindakan seseorang yang menyakiti seseorang perempuan, baik secara fisik maupun non fisik”.[224]

Berdasarkan pengertian di atas maka ada dua macam bentuk kekerasan yaitu kekerasan fisik dan kekerasan secara psikis. Menurut pendapat Joint Action Group Against Violence Women dari Malaysia (1985) kekerasan fisik dapat dibagi menjadi tiga yaitu: (1) pelecehan seksual, (2) perkosaan dan (3) pemukulan. Sedangkan kekerasan psikis dapat berbentuk ancaman atau gangguan yang dilakukan terhadap korban sehingga korban mengalami ketidakbebasan.[225]

Terminologi kekerasan domestik atau kekerasan rumah tangga pada dasarnya merupakan suatu batasan yang merujuk kepada kekerasan yang terjadi dalam lokus rumah tangga atau biasa disebut “keluarga”. Dalam arti kata, siapa pun yang dapat dikategorikan sebagai anggota keluarga adalah pihak yang dapat dikatgorikan sebagai pelaku atau korban kekerasan domestik ini. Fakta menyebutkan salah satu tindak kekerasan tersebut adalah dilakukan oleh suami terhadap isterinya, yang selanjutnya disebut kekerasan terhadap isteri.[226]

Dalam banyak kepustakaan, tindak kekerasan dalam rumah tangga dipersempit lagi artinya pada penganiayaan terhadap isteri sebagai korban, dibandingkan dengan anggota keluarga lainya. Dipertegas oleh Sanituti (1990) bahwa kekerasan terhadap isteri (perempuan) merupakan suatu gejala sub kebudayaan yang dihubungkan dengan faktor-faktor kultural tertentu, dimana kekerasan dipergunkan untuk menyelesaikan sengketa/perselisihan diantara mereka, seperti penekanan pengakuan pada adanya kekuatan/kekuasaan suami (laki-laki) dalam lingkungan keluarga yang banyak terdapat pada masyarakat timur umumnya dan masyarakat Indonesia khususnya. Sehingga pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga didominasi oleh laki-laki yang pada umumnya kaum muda yang berusia 20-40 tahun, walaupun ada juga pelaku dari kalangan yang berusia 41-55 tahun walaupun sedikit.[227]

Kekerasan terhadap isteri pada prinsipnya merupakan salah suatu fenomena pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan merupakan masalah sosial serius yang kurang mendapat tanggapan dari masyarakat. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa kekerasan terhadap isteri memiliki ruang lingkup relatif tertutup dan terjaga ketat privatinya karena persoalannya terjadi dalam area keluarga, dan terjadi dalam lembaga yang legal, yaitu perkawinan. Kekerasan ini juga dianggap “wajar”, karena diyakini bahwa memperlakukan isteri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga.[228]

Untuk memahami realita kekerasan terhadap isteri sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan (violence against women) diperlukan telaah yang berperspektif perempuan, sebab tanpa itu akan terus terjebak dalam berbagai mitos[229] yang menggiring pada pelestarian budaya viktimisasi terhadap perempuan. Padahal, kekerasan terhadap isteri adalah bahaya terbesar bagi kaum perempuan daripada bahaya kekerasan dijalanan. Hal ni disebabkan oleh beberapa faktor seperti yang telah dijelaskan di atas. 

Isu kekerasan terhadap isteri sendiri tidak bisa terlepas dari konteks budaya dan agama yang cendrung patriakhi dan juga moralitas suami. Karena tindak kekerasan dalam rumah tangga dikalangan umat mu4slim dewasa ini ketika dilacak tidak hanya bersumber dari Ayat-Ayat al-Qur’an saja,[230] kotruksi budaya dan agama yang patriakhi telah menimbulkan belbagai bentuk ekses negatif yang merugikan posisi dan peran isteri.[231] Agama-agama besar di dunia pada dasarnya melegitimasi pandangan-pandangan ini. Dalam dunia Islam misalnya, terdapat beberapa hal yang memberi peluang kepada suami untuk dapat menikahi perempuan lain, dan hanya dengan menegucapkan talak tiga secara otomatis suami-isteri secara hukum telah bercerai dan tidak ada alasan lagi bagi kedua belah pihak untuk mngadakan perujukan kembali.[232]

Sebenarnya kekerasan yang dilakukan oleh suami tidak sepenuhnya disebabkan oleh peluang yang diberikan oleh kultur dan agama yang patriakhi saja, tetapi juga bisa disebabkan oleh moralitas suami. Aspek ini cukup beralasan, sebab tidak sedikit kekerasan yang dilakukan terhadap isteri berawal dari adanya prilaku-prilaku abnormal suami, seperti penyimpangan dalam berhubungan seksual.

Menurut hemat penulis, kekerasan terhadap isteri terjadi karena:

  1. Adanya anggapan masyarakat bahwa laki-laki memiliki kedudukan lebih tinggi dari perempuan atau isterinya, sehingga suami berhak memperlakukan isteri sekehendak hatinya.
  2. Adanya prilaku meniru seorang anak laki-laki yang melihat bapaknya melakukan tindak kekerasan terhadap ibunya atau melihat kekerasan melalui telivisi dan media lainya sehingga ia memiliki kecendrungan akan melakukan hal yang sama terhadap pasangannya kelak.
  3. Adanya penafsiran yang keliru terhadap ajaran agama, misalnya suami boleh memukul isterinya apabila nusyuz. Ajaran ini sering dipahami sebagai pembenar tindak kekerasan terhadap isteri.

Kekerasan terhadap isteri, tergolong tema baru dalam khazanah ilmu sosial, sebab feminisme sebagai induk yang melahirkan konsep ini juga tergolong baru. Kekerasan terhadap isteri adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri.[233] Kekerasan terhadap isteri merupakan bagian dari kekerasan rumah tangga (domestic violence) dan kekeran dalam rumah tangga merupakan bagian kekerasan dalam keluarga (family violence).

Kekerasan terhadap isteri (KTI) mempunyai empat bentuk. Pertama, kekerasan fisik seperti memukul, menampar, meludahi, menjambak, menendang, menyulut dengan rokok, melukai dengan barang atau senjat dan sebagainya. Kedua, kekerasan emosional seperti mencela, menghina, berbicara secara kasar, mengancam atau menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak, mengisolir isteri dari dunia luar dan sebagainya. Ketiga, kekerasan ekonomi seperti tidak memberi belanja, memakai atau menghabiskan uang isteri dan sebagainya. Keempat, kekerasan seksual seperti memaksa berhubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak isteri.[234]

KTI ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, adanya budaya yang mengenal perbedaan posisi secara struktural dalam kehidupan perkawinan. Penetapan peran suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga memberikan peluang bagi terjadinya pelanggaran hak asasi perempuan dalam perkawinan. Selama ini pelanggaran terhadap hak asasi perempuan dalam perkawinan kurang terdengar karena hal itu dianggap lumrah dan biasa. Dalam masyarakat kebanyakan masih memegang norma sosial yang mengatakan bahwa kehidupan dalam perkawinan (rumah tangga) adalah merupakan sebuah area yang tertutup atau “hanya untuk kalangan sendiri”. Akar budaya yang melatar belakangi pemahaman hirarkhi struktural ini adalah budaya patriakhi.[235] Kedua, pemahaman yang berbias gender terhadap ajaran agama. Contoh pemahaman yang keliru terhadap makna nusyuz mengakibatkan pemahaman bahwa memukul isteri itu memang diperbolehkan, tanpa mengkaji lebih jauh mengenai hal itu.[236] Ketiga, kebijakan Negara yang mendukung supremasi laki-laki atas perempuan seperti kebijakan KB yang lebih menekankan perempuan (isteri) untuk memakai alat kotrasepsi, pembakuan Undang-Undang yang mendukung laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga.[237]

 

Nusyuz Sebagai Pemicu Tindak Kekerasan Terhadap Isteri

Dari hasil penelitian dalam skripsinya Wahid Hsyim tentang korelasi nusyuz dengan kekerasan terhadap isteri (studi kasus di Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta 2001) dinyatakan bahwa ada empat macam jenis kekerasan yang terjadi yakni pertama, kekerasan fisik. Kedua, kekerasan psikis. Ketiga, kekerasan seksual, dan keempat kekerasan ekonomi. Dan jika dilihat secara keseluruhan, maka kekerasan yang terjadi tidak selalu disebabkan secara mandiri oleh penyelewengan isteri. Hanya beberapa kasus menunjukkan karena perempaun mempunyai teman dekat laki-laki maka suaminya cemburu. Akan tetapi kekerasan yang dilakukan oleh suami tidak sekedar dipicu oleh penyelewengan itu.[238]

Penyelewengan isteri juga tidak bisa dipahami sebagai prilaku mandiri yang tidak berkaitan dengan suami. Ini merupakan respon dari jenis komunikasi yang diciptakan. Jadi penyelewengan isteri sebenarnya tidak bisa disebut sebagai pemicu atau sebab dari kekerasan. Oleh karena itu nusyuz tidak bisa dikatakan sebagai penyebab utama dari kekerasan terhadap isteri. Nusyuz hanya sebagai sebab salah satu pemicu kacil yang menyembunyikan sebab yang lebih besar.

Hampir dari kesemua persoalannusyuz bukanlah pemicu langsung yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap isteri, akan tetapi ada hubungan saling mempengaruhi diantara terjadinya nusyuz dan kekerasan terhadap isteri. Disuatu saat nusyuz menjadi pemicu kekerasan dan disaat yang lain kekerasan itu yang menimbulkan protes dari isteri sehingga ia berbuat nusyuz.[239]

Bentuk nusyuz lainya, adalah sikap isteri yang membantah perkataan atau perintah suami, pada beberapa kasus tampak bahwa suami merasa isteri melanggar etiket perkawinan karena membantah ataupun melanggar perintah suami. Misalnya, tidak boleh bekerja tetap saja bekerja. Pada beberapa kasus sikap membantah ini, menjadi penyebab terjadinya ketegangan antara suami dan isteri, dan ada yang di akhiri dengan tindak pemukulan terhadap isteri oleh suami. Dengan demikian, sikap membantah ini dalam kategori nusyuznya isteri berakibat negatif yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya tindak kekerasan terhadap isteri. Meskipun demikian, hal ini pun dipengaruhi faktor relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Dalam lingkungan budaya masyarakat yang patriakat jelas bahwa laki-laki (suami) selalu memandang dirinya sebagai pemimpin dalam keluarga, dan oleh karena itu wajib ditaati. Laki-laki (suami) secara sepihak memandang bahwa pihak perempuan telah berlaku nusyuz dengan membantah, maka dari itu layak untuk ditindak.

Berikut ini akan dipaparkar sebagian hasil survey dari sejumlah 1315 kasus kekerasan terhadap isteri yang masuk dan ditangani di Rifka Annisa’ antara tahun 1994-2000 yang menjadi obyek penelitian Wahid Hasyim. Walaupun tidak dari kesemua kasus yang ada menunjukkan adanya alasan nusyuz sebagai pemicu kekerasan terhadap isteri. Adapun beberapa kasus yang beralasan nusyuz adalah sebagai berikut.[240]

No

No. Registrasi

Nama

Usia

Pekerjaan

Agama

Pendidikan

Usia Perkawinan

Indikasi Nusyus

1

797

MMz

31 tahun

Karyawan

Islam

7 tahun

–       tidak mau tinggal di rumah.

–       cari kost sendiri tanpa izin suami

2

890

HSB

Karyawan

Islam

SLTA

7 tahun

–       boncengan dengan temen kerja.

3

920

Shr

25 th.

Karyawan

Islam

SLTP

5 tahun

–       menikah sebelum cerai suami.

4

625

Sbn

27 th.

Ibu RT.

Islam

SD

9 tahun

–       berhubungan seks dengan pria lain.

–       membantah perkataan suami.

5

799

SH

41 th.

Karyawan, PN

Islam

SLTA

15 tahun

–       berduaan bersama pria lain.

–       pergi ke hotel sampai pagi tanpa seizin suami.

–       tidak mau mengurusi anak.

6

797

SN

24 th.

Karyawan

Islam

D3

8 tahun

–       minta cerai karena suami belum kerja.

–       selingkuh dengan teman sekantor (menurut suami)

–       pulang ke orang tua tanpa izin.

7

812

ES

Ibu RT.

Islam

PT

10 tahun

–       selingkuh dengan temen.

8

670

DRD.

28 th.

Ibu RT.

Islam

SMA

8 tahun

–       tidak mau memenuhi kemauan suami.

9

685

Pr.

28 th.

Ibu RT.

Islam

SMP

4 tahun

–       tidak taat atas kehendak suami.

10

739

Ans.

39 th.

Swasta

Katolik

PT

15 tahun

–       tidak taat atas kehendak suami.

11

701

Ida

45 th.

Swasta

Islam

PT

14 tahun

–       bekerja yang tidak dikehendaki suami.

12

878

AP

27 th.

Ibu RT.

Hindu

PT

6 tahun

–       tidak patuh suami.

13

754

LS

23 th.

Ibu RT.

Islam

PT

1 tahun

–       punya teman dekat suami cemburu dan tidak setuju.

14

796

Try

31 th.

Ibu RT.

Islam

PT

7 tahun

–       selingkuh.

–       pulang ke rumah orang tua tanpa izin.

15

784

Dy

33 th.

Ibu RT.

Islam

PT

9 tahun

–       menolak kedatangan suami.

–       pulang kerumah orang tua tanpa izin.

16

889

Why

26 th.

Karyawan

Islam

PT

2 tahun

–       tidak taat suami.

17

847

Eri

49 th.

Ibu RT.

Islam

SD

31 tahun

–       menolak menerima anak dari wil suami.

18

806

Is

Pedagang

Islam

SLTA

25 tahun

–       dominan dan suka ngomel yang tidak disukai oleh suami.

19

Tuk

41 th.

Swasta

Islam

SD

23 tahun

–       keluar rumah karena takut suami.

20

714

YUR

53 th.

Swasta

Islam

PT

7 tahun

–       ingin cerai.

–       tidak patuh suami.

21

728

War

49 th.

PNS.

Islam

SMA

21 tahun

–       tidak patuh pada kehendak suami.

 

Dari sekian kasus yang ada sebagaima terklasifikasi dalam tabel di atas meskipun hanya empat di antaranya yang diteliti oleh Wahid Hasyim yaitu pada kasus  MMz (No. Reg. 794), kasus DRD (No. Reg. 670), kasus Ida (No. Reg. 701), kasus LS (No. Reg. 754), dan kasus Try (No. Reg. 796), namun identifikasi terjadinya tindak kekerasan oleh suami terhadap isterinya yang diindikasikan melakukan nusyuz tersebut bersifat hampir merata.

Tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka meliputi tindak kekerasan fisik seperti memukul, menampar, menjambak, melempar, meludah dan lain sebagainya. Kekerasan psikhis seperti mencela, membentak, marah-marah, mengancam dan lain-lain. Kekerasan ekonomi seperti tidak memperdulikan nafkah isteri dan anak secara cukup bahkan tidak sama sekali, memanipulasi harta bersama untuk kepentingan dirinya sendiri. Kekerasan seksual seperti tidak memperdulikan kebutuhan seksual isteri, memaksakan kehendak seksualnya tanpa perduli keinginan isteri dan sebagainya.[241]

Persoalan yang lain, dalam masyarakat ayat tentang nusyuz ini menjadi semacam pembenaran dari sikap sewenang-wenang suami terhadap isteri. Dan kebanyakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap isterinya dalam rumah tangga diklaim telah mendapatkan justifikasi dalam surat an-Nisa’ (4):34. Masyarakat tidak menyadari prilaku memukul terjadi karena suami “lepas kontrol”. Dan diantara penyebab kekerasan tersebut adalah adanya konflik antara suami dan isteri (nusyuz).

Karakteristik umum kekerasan terhadap isteri bersifat merata, baik dalam tingkat wilayah elit maupun kelas ekonomi rendah, namun tetap bersifat rahasia dan sulitnya mengakses informasi yang memadai tentang hal itu. Idiologi dikotomi publik dan privat dengan asosiasi bahwa publik adalah urusan laki-laki dan privat merupakan urusan perempuan memiliki peran besar dalam melanggengkan violence against women. Dikotomi ini menyebabkan masyarakat lepas tangan dari setiap persoalan kekerasan domestik karena dianggap masalah privat.[242]

Pemukulan sebagai langkah yang harus ditempuh dalam masalah nusyuz seringkali diyakini sebagai suatu landasan idiologis kekerasan terhadap isteri. Dan tidak hanya terbatas pada persoalan pemukulan saja tentunya, sebab dalam masalah nusyuz ini suami juga memiliki hak-hak yang lain seperti hak ‘mengkarangtina’ isteri atau hak hijr, memboikot hak nafkahnya dan menjatuhkan talak. Padahal, kalau melihat konteks turunya Ayat nusyuz tersebut sebenarnya turun dalam rangka merespons kasus Saad bin Rabi’ dengan isterinya Habibah binti Zaid.[243]

Dari kasus yang menjadi sabab an-uzul Ayat diatas dapat diambil suatu titik idealita yang menjadi cita-cita Nabi, yaitu keadilan tanpa memandang jenis kelamin, bahkan dalam relasi keluarga (suami-isteri). Namun dalam hal ini Nabi terlalu idialis sehingga Allah perlu meluruskan kembali dan mengigatkan kondisi kesiapan masyarakat Arab kala itu yang belum mampu untuk menerima perubahan secara radikal. Nabi diinggatkan untuk kembali bersikap realistik bahwa masyarkatnya masih sangat baru dalam mengenal konsep kesetaraan dalam tata kehidupannya. Sturktur masyarakat Arab yang masih sangat patriakhis akan bergejolak dan sulit untuk menerima misinya. Hukum, bagaimanapun, tidak dapat berjalan tanpa adanya pertimbangan terhadap kesiapan masyarakat dan kondisi sosial budayanya.

 

Upaya Penyelesaian Dalam Persoalan Nusyuz

Al-Qur’an berbicara tentang hubungan suami-isteri, sebagaimana hubungan layaknya mitra, bukan seperti antara majikan dan pembantu. Dalam kehidupan rumah tangga, untuk mencapai tujuan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, seseorang harus memahami bagaimana dia berperan dalam rumah tangga, pengetahuan tentang hak dan kewajiban sebagai suami-isteri dalam menjalani kehidupan rumah tangga berdasarkan kebersamaan yang saling menghormati.

Terhadap persoalan nusyuz ini ada beberapa cara mensikapinya atau aturan hukumnya. Bila nusyuz dari pihak suami, maka isteri bisa mengambil dua langkah. Pertama, dia berusaha untuk bersikap sabar dan kedua, meminta gugat cerai dengan tebusan atau khuluk. Jadi penyelesaianya lebih mengacu pada ketentuan hakim di pengadilan.

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dinyatakan seorang isteri mempunyai wewenang jika mengalami nusyuz suami yaitu: pertama; bersabar, jalan lainnya adalah mengajukan khulu’ dengan kesediaan membayar ganti rugi kepada suaminya sehingga suaminya mau menjatuhkan talak.[244]

Suami yang berubah sikapnya terhadap isteri, menurut Quraish Shihab juga disebut nusyuz. Memang secara teks terdapat perbedaan antara nusyuz yang dilakukan oleh suami maupun oleh isteri dalam hal solusinya, bahkan dalam Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam tidak menyebutkan secara terperinci hukum tentang nusyuz seorang suami. Hal inilah yang selama ini memberi kesan adanya ketimpangan dan ketidakadilan gender dalam masalah nusyuz. Di satu pihak ketika persoalan nusyuz muncul dari pihak isteri selalu saja direspon sebagai persoalan serius dan harus segera ditindak. Sedangkan bila hal itu muncul dari pihak suami maka dianggap sebagai hal wajar dan tidak perlu dibesar-besarkan, dan hendaknya isteri barsabar sekaligus berusaha untuk berdamai.

Dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ Ayat 128 menawarkan solusi bagi suami yang melakukan nusyuz yaitu sebuah perdamaian yang dilakukan oleh isteri kepada suaminya. Ayat ini, menurut Quraish Shihab, memberi contoh isteri atau suami memberi atau mengorbankan sebagian haknya kepada pasangannya demi menghindari sebuah perceraian.[245]

Dalam al-Asas fi at-Tafsir, Sa’id Hawa menjelaskan bahwa berdamai itu lebih baik dari pada berpisah, nusyuz atau pun setiap jenis permusuhan adalah salah satu  dari  kejahatan, sebaliknya  berdamai  adalah merupakan salah satu dari kebaikan. Sa’id mengutip  Ayat وأحضرت الأنفس الشحّ (perangai  kikir). Artinya jika kekikiran sudah menjadi tabiat dan sulit dielakkan, namun keduanya masih tetap mencari solusi untuk mendapatkan kemaslahatan dan kemanfaatan, kemudian dengan begitu Tuhan akan meningkatkan kebaikan dan ketaqwaan. Dalam firman tersebut terdapat anjuran untuk menghindari tabiat-tabiat yang jelek dan supaya mengikuti anjuran syari’at seperti firman Allah:

وإن تحسنوا وتتقوا فإن الله كان بما تعملون خبيرا[246]

Maksudnya adalah jika kamu membenci dan tidak mencintainya, maka bersabarlah atas keadaan demikian. Hal ini di dasarkan atas (untuk) menjaga hak-hak dan menghindari berbuat durhaka, berpaling dari apa-apa yang akan membawa kepada kehancuran dan permusuhan. Asbab an-nuzuldari Ayat ini adalah Sa’id mengutip dalam Sunan Sa’id bin Mansur dari Uswah: Saudah adalah wanita yang sudah tua, maka Saudah meminta kepada Rasul (sekalipun berat) untuk memberikan jatah harinya (gilirannya) kepada Aisyah, karena dia tahu kecintaan Rasul kepada Aisyah, kemudian Rasul menerimanya.[247]

Bila nusyuz berasal dari pihak isteri, maka suami bisa mengambil empat langkah penyelesaian. Pertama, menasehati setelah berintropeksi dan menasehati diri sendiri. Kedua, pisah ranjang dan tidak saling tegur sapa. Langkah kedua ini tidak boleh dijalankan lebih dari tiga hari atau maksimal empat bulan kalau dianologikan dengan hukum illa’. Ketiga, memukul. Para ualama berbeda pendapat mengenai bentuk pemukulan ini. as-Sabuni dan Wahbah az-Zuhailiy mengatakan tidak boleh memukul muka, perut dan pukulan yang menetap pada satu bagian sehingga dapat menambah rasa sakit. Imam Hanafi menetapkan, berdasarkan hadis riwAyat Bukhari dan Muslim, untuk pukulan ini mengunkan tidak lebih dari sepuluh batang lidih.[248]

Di dalam Minhaj yang dikutip oleh al-Jamal (W.1204) menyebutkan bila telah muncul tanda-tanda nusyuz dari isteri, suami bisa menasehati. Bila telah jelas-jelas yakin dia nusyuz, maka suami bisa memisahi ranjang dan memukul tanpa menyakitkan.[249] Langkah keempat adalah mengadakan perjanjian damai dengan juru damai. Perdamaian ini bukan lagi kategori dalam nusyuz, tetapi dalam syiqaq, yakni kebencian yang telah mewarnai kedua belah pihak. Bagi pihak yang secara jelas membedakan nusyuz dan syiqaq.

