GADAI TANAH PADA MASYARAKAT BUGIS

 DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang Masalah

            Agama Islam adalah risalah (pesan-pesan) yang diturunkan Tuhan kepada Muhammad SAW. Sebagai petunjuk dan pedoman yang mengandung hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan dalam menyelenggarakan tatacara kehidupan manusia, yaitu mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubugan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan khaliq-Nya.

            Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang kehidupan yang membentuk pandangan hidup manusia. Islam hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global, yakni makna-makna tekstual yang umum, yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia baik yang meliputi aspek ritual (ibadah) maupun sosial (mualamah). Dengan demikian akan dapat digali (diistimbat) berbagai pemecahan setiap masalah yang timbul dalam kehidupan manusia.

            Dalam menjawab permasalahan yang timbul nampaknya peranan hukum Islam dalam era moderen dewasa ini sangat diperlukan dan tidak dapat lagi  dihindarkan. Kompleksitas permasalahan umat yang selalu berkembang seiring dengan berkembangnya zaman membuat hukum Islam harus menampakkan sifat elastisitas dan fleksibilitasnya guna memberikan yang terbaik serta dapat memberikan kemaslahatan  bagi umat manusia.

            Oleh karena itu dalam hubungan antara sesama manusia diberi kebebasan untuk berijtihad sepanjang tidak menyimpang dari al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana yang dinyatakan dalam suatu hadis Nabi SAW :

أنتم أعـلم بأمـوردنـياكم([1]                                                                        Dengan dasar ini maka manusia diberi kebebasan untuk mengatur segala kebutuhan hidupnya yang serba dinamis asalkan aturan itu tidak bertentangan dengan nas maupun maksud syar’i.     

            Agama Islam mengajarkan kepada umatnya agar supaya hidup saling tolong menolong, yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa pemberian dan bisa berupa pinjaman.

            Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan  kreditur, jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, ia dibolehkan meminta barang dari debitur sebagai jaminan utangnya. Sehingga, apabila debitur itu tidak mampu melunasi pinjamannya, maka barang jaminan boleh dijual oleh kreditur. Konsep tersebut dalam Fiqih Islam dikenal dengan istilah rahn atau gadai.[2])

                Salah satu bentuk muamalah yang disyari’atkan oleh Allah adalah Gadai berdasarkan firman Allah sebagai berikut :

وان كـنـتم عـلي سفـر ولم تجـد وا كاتبا فـرهـن مـقــبـو ضـة فان ا مـن بـعـضكـم بـعـضـا فـلـيـوء د الـذ ي  اوء تـمـن امـا نـتـه و لـيـتـق االله  ولاتـكــتمـوا الشــهـا دة و مـن يـكـتـمـهـا فـا نـه ا ثـم قـاـبـه وا الله بـمـا تـعــمـلـو ن عــلـيم ([3]                                                                                                       

            Gadai  merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang piutang,  untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang). Praktek seperti ini telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi dan dilakukan secara suka rela atas dasar tolong-menolong.

            Dalam masalah gadai, Islam telah mengaturnya seperti yang telah diungkapkan oleh ulama fiqh, baik mengenai rukun, syarat, dasar hukum maupun tentang pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai yang semua itu bisa dijumpai dalam kitab-kitab fiqh. Dalam pelaksanaannya tidak menutup kemungkinan adanya penyimpangan dari aturan yang ada.

            Gadai atau ar-rahn dalam bahasa Arab (arti lughat) berarti al-s|ubut wa al-dawam (tetap dan kekal). Sebahagian ulama lughat memberi arti ar-rahn dengan al-habs (tertahan)[4])

Menurut Ahmad Azhar Basyir gadai menurut istilah ialah :

Menjadikan benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang ; dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.[5])

 

Sedangkan unsur-unsur gadai (rahn) adalah orang yang menyerahkan barang gadai disebut rahi>n, orang yang menerima (menahan) barang gadai disebut murtahin. Barang gadai disebut Marhu>n dan sigat akad.[6])

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa gadai adalah penahanan suatu barang atau jaminan atas utang, jika utang sudah dilunasi maka jaminan itu akan dikembalikan kepada yang punya. 

Di masyarakat Indonesia praktek gadai mengalami perkembangan yang sangat pesat karena mengadaikan benda (barang) baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak merupakan jalan keluar bagi orang-orang yang membutuhkan  bantuan. Dalam masyarakat adat sering terjadi suatu perbuatan untuk mengadaikan tanah (sawah). Di dalam hukum adat gadai tanah biasa dikenal dengan istilah jual gadai. Jual gadai merupakan penyerahan tanah dengan pembayaran kontan, dengan ketentuan sipenjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.[7]) Gadai tanah tidak dijelaskan dalam kitab undang-undang hukum perdata karena tanah merupakan benda tak bergerak dikategorikan dalam hipotik.

Setelah undang-undang pokok agraria berlaku maka gadai diatur dalam PERPU No. 56 Tahun 1960 tentang “ PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN”.[8]) 

Selanjutnya penyusun akan menggambarkan pelaksanaan praktek gadai tanah sawah yang ada di masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Watang Sidenreng kebupaten Sidrap.

Kecamatan Watang Sidenreng secara geografis termasuk daerah yang subur bila dilihat dari tanah dan pengairan yang berasal dari sungai Saddang di kabupaten Pinrang, sehingga sawah mampu panen dua kali dalam setahun.

Masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng mayoritas beragama Islam. Akan tetapi masih perlu adanya peningkatan kualitas keagamaan, karena pada umumnya mereka belum mementingkan akan pentingnya pendidikan. Hal ini terjadi dalam praktek gadai tanah sawah (masyarakat Watang Sidenreng menyebutnya Nappakateniang). Menurut penyusun perlu adanya penelitian karena status gadai tersebut belum jelas. Dalam praktek gadai tersebut Murtahin (penerima gadai) diperbolehkan mengambil manfaat dari sawah rahin (yang menggadaikan).

Di dalam masyarakat Bugis terutama di kecamatan Watang Sidenreng kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan sering kali terjadi transaksi utang piutang yang mana tanah dijadikan sebagai barang jaminan atas utang mereka. Menurut pengamatan penyusun praktek gadai  dalam masyarakat tersebut terdapat hal yang bisa menyebabkan penggadai (pemilik tanah) rugi, karena penerima gadai sering kali mendapat keuntungan yang lebih besar dari pada uang yang dipinjamkan.

Selain itu tidak adanya ketetapan diantara kedua belak pihak tentang masa waktu/jangka waktu gadai tersebut, sehingga penerima gadai akan mengembalikan tanah gadai tersebut sampai pemiliknya mampu melunasi utangnya. Dengan praktek yang semacam itu maka akan terjadi keuntungan yang lebih besar bagi penerima gadai (Murtahin).

Praktek jual gadai dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng kabupaten Sidrap dilakukan dengan cara : si A sebagai orang yang ingin mengadaikan tanahnya (sawah) datang kepada si B dengan maksud untuk meminjam uang. Dalam transaksi tersebut si A memberikan tanah (sawah) sebagai jaminan utangnya. Namun di dalam perjanjian itu tidak disepakati tentang siapa yang akan mengelolah tanah (sawah) tersebut. Tetapi pada kenyataannya yang mengelolah tanah (sawah) tersebut adalah si B (Murtahin).

Dalam praktek gadai tersebut murtahin (penerima gadai) mengambil manfaat dari sawahnya rahin. Dalam fiqh Mu’amalah dijelaskan bahwa :

Hak murtahin kepada marhun hanya pada keadaan atau sifat kebendaannya yang mengandung nilai, tidak pada penggunaan dan pemungutan hasilnya.[9]

 

Oleh karena itu peneliti ingin mengadakan penelitian dengan tema gadai tanah pada masyarakat bugis dalam perspektif hukum Islam dan selanjutnya akan dianalisis dari segi hukum adat dan hukum Islam. Disamping itu juga untuk mengetahui apakah pemanfaatan barang gadai (tanah gadai) tersebut sesuai dengan norma-norma dalam ajaran Islam?.

 

B. Pokok Masalah.

Dari dasar pemikiran tersebut di atas, maka dapat ditarik pokok masalah, yakni sebagai berikut :   

  1. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktek gadai tanah serta pemanfaatannya dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan?

 

C. Tujuan dan Kegunaan

  1. Tujuan Penelitian adalah :
    1. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang  gadai tanah dalam masyarakat Bugis di Kecamatan watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.
    2. Untuk menjelaskan pemanfaatan tanah gadai dalam perspektif hukum Islam.
  2. Kegunaan Penelitan adalah :
    1. Penelitan ini diharapkan dapat menambah khasana keilmuan Islam khususnya tentang konsep gadai terutama gadai tanah.
    2. Juga dapat dimanfaatkan untuk merumuskan program pembinaan dan pemantapan kehidupan beragama, yang berkenaan dengan perkara mu’amalah, khususnya dalam praktek gadai tanah.

D. Telaah Pustaka

            Beberapa karya tulis  yang membahas tentang gadai tanah ini sudah banyak, diantaranya adalah karya Iman Sudiyat dengan judul Hukum Adat, Sketsa Asas, Dan karya Muhammad dan Sholikul Hadi dengan judul  Pegadaian Syariah. Kedua buku tersebut merupakan proyeksi perbandingan antara Hukum Adat, dan Hukum Islam. Diantara pembahasan dari kedua buku tersebut adalah tentang hukum tanah, Transaksi Tanah, Transaksi yang berhubungan dengan tanah, Konsep dan asas legal pegadaian syariah (Rahn) dan Pegadaian dalam perspektif Islam.

            Karya-karya lain yang penyusun dapatkan adalah Karya Dr. H. Chuzaimah T. Yanggo dan Drs. HA. Hafiz Anshary AZ, MA dengan judul Problematika Hukum Islam Kontemporer buku ketiga. Karya Prof Dr. Ny. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan SH dengan judul Hukum Perdata : Hukum Benda. Karya-karya di atas menghasilkan hasilkan suatu kajian yang menyeluruh dan utuh serta kritis dan falid.

            Selain itu karya yang lain adalah Fiqh as-Sunnah karya as-Sayyid Sabiq. Menurur beliau barang gadai tidak boleh dimanfaatkan barangnya, kecuali jika yang digadai itu berbentuk binatang, ia boleh memanfaatkan sebagai imbalan memberi makan binatang tersebut.[10])

            Tindakan memanfaatkan barang gadaian adalah tak ubahnya  qiradh yang mengalirkan manfaat, dan setiap bentuk qiradh yang mengalirkan manfaat adalah riba. Ini sesuai hadis Nabi SAW :

كل قـر ض مـنـفـعـة فـهـو ربـا([11]                                                                                              Menurut Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mugny menyebutkan sebagai berikut :

“Penerima gadai tidak boleh menerima hasil dari atau manfaat dari gadaian sedikitpun kecuali dari yang bisa ditunggangi dan diperah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan”[12])

 

Di sini penyusun tidak terlalu banyak mungkin untuk menyebutkan buku-buku apa saja yang ditelaah dalam membatu penyusunan penelitian ini. Karena menurut penyusun yang namanya telaah pustaka adalah hasil penelitian orang lain yang sudah pernah meneliti dalam kasus yang sama tapi di tempat atau permasalahan yang berbeda.

 

Adapun penelitian yang sudah pernah dilakukan dalam tenggang yang sama  ada beberapa skripsi yang penyusun telah baca, diantaranya adalah :

Skripsi Antoni Eka Putra, yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Gadai Tanah Sawah di Desa Talang Kecamatan Perwakilan Mungka kab. 50 Kota Sumatera Barat”, hanya membahas tentang batasan waktu yang tidak terjadi dalam praktek gadai tanah sawah kemudian dianalisis. Skripsi tersebut tidak membahas masalah yang sedang penyusun bahas.

Skripsi Arifatul Latifah, yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Gadai Tanah Sawah di Desa Gondowangi Kec. Sawangan, Magelang, Jawa Tengah”, hanya menjelaskan kategori sistem gadai yang memerlukan pembiayaan dan dimanfaatkan oleh penerima gadai.

Melihat dari dua uraian skripsi di atas serta sekian banyak buku yang penyusun baca, belum terdapat pembahasan mengenai praktek gadai tanah (sawah) pada masyarakat Bugis terutama di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, sehingga kami mengambil keputusan untuk melakukan penelitian tentang hal tersebut di daerah setempat. Dengan demikian penelitian ini layak untuk dilakukan.

 

E. Kerangka  Teoritik.

            Gadai adalah merupakan suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu pinjaman barang bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu utang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya, terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.[13])

            Sedangkan menurut hukum Islam gadai diistilakan dengan “rahn” dan dapat juga dinamai dengan “al-habsu” Secara etimologi kata rahn berarti “tetap atau lestari”, sedangkan al-habsu berarti “penahanan”. Adapun pengertian yang terkandung dalam istilah tersebut “ menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya tersebut. Demikian menurut defenisi para ulama.[14])

            Menurut pengertian di atas terutama gadai dalam kitab undang-undang hukum perdata dijelaskan bahwa benda yang dapat dijadikan barang gadai adalah benda bergerak baik yang bertubuh maupun tidak bertubuh. Sedangkan benda yang tidak bergerak tidak dapat digadaikan. Perbedaan antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak dalam kitab undang-undang hukum perdata mempunyai konsekuensi dimana lembaga jaminan juga dibagi dua yaitu gadai untuk benda bergerak sedangkan hipotik untuk benda tidak bergerak.[15])

             Sebenarnya pengertian gadai dan hipotik itu mempunyai pengertian yang sama, hanya saja bedanya kalau gadai dapat diberikan melulu atas benda-benda yang bergerak, sedangkan hipotik hanya melulu atas benda-benda yang tidak bergerak. Kedua hal kebendaan ini (gadai dan hipotik) memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi untuk dijadikan sebagai jaminan bagi hutang seseorang semata.[16])

            Secara umum gadai merupakan tindakan atau perbuatan dalam bidang perekonomian. Orang yang menggadaikan suatu barang mendapatkan uang sebagai imbalannya, uang tersebut merupakan utang dengan jaminan barang yang diserahkan kepada kreditur. Kegiatan perekonomian terutama perekonomian syari’ah tidak terbatas hanya merujuk pada bebasnya dari suatu riba, garar, dan maisir. Para ahli ekonomi Islam dan fuqaha mendiskusikan  tentang perekonomian yang Islami dengan menyepakati bahwa perekonomian Islam harus memenuhi sekurang-kurangnya dua kreteria, yaitu :

  1. Diselenggarakan dengan tidak melanggar rambu-rambu syari’ah.
  2. membantu mencapai tujuan sosio-ekonomi umat dan masyarakat dengan berdasar pada ajaran agama.

