BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. A.    Latar Belakang Masalah

Hadis yang diyakini sebagai ucapan, perbuatan, ketetapan (taqri<r)[1] dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW merupakan sumber ajaran kedua setelah al‑Qur’an. Ditinjau dari segi periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Semua periwayatan ayat‑ayat al‑Qur’an berlangsung secara mutawatir,[2] sedangkan hadis Nabi diriwayatkan sebagiannya secara mutawatir dan sebagian lainnya diriwayatkan secara ahad [3]. Oleh karenanya, al‑Qur’an memiliki kedudukan qat}’iy al‑wuru>d [4]sedangkan hadis Nabi sebagiannya berkedudukan qat}’iy al‑wuru>d dan sebagian lainnya bahkan yang terbanyak berkedudukan z}anniy al-wuru>d.

Berdasarkan asumsi di atas, maka dilihat dari segi periwayatannya    seluruh al‑Qur’an tidak perlu dilakukan penelitian kembali tentang orisinalitasnya, sedangkan terhadap hadis Nabi SAW khususnya yang termasuk kategori ahad,   maka diperlukan penelitian akan orisinalitasnya.[5] Bertolak dari permasalahan tersebut, maka hadis Nabi SAW sebelum dipahami dan diamalkan, perlu diidentifikasi terlebih dahulu serta diteliti orisinalitasnya dalam rangka kehati‑hatian dalam mengambil hujjah atasnya. Setelah dilakukan pengujian, baru kemudian suatu hadis yang diduga kuat berkualitas sahi<h ditelaah dan  dipahami untuk selanjutnya dapat diamalkan, sebab ada di antara hadis‑hadis yang sahih tersebut yang dapat segera diamalkan (ma’mu>l bih) dengan memahami redaksinya, namun adapula yang tidak segera dapat diamalkan (gair ma’mu>l bih), karenanya menuntut pemahaman yang mendalam dengan memperhatikan latar belakang munculnya hadis (asba>b wurud al‑hadi<s\) serta piranti lainnya. Proses inilah yang dikenal kemudian dengan proses pemahaman hadis atau disebut dengan fiqh al‑hadi<s\.

Sebagaimana umat Islam mengakui bahwa apa yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW yang kemudian dihimpun dalam hadis‑hadis Nabawi merupakan bagian tak terpisahkan dari al‑Qur’an itu sendiri, hal ini disadarikarena salah satu fungsi Nabi Saw adalah menjelaskan al‑Qur’an baik lisani maupun fi’li agar maksud al‑Qur’an dapat dengan segera dipahami dan diamalkan ummatnya. Namun manusia menyadari bahwa persoalan tidak pernah selesai, bahkan    terus   berkembang   sementara   sang   penjelas   (Nabi   SAW)   telah

wafat, oleh karena itu persoalan ini menjadi tantangan bagi ummatnya untuk diselesaikan melalui teknik atau cara‑cara yang dilakukan oleh Nabi SAW agar nilai Islam yang tertuang dalam al-Qur’an tetap relevan hingga akhir zaman, sebagaimana prinsip agama ini yang dikenal dengan sa>1ih 1ikulli zama>n wa maka>n.

Bila ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat ini dihubungkan dengan berbagai kemungkinan persamaan dan perbedaan masyarakat, berarti di dalam ajaran Islam ada ajaran‑ajaran yang berlakunya tidak terikat oleh waktu dan tempat, disamping ada ajaran-­ajaran yang terikat oleh waktu dan tempat tertentu, sehingga di dalam ajaran Islam ada muatan universal, ada pula yang temporal maupun yang lokal.[6]

Menurut petunjuk al-Qur’an Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah untuk semua umat manusia,[7] dan sebagai rahmat bagi seluruh alam[8] (rahmatan li al‑’a<lami<n), artinya kehadiran Nabi Muhammad SAW membawa misi kebajikan dan kerahmatan bagi semua umat manusia dalam segala ruang dan waktu. Di sisi lain, hidup Nabi Muhammad SAW dibatasi oleh ruang dan waktu, dengan demikian apa yang direkam dari kehidupan Nabi Muhammad SAW dalam hadis‑hadis Nabawi memiliki muatan ajaran yang bersifat universal, sekaligus ada muatan temporal dan lokal.[9]

Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa salah satu fungsi Nabi SAW adalah menjelaskan al-Qur’an serta mengejawantahkan Islam melalui ucapan, perbuatan serta perjalanan hidupnya baik dalam kesendiriannya maupun di tengah masyarakat, saat mukim ataupun saat bepergian, saat terjaga maupun pada saat tidur, dalam kehidupan khusus maupun umum, dalam hubungannya kepada Allah ataupun dengan sesama makhluk, dengan orang‑orang terdekat maupun orang‑orang jauh, dengan mereka yang mencintai maupun yang memusuhi, pada masa damai maupun masa perang. saat sehat wal afiat maupun saat menerima musibah.[10]