Sebagai sebuah catatan yang harus selalu diperhatikan adalah bahwa hak atau kewenangan suami dalam memperlakukan isteri saat nusyuz seperti yang dijelaskan dalam surat an-Nisa’  (4): 34, juga haknya untuk melakukan pencegahan nafkah isteri dan juga hak untuk menjatuhkan talak, semua itu diberikan kepada laki-laki bukan dengan tujuan sebagai pihak yang berwenang menghukum, juga bukan dengan pertimbangan kekuasaan ada pada dirinya sebagai pemimpin, tetapi hal itu diberikan  kepadanya sebatas sebagai metode edukatif sekaligus solusi dalam menyikapi persolan yang timbul dalam rumah tangga sesuai dengan fungsinya sebagai pengayom, pelindung dan pengatur untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh;

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة[250]

Penulis beranggapan bahwa ketimpangan menyangkut relasi suami-isteri dalam rumah tangga yang terjadi dalam kehidupan sosial kita adalah karena beberapa faktor. Salah satunya adalah kontruksi budaya tentang anggapan wanita atau isteri merupakan hak sepenuhnya suami, dan isteri berkewajiban merahasiakan persoalaan keluarga kepada orang lain. Banyak korban yang menderita di dalam rumah tangganya, isteri yang kehilangan hak-haknya sebagai manusia yang seharusnya  diperlakukan secara manusiawi.

Ketika persoalan nusyuz muncul, baik yang dari pihak isteri maupun dari pihak suami sering kali menggiring mereka dalam situasi genting dan lepas kontrol dalam bersikap terhadap pasangannya. Hal ini tentu saja lebih rawan lagi bagi posisi perempuan, baik itu saat mereka yang nusyuz atau ketika ia berhadapan dengan suami yang nusyuz. Dalam dua masa transisi semacam ini kerap kali       mereka harus menjadi korban yang sangat tidak diuntungkan. Artinya, ketika mereka nusyuz, maka posisi mereka sangat terancam dengan adanya hak-hak suami yang telah mendapatkan legalitas hukum untuk menindak mereka, yang selama ini lebih dipahami oleh para lelaki sebagai hak untuk menghukum. Begitu pula di saat yang nusyuzpihak suami, pihak isteripun yang kerap kali dijadikan alasan sebagai faktor pemicunya dan sebagai pihak yang patut dipersalahkan, sehingga kerap kali pihak isteri mendapatkan “getah” yang berupa tindak kekerasan.

 

Sanksi Pidana Terhadap Suami Yang Melampaui Hak-haknya

Dalam menghadapi persoalan nusyuz memang hendaknya hal tersebut dapat disikapi secara proporsional, artinya sudah semestinya salah satu diantara suami dan isteri mampu memahami kondisi psikologis pasangan masing-masing yang sedang nusyuz sekaligus melakukan koreksi terhadap diri sendiri dan berani mengaku salah jika memang adanya demikian, sehingga kesepahaman dapat kembali terbangun diantara mereka. Dengan istilah lain mereka harus tetap mengupayakan rekonsuliasi dengan mengedepankan keutuhan rumah tangga dan kepentingan mereka beserta anak-anak. Namun jika persoalan nusyuz tersebut tak kunjung usai dan terasa semakin memuncak sehingga sudah mengarah pada tingkat syiqaq atau percekcokan diantara suami-isteri secara timbal balik dan tidak mungkin lagi untuk diselesaikan dengan jalan damai, maka upaya jalur hukum yang lain seperti perceraian merupakan jalan yang dapat ditempuh sebagai solusi akhir. Terlebih lagi ketika percekcokan itu mengakibatkan timbulnya tindak kekerasan terhadap salah satu pasangan, khususnya isteri. Maka jalur hukum sebagai upaya memberikan jaminan perlindungan terhadap korban dan pemberian hukuman terhadap pelaku sudah semestinya ditempuh.

Salah satu aspek hukum dalam upaya membantu korban tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah perundang-undangan. Sampai saat ini perundang-undangan yang dipergunakan atau menjadi rujukan penegak hukum dalam mengenai kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dan istilah yang biasa digunakan dalam kedua Kitab Undang-undang tersebut menyangkut tindak kekerasan adalah penganiayaan. Sedangkan istilah tindak kekerasan baru digunakan dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang baru saja disahkan oleh pemerintah.

Kata “aniaya” berarti perbuatan bengis seperti perbuatan penyikasaan atau penindasan; menganiaya artinya memparlakukan sewenang-wenang dengan mempersakiti, atau menyiksa, dan sebagainya. Penganiayaan artinya perlakuan yang sewenang-wenang dengan penyiksaan, penindasan dan sebagainya terhadap teraniaya.[251]

Kasus-kasus yang berhubungan dengan kekerasan terhadap isteri di dalam rumah tangga dimasukkan dalam jenis perkara penganiayaan dengan tuntutan hukum penjara berdasarkan Pasal 351 Ayat (1) KUHP yang berisi mengenai penganiayaan yang diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Dan Pasal 351 Ayat (2) yang berisi mengenai penganiayaan yang mengakibatkan luka-luka berat, dan pelaku diancam pidana penjara paling lama lima tahun dan satu kasus dengan junto Pasal 356 untuk penganiayaan terhadap isteri pelakunya dapat dihukum berdasarkan Pasal 356 (penganiayaan dengan pemberatan pidana) karena penganiayaan itu dilakukan terhadap isteri, suami, ayah, ibu dan anaknya. Perbuatan penganiayaan dalam KUHP dibedakan atas:[252]

(d)     penganiayaan ringan, apabila penganiayaan itu tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekarjaan jabatan atau pencaharian, yang diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Hukuman ini dapat bertambah sepertiga bagi pelaku yang menganiaya orang yang bekerja padanya atau sebagai bawahanya (Pasal 352 KUHP)

(e)      penganiayaan dengan rencana, apabila sebelum perbuatanya dilaksanakan telah direncanakan atau disiapkan lebih dahulu untuk pelaksanaanya. Penganianyaan dengan rencana diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika teraniaya menderita luka berat pelakunya dipidana penjara paling lama tujuh tahun, jika teraniaya itu mati maka pelakunya dipidana paling lama sembilan tahun (Pasal 353 KUHP)

(f)       penganiayaan berat, apabila perbuatan itu dilakukan dengan sengaja untuk melukai orang lain. Pelakunya diancam penjara paling lama delapan tahun, jika teraniaya sampai mati maka pelakunya dipidana penjara paling lama sepuluh tahun (Pasal 154 KUHP)

Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selain melindungi hak-hak asasi tersangka atau terdakwa juga melindungi hak-hak asasi orang yang menjadi korban tindak pidana (victim crime), serta pihak lain yang dirugikan dalam kasus pidana. Hal ini diatur dalam KUHAP Bab XIII tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian, yaitu dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101.[253]

Penganiayaan ini juga dapat dijadikan alasan bagi isteri untuk mengajukan gugatan perceraian berdasarkan Pasal 19 PP nomor 9 tahun 1975 dan dapat menyebabkan jatuhnya talak menurut sighat taklik talak yang diucapkan suami sesaat akad dilangsungkan. Masalahnya, dalam prakteknya perlindungan hukum yang ada ini tidak efektif karena berbagai faktor. Salah satunya adalah karena kurang sensitifnya para penegak hukum terhadap kepentingan dan hak-hak perempuan. Demikian pula sifat masyarakat kita yang cendrung menyalahkan perempuan dalam banyak hal telah menghambat kaum perempuan untuk memperkarakan persoalannya secara hukum. Dengan kata lain jika kita berbicara pada tingkat perlindungan kepada korban-korban kekerasan, dapat dikatakan keadilan masih jauh dari jangkauan kaum perempuan. Hal ini terjadi karena masih adanya asumsi-asumsi gender dan nilai-nilai patriarkhi baik dalam subtansi hukumnya sendiri (legal substance), struktur hukumnya (legal structure) maupun dalam sikap masyarakat termasuk sikap kaum perempuan sendiri.[254]

Setelah disahkannya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004 pada tanggal 22 bulan September tahun 2004 yang lalu, upaya penghapusan tindak kekerasan dalam rumah tangga khususnya terhadap kaum perempuan kiranya telah mendapatkan pijakan yuridis yang kokoh. Walaupun di dalam upaya sosialisasi dan implementasinya masih belum maksimal, namun setidaknya Indonesia sekarang telah memiliki perangkat hukum yang jelas dan secara khusus mengatur tentang perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga sekaligus ketentuan pidana bagi pelaku tindak kekerasan tersebut. Dengan itu diharapkan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga khususnya terhadap perempuan bagaimanapun bentuknya dan apa pun alasan yang melatarbelakanginya dapat diproses secara hukum sehingga rasa keadilan dapat diperoleh oleh pihak yang dirugikan.

Terdapat hal yang menarik ketika mencoba membawa persoalan hukum nusyuz dalam Islam ke dalam konteks hukum ke-Indonesiaan, hal ini berkaitan dengan adanya kenyataan, pertama, bahwa mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Kedua, hukum perdata keluarga yang dipakai juga hukum Islam yang juga di dalamnya memuat ketentuan tentang nusyuz. Ketiga, masih kuatnya dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam segala sektor karena kokonya budaya patriakhi dalam realitas sosialnya.

Maksud pengkorelasian beberapa fakta tersebut adalah untuk mengambarkan bahwa dalam kenyaataan masyarakat kita persoalan nusyuz yang merupakan hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan rumah tangga, dan akan sangat mungkin sekali menjadi pemicu terjadinya tindak kekerasan terutama terhadap pihak perempuan oleh suami karena adanya hak dan kewenangan yang dimilikinya dalam menyikapi atau menanggulangi sikap nusyuznya isteri. Dan dalam persoalan ini, bagi pihak isteri telah tersedia sebuah jalur hukum untuk membela diri dan hak-haknya di depan hukum. Sebagaimana telah diketahui bahwa hak atau kewenangan suami terhadap isteri nusyuz, seperti haknya untuk menjahui isteri, memukulnya, dan mencegah hak nafkahnya dalam ketentuan hukum di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004, semua itu merupakan sebagian dari tindak kekerasan terhadap isteri yang dapat dituntut dan dijatuhi sanksi pidana.

Sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004, bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[255]

Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini adalah sebagaimana yang dijelaskan di dalamnya bahwa lingkup rumah tangga di sini meliputi:[256]

  1. suami, isteri, dan anak;
  2. orang-orang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau
  3. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Mengenai bentuk-bentuk kekerasan yang masuk dalam kategori dan klasifikasi Undang-undang ini sendiri dijelaskan bahwa, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:[257]

  1. kekerasan fisik
  2. kekerasan psikis
  3. kekerasan seksual, atau
  4. penelantaran rumah tangga.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Sedangkan mengenai kekerasan psikis yang dimaksud dalam huruf b adalah perbuatan yang yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam huruf c meliputi:[258]

  1. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut
  2. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Dan yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga dalam Undang-Undang ini adalah bahwasanya setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran sebagaimana dimaksud juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja secara layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.[259]

Sedangkan ganjaran bagi pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga hal itu diatur secara jelas dalam bab VIII tentang ketentuan pidana dengan penjelasan yang terinci sebagai berikut;

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud Ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).[260] Dan jenis tindak pidana ini sebagaimana disebut dalam Pasal 51 merupakan delik aduan.

Begitu pula setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).[261] Dan jenis tindak pidana ini sebagaimana disebut dalam Pasal 52 merupakan delik aduan.

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta).[262] Dan jenis tindak pidana ini sebagaimana disebut dalam Pasal 53 merupakan delik aduan. Begitu pula setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).[263]

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 di atas mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau (satu) tahun berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00).[264]

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:[265]

  1. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1);
  2. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (2).

Selain pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Bab ini hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan berupa:[266]

  1. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
  1. penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Kelompok Al-Qur’an dan Tafsir

 

Abduh Muhammad dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,Beirut: Dar al-Makrifah, 1975 M./1393 H.

 

Alusi, Shihab ad-Din mahmud Al-, Ruh al- Ma’ani, 15 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.     

 

Dimasqi, Abi Al-Fida’ Al-Hafidz Ibn Kasir Ad-, Tafsir Al-Qur’an Al- Adzim, 4 Jilid, Beirut: An-Nur al-Ilmiah, t.t.

 

Fahruddin ar-Razi, Tafsir Kabir al-Musamma bi Mafatih al-Gaib, Beirut: Dar al-Fikr 1995 M./1415 H.

 

Khawa, Sa’id al-, al-Asas fi Tafsir, cet. I, Beirut: Dar as-Salam, 1405 H.

 

Ilyas, Yunahar, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, ce. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

 

Ismail Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan; Bias Laki-laki dalam Penafsiran, cet. I, Yogyakarta: LKiS, 2003.

 

Jamal, Sulaiman bin Umar al- Ajily as-Syafi’i AL-, al- Futuhat al-ilahiyat, Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1416 H./1992 M.

  

Jassas, Abi Bakr Ahmad Ibn Ali Razi al-, Ahkam Al-Qur’an, 3 Jilid, Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1993 M/1415 H.       

 

Qurtubi Al-, Jami’ al- Ahkam al- Qur’an, 10 Jilid, Mesir : Dar al Kitab al-Arab, 1967.

 

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, cet. XII, Bandung: Mizan, 2001.

 

Syahir, Muh. Yusuf Asy-, Tafsir al- Bahr al-muhit, 8 Jilid, Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1993 M/1413 H.

 

Tabari, at-, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1995 M.

 

ZamakhsariAz-, Al-Kasyaf an- Haqaiq at-tanzil wa’uyun al- Aqawil, Taheran: Istisyarat Aftab, t.t.

 

 

 

Kelompok Hadis

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, 4 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1994..

 

Bin Surah, Abu Isa Muhammad bin Isa, al- Jami’ as-Sahih wa huwa Sunan at-Tirmidzi, Beirut: Dar al- Kutub al-“alamiyah, t.t.

 

Muslim, Sahih Muslim, 8 Jilid, Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.

 

 

Kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh

Abdurrahman, Muhammad, bin, Rahmat al-Ummah fi Ikhtilafi al-‘Aimmah, Surabaya: al-Hidayah, t.t.

 

  1. Rahman, Asmuni, Qaidah-qaidah Usul Fiqh,Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

 

Ansari, Isa, Nusyuz Sebagai Alasan Penolakan Memberi Nafkah (Studi Analisis Terhadap Keputusan PA. Sleman),Yogyakarta: Skripsi Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, 1997.

 

Syarbini, Muhammad Katib As-, Mughni al-Muhtaj, Kairo: Maktabah al-Istiqamah, 1995, 4 Jilid.

 

Ba’lawi, Abdurrahman, Buhyah al- Mustarsyidin, Bandung: Al- Ma’ruf, t.t.

 

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1995.

 

Bisri, Cik Hasan (Penyuting), Kompilasi Hukum Islam Dan Peredilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

 

Darnela Lindra, Studi Terhadap Pendapat Ibn Hazm Tentang Nafkah IsteriNusyuz,Yogyakarta: Skripsi Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, 2000.

 

Djannah, Fathul dkk., Kekerasan Terhadap Isteri, cet. I, Yogyakarta: LKiS, 2003.

 

Elmina Marta, Aroma, Perempuan Kkerasan Dan Hukum, cet. I, Yogyakarta: UII Press, 2003.

 

Engineer, Asghar Ali, Matinya Perempuan; Menyingkap Megaskandal Doktrin dan Laki-laki, alih bahasa Ahmad Affandi, cet. I, Yogyakarta: ERCiSod, 2003.

 

___________________, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, alih bahasa Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, cet. II, Yogyakara: LSPPA, 2000.

 

Fathan, Muhammad, Abu, seks Islami, cet. I, Bandung: Penerbit Marja’, 2004.

 

Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-Isteri, Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn, cet. I, Yogyakarta: LKiS, 2001.

 

Hasyim, Syafiq, Hal-hal Yang Tidak Terlupakan Tentang Isu-isu Keperempuanan Dalam Islam, cet. I, Yogyakarta: Mizan, 2001.

 

 Hazm, Abu Muhammad Ali Bin Ahmad bin Said  ibn, al-Muhalla’, 10 Jilid, Damaskus : Dar al-fikr, t.t.

 

 Imam, Husaini Taqiy ad-Din Abi Bakar ibn Muhammad ad-Dimasqi Asy- Syafi’i, Kifayat al- Akhyar, Semarang: Toha Putra, t.t.

 

Jamal, Ibrahim Muhammad al-, Fiqh Wanita, Alih bahasa Anshari Umar Sitanggal, Semarang: C.V. Asy-Syifa’, t.t.

 

Jaziri, Abdurrahman, al-, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

 

 Mas’udi, Masdar Farid, Islam dan Hak-hah Reproduksi Perempuan, cet. III, Bandung: Mizan, 1997.

 

Muhammad Ubbadi, Abdullah Sa’Id, bin, Iddlahu al-Qawaid al-Fiqhiyyah, cet. III, Surabaya: Al-Hidayah, 1410 H.

 

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab, Alih bahasa MasykurAB dkk, cet. II, Jakarta: Lentera, 1996.

 

__________________________, al-Ahwal asy-Syahsiyyah, cet. I, Beirut: Dar-‘Ilm al-Malayin, 1964.

 

Musa, Mahmud Yusuf, Ahkam al- Ahwal asy-Syahsiyyah fi Fiqh al- Islami, cet. I, Mesir : Dar al-Kitab al-Araby,1956

 

Musa, Kamil, Suami Isteri Islami. cet. I, Bandung : Remaja Rosyda Karya Offset 1997.

 

Muhtar, Kamal, Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet. III, Jakarta : Bulan Bintang, 1993.

 

Munajat, Mahrus, Dekontruksi  Hukum Pidana Islam, cet. I, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.

 

Nawawi,  Muhammad Umar bin, Syarh ‘Uqud al-Lujjayn fi Huquq az-Zawjayn,Surabaya: Mutiara Ilmu, t.t.

 

Nasution, Khoiruddin, ISLAM Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I), cet. I, Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZAFFA, 2004.

 

Rianta, dkk. (ed), Neo Ushul Fiqh; Menuju Ijtihad Kontekstual, cet. I, Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press UIN Sunan Kalijaga, 2004.

 

Rofik, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, cet. III, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.

 

Rusdy, Ibn, Bidayah al-Mujtahid, alih bahasa  cet. I, Jakarta: Pustaka Amani, 1995.

 

Sabiq, as-Sayyid, Fiqh as-Sunnah, al-Qahirah: Fath al-Ilmi al-Arabi, 1995 M./1410 H., 3 Jilid.

 

Saldani, Saleh bin- Ganim as-, Nusyuz, alih bahasa A. Syauqi al-Qadrani, cet. III, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.

 

Tatapangarsa, Humaidi, Hak dan Kewajiban Suami-Isteri Menurut Hukum Islam, Jakarta : Kalam Mulla, 1993.

 

Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan Dalam Islam, cet. X, Jakarta: Hidakarya Agung, 1983.

 

Zuhaily, Wahbah az-, Fiqh al- Islami Wa’adilatuhu, Beirut : Dar al-Fikr,1997.

 

 

Kelompok Buku-buku Lain

 

Arif, Abd. Salam, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam; Antara Fakta dan Realita, cet. I, Yogyakarta: LESFI, 2003.

 

Ensiklopedi Hukum Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.

 

Fakih, Mansur, Feminisme dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

 

Hamzah, Andi dan Simanglipu A, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan di Masa Depan, cet. II, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

 

Hasyim, Wahid, Korelasi Nusyuz dengan Kekerasan Terhadap Isteri, Studi Kasus di Rifka Annisa’, Women’s Crisis Centre, Yogyakarta: Skripsi Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, 2002.

 

Ibn Manzur, Jamaluddin Muhammad bin Mukarram, Lisan ‘Arabi, Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi al ‘Alamiyah, 1992.

 

Inpres Nomor I, Tahun. 1991, Tentang Kompilasi Hukum Islam, ( Direktorat Jendral Pengembangan Kelembagaan Agama Islam, 2000 ).

 

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. VIII, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

 

Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. II, Jakarta: Balai pustaka, 2001

 

Khusyt, Muhammad Ustman al-, Sulitnya berumah Tangga: Upaya Mengatasinya Menurut Al-Qur’an dan Hadis, Ilmu Pengetahuan, Alih bahasa A. Aziz Salim Basyarahil, Jakarta : GIP, 1994.

 

Munawwir, Ahmad Warson, Al- Munawwir, cet. I, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997.

 

Mudzhar, Atho’, Wanita Dalam Masyarakat Indonesia Akses pemberdayaan dan Kesempatan, Yogyakarta: Sunan Kalijaga  Press, 2001.

 

Michael, A. Riff, Kamus Idiologi Politik Modern, alih bahasa M. Miftahuddin dan Hartian Silawati, cet. III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

 

Pedoman Penulisan Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, 2004.

 

Undang-Undang, Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga,Bandung: Citra Umbara, 2004.

 

Undang-Undang Nomor I Tahun 1964 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. VII, Jakarta: PT. Renika Cipta, 2000.

 

Undang-Undang, Nomor I Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, cet. VII, Jakarta: PT. Renika Cipta, 2000.

 

Saadah, Nailis, Nusyuz Dalam Pandangan Amina Wadud Dan Relasinya Dengan Upaya Penghapusan Kekerasan Terhadap Isteri, Yogyakarta: Skripsi UIN Sunan Kalijaga, 2002.

 

Santosa, Edy S., Islam dan Kontruksi Sosial, cet. I, Yogyakarta: Pusta Pelajar, 2002.

 

Sentosa, Untung, Rumah Tangga Sakinah; Tinjauan Sains, Al-Qur’an dan Hadis, Hubungan Sauami-Isteri, cet. I, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2002.

 

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, cet. III, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001.