Dalam prakteknya pelaku bisnis harus memperhatikan segala tindakannya apakah berada dalam bingkai ajaran Islam dengan memegang teguh prinsip-prinsip moral dan etika atau bahkan sebaliknya. Karena hal ini sangat berimplikasi pada seluruh aspek kehidupan manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu kegiatan ekonomi (Muamalah) Islam, termasuk di dalamnya gadai (gadai tanah) harus didasarkan pada empat prinsip muamalah, yaitu :

  1. Pada dasarnya, segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’an dan sunah Rasul.
  2. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
  3. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam kehidupan masyarakat.
  4. Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.[17])

Disamping itu pada dasarnya Islam memberi kebebasan pada seseorang untuk melakukan akad (perjanjian). Kebebasan itu sepanjang tidak melanggar aturan umum dan nilai kesusilaan. Oleh karena itu dikenal kaedah ushul fiqh yang berbunyi :

الاصل في العقدرضي المتعاقد ين و نتجته ما التزما ه با لتعاقد([18]                                      

Maksud dari qaidah tersebut adalah bahwa seseorang tidak harus terkait dengan rumusan-rumusan perjanjian yang telah ditetapkan nash, atau bahkan formulasi akad para ulama klasik. Atas dasar itu, maka tidak menutup kemungkinan dilakukan perjanjian gadai, baik itu gadai terhadap benda bergerak maupun benda tidak bergerak.

Gadai tanah (benda tidak bergerak), sebagaimana yang berlaku dalam hukum perdata dan hukum adat di Indonesia, tidak ditemukan secara khusus yang membahas dalam fiqh. Pada satu sisi gadai tanah mirip dengan jual beli. Dalam hal ini hukum adat menyebutnya sebagai jual gadai. Pada sisi lain mirip dengan rahn. Kemiripannya dengan jual beli karena berpindahnya hak menguasai harta yang digadaikan itu sepenuhnya kepada pemegang gadai, termasuk memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari benda tersebut, walaupun hanya dalam waktu yang ditentukan. Sedangkan kemiripannya dengan rahn adalah karena adanya hak menebus bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu.[19])

 

Pada satu sisi gadai tanah mirip dengan jual beli. Dalam hal ini hukum adat menyebutnya sebagai jual beli gadai. Pada sisi lain mirip dengan rahn. Kemiripan dengan jual beli karena berpindahnya hak menguasai harta yang digadaikan itu sepenuhnya kepada pemegang gadai, termasuk memanfatkannya dan mengambil keuntungan dari benda tersebut, walaupun dalam waktu yang ditentukan. Sedangkan kemiripannya dengan rahn (Jaminan) adalah karena adanya hak menebus bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu. [20])

 

F. Metode Penelitian

  1. Jenis Penelitian.

 

Jenis penelitian ini termasuk penelitian lapangan (Field Reseach). Penelitian ini dilaksanakan di Masyarakat Bugis Sulawesi Selatan khususnya di kecamatan Watang Sidenreng, kabupaten Sidrap.

 

  1. Sifat Penelitian

Penelitian ini dilihat dari sifatnya termasuk penelitian deskriptif-analitik, yaitu penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan, menggambarkan dan menguraikan suatu masalah (Gadai Tanah) secara obyektif dari obyek yang diselidiki tersebut[21]). Yaitu praktek gadai tanah sawah yang dilakukan dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng. Selanjutnya, guna mendapatkan manfaat yang lebih luas, maka data yang telah didapatkan tersebut dianalisis dan diagnosis menggunakan metode normatif untuk mendapatkan kesimpulan yang jelas tentang gadai tanah dalam hukum Islam.

  1. Pendekatan Masalah.

Pendekatan yang digunakan adalah normatif, pendekatan ini dapat didefenisikan sebagai berikut :

    1. Normatif, yaitu pendekatan yang digunakan untuk melihat suatu masalah yang dikaitkan dengan keadaan yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini adalah gadai tanah yang terjadi di kecamatan Watang Sidenreng yang telah menjadi adat kebiasaan.
  1. Teknik Pengumpulan data.

a. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematik  fenomena-fenomena yang diselidiki.[22]) Ini penyusun gunakan untuk memperoleh data yang diperlukan baik langsung maupun tidak langsung. Dalam melakukan observasi selama penelitian ini dilaksanakan, terjadi praktek gadai tanah yang dilakukan oleh masyarakat.

            b. Wawancara

Dilakukan sebagai pelengkap untuk memperoleh data dengan memakai pokok-pokok wawancara sebagai pedoman agar wawancara terarah. Wawancara ini dilakukan dengan mengambil responden dari pihak penggadai dan penerima gadai, dan sebagai informannya adalah tokoh masyarakat setempat dan pihak pemerintah agar wawancara ini lebih kuat.

      c. Dokumentasi

Pengumpulan data dengan cara mengambil data dari dokumen yang merupakan suatu pencatatan formal dengan bukti otentik.

d. Populasi dan Penentuan Sampel.

  1. Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah para penggadai dan penerima gadai yang ada di Kecamatan Watang Sidenreng khususnya di 3 kelurahan yaitu kelurahan Empagae, Sidenreng dan kelurahan Kanyuara. Karena di kecamatan Watang Sidenreng karakter masyarakat dan perilaku dalam praktek gadai tanah sawah hampir sama.

  1. Penentuan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Simple Random Sampling, yaitu cara pengambilan sampel dilakukan dengan cara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi yang dijadikan obyek penelitian, penyusun menggunakan.[23]) Penelitian ini mengambil Sampel dari populasi yaitu penggadai dan penerima gadai yang ada di kelurahan Empagae, Sidenreng dan Kanyuara kecamatan Watang Sidenreng masing-masing 10 orang. Penyusun menggunakan non-random sampling karena tidak semua populasi melaksanakan praktek gadai tanah sawah.

             e. Angket.

Untuk mengetahui lebih mendalam praktek gadai tanah sawah di kecamatan Watang Sidenreng penyusun menggunakan angket yang diberikan kepada masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat memberikan jawaban atas pertanyaan dalam angket tersebut. Jumlah angket seluruhnya ada 60 buah dan setiap kelurahan 20 buah. Penggunaan angket dalam penelitian ini untuk memperkuat pengamatan dan wawancara yang penyusun lakukan.

  1. Analisis Data.

Setelah data mengenai gadai tanah terkumpul, maka kemudian dilakukan analisis dan diagnosis dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan cara menganalisis data tanpa mempergunakan perhitungan angka-angka melainkan mempergunakan sumber informasi yang relevan untuk memperlengkap data yang penyusun inginkan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keadaaan dan kondisi masyarakat tersebut mempengaruhi eksistensi kasus-kasus yang ada dalam data yang didapatkan tersebut. Selanjutnya, data yang terhimpun tersebut dianalisis berdasarkan hukum Islam. Dengan metode analisis data seperti ini diharapkan akan didapatkan suatu kesimpulan akhir mengenai status gadai tanah dalam perspektif hukum Islam dari kasus yang ada dalam data tersebut.

 

G. Sistematika Pembahasan.

            Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab. Sistematika pembahasan dari skripsi ini adalah sebagai berikut :

            Untuk bab pertama, adalah membicarakan pendahuluhan yang merupakan abstraksi dari keseluruhan isi skripsi ini yang akan menguraikan latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian yang diterapkan serta yang terakhir sistematika pembahasan.

            Pada bab dua, membahas gambaran umum gadai menurut hukum Islam. Pada bab ini penyusun mencoba memaparkan tentang pengertian dan dasar hukum gadai menurut hukum Islam, selain itu penyusun juga menjelaskan tentang mekanisme pelaksanaan gadai dan pemanfaatan barang gadai menurut hukum Islam. Nilai penting dari pembahasan ini adalah sebagai kerangka dasar tentang gadai, juga dijadikan alat analisis dan diagnosis pada pembahasan inti dalam penelitian ini.

            Kemudian bab tiga, bab ini penyusun membahas deskripsi  daerah penelitian yang meliputi keadaan geografis, demografi,ekonomi, pendidikan dan keagamaan dan data obyektif di lapangan yaitu praktek yang dilakukan masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap dalam melakukan gadai tanah. Pada bab ini juga akan dibahas tentang mekanisme pelaksanaan gadai tanah dalam masyarkat tersebut. Selain itu juga akan dibahas pemanfaatan tanah gadai oleh penerima gadai.

            Bab empat, bab ini membahas tentang analisis pelaksanaan gadai tanah dalam masyarakat tersebut sesuai dengan norma-norma hukum Islam. Dalam bab ini dimuat analisis dari praktek dan mekanisme pelaksanaan gadai tanah yang dilakukan oleh masyarakat bugis di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap serta pemanfaatan tanah gadai menurut hukum Islam.

            Terakhir bab lima, bab ini merupakan penutup yang mana penyusun akan mengambil kesimpulan dari hasil penelitian, dan saran-saran yang dirasa dapat memberikan alternatif bagi solusi masalah-masalah hukum.

           

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

GADAI  TANAH PADA MASYARAKAT BUGIS DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

 

 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PROPOSAL SKRIPSI

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

 

OLEH :

SUPRIADI

NIM : 00380327

 

Di bawah bimbingan :

 

  1. 1.      Drs. ABD. HALIM, M. HUM.
  2. 2.   H. SYAFIQ MAHMADAH HANAFI, S. Ag

 

 MUAMALAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2003

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG GADAI

 MENURUT HUKUM ISLAM

 

A. Pengertian dan Dasar Hukum Gadai

  1. Pengertian

Kata gadai dalam bahasa Arab disebut dengan ar-Rahn. Kata tersebut menurut arti aslinya adalah as-S|a>bit ( tetap atau lestari ). Kata ar-Rahn adalah bentuk masdar dari : [24]رهـن –  يـر هـن –  رهـنـا    yang artinya menggadaikan atau menungguhkan. Di kalangan ulama sepakat dalam merumuskan pengertian   رهـن dari segi bahasa mempunyai dua makna yaitu الـثـبـوت و الـد وا م   yang berarti tetap dan kekal. Sedangkan arti lainnya الحـبـس  (menahan)[25]. Seperti dinyatakan dalam Al-Quran

ولم تـجتد وا كا تـبـافـرهـن مـقـبـوضـة[26]                                                                  

Sedangkan pengertian gadai menurut istilah, mereka berbeda pendapat, as-Sayyid Sa>biq mengemukakan bahwa gadai menurut istilah adalah :

 

 

جـعـل عـيـن لـهـا قـيمـة مـا لـيـة في نـظـر الـثـرع و ثـيـقـة بـد ين بحـيـث يـمكـن أحـد ذ لك  الـد يـن أو أحـد بـعـضـه مـن تلك الـعين[27]                                                                           

Maksudnya adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil seluruh atau sebagian hutang tersebut karena adanya barang. Pengertian yang lain terdapat dalam kitab al-Mugni yang disusun oleh Imam Ibnu Qudamah sebagai berikut :

االمـال الـذي يـجـعـل و تـيـقـة بالـد ين لـيـسـتـونـي مـن ثـمـنـه إن تـعـذ ر إسـتيفـاوْه مـمـن هـو عـلـيـه[28]                                                                                                      

Bahwa yang dimaksud dengan gadai yaitu suatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, maka benda itu dapat dijadikan alat pembayar hutang.

Menurut Ahmad Azhar Basyir, gadai menurut istilah ialah :

Menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang; dengan adanya benda yanmg menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.[29]

 

Dari defenisi-defenisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan gadai ( ر هـنـا ) adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, dalam arti seluruh hutang atau sebagiannya dapat diambil sebab sudah ada barang jaminan tersebut, dan dapat dijadikan pembayaran hutang jika hutang itu tidak dapat dibayar.

Gadai menurut syari’at Islam berarti penahanan atau pengekangan. Sehingga dengan akad gadai menjadikan kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama. Yang punya hutang bertanggung jawab untuk melunasi hutangnya, sedangkan orang yang berpiutang bertanggung jawab untuk menjamin keutuhan barang jaminan. Apabila hutang itu telah dibayar, maka penahanan atau pengekangan oleh sebab akad itu menjadi lepas. Sehingga keduanya bebas dari tanggung jawab masing-masing.

Jika seseorang ingin berhutang kepada orang lain, maka ia menjadikan barang miliknya baik berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak atau berupa ternak yang berada dalam kekuasaannya sebagai jaminan sampai ia melunasi hutangnya. Pada dasarnya barang jaminan tetap dipegang oleh penerima gadai, tetapi apabila terjadi kesepakatan diantara kedua pihak (pemberi dan penerima gadai) maka barang gadai dapat diserahkan kepada orang lain yang adil dan mampu menjaga amanah[30]. Pemilik barang (yang berutang) disebut Rahn (yang menggadaikan) sedangkan penerima barang (pemberi gadai) disebut murtahin dan barang yang digadaikan adalah ruhn atau marhun.

  1. 2.      Dasar hukum Gadai

Gadai merupakan perbuatan yang halal dan dibolehkan bahkan termasuk perbuatan yang mulia karena mengandung manfaat yang sangat besar dalam pergaulan hidup manusia di dunia ini. Sebagaimana halnya dengan jual beli yang merupakan faktor yang sangat penting bagi kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia, sebagaiman firman Allah :

و إن كـنـتم عـلي سـفـرولـم تـجـدواكا تـبـا فـر هـن مـقـبـو ضـة فـإ ن أمـن بـعـضـكـم بـعـضـا فـلـيـوْدالـذي اوْ تمن أمنته وليتق الله ربه ولاتكـتموا الـشـهادة ومـن يـكـتمـها فإنه أثم قلبـه و الله بـما تـعـلـمـون عـلـيم[31]                                                                 

Dengan ayat di atas, ulama sepakat bahwa gadai dibolehkan dalam keadaan bepergian..

Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa Allah memerintahkan kepada pihak-pihak yang mengadakan perjanjian saat dalam perjalanan tetapi tidak mampu menyediakan seseorang yang bertugas mencatat perjanjian tersebut, untuk memperkuat adanya perjanjian, pihak yang berhutang harus menyerahkan barang gadai kepada pihak yang menghutangi. Ini dilakukan agar mampu menjaga ketenangan hatinya, sehingga tidak mengkhawatirkan atas uang yang diserahkan kepada rahin.

Dasar hukum lainnya adalah hadis Nabi SAW. Yang berbunyi sebagai berikut :

إشـتـري مـن يـهـو دي طـعـامـا إلي أجـل ورهـنـه د ر عـه[32]                                 

Hadis ini merupakan dasar bagi ulama yang membolehkan gadai dalam keadaan mukim (tidak musafir) karena peristiwa itu terjadi pada saat nabi berada di tempat.

Sunnah yang berfungsi sebagai penjelasan dari al-Qur’an memberikan ketentuan-ketentuan umum hukum muamalah, bahwa gadai adalah cara mendapatkan rezki yang halal, maka hadis nabi banyak yang menerangkan perincian tentang gadai tersebut, seperti: mengenai biaya dan pemanfaatan barang gadai baik yang bergerak maupun barang tetap.

Dalam melakukan akad gadai hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum muamalah, prinsip yang dimaksud adalah :

  1. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
  2. Muamalah dilaksanakan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
  3. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat.
  4. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghidari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan[33].

Salah satu prinsip diatas sesuai dengan kaidah ushul fiqh yaitu :

 

 

الأصـل في الاشــيـاء الإبــاحــة[34]                                                 

Dari uraian di atas dapat ditarik pengertian bahwa sumber hukum muamalah adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, selain itu manusia diperbolehkan juga untuk mengatur bentuk-bentuk muamalah yang berkembang dalam masyarakat asal tidak bertentangan dengan nash.

Sumber hukum gadai, selain al-Qur’an dan as-Sunnah, yang diperbolehkan untuk dijadikan pegangan adalah adat istiadat yang merupakan kebutuhan masyarakat yang bersifat positif.