Hal‑hal di atas itulah yang menuntut umat Islam mempelajari serta memahami sunnah Nabi SAW dengan sebaik­-baiknya, sebagaimana yang telah dicontohkan para sahabat dan generasi tabiin yang secara sungguh‑sungguh berusaha menggali dan mempelajari aktualitas Nabi SAW untuk kemudian mereka amalkan dalam kehidupan sehari‑hari, sehingga dikenallah generasi ini sebagai generasi sebaik-­baik ummat karena mereka mengikuti jejak Nabi SAW demikian pula bagi mereka yang senantiasa mengikuti jalan yang benar tersebut.[11]

Tidak sedikit hadis Nabi yang telah dibukukan oleh para ulama, dan di dalamnya memuat berbagai persoalan yang tak habis‑habisnya untuk diperbincangkan, salah satunya adalah hadis yang memuat tentang larangan Nabi SAW terhadap ummatnya untuk menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y, sementara pada masa sekarang banyak dijumpai dari sebagian umat Islam yang sengaja berlaku nifa>q (munafik) guna mencari kedudukan, pangkat, atau apa saja yang dengan tafsirannya itu mampu melegitimasi pendapatnya demi tujuan pribadi ataupun kelompok, dan hal inilah yang paling dikhawatirkan Nabi SAW.[12] Di sisi lain tafsir­-tafsir al‑Qur’an yang berkembang sampai saat ini, ada di antaranya tafsir yang dikenal dengan sebutan tafsir bi al–ra’y, disamping tafsir bi al- riwayat, lalu bagaimanakah kita mensikapi tafsir bi al-ra’y tersebut.

Guna memecahkan persoalan‑persoalan tersebut, perlu kiranya mempelajari akar polemik di sekitar boleh dan tidaknya menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y yaitu dengan mempelajari lebih jauh dan mendalam tentang hadis “larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y“, dengan harapan tersingkapnya maksud Nabi SAW tersebut sekaligus bentuk‑bentuk real pelarangannya. Salah satu hadis tersebut adalah hadis riwayat al‑Turmudzi:

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهم عَنْهممَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ قَالَ أَبو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Artinya: (Al‑Turmuzi berkata): Mahmud bin Gailan telah menceritakan kepada kami, (Mahmud berkata): Bisyr bin al‑Syariyy menceritakan kepada kami, (Bisyr berkata) : Sufyan menceritakan kepada kami dari ‘Abd al‑A‑’la dari Sa’id bin Jubair dari Ibn ‘Abbas Ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa yang mengatakan tentang (isi) al‑Qur’an dengan tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka” Abu ‘Isa (al-­Turmuzi) berkata: hadis ini hasan sahih.[13]

 

Hadis di atas dipegangi oleh sebagian ulama sebagai dasar penolakan atas tafsir bi al-ra’y, namun sebagian yang lain memahami hadis tersebutsebagai larangan menafsirkan dengan hawa nafsu dan bukan penafsiran melalui kemampuan ijtihad yang melahirkan tafsir bi al-ra’y yang dikenal saat ini

Tentang tafsir bi al-ra’y, ulama juga berselisih pendapat hingga mengkristal pada dua model tafsir bi al-­ra’y, yaitu tafsir bi al-ra’y yang mahmu>d (terpuji) dan tafsir bi al-ra’y yang maz}mu>m (tercela).[14] Terlepas dari klasifikasi tersebut, kata          al-ra’y itulah yang menjadi kata kunci dari perdebatan di atas.

Kata al‑ra’y sendiri dimaknai berbeda‑beda oleh para ulama, sebagian memaknai al-ra’y dalam konteks hadis di atas sebagai. “ijtihad”, ada pula yang memaknainya sebagai “penafsiran tanpa menggunakan il‑mu”, artinya tidak didasarkan pada dalil‑dalil syara’, sebagian yang lain memaknainya sebagai “hawa nafsu”. Mereka yang memaknai al‑ra’y dengan hawa nafsu inilah yang memfatwakan bahwa barang siapa berbicara mengenai al‑Qur’an menurut hawa nafsunya dan tidak memberikan perhatian kepada keterangan yang telah disampaikan kaum salaf, maka sekalipun pendapatnya itu benar, ia tetap dianggap sebagai perbuatan yang keliru, hal tersebut disebabkan karena telah menentukan makna ayat al‑Qur’an tanpa memperhatikan kaedah‑kaedah yang ditentukan oleh ahli hadis.[15]

Bertolak dari permasalahan di atas, maka sangat urgen untuk melakukan pendalaman atas hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y, mengingat banyaknya tafsir al‑qur’an yang berkembang hingga saat ini dikelompokkan pada kategori tafsir bi al-ra’y, apakah kemudian penafsiran‑penafsiran tersebut jatuh pada kelompok yang diancam Nabi atau tidak.