[1] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet. III, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1998), hlm. 181.

[2] Elli NurhAyati, “Tantangan keluarga pada Mellenium ke-3” dalam Lusi Margiani dan Muh. Yasir Alimi (ed.), Sosialisasi Menjinakkan “Taqdir” Mendidik Anak Secara Adil, cet. I, (Yogyakarta: LSPPA,1999), hlm. 229-230.

[3] Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam, cet. III, (Yogyakarta: Mizan, 2001), hlm. 183.

[4] Depag RI, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, (Derektorat Jendral Pengembangan Kelembagaan Agama Islam), Pasal 80 Ayat (7).

[5] Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi, Syarh Uqud al-Lujjayn fi Bayan al-Huquq az-Zawjayn, (Surabaya: Mutiara Ilmu, t.t.), hlm. 7.

[6] Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-Isteri; Tela’ah Kitab Uqud al-Lujjayn, cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 52.

[7] Isa Ansari, Nusyuz Sebagai Alasan Penolakan Memberi Nafkah (Studi Analisis Terhadap Putusan PA. Sleman),” Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (1997), hlm. 111.

[8] Wahid Hasyim, “Korelasi Nusyuz Dengan Kekerasan Terhadap Isteri; Studi Kasus Di Rifka Annisa’ Women’s Crisis Center Yogyakarta,” Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (2002), hlm. 76.

[9] Nailis Sa’adah, Nusyuz Dalam Pandangan Amina Wadud Dan Relasinya Dengan Upaya Penghapusan Kekerasan Terhadap Isteri,” Skripsi UIN Sunan Kalijga Yogyakarta, (2002), hlm. 63.

[10] Lindra Darnela, “Studi Terhadap Pendapat Ibn Hazm Tentang Nafkah Isteri Nusyuz”,  Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (2000), hlm. 108.

[11] Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan., hlm. 187.

[12] Aroma Elmina Marta, Perempuan Kekerasan dan Hukum, cet. I, (Yogyakarta: UII Press, 2003), hlm. 54.

[13] Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan., hlm. 183.

[14] Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan: Menyingkap Megaskandal Doktri dan Laki-laki, Alih bahasa Akhmad Affandi, cet. I, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hlm. 92.

[15] Ibid.

[16] Muhammad Nawawi, Uqud al-Lujjayn., hlm. 8.

[17] Khoiruddin Nasution, Islam, Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I), cet. I, (Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZAFFA, 2004), hlm. 40.

[18] Al-Baqarah (2): 187.

[19] Al-Baqarah (2): 223.

[20] KHI Pasal. 80 Ayat (4), (5) dan (7).

[21] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, cet. II, (Yogyakarta: LSPPA, 2000), hlm. 179.

[22] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (al-Qahirah: Fath al-I’lam al-Arabi, 1410 H/1990 M.), III: 278.

[23] Fathul Jannah dkk., Kekerasan Terhadap Isteri, cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 60.

[24] Lihat Hussain Muhammad, “Refleksi Teologis Tentang Keperempuan: kekerasan Terhadap Perempuan”, dalam Syafiq Hasyim (ed.), Menakar “eksplorasi Lanjut Atas Hak-hak Reproduksi Perempuan Dalam Islam”,  (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 209.

[25] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

[26] Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, cet. III, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001), hlm. 84-85.

[27] Ibid.

[28] Ibid., hlm. 88.

[29] Ibn Manzur, Lisan al-‘Arabi, (Beirut: Dar Lisan al-‘Arabi, ttp), III: 637.

[30] Muhammad ‘Ali As-Sabuni, Rowaiul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2001 H/14), I: 322.

[31] Al-Qurtubi, Jami’ al-Ahkam al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1967), III: 170.

[32] Achmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 1418.

[33] Dikutip dari Saleh bin Ganim al-Saldani, Nusyuz, alih bahasa A. Syaiuqi Qadri, cet. VI (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 25-26.

[34] Ibid., hlm. 1354.

[35] Ibid.

[36] Inpres nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 83 Ayat (1) dan 84 Ayat (1).

[37] Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, tt.), IV: 1353.

[38] I’radh ialah kurangnya perhatian seorang suami  terhadap isterinya  hingga tidak ada komunikasi dan intraksi yang wajar sebagai pasangan hidup, atau menelantarkan isteri tanpa setatus, diperhatikan tidak, dicerai pun tidak.(lihat, Saleh bin Ganim, nusyuz, hlm. 29).

[39] An-Nisa’ (4): 34.

[40] An-Nisa’ (4): 128.

[41] KHI, Pasal 83 Ayat 1 dan Pasal 84 Ayat (1) dan (4).

[42] Ensiklopedi, hlm. 1354-1355.

[43] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UUI Press, 1995), hlm. 81.

[44] Abdurrahman Ba’lawi, Bugyah al-Musytarsyidin, (Bandung: L. Ma’arif, t.t.), hlm. 272.

[45] Imam Taqiyu ad-Din Abi Bakr ibn Muhammad al-Husaini ad-Dimasqi asy-Syafi’i, Kifayat al-Akhyar, (tnp., Dar al-Fikr, t.t.), II: 148.

[46] Abi Daud Sulaiman ibn as-Yas asy-syajastani, Sunan Abi Daud, “Kitab an-Nikah”, “Bab fi haqqi az-Zawj ‘ala al-Mar’ah”, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), II: 212. hadis nomor 2141, hadis diriwAyatkan dari abi Hurairah.

[47] Muhammad Sarbini al-Katib, Mugni al-Muhtaj, (Mesir: Mustafa al-bab al-Halabi, t.t.), VI: 295.

[48] Imam Abi Al-Fida’ Al-Hafiz ibn Kas\ir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim, (Beirut: an-Nur al-Ilmiyah, t.t.), I: 241.

 

[49] Muh. Yusuf Asy-Syahir al-Jamal, Tafsir Al-Bahr al-Muhit, cet. II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1413 H/1993 M), II: 251.

[50] Ibid.,II:  452.

[51] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, cet. IV, (Bairut: Dar al-Fikr, 1997), IV: 6851.

[52] Muhammad Yusuf Musa, Ahkam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah fi Fiqh al-Islami, cet. I, (Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1956), hlm. 222.

[53] Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-isteri., hlm. 26.

[54] Saleh bin Ganim, Nusyuz., hlm. 31-32.

[55] Ibid., hlm. 33-34.

[56] Muhammad ‘Ali as-Sabuni, Rawaiu al-Bayan., hlm. 370-371

[57] Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1355.        

[58] Muhammad Nawawi, Uqud al-Lujjayn., hlm. 7.

[59] Ahamad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam., hlm. 81.

[60] Muhammad Jawad Mugniyyah, Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, (Bairut: Dar al-Ilm Li al-Malayin, 1964), hlm. 102.

[61] KHI, Pasal 80 Ayat (4), (5) dan (7).

[62] Ibid., Pasal 84 Ayat (2), (3) dan (4).

[63] Saleh Ganim, Nusyuz, hlm. 60.

[64] Ibid., hlm. 61.

[65] Nurjannah, Perempuan Dalam Pasungan; Bias Laki-laki Dalam Penafsiran, cet. I, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 279.

[66] Kamil Musa, Suami-Isteri Islami, cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1997), hlm. 98.

[67] Saleh bin Ganim, Nusyuz, hlm. 29.

[68] Khoruddin Nasution, Islam., hlm. 52.

[69] UU. No. 1/74 Pasal 30, “Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”, Jo. KHI Pasal 77 Ayat (1).

[70] KHI Pasal 80 Ayat (1), “Suami adalah pembimbing terhadap isteri dalam rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri”. UU. No. 1/74 Pasal 32 Ayat (2), “Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam Ayat (1) Pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama”, jo. KHI Pasal 78 Ayat (2). 

[71] UU. No. 1/74 Pasal 31 Ayat (1), “Hak dan kedudukan isteri adalah simbang dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, jo. KHI Pasal 79 Ayat (2).

[72] UU. No. 1/74 Pasal 31 Ayat (2), “Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”, jo. KHI Pasal 79 Ayat (3). Dan UU No. 1/74 Pasal 34 Ayat (3), “Jika suami isteri melalaikan kewajibanya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan”, jo. KHI Pasal 77 Ayat (5).

[73] UU. No. 1/74 Pasal 33, “Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”, jo. KHI Pasal 77 Ayat (2).

[74] Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-Isteri., hlm. 61.

[75] Ibid., hlm. 62-63.

[76] Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terlupakan., hlm. 187.

[77] Mahrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, cet. I, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hlm.. 10.

[78] Fahruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir al-Musamma bi Mafatih al-Gaib, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), IX: 93. dan Muh. Yusuf as-Syahir, Tafsir Bahr Muhit, III: 43.

[79] Andi Hamzah dan A. Simanglipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Masa Kini dan Masa yang Akan Datang, cet. II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 15.

[80] Ibid., hlm. 91.

[81] Sa’id Hawa, al-Asas fi Tafsir., II: 1054

[82] Fahruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir., III: 94.

[83] Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1394 H/1973 M.), V: 79.

[84] C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. VIII (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 120.

[85] Ibid., hlm. 121.

[86] Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an-Haqaiq At-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil, (Taheran: Intisyarat Aftab, t.t.), I: 524.

[87] Ibid., hlm. 523-524.

[88] Ibid., hlm. 524.

[89] Ibid.

[90] At-T{abari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M.), IV: 81.

[91] Ibid., IV: 82.

[92] Fahruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir al-Misamma bi Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H/1995 H.), IX: 92.

[93] Rasyid Ridha  dan  Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393 H/1973 M.), V: 67.

[94] Ibid., V: 70.

[95] Lihat Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf…, I:524, Abi al-Fida’ Syihab ad-Din Mahmud al-Alusi, Ruh Al-Ma’ani, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), III: 24.

[96] Feminis adalah laki-laki maupun perempuan yang memiliki kesadaran akan ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat serta tindakan sadar mereka untuk mengubah keadaan tersebut. Sedangkan istilah feminis muslim merujuk pada mereka yang memliki konsern terhadap isu-isu gender dan keperempuanan dalam Islam, seperti Asghar Ali Engineer, Riffat Hassan, Amina Wadud Muhsin dan yang lain. (lihat Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an, Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 42-54. Sedangkan istilah fiminisme sendiri merujuk pada pengertian atau gagasan kaum fiminis sebagai tanggapan dari perasaan ketidakadilan oleh karena adanya supreoritas laki-laki dan penganugrahan hak-hak tertentu kepada mereka semata-mata karena mereka adalah pria dan menyembunyikan hak-hak dari kaum wanita semata-mata karena mereka wanita. (lihat Michael A. Riff, Kamus Ideologi Politik Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 62. 

[97] Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B., dkk., cet. II, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996),  hlm. 402.

[98] As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, cet. II, (al-Qahirah: Fath al-I’lam al-‘Arabi, 1410 H/1990 M.), III: 229.

[99] Muhammad Ali S{abikh wa Awladuhu, Al-Ahkam Syari’ah fi Ahwal Asy-Syahsiyyah, (ttp., 1965), hlm. 28.

[100] Asmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 82.

[101] Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita, alih bahasa Anshari Umar Sitanggal, (Semarang: C.V. Asy-Syifa’, t.t.), hlm. 465.

[102] KHI, Pasal 80 Ayat (7).

[103] KHI, Pasal 84 Ayat (3).

[104] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan, Pasal 34.

[105] Ibid., Pasal 39 Ayat (2)

[106] Saleh bin Ganim, Nusyuz, hlm. 69.

[107] Muhammad Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, cet. X, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1983), hlm. 113.

[108] Imam Abi AL-Fida’ Al-Hafiz Ibn Kasir, Tafsir., I: 466.

[109] Saleh bin Ganim as-Saldani, Nusyuz, hlm. 46.

[110] Muhammad Usman al-Khasit, Sulitnya Berumah Tangga: Upaya Mengatasinya Menurut al-Qur’an dan Hadis, ilmu Pengetahuan, alih bahasa A. Aziz  Salim Basyarahil, (Jakarta: GIP, 1994), hlm. 78.

[111] Muh. Yusuf Asy-Syahir, Tafsir, II: 251.

[112] Abi Bakr Ahmad ibn ‘Ali Razi Al-Jassas, Ahkam Al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1415 H/1993 M.), II: 238.

[113] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazzali, Ihya’ Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Kitab al-Islami, t.t.), II: 15.

[114] An-Nisa’ (4): 35.

[115] Khoiruddin Nasution, Islam., hlm. 52.

[116] Ibid., hlm. 60.

[117] Saleh bin Ganim as-Sadlani, Nusyuz, alih bahasa A. Syauqi Qadri, cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 25.

[118] Muhammad ‘Ali as-Sabuni, Rawaiul Bayan., hlm. 367.

[119] Ibid.

[120] Ibid.

[121] an-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, (ttp. Dar al-Fikr, 1981 M/1401 H),  XVI: 117-118.

[122] Illa’ adalah marahnya suami terhadap isteri sampai mengeluarkan sumpah untuk tidak mencampurinya (mengaulinya). Lihat, Muh. Rasyid Rida, jawaban Islam terhadap seputar keberadaan wanita, alih bahasa Abd. Haris Rifa’i, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1993), hlm. 53.

[123] Al-Baqarah (2): 226.

[124] Saleh bin Ganim, Nusyuz, hlm. 52.

[125] Masdar Farid Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, cet. I, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 165.

[126] Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar,V: 72.

[127] A. Rahmat Rasyadi, Islam; Problem Seks Kehamilan dan Melahirkan, cet. X, (Bandung: Angkasa, 1993), hlm. 16.

[128] Al-Baqarah (2): 228.

[129] An-Nisa’ (4): 32.

[130] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami., Juz IX, hlm. 6599.

[131] Al-Syirazi, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-‘Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II: 65.

[132] Saleh bin Ganim, Nusyuz, hlm. 57.

[133] Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf., I: 524.

[134] Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah, Al-Jami’ as-Sahih wa Huwa Sunan al-Tirmiz\i, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.t.), III: 467. Hadis ini juga diriwAyatkan oleh ibn Majah dalam Sunan ibn Majah, “Kitab an-Nikah”, “Bab al-Mar’ah ‘ala az-Zawj”, hadis 1851.

[135] S{ad (38): 44.

[136] Nabi Ayyub a.s. menderita penyakit kulit beberapa waktu lamanya dan dia memohon pertolongan kepada Allah SWT. Allah memperkenankan doanya dan memperkenankan agar dia menghentakkan kakinya ke bumi. Ayyub a.s. mentaati perintah itu maka keluarlah air dari bekas kakinya atas petunjuk Allah, Ayyub a.s. pun mandi dan minum dari air itu, sehingga sembuhlah dia dari penyakitnya dan dia dapat berkumpul kembali bersama keluarganya. Maka mereka kemudian berkembang biak sampai jumlah mereka dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. Pada suatu ketika, Ayyub a.s. teringat atas sumpahnya, bahwa dia akan memukul isterinya bilamana sakitnya sembuh disebabkan isterinya pernah lalai mengurusinya sewaktu dia masih sakit. Akan tetapi tumbuh dalam hatinya rasa ibah dan sayang kepada isterinya sehingga dia tidak dapat memenuhi sumpahnya. Oleh sebab itu turunlah perintah Allah seperti yang tercantum dalam Ayat 44 di atas, agar dia dapat melaksanakan sumpahnya dengan tidak menyakiti isterinya yaitu memukulnya dengan seikat rumput.

[137] Muhammad ‘Ali as-Sabuni, Rawaiul Bayan, II: 350.

[138] Muhammad Usman al-Khasit, Sulitnya Berumah Tangga., hlm. 81.

[139] Ensiklopedi Hukum Islam, hlm.1355.

[140] Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, V: 75.

[141] Ibid.

[142] Ibid., V: 74-75.

[143] Asghar Ali Enggineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, alih bahasa Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), hlm. 76.

[144] Ibid., hlm. 72.

[145] Ibd.

[146] Amina Wadud, Qur’an dan Perempuan, (Jakarta: Serambi, 2000), hlm. 21.

[147] Imam Taqiy ad-Din Abi Bakr ibn Muhammad al-Husaini ad-Dimasqi asy-Syafi’i, Kifayat al-Akhyar, (Semarang: Toha Putra, t.t.), II: 77.

[148] Muhammad bin Abdurrahman, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hlm. 248.

[149] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, II: 279.

[150] Jawad Mugniyyah, Fiqh Lima Madzab, hlm. 76.

[151] Muhammad Yusuf  Musa, Ahkam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah al-Islamiy, hlm. 27.

[152] Humaidi Tatapangarsa, Hak dan Kewajiban Suami-isteri Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), hlm. 33.

[153] Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, al-Muhalla, (Damaskus: Dar al-Fikr, tt.), X: 88.

[154] Muslim, Sahih Muslim, “Kitab al-Hajj”, “Bab Hijjah ‘an-Nabi SAW., (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.), II: 512. diriwAyatkan dari Jabir bin Abdullah.

[155] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, “Kitab an-Nikah”, “Bab fi Haq al-Mar’ah ‘ala Zawjiha”, (Bairut: Dar al-Fikr, 1994), II: 212, hadis nomor 2142. diriwAyatkan dari Hakim bin Mu’awiyah al-Qusyairiy dari ayahnya.

[156] Ibn Hazm, al-Muhalla., X: 88.

[157] Ibid., hlm. 89.

[158] Ibid.

[159] Ibid.

[160] Ibid.

[161] Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Madzab, hlm. 402.

[162] M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet. II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), hlm. 43.

[163] Ibid., hlm. 43.

[164] KHI, Pasal 116.

[165] Abu Dawud, Sunan abi Dawud, “Kitab at-T{alak”, “Bab at-T{alak ‘Ala Ghalat”, II: 231, hadis nomor 2193. diriwAyatkan dari Sayfiyyah binti Syaibah dari Aisyah.

[166] Asy-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, hlm. 345.        

[167] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Maz\ahib al-Arba’ah, (Beirut Dar al-Fikr, t.t.),, IV: 293.

[168] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, hlm. 297.

[169] Ibid., hlm. 345.

[170] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta:Wijaya, 1954), hlm. 356.

[171] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab aL-Fiqh ‘Ala al-Maz\ahib., hlm. 297.

[172] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 31 Ayat (1).

[173] Ibid., Pasal 34 Ayat (3).

[174] Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, “Kitab at-Talak”, “Bab fi Karahiyati al-Talak”, hlm. 226, hadis nomor 2178.  diriwAyatkan dari MuhaBBrib bin Dis\ar dari Ibnu Umar.

[175] Pajar P. Widodo, “Kekerasan dalam Rumah Tangga,” makalah Seminar Daerah Tentang Kekerasa Dalam Keluarga Menyingkap Mitos dan Fakta oleh HIMA Pidana Universitas Lampung, 1999, hlm. 12.

[176] Ibid., hlm. 11.

[177] Erina Pane dan Siti Zulaikha, Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Bandar Lampung, (Pusat Penelitian IAIN Intan Bandar Lampung, 2002), hlm. 5.

[178] Sri Sanituti, “Tindak Pidana Keluarga Terhadap Wanita,” makalah Seminar Terbatas Tentang Pencegahan Tindak Kekerasan Dalam Keluarga, Kerjasama MPUPW dengan Pusat penelitian dan pengembangan Sosial, Jakarta, 1993.

[179] Erina Pane dan Siti Zulaikha, Perlindungan Hukum., hlm. 6.

[180] Elli NurhAyati, “Kekerasan Terhadap Isteri“, dalam Nur Hasyim, (peny.), Menggugat, hlm. 4.

[181] Ibid., hlm. 16.

[182] Elli N. Hasbianto, “Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Sebuah Kejahatan yang Tersembunyi”, dalam Syafiq Hasyim, (ed.), Menakar, hlm. 189.

[183] Beberapa mitos yang dijadikan landasan kekerasan terhadap isteri adalah isteri dipukul karena membantah, melawan suami, dan berbuat kesalahan besar, kekerasan hanya terjadi karena suami mabuk, kalah judi, gagal dalam pekerjaan, kekerasan ini juga hanya dilakukan oleh suami yang berperangai kasar. Pemukulan terhadap isteri semata-mata karena suami lepas kontrol atau marah, dan hal ini tidak akan terjadi jika suami-isteri beragama dengan baik dan taat. Lihat, ibid., hlm. 191-192.

[184] Amian Wadud, “Family in Islam: Or Gender Relations by Any Other Name”, dalam Zainah Anwar dan Rashidah Abdullah, (ed.), Islam, hlm. 69.

[185] Ibid., hlm. 76.

[186] Jhon Samson Sembiring, “Kekerasan Terhadap Isteri Antara Kultur, Agama dan Moralitas”, dalam Nur Hasyim, (peny.), Menggugat, hlm. 148.

[187] Triningtyasasih (ed.), Kekerasan Dalam Rumah Tangga, cet. I, (Yogyakarta: Rifka Annisa’ bekerjasama dengan Ford Foundation, 1997).

[188] Ibid., hlm. 2.

[189] Ibid., hlm. 5.

[190] Ibid.

[191] Bandingkan dengan Mansour Fakih Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Cet.I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 54.

[192] Wahid Hasyim, “Korelasi Nusyuz dengan Kekerasan terhadap Isteri, Study Kasus di Rifka Annisa’, Women’s Crisis Center”, Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (2002), hlm. 8-9.

[193] Ibid., hlm. 70.

[194] Dari dokumen data kekerasan terhadap isteri Rifka Annisa WCC, dalam Wahid Hasyim, “Korelasi Nusyuz dengan Kekerasan terhadap Isteri, Study Kasus di Rifka Annisa’, Womens Crisis Center”, Skripsi UIN Sunan Kalijaga, (2002), hlm. 46-48.

[195] Identifikasi telah terjadinya tindak kekerasan terhadap isteri tersebut diperoleh dari hasil wawancara dengan korban, pelaku dan konselor pendamping dari Rifka Annisa’, serta dari saksi-saksi dan dokumen data Rifka Annisa’ sendiri. Lihat Wahid Hasyim, “Korelasi Nusyuz.,” hlm. 54-62.

[196] Rosalia Sciortino, Kemenangan Harmoni: Pengingkaran Kekerasan Domestik di Jawa, dalam Nur Hasyim, (pen.), Menggugat, hlm. 52-53.

[197] Lihat penjelasannya dalam bab III, hlm. 68 Skripsi ini.

[198] Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1355.

[199] Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm. 579.             

[200] An-Nisa’ (4): 128.

[201] Sa’id Hawa, al-Asas fi Tafsir, cet. I, (Beirut: Dar as-Salam, 1405 H/1989 M.), II: 1194-1195.

[202] Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1355.