 

B. Mekanisme Pelaksanaan Gadai Menurut Hukum Islam

Dalam melaksanakan gadai ada beberpa mekanisme yang harus diperhatikan atau dipenuhi, apabila mekanisme tersebut sudah dipenuhi maka pebuatan tersebut dapat dikatakan sah, begitu juga halnya dengan gadai. Mekanisme-mekanisme tersebut disebut dengan rkun. Oleh karena itu gadai dapat dikatakan sah apabila terpenuhi rukun-rukunnya. Selanjutnya rukun itu diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi pula. Jadi jika rukun-rukun tersebut tidak terpenuhi syarta-syaratnya, maka perjanjian yang dilakukan dalam hal ini gadai dinyatakan batal.

Dalam kitab al-Fiqh ‘Ala> al-Maza>hib al-Arabi’ah dinyatakan bahwa rukun gadai itu ada tiga yaitu :

  1. Aqid(orang yang melakukan akad) yang meliputi :
    1. Ra>hin, yaitu orang yang menggadaikan barang (penggadai)
    2. Murtahin, yaituorang yang berpiutang, yang memerihara barang gadai sebagai imbalan uangyang dipinjamkan (penerima gadai).
    3. Ma’qu>d ‘alaih(yang diakadkan) yang meliputi dua hal yaitu :
      1. Marhu>n (barang yang digadaikan).
      2. Marhu>n bih (hutang yang karenanya diadakn gadai).
      3. Si>gah (akad gadai).[35]

Sedangkan menurut DR. Wahab az-Zuhaili mengatakan bahwa rukun gadai itu adalah :

  1. Sigat akad ( I>ja>b qa>bu>l)
  2. Aqid (Penggadai dan penerima gadai).
  3. Marhu>n (barang gadaian).
  4. Marhu>n bih (hutang)[36].

Dalam rukun gadai Abu Hanifah hanyan mensyaratkan ijab qabul saja yang merupakan rukun akad. Beliau berpendapat bahwa ijab qabul merupak hakekat dari akad.[37]

Ad. I, Sigat Akad.

Yang dimaksud dengan sigat akad yaitu  dengan cara bagaimana ijab qabul yang merupakan rukun akad itu dinyatakan.

Ahmad Azhar Basyir mengatakan :

Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara’, yang merupakan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.[38]

 

Gadai belum dinyatakan sah apabila belum ada ijab dan qabul, sebab dengan adanya ijab dan qabul menunjukkan kepada kerelaan atau suka sama suka dari pihak yang mengadakan transaksi gadai. Suka sama suka tidak dapat diketahui kecuali dengan perkataan yang menunjukkan kerelaan hati dari kedua belah pihak yang bersangkutan, baik itu perkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan yang dapat diketahui maksudnya dengan adanya kerelaan, seperti yang dikemukakan oleh Prof. Hasbi ash-Shiddieqiy :

Akad adalah perikatan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan syara’, yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak. Gambaran yang menerangkan maksud diantara kedua belah pihak itu dinamakan ijab dan qabul. Ijab adalah permulaan penjelasan yang terbit dari salah seorang yang berakad, untuk siapa saja yang memulainya. Qabul adalah yang terbit dari tepi yan lain sesudah adanya ijab buat menerangkan persetujuannya.[39]

 

Sigat dapat dilakukan dengan lisan , tulisan atau syarat yang memberikan pengertian dengan jelas tentang adanya ijab qabul dan dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan qabul.[40]

 a. Sigat secara lisan.

Merupakan cara alami seseorang untuk mengutarakan keinginannya, oleh karena itu akad dipandang sah apabila ijab qabul dinyatakan secara lisan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Adapun mengenai bahasa tidak terikat oleh aturan khusus asal dapat dimengerti dan dipahami oleh pihak-pihak yang melakukan akad, agar tidak menimbulkan perselisihan ataupun sengketan dikemudian hari. 

b. Sigat akad dengan tulisan.

    Metode lain yang dilakukan oleh orang untuk menyatakan keinginannya adalah dengan tulisan. Jika kedua belah pihak tidak berada ditempat, maka transaksi dapat dilakukan melalui surat. Ijab akan terjadi setelah pihak kedua menerima dan membaca surat tersebut. Apabila dalam ijab tersebut tidak disertai dengan pemberian tenggang waktu, maka qabul harus segera dilakukan dalam bentuk tulisan atau surat. Apabila disertai  tenggang waktu, qabul supaya dilakukan sesuai dengan lamanya  tenggang waktu tersebut.[41]

c. Sigat akad dengan isyarat.

    Ini berlaku bagi mereka yang tidak dapat bicara atau bisu dan tidak dapat menulis. Jika orang tersebut dapat menulis, maka hendaknya dilakukan dengan menulis saja, karena keinginan yang dinyatakan dengan tulisan menyakinkan daripada dinyatakan dengan isyarat.

 

 

d. Akad dengan perbuatan.

    Jumhur ulama mengatakan bahwa syarat sahnya gadai adalah hendaknya dalam akad gadai tidak ditetapkan suatu syarat yang bertentangan dengan tujuan akad gadai itu.

Ad. 2. Aqid (Subyek gadai).

Yaitu orang yang melakukan akad, dalam hal ini penggadai dan penerima gadai. Untuk sahnya gadai kedua belah pihak harus mempunyai keahlian (kecakapan) melakukan akad yakni baliq, berakal dan tidak mah}ju>r ‘alaih (orang yang tidak cakap bertindak hukum). Maka akad gadai tidak sah jika pihak-pihak yang bersangkutan orang gila atau anak kecil yang belum tamyiz, berdasarkan hadis Nabi saw. yang berbunyi :

ر فع القلم عن ثلاثة : عـن الـنـا ءـم حـتي يـسـتـيـقـظ و عـن الـصـغـيـر حـتي يـكـبـروعـن الـمـجـنـو ن حـتي يـعـقـل أو يـفـيـق.[42]   

Imam asy-Syafi’I melarang gadai yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan orang bodoh secara mutlak, walaupun mendapat izin dari walinya, atas pertimbangan bahwa wali boleh membelanjakan harta mah}ju>r ‘alaih dengan digadaikan karena dua hal yaitu :

  1. a.      Dalam keadaan darurat yang sangat menghendaki dilakukan gadai. Dengan syarat wali tidak mendapatkan biaya itu selain mengadaikan harta mah}ju>r ‘alaih.
  2. b.      Gadai itu mengandung kemaslahatan bagi mah}ju>r ‘alaih.[43]

Dalam hal ini Imam Abu Hanifah berbeda pendapat yakni tidak mensyaratkan bagi akid baliq. Oleh sebab itu menurut beliau gadainya anak kecil yang sudah tamyiz dan orang dewasa bodoh yaitu dua orang yang sudah tahu arti muamalah, dengan syarat adanya persetujuan walinya.[44]

Ad. 3. Marhu>n (obyek gadai)

Untuk lebih jelasnya barang gadai disyaratkan :

a.   Merupakan benda bernilai menurut ketentuan hukum Islam yaitu benda yang dapat diambil manfaatnya secara biasa, bukan paksaan dan secara riil telah menjadi hak milik seseorang, misalnya : pakarangan, rumah dan lain sebagainya.[45]

            Sebagaimana jual beli syarat marhun harus suci dan bukan barang najis serta halal dipergunakan. Oleh sebab itu tidak sah menggadaikan barang najis seperti kulit bangkai meski sudak disamak, juga menggadaikan babi dan anjing karena hewan tersebut tidak sah diperjualbelikan.

b.   Barang tersebut dapat dimanfaatkan.

Imam as-Syafi’I mengatakan sebagai berikut :

Barang gadai dapat diambil manfaatnya menurut syara’ meskipun pada saat yang akan datang, seperti hewan yang masih kecil, dia boleh digadaikan sebab nantinya dapat diambil manfaatnya.[46]

Setiap barang yang boleh diperjualbelikan, boleh juga dijadikan barang jaminan (digadaikan), kecuali manfaatnya. Oleh karena itu tidak menggadaikan manfaat hak jalan.

  1. Marhun berupa barang.

Karena tidak boleh menggadaikan dengan pemanfaatan, seperti yang telah dijelaskan di atas, juga tidak sah menggadaikan hutang piutang, karena tidak jelas bendanya.

  1. Marhun adalah milik orang yang melakukan akad, baik barang maupun manfaatnya.[47]

Salah satu persyaratan barang dagangan yang ditentukan oleh fuqaha ialah barang itu harus diserah terimakan, jadi barang yang tidak ada, tidak dapat diserah terimakan, agar terhindar dari unsur-unsur penipuan.

Jadi barangnya harus ada dalam kekuasaannya, dengan demikian burung di udara, ikan di laut, binatang yang di hutan dan sebagainya tidak memenuhi syarat untuk dijadikan obyek akad.

Gadai merupakan bagian dari Mu’amalah, oleh karena itu gadai juga mengutif prinsip-prinsip muamalah antara lain :

  1. Dilaksanakan dengan memelihara keadilan, menghindar dari unsur-unsur penganiayaan.
  2. Dilakukan atas dasar suka sama suka.[48]

 

 

Ad. 4.Marhu>n bih. (hutang).

Yang dimaksud marhu>n bih yaitu hutang yang karenanya diadakan gadai. Adapun syarat-syaratnya adalah :

a. Penyebab penggadaian adalah hutang.

b. Hutang sudah tetap.

c. Hutang itu tetap seketika atau yang akan datang.

Oleh karenanya, sah gadai sebab harga masih masa khiyar, juga sah akad gadai pada al-ja’lu (pengupahan) yaitu pemberian upah dari seseorang kepada orang lain atas jasanya.

d. Bahwa hutang itu telah diketahui benda, jumlah dan sifatnya.[49]

 

C. Pemanfaatan Barang Gadai.

Sebagaimana telah ditegaskan di muka bahwa gadai bukan termasuk pada akad pemindahan hak milik, tegasnya bukan pemilikan suatu benda dan bukan pula kadar atas manfaat suatu benda (sewa menyewa), melainkan hanya sekedar jaminan untuk suatu hutang piutang, itu sebabnya ulama sepakat bahwa hak milik dan manfaat suatu benda yang dijadikan jaminan (Marhun) berada dipihak rahi>n (Yang menggadaikan). Murtahin (yang menerima barang gadai) tidak boleh mengambil manfaat barang gadai kecuali diizinkan oleh rahin dan barang gadai itu bukan binatang. Ulama Syafi’I, Imam Malik dan ualam-ulama yang lain berargumen menggunakan hadis Nabi saw. Tentang manfaat barang gadai adalah milik ra>hin bukan milik murtahin. Hadisnya yaitu :

لا يـغـلـق الـر هـن مـن صـاحـبـه الـذي رهـنـه لـه غـنـمـه و عـلـيـه

غـر مـه[50]

Barang gadaian dipandang sebagai amanat bagi murtahin sama dengan amanat yang lain, dia tidak harus membayar kalau barang itu rusak, kecuali karena tindakannya.[51]

Lebih lanjut Ibnu Quda>mah dalam kiatbnya al-Mugny menjelaskan bahwa pengambilan manfaat dari barang gadai itu mencakup pada dua keadaan yaitu :

  1. Yang tidak membutuhkan kepada biaya seperti rumah, barang-barang dan sebagainya.
  2. Yang membutuhkan pembiayaan.[52]

Mengenai hukum penerima gadai dengan mengambil manfaat dari barang yang membutuhkan biaya dengan seizin yang menggadaikan adalah sebanding dengan biaya yang diperlukan. Dari dua bagian di atas dapat ditemui adanya barang bergerak dan barang tetap. Barang bergerak adalah barang yang dalam penyerahannya tidak membutuhkan akte otentik seperti buku dan lain sebagainya. Sedangkan barang tetap adalah barang yang dalam penyerahannya memerlukan suatu akte yang otentik seperti rumah, tanah dan lain-lain.

Dalam pemanfaatan barang gadai yang berupa barang yang bergerak dan membutuhkan pembiayaan, ulama sepakat membolehkan murtahin mengambil manfaat dari barang tersebut seimbang dengan biaya pemeliharaannya., terutama bagi hewan yang bisa diperah dan ditunggangi, mereka beralasan sesuai dengan hadis nabi saw. Yang berbunyi :

 الـرهـن يـركـب  بـنـفـقـته إذاكان مـرهونـا ولبن الـدريـشرب بـنـفـقـته

إذا كان مـرهـونـا وعلي الـذي يـركـب و يـشـرب الـنفـقـة [53]

Adapun jika barang itu tidak dapat diperah dan ditunggangi (tidak memerlukan biaya), maka dalam hal ini boleh bagi penerima gadai mengambil manfaatnya dengan seizin yang menggadaikan secara suka rela, tanpa adanya imbalan dan selama sebab gadaian itu sendiri bukan dari sebab menghutangkan. Bila alasan gadai itu dari segi menghutangkan, maka penerima gadai tidak halal mengambil manfaat atas barang yang digadaikan meskipun dengan seizin yang menggadaikan.[54]

Jika memperhatikan penjelasan di atas dapat diambil pengertian bahwa pada hakekatnya penerima gadai atas barang jaminan yang tidak membutuhkan biaya tidak dapat mengambil manfaat dari barang jaminan tersebut.

 

 

Dalam kitab al-Mugny, Imam Ibnu Quda>mah mengatakan sebagai berikut :

Penerima gadai tidak boleh mengambil hasil atau manfaat dari barang yang digadaikan sedikit pun kecuali dari yang bia ditunggangi dan diperah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.[55]

 

Keterangan di atas menunjukkan bahwa penerima barang gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadaian kecuali bagi barang gadaian yang bisa di tunggangi dan diperah.

Akan tetapi menurut mayoritas ulama, penerima gadai boleh mengambil manfaat dari barang gadai bila sudah diizinkan oleh penggadai, dengan catatan hendaknya hal tersebut tidak disyaratkan dalam akad.