  1. B.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah dalam penelitlan skripi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah makna dari hadis‑hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y?
  2. Bagaimanakah kedudukan tafsir bial-ra’y dalam al-Qur’an?
  3. Kapankah hadis-hadis itu melarang menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y?

 

  1. C.    Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Berdasarkan    rumusan masalah di atas, penulisan skripsi ini bertujuan untuk:

  1. Untuk mengetahui makna hadis‑hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y
  2. Untuk mengetahui kedudukan tafsir bi al-ra’ydalam sumber al-Qur’an
  3. Untuk mengetahui batasan larangan hadis tersebut.

Adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini adalah:

 

  1. Menambah wawasan serta memperkaya hazanah intelektual, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya
  2. Menambah kepustakaan bagi Institut, Fakultas dan Jurusan pada khususnya.
  3. Untuk melengkapi sebagian dari syarat‑syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu dalam bidang ilmu Tafsir dan Hadis pada Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ka1ijaga.

 

  1. D.    Telaah Pustaka

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, penulis menemukan beberapa literatur yang berhubungan dengan masalah yang dibahas, antara lain:

DaIam kitab Tuhfah al‑Ahwaz}i< Syarh Jami<‘ al-Turmuz}i<, pengarang kitab ini menjelaskan cukup panjang tentang menafsirkan al-Qur’an dengan al‑ra’y,[16] hanya saja pembahasan di dalamnya terfokus pada perdebatan hadis tersebut ansich, sedangkan aspek yang terkait dengan tafsir bi al-ra’y sebagai sisi lain dari tafsir bi al­‑riwa<yah masih ada peluang untuk diperbincangkan lagi.

Dalam kitab ‘Aun al‑Ma’bu>d Syarh Sunan Abi< Dawu>d, Juga secara ringkas telah menjelaskan tentang larangan menafsirkan al‑Qur’an dengan al‑ra’y yaitu dalam bab ilmu.[17]

Kemudian buku karya Fahd bin ‘Abd al‑Rahman al‑Rumi yang berjudul Dira>sah fi< ‘Ulu>m al‑Qur’a>n, di dalamnya menjelaskan persoalan yang ada dalam lingkup ilmu‑ilmu al‑Qur’an termasuk di dalamnya sekilas tentang manafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y yang disimpulkan oleh penulis kitab ini sebagai kelompok tafsir al-Qur’an bi al-ra’y yang maz}u>m.[18]

Dalamkitab Ittiha>f al‑Sadah al‑Muttaqi<n Syarh Ih}ya> ‘Ulu>m al‑Di<n yangsebenarnya kitab ini lebih fokus pada hal‑hal yang terkait dengan ‘Ubudiyah, namun di dalamnya juga diuraikan cukup panjang tentang tafsir al-Qur’an bi al-ra’y juga tentang aktifitas menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y.[19]

Kemudian dalam kitab al‑Tafsi<r wa al-Mufassiru>n, al‑Zahabi menguraikan tentang apa itu tafsir, ahli tafsir karya‑karya tafsir dan lainnya, termasuk di dalamnya tentang tafsir bi al-ra’y yang diperbolehkan maupun tafsir bi al-ra’y yang tidak diperbolehkan.[20]

Ahmad al‑Syirbasi dalam bukunya yang telah diIndonesiakan dengan judul Sejarah Tafsir al-Qur’an, juga menguraikan tentang kekhawatirannya atas penafsiran al‑Qur’ an dikarenakan adanya nash hadis tentang larangan menafsirkan al‑Qur’an dengan al‑ra’y, namun pada sisi lain ia juga menjelaskan tentang tafsir bi al‑’aql dan tafsir bi al‑naql.[21]

Dalam kitab yang lain yaitu usul al‑Tafsi<r wa Qawa>’iduhu, Syaikh Khalid bin          ‘Abd al‑Rahman al-Fakki menjelaskan dengan panjang lebar mengenai pertumbuhan tafsir, kaedah‑kaedah penafsiran sampai pada tafsir bi al-ra’y juga tentang menafsirkan al‑Qur’an dengan al‑ra’y.[22]

Dari beberapa penelusuran pustaka tersebut di atas, penulis masih memiliki peluang untuk mengkaji secara khusus dan mendalam terhadap hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y serta korelasinya dengan fenomena tafsir bi al-ra’y yang berkembang hingga saat ini. Oleh karena itu perlu kiranya menguji kembali pemahaman dari larangan asasi pada hadis tersebut.