[203] Sulaiman bin ‘Umar Al-Ajily-Syafi’i al-Jamal, Al-Futuhat Al-Ilahiyat, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1416 H/1992 M.), I: 379.

[204] Abdullah Sa’Id bin Muhammad Ubbadi, Idlahu al-Qawaid al-Fiqhiyyah, cet. III (Surabaya: al-Hidayah, t.t.),  hlm. 62.

[205] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi III, cet. I (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2001), hlm. 53.

[206] Erina Pane dan Siti Zulaikha, Perlindungan., hlm. 30.

[207] Ibid., hlm. 42.

[208] Atho Mundzar,  Wanita Dalam Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), hlm. 137.

[209] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 1 Ayat (1).

[210] Ibid., Pasal 2 Ayat (1) dan (2).

[211] Ibid., Pasal 5.

[212] Ibid., Pasal 6, 7 dan 8.

[213] Ibid., Pasal 9 Ayat (1) dan (2)

[214] Ibid., Pasal 44 Ayat (1), (2), (3) dan (4).

[215] Ibid., Pasal 45 Ayat (1) dan (2).

[216] Ibid., Pasal 46.

[217] Ibid., Pasal 47.

[218] Ibid., Pasal 48.

[219] Ibid., Pasal 49.

[220] Ibid., Pasal 50.

[221] Pajar P. Widodo, “Kekerasan dalam Rumah Tangga,” makalah Seminar Daerah Tentang Kekerasa Dalam Keluarga Menyingkap Mitos dan Fakta oleh HIMA Pidana Universitas Lampung, 1999, hlm. 12.

[222] Ibid., hlm. 11.

[223] Erina Pane dan Siti Zulaikha, Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Bandar Lampung, (Pusat Penelitian IAIN Intan Bandar Lampung, 2002), hlm. 5.

[224] Sri Sanituti, “Tindak Pidana Keluarga Terhadap Wanita,” makalah Seminar Terbatas Tentang Pencegahan Tindak Kekerasan Dalam Keluarga, Kerjasama MPUPW dengan Pusat penelitian dan pengembangan Sosial, Jakarta, 1993.

[225] Erina Pane dan Siti Zulaikha, Perlindungan Hukum., hlm. 6.

[226] Elli NurhAyati, “Kekerasan Terhadap Isteri“, dalam Nur Hasyim, (peny.), Menggugat, hlm. 4.

[227] Ibid., hlm. 16.

[228] Elli N. Hasbianto, “Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Sebuah Kejahatan yang Tersembunyi”, dalam Syafiq Hasyim, (ed.), Menakar, hlm. 189.

[229] Beberapa mitos yang dijadikan landasan kekerasan terhadap isteri adalah isteri dipukul karena membantah, melawan suami, dan berbuat kesalahan besar, kekerasan hanya terjadi karena suami mabuk, kalah judi, gagal dalam pekerjaan, kekerasan ini juga hanya dilakukan oleh suami yang berperangai kasar. Pemukulan terhadap isteri semata-mata karena suami lepas kontrol atau marah, dan hal ini tidak akan terjadi jika suami-isteri beragama dengan baik dan taat. Lihat, ibid., hlm. 191-192.

[230] Amian Wadud, “Family in Islam: Or Gender Relations by Any Other Name”, dalam Zainah Anwar dan Rashidah Abdullah, (ed.), Islam, hlm. 69.

[231] Ibid., hlm. 76.

[232] Jhon Samson Sembiring, “Kekerasan Terhadap Isteri Antara Kultur, Agama dan Moralitas”, dalam Nur Hasyim, (peny.), Menggugat, hlm. 148.

[233] Triningtyasasih (ed.), Kekerasan Dalam Rumah Tangga, cet. I, (Yogyakarta: Rifka Annisa’ bekerjasama dengan Ford Foundation, 1997).

[234] Ibid., hlm. 2.

[235] Ibid., hlm. 5.

[236] Ibid.

[237] Bandingkan dengan Mansour Fakih Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Cet.I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 54.

[238] Wahid Hasyim, “Korelasi Nusyuz dengan Kekerasan terhadap Isteri, Study Kasus di Rifka Annisa’, Women’s Crisis Center”, Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (2002), hlm. 8-9.

[239] Ibid., hlm. 70.

[240] Dari dokumen data kekerasan terhadap isteri Rifka Annisa WCC, dalam Wahid Hasyim, “Korelasi Nusyuz dengan Kekerasan terhadap Isteri, Study Kasus di Rifka Annisa’, Womens Crisis Center”, Skripsi UIN Sunan Kalijaga, (2002), hlm. 46-48.

[241] Identifikasi telah terjadinya tindak kekerasan terhadap isteri tersebut diperoleh dari hasil wawancara dengan korban, pelaku dan konselor pendamping dari Rifka Annisa’, serta dari saksi-saksi dan dokumen data Rifka Annisa’ sendiri. Lihat Wahid Hasyim, “Korelasi Nusyuz.,” hlm. 54-62.

[242] Rosalia Sciortino, Kemenangan Harmoni: Pengingkaran Kekerasan Domestik di Jawa, dalam Nur Hasyim, (pen.), Menggugat, hlm. 52-53.

[243] Lihat penjelasannya dalam bab III, hlm. 68 Skripsi ini.

[244] Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1355.

[245] Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm. 579.             

[246] An-Nisa’ (4): 128.

[247] Sa’id Hawa, al-Asas fi Tafsir, cet. I, (Beirut: Dar as-Salam, 1405 H/1989 M.), II: 1194-1195.

[248] Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1355.

[249] Sulaiman bin ‘Umar Al-Ajily-Syafi’i al-Jamal, Al-Futuhat Al-Ilahiyat, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1416 H/1992 M.), I: 379.

[250] Abdullah Sa’Id bin Muhammad Ubbadi, Idlahu al-Qawaid al-Fiqhiyyah, cet. III (Surabaya: al-Hidayah, t.t.),  hlm. 62.

[251] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi III, cet. I (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2001), hlm. 53.

[252] Erina Pane dan Siti Zulaikha, Perlindungan., hlm. 30.

[253] Ibid., hlm. 42.

[254] Atho Mundzar,  Wanita Dalam Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), hlm. 137.

[255] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 1 Ayat (1).

[256] Ibid., Pasal 2 Ayat (1) dan (2).

[257] Ibid., Pasal 5.

[258] Ibid., Pasal 6, 7 dan 8.

[259] Ibid., Pasal 9 Ayat (1) dan (2)

[260] Ibid., Pasal 44 Ayat (1), (2), (3) dan (4).

[261] Ibid., Pasal 45 Ayat (1) dan (2).

[262] Ibid., Pasal 46.

[263] Ibid., Pasal 47.

[264] Ibid., Pasal 48.

[265] Ibid., Pasal 49.

[266] Ibid., Pasal 50.

BATAS USIA ANAK DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANANYA MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang Masalah

Dalam menjalankan kehidupan, manusia sebagai makhluk Allah SWT selain berhubungan dengan Tuhannya (habl min al-Allah) juga berhubungan dengan manusia lainnya (habl min al-Nas). Maka sadar atau tidak sadar akan dipengaruhi oleh lingkungan hidup di sekitarnya  sekaligus juga diatur oleh aturan-aturan atau norma-norma hidup bersama yang mengekang hawa nafsu dari masing-masing individu sebagai batasan atas segala perilaku masyarakat.

Dinamisnya suatu individu dalam berinteraksi dengan individu lainnya menjadikannya tidak luput dari adanya suatu kesalahan terhadap suatu aturan, baik sifatnya moril yang nantinya hanya Allah-lah yang memberikan sanksi atau hukuman di akhirat maupun kesalahan yang sifatnya dapat langsung diberikan suatu tindakan hukum berupa hukuman atas kesalahannya itu, sebagaimana firman Allah SWT :

يا ايها الذ ين امنوا كتب عليكم القصاص في القتلي….    [1]

Sehubungan dengan itu, salah satu masalah yang penting dan mendapat banyak perhatian dalam hukum pidana adalah masalah hukuman.

Dalam masalah hukuman, hukum pidana positif menawarkan pembedaan antara tujuan hukum pidana (strafrechtscholen) di satu sisi dengan tujuan hukuman (strafrechstheorieen) di sisi lain, hal ini dikarenakan tujuan dari susunan hukum pidana adalah merupakan tujuan ditetapkannya suatu aturan hukum yakni untuk melindungi masyarakat dari kejahatan,[2] sedangkan tujuan hukuman adalah pembinaan dan bimbingan tentang tujuan ini masih banyak diperdebatkan dan banyak pendapat yang mendasarkan pada beberapa teori yang ada.

Anak sebagai generasi muda merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan memelihara, mempertahankan, dan mengembangkan hasil pembangunan yang ada. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, dan seimbang.[3]

Dalam Islam pemeliharaan anak adalah tanggung jawab bagi kedua orang tuanya, sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:

ياايهاالذين أمنوا قواانفسكم واهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملئكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما امر هم و يفعلون ما يؤ مرون[4].

Ayat tersebut menegaskan akan fungsi dan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya yang pada hakikatnya ada dua macam, yaitu: [5]

  1. Fungsi orang tua sebagai pengayom.
  2. Fungsi orang tua sebagai pendidik.

Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai subyek hukum ditentukan dari bentuk dan sistem terhadap anak sebagai kelompok masyarakat dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur. Menurut Undang-undang dianggap tidak mampu karena kedudukan akal dan pertumbuhan fisik yang mengalami pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan hadis:

رفع القلم عن ثلاث عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل.[6]

         Seorang anak tidak akan dikenakan hukuman had karena kejahatan yang dilakukannya, karena tidak ada beban tanggung jawab hukum atas seorang anak atas usia berapapun sampai dia mencapai usia puber, qadhi hanya akan berhak untuk menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan baginya yang akan membantu memperbaikinya dan menghentikannya dari membuat kesalahan di masa yang akan datang.[7]

Namun bila kita mengacu pada Pasal 45 KUHP mengenai anak-anak yang dapat diajukan ke sidang pengadilan adalah bila anak tersebut telah mencapai usia 16 tahun. Sedangkan bila kita melihat pada Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, Pasal 4 yang menetapkan batas usia anak yang dapat dijatuhi hukuman atau sanksi pidana sangatlah berbeda. Ketentuan pasal tersebut berbunyi:

1.Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

2.Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang anak.

Memang dalam pergaulan sehari-hari, masalah batas umur antara kata dewasa dan kata anak cukup menjadi problema yang rumit. Klasifikasi umur akan menentukan dapat tidaknya seseorang dijatuhi hukuman serta dapat tidaknya suatu tindak pidana dipertanggungjawabkan kepadanya dalam lapangan kepidanaan. Secara umum klasifikasi yang ingin ditonjolkan sebagai inti dalam persoalan ini adalah kedewasaan, walaupun kedewasaan seseorang dengan orang lain tidak disamakan, namun dalam peristiwa hukum klasifikasi ini akan selalu sama untuk suatu lapangan tertentu,[8] karena menyangkut titik akhir yang ingin dicapai oleh para hakim dalam memutuskan suatu perkara dalam perasaan keadilan yang sebenarnya. Sebagai motto para ahli kriminologi yang berbunyi: “ Fight crime, help delinquent, love humanity ”.[9]

Sementara, selama ini banyak fenomena seorang anak kecil di bawah umur duduk di bangku tertuduh dan ditahan seperti layaknya penjahat besar hanya karena perkara sepele.

Seperti kasus-kasus yang terjadi, kasus pertama dialami Andang Pradika Purnama, bocah 9 tahun. Pihak kepolisianYogyakarta sempat menahannya sampai 52 hari. Menurut laporan polisi Kotagede, Andang terbukti mencuri dua burung Leci dan mengaku telah melakukan pencurian sebanyak delapan kali. Juga, menurut laporan polisi itu, ayahnya sudah tak sanggup mengasuhnya, sehigga polisi menyebutnya residivis. Kapolwil DI Yogakarta, mengatakan, penahanan Andang untuk diajukan ke Pengadilan Negeri sudah sesuai dengan KUHAP.

Kasus kedua, menimpa Said bin Djunaidi, bocah warga Kecamatan Kopo, Serang Jawa Barat, sejak 9 April 1995 telah ditahan di Polsek setempat. Ia diduga melakukan pencurian di warung milik tetangganya. Oleh pengadilan (27/6/1995) anak ini divonis hukuman 2 bulan 16 hari, potong masa tahanan. Seusai sidang, Said keluar dari penjara karena hukumannya sesuai dengan jangka waktu terpidana dalam tahanan.[10]

            Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan anak disebabkan oleh beberapa faktor yang antara lain :

  1. Adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat.
  2. Arus globalisasi di bidang informasi dan komunikasi
  3. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
  4. Perubahan gaya dan cara hidup sebagian para orang tua

Telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.[11]

            Di samping itu anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.

            Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan dan kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya.

            Karena itu dalam menghadapi masalah anak nakal, orang tua dan masyarakat sekitarnya harusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak tersebut.

            Mengingat ciri dan sifat yang  khas, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap anak nakal diupayakan agar anak dimaksud jangan sampai dipisahkan dari orang tuanya.         Hubungan orang tua dengan anaknya merupakan hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologi maupun mental spiritual.

            Bilamana hubungan orang tua dan anak kurang harmonis atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tadi semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak itu sendiri secara sehat dan wajar.[12]

            Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka sangat signifikan dan urgen untuk meneliti lebih jauh mengenai batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya. 

 

B.Pokok Masalah

            Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah disebutkan di atas, dapat dirumuskan beberapa pokok masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya menurut hukum pidana positif dan hukum pidana Islam.
  1. Bagaimana persamaan dan perbedaan mengenai usia anak dan  pertanggungjawaban pidananya.

 

C. Tujuan dan Kegunaan

1.Tujuan penelitian:

  1. a.  Menjelaskan batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya    menurut hukum pidana positif dan hukum pidana Islam.

b. Menjelaskan persamaan dan perbedaan tentang batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya antara hukum pidana positif dan hukum pidana Islam.

      2. Kegunaan penelitian:

  1. a.  Sebagai sumbangan bagi pengembangan hukum Islam dan hukum positif khususnya yang berkenaan dengan batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya.

b. Untuk memberikan kesadaran bagi masyarakat akan tanggung jawab pemeliharaan anak sebagai generasi penerus bangsa.

 

D.Telaah Pustaka

            Guna membahas pokok masalah yang terdapat dalam rumusan di atas, maka uraian literatur berikut dapat menjadi kajian dalam pembahasan skripsi ini.

            Ada beberapa skripsi yang telah membahas tentang anak-anak dalam lingkungan hukum, di antaranya adalah skripsi Badruzzaman yang menjelaskan tentang sistem pemidanaan dan pemberian sanksi anak nakal dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dalam hukum Islam ditinjau dari pendekatan normatif,[13] dan skripsi Laily Dyah Rejeki yang menguraikan tentang kenakalan anak dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana menurut hukum positif dan hukum Islam.[14]

            Para pakar pidana dan pemikir Islam sudah banyak yang membahas mengenai status hukum seorang anak. Dari kalangan tokoh hukum Islam di antaranya adalah Mahmoud al-Fadhoilat dalam risalah yang berjudul Suqutu al-Uqubat fi al-Fiqhi al-Islamy yang menjelaskan tentang seluk beluk permasalahan yang berkaitan dengan anak-anak yang melakukan tindak pidana,[15] kemudian seperti buku karya Abdul Qadir Audah yang berjudul “at-Tasyri’ al-Jina’I al-Islami”,[16] yang menjelaskan secara luas dalam masalah hukuman ini, dan masih banyak lagi tulisan-tulisan yang membahas anak dalam kedudukan hukum Islam.

Adapun buku dari kalangan tokoh atau pakar hukum positif yang membahas tentang hukum anak di antaranya adalah buku karya Darwan Prinst Hukum anak Indonesia yang memberikan penjelasan bahwasanya pengaturan hukum anak di negara kita sampai sekarang tersebar dalam berbagai tingkat perundang-undangan.[17]

Perkembangan zaman saat ini banyak mempengaruhi perkembangan jiwa masyarakat dan membuat orang untuk selalu memenuhi kebutuhan hidupnya. Seseoarang yang hidup dalam masyarakat tentu akan mengadakan hubungan dengan masyarakat yang ada di sekitarnya. Pergaulan yang ada tidak terbatas pada satu golongan masyarakat tertentu saja, seorang di bawah umur juga tidak tertutup kemungkinan untuk bergaul dengan orang yang sudah dewasa. Dengan melihat dari berbagai kemungkinan di atas maka dalam penelitian ini juga diperlukan literatur-literatur yang membahas tingkah laku anak dari segi psikologi dan sosiologi, di antaranya adalah buku karya E. Sumaryono yang berjudul Kejahatan Anak: Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum[18] dan bukunya Y. Bambang Mulyono dalam Analisis Kenakalan Remaja dan Penanggulangannya.[19] Dan masih banyak lagi kajian psikologi dan sosiologi yang mengungkap kenakalan anak dari perkembangan jiwa dan lingkungan di mana anak tersebut hidup.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa para pakar pidana dan pemikir Islam kontemporer sudah banyak yang membahas mengenai status anak dalam hukum baik dari aspek sosial maupun normatifnya, akan tetapi belum ada yang membahas khusus pada masalah batas usia anak dan pertanggungjawaban pidana  bagi anak-anak pelaku tindak pidana dalam hukum positif dan hukum Islam.

           

E.Kerangka Teoretik

            Hukum Islam mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari aturan yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya maupun aturan main sesama manusia itu sendiri. Salah satu ruang lingkup itu adalah hukum pidana Islam yang dalam tradisi fiqh disebut dengan istilah jarimah atau jinayah, yang secara terminologis bermakna tindak pidana atau delik yang dilarang oleh syari’at dan diancam dengan hukuman bagi pelanggarnya.[20]

            Salah satu prinsip dalam syari’at Islam adalah seseorang tidak bertanggung jawab kecuali terhadap jarimah yang telah diperbuatnya sendiri dan bagaimanapun juga tidak bertanggung jawab atas perbuatan jarimah orang lain.

            Prinsip tersebut dapat berkali-kali ditandaskan dalam al-Qur’an dalam beberapa ayatnya yaitu sebagai berikut :

قل اغير الله ابغىرباوهورب كل شيء.ولا تكسب كل نفس الا عليها. ولا تزروازرة وزر اخرى. ثم الي ربكم مرجعكم فينبئكم بما كنتم فيه تختلفون.[21]

ولاتزروازرة  وزر اخرى.وان تدع مثقلة الىحملها لا يحمل منه شي ولوكان ذاقر بى.انما تنذر

الذ ين يخشون ربهم بالغيب وا قامواالصلوة. ومن تزكىفانما يتزكىلنفسه.والىالله المصير.[22]

وان ليس للانسان الا ما سعى.[23]

من عمل صالحا فلنفسه. ومن اساء فعليها. وماربك بظلا م للعبيد.[24]

ليس بأما نيكم ولا أمانى اهل الكتاب.من يعمل سوءيجزبه.ولا يجدله من دون الله وليا ولا نصيرا.[25]

            Dengan demikian seseorang harus bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukannya.

            Arti pertanggungjawaban pidana (al-Mas’uliyyah al-Jināiyyah) sendiri dalam syari’at Islam ialah pembebanan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu.[26]

            Pertanggungjawaban itu harus ditegakkan atas tiga hal, yaitu :[27]

  1. Adanya perbuatan yang dilarang
  2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri
  3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut

Ketiga hal tersebut di atas harus terpenuhi, sehingga bila salah satunya tidak terpenuhi maka tidak ada pertanggungjawaban pidana.

Dari ketiga syarat tersebut dapat diketahui bahwa pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada seseorang selain anak-anak[28] sampai ia mencapai usia  puber, orang yang sakit syaraf (gila), dalam keadaan tidur atau dipaksa.[29]

Faktor yang mengakibatkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang oleh syari’at atau sikap tidak berbuat yang diharuskan oleh syari’at.[30]

Mengenai hukuman bagi anak-anak, perundang-undangan dalam bidang hukum perdata untuk anak jauh lebih memadai dari pada bidang hukum pidana untuk anak.[31]

Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, ada di bawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar gedung pengadilan.[32]

Orang tua adalah orang yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak mengandung kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang sehat, cerdas, berbudi pekerti luhur, berbakti kepada orang tua, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa.

Begitu juga dalam sistem hukum pidana positif, pertanggungjawaban pidana terkait erat dengan kesalahan dan perbuatan melawan hukum.sehingga seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu:[33]

      a.   Unsur obyektif, yaitu harus ada unsur melawan hukum.

  1. Unsur subyektif, yaitu terhadap pelakunya harus ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan.

Menurut Pompe, sebagaimana dikutip oleh Martiman Projohamidjojo, unsur-unsur toerekenbaarheid (pertanggungjawaban), adalah :[34]

  1.  Kemampuan berfikir (psychis) pada pembuat yang memungkinkan pembuat menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya.
  2.  Dan oleh sebab itu, dapat mengerti makna dan akibat perbuatannya.
  3.   Dan oleh sebab itu pula, pembuat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya (tentang makna dan akibat)

Satochid Kartanegara menyatakan bahwa toerekeningsvatbaarheid atau dapat dipertanggungjawabkan adalah mengenai keadaan jiwa seseorang, sedangkan toerekenbaarheid (pertanggungjawaban) adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan sipelaku atau pembuat.[35]

Dalam hal hukuman pidana pada hukuman pidana positif, ancaman pidana bagi anak ditentukan oleh  Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang penjatuhan pidananya ditentukan setengah dari maksimal ancaman pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Adapun penjatuhan pidana penjara seumur hidup dan pidana mati tidak diperlakukan terhadap anak.

Perbedaan perlakuan dan ancaman pidana tersebut dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi agar anak dapat menyongsong masa depan yang masih panjang. Perbedaan ini dimaksudkan pula untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya guna menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi keluarga dan masyarakat.

Mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur, yakni bagi anak yang masih berumur 8 hingga 12 tahun hanya dikenakan tindakan belaka, misal dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan pada negara. Adapun terhadap anak yang telah berumur di atas 12 hingga 18 tahun dijatuhi pidana.