Syari’at Islam dalam masalah gadai pada prinsipnya adalah untuk kepentingan sosial, yang ditonjolkan adalah nilai sosialnya. Tetapi dipihak lain pada kenyataannya atau prakteknya tidak demikian halnya. Karena dinilai tidak adil, pihak yang punya uang merasa dirugikan, atas dasar karena adanya inflasi nilai mata uang. Sementara uang tersebut bisa juga dipakai sebagai modal usaha.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas, Rahmat Syafi’I mengatakan :

Bahwa Murtahin boleh mengambil manfaat barang gadai sepanjang diizinkan oleh rahin, dan tidak mengarah pada riba yang diharamkan. Yakni murtahin boleh mengambil manfaat hanya sekedar untuk mengatasi kerugian yang dialami oleh murtahin.[56]

 

Pada akhir ayat 279 surah al-Baqarah ditegaskan bahwa riba yang diharamkan itu adalah riba yang mengandung unsur kedhaliman (aniaya) pada salah satu pihak, sebagaimana firman Allah swt. Yang berbunyi :

 فـإن لـم تـفـعـلـوا فـأذ نـوا بـحـر ب مـن الله ورسـوله وإن تبتم فلكـم رء وس أمـوالـكم لا تظـلمـون ولا تـظـلـمـون[57]

Kemudian perlu diingat pula bahwa dalam hutang piutang di situ tetap harus ditekankan nilai-nilai sosialnya seperti pada prinsip utamanya. Sehingga seandainya yang berhutang itu masih belum mampu untuk membayar atau melunasi hutangnya. Maka jangan sampai ditumpukkan beban yang memberatkan, seperti diharuskan ada uang lebih dari uang pokok pinjaman, sebagaimana firman Allah swt :

 وإن كان ذوعسرة فـنظرة الي ميسرة وأن تصد قوا خير لكـم إن كنتم تعلمون[58]

 

                                                   

 

 

 

 

      

BAB III

PRAKTEK PELAKSANAAN GADAI TANAH DAN PEMANFAATAN TANAH GADAI DALAM MASYARAKAT BUGIS DI KECAMATAN WATANG SIDENRENG KABUPATEN SIDRAP SULAWESI SELATAN

 

A. Deskripsi Wilayah Penelitian

  1. Keadaan Geografis dan Demografi

Masyarakat Bugis merupakan salah satu suku bangsa yang berada di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Suku Bugis juga merupakan suku yang terbesar, dimana terdapat di beberapa kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan diantarannya di kabupaten Sidrap. Kab. Sidrap berada di sebelah utara dari ibukota Propinsi Sulawesi Selatan (Makassar) dengan jarak sekitar 180 km. Kab. Sidrap yang beribukotakan di Pangkajene, dengan luas wilayah 1.883,25 km2, terletak antara 3043 – 40 lintang selatan dan 119041 – 120010 bujur timur dengan batas – batas :

Sebelah Utara              : Kab. Pinrang dan Kab. Enrekang

Sebelah Timur             : Kab. Luwu dan Kab. Wajo

Sebelah Barat              : Kota Pare-pare dan Kab. Pinrang

Sebelah Selatan           : Kab. Soppeng dan Kab. Barru

Pada awal pembentukannya sebagai Kabupaten Dati II pada tahun 1962, kabupaten dati II Sidenreng Rappang terdiri dari 7 wilayah kecamatan. Setelah mengalami perkembangan hingga tahun 2003, maka kabupaten Sidrap mengalami pemekaran wilayah, sehingga secara administrasi Kabupaten Sidenreng Rappang sekarang ini terdiri dari 11 kecamatan, 38 kelurahan dan 66 desa.[59]

Kecamatan Watang Sidenreng merupakan salah satu dari 11 kecamatan yang berada dalam Kabupaten Sidenreng Rappang yang terletak kurang lebih 10 Km di sebelah timur kota Pangkajene Sidenreng ( Ibukota Kabupaten Sidenreng Rappang). Letak Kecamatan Watang Sidenreng berbatasan langsung dengan :

Sebelah Utara              : Kecamatan Panca Rijang

Sebelah Timur             : Kecamatan Pitu Riawa

Sebelah Selatan           : Kecamatan Tellu LimpoE

Sebelah Barat              : Kecamatan MaritenggaE

Wilayah Kecamatan Watang Sidenreng dengan luas 120,81 Km2 terbagi dalam 3 Kelurahan dan 4 desa. Kondisi Topografi Kecamatan Watang Sidenreng dengan keadaan datar 100% dengan ketinggian dari permukaaan laut <500 M.[60]

Table I

Luas Wilayah dan persentase luas desa/Kelurahan

No.

Desa/Kelurahan

Luas (Km2)

%

1.

Sidenreng

13,20

10,93

2.

Mojong

18,11

15,00

3.

Damai

41,47

34,33

4.

EmpagaE

12,15

10,06

5.

Kanyuara

12,54

10,38

6.

TalumaE

12,15

10,06

7.

Aka-AkaE

11,19

  9,26

 

Jumlah

      120,81

 100,00

 

Sedangkan luas tanah sawah dan tanah kering di kecamatan Watang Sidenreng 12.081.00 Ha, sebagaimana rincian berikut ini [61]:

Tabel II

Luas Tanah Sawah dan tanah Kering dirinci menurut Desa/Kelurahan

No.

Desa/Kelurahan

Tanah Sawah (Ha)

Tanah Kering (Ha)

Jumlah

1.

Sidenreng

875,00

445,00

  1.320,00

2.

Mojong

692,92

  1.118,08

  1.811,00

3.

Damai

950,00

  3.197,00

  4.147,00

4.

EmpagaE

876,60

338,40

  1.215,00

5.

Kanyuara

  1.205,00

  49,00

  1.254,00

6.

Talumae

801,50

413,50

  1.215,00

7.

Aka-AkaE

522,68

596,32

  1.119,00

 

Jumlah

  5.923,70

 6.157,30

12.081,00

 

Sedangkan jumlah penduduk Kecamatan Watang Sidenreng terdiri atas 7.599 laki-laki dan 8.484 wanita. Sebagaimana dalam tabel berikut ini[62] :

Tabel III

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kepala Keluarga

No.

Desa/Kelurahan

Pria

Wanita

KK

1.

Sidenreng

 864

1.000

   381

2.

Mojong

1.615

1.752

   772

3.

Damai

 927

   963

   439

4.

EmpagaE

1.207

1.536

   612

5.

Kanyuara

1.569

1.733

   661

6.

TalumaE

 808

   874

   393

7.

Aka-kaE

 609

   626

   279

 

Jumlah

7.599

8.484

3.537

 

 

 

  1. Keadaan ekonomi Masyarakat

Keadaan ekonomi masyarakat di Kecamatan Watang Sidenreng khususnya di bidang pertanian cukup memadai, ini disebabkan oleh kondisi tanah pertaniaan  yang sangat subur dengan adanya aliran irigasi dari sungai Saddang yang berasal dari kabupaten Pinrang, sehingga hasil pertanian khususnya padi cukup melimpah.

Untuk tanaman padi masyarakat tidak hanya mengandalkan sawah tadah hujan tapi dengan adanya pengairan atau irigasi, baik irigasi secara teknis maupun irigasi non teknis, yang bagus dan bisa untuk memenuhi semua sawah yang ada di Kecamatan Watang Sidenreng. Sehingga walaupun tidak ada hujan petani bisa menanam padi dan dalam satu tahun paling sedikit dua kali panen. Berikut ini tabel luas sawah menurut jenis pengairan[63] :

Tabel IV

Luas Sawah Menurut Jenis Pengairan dirinci Menurut Desa/Kelurahan

No.

Desa/kelurahan

 

Pengairan

 

Jumlah

 

 

Teknis

½ Teknis

Tadah hujan

 

1.

Sidenreng

   875,00

   875,00

2.

Mojong

   692,92

   692,92

3.

Damai

   350,00

   600,00

   950,00

4.

EmpagaE

   876,00

   876,00

5.

Kanyuara

1.000,00

   205,00

1.205,00

6.

TalumaE

   801,50

   801,50

7.

Aka-akaE

   300,00

   222,68

   522,68

 

Jumlah

4.094,52

1.829,18

5.923,70

 

 

 

 

 

 

 

Jumlah penduduk kecamatan Watang Sidenreng berdasarkan mata pencaharian yaitu[64] :

Tabel V

Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian

No.

Desa/Kelurahan

Petani

Peternakan

Perikanan

Perkubunan

Dagang

1.

Sidenreng

   376

  28

15

 20

2.

Mojong

   254

       15

63

37

 40

3.

Damai

   300

       10

51

 12

4.

EmpagaE

   410

  31

 41

5.

Kanyuara

   520

  35

 25

6.

TalumaE

   325

 10

11

 20

7.

Aka-kaE

   320

 14

     10

 

 

2.505

143

78

99

168

 

  1. Keadaan Pendidikan dan Keagamaan

a. Pendidikan

            Di bidang pendidikan di kecamatan Watang Sidenreng masih perlu adanya peningkatan dan pembenahan. Karena masih banyak anak-anak yang belum sekolah sampai tingkat SMP, bahkan ada yang tidak tamat SD. Ini di sebabkan karena kurangnya sarana dan prasarana pendidikan yang ada di kecematan watang Sidenreng, sehingga banyak anak-anak yang melanjutkan sekolah di luar, itu pun bagi anak-anak yang mampu. Seperti ke Pangkajene yang berjarak 10 Km dari EmpagaE (ibukota kecamatan Watang Sidenreng). Seperti pada tabel berikut ini :

 

 

 

Tabel VI

Jumlah Prasarana Pendidikan 

di Kecamatan Watang Sidenreng

No.

Desa/Kelurahn

SD/MI

SMP/Mts

SMU/MA

Jumlah

1.

Sidenreng

1

1

2.

Mojong

2

2

3.

Damai

2

1

3

4.

EmapagaE

3

1

4

5.

Kanyuara

2

2

6.

TalumaE

2

2

7.

Aka-kaE

2

2

 

Jumlah

14

2

16

 

Melihat Persoalan dan permasalahan yang demikian, maka pemerintah kecamatan mempunyai program wajib belajar sembilan tahun dan bebas buta aksara sebagaimana yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, baik itu melalui pendidikan formal maupun non formal.

 

b. Kehidupan Keagamaan

Perlu diketahui bahwa di kabupaten sidrap ada sekelompok masyarakat yang menganut sistem aliran kepercayaan dalam kehidupan beragama. Kelompok ini biasa disebut Tau Lotang. Aliran ini dimasukkan dalam agama Hindu. Aliran ini tersebar di hampir semua kecamatan yang ada di kabupaten Sidenreng Rappang. Meskipun demikian penduduk kecamatan Watang Sidenreng ini pada umumnya beragama Islam. Tapi  mereka melakukan dan melaksanakan tri kerukunan antarumat beragama yaitu kerukunan hidup umat beragama dengan orang lain, kerukunan hidup seagamadan kerukunan hidup antara agama dan pemerintah cukup baik ditandai dengan tidak adanya permasalahan-permasalahan yang menyangkut keagamaan. Kesadaran hidup beragama terutama dikalangan umat Islam cukup baik. berikut data jumlah pemeluk agama di Kecamatan Watang Sidenreng.

Tabel VII

Jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut

tiap Desa/Kelurahan

No.

Desa/

kelurahan

Islam

Kristen

Protestan

Kristen Katolik

Hindu

Budha

Jmlh

1.

Sidenreng

1.502

   362

  1.864

2.

Mojong

3.242

    125

  3.367

3.

Damai

1.870

7

     13

  1.890

4.

EmpagaE

2.478

   265

  2.743

5.

Kanyuara

   800

2.502

  3.308

.6

TalumaE

1.614

     61

  1.682

7.

Aka-kaE

1.171

     64

  1.235

 

Jumlah

12.677

3.392

16.083

 

            Sektor Agama merupakan faktor penting dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat, oleh sebab itu saran/fasilitas keagamaan perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan, karena dengan tersedianya saran keagamaan yang memadai akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Untuk lebih jelas sarana keagamaan yang ada di Kecamatan Watang Sidenreng dapat dilihat pada tabel berikut ini[65] :

 

 

 

Tabel VIII

Banyaknya Tempat Ibadah di Kecamatan Watang Sidenreng

No.

Desa/Kelurahan

Masjid

Mushallah

Gereja

Vihara

Kuil

Jumlah

1.

Sidenreng

2

2

2.

Mojong

1

1

3.

Damai

5

5

4.

EmpagaE

2

 

2

5.

Kanyuara

1

1

6.

TalumaE

2

2

7.

Aka-akaE

3

3

 

Jumlah

16

16

 

B. Praktek dan Mekanisme Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam Masyarkat   Bugis di Kecamatan Watang Sidenreng.

  1. Pengertian Gadai.

Masyarakat Kecamatan Watang Sidenreng disamping sebagai petani mereka juga sebagai buruh, pedagang dan pegawai,  namun dalam keadaan mendesak seperti butuh biaya untuk sekolahkan anaknya, modal usaha, biaya pernikahan dan sebagainya, mereka terpaksa menggadaikan sawahnya. Sawah yang digadaikan tersebut adalah tanah milik mereka sendiri.[66]

Masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Watang Sidenreng menyebut gadai dengan sebutan Nappakatening yaitu Transaksi gadai tanah (sawah) sebagai jaminan dan tanah itu dimanfaatkan oleh penerima gadai. Orang yang melakukan gadai di sebut Mappaketenniang (Penggadai), sedangkan yang menerima disebut Nakketeni (penerima gadai).[67]

Adapun mengenai batas waktu yang ada beberapa pilihan diantaranya dua kali panen/1 tahun dan tanpa batas tertentu, tapi biasanya waktu tidak pernah ditentukan, asal uang sudah dikembalikan maka sawah yang digadaikan pun dikembalikan kepada pemiliknya. Tapi apabila sudah sampai batas waktu yang ditentukan, penggadai belum mampu untuk membayar uang yang dipinjamnya maka para pihak harus sepakat untuk membuat perjanjian baru. Apabila penerima gadai juga butuh uang, maka penerima gadai berhak menggadai sawah tersebut atas izin penggadai (pemiliknya).[68]

Berdasarkan Intervieu banyak terjadi jika sampai batas waktu atau jatuh tempo sipenggadai belum mampu untuk membayar hutangnya sehingga jika sawah tersebut digarap oleh penerima gadai maka dia masih berhak menggarap sawah tersebut samapi penggadai melunasi pinjamannya. Hal ini bisa terjadi sampai tujuh tahun.[69]

Gadai tanah di Kecamatan Watang Sidenreng dilakukan dengan hitungan pinjaman berdasarkan harga gabah atau jumlah berat gabah yakni hitungan ton. Jadi apabila ada masyarakat yang ingin menggadaikan sawahnya tidak lagi memakai nilai uang tapi dinilai dengan harga gabah. Jika dia menggadaikan sekitar 5 ton gabah maka dia harus menerima uang sesuai dengan harga 5 ton gabah kering tersebut.[70] Jadi pada saat batas waktu yang telah ditentukan sampai, maka sipenggadai harus mengembalikan atau membayar hutangnya sesuai harga 5 ton gabah kering yang berlaku pada saat dia membayar hutangnya.[71]

 

  1. Proses terjadinya gadai

Semua manusia pasti memerlukan orang lain, sebab manusia bukan merupakan makhluk individu tetapi manusia adalah makhluk sosial yang harus bermasyarakat anatara satu dengan yang lainnya. Sebab mereka saling membutuhkan untuk mencukupi kelangsungan hidupnya. Maka dengan demikian terjadi Mu’amalah seperti adanya praktek gadai.

Dalam praktek gadai di Kecamatan Watang Sidenreng mula-mula siA (penggadai) datang kepada si B (penerima Gadai) dengan mengungkapkan maksudnya untuk meminjam sejumlah uang, maka dilakukan perjanjian yang mana di dalam perjanjian tersebut uang yang akan dipinjam dinilai dengan jumlah berat gabah kering. Kemudian dalam pembayarannya harus sesuai dengan harga gabah pada waktu dia membayar pinjamannya.[72]

Proses terjadinya akad gadai ada yang dilakukan di atas tangan yakni tanpa sepengtahuan pemerintah setempat dengan asumsi adanya saling percaya diantara kedua belah pihak. Selain itu ada pula yang dilakukan di kantor kelurahan.[73]

Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa alasan mereka untuk menggadaikan sawahnya adalah karena untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang mendesak diantaranya biaya sekolah, pernikahan, modal usaha dan lain sebagainya.

Sedang dari penerima gadai penyusun juga memperoleh data yang bila disimpulkan ada dua faktor yaitu :

 

  1. Lingkungan.

Karena masyarakat di Kecamatan Watang Sidenreng sudah terbiasa sejak zaman dahulu menggadaikan sawah, sehingga mereka beranggapan bahwa hal tersebut sudah menjadi adat kebiasaan karena sudah terbiasa, maka sudah menjadi ketetapan umum bila seseorang menggadaikan sawahnya.