Demi perlindungan terhadap anak, perkara anak nakal wajib disidangkan pada Pengadilan Anak yang bernaung dalam lingkungan Peradilan Umum. Dengan demikian proses peradilan perkara anak nakal dari sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan selanjutnya wajib ditangani oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami masalah anak.[36]

Namun demikian hukum Islam mempunyai aturan yang .jelas, kedudukan anak dalam Islam merupakan “amanah” yang harus dijaga oleh kedua orang tuanya. Kewajiban mereka pula untuk mendidiknya hingga berperilaku sebagaimana yang dituntun agama. Jika terjadi penyimpangan dalam tingkah laku anak, Islam dalam keadaan tertentu masih memberi kelonggaran. Seperti diisyaratkan sebuah hadis yang menyatakan “ketidakberdosaan” (raf ul qalam) seorang anak hingga mencapai akil baligh, ditandai dengan timbulnya “mimpi” (ihtilam) pada laki-laki dan haid bagi perempuan.[37]

Bila seorang anak mencuri, atau membunuh sekalipun, ia tidak bisa dikenai hukuman apapun. Bahkan, Wahbah Zuhaili, dalam bukunya al-Fiqh al-Islamiy, mencatat, status perbuatan anak tersebut, dalam kategori fiqh, belum termasuk tindakan kriminal (jinayah).[38]

Dalam hukum pidana Islam, pertanggungjawaban pidana dapat terhapus karena adanya sebab-sebab tertentu baik yang berkaitan dengan perbuatan si pelaku tindak pidana maupun sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pembuat delik.[39] Seperti kejahatan yang dilakukan dalam keadaan dipaksa, tidak akan ada tuntutan hukum atas hal tersebut asalkan terbukti benarnya, kemudian kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidak sadar seperti mengigau, meskipun dia tampak awas, namun dia tetap tertidur. Maka secara hukum dia tidak bertanggungjawab, begitu juga dengan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang masih anak-anak dan seseorang yang dalam keadaan gila atau sakit saraf.

Sedangkan dalam sistem hukum pidana positif (KUHP), pelaku tindak pidana tidak dapat dikenakan pidana apabila tidak dapat dasar peniadaan pidana sebagai berikut:[40]

  1. Pasal 44: Tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana karena kurang sempurna akalnya.
  2. Pasal 48 : daya paksa
  3. Pasal 49 : ayat (1) pembelaan terpaksa.
  4. Pasal 49 : ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
  5. Pasal 50 : menjalankan peraturan yang sah.
  6. Pasal 51 : ayat (1) menjalankan perintah jabatan yang berwenang.
  7. Pasal 51 : ayat (2) menjalankan perintah jabatan yang tidak berwenang.

Jika bawahan itu dengan etiket baik memandang atasan yang bersangkutan sebagai yang berwenang.

Oleh karena itu dalam Islam tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak merupakan tindak pidana yang tidak memiliki sanksi bagi pelakunya.

 

F. Metode Penelitian

  1. Jenis Penelitian

Jenis peneltian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan cara mengkaji dan menelaah berbagai dokumen baik berupa buku atau tulisan yang berkaitan dengan bahasan tentang usia anak dan pertanggungjawaban pidananya, Hukum Pidana positif dan Hukum Pidana Islam.

  1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu berusaha memaparkan tentang batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya menurut hukum pidana positif dan hukum pidana Islam. Selanjutnya data-data yang ada diuraikan dan dianalisis dengan secermat mungkin sehingga dapat ditarik kesimpulan.

  1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif yuridis, yang mengkaji masalah batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya dengan berdasarkan pada aturan-aturan hukum yang berlaku di Indonesia dalam hal ini adalah Hukum Pidana Positif dan juga berdasarkan aturan-aturan Hukum Pidana Islam.

  1. Teknik Pengumpulan  Data

Karena jenis penelitian ini adalah library research, maka pada tahap pengumpulan data menggunakan bahan-bahan pustaka tentang  batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya. Hukum Pidana positif dan Hukum Pidana Islam yang relevan dan representatif.

Sebagai data primer dalam penelitian ini adalah al-Qur’an dan al-Hadits yang merupakan sumber Hukum Islam, dan KUHP serta beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang anak sebagai sumber Hukum Positifnya. Sedangkan data sekundernya adalah buku-buku atau bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan bahasan mengenai batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya baik menurut hukum pidana positif maupun hukum pidana Islam.

  1. Analisis Data

Sedangkan data yang telah ada dianalisis secara komparatif, yaitu dengan membandingkan data mengenai batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya menurut hukum pidana positif dan hukum pidana Islam serta melihat persamaan dan perbedaan di antara keduanya.

 

G. Sistematika Pembahasan

Agar pembahasan ini dapat tersaji secara teratur dan tersusun secara sistematis, pembahasannya akan disajikan dalam lima bab, yaitu sebagai berikut.

Bab pertama berisi pendahuluan, yang di dalamnya menguraikan tentang latar belakang masalah dan pokok masalah yang menjadi kajian dalam skripsi ini, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritik yang dipakai sebagai acuan dasar ketika melakukan analisis terhadap data-data yang dikumpulkan, dan metode penelitian yang berfungsi sebagai kendali untuk meluruskan alur penelitian sampai pada titik akhir pembahasan.

Pembahasan dimulai pada bab kedua yang menguraikan telaah tentang batas usia anak dan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh anak-anak dalam perspektif hukum pidana positif. Bahasan dalam bab ini meliputi pengertian anak, hukuman, untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hukuman selain itu juga akan dijelaskan mengenai bentuk-bentuk hukuman bagi anak-anak, dan pada akhir bab ini akan menguraikan tentang batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya.

 Pada bab ketiga menguraikan telaah tentang sanksi hukuman tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak dalam perspektif hukum pidana Islam. Bahasan dalam bab ini meliputi pengertian hukuman untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hukuman selain itu juga akan dijelaskan mengenai bentuk-bentuk hukuman bagi anak-anak, dan pada akhir bab ini akan menguraikan tentang batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya.

Selanjutnya pada bab keempat, batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya dianalisis secara komparatif dari segi pengertian dasar hukum, kriteria (bentuk) hukuman dari kedua sistem hukum tersebut. Dengan pembahasan ini akan dapat diketahui batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya sehingga hak-hak anak cukup terpenuhi dan terlindungi.

Sedangkan bab kelima, adalah penutup yang di dalamnya diuraikan kesimpulan dari apa-apa yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya. Kemudian dilanjutkan dengan saran-saran.

BAB II

PELANGGARAN PIDANA ANAK-ANAK DALAM

HUKUM PIDANA POSITIF

 

  1. Beberapa Kriteria Anak dan Hukuman
  2. Pengertian Anak

Merujuk dari Kamus Umum Bahasa Indonesia mengenai pengertian anak secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa.[41] Pengertian tersebut juga terdapat dalam Pasal 45 KUHP  disebutkan bahwa ”Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim boleh: memerintahkan, supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman; atau memerintahkan, supaya si tersalah supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan; atau menghukum anak yang bersalah itu.” Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa anak sebagai pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana adalah seseorang sebelum umur enam belas tahun. Namun dalam Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak disebutkan bahwa” Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (Delapan belas) tahun dan belum pernah kawin dan dikenal dengan sebutan anak nakal. Sebagaimana kutipan dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) berbunyi:[42]

1. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

2. Anak nakal adalah:

  1. a.  Anak yang melakukan tindak pidana; atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

 Dengan diundangkannya Undang-undang ini, maka Pasal 45 KUHP tidak berlaku lagi. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 67 Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang berbunyi ”pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.”

Batasan umur untuk anak sebagai korban pidana diatur dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak  dirumuskan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa anak yang berhak mendapat perlindungan hukum tidak memiliki batasan minimal umur.[43] Dari sejak masih dalam kandungan, ia berhak mendapatkan perlindungan.

Dalam Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang disebut Anak adalah:”seseorang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.”

Sedangkan dalam hukum perdata dijelaskan dalam Pasal 370 Bab Kelima Belas Bagian kesatu tentang Kebelumdewasaan Kitab Undang-undang Hukum  Perdata yang berbunyi lengkap pasalnya adalah sebagai berikut: ”Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin”.[44] Jadi anak adalah setiap orang yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Seandainya seorang anak telah menikah sebelum 21 tahun kemudian ia bercerai atau ditinggal mati oleh suaminya sebelum ia genap 21 tahun, maka ia tetap dianggap sebagai orang yang telah dewasa bukan anak-anak. pengertian anak menurut ketentuan Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mempunyai dua syarat, yaitu :

  1. Orang atau anak itu ketika dituntut haruslah belum dewasa, yang dimaksud belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin. Jika seorang kawin dan bercerai sebelum berumur 21 tahun, maka ia dianggap sudah dewasa.
  2.  Tuntutan itu mengenai perbuatan pidana pada waktu ia belum berumur 16 tahun.

Batasan umur anak tergolong sangat penting dalam perkara pidana anak, karena dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan termasuk kategori anak atau bukan. Mengetahui batasan umur anak-anak, terjadi keberagaman diberbagai negara yang mengatur tentang usia anak yang dapat dihukum. Di negara Swiss batas usia anak yang dapat dihukum bila telah mencapai usia 6 tahun, di Jerman 14 tahun sehingga dikenal dengan istilah ist muchtstraf bar atau can be guilty of any affence yang berarti di atas umur tersebut relatif dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya seperti orang dewasa yang mendapat putusan berupa tindakan maupun pidana yang bersifat khusus.[45]

Bismar Siregar, dalam bukunya menyatakan bahwa dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis diterapkan batasan umur yaitu 16 tahun atau 18 tahun ataupun usia tertentu yang menurut perhitungan pada usia itulah si anak bukan lagi termasuk atau tergolong anak tetapi sudah dewasa.[46]

Membicarakan sampai batas usia berapa seseorang dapat dikatakan tergolong anak, ternyata banyak Undang-undang yang tidak seragam batasannya, karena dilatarbelakangi dari maksud dan tujuan masing-masing Undang-undang itu sendiri. Dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang disebut anak sampai batas usia sebelum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 butir 2).[47] Kemudian dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa membatasi usia anak di bawah kekuasaan orang tua dan di bawah perwalian sebelum mencapai umur 18 tahun (Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1)).[48] Dalam Undang-undang Pemilihan Umum yang dikatakan anak adalah belum mencapai umur 17 tahun (Pasal 9 ayat (1)).[49] Sedangkan dalam Undang-undang Peradilan Anak ditentukan batas minimal dan maksimal usia anak nakal yaitu sekurang-kurangnya 8 tahun dan maksimal umur 21 tahun serta belum pernah kawin (Pasal 1 ayat (1) dan (2)).[50]

Tentang pengertian anak, selain menurut batasan umur, anak digolongkan berdasarkan hubungan dengan orang tua yaitu:[51]

  1. 1.  Anak kandung adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat ikatan perkawinan yang sah.

2. Anak tiri adalah anak yang bukan terlahir dari kedua orang tua yang sama misalnya si istri tergolong janda dan ia membawa anak dari suami pertama, atau sebaliknya si pria adalah duda yang membawa anak dari istri pertama. Kedudukan anak seperti demikian pada umumnya tidak sama di mata kedua orang tua, baik dalam curahan kasih sayang maupun dalam berbagi harta warisan dikemudian hari.

3. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkanadari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 butir 9 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

4. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang secara wajar. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 10 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

 

     2. Pengertian Hukuman

            Berbicara tentang hukum maka hukum terbagi menjadi yaitu hukum privat dan hukum publik yang mana hukum pidana termasuk di dalam hukum publik. Hal ini berlaku dewasa ini. Dahulu di Eropa yang juga di Indonesia, tidaklah dipisah-pisahkan antara kedua hukum itu, sehingga gugatan baik yang termasuk di dalam hukum publik sekarang ini maupun yang termasuk hukum privat dijatuhkan oleh pihak-pihak yang dirugikan.

            Istilah hukuman ini berasal dari kata straf yang merupakan istilah yang sering digunakan sebagai sinonim dari istilah pidana. Istilah hukuman yang merupakan umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas.[52] Yang dimaksud dengan pidana (hukuman) ialah, perasaan tidak enak (penderitaan sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan fonis pada orang yang melanggar undang-undang hukum pidana.[53] Dalam hal yang demikian digunakan istilah hukuman dalam arti sempit yaitu hukuman dalam perkara pidana dan bukan dalam perkara-perkara lain seperti hukuman yang dijatuhkan oleh hakim dalam perkara perdata dan juga bukan hukuman terhadap pelanggar di luar Undang-undang.

Sebagai gambaran pengertian hukuman, perlulah kiranya diperhatikan definisi-definisi yang dipaparkan oleh para ahli maupun sarjana hukum, yang di antaranya selain menjelaskan tentang hukuman juga menjelaskan perbedaannya dengan pengertian pidana dan yang berhubungan dengannya.

Penghukuman sering kali sinonim dengan pemidanaan yang mana hal ini sesuai dengan yang dipaparkan Sudarto, yaitu :

Penghukuman berasal dari kata hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena itu tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman di sini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling.[54]

 

Dari pandangan Sudarto tersebut bahwa penghukuman merupakan sinonim dari pemidanaan maka, juga berdasarkan atas uraian dalam kamus bahasa Indonesia, disini digunakan istilah hukuman dalam arti yang khusus yaitu penderitaan yang diberikan kepada seseorang yang melanggar undang-undang, yang dijatuhkan oleh hakim. Hal ini disebabkan tidak adanya atau belum ada kesepakatan terhadap masalah hukuman ini, yang mana sering ditemukan kata-kata hukuman 10 tahun penjara dan kadang didapati kata-kata dipidana 10 tahun penjara, juga tidak bisa dikatakan bahwa  tidak ada sarjana yang tidak membedakan arti dari hukuman dengan pidana.

Sedangkan menurut Andi Hamzah, bahwa hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau penderitaan atau suatu nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang.[55]

Lebih jauh lagi penuturan Tirtaamidjaja, bahwa hukuman adalah suatu penderitaan, yang dikenakan oleh hakim kepada si terhukum karena melanggar suatu norma hukum.[56] Dan bahwa hukuman sebagai sanksi dari suatu norma hukum tertentu adalah tanda dari hukum pidana itu, yang membedakannya dari bagian-bagian hukum yang lain.

Hukuman adalah siksa dan sebagainya yang diletakkan pada orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya; keputusan yang dijatuhkan hakim.

Demikianlah pendapat para sarjana dan para ahli hukum positif memberikan pendapatnya mengenai pengertian dari hukum itu, yang meskipun didapati dari berbagai pandangan itu berbeda satu sama lain, namun pada dasarnya sama dalam hal pemberian suatu derita dari hukum pidana.

Adapun yang dimaksud dengan hukum anak adalah sekumpulan peraturan hukum, yang mengatur tentang anak. Adapun hal-hal yang diatur dalam hukum anak itu, meliputi: sidang pengadilan anak, Anak sebagai pelaku tindak pidana, Anak sebagai korban tindak pidana, Kesejahteraan Anak, Hak-hak Anak, Pengangkatan Anak, Anak Terlantar, Kedudukan Anak, Perwalian, Anak Nakal, dan lain sebagainya.[57]

 

B. Perbuatan Anak yang Dianggap sebagai Suatu Pelanggaran

Secara umum, perbuatan-perbuatan anak yang secara yuridis dikategorikan melawan hukum dapat diidentifikasi dari rumusan pengertian tentang kenakalan anak.

Ada beberapa pasal yang menggariskan tentang kenakalan anak ahli hukum dan mantan Hakim Agung Republik Indonesia 1968, Sri Widoyati Lokito, memberikan definisi kenakalan remaja dengan semua perbuatan yang dirumuskan dalam perundang-undangan dan perbuatan lainnya yang pada hakekatnya merugikan masyarakat yang harus dirumuskan secara terperinci dalam undang-undang Peradilan Anak.[58]

Dalam Undang-undang Peradilan Anak Pasal 1 ayat (2) menggunakan istilah anak nakal, sedang pengertian anak adalah anak yang melakukan tindak pidana atas anak yang  menurut peraturan baik perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain menyimpang dari aturan yang ditetapkan dan peraturan tersebut hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pemaparan tersebut melahirkan kesimpulan bahwa unsur dari perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah:

  1. Perbuatan dilakukan oleh anak-anak
  2. Perbuatan itu melanggar aturan atau norma
  3. Perbuatan itu merugikan bagi perkembangan si anak tersebut.

Ketiga unsur di atas harus dipenuhi untuk dapat diklasifikasikan sebagai suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak.

 Bentuk-bentuk kenakalan anak yang didasarkan pada berbagai pengertian tentang kenakalan anak yang dikemukakan oleh para pakar, misalnya oleh Moedikdo, setidaknya terdapat tiga kategori perbuatan yang masuk dalam klasifikasi kenakalan anak atau Juvenile Delinquency, yaitu sebagaimana dikutip B. Simanjuntak:[59]

  1. Semua perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa sementara perbuatan itu menurut ketentuan hukum normatif adalah perbuatan pidana, seperti mencuri, menganiaya dan lain sebagainya.
  2. Semua perbuatan atau perilaku yang menyimpang dari norma tertentu atau kelompok tertentu yang dapat menimbulkan kemarahan dalam masyarakat.
  3. Semua aktifitas yang pada dasarnya membutuhkan perlindungan sosial, semisal gelandangan, mengemis dan lain sebagainya.

Lebih jelas lagi, bentuk-bentuk kenakalan anak dapat disebutkan sebagai berikut:[60]

  1. Kebut-kebutan di jalan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan diri sendiri serta orang lain.
  2. Perilaku ugal-ugalan yang mengacaukan ketenteraman masyarakat sekitar.
  3. Perkelahian antar gang, antar kelompok, antar sekolah, antar suku, dan kadang-kadang membawa korban jiwa.
  4. Membolos sekolah lalu bergelandang di sepanjang jalan.
  5. Kriminalitas seperti; mengancam, memeras, mencuri, mencopet, membunuh dan lain sebagainya.
  6. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan.
  7. Pemerkosaan, agresifitas seksual dan pembunuhan dengan motif seksual.
  8. kecanduan bahan-bahan narkotika.
  9. Tindakan-tindakan imoral, seksual secara terang-terangan dan kasar
  10. Homo seksualitas, erotisme, anal dan oral.
  11. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan
  12. Komersialisasi seks, pengguguran janin dan pembunuhan bayi
  13. Tindakan radikal dan ekstrim.
  14. Perbuatan asosial lain disebabkan oleh gangguan kejiwaan
  15. Tindakan kejahatan disebabkan karena penyakit tidur atau karena luka pada otak.
  16. Penyimpangan tingkah laku yang disebabkan karena organ-organ yang inferior.

Sementara bila ditinjau dari sudut pandang normatif, yaitu berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum pidana positif, maka bentuk-bentuk kenakalan anak dapat disebutkan sebagai berikut:

  1. Kejahatan-kejahatan kekerasan berupa pembunuhan dan penganiayaan.
  2. Pencurian, berupa pencurian biasa dan pencurian penggelapan.
  3. Penggelapan.
  4. Penipuan.
  5. Perampasan.
  6. Gelandangan.
  7. Anak sipil.
  8. Penyalahgunaan obat terlarang (narkoba)

Keseluruhan bentuk kenakalan anak baik yang diklasifikasikan berdasarkan definisi maupun berdasarkan rujukan normatif (ketentuan hukum pidana) tersebut selanjutnya dapat dibagi dalam 4 jenis, yaitu:

1. kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain seperti   perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan dan sebagainya.

2. kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti perusakan, pencurian, pencopetan dan sebagainya.

3. kenkalan sosial yang tidak menimbulkan korban pihak orang lain, seperti pelacuran dan penyalahgunaan obat terlarang (narkoba)

4. kenakalan yang melawan status, seperti mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau tidak taat atau membantah perintah dan sebagainya.

 

C. Ketentuan Pemidanaan

Menurut Sri Widoyati Lokito, banyak yang mempengaruhi pemidanaan yang terdapat dalam Undang-undang, yaitu:[61]

  1. Hal-hal yang memberatkan pemidanaan

Hal-hal yang memberatkan pemidanaan dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu:

1)      kedudukan sebagai pejabat

Menurut Pasal 52 KUHP, apabila seorang pejabat karena melakukan tindak pidana dari jabatannya, maka kesempatan atau sarana yang diberikan padanya karena jabatannya, pidananya ditambah sepertiganya . misalnya seorang agen polisi diperintah untuk menjaga uang Bank Negara Indonesia, jangan sampai dicuri orang tetapi ia sendiri yang melakukan pencurian atas uang itu, di sini dia melanggar kewajiban yang istimewa dalam jabatannya, maka pidananya dapat ditambah sepertiganya.

2)      Pengulangan tindak pidana (Recidive)

Barangsiapa yang melakukan tindak pidana dan dikenakan pidana, kemudian dalam waktu tertentu diketahui melakukan tindak pidana lagi, dapat dikatakan pelakunya mempunyai watak yang buruk. Oleh karena itu, undang-undang memberikan kelonggaran kepada hakim untuk mengenakan pidana yang lebih berat. Menurut hukum pidana modern, recidive itu dibedakan menjadi dua, yaitu : recidive kebetulan atau pelaku kejahatan yang mengulangi kejahatannya karena terpaksa seperti karena tuntutan ekonomi dan ada istilah recidive biasa yaitu pelaku kejahatan yang melakukan kejahatannya karena merupakan suatu kebiasaan recidive biasa inilah yang harus diperberat pemidanaannya.

  1. Hal-hal yang meringankan pemidanaan

1)                  Percobaan (poging)

Dalam Pasal 53 KUHP terdapat unsur-unsur dari delik percobaan, yaitu:

  1. Harus ada niat
  2. Harus ada permulaan pelaksanaan

c.  Pelaksanaan itu tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak   sendiri

      Ancaman pidana itu hanya ditujukan terhadap percobaan kejahatan, sedangkan untuk percobaan pelanggaran tidak bisa dikenakan pidana.

1)      Pembantuan (medepllichtige)

      Menurut Pasal 56 KUHP, barangsiapa yang sengaja membantu melakukan kejahatan dan memberi kesempatan dengan upaya atau keterangan untuk                            melakukan kejahatan dalam hal pembantuan maksimum pidana pokok dikurangi sepertiga. Dan bila diancam dengan penjara seumur hidup, maka maksimum hukumannya 15 tahun.

2)      Belum cukup umur (Minderjarig)

      Belum cukup umur (minderjarig) merupakan hal yang meringankan pemidanaan karena usia yang masih muda belia itu kemungkinan sangat besar dapat memperbaiki kelakuannya dan diharapkan kelak bisa menjadi warga yang baik dan berguna bagi nusa dan bangsa.