  1. Faktor ingin menolong

Berangkat dari rasa tolong menolong, maka sipenerima gadai meminjamkan uangnya kepada sipenggadai. Karena sebagai rasa terima kasih telah dipinjamkan uang maka mereka rela menyerahkan sawahnya kepada sipenerima gadai sebagai jaminan dan untuk di garap.

  1. Hak dan kewajiban penggadai dan penerima gadai.
    1. Hak penggadai dan penerima gadai

1) Penggadai.

Setelah penyusun mengadakan wawancara dan juga hasil angket dalam praktek gadai tanah sawah di Kecamatan Watang Sidenreng hak penggadai antara lain sebagai berikut :

a)      Mendapatkan sejumlah uang dari penerima gadai.

b)      Mengalihkan hak pemanfaatan tanah sawahnya kepada penerima gadai.

c)      Memungut separo dari hasil panen apabila transaksinya menghampiri masa panen tiba.

2) Penerima gadai

a)      Memanfaatkan tanah sawah yang dijadikan jaminan.

b)      Membuat perjanjian baru jika sudah jatuh tempo.

c)      Menagih uang pinjaman jika sudah sampai batas waktu yang telah ditentukan.

d)     Membuat perjanjian baru dengan orang lain atas seizin penggadai.

b. Kewajiban Penggadai dan Penerima gadai

1)      Penggadai

a)      Menyerahkan sebagian tanahnya dan dimanfaatkan oleh penerima gadai.

b)      Mengembalikan uang pinjaman kepada penerima gadai.

2)      Penerima gadai

a)      Menyerahkan uang pinjaman kepada penggadai atas terjadinya transaksi gadai.

b)      Mengembalikan tanah sawah yang dijadikan jaminan jika uang sudah dibayar.

 

C. Pemanfaatan Barang Gadai

            Dari hasil penelitan yang dilakukan bahwa pemanfaatan barang gadai yang terjadi dalam praktek gadai tanah di dalam masyarakat Bugis di Kecamatan Watang Sidenreng dilakukan oleh penerima gadai tersebut.

            Pemanfaatan barang gadai yang dilakukan di Kecamatan watang Sidenreng beraneka ragam sesuai dengan kesepatan yang dilakukan tetapi pemanfaatan barang tersebut tidak ditulis dalam surat perjanjian.

            Pemanfaatan barang gadai dikekola atau digarap oleh  yang menerima gadai. Selain itu ada pula yang dikelola atau digarap oleh orang ketiga atau orang lain yang dipercaya dengan ketentuan bagi hasil antara penggarap dengan sipenerima gadai.[74]

            Meskipun demikian kebanyakan tanah sawah yang dijadikan sebagai jaminan kebanyakan digarap atau dikelola oleh penerima gadai itu sendiri.

 Dari hasil penelitan diketahui bahwa hasil dari pemanfaatan barang gadai tidak dilakukan bagi hasil antara pemberi gadai (Rahn) dengan penerima gadai (murtahin) setelah dipisahkan dengan biaya pemeliharaan. Hasil tersebut semuanya diambil oleh penerima gadai. Bagi hasil terjadi jika barang gadai tersebut dalam hal ini tanah sawah dikelola oleh pihak ketiga, yaitu hasilnya dibagi antara pengelola dengan penerima gadai sebagai orang yang membiayainya.

Oleh karena itu, pemanfaatan barang gadai (tanah sawah) yang terjadi dalam masyarakat Bugis di Kecamatan Watang Sidenreng harus ditinjau ulang karena merugikan bagi pemberi gadai.

Demikianlah penelitian terhadap pemanfaatan tanah sawah sebagai barang gadai dalam masyarakat Bugis di Kecamatan Watang Sidenreng kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan.

           

BAB IV

ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN DAN PEMANFAATAN

GADAI TANAH DI KECAMATAN WATANG SIDENRENG

MENURUT HUKUM ISLAM

 

A. Praktek Gadai Tanah di Kecamatan Watang Sidenreng Menurut Hukum Islam

            Gadai merupakan perjanjian atau akad dalam bermu’amalah yang dilakukakan oleh dua pihak dalam bentuk hutang piutang dengan menyerahkan sesuatu (barang) sebagai jaminan hutang. Perjanjian gadai ini dibenarkan dengan firman Allah swt yang berbunyi :

وانكـنـتم علي سفـر ولم تجـدوا كاتبا فرهن مقـبو ضة …[75].

            Pengertianفرهن مقـبو ضة     dalam ayat di atas yaitu barang tanggungan yang dipegang. Barang tanggungan tersebut dalam masyarakat disebut dengan gadai.

            Munculnya gadai sebagai perbuatan hukum dalam mu’amalah karena adanya salah satu pihak yang bermu’amalah melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan berupa hutang karena perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang mendesak.

            Bila mencermati ayat tersebut di atas maka ‘illat hukum yang terkandung adalah adanya faktor kebutuhan, hal ini dapat dijumpai dalam pendapatnya        as-Sauka>ni> yang mengemukakan bahwa barang siapa dalam perjalanan melakukan perjanjian hutang piutang dan tidak dijumpai seoranng pun penulis maka untuk meringankannnya (hutang piutang) diadakannya jaminan yang dipegang.[76] Jadi adanya perjanjian hutang piutang karena adanya kebutuhan yang mendesak.

            Alasan untuk mengadakan perjanjian gadai tanah itu lazimnya ialah bahwa pemilik tanah (ra>hn) butuh uang. Bilamana tidak dapat mencukupi kebutuhan dengan jalan meminjam uang, maka ia dapat mempergunakan tanahnya untuk memperoleh uang itu dengan jalan membuat perjanjian tanah (groud transactie).[77]

            Dari sini dapat dilihat bahwa gadai tanah menurut adat adalah perjanjian yang menyebabkan bahwa tanah itu diserahkan untuk menerima sejumlah uang tunai dengan perjanjian bahwa sipenyerah tanah (ra>hn) akan berhak mengembalikan tanahnya dengan jalan membayar hutang sejumlah yang sama.[78]

            Istilah gadai tanah yang dipakai Van Vollenhoven ialah” Jual dengan perjanjian beli kembali”, ia memasukkan unsur bahwa perjanjian adanya tanah yang diserahkan untuk menerima tunai sejumlah uang dengan permufakatan bahwa sipenerima akan mengembalikan tanah itu dengan jalan sipemilik tanah membayar sejumlah uang yang sama, unsur mengembalikan uang pinjaman dengan uang yang sama besarnya menunjukkan tidak adanya riba (melebihkan pembayaran), sebagaimaan dalam hukum Islam. Namun gadai tanah yang diistilahkan dengan “jual dengan perjanjian beli kembali” merupakan bentuk muamalat atau perjanjian lain dari gadai tanah.

            Ten Haar menolak pemakaian istilah tersebut dengan alasan bahwa istilah menjual berarti menjual lepas yakni menjual sesuatu untuk melepaskan barang yang dijual selamanya.[79]

            Dalam hukum Islam “jual dengan perjanjian beli kembali” masuk dalam perjanjian jual beli bersyarat yakni seseorang yang menjual sesuatu barang diikuti dengan perjanjian bahwa suatu saat jika sipenjual tersebut sudah mempunyai uang maka barang tersebut akan dibeli kembali oleh sipenjual.

            Jual beli bersyarat yang diistilakan oleh Van Vollenhoven masuk dalam salah satu jual beli bersyarat yang fasid. Karena penjual mensyaratkan dengan akad baru.[80] Yang demikian itu tidak dibenarkan dalam Islam sebagaimana hadis Nabi yang berbunyi :

لا يحـل سلف وبـيع ولا شـر طان في بـيع[81]

            Dengan demikian istilah gadai tanah yang diistilakan dengan “jual dengan perjanjian beli kembali” tidak bisa dibenarkan sebagai istilah gadai karena masuk pada jual beli bersyarat yang fasid, yang menggabungkan dua perjanjian sehingga menutup untuk terjadinya tasarruf barang tersebut kepada pihak lain. Perjanjian ini sebagai acuan dalam mengaktualisasikan perbuatan hukum.

            Manusia sebagai makluk sosial, makhluk bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial yang dalam kehidupan sehari-harinya saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka mereka melakukan berbagai macam hubungan diantaranya adalah melakukan transaksi gadai tanah sawah.

            Transaksi gadai tanah sawah di kecamatan Watang Sidenreng merupakan transaksi yang sudah mengakar, sudah berlaku secara turun temurun. Dengan demikian, penyusun berniat meneliti dan menganalisis tradisi gadai ini dari segi hukum Islam. Bagaimana hukum Islam menyikapi tradisi gadai tanah sawah yang terjadi di Kecamatan Watang Sidenreng?.

            Dalam hukum Islam kegiatan gadai menggadai barang sudah ada sejak dahulu kala dan merupakan kegiatan yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan yaitu tatkala seseorang sedang dalam perjalanan,  bermu’amalah secara tunai, sementara diantara mereka tidak ada seorang pun penulis, agar supaya ada barang tanggungan yang dipegang oleh murtahin sebagai alat pengikat kepercayaan diantara mereka sebagaimana firman Allah :

وانكـنـتم علي سفـر ولم تجـدوا كاتبا فرهن مقـبو ضة …[82].

            Selain orang yang dalam perjalanan, orang yang mukim atau menetap pun diperbolehkan melakukan transaksi gadai. Berdasarkan sunnah Rasulullah yaitu tatkala beliau menggadaikan baju besinya ketika beliau menetap di Madinah kepada seorang yahudi untuk membeli makanan.

 

 اشـتر ي رسـول الله ص : من يـهـودي طعـاما ورهـنه درعه[83]

            Berdasarkan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa gadai menggadai barang berharga dapat dilakukan walaupun para pihak tidak dalam bepergian. Sementara jumhur ulama telah sepakat tentang diperbolehkannya gadai bagi orang yang menetap.

            Pengertian gadai menurut hukum Islam maupun pengertian yang umum dimiliki oleh masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng telah penyusun paparkan pada bab II dan bab III di atas. Persamaan diantara keduanya terletak pada sebab terjadinya gadai barang atau gadai benda-benda yang bernilai yaitu pinjam meminjam uang dengan menggunankan jaminan. Sementara perbedaannya ialah bahwa dalam hukum Islam barang jaminan berkedudukan sebagai amanah dan kepercayaan di tangan murtahin yang berfungsi sebagai jaminan hutang jika ra>hn tidak mampu melunasi hutangnya.[84]

            Menurut hukum Islam suatu perbuatan dalam hal ini adalah gadai tanah baru dikatakan sah jika telah terpenuhi unsur-unsurnya. Unsur-unsur tersebut biasa disebut rukun gadai. Sebagaimana tersebut dalam kita Mas}a>hib al- ‘Arba’ah sebagai berikut :

1. A<qid yaitu pihak yang melakukan akad.

  1. Ra>hn
  2. Murtahin

2. Ma’qud ‘Alaih (yang digadaikan).

  1. Marhun (barang).
  2. Dain Marhu>n bih (hutang).

3. S{i>>qat.[85]

            Rukun-rukun di atas memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi juga yaitu:

1. A>qid, syarat-syaratnya yaitu :

  1. Mempunyai kecakapan dalam bertindak.[86]
  2. Keduanya melakukan akad secara suka rela.[87]

2. Ma’qud ‘Alaih syarat-syaratnya :

  1. Benda bernilai menurut syara’
  2. Dapat dimanfaatkan.
  3. Barang.
  4. Milik orang yang melakukan akad.
  5. Dapat diserah terimakan pada saat akad.[88]
  6. Untuk suatu hutang.
  7. Hutangnya sudah tetap.

 

  1. Hutangnya telah diketahui jumlah, benda dan sifatnya.[89]

3. S{i>qat, syarat-syaratnya yaitu :

  1. Adanya persesuaian antara ija>b dan qabul pada suatu obyek akad.
  2. Adanya persesuaian antara ija>b dan qabul  dalam suatu majelis.

Dari hasil penelitian dan pengamatan penyusun dalam tradisi gadai tanah sawah yang dilakukan oleh masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng diketahui bahwa rukun-rukun dan syarat-syaratnya sudah mendekati sempurna, seperti yang dikemukakan dalam rukun dan syarat sah gadai dalam hukum Islam. Meskipun hanya ada sedikit kesamaran pada serah terima tanah sawah sebagai barang yang digadaikan atau sebagai barang tanggungan dari suatu hutang.

Tanah merupakan benda tak bergerak, maka dalam serah terimanya menggunakan sertifikat tanah sawah tersebut kepada murtahin. Tetapi dalam transaksi gadai tanah sawah yang terjadi di kecamatan Watang Sidenreng, ra>hin tidak menyerahkan seertifikat tanah sawahnya kepada murtahin sebagaimana seharusnya untuk benda tak bergerak. Transaksi yang terjadi diantara mereka hanya saling kepercayaan bahwa sawah tersebut adalah benar milik sipenggadai (ra>hin) dan bukan milik orang lain. Sehingga akan menyusahkan salah satu pihak yang melakukan transaksi jika ada sengketa atau masalah di kemudian hari. Jika ada selisih atau keperluan lain yang mendesak atas tanah tersebut mereka selalu merundingkannya.

Kepercayaan yang terjalin diantara mereka menyebabkan kemungkinan untuk terjadinya penyelewengan sangat tipis. Ketakutan murtahin jika tidak dibayar atau kesulitan dalam menagih hutangnya kepada Ra>hin, hal ini sangat tipis kemungkinan terjadi karena tanah sawah milik ra>hin masih berada di bawah kekuasaan murtahin dan hasli panennya pun milik murtahin, jika Ra>hin tidak segera membayar hutangnya, maka ra>hin sendiri yang rugi.

  Allah swt. Berfirmn yang isinya bahwa, jika kedua belah pihak telah saling mempercayai, maka mereka harus memegang atau memenuhi amanatnya.

 فان امن بعضـكم بعـض فلـيـوْد ي ا لذي اوْ تمن اما نتـه[90]

Meskipun masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng dalam bertransaksi gadai telah saling percaya tapi penguasaan tanah sawah itu masih dilaksanakan dan dilakukan oleh murtahin karena demikian aturan yang berlaku di kecamatan Watang Sidenreng.

Pemanfaatan barang gadai dilakukan sepenuhnya oleh murtahin sampai satu tahun atau dua kali panen bahkan sampai hutang dilunasi. Jika telah sampai batas waktu untuk membayar hutang tetapi ra>hin belum mempunyai uang, maka pemanfaatan atas barang gadai tersebut diteruskan sampai ra>hin  mampu melunasi hutangnya atau sesuai dengan kesepakatan diantara keduanya.[91]

Hukum Islam telah menetapkan ketentuan bahwa pemanfaatan barang gadai adalah oleh ra>hin, sebagai pemilik barang, bukan oleh murtahin. Karena akad yang terjadi bukan akad pemindahan hak milik, dimana orang yang menerima barang dapat memiliki sepenuhnya. Akad gadai bukan akad pemanfaatan suatu benda (sewa menyewa) dimana barang tersebut dapat dimanfaatkan. Akad gadai hanya berkedudukan sebagai jaminan. Oleh karena itu Ulama sepakat bahwa hak milik suatu manfaat atas suatu benda yang dijadikan jaminan (borg) berada dipihak ra>hin, murtahin tidak bisa mengambil manfaat barang gadai kecuali diizikan oleh ra>hin sebagamana dalam hadis nabi saw.

 لا يغلق الر هن من صا حـبه الذي رهـنه له غنمـه و عليه غرمه[92]

Murtahin  baru dapat mengambil manfaat barang gadai jika barang tersebut membutuhkan biaya perawatan dan pemeliharaan, sebatas biaya yang dibutuhkan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam al- Muqny-nya

Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat atau hasil dari barang gadaian sedikit pun, kecuali dari yang bisa ditunggangi atau diperah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.[93]  

 

Nafkah yang diambil dari barang gadaian adalah sekedar atau sebesar ongkos yang dikeluarkan untuk biaya perawatan dan pemeliharaan. Dan tidak boleh lebih atau berlebih-lebihan, karena hal tersebut bisa dikategorikan kepada riba yang dilarang oleh syari’at agama Islam.

 

 

 

 إذا ارتهن شاة شرب المر تهـن من لبـنها يقدر علقها فإن اسـتفـضل من اللبن بعد الثمن العلف

فهو ربا[94]

Sawah adalah merupakan barang gadai yang membutuhkan biaya perawatan seperti mencangkul, urea, penyemprotan, upah buruh dan lain sebagainya. Untuk itu tanah sawah sebagai barang gadaian boleh dimanfatkan oleh murtahin. Sebatas keperluannya untuk pemeliharaan atas barang gadai tersebut. Untuk menjaga agar murtahin tidak mengalami kerugian atas barang gadai itu, maka hak murtahin harus dijaga jangan sampai menderita kerugian, tetapi dalam hal ini hak ra>hin sebagai pemilik barang juga tidak boleh diabaikan. Jadi solusinya adalah bagi hasil antara ra>hin dan murtahin atas hasil panen tanah sawah gadai tersebut setelah dikurangi biaya perawatannya.[95]

Namun kebiasaan dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng tidak ada sistem bagi hasil antara ra>hin dan murtahin semuanya diperuntukkan bagi murtahin, mulai dari perawatan, pengelolahan serta memiliki hasilnya. Tetapi semua itu atas dasar izin dan kerelaan dari ra>hin tanpa ada paksaan.

Di Kecamatan Watang Sidenreng pemanfaatan barang gadai dalam hal ini tanah sawah terdapat penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam.

Di kecamatan watang Sidenreng pemanfaatan sawah sebagai barang gadai dimanfaatkan oleh murtahin dan bukan oleh ra>hin. Hal ini karena pemanfaatan sawah gadai merupakan kelangsungan atau pelaksanaan dari proses akad gadai tanah sawah. Walaupun tidak disebutkan dalam akad gadai diantara keduanya bahwa sawah tersebut akan digarap oleh murtahin. Namun hal tersebut merupakan hal yang pasti. Hal ini sudah diketahui secara umum bahwa proses akad gadai salah satunya adalah penggarapan sawah gadai oleh murtahin.

Menurut pengamatan penyusun daya tarik dari gadai tanah sawah ini terletak pada penggarapan sawah oleh murtahin. Ini pula yang mendorong murtahin dengan suka cita ingin membantu ra>hin, disamping keinginan untuk menolong, karena tolong menolong diantara mereka sudah lazim.

Faktor inilah yang mendasari masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng untuk mengadakan transaksi gadai tanah. Karena tolong menolong dalam hal kebaikan merupakan anjuran dari syari’at Islam. Sebagaimana firman Allah swt dalam surah al-Maidah sebagai berikut :

 وتعاونو ا علي البر و التقوي ولا تعاونوا علي ا لإ ثم والعدوان واتقوا الله إن الله شديد العـقاب[96]

Dalam tradisi gadai tanah ini, murtahin mempunyai dua keuntungan, pertama : uangnya kembali dengan utuh kepadanya bahkan bisa lebih jika harga gabah naik. Kedua : ia dapat mengelolah dan menikmati hasil panen sawah gadaian sampai ra>hin mampu melunasi hutangnya atau sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.

Bagi ra>hin ataupun murtahin, tradisi gadai tanah sawah merupakan ajang untuk saling menyenangkan. Oleh karena itu kedua belah pihak merasa senang dan rela atas tradisi ini, karena tidak ada unsur paksaan.

Ahmad Azhar Basyir mengatakan bahwa dalam bermu’amalah harus dilakukan atas dasar sukarela tanpa ada paksaan. Mu’amalah juga harus dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan dan unsur-unsur mengambil manfaat dalam kesempitan.[97] Mengenai aturan main penduduk Bugis di kecamatan Watang Sidenreng dalam hal pemanfaatan tanah sawah gadai ini, sejauh pengamatan penyusun ra>hin tidak merasa benar-benar tertolong. Di satu sisi ra>hin tertolong dalam mengatasi kesulitannya dan di sisi lain justru ia semakin terpuruk ke dalam kesulitan dimana ia tidak dapat lagi menggarap sawahnya yang memberinya pemasukan untuk membiayai  kebutuhan dan kelangsungan hidupnya dan untuk melunasi hutangnya. Kecuali jika pinjaman uang dengan menggadaikan tanahnya ini dipergunakan sebagai modal usaha dan ternyata berhasil. Tetapi, jika digunakan untuk keperluan yang tidak bisa dikembangkan atau bukan untuk usaha yang produktif, maka sama halnya ra>hin  mengganti satu masalah dengan masalah yang lain. Hal seperti itu dilarang dalam Islam, kecuali dalam keadaan darurat yaitu mengganti kesukaran dengan kesukaran yang lebih ringan sesuai dengan kaedah ushu fiqh.

 الضـر ر الأشد يزال با لضر رالأخف [98]

Aturan di Kecamatan Watang Sidenreng pada saat ra>hin memutuskan untuk menggadaikan sawahnya dan kemudian melakukan transaksi gadai dengan murtahin, maka pada saat itu ra>hin telah merelakan penggarapan sawahnya kepada murtahin. Hasil panennya diambil oleh murtahin sampai ra>hin bisa menebus kembali sawahnya. Dalam hukum Islam meminjamkan uang dengan mengambil manfaat dari uang pinjaman tersebut merupakan sesuatu yang dilarang keras oleh syari’at karena hal itu termasuk riba.

Dari segi rukun dan syarat sah, sebenarnya telah terpenuhi dan sah menurtu syara’, namun masalah baru muncul dari efek yang dibuat antara ra>hin dan murtahin yaitu pemanfaatan barang gadai milik ra>hin kepada murtahin sejak ija>b dan qabul disepakati. Hal in bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam.

Dalam hukum Islam dikatakan bahwa ra>hin-lah yang berhak mengelola dan menikmati hasil panennya. Jika murtahin mengelolah tanah sawah gadai berdasarkan izin dari ra>hin, maka hak ra>hin  untuk ikut menikmati hasilnya tidak bisa diabaikan.

Penyimpangan-penyimpangan tersebut di atas walaupun atas kerelaan dan keikhlasan ra>hin, tetapi karena pemanfaatan barang tersebut barasal dari menghutangkan uang, maka hal ini dapat dikategorikan kepada riba an-Nasiah yaitu riba yang telah ma’ruf atau terkenal di kalangan masyarakat jahiliyah semasa lalu dan riba semacam ini dilarang dengan sangat sebagaimana dengan tercantum dalam al-Qur’an :

 يمعق الله الربوا ويربي الصـدقت والله لا يحب كل كفار أ ثـيم[99]

Kebiasaan masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng dalam menggadaikan tanah sawah menurut analisa penyusun dengan dikategorikan kepada ‘urf yang fasid. Alasannya karena tradisi gadai masyarakat Bugis di kecamatan watang sidenreng bertentangan dengan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah. Ada penyimpangan yang tidak dapat ditolerir yaitu pemanfaatan barang gadai oleh murtahin. Dimana pemanfaatan barang gadai tersebut disebabkan oleh adanya peminjaman uang. Hal ini termasuk riba an-nasi’ah walaupun dalam transaksi gadai tanah sawah itu sudah ada izin dan kerelaan dari ra>hin tanpa ada paksaan yang merupakan asas dan syarat dalam bermu’amalah. Tetapi hukum Islam tidak dapat mentolerir keharaman riba menjadi sesuatu yang diperbolehkan atau dibolehkan. Berdasarkan ayat berikut ini :

 وأحل الله البـيع وحرم الربوا [100]

Dalam menetapkan suatu hukum, adat atau ‘urf merupakan suatu sumber penetapan hukum Islam dengan syarat-syaratnya, yang antara lain tidak bertentangan dengan hukum syara’. Dan sejauh pengamatan dan analisis penyusun,’Urf yang ada di kecamatan watang Sidenreng banyak menyimpang dari aturan-aturanyang telah ditetapkan syara’, mengnai pemanfaatan barang gadai dalam hal ini tanah sawah. Oleh karena itu ‘urf ini tidak dapat diberlakukan atau diamalkan karena bertentangan dengan syara’.

 

B. Analisis Pemanfaatan Tanah Gadai ditinjau dari Segi Maslahah dan Mafs}adah-nya.

Seperti yang telah dijelaskan bahwa akad gadai bukanlah akan menyerahkan dan memindahkan kepemilikan suatu benda. Namun demikian dari akad tersebut muncul hak menahak bagi murtahin terhadap benda barang gadai. Meskipun begitu ra>hin diberi kesempatan untuk mengambil manfaat dari barang yang digadaikannya karena, barang serta manfaat dan hasil atau nilai yang dikandungnya tetap milik ra>hin.

Berdasarkan pembahasan-pembahasan sebelumnya dapatlah diketahui bahwa dalam praktek gadai tanah sawah dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng terdapat manfaat atau maslahah yang dapat dirasakan oleh ra>hin dan murtahin, juga terdapat mudarat atau mafs}adahnya. Dengan kata lain, ada dampak positif dan dampak negatif dari transaksi gadai tanah ini bagi mereka berdua. Dampak positif ini dapat dilihat dari sisi rahin antara lain :

  1. Teratasinya masalah ra>hin tanpa ia harus kehilangan hak kepemilikan atas tanah sawahnya.
  2. Ketenangan yang dirasakan oleh ra>hin dengan adanya transaksi gadai ini. Ra>hin tidak didesak untuk segera melunasi hutangnya jika waktu untuk membayar hutangnya telah tiba, sementara ra>hin belum cukup memiliki uang untuk menebus kembali tanah sawahnya itu. Ra>hin juga tidak takut tanah sawahnya disita karena tidak mampu untuk membayar hutangnya pada saat yang telah disepakati bersama tentang waktu pembayaran.

Sementara dampak negatif yang diterima oleh ra>hin sebagai konsekuensi dari diadakannya atau dilakukannnya gadai tanah sawah itu ialah ra>hin tidak dapat menggarap tanah sawahnya. Hal ini membuat ra>hin  semakin terpuruk dalam kehidupannya, ra>hin harus membayar lunas hutangnya sementara ia kehilangan hak penggarapan atas sawahnya karena hanya dengan hasil sawah tersebut ia dapat menyisihkan uangnya untuk membayar hutang. Lain halnya jika uang yang dipinjam dipergunakan untuk modal usaha yang produktif. Dalam hal ini tidak ada masalah bagi ra>hin untuk membayar hutangnya atau untuk biaya hidupnya sehari-hari bersama keluarganya.

Masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng dalam hal ini (transaksi gadai tanah sawah) lebih memilih untuk menggadaikan tanah sawahnya dibandingkan pilihan yang lainnya. Menurut penduduk di kecamatan Watang Sidenreng, mereka lebih menyukai tradisi ini karena disamping ra>hin tidak kehilangan kepemilikan atas tanah sawahnya yang digadaikan, mereka juga tidak dipusingkan atau diributkan dengan urusan-urusan ukur mengukur tanah milik ra>hin. Mereka lebih memilih menggadaikan tanah sawahnya menurut tradisi yang ada dibandingkan dengan cara yang lain.

Disamping itu dengan melakukan gadai tanah sawah ini mereka pergunakan untuk saling menyenangkan satu sama lainnya. Murtahin mendapat keuntungan dan ra>hin mendapat pertolongan untuk mengatasi kesulitannya dengan memakai norma-norma dan aturan-aturan yang telah umum dan terjadi dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng. Dengan adanya transaksi gadai tanah sawah ini, telah mempererat hubungan komunikasi dan pergaulan hidup bermasyarakat di antara mereka semua.

Demikianlah hasil pengamatan penyusun berkenaan dengan pemanfaatan barang gadai oleh murtahin dari segi maslahah dan mafs}adah-nya yang berkenaan dengan ra>hin. Sementara pada murtahin sejauh pengamatan dan penelitian penyusun tidak banyak yang mengeluh tenatng dampak negatif dari adanya transaksi gadai tanah sawah ini bagi meeka. Mereka selalu mencari kesepakatan secara musyawarah dan kekeluargaan jika mereka merasa ada sesuatu yang harus dibicarakan dan kurang berkenaan atau murtahin merasa dirugikan.

Sementara dampak positif yang dirasakan oleh murtahin dengan adanya transaksi gadai tanah sawah ini antara lain :

1. Murtahin dapat jaminan tentang pelunasan dari ra>hin, dengan jumlah yang    sama atau lebih jika harga gabah naik.

2. Murtahin dapat memetik hasil panen dari tanah sawah garapan yang diberikan kepadanya sebagai akibat adanya transaksi gadai yang dibuat bersama ra>hin.

3. Murtahin bisa melanjutkan penggarapan tanahs awah itu jika ra>hin belum mampu menebusnya kembali.

4. Ra>hin tidak berlarut-larut dalam pelunasan hutangnya. Jika pada saat jatuh tempo pembayaran, ra>hin  sudah memiliki uang pelunasan.