            Dalam hubungannya dengan pertanggungjawaban pidana timbul pertanyaan, apakah setiap anak yang bersalah melakukan suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan? pada mulanya, sistem pertanggungjawaban bagi anak-anak didasarkan kepada kemampuan bertanggung jawab, sistem yang mendasarkan kepada kemampuan bertanggung jawab dan batas usia tertentu bagi seseorang anak, tidak dianut lagi dalam hukum pidana di Indonesia dewasa ini. Namun yang dianut sekarang adalah sistem pertanggungjawaban yang menyatakan bahwa semua anak asal jiwanya sehat dianggap mampu bertanggung jawab dan dapat dituntut.

            Bagi anak yang mampu bertanggung jawab masih tetap dimungkinkan untuk tidak dipidana, terutama bagi anak yang masih sangat muda. Namun tidak harus diartikan bahwa Undang-undang masih membedakan antara yang mampu dan tidak mampu bertanggung jawab.

Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak terhadap anak nakal dapat dijatuhkan pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan atau tindakan. Dengan menyimak Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) diatur pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak nakal.

1. Pidana Pokok

            Ada beberapa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, yaitu:

  1. pidana penjara
  2. pidana kurungan
  3. pidana denda, atau
  4. pidana pengawasan.

2. Pidana Tambahan

            Pidana tambahan terdiri dari:

  1. a.  perampasan barang-barang tertentu

b. pembayaran ganti rugi.

3. Tindakan

               Beberapa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal (Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997) adalah:[62]

  1. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh,
  2. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja,
  3. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

Selain tindakan tersebut, hakim dapat memberi teguran dan menetapkan syarat tambahan.

Penjatuhan tindakan oleh hakim dilakukan kepada anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain.

Dalam segi usia, pengenaan tindakan terutama bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) tahun sampai 12 (dua belas) tahun. Terhadap anak yang telah melampaui umur di atas 12 (dua belas) tahun dijatuhkan pidana. Hal itu mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.       

Sedang rumusan pengenaan tindakan terhadap anak menurut Pasal 132 rancangan KUHP adalah:

1. pengembalian kepada orang tua, wali atau pengasuhnya,

2. penyerahan kepada pemerintah atau seseorang,

3. keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau suatu badan swasta,

4. pencabutan surat izin mengemudi,

5. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana,

6. perbaikan akibat tindak pidana,

7. rehabilitasi dan atau

8. perawatan di dalam suatu lembaga.

4. Pidana Penjara

Berbeda dengan orang dewasa, pidana penjara bagi anak nakal lamanya ½ (satu perdua) dari ancaman pidana orang dewasa atau paling lama 10 (sepuluh) tahun. Terhadap anak nakal tidak dapat dijatuhkan pidana mati maupun pidana seumur hidup. Dan sebagai gantinya adalah dijatuhkan salah satu tindakan.[63]

5. Pidana Kurungan

Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal maksimal setengah dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi dewasa. Mengenai apakah yang dimaksud maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa, adalah maksimum ancaman pidana kurungan terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam KUHP atau Undang-undang lainnya (penjelasan Pasal 27).[64]

6. Pidana Denda

Seperti pidana penjara dan pidana kurungan maka penjatuhan pidana denda juga dijatuhkan setengah dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa. Bila denda itu tidak dapat dibayar, maka wajib diganti dengan latihan kerja selama 90 hari dengan jam kerja tidak lebih dari 4 jam sehari dan tidak boleh dilakukan di malam hari. Tentunya hal demikian mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak serta perlindungan anak.[65]

 

 

7. Pidana Bersyarat

      Garis besar ketentuan pidana bersyarat bagi anak nakal sesuai dengan rumusan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah:[66]

  1. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun, sedangkan jangka waktu masa pidana bersyarat adalah paling lama 3 (tiga) tahun.
  2. Dalam putusan pidana bersyarat diberlakukan ketentuan berikut.
    1. a.  Syarat umum, yaitu anak nakal tersebut tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat.

b. Syarat khusus, yaitu untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.

  1. Pengawasan dan bimbingan
    1. Selama menjalani masa pidana bersyarat, jaksa melakukan pengawasan dan bimbingan kemasyarakatan melakukan bimbingan agar anak nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan.
    2. Anak nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh balai pemasyarakatan berstatus sebagai klien pemasyarakatan.
    3. Selama anak nakal berstaus sebagai klien pemasyarakatan dapat mengikuti pendidikan sekolah.

 

 

8. Pidana Pengawasan

Pidana pengawasan adalah pidana khusus yang dikenakan untuk anak yakni pengawasan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.

Anak nakal yang diputus oleh hakim untuk diserahkan kepada negara di tempatkan di lembaga pemasyarakatan anak sebagai anak negara, dengan maksud untuk menyelamatkan masa depan anak atau bila anak menghendaki anak dapat diserahkan kepada orang tua asuh yang memenuhi syarat.[67]

 

BAB III

 PELANGGARAN PIDANA ANAK-ANAK DALAM

 HUKUM PIDANA ISLAM

 

 

  1. Kriteria Anak dan Hukuman
  2. Pengertian Anak

Pengertian anak dari segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Di dalam bahasa Arab terdapat berbagai macam kata yang digunakan untuk arti anak, sekalipun terdapat perbedaan yang positif  di dalam pemakaiannya. Kata-kata sinonim ini tidak sepenuhnya sama artinya. Umpamanya “walad” artinya secara umum anak, tetapi dipakai untuk anak yang dilahirkan oleh manusia dan binatang yang bersangkutan.[68]

            Idealnya dunia anak adalah dunia istimewa tidak ada kekhawatiran dan tidak ada beban yang harus dipikul pada masa itu. Namun terkadang anak harus menanggung beban seperti orang dewasa karena dianggapnya sebagai miniatur orang dewasa terlebih lagi tidak diperlukan karakteristik dan ciri khasnya mereka yang juga punya keinginan, harapan dan dunia mereka sendiri.

            Pengertian anak dalam berbagai disiplin ilmu berbeda-beda dan penulis hanya memaparkan pengertian anak dari segi hukum Islam maupun hukum positif. Hukum Islam telah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seorang manusia yang telah mencapai umur tujuh tahun dan belum balligh, sedang menurut kesepakatan para ulama, manusia dianggap balligh apabila mereka telah mencapai usia 15 tahun.[69] Kata balligh berasal dari fiil madi balagha, yablughu, bulughan yang berarti sampai, menyampaikan, mendapat, balligh, masak.[70]

          Pendapat para ahli fiqh mengenai kedudukan anak berbeda-beda menurut masa yang dilaluinya, yaitu:

  1. Masa tidak adanya kemampuan berpikir. Masa ini dimulai sejak lahir sampai usia 7 tahun, perbuatan pidana yang dilakukannya tidak dikenai hukuman.
  2. Masa kemampuan berpikir lemah. Masa ini dimulai sejak anak berusia 7 tahun sampai usia 15 tahun. Pada masa tersebut mereka dijatuhi pengajaran. Pengajaran ini meskipun sebenarnya hukuman namun tetap dianggap sebagai hukuman mendidik bukan hukuman pidana.
  3. Masa kemampuan berpikir penuh. Masa ini dimulai sejak anak mencapai usia kecerdasan yang pada umumnya telah mencapai usia 15 tahun atau 18 tahun. Pada masa ini telah dikenakan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan.[71] Adapun menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan batas anak adalah apabila ia telah bermimpi dengan kata lain sudah balligh. Salah satu tanda balligh itu adalah telah sampai umur 15 tahun seperti riwayat dari Ibnu Umar.

عر ضت على النبى ص.م. يوم احد واناابن اربع عشرة سنة فلم يجزنى وعرضت عليه يوم الخند ق واناابن خمس عشرة سنة فاجازن.[72]

 

Menurut Abdul Qadir Audah anak di bawah umur dapat ditentukan bahwa laki-laki itu belum keluar sperma dan bagi perempuan belum haid, ikhtilam dan belum pernah hamil.[73] Menurut jumhur fuqaha berpendapat bahwa kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan sama yakni tentang kedewasaannya yaitu keluarnya sperma dan telah haid serta terlihatnya kecerdasan.[74] Dari dasar ayat al-Qur’an dan Hadiş serta dari berbagai pendapat tersebut di atas dapat dipahami bahwa kedewasaan menurut islam adalah dengan ikhtilam namun terjadi perselisihan mengenai batas umurnya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan iklim, suhu, temperamen, dan tabiat seseorang serta lingkungan sekitarnya.

Adapun yang menjadi dasar tidak cakapnya seorang anak adalah disandarkan pula pada ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an.

وابتلوااليتامى حتى اذابلغواالنكاح.فان انستم منهم رشدا فادفعوااليهم اموالهم.[75]

 Tersebut sebagai berikut حتى اذا بلغوا النكاح Para ahli tafsir menafsirkan lafaz

قال مجاهد يعنى الحلم: قال جمهورمن العلماء البلوغ فىالغلام تارة يكون بلحلوم وهوان يرى فى منامه ماينزل به الما الدافق الذى يكون منه الولد[76].

 

Sedangkan dalam tafsir Ruh al-Bayan, lafaz  حتى اذا بلغوا النكاحhanya ditafsirkan apabila mereka telah sampai umur balligh atau dewasa ditandai dengan mimpi basah yang menyiapkan mereka untuk kawin dan selanjutnya disebut baligh.[77]

Kemudian kapan seorang anak dapat dikatakan telah mencapai dewasa? Untuk menjawab hal ini dapat dilihat dari pendapat Imam Syafi’i, sebagaimana yang telah dikutip oleh Chairuman dan Suhrawardi dalam bukunya hukum perjanjian dan hukun Islam. Imam Syafi’i mengungkapkan apabila telah sempurna umur 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan, kecuali bagi laki-laki yang sudah ikhtilam atau perempuan yang sudah haid sebelum mencapai umur 15 tahun maka sudah dianggap dewasa.[78]

Seorang anak laki-laki yang mimpi bersetubuh sehingga mengeluarkan air mani walaupun belum berumur 15 tahun sudah dianggap dewasa adalah disebabkan ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an:

واذابلغ الاطفال منكم الحلم فليستأذنواكمااستأذن الذين منقبلهم[79].

Seperti halnya dalam hukum jual beli oleh anak yang belum dewasa menurut ulama-ulama Islam adalah berbeda-beda. Tetapi sebagian besar ulama berpendapat bahwa jual beli yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa boleh, asalkan ada izin dari wali dan anak tersebut sudah mumayiz (bisa membedakan antara  baik dan  buruknya sesuatu).

Pada tingkatan pertama, kesepakatan  ulama menyatakan bahwa tidak adanya kemampuan menggunakan alam pikirannya, bermula dari anak itu dilahirkan sampai ia berumur 7 tahun.

Dalam tingkatan kedua, kemampuan untuk menggunakan pikirannya akan tetapi masih lemah karena kondisis jiwa yang masih labil. Tingkatan ini bermula dari umur 7 tahun sampai anak tersebut baligh.

Sedangkan untuk tingkatan ketiga, kemampuan dalam mempergunakan alam pikiranya secara sempurna dimulai dari balighnya seorang anak yaitu setelah berumur 15 tahun ( pendapat keumuman ulama fiqih) atau setelah berumur 18 tahun (pendapat Abu Hanifah dan Mashur Malik)

Al-Qur’an memandang tentang anak secara global dapat diformulasikan dengan prinsip: “anak tidak menjadi sebab kesulitan dan kesengsaraan orang tua dan orang tua tidak menjadi penyebab kesulitan dan kesengsaraan anak-anaknya. Sebagaimana firman Allah swt:

…لا تضاروالدة بولدها ولا مولدله بولده.[80]

Ayat di atas dapat dimengerti bahwa antara anak dan orang tua mempunyai hubungan timbal balik saling menguntungkan. Mafhumnya adalah orang tua harus memelihara anak- anaknya dengan baik agar anak dapat tumbuh dan hidup serta tumbuh dengan wajar. Jika anak dapat tumbuh secara wajar baik fisik,jasmani   maupun rohaninya niscaya akan menjadi anak baik dan tidak akan menyengsarakan malahan dapat mendo’akan kedua orang tuanya agar selamat dan bahagia  di dunia maupun akhirat.

Al-Qur’an secara jelas memberikan gambaran-gambaran tentang keberadaan anak dalam kehidupan, diantaranya:

  1. Anak sebagai penyejuk hati, firman Allah SWT:

والذين يقولون ربناهبلنا من ازوجنا وذرياتناقرةاعين واجعلنا للمتقين اماما[81]

  1. Anak sebagai perhiasan hidup di dunia,firman Allah SWT:

المال والبنون زينة الحيوة الدنيا….[82]

           Ada sebuah riwayat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Ţalib:

المال والبنون حرث الدنيا. والعمل الصالح حرث الاخرة وقد جمعهاالله لا قوام[83]

  1. Anak sebagai kabar gembira

يازكرياانانبشرك بغلام اسمه يحى لم نجعل له من قبل سميا.[84]

4. Anak sebagai cobaan

انمااموالكم واولادكم فتنة والله عنده اجرعظيم.[85]

واعلمواانمااموالكم واولا دكم فتنة وان الله عنده اجرعظيم.[86]

Al-Fitnah yaitu cobaan dan ujian, yakni sesuatu yang berat hati untuk melakukan, meninggalkan, menerima, atau menolaknya. Fitnah bisa terjadi pada keyakinan, perkataan, perbuatan dan apa saja. Akan halnya dengan anak-anak memang cinta kita terhadap mereka adalah termasuk hal yang telah Allah SWT titipkan dalam fitrah kita. Oleh karena itu, cinta terhadap anak-anak dapat membawa orang tuanya bersedia untuk mengeluarkan segala yang ada demi anak.

Menurut suatu riwayat dari Abu Said al-Khudri yang diriwayatkan secara marfu’ dari Nabi saw:

المولد ثمرة القلب وانه مجبنة مبخلة محزنة.[87]

Anak itu buah hati, dan sesungguhnya dia adalah penyebab kekecutan hati, kekikiran, dan kesedihan.

Jadi, fitnah yang ditimbulkan oleh anak adalah lebih besar dari pada yang ditimbulkan oleh harta, sehingga orang mau saja mencari harta haram dan mengambil harta orang lain secara batil demi anak.

Maka wajib bagi setiap mukmin untuk memelihara diri dari kedua macam fitnah tersebut. Dari keterulangan dua ayat di atas, menggambarkan betapa pentingnya anak sebagai cobaan dan memerlukan perhatian yang cukup. Sehinga tidak menutup kemungkinan jiwa anak dapat menjadi musuh bagi orang tuanya karena kurangnya pendidikan dari orang tua terutama pendidikan dalam lingkungan keluarga. Firman Allah SWT:

ياايها الذين امنواان من ازواجكم واولادكم عدوالكم فاحذروهم وان تعفوا وتصفحوا وتغفروا فان الله غفوررحيم.[88]

 

            Karena kerap kali terjadi bahwa seseorang berbuat salah terhadap orang lain demi kepentingan isteri atau anak-anaknya, jadi dalam suatu hal, isteri atau anak dapat menjadi musuh. Hendaklah diingat bahwa disini digunakan kata Mim yang artinya hanya kadang-kadang saja  seseorang terjerumus dalam jalan kejahatan.[89] 

            Dari ayat ini dapat ditafsirkan bahwa gara-gara istri dan anaknya, seorang suami akan menjadi binasa, karena keduanya selalu mencela dan mengejeknya, karena kemiskinannya, sehingga ia melaksanakan perbuatan yang jahat (untuk menghilangkannya), hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw:

يأتي زمان على امتي يكون فيه هلاك الرجل على يدزوجته وولده يعيرانه بالفقرفيركب مراكب السؤفيهلك.[90]

 

            Al-Qur’an menempatkan anak pada posisi yang sangat penting ini terbukti bahwa ada sebuah ayat yang mengetengahkan anak dengan statemen  sumpah, yaitu :

ووالدوماولد.[91]

            Allah swt. tidak menggunakan statemen sumpah kecuali untuk hal-hal yang penting dan harus mendapat perhatian. Secara konseptual al-Qur’an menyikapi anak sebagai sosok yang penting dan harus mendapat perhatian yang serius.

2.         Pengertian Hukuman

            Dalam suatu peraturan hukum pidana baik yang memuat larangan melakukan maupun perintah untuk melakukan sudah semestinya disertai dengan adanya sanksi atau hukuman supaya bentuk larangan maupun perintah itu diakui oleh segenap anggota masyarakat yang bersangkutan. Kemudian bagaimana cara menghukum pelanggar aturan itu tentunya memerlukan aturan lebih lanjut yang merupakan bagian dari suatu sistem hukuman.

            Sanksi atau hukuman dalam hukum pidana Islam disebut ‘īqāb (bentuk singularnya sedangkan bentuk pluralnya adalah ‘uqūbah) yang memiliki arti siksaan atau balasan terhadap kejahatan.

            Abd. al-Qadir Audah memberikan definisi hukuman sebagai pembalasan atas pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.

            Sedangkan menurut Abu Zahrah, hukuman merupakan siksaan bagi si pelaku kejahatan sebagai balasan baginya dan hukuman itu merupakan suatu ketetapan syara’ di dalam menghilangkan mafsadah, dan menghilangkan mafsadah itu sendiri merupakan kemaslahatan.

            Senada dengan yang dikemukakan oleh Abd. al-Qadir Audah tersebut, Ahmad Fathi Bahansi mengemukakan tentang hukuman adalah bahwa hukuman juga merupakan bagian ketetapan dari syar’i sebagai upaya pencegahan terhadap dilakukannya pelanggaran-pelanggaran baik yang berupa melakukan perbuatan yang dilarang maupun melakukan suatu perintah dari syar’i itu, yang dengan upaya pencegahan itu seorang pelaku jarimah tidak lagi melakukan pelanggaran itu atau perbuatan-perbuatan yang pada intinya melanggar aturan. Dalam hal ini hukuman itu lebih bersifat prevensi (pencegahan) khusus yaitu bagi pelaku jarĩmah. Berbeda dengan pemaparan Abd. al-Qadir Audah yang lebih bersifat prevensi umum atau dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat.

            Dari beberapa pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa hukuman merupakan balasan atas perbuatan pelaku kejahatan yang mengakibatkan orang lain menjadi korban dari perbuatannya, dan ditetapkannya hukuman bertujuan untuk kemaslahatan bersama.

            Esensi dari hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah pertama, pencegahan serta balasan (ar-rad ‘u wa al-zajru), dan kedua adalah perbaikan dan pengajaran (al-islah wa at-tahzib). Dengan tujuan tersebut, pelaku jarimah diharapkan tidak mengulangi perbuatan jeleknya. Di samping itu juga merupakan tindakan preventif bagi orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.

 

  1. Perbuatan Anak-anak yang Dianggap Sebagai suatu Pelanggaran

Jarimah (tindak pidana) dalam Islam, jika dilihat dari segi berat ringannya hukuman ada tiga jenis, yaitu hudud, qisas diyat dan ta’zir.[92]

a. Jarimah Hudud

            Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis ancaman dan hukumannya ditentukan oleh nas, yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri).

            Para ulama sepakat bahwa yang termasuk kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu: zina, qazf (menuduh zina), pencurian, perampokan atau penyamunan (hirabah), pemberontakan(al-baghy), minum-minuman keras, dan riddah (murtad).

 

 

b. Jarimah Qisas Diyat

            Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qisas dan diyat. Yang termasuk dalam kategori jarimah qisas diyat:

  1. pembunuhan sengaja (al-qatl al-amd)
  2. pembunuhan semi sengaja (al-qatl sibh al-amd)
  3. pembunuhan keliru (al-qatl khata’)
  4. penganiayaan sengaja (al-jarh al-amd)
  5. penganiayaan salah (al-jarh khata’)
    1. c.  Jarimah Ta’zir

            Yaitu memberi pelajaran, artinya suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir yaitu hukuman yang selain had dan qisas diyat. Yang termasuk dalam kategori jarimah ta’zir seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengicu timbangan, mengingkari janji, menghianati amanat, dan menghina agama.

 

  1. Ketentuan Pemidanaan

Hukuman atas tindakan pidana dibagi dalam empat kelompok yaitu:[93]

  1. Hukuman fisik yang meliputi hukuman mati, potong tangan, cambuk, rajam sampai mati,
  2. Membatasi kebebasan yang meliputi hukuman penjara atau mengirim si terhukum ke pengasingan.
  3. Membayar denda.
  4. Peringatan yang diberikan hakim

            Adapun secara rinci suatu hukuman yang diterapkan terhadap pelaku jarimah dapat dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu:

1. Berdasarkan pertalian satu hukuman dengan hukuman lainnya. Poin ada empat tipologi, yaitu:

  1. a.  Hukuman Pokok ( al-‘uqũbah al-asliyah), yaitu hukuman yang telah ditetapkan dan merupakan hokum asal daari suatu jarimah seperti hukuman qişaş dalam pembunuhan, rajam, perzinahan dan potong tangan dalam pencurian.

b.Hukuman Pengganti (al-‘uqũbah al-badaliyah), yaitu hukuman yang mengganti hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena alasan syar’i seperti denda dalam hukuman qişaş dan ta’zir sebagai pengganti hukuman had dan qişaş.

c. Hukuman Tambahan (al-‘uqũbah al-taba’iyah), yaitu yang mengikuti hukuman pokok tanpa mengikuti keputusan secara tersendiri. Seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga dan itu merupakan tambahan dari hukuman qişaş.

  1.  Hukuman Pelengkap (al-‘uqũbat al-takmiliyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim.

2. Berdasarkan kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman

  1. a.  Hukuman yang hanya mempunyai satu batas. Artinya hukuman itu tidak ada batas tertinggi dan terendahnya. Seperti hukuman had dengan 80 kali cambukan

b. Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan terendah di mana hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman yang sesuai di antara dua batas tersebut. Seperti penjara atau jilid dalam jarimah ta’zir.

3. Berdasarkan besarnya hukuman yang telah ditentukan

  1. a.  Hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya, di mana seorang hakim harus melaksanakannya tanpa dikurangi atau ditambah atau diganti dengan hukuman lain.

b. Hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk dipilihnya dari sekumpulan hukuman-hukuman yang telah ditetapkan oleh syara’ agar bisa disesuikan dengan keadaan perbuatan dan perbuatannya.

4. Berdasarkan tempat dilakukannya hukuman

  1. a.  Hukuman badan, yaitu hukuman yang dikenakan pada anggota badan manusia. Seperti jilid.

b. Hukuman yang dikenakan pada jiwa, seperti hukuman mati.

  1. c.  Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia seperti hukuman penjara atau pengasingan.
  2.  Hukuman harta, seperti hukuman diyat dan perampasan.