5. Jika terjadi kenaikan harga gabah maka murtahin mendapat kelebihan   pembayaran dari uang yang dipinjamkannya.

6. Jika harga gabah turun pada saat uang dikembalikan, murtahin sudah cukup mendapat ganti dari hasil panen.

Dengan adanya maslahah dan mafsadah sebab diadakannya transaksi gadai tanah sawah antara ra>hin dan murtahin dengan mengikuti tradisi yang berlaku dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng dapatlah ditarik kesimpulan bahwa walaupun ra>hin mengalami kerugian, tetapi dengan melihat bahwa tidak ada jalan lain yang lebih baik dari gadai tanah sawah ini, dengan cara ini disamping ra>hin tertolong dalam mengatasi kesulitannya ia masih bisa bersantai, karena tidak khawatir disita jika sudah jatuh tempo, sementara ia belum mampu untuk menebusnya kembali. Maslahah yang dirasakan ra>hin ternyata lebih besar dari mafs}adah-nya. Demikian pula halnya yang dirasakan oleh murtahin. Maka dengan berpedoman pada ayat al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut :

 يريد الله بكم اليـسر ولا يريد بكم العـسر [101]

 ما بريد الله ليجعل عليكم من حرج [102]

Pemanfaatan tersebut diperbolehkan dengan syarat sekedar biaya perawatan dan pengolahan, serta untuk menutupi kerugian yang dialami oleh Murtahin dari tidak menentunya harga gabah. Besar kecilnya pengganti itu dapat dilihat dari besar kecilnya kerugian yang ditanggung oleh murtahin pada saat itu. Dengan berpedoman pada ayat al-Qur’an dan al-Hadis berikut ini yang berbunyi:

 

 لا تظلمون ولا تظلمون [103]

 لا ضرر ولا ضرار [104]

Tidak adanya yang menganiayan dan teraniaya dan tidak membalas kemadaratan dengan kemadaratan yang lebih besar, maka sepanjang hal tersebut tidak ada ataupun ada, tetapi kemadaratan yang dirasakan lebih kecil dan ringan seperti disebutkan dalam kaidah :

 الضرر الأ شديزال بالضرر الأخف [105]

Sehingga tidaklah mengapa untuk dilakukan sepanjang tidak berlebih-lebihan atau ad’afan Muda>’afan (berlipat ganda). Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka adat atau ’urf tersebut dapat dibenarkan dengan menggunakan teori

العادة محكمة [106] 

 

 

 

BAB V

PENUTUP

 

A. Kesimpulan

            Setelah penyusun menjabarkan dan menganalisis skripsi ini, maka penyusun dapat mengambil kesimpulan sebagai beikut :

  1. Dari segi rukun dan syarat, gadai yang ada di masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng sudah sah atau sudah betul, tetapi dari pemanfaatan barang gadai tidak dibenarkan dalam hukum Islam, karena terdapat penyelewengan atau melenceng dari ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang telah digariskan dalam syari’at hukum Islam. Jadi tradisi yang berlaku bertentangan dengan nas. Oleh karena itu dilarang untuk dilakukan.
  2. Tanah gadai dapat dimanfaatkan oleh murtahin apabila mendapat izin dari ra>hin tanpa mengabaikan hak ra>hin sebagai pemilik tanah. Sedangkanhasilnya daapt dibagai sesuai dengan kesepakatan.
  3.  Tradisi pemanfaatan tanah gadai sawah dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng ditinjau dari segi maslahah dan mafs}adahnya ternyata terdapat mafs}adah atau mudarah bagi ra>hin walaupun ra>hin sudah merelakannya dan murtahin tidak mensyaratkan adanya persyaratan tersebut pada saat akad gadai terjadi. Tetapi demi untuk menjaga nilai-nilai keadilan bagi ra>hin, maka pemanfaatan tanah gadai oleh murtahin  secara penuh seperti yang terjadi dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng tidak dibenarkan atau tidak dapat ditolerir.

B. Saran-saran

            Saran-saran yang akan penyusun berikan adalah untuk masyarakat Bugis secara umum dan penduduk di kecamatan Watang Sidenreng secara khusus. Saran-saran tersebut adalah :

  1. Hendaklah para pemuka masyarakat dalam hal ini adalah para ulama setempat, agar lebih sering memberikan pengarahan atau informasi mengenai hukum gadai dalam hukum Islam dan hukum tentang cara-cara bermu’amalah secara baik dan benar sehingga masyarakat dapat terhindar dari kesalahan.
  2. Kepada Ra>hin dan Murtahin, selain kepercayaan yang mereka miliki bersama, Hendaknya dalam bertransaksi gadai tanah sawah menggunakan catatan yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak dibawah notaris sebagai bukti otentik jika diantara mereka terjadi perselisihan.
  3. Pemanfaatan tanah sawah gadai secara penuh adalah dilarang dalam hukum Islam akan tetapi kalau sekedar untuk biaya perawatan tidak mengapa atau bisa jadi dibuat perjanjian bagi hasil dengan ketentuan yang disepakati bersama setelah dipotong dengan biaya perawatan dan seterusnya, dengan menggunakan sistem muzara’ah atau mukharabah yaitu bibit berasal dari pemilik tanah atau sebaliknya bibit berasal dari murtahin, tergantung kesepakatan antara ra>hin dan murtahin.
  4. Kepada masyarakat Bugis secara umum, penduduk di kecamatan Watang Sideneng secara khusus agar supaya lebih memperhatikan aturan-aturan syari’at Islam dalam bermu’amalah khususnya gadai tanah sawah agar tidak melenceng dari ketentuan-ketentuan yang ada (nas).
  5. Sistem muzara’ah atau mukhabarah bisa dijadikan alternatif lain untuk menutup kerugian dan biaya perawatan, juga untuk menegakkan nilai-nilai keadilan.

LAMPIRAN I

 

DAFTAR TERJEMAHAN

 

 

Hlm

Footnote

Terjemahan

 

 

 

BAB I

 

2

1

Kalian yang lebih mengetahui urusan duniamu.                                                            

 

3

3

Bila kamu dalam perjalanan dan tidak mendapatkan penulis, barang tanggungan pun bisa diterima. Tetapi kalau masing-masing diantara kamu saling mempercayai, orang yang dipercayai wajib meemnuhi amanatnya. Dan bertakwalah kepada Tuhannya. Jangan kamu sekali-kali menyembunyikan kesaksian. Barangsiapa yang menyembunyikannya, akan tercoreng dosa dalam hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui akan segala yang kamu lakukan.

9

11

Semua Qirad yang mendatangkan manfaat adalah riba

 

 

 

 

BAB II

20

3

Dan tidak mendapatkan penulis, maka barang tanggungan dapat diterima.                                                                                                                                                                          

21

4

Menjadikan sesuatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ untuk kepercayaan suatu hutang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagian hutang dari benda itu.

21

Menjadikan harta yang bersifat harta sebagai kepecayaan dari suatu hutang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bila hutang tidak dibayar.

23

8

Bila kamu dalam perjalanan dan tidak mendapatkan penulis, barang tanggungan pun bisa diterima. Tetapi kalau masing-masing diantara kamu saling mempercayai, orang yang dipercayai wajib meemnuhi amanatnya. Dan bertakwalah kepada Tuhannya. Jangan kamu sekali-kali menyembunyikan kesaksian. Barangsiapa yang menyembunyikannya, akan tercoreng dosa dalam hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui akan segala yang kamu lakukan.

  23

9

Rasulullah SAW. Pernah membeli makanan pada orang yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau.

25

11

Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh.                                                                                                                             

29

19

Diangkat pena dari tiga hal yaitu : orang tidur sehingga dia bangun, anak kecil sehingga dia dewasa dan orang gila sehingga dia berakan dan sadar.                                                                                                                    

  33

27

Gadai itu tidak menutup akan yang punyanya dari manfaat barang itu, faidahnya yaitu kepunyaan dia dan dia yang wajib memperoleh tanggung jawab segala resikonya ( kerusakan dan biayanya).

 

 

34

30

Gadaian ditunggangi dengan nafkanya jka ia dijadikan jaminan hutang dan air susu diminum airnya dengan nafkahnya jika ia dijadikan jaminan hutang, kepada yang menunggangi dan meminum air susunya harus memberi nafkah.

36

34

Kalau tidak kamu lakukan, ketahuilah Allah dan Rasul-Nya akan mengumumkan perang terhadapmu. Bila kamu bertobat, bagimulah poko hartamu, kamu tidak menganiaya dan teraniaya.

36

35

Kalau orang yang berutang dalam kesukaran, berilah penangguhan sampai masa kelapangan. Kalau kamu sedekahkan saja, itu tindakan yang terpuji bagimu.

 

 

BAB IV

51

1

Bila kamu dalam perjalanan dan tidak mendapatkan penulis, barang tanggungan pun bisa diterima.

 

53

7

Tidak dihalalkan salaf (hutang) diperjualbelikan dan tidak pula ada dua syarat dalam satu transaksi.

54

8

Bila kamu dalam perjalanan dan tidak mendapatkan penulis, barang tanggungan pun bisa diterima.

 

  55

9

Rasulullah pernah membeli makanan pada orang yahudi dan beliau menggadaikan  kepadanya baju besi beliau

58

16

Tetapi, kalau masing-masing di antara kamu mempercayai, orang yang dipercayai wajib memnuhi amanatnya.

59

18

Gadaian itu tidak menutup akan yang punyanya dari manfaat barang tiu, faidahnya kepunyaan dia dan dia wajib mempertanggung jawabkan segala resikonya.

60

20

Jika digadaikan seekor kambing, maka pemegang gadai berhak meminum susu kambing itu sebanyak makanan yang diberikan kepada kambing itu, maka jika berlebihan dari harga makanan, itu termasuk riba.

61

22

Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan melaksanakan takwa. Jangankamu tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.

63

24

Kemadaratan yang lebih berat dihilangkan dengan mengerjakan kemadaratan yang lebih ringan.

64

25

Allah memusnahkan praktek riba dan menumbuhkembangkan sedekah.

64

26

Sedangkan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

68

27

Dan Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan untukmu.

68

28

Allah tidak hendak menyulitkan kamu

69

29

Kamu tidak menganiaya dan teraniaya.

69

30

Tidak boleh membuat kemudaratan dan membalas dengan kemudaratan.

69

31

Kemudaratan yang lebih berat dihilangkan denagn mengerjakan kemudaratan yang lebih ringan.

69

32

Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN II

 

BIOGRAFI ULAMA

 

 

Imam Bukhari

            Nama lengkapnya adalah abu Abdillah Muhammad Ismail ibn Ibrahim ibn Mughirah al-Bukhari. Lahir pada tahun 194 H/ 1910 M. Beliau mempelajari hadis ke Khurasan, Irak, Mesir, dan Syam. Wafat pada tahun 256 H / 870 M di Samarkhan. Karyanya adalah Shahih Bukhari dan hadisnya dipandang shahih.

 

Imam Muslim

            Nama lengkapnya abu Abdillah Muslim Ibn Hajjat ibn Muslim al-Quraisy an-Naisabury. Lahir tahun 206 H dan wafat pada tahun 261 H di Naesaburi.Kitabnya yang terkenal adalah Shahih Muslim , kitab sahih setelah kitab Shahih Bukhari.

 

Ibnu Majah

            Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwaniy Ibnu Majah, lahir pada tahun 207 H dan wafat pada hari selasa, delapan hari sebelum hari raya Idul Fitri tahun 275 H, beliau mengumpulkan 4000 hadis yang terkumpul dalam kitab “Sunan Ibn Majah” dan kitab ini termasuk dalam kitab tujuh.

 

Dr. Wahbah az-Zuhaili

            Beliau adalah gurur besar fiqh dan ushul fiqh pada universitas Damaskus. Beliau seorang ulama yang produktif dalam bidang tulis menulis, di antara karyanya yang terkenal adalah ushul al-Fiqh al-Isla>mi> dan fiqh al-Islam wa Adillatun.

 

As-Sayyid Sabiq

            Beliau salah seorang ulama besar pada universitas al-Azhar Cairo. Beliau adalah teman sejawat dengan ustad Hasan al-Bannan, seorang mursid al-‘Am dari partai Ikhwanul Muslimin di Mesir. Beliau seorang ulama yang mengajarkan ijtihad dan menganjurkan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis, selain itu beliau juga seorang ahli hukum yang menghasilkan banyakkarya, diantaranya yang terkenal “Fiqh as-Sunnah” dan “al-Aqidh al-Islamiyah”.

 

Ahmad Azhar Basyir           

Beliau lahir pada 21 November 1982. Seorang alumnus dari PT IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pernah mendalami bahasa Arab di Universitas Bagdad tahun 1957 sampai 1958. Memperoleh gelar Magister of Art pada Universitas Kairo dalam Dirasah Islam tahun 1965. Pernah mengikuti pendidikan Purna Sarjana di UGM tahun 1971-1972. pernah juga menjadi Lektor di UGM, Dosen luar biasa di UII, UMY dan IAIN Sunan Kalijaga. Pernah menjadi Ketua PP Muhammadiyah periode 1990-1995. Hasil karyanya antar lain Hukum Perdata Islam, Garis Besar system Ekonomi Islam, Hukum Adat Bagi Umat Islam dan Asas-asas Hukum Muamalat.

 

Prof. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy.

            Beliau dilahirkan di lokseumawe (Aceh Utara) dengan nama lengkapnya Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy pada tanggal 10 maret 1904 M. Belaiu pernah mendalami ilmu agama di pondok pesantren di daerah Sumatera kemudian melanjutkan studinya ke Jawa Timur (PT. Al-Irsyad Suarabaya) sejak itu beliau mulai terjun dalam dunia ilmiah, Beliau pernah menjabat dosen dan dekan pada fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Adapun karyanya yang terkenal “ Falsafah hukum Islam”, pengantar “Fiqh Muamalah” dan masih banyak lagi. Beliau wafat pada tahun1975 di Jakarta. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN III

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN IV

 

PEDOMAN WAWANCARA

 

I. Pihak Pemerintah.

  1. Apakah pihak pemerintah mengetahui apabila masyarakat melakukan gadai tanah ?
  2. Apakah pelaksanaan gadai itu dicatat dalam agenda desa ?
  3. Apakah dalam perjanjian gadai tanah tersebut pihak pemerintah diundang untuk menyaksikan ?
  4. Bagaimana akad pelaksanaan gadai tanah yang diketahui oleh pemerintah ?
  5. Menurut landasan hukum apa gadai tanah dilakukan ?
  6. Bila terjadi sengketa tentang gadai tanah, apakah pihak pemerintah dilibatkan ?
  7. Apakah ada barang gadaian digadaikan atau disewakan lagi oleh penerima gadai ?
  8. Apakah pernah terjadi barang gadai selama tujuh tahun belum dikembalikan?