5. Berdasarkan macamnya jarimah serta hukumannya

  1. a.  Hukuman had, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud. Antara lain: jilid 100 kali, pengasingan, rajam. Tiga macam hukuman tersebut ditetapkan bagi jarimah perzinahan. Jilid 80 kali bagi jarimah Qadaf dan peminum khamr, potong tangan bagi jarimah pencurian dan hukuman mati bagi pembunuhan. Hukuman mati dan salib, pemotongan anggota badan, dan pengasingan. Ketiga hukuman tersebut ditetapkan dalam jarimah hirabah. Hukuman mati dan perampasan harta bagi jarimah murtad dan pemberontakan.

b. Hukuman Qişaş-Diyat, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah: 1) Qisas, yaitu pelaku jarimah dijatuhi hukuman setimpal bagi perbuatannya. 2) Diyat, yaitu hukuman pokok bagi jarimah pembunuhan dan penganiayaan semi sengaja dan tidak sengaja. 3) Pencabutan hak waris dan menerima wasiat merupakan hukuman tambahan dalam jarimah pembunuhan tidak sengaja.

  1. c.  Hukuman Ta’zir, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah-jarimah ta’zir seperti penjara kurungan, pengasingan, ancaman, dan denda.[94]

Maksud pokok hukuman dalam Islam adalah memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah. Dengan demikian hukuman yang baik adalah hukuman yang mampu memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. Mampu mencegah seseorang dari perbuatan maksiat (preventif) dan mampu menjerakan setelah terjadinya perbuatan (preventif).
  2. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman disesuaikan dengan kebutuhan kemaslahatan masyarakat.
  3. Memberikan hukuman bukanlah untuk membalas dendam namun untuk kemaslahatan.
  4. Hukuman merupakan upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh dalam suatu maksiat. Karena seseorang akan terjaga dari perbuatan maksiat apabila memiliki iman yang kokoh, berakhlak mulia dan dengan adanya sanksi duniawi yang diharapkan mencegah seseorang kedalam tindak pidana.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ra, disebutkan:

عن عمر بن شعيب عن جده ان رسول الله ص.م.قال مروا اولادكم بالصلاة

 وهم ابناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم ابناء عشروفرقوا بينهم فى المضاجع.[95]

 

            Menurut seruan di atas sanksi pukulan diakui juga oleh Islam, setelah melakukan upaya seperti nasehat atau cara lain sampai pada sanksi yang berat, namun bersifat mendidik.

Macam-macam bentuk atau cara yang dapat dipergunakan dalam rangka mendidik anak dalam situasi kondisi dan obyek didik dapat kita gali dari al-Qur’an. Mengingat obyek didik yang bermacam-macam serta situasi dan kondisi yang berbeda-beda maka tidaklah bijaksana apabila dalam mendidik anak hanya mengandalkan satu metode saja.

Di antara metode-metode dalam rangka memberikan sanksi kepada anak yang nakal antara lain:

  1. Metode Ta’lim

وعلم ادم الا سماء كلها ثم عرضهم على الملئكة فقال انبؤنى با سماء هؤلاء ان

كنتم صادقين.[96]

Metode ta’lim secara harfiah artinya memberikan sesuatu kepada seseorang yang belum tahu. Metode ta’lim ini diterapkan terhadap obyek yang sama sekali belum punya gambaran atau pengetahuan tentang apa yang dihadapinya. Oleh karena itu, orang tua bertanggung jawab untuk memenuhi tuntutan anak terutama kebutuhan rohaninya, baik dalam perintah maupun larangan yang telah ditetapkan dalam agama.

  1. Metode Tarhīb

واعدوالهم مااستطعتم من قوة ومن رباط الخيل ترهبون به عدوالله وعدوكم و

اخرين من دونهم. لا تعلمونهم الله يعلمهم. وما تنفقوا من شئ فى سبيل الله يوف

اليكم وانتم لا تظلمون.[97]

                        Metode ini artinya menimbulkan perasaan takut yang hebat kepada lawan. Metode tarhib berarti suatu cara yang digunakan dalam mendidik anak dengan cara penyampaian ancaman kekerasan terhadap anak. Anak-anak yang nakal agar tidak meneruskan kebiasaan buruknya.

            Metode tarhīb berarti tidak membenarkan secara semena-mena kepada orang tua untuk melakukan kekerasan pada anak-anaknya tanpa pengetahuan yang benar mengenai hal-hal yang telah dilakukan oleh anak.

            Metode tarhib digunakan bilamana anak yang melakukan kesalahan sudah diperingatkan dengan cara memberitahu dan ternyata anak tidak mau menghentikan perbuatan buruknya bahkan menimbulkan kecemasan kepada orang lain.

 

  1. Metode Tagrīb

عن عبادة بن الصامت قال:قال رسول الله ص.م.خذواعني خذواعني فقدجعل

الله لهن سبيلا,البكربالبكرجلدمائة ونفي سنة والثيب با لثيب جلدمائة والرجم.[98]

Hadis ini dapat dijadikan dasar bagi kita dalam memilih berbagai metode pendidikan dan pangajaran anak yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan hadis.

Pendidikan dan pengajaran tidak hanya ditujukan untuk memberikan hal-hal yang menyenangkan kepada anak, tetapi juga menjatuhkan hukuman kepada anak bila  bersalah.

Anak nakal dalam pengertian yang umum adalah mereka yang melakukan hal-hal negatif sebagai anak yang tidak melanggar ketentuan hukum negara ataupun agama. Misalnya anak suka membuat kotor di rumah.

Adapun pengertian nakal dalam hukum adalah anak-anak yang sudah berani melakukan tindak pidana, sebagaimana yang dilakukan oleh orang dewasa. Misalnya berani mencuri uang baik milik saaudaranya maupun milik orang lain.

Dengan memperhatikan al-Qur’an dan sunnah Nabi saw, kita menemukan banyak metode yang dapat digunakan dalam upaya mendidik anak. Di antara metode tersebut adalah metode tagrīb, dalam metode tagrīb orang tua diperbolehkan memberikan hukuman kepada anaknya dan mengasingkannya untuk sementara waktu barangkali menitipkannya di rumah penampungan anak-anak nakal.

Penerapan metode tagrīb ini memang dilakukan untuk menghukum anak-anak yang tidak dapat diatasi dengan cara yang halus seperti nasehat, teguran, dan ancaman. Oleh karena itu, orang tua dituntut untuk memberi pertimbangan yang matang dari keluarga dekat lainnya sebelum menerapkan metode tagrīb demi kebaikan anak pada masa datang.

           

 

      BAB IV

 

ANALISIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

 BAGI ANAK-ANAK

 DALAM HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

 

A.     Kriteria Tindak Pidana bagi Anak-anak

Sebagaimana sudah disebutkan dalam Bab sebelumnya bahwa banyak sekali Undang-undang maupun Pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi hukuman bagi anak-anak pelaku tindak pidana.

Dalam beberapa Bab yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, terdapat Bab yang mengatur tentang pemidanaan terhadap batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang pengadilan anak yaitu dalam Bab I Pasal 4.

Sebelum membahas lebih jauh tentang batas usia seorang anak yang dapat dipidana, akan lebih menarik bila terlebih dahulu mencermati pengertian anak dari berbagai disiplin ilmu yang ada.

Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak Bab I Pasal 4 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah orang dalam perkara anak telah mencapai usia 8 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah kawin.[99] Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut, bila  seorang anak telah melebihi batas usia anak yang telah ditentukan maka pelaku tersebut tidak dikatakan anak-anak lagi menurut hukum positif. Pernyataan tersebut juga didukung oleh kalangan ahli psikologi yang mengungkapkan bahwa masa anak-anak merupakan masa progresif yang biasanya dimulai dari masa usia sekolah atau usia 7 tahun sampai usia 20 tahun. Namun terkadang batasan dari sifat anak-anak tersebut tidak dapat ditentukan dengan pasti karena hal ini berkaitan erat dengan sifat pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang dikerjakan sehingga istilah anak-anak akan terlepas dengan perkembangan dan kematangan jiwa seseorang. Hal ini dapat dimungkinkan sifat kedewasaan terjadi lebih lambat dari yang biasanya terjadi.[100]

Para sosiolog juga tidak menyangkal batasan umur anak seperti yang disebutkan dalam Undang-undang Peradilan Anak. Akan tetapi usia anak-anak tersebut akan dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang terdapat di sekitar lingkungannya dan faktor lingkungan itulah yang sangat mempengaruhi terhadap pembentukan kepribadian seseorang. Sehingga kasusnya akan sama seperti yang telah diungkapkan oleh para ahli sosiologi.

Sedangkan dalam fiqh Islam tidak memberi batasan yang pasti terhadap batasan usia anak-anak di samping banyaknya perbedaan pendapat di antara para ulama. Para ulama fiqh berijma bahwa seorang anak bila telah berihtilam maka dipandang balig. Begitu juga seorang gadis, dengan kedatangan haid atau kuat untuk hamil. Sesuai dengan ayat al-Qur’an:

واذا بلغ الا طفال منكم الحلم.[101]

          Namun terjadi ikhtilaf di antara para ulama dalam penentuan umur. Ada tiga pendapat tentang hal tersebut, yaitu:

1. Mazhab Hanafi

Mereka berpendapat bahwasanya seorang laki-laki tidak dipandang balligh sebelum ia mencapai usia 18 tahun. Adapun hujjahnya ialah:

ولاتقربوا مال اليتيم الا بل لتي هي احسن حتي يبلغ اشده.[102]

   Kedewasaan anak laki-laki sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas adalah dari usia 18 tahun. Adapun anak perempuan perkembangan dan kesadarannya adalah lebih cepat, oleh sebab itu usia awal kedewasaannya dikurangi satu tahun sehingga anak perempuan menjadi dewasa pada usia 17 tahun.

  1. Mazhab Syafi’i dan Hambali

Mereka berpendapat bahwa bila seorang anak laki-laki dan perempuan apabila telah sempurna berusia 15 tahun, kecuali bagi laki-laki yang sudah ihtilam dan perempuan yang sudah haid sebelum usia 15 tahun maka keduanya dinyatakan telah balligh. Mereka juga berhujjah dengan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dirinya diajukan kepada Nabi saw pada hari perang Uhud sedang ia ketika itu berusia 14 tahun, kemudian Nabi tidak memperkenankannya ikut dalam peperangan. Setelah setahun dirinya mengajukan kembali pada hari perang Khandak yang ketika itu ia telah berumur 15 tahun dan ia diperkenankan oleh Nabi untuk perang Khandak.[103]

  1. Jumhur Ulama Fiqh

Bahwasanya usia balligh bisa ditentukan berdasarkan hukum kelaziman. Kebiasaan yang terjadi adalah setelah terjadinya ihtilam dan hal itu sering terjadi pada usia 15 tahun. Dengan demikian, maka umur 15 tahun itulah ditentukan usia balligh yang dipandang usia taklif (usia pembebanan hukum).

Sedangkan dalam literatur bahasa yang lain disebutkan juga anak dengan istilah mumayyiz yaitu anak yang mengerti maksud dari kata-kata yang diucapkannya. Biasanya usia anak itu genap 7 tahun sehingga bila kurang dari 7 tahun maka belum dikatakan mumayyiz. Hukum anak mumayyiz itu tetap berlaku sampai anak itu dewasa. Dewasa ini maksudnya cukup umur untuk berketurunan dan muncul tanda-tanda laki-laki dan perempuan yang biasanya pencapaian umur bagi laki-laki berusia 12 tahun sedang perempuan 9 tahun.

Kemudian kalau anak sudah melewati usia tersebut bagi laki-laki 12 tahun dan 9 tahun bagi perempuan namun belum tampak gejala-gejala bahwa ia sudah dewasa dari segi lahiriah maka keduanya ditunggu sampai berusia 15 tahun.

Menurut pendapat Abu Yusuf dan Muhammad L. Hasan menentukan usia dewasa bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 17 tahun. Mereka berdua juga berhujjah dengan firman Allah SWT di atas. Menurut mereka lafaz اشد yang diterjemahkan dengan dewasa dimaksudkan dengan umur 18 tahun karena usia tersebut dianggap telah matang dari segi kematangan fisik dan psikis.

Sedangkan istilah dewasa dengan kalimat  اشد maksudnya adalah sanggup bertindak dengan baik dalam mengurus harta dan menampakkan harta itu dengan pikiran yang sehat,  tindakan yang bijaksana, dan sesuai dengan peraturan agama. Dalam hal penetapan kata dewasa terdapat perbedaan, hal itu berdasarkan atas keadaan anak dan perkembangan masa yang dilaluinya. Apa yang telah ditetapkan oleh para ulama fiqh itu hanyalah standar yang relatif, dalam hal ini Fathy Zaghlul memberi penjelasan bahwa seorang anak dilahirkan dalam keadaan tidak memiliki kemampuan sehingga ia mencapai usia mumayyiz hanya saja akal dan bakatnya masih tetap muda, belum kuat untuk menilai perbuatan-perbuatan yang dilakukannya walaupun melakukannya dengan sengaja. Namun kemampuan menilai itu baru diperolehnya setelah ia dewasa, yaitu setelah akalnya cukup memiliki kebijaksanaan dan pandangan yang jauh ke depan.

Dalam menetapkan batas usia dewasa, perundang-undangan dewasa ini berbeda-beda, ada yang menetapkan usia 12 tahun bagi perempuan dan 14 tahun bagi laki-laki dan ini sudah berlaku sejak zaman Romawi dahulu di saat orang-orang hidup dewasa dan bahaya belum begitu dikhawatirkan terjadi. Karena anak-anak selalu dikelilingi oleh kerabatnya sehingga tidak ada motif untuk memperlambat batas kedewasaan anak-anak. Namun setelah masyarakat berkembang pesat dengan kemajuan diberbagai bidang kehidupan yang dapat memicu seorang anak bisa lebih cepat menjadi dewasa, maka batas usia dewasa dapat ditentukan lebih awal.

Sehingga dalam hukum Islam yang lebih luas, hal tersebut tidak disebutkan secara terperinci dengan tidak adanya nas al-Qur’an yang membatasi batasan umur bagi anak-anak. Dalil yang secara umum hanyalah mengatur agar anak dijaga, dirawat, dan dididik sampai anak itu menikah. Seperti dalam hadiş Nabi Saw:

من كان له ثلاث بنات ينفق عليهن حتي بين يقمن او يمتن كتاله حجابامناالنار.[104]

            Pengertian kata حتي بين يقمن dalam hadiş itu berarti hingga berpisah atau menikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pengertian anak dalam kaitannya dengan Pemeliharaan Anak (Bab XIV Pasal 98) adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun, adapun bunyi lengkapnya sebagai berikut:

            Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan pernikahan.[105]

            Jika Kompilasi Hukum Islam tersebut dianggap sebagai salah satu penafsiran yang sah atas hukum Islam, maka batasan yang diberikannya itu dapat disebut sebagai aturan Islam yang patut dipegang.

            Menurut Abdul Wahab Khalaf, manusia dalam kaitannya dengan keahlian melaksanakan suatu tugas terbagi dalam tiga keadaan yaitu:

  1. Manusia terkadang tidak mempunyai keahlian melaksanakan atau kehilangan keahlian. Dalam hal ini berlaku pada anak-anak yang masih kanak-kanak dan pada orang gila pada usia berapa pun.
  2. Manusia terkadang tidak sempurna dalam keahlian melaksanakan tugas, hal itu terjadi pada anak-anak yang baru mencapai usia mumayyiz atau masa sebelum menginjak usia balligh.
  3. Manusia terkadang sempurna dalam keahlian melaksanakan tugas, hal itu terjadi pada orang yang telah mencapai usia dewasa dan berakal. Jadi usia itu disebut dengan ahliyat al- ‘ada yang sempurna yang juga dapat dinyatakan dengan kedewasaan manusia atau akalnya.[106]

Tingkatan pertama kesepakatan ulama mengatakan bahwa tidak adanya kemampuan menggunakan akal pikirannya bermula dari anak itu dilahirkan dan berakhir sampai berusia tujuh tahun. Tingkatan kedua menunjukkan adanya kemampuan untuk mempergunakan akal pikirannya, akan tetapi masih lemah. Tingkatan ini bermula dari anak berumur tujuh tahun dan berakhir sampai balligh. Adapun tingkatan ketiga menunjukkan bahwa kemampuan untuk mempergunakan akal pikirannya secara sempurna itu dimulai dari ballighnya seorang anak yang berumur 15 tahun (pendapat keumuman ulama fiqh) atau setelah berumur 18 tahun (pendapat Abu Hanifah dan Masyhur Malikiyah). Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah bahwa orang yang tidak pernah bermimpi (mengeluarkan mani) itu tidak dinyatakan dewasa kecuali bila telah sampai pada usia 17 tahun. Sedang dalam riwayat lain yang termasyhur dari Abu Hanifah adalah 19 tahun. Sehingga dari pernyataan di atas terlihat bahwa keduanya lebih cenderung memilih usia anak dari pada ikhtilam itu sendiri.[107]

Suatu perbuatan dinamakan jarimah (tindak pidana, peristiwa pidana atau delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat baik jasad (anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata aturan masyarakat, nama baik, perasaan ataupun hal-hal ini yang harus dipelihara dan dijunjung tinggi keberadaannya.

Selain perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian kepada pihak lain, perbuatan tersebut telah ditetapkan oleh negara dalam bentuk undang-undang, demikian pula dalam hukum pidana Islam, suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (jarimah) apabila perbuatan tersebut telah diatur oleh nas.

Undang-undang maupun nas tersebut tidak mempunyai arti tanpa adanya dukungan yang dapat memaksa seseorang untuk mematuhi peraturan tersebut. Dukungan yang dimaksud adalah penyertaan ancaman hukuman atau sanksi.

Hukum pidana positif memandang bahwa seorang anak ketika melakukan perbuatan yang melanggar hukum itu dapat dipidanakan jika perbuatan tersebut mengandung beberapa unsur yakni:

  1. perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak
  2. perbuatan itu melanggar aturan atau norma
  3. perbuatan itu merugikan bagi perkembangan si anak tersebut.

Ketiga unsur itu harus dipenuhi untuk dapat diklasifikasikan sebagai suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak.

Adapun ketentuan sanksinya menurut hukum pidana positif terutama yang terdapat pada ketentuan Undang-undang Peradilan Anak No.3 Tahun 1997 terdiri dari:

  1. Pidana penjara (maksimal 10 tahun)
  2. Pidana kurungan
  3. Pidana denda
  4. Pidana pengawasan.

Terhadap anak nakal tidak dapat dijatuhkan pidana mati maupun pidana seumur hidup. Adapun pidana tambahan bagi anak nakal dapat berupa perampasan barang-barang tertentu dan pembayaran ganti kerugian.

Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal maksimal setengah dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi dewasa. Demikian juga pidana denda dapat dijatuhkan setengah dari maksimum ancaman pidana denda bagi dewasa. Bila denda itu tidak dapat dibayar, maka wajib diganti dengan latihankerja selama 90 hari dengan jam kerja tidak lebih dari 4 jam sehari dan tidak boleh dilakukan di malam hari.

Pidana pengawasan adalah pidana khusus yang dikenakan untuk anak yakni pengawasan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.

            Mengenai hukuman bagi anak yang melakukan tindak pidana, hukum pidana Islam tidak memberikan ketentuan yang jelas karena menurut hukum Islam anak itu merupakan amanat yang diberikan oleh Allah SWT yang harus dijaga, dirawat sebaik mungkin. Sehingga ketika seorang anak melakukan perbuatan melanggar hukum maka  anak tersebut tidak dikenakan hukuman dan sebagai gantinya, yang menjalankan hukuman adalah orang tuanya.

B.     Pertanggungjawaban Pidana

Suatu perbuatan tidak dapat dianggap sebagai suatu tindak pidana sebelum ada ketentuan Undang-undang yang melarang suatu perbuatan dan pelanggaran dari ketentuan Undang-undang tersebut berakibat pada pelaku tindak pidana untuk diminta pertanggungjawabannya.

Adapun pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam adalah pembebanan terhadap seseorang atas suatu perbuatan yang telah dilarang yang ia kerjakan dengan kemauan sendiri dan ia sadar akibat dari perbuatannya itu.[108]

Adapun pelaku tindak pidana dapat dibebani pertanggungjawaban pidana apabila memenuhi syarat adanya perbuatan yang dilarang, dikerjakan dengan kemauannya sendiri dan pelakunya mengetahui akibat dari perbuatan tersebut.[109]

Pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan hukum dapat berupa berbuat atau tidak berbuat. Pelaku jarimah dapat dihukum apabila perbuatannya dapat dipersalahkan. Setiap perbuatan pidana atau peristiwa pidana itu harus mengandung unsur-unsur sifat melawan hukum, perbuatan tersebut dapat dipersalahkan dan perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang dalam hukum dinyatakan perbuatan yang dapat dihukum.[110] Lebih lanjut dikatakan bahwa jarimah dapat dipersalahkan terhadap pelakunya apabila pelaku tersebut sudah berakal, cukup umur, dan bebas berkehendak. Dalam arti pelaku tersebut terlepas dari unsur paksaan dan dalam keadaan keasadaran yang penuh.[111]

Syarat berakal tersebut berdasarkan firman Allah SWT:

ياايهاالذين امنوا لاتقربوا الصلاة وانتم سكارىحتى تعلموا ماتقولون.[112]

Adapun syarat cukup umur atau dewasa berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ali dan Umar ra:

رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتىيستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتىيعقل.[113]

Sedangkan syarat bebas berkehendak atau kemauan bebas yaitu:

رفع عن امتىالخطأو النسيان ومااستكرهوا عليه.[114]

Ketentuan di atas adalah ketentuan terhadap keadaan seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan sekaligus apabila ia berbuat jarimah maka ia dikenakan sanksi pidana.

Konsep yang dikenakan oleh syari’at  Islam tentang pertanggungjawaban anak yang belum dewasa merupakan konsep yang baik sekali meskipun telah lama namun tetap menyamai teori terbaru di kalangan hukum positif. Menurut hukum Romawi yang mendasari hukum bangsa  Eropa sebagai bentuk hukum positif menyatakan bahwa apabila anak-anak sudah berusia 7 tahun maka ia dikenai pertanggungjawaban pidana.