 

II. Tokoh Masyarakat.

  1. Apakah dorongan masyarakat untuk melakukan gadai tanah ?
  2. Bagaimana keadaan ekonomi masyarakat yang melakukan gadai tanah, baik dari pihak penggadai maupun penerima gadai ?
  3. Bagaimana bentuk akad gadai tanah di kecamatan Watang Sidenreng?
  4. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat tentang akad gadai di kecamatan Watang Sidenreng?
  5. Adakah batasan waktu pelaksanaan gadai tanah di kecamatan Watang Sidenreng?
  6. Apa tindakan pihak penggadai dan penerima gadai bila sampai batas waktu yang telah disepakati ?
  7. Bagaimana kedudukan tanah yang digadaikan ?
  8. Hak apa yang dipunyai oleh penggadai dan penerima gadai ?
  9.   Apakah ada barang gadaian digadaikan kembali oleh penerima gadai ?
  10. Apakah ada istilah khusus tentang gadai di kecamatan watang Sidenreng?
  11. Bagaimana Sistem transaksi gadai yang dilakukan di kecamatan Watang Sidenreng?
  12. Dalam melakukan transaksi gadai, para pelaku menggunakan kurs apa?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN V

DAFTAR ANGKET PENELITIAN

I. Untuk Penggadai

  1. Apa yang menjadi dorongan bapak/ibu menggadaikan tanah ?
    1. Kebutuhan yang mendesak
    2. Karena sekedar ingi memenuhi kebutuhan yang tidak mendesak dan tidak perlu
    3. Bagaimana cara menawarkan tanah yang akan digadaikan ?

a. Usaha sendiri                          b. Melalui perantara

  1. Apakah pihak penggadai ketemu langsung dengan penerima gadai ?

a. Ya                                           b. Tidak

  1. Siapa yang melakukan akad pelaksanaan gadai ?

a. Sendiri                                    b. Orang yang dipercaya

  1. Sejak kapan penggadai menerima uang hasil menggadaikan tanah ?
    1. Sejak dilakukan akad
    2. Beberapa hari/bulan setelah dilakukan akad
    3. Apakah pihak penggadai menentukan batasan waktu dalam menggadaikan tanah ?

a. Ya                                           b. Tidak

  1. Sejak kapan penggadai menyerahkan tanah yang digadaikan kepada penerima gadai ?
    1. Sejak dilakukan akad
    2. Beberapa hari/bulan setelah dilakukan akad
    3. Apakah penggadai setujuh dengan sistem gadai yang kursnya sesuai dengan harga gabah?

a. Ya                                           b. Tidak

  1. Apakah gadai yang sesuai dengan Harga gabah menguntungkan penggadai?
    1. Ya                                  b. Tidak
    2. Apakah barang gadai dikelolah oleh penerima gadai?
      1. Ya.                                 b. Tidak

 

II. Untuk Penerima Gadai

  1. Apa yang menjadi doronga bapak/ibu untuk menerima gadai tanah ?
    1. Karena ingin menolong
    2. Karena ingin memanfaatkan tanah
  2. Bagaimana cara menerima tanah gadaian ?

a. Sendiri                                             b. Melalui perantara

  1. Apakah pihak penerima gadai bertemu langsung dengan pihak penggadai dalam transaksi ?

a. Ya                                                    b. Tidak

  1. Siapa yang melakukan akad pelaksanaan gadai tanah ?

a. Sendiri                                             b. Orang yang dipercaya

  1. Sejak kapan penerima gadai menyerahkan uang ?
  2. Apakah penerima gadai menentukan batas waktu dalam transaksi gadai tanah ?
    1. Sejak dilakukan akad
    2. Beberapa hari/bulan setelah dilakukan akad

a. Ya                                                    b. Tidak

  1. Sejak kapan penerima gadai menerimah tanah yang dijadikan barang jaminan ?
    1. Sejak dilakukan akad
    2. Beberapa hari/bulan setelah dilakukan akad
  1. Apakah penerima gadai menentukan kurs yang dilakukan dalam transaksi gadai tanah?
    1. Ya.                                          b. Tidak
  2. Apakah sistem gadai sesuai kurs harga gabah menguntungkan?
    1. Ya                                           b. Tidak

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN VI

CURICULUM VITAE

 

 Nama                          : Supriadi

Tempat Tanggal lahir  : Pangkajene, Sidrap, 25 April 1980

Nama bapak                : H. Muhammad Rais (Alm)

Pekerjaan                     : Guru SMPN 3 Pangkajene Sidrap

Nama Ibu                    : Hj. Pahmiah

Pekerjaan                     : URT

Alamat Asal              : Jl. Sultan Hasanuddin No. 11 Pangkajene Sidrap Sulawesi Selatan 91611

Alamat Yogyakarta     : Jalan Nogomudo No. 181 Gowok, Catur Tunggal, Depok Sleman Yogyakarta

Pendidikan                  : TK PERTIWI Pangkajene, Sidrap lulus tahun 1987

                                      SDN 1 Pangkajene, Sidrap lulus tahun 1993.   

                                      I’dadiyah DDI Mangkoso Barru lulus tahun 1994.

                                      Mts Putra DDI Mangkoso Barru lulus tahun 1997.

                                      MA Putra DDI Mangkoso, Barru, Lulus tahun 2000.

                                      Masuk UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2000.

Organisasi                   : 1. Ketua Gaswes DDI Mangkoso (1997-1998)

2. Wakil Bendahara Umum HMI Komisariat Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. (2001-2002).

3. Ketua Umum HMI Komisariat Syari’ah (2002-2003)

                                      4. Bendahara Umum HMI Cabang Jogjakarta (2004-2005)

                                                  

 

 

 

 


[1](An-Nawa>wi>, S{ah{ih} Muslim Bisyarh an-Nawa>wi>, kitab Fadail, bab Wuju>bun Imsa>lun Ma>qa>luhu Syar’an Du>na Ma>zakaruhu SAW (Mesir: Mat ba>ah Wa Maktabah, 1942), 15 : 118, , Hadis S{ah{ih}} Riwayat Muslim dari ‘Aisyah dari S{abit dari Anas

 

[2]) Muhammad dan Sholikul Hadi,Pegadaian Syari’ah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), hlm 1-3

[3]) Al-Baqarah, (2) : 283

 

[4]) As-Sayyid sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), III : 187.

[5]) Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba Utang Piutang Gada, Cet. Ke-2          (Bandung: al- Ma’arif, 1983), hlm. 50.

 

[6]) Ibid.

 

[7]) Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. Ke-4 (Yogyakarta: Liberty,2000), hlm. 28

[8] ) Ibid, hlm. 31.

[9]) Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam ….. hlm. 56

[10]) Sayyid Sabiq, Fiqh ….. hlm. 188-189.

 

[11]) Al-ha>fiz Ibn Hajar a>l-‘Asqala.ny, Bulu>g al-Mara>m min Adillati al_Ahka>m, (Semarang: Taha Putra t.t.,),hlm. 182 Bab salam, Qirad dan Rahn,Hadis riwayat H{aris bin Abi Usamah dari Ali bin Abi Thalib.

 

[12]) Abu Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Qudamah, al-Mugny Li Ibni Qudaimah (Riyadh : Mahtabaturriyah al-Hadisah, t.t.,), IV: 426.

[13]) Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda,  Cet. Ke-5, (Yogyakarta : Liberty.1974), hlm. 96-97.

 

[14]) As-Sayyid sabiq, fiqh sunah,alih bahasa H.Kamaruddin A. Marzuki, Jilid 12, Cet. Ke-14, (Bandung : PT. Alma’arif, 1987), hlm. 150.

 

[15]) J. Satrio, Hukum Jaminan, Hakm Jaminan Kebendaan, Cet. Ke-4, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 91.

[16]) H. Chuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer Buku Ketiga, Cet. Ke-2,(Jakarta : LSIK, 1997), hlm 61-62

[17]) Ahmad Azhar Basyir,Asas-asas Hukum Muamalah,edisi revisi, (yogyakarta: UII Press 2000), hlm. 15.

[18]) Asjmuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqhiyah (Qawaidul Fiqhiyyah), Cet.ke-4, (Jakarata: Bulan Bintang, 1976), hlm. 44.

[19]) Muhammad dan Sholikul Hadi, Pegadaian …. hlm. 43.

 

[20]) Ibid. hlm. 45.

[21]) Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial,  Cet.ke-8, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998), hlm. 31.

 

[22]) Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Cet. Ke-22, ( Yogyakarta: Andi Offset, 1990),   hlm. 136

[23]) ibid. hlm. 80

[24] Jamal ad-Din Muhammad bin Mukram al-Ansyari, Lisan al-‘Arab, ( Mesir: Dar al-Fikr, t.t ), XVII: 48.

 

[25] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah  ( Beirut: Dar al-Fikr, t.t ), III: 187.

 

[26] Al-Baqarah (2) : 283.

 

[27] As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah… III : 187.

 

[28] Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Quda>mah, al-Mugni Li Ibni Quda>mah, (Riyad: Mahtabaturriyah al-Hadi>sah, t.t), IV :361.

 

[29] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba Utang Piutang Gadai, (Bandung: al-Ma’arif, 1983), hlm: 50.

[30] Ali Fikri, Al-Mu’amalah al-Ma>ddiyyah Wa al-Adabiyah (Mesir: Da>r al-Fikr, t.t), hlm: 215-216

[31] Al-Baqarah (2): 283.

 

[32] Imam al-Bukha>ri,S}ahih al-Bukha>ri bab Fi Rahni Fi al-Hadits (Beirut: Da>r al-fikr, 1891), III: 1115, Hadis riwayat al-Bukhari dari Musaddad dari Ab al-Wahid dari al-A’mas dari Ibrahim.

 

[33] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Yogyakarta: UII Press, 2000),

hlm : 15-16.

[34] H. Asjmuni Abd. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1976), hlm: 42.

 

[35] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh ‘Ala> al- Maza>hib al-Arba’ah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), II : 320.

 

[36] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>my Wa Adillatuhu, (Beirut: Da>r al-Fkr, t.t), V: 183.

 

[37] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry,Kitab al-Fiqh ‘ala> al-Maza>hi>b …., II : 320

[38] Ahmad Azhar Basyir, Asa-asas …., hlm :  65.

 

[39] Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, t.t), hlm: 21-22.

 

[40] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas….., hlm: 68.

[41] Ibid., hlm: 68-70.

[42] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah Bab Talaq al-Ma’tuhu Wa as}-S}agiru wa an-Na>imu (Beirut: Da>r al-Fikr: t.t), I: 629, Hadis no. 651. Hadis riwayat Ibnu Ma>jah dari Ali bin Abi Tha>lib.

 

 

[43] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh…., hlm: 328.

 

[44] Ibid., hlm: 327.

 

[45] Ahmad Azhar Basyir,  Hukum Islam Tentang …, hlm: 53.

 

[46] Abd. Ar-Rahma>n al- Jazi>ry, Kitab al-Fiqh….., hlm : 329

[47] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang ….,  hlm: 53-54.

 

[48] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas …, hlm: 15-16.

[49] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh…, hlm : 330.

[50] Asy-Syaukani, Nail al-Aut}a>r (Beirut: Da>r al-Fkr, t.t), IV: 264. Hadis riwayat asy-Syafi’I danad-Daruquthni dari Ibn Abi Fudaik dari Ibn Abi Zaib dari Ibn Syiha>b dari Ibn al-Musayyab dari Abi Hurairah.

 

[51] Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm: 376.

[52] Ibn Quda>mah, al-Mugni> Li> Ibn Quda>mah, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah al-‘Arabiyyah, t.t), IV: 426.

[53] Ima>m al-Bukha>ry>, S}ahi>h al-Bukha>ry>….., hlm: 116, Hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah.  

 

[54] Rahmat Syafi’I, Konsep Gadai (rahn) dalam Fiqh Islam : Antara Nilai Sosial dan Nilai Komersial, dalam H. Chuzaimah T. Yanggo, HA. Hafiz Anshary AZ (edt) Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku Ketiga (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), hlm: 69.

[55] Ibnu Qudamah, al-Mugny,…, IV: 426.

 

[56] Rahmat Syafi’I, Problematika …, hlm: 79.

 

[57] al-Baqarah (2): 279.

 

[58] al-Baqarah (2): 280.

[59] Badan Perencanaan Pembangunan daerah Kab. Sidrap, Data pokok Pembangunan Daerah Kab. Sidrap 2003, hlm. III – 1.

 

[60] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sidenreng Rappang, Kecamatan Watang Sidenreng dakam angka 2002, (Cetakan Tahun 2003), hlm: ix.

 

[61] Ibid., hlm: 9-10.

 

[62] Ibid., hlm: 14-15.

[63] Ibid., hlm: 38-39.

[64] Ibid., hlm: 17-19.

[65] Ibid., hlm: 35.

[66] Wawancara dengan H. Langka, Kepala Lingkungan 11 EmpagaE pada tanggal 7 Juli 2004

[67] Ibid.

[68] Wawancara dengan H.Suyuti warga masyarakat di kelurahn EmpagaE pada tanggal 10 Juli 2004.

 

[69] Wawancara dengan Muh. Hatta, kepala urusna pemerintahan Kelurahan Sidenreng. Pada tanggal 15 Juli 2004.

 

[70] Wawancara dengan Nurdin tokoh Masyarakat di Kelurahan Sidenrengpada tanggal 12 Juli 2004.

[71] Ibid.

 

[72] Wawancara dengan Namere staf  Kelurahan Sidenreng pada tanggal 20 Juli 2004.

 

[73] Wawancara dengan Wa’ Niku tokoh masayarakat di kelurahan EmpagaE pada tanggal

 8 Juli 2004.

[74] Wawancara dengan Namere Staf Kelurahan Sidenreng pada tanggal 20 Juli 2004

[75] Al- Baqarah (2) : 283.

[76] Ima>m Muhammad ‘Ali Ibn muhammad as-Sauka>ni>, Fath al-Qadir, (Beirut: Da>r al-Kutub  al-‘ilmiyyah 1410 H/1994 M), I: 383.

 

[77] B. Ter Haar, Asas-asas dan susunan hukum adat (ter), cet. Ke-5 (Jakarta: Pradinya Paramita, 1980), hlm: 109.

 

[78] Ibid., hlm: 112.

[79] Ibid., hlm: 113.

 

[80] As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, cet. Ke-4 (Beirut: Da>r al-Fikr 1403 H/1983 M), III

 

[81] Abu> ‘Abadillah Muhammad Ibn Isma>’I>l Ibn Ibra>hi>m al-Muqi>rah al-Bukha>ri>, Sa|hi>h al-Bukha>ri>,(Beirut : Da>r al-fikr, 1401 H/1981 M), III: 110.

[82] Al- Baqarah (2) : 283.

[83] Al-Ima>m al-Bukha>ri> < S{ahi>h al-Bukha>ri>,“bab Fi> Ra>hn al-Ha>dir”,(Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), III : 115, hadis dari Musaddad dari abd. Al-Wahid dari al-A’mas dari Ibrahim.

   

[84] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang riba, utang piutang, gadai, cet. Ke-II (Bandung: Al-Ma’arif, 1973), hlm: 56-9.

[85] Abdurrahman al-Jazi>li>, Kitab al-Fiqh ‘ala> al-Maz|a>hi>b al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), II : 320.

 

[86] Wahbah az-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi wa ‘Adillaah, cet. Ke-3 (Beirut: Da>r al-Fkr, 1989), V : 185.

 

[87] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah, edisirevisi,(Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm: 15.

 

[88] Abdurrahman al-Jazi>ri>, Kitab al-Fiqh…., II : 330.

        

[89] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang…., hlm. 53-54.

[90] al-Baqarah (2) : 283.

 

[91] Wawancara dengan haji Langka P,kepala lingkungan dua kelurahan Empagae pada tanggal 7 Juli 2004.

[92] Asy-Sayukani, Nail al-‘Aut}a>r, ( Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), IV: 264. Hadis riwayat as-Syafi’I dan ad-Daruquthni dari Ibn Abi Fudaik dari Ibn Abi Zaib dari Ibnu Syihab dari Ibnu al-Musayyab dari Abi Hurairah.

 

[93] Ibn Quda>mah,al-Mugni> Li> Ibnu Quda>ma, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah al-‘Arabiyyah, t.t), IX: 426.

 

[94] Asy-Syauka>ni, Nail al-Auta>r, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1973), V: 353. Hadis Daruqutni> dari Abi Hurairah.

 

[95] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang….., hlm: 56-57

[96] Al-Ma>idah (5) : 2.

[97] Ahmad Azhar Basyir,Asas-asas …., hlm: 15.

 

[98] Asmuni Abdurrahman, Kaedah-kaedah fiqh, (Jakarta : Bulan bintang, 1979), hlm: 82

[99] Al-Baqarah (2) : 276.

 

[100] Al-Baqarah (2) : 275.

[101] Al-Baqarah (2) : 185.

 

[102] Al-Ma>idah (5) : 6.

 

[103] al-Baqarah (2) : 279.

 

[104] Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, Kitab al-‘Ahka>Musykom, bab Man bana> Fi> Ma> Yadurru bi> Ja>ri>h (Beirut: Da>r al-fikr, t.t ), II: 784. Hadis dari “Ubaidah bin S{amit.

 

[105] Asmuni Abdurahman, kaedah-kaedah…, hlm: 82.

 

[106] Ibid., hlm: 35.