Sedangkan menurut syari’at Islam pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yaitu kekuatan berpikir dan pilihan (iradah dan ikhtiar). Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut perbedaan masa yang dilalui hidupnya.[115]

Unsur-unsur jarimah dalam hukum pidana Islam, yaitu:[116]

  1. Adanya nas yang melarang dan mengancam perbuatan itu
  2. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah
  3. Si perbuat adalah mukallaf

Pada dasarnya orang yang melakukan jarimah itu dihukum, tetapi ada yang di antaranya tidak dihukum karena mabuk, gila dan belum dewasa.[117]

Dalam syarat sahnya memberi hukuman kepada mukallaf ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

  1. sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif yakni ia harus mampu memahami nas-nas hukum yang dibebankan al-Qur’an dan sunnah baik langsung maupun yang melalui perantara.
  2. Sang mukallaf harus orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya, pengertian ahli secara etimologis adalah kelayakan atau layak.

Oleh karena itu kedua syarat tersebut apabila telah terdapat pada seseorang maka ia dapat dikenai pertanggungjawaban. Jadi prinsip dasar dari kedua prinsip syarat tersebut adalah kemampuan membedakan dengan menggunakan akalnya. Tanggung jawab dapat diartikan bertindak tepat tanpa perlu diperingatkan. Sedang bertanggung jawab merupakan sikap tidak tergantung dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. Jelasnya pengertian tanggung jawab di sini adalah kesadaran yang ada dalam diri seseorang bahwa setiap tindakan akan mempunyai pengaruh bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri. Salah satu ciri dari perkembangan emosi dan sosial pada anak adalah adanya perasaan tanggung jawab yang tidak besar.[118]

Tetapi batasan menurut ilmu pendidikan, lain lagi yaitu seseorang bila telah benar-benar dewasa jasmaniah dan rohaniyahnya. Untuk lebih jelasnya ada beberapa aspek penting yang merupakan faktor-faktor kedewasaan, yaitu:[119]

  1. a.  Aspek kejasmanian yang meliputi tingkah laku luar yang tampak seperti cara berbuat, berbicara.
  2. Aspek kejiwaan seperti cara berpikir dan merasa, sikap, minat dan  lain sebagainya yang merupakan aspek-aspek yang tidak mudah nampak.
  3. c.  Aspek kerohanian yang meliputi aspek kejiwaan dan lebih abstrak lagi seperti filsafat, pandangan hidup, kepercayaan dan sistem nilai-nilai.

Jadi seseorang yang mampu bertanggung jawab dan telah dapat memutuskan baik buruknya itu serta mampu mengatur dan mengontrol dirinya sesuai dengan pandangan hidup yang dianutnya yakni Islam, maka dengan itu telah dewasalah dia menurut pendidikan Islam.

 

BAB V

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Setelah penyusun mengadakan pembahasan dan pengkajian sesuai dengan kadar kemampuan dan cakrawala berpikir penyusun mengenai konsep pemidanaan dan pemberian sanksi bagi anak, maka dalam bab ini penyusun dapat menyimpulkan sebagai berikut:

  1. Menurut hukum pidana positif, yaitu dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, sanksi hukuman pidana bagi anak dibedakan menjadi 3 (tiga):
    1. a.  Di bawah usia 8 tahun, tidak diajukan ke sidang pengadilan dan tidak dikenai hukuman pidana hanya dikenakan pengawasan.

b. Usia 8 hingga 12 tahun, diajukan ke sidang pengadilan dan tidak dikenai hukuman pidana namun dikenakan tindakan.

  1. c.  Usia 12 hingga 18 tahun, diajukan ke sidang pengadilan dan dikenai hukuman pidana. Hukuman pidana maksimal setengah dari hukuman orang dewasa baik pidana kurungan maupun hukuman penjara.

Menurut hukum pidana Islam, perbuatan anak dapat dianggap melawan hukum, hanya keadaan tersebut dapat mempengaruhi pertanggungjawaban. Sehingga perbuatan melanggar hukum oleh anak bisa dimaafkan atau bisa dikenakan hukuman, tetapi bukan hukuman pokok melainkan hukuman ta’zir.

2. Persamaan pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana positif dan hukum pidana Islam adalah :

  1. a.  Menetapkan perbuatan pidana yang dilakukan anak-anak menurut asas  legalitas.

b. Menetapkan faktor akal dan faktor kehendak sebagai syarat mampu bertanggungjawab

  1. c.  Memberikan pengajaran dan pengarahan kepada anak-anak yang melakukan tindak pidana.

Sedangkan perbedaan pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana positifdan hukum pidana Islam adalah :

a. Dasar hukum

Hukum positif berdasarkan pada KUHP Pasal 44, 45, 46, dan 47 serta Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak sedangkan hukum Islam berdasarkan pada al-Qur’an, Hadis Rasul, Ijmā’ dan Ijtihad hakim.

b. Batasan usia dan alternatif hukuman

 Dalam hukum positif batasan usia anak adalah di bawah 18 tahun dengan  alternatif :

1)      Di bawah 8 tahun, dilakukan penyidikan kemudian dikembalikan kepada orang tua atau diserahkan kepada Departemen Sosial.

2)      Usia 8 hingga 12 tahun, diajukan ke sidang pengadilan, kemudian dikembalikan kepada orang tua atau diserahkan kepada negara atau diserahkan kepada Departemen Sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan dengan dapat disertai teguran dan syarat tambahan.

3)      Usia 12 hingga 18 tahun, diajukan ke sidang pengadilan dan dikenai hukuman pidana dengan ketentuan maksimum pidana pokok dikurangi setengah atau sepertiga menurut Pasal 47 KUHP atau tindakan sebagaimana yang diperlakukan bagi anak usia 8 tahun hingga 12 tahun

Sedangkan dalam hukum Islam, batas usia anak adalah di bawah 15 tahun atau 18 tahun dengan alternatif :

1)      Di bawah 7 tahun, bebas dari hukuman pidana dan hukuman pengajaran tetapi dikenai pertanggungjawaban perdata.

2)      Usia 7 hingga 15 tahun atau 18 tahun, bebas dari hukuman pidana tetapi dikenai hukuman pengajaran dan pertanggungjawaban perdata.

 

B.     Saran-saran

 Saran-saran yang sepantasnya disampaikan oleh penyusun di dalam skripsi ini yaitu:

1. Perlunya sosialisasi dan penyadaran hukum baik tentang hukum pidana Islam maupun hukum pidana positif yang berkaitan dengan batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya kepada masyarakat agar dapat memberikan perlindungan kepada anak nakal secara benar.

2. Perlunya pengkajian ulang oleh praktisi hukum tentang hakikat hukuman bagi anak nakal yang tidak mangabaikan dimensi sosiologi dan psikopedagogis, karena hal tersebut merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dari akibat setelah diterapkannya suatu hukuman yang pada akhirnya hukuman itu sesuai dengan keadilan yang berlaku dalam masyarakat

3. Sepantasnya dikembangkan pemikiran tentang pertanggungjawaban struktural/fungsional. Artinya pemidanaan tidak hanya berfungsi untuk mempertanggungjawabkan dan membina anak sebagai pelaku kejahatan, akan tetapi juga berfungsi untuk mempertanggungjawabkan dan mencegah pihak-pihak lain yang secara struktural atau fungsional mempunyai potensi dan kontribusi besar untuk terjadinya kejahatan yang dlakukan oleh anak.

Demikianlah pembahasan skripsi ini. Semoga kerja keras penyusun dalam menyelesaikan tugas akhir ini mendapatkan ridha-Nya dan pahala dari-Nya. Amin. Wallahu a’lam bi al-sawab.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

1.   Kelompok Al-Qur’an dan Tafsir

 

Proyek Penggandaan Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : CV. Toha Putra, 1989.

 

Al-Shabuni, Muhammad Ali, Rawai’u al-Bayan “Tafsir fi al-Ayat al-Ahkam min al-Qur’an”, diterjemahkan oleh Saleh Mahfud, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an, Bandung: Al-Ma’arif, 1994.

 

Jarir at-Tabari, Abu ja’far Muhammad, Tafsir Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an, Beirut : Libanon, 1995

 

Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Dār al-Fikr, 1975.

 

Muhammad Ali, Maulana, The Holy Qur’an, alih bahasa H. M. Bachrum, Jakarta : Dar al-Kutubiyah al-Islamiyah, 1979.

 

Haqqi, Ismail, Tafsir Rūh al-Bayan, Beirut : Dar al-Fikr, t.t..

 

 

  1. 2.      Kelompok Hadits

 

Dawud, Abu, Sunan Abi Dawud, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

 

Imam Baihaqi, Al-Sunnah Al-Kubra, Beirut: Muhammad Amin BMJ, 1352.

 

 

  1. 3.      Kelompok  Fiqh /  Ushul Fiqh

 

Arief, Abd. Salam,  Fiqh Jinayah, Yogyakarta: Ideal, 1987.

 

Assyaukani, Lutfi, Politik, Ham, dan Isu-isu Teknologi Fikih Kontemporer, cet. ke-1, Bandung : Pustaka Hidayah, 1998.

 

Audah, Abdul Qadir, Al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, 2 jilidBeirut : Dar al-Kitab al-Arabi, 1994.

 

Doi, Abdurrahman I, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, alih bahasa Sulaiman Rasjid, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

 

Fadhoilat, Muhammad al-, Suqutu al-Uqubat fi al-Fiqhi al-Islamy, Mesir: Dar al-Umar, 1997

 

Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia, 2000.

 

Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam menurut Ajaran Ahl al-Sunnah wal Jama’ah, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

 

Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Islam, cet. ke-3, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

 

Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Beirut: Warihyai al-Kitab al-Arabiyah t. t.

 

Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-‘Ilm, 1998.

 

Marsum, Jinayat (HPI), cet. ke-2, Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, 1989.

 

Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. ke-1, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.

 

Pasha, Mustafa Kamal, Fiqh Islam, disusun berdasarkan keputusan Majlis Tarjih, Yogyakarta : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Majlis Pendidikan Dasar, Menengah dan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2000.

 

Sabiq, As-Sayyid, Fiqh as-Sunnah, alih bahasa H. A. Ali,  Semarang: Toha Putra t. t.

 

4.   Kelompok Buku Lain

 

Aji, S. Sapto, UU RI. No. 1 Tahun 1995 tentang Pemilihan Umum, cet. ke-3, Semarang: Aneka Ilmu, 1986.

 

B. Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja, Bandung: Alumni, 1973.

 

Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dan Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 1996. 

 

Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonsia, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama, 2001.

 

E. Sumaryono, Kejahatan Anak: Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1985.

 

Hamzah, Andi,  Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994.

 

Hasyim,Umar, Cara Mendidik Anak dalam Islam, cet. ke-2, Bandung: Pelita, 1969.

 

Kartono, Kartini, Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, Jakarta: Rajawali, 1992.

 

Lamintang, P.A.F, Hukum Penitensier Indinesia, Bandung : Armico, 1984.

 

M. Fachruddin, Fuad, Masalah Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991.           

 

Nur, Muhammad, “Tindak”Balas Dendam” dalam Islam, (Perspektif Doktriner Cum Filosofis)” dalam al-Hudud Jurnal Jinayah HMJ JS Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999.

 

Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Armico, 1984.

 

Prinst, Darwan, Hukum Anak Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

 

Projohamidjojo, Martiman,  Memahami Dasar-dasar Hukuman Pidana di Indonesia 2, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.

 

Purnomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, cet. ke-5, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

 

R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Burgelijk Wet Boek:  dengan tambahan UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan, Jakarta: Pradnya Paramita, 1994.

 

Redaksi Bumi Aksara, Undang-undang Pokok Perkawinan, cet. ke-3, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.

 

Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Peradilan Anak, cet. ke-2, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2000.

 

                                    , Undang-undang Perlindungan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

 

                                    , UU Kesejahteraan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 1997.

 

Siregar, Bismar, Keadilan Hukum dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Jakarta: Rajawali, 1986.

 

                      , Telaah tentang Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Wanita, Yogyakarta: Pusat Studi Kriminologi F. H. UII, 1986.

 

Soeaidy, Sholeh, dan Zulkhair,  Dasar Hukum Perlindungan Anak, cet. ke-1, Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2001

 

Sobur, Alex, Komunikasi Orang Tua dan Anak, Bandung: Angkasa, 1991.

 

Soeitoe, Samoel,  Psikologi Perkembanagan, Jakarta: Cahaya Tunggal, 1973.

 

Sudarsono, Kenakalan Remaja, cet. ke-2 Jakarta : Rineka Cipta, 1991.

 

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. ke-2, Bandung : Penerbit Alumni, 1986.

 

Sugandi, R, KUHP dan Penjelasannya, cet. ke-2, Surabaya : Usaha Nasional, t.t..

 

Suparni, Niniek, Existensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, cet. ke-1, Jakarta : Sinar Grafika, 1996.

 

Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta : Fusco, 1955.

 

Thalib, M, Pendidikan Islami Metode 30 T, cet. ke-1, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1996

 

Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, cet. ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

 

Yunus, Mahmud, Kamus Bahasa Arab-Indonesia,Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Penafsiran Al-Qur’an, 1973.


[1]  Al-Baqarah (2) : 178.

[2] Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, cet. ke-5, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 31.

 

[3] Darwan Prinst, Hukum Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 2.

[4] At-Tahrim (66) : 6.

 

[5] H.Mustafa Kamal Pasha, Fiqh Islam, disusun berdasarkan keputusan Majlis Tarjih, (Yogyakarta : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Majelis Pendidikan Dasar, Menengah dan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2000), hlm. 287.

[6] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), III: 289.

 

[7] Abdurrahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, alih bahasa Sulaiman Rasjid, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 16.

[8] E. Sumaryono, Kejahatan Anak: Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1985), hlm. 19.

 

[9] Ibid., hlm. 42.

[10] Lutfi Assyaukani, Politik, Ham, dan Isu-isu Teknologi Fikih Kontemporer, cet. ke-1 (Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 164.

 

[11] Sholeh Soeaidy, dan Zulkhair,  Dasar Hukum Perlindungan Anak, cet. ke-1, (Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2001) hlm. 23.

[12] Ibid., hlm. 24.

[13] Badruzzaman, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pemidanaan dan Pemberian Sanksi Anak Nakal dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003).

 

[14] Laily Dyah Rejeki, Kenakalan Anak dalam Kaitannya dengan Pertanggungjawaban Pidana menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2001)

 

[15] Mahmoud al-Fadhoilat, Suqutu al-Uqubat fi al-Fiqhi al-Islamy, (Mesir: Dar al-Umar, 1997)

[16]Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, (Beirut : Dar al-Kitab al-Arabi, 1994), hlm. 609.

 

[17] Darwan Prinst, Hukum anak Indonesia,(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997)

 

[18]E.Sumaryono, Kejahatan Anak: Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1985)

 

[19] Y. Bambang Mulyono, Analisis Kenakalan Remaja dan Penanggulangannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1989)  

[20] Muhammad Nur, “Tindak”Balas Dendam” dalam Islam, (Perspektif Dokriner Cum Filosofis) “dalam al-Hudud Jurnal Jinayah HMJ JS Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999, hlm. 32.

 

[21]) Al-An’am (6) : 164.

 

[22]  Al-Fathir (35) : 18.

 

[23]  An-Najm (53) : 39.

 

[24]  Al-Fussilat (41) : 46.

 

[25]  An-Nisa’ (4) : 123.

 

[26]  A. Hanafi, Asas-asas., hlm. 173.

 

[27]  Ibid.

 

[28] Anak–anak tidak dikenakan pertanggungjawaban pidana karena mereka belum mempunyai kedewasaan sehingga tidak bisa dikatakan bahwa pengetahuan dan pilihannya telah sempurna.

 

[29] Abdurrahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syari’ah Islam, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1992), hlm. 16-17.

 

[30] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994),hlm. 177.

 

[31] Sholeh Soeaidy ddan Zulkhair, Dasar Hukum., hlm. 17.

 

[32] Ibid., hlm. 19.

 

[33] Martiman Projohamidjojo,  Memahami Dasar-dasar Hukuman Pidana di Indonesia 2 (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hlm. 31.

 

[34] Ibid., hlm. 32.

 

[35] Sholeh Soeaidy dan Zulkhair, Dasar Hukum., hlm. 24

[36] Ibid.

.

[37] Lutfi Assyaukani, Politik, Ham.,  hlm. 164.

 

[38] Ibid., hlm. 165.

 

[39] Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung : Pustaka Setia, 2000), hlm. 177.

 

[40]Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994), hlm. 143.

[41] W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka: Armico, 1984), hlm. 25.

[42] Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Peradilan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 3.

[43] Redaksi Citra Umbara, Undang-undang RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, (Bandung: Citra Umbara, 2003), hlm. 4.

 

[44] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Burgelijk Wetboek: Dengan Tambahan UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994), hlm. 76.

[45] Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, Indonesia, 1982), hlm. 147.

 

[46] Bismar Siregar, Keadilan Hukum dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm. 105.

 

[47] Redaksi Sinar Grafika, UU Kesejahteraan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hlm. 52.

 

[48] Redaksi Bumi Aksara, Undang-undang Pokok Perkawinan, cet. ke-3, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm. 39.

 

[49] S. Sapto Aji, UU RI. No. 1 Tahun 1995 tentang Pemilihan Umum, cet. ke-3, (Semarang: Aneka Ilmu, 1986), hlm. 4.

 

[50] Redaksi Sinar Grafika, UU Kesejahteraan Anak, hlm. 52.

 

[51] Bismar Siregar, Telaah tentang Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Wanita, (Yogyakarta: Pusat Studi Kriminologi F. H. UII, 1986), hlm. 3 lihat juga Pasal 42 UU No. 1 tahun 1974 tentang  Perkawinan.

[52] Niniek Suparni, Existensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, cet. ke-1, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 11.

 

[53] R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, t. t.), hlm. 12.

 

[54] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. ke-2, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hlm. 71-72.

[55] Sedangkan pidana, yang mana Andi Hamzah berusaha membedakan kedua istilah tersebut, adalah merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana,

 

[56] Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Fusco, 1955), hlm. 122.

 

[57] Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 1.

 

[58] Sri Widoyati, Kenakalan  Anak., hlm. 17.

[59] B. Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja, (Bandung: Alumni, 1973), hlm. 76.

[60] Kartini Kartono, Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali, 1992), hlm. 21-23.

[61] Sri Widoyati Lokito, Kenakalan Anak.,

[62] Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 27.

 

[63] Ibid., hlm. 29.

 

[64] Ibid.

 

[65] Ibid., hlm. 30.

[66] Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang No.3 ., hlm.

[67] Bambang Waluyo, Pidana., hlm. 31.

[68]Fuad M. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hlm. 24.           

[69] A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994),hlm. 369.

 

[70] Mahmaud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Penafsiran Al-Qur’an, 1973), hlm. 71.

 

[71] Sudarsono, Kenakalan Remaja, cet. ke-2 (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), hlm. 10.

[72] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Semarang : Toha Putra, t.t.), III: 410.

 

[73] Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’al-Islami.,I : 603.

 

[74] Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid, (tn.p: Wahriyai al-Kitab al-Arabiyah, t.t.), II : 211.

 

[75] An-Nisa’ (4) : 6.

[76] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tabari, Tafsir Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an, (Beirut : Libanon, 1995), III : 335.

 

[77] Ismail Haqqi, TafsirRūh al-Bayan, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.), II : 126.

 

[78] Chairumandan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dan Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), hlm. 10. 

[79] An-Nur (24) : 59.

[80] Al-Baqarah (2) : 233.

 

[81] Al-Furqan (25) : 74.

 

[82] Al-Kahfi (18) : 46.

 

[83] Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, alih bahasa oleh Anwar Rasyidi, (Semarang : Toha Putra, 1988), hlm. 29.

 

[84] Maryam (19) : 7.

[85] At-Taghabun (64) : 15.

[86] Al-Anfal (8) : 28.

[87] Mustafa al-Maraghi, Tafsir., hlm. 374.

[88] At-Taghabun (64) : 14.

 

[89] Maulana Muhammad Ali, The Holy Qur’an, alih bahasa H. M. Bachrum, (Jakarta : Dar al-Kutubiyah al-Islamiyah, 1979), hlm. 1429.

[90] Mustafa al-Maraghiy, Tafsir., XXVIII: 129.

 

[91] Al-Balad (90) : 3.

[92] Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. ke-1 (Yogyakarta: Logung, 2004), hlm. 44.

[93] Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, alih bahasa Sulaiman Rasjid, cet. ke-1 (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 11.

[94] Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’., hlm. 285.

[95] Ustadz Bey Arifin, dkk, Seruan Abu Dawud, (Semarang: Al-Syifa’, 1992), I: 326.

 

[96] Al-Baqarah (2): 31.

[97] Al-Anfal (8): 60.

 

[98] M. Thalib, Pendidikan Islami: Metode 30 T, cet. ke-1, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1996), hlm. 214.

[99] Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Peradilan Anak, cet. Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2000), hlm. 2.

 

[100] Samoel Soeitoe, Psikologi Perkembanagan, (Jakarta: Cahaya Tunggal, 1973), hlm. 51.

 

[101]  An-Nur (24): 59.

 

[102] Al-An’aam (6): 152

 

[103] Muhammad Ali al-Sabuni, Rawai’ul Bayan Tafsir fi al-Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, diterjemahkan oleh Saleh Mahfud, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an, (Bandung: Al-Ma’arif, 1994), II: 369.

[104] Imam Baihaqi, Al-Sunnah Al-Kubra, (Beirut: Muhammad Amin BMJ, 1352), I: 271.

 

[105] Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonsia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama, 2001), hlm. 50.

[106] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul Fiqh, (Beirut: Dar al-Kuwaitiyah, 1998), hlm. 137.

 

[107] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, alih bahasa H. A. Ali,  (Semarang: Toha Putra t. t.), III: 410.

[108] Abd. Salam Arief, Fiqh Jinayah, (Yogyakarta: Ideal, 1987), hlm. 45.

 

[109] A. Hanafi, Asas-asas Hukum Islam, cet. ke-3, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm.154.

 

[110] Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam menurut Ajaran Ahl al-Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 66.

 

[111] Abd. Salam Arief, Fiqh., hlm. 4.

 

[112] An-Nisa (4): 43

 

[113] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), III: 289.

 

[114] Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Warihyai al-Kitab al-Arabiyah t. t.), I: 304.               

 

[115] A. Hanafi, Asas-asas., hlm. 280.

 

[116] Marsum, Jinayat (HPI), cet. ke-2, (Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, 1989), hlm. 6.

[117] Ibid., hlm.174.

 

[118] Alex Sobur, Komunikasi Orang Tua dan Anak, (Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 63.

 

[119] Umar Hasyim, Cara Mendidik Anak dalam Islam, cet. ke-2, (Bandung: Pelita, 1969), hlm. 128.