 

  1. E.    Metode Penelitian

Dalam rangka menemukan jawaban atas persoalan-­persoalan di atas, penulis hendak mengungkap dengan langkah‑langkah metodologis sebagai berikut;

  1. Penelitian skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan, karena data‑data penelitian ini hampir keseluruhannya adalah data‑data kepustakaan
  2. Karena fokus penelitian ini ada pada hadis Nabi sebagai kunci persoalan, maka sumber primer penelitian ini adalah kitab‑kitab hadis Nabi, dan karena banyaknya kitab hadis maka penulis mengambil sample hadis secara purposed yaitu kitab‑kitab hadis yang dianggap lebih kuat kehujjahannya, sehingga proses uji orisinalitasnya tidak perlu detail.
  3. Adapun sumber‑sumber sekunder yang dapat digunakan dalam memahami hadis secara tekstual maupun kontekstual, maka digunakanlah kitab‑kitab syarh hadis juga kitab‑kitab yang terkait dengan perdebatan tafsir al‑Qur’an bi al-ra’y.
  4. Pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi, yaitu metode pengumpulan data yang bersifat dokumenter.[23] Dalam hal ini penghimpunan data dilakukan dari perpustakaan atau tempat yang menyimpan dokumen, setelah terkumpul, diklasifikasikan lalu dianalisis.
  5. Analisis data dilakukan melalui metode deduktif yaitu melalui penghimpunan data yang masih umum dinterpretasikan guna mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus.[24] Dalam menganalisa data tersebut penulis dibantu oleh metode pemahaman hadis Syuhudi Ismail yang di dalamnya menekankan pada pemilihan makna yang tepat, artinya, mungkin saja sebuah hadis dalam kondisi tertentu lebih tepat dipahami secara tersurat (tekstual), sedang hadis tertentu lainnya lebih tepat dipahami secara tersirat (kontekstual).
  6. Penerapan pemahaman hadis secara tekstual dilakukan bila hadis tersebut dihubungkan dengan latar belakang terjadinya tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis tersebut, sebaliknya, pemahaman secara kontekstual dilakukan bila teks hadis tersebut ada petunjuk yang kuat yang mengharuskannya dipahami tidak sebagaimana yang tersurat (tekstual).[25]

 

  1. F.     Sistematika Pembahasan

Secara garis besar penyusunan skripsi ini dibagi ke dalam tiga bagian yaitu pendahuluan, isi dan penutup. Ketiga bagian tersebut saling terkait atau satu bagian yang integralistis.

Adapun sistematika secara rinci sebagai berikut: Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, telaah pustaka,       metodologi penelitian serta sistematika pembahasan. Bab II berisi pengantar tentang problematika pemahaman, dan metodologi pemahaman hadis Nabi. Bab III berisi materi hadis tentang larangan menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y berikut sekilas kualitasnya. Bab IV berisi pemahaman‑pemahaman makna dari hadis sekaligus perdebatan di seputar otoritas tafsir bi al­ra’y dan kecenderungan ulama di dalamnya. Bab V berisi kesimpulan saran dan penutup.

BAB II

PEMAHAMAN HADIS

 

A.  Problematika Pemahaman Hadis

Keberadaan Hadis Nabi SAW sebagai sumber hukum Islam setelah al‑Qur’an telah disepakati oleh sebagian besar umat Islam. Oleh karena itu kedudukan hadis Nabi SAW sangat strategis dalam kehidupan umat Islam, ia memiliki otoritas tertinggi setelah al‑Qur’an karena di dalamnya memuat sejumlah sunnah Nabi SAW yang menuntut umat Islam menggunakan atau mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari‑hari.

Pada mulanya sunnah Nabi SAW diikuti secara langsung oleh sahabat‑sahabatnya baik yang mendengar secara langsung maupun melalui sistem, periwayatan yang pada umumnya masih berlangsung secara safahi (lisan), Kemudian berangsur-angsur atsar Nabi SAW ini dikhawatirkan memudar bahkan menjadikan hilangnya sunnah Nabi SAW yaitu seiring dengan mulai sedikitnya penghafal hadis, satu demi satu sahabat mulai wafat berikut generasi tabi’in yang memeliharanya juga semakin berkurang, terlebih berkecamuknya politik yang mengakibatkan munculnya hadis-hadis palsu dan sebagainya. Kondisi inilah yang dipikirkan Umar bin `Abd al‑`Aziz (w. 101) untuk melakukan kebijakan strategis yang terkait dengan kekuasaannya yang dibarengi kecintaan akan ilmu agama, yaitu penghimpunan hadis‑hadis Nabi SAW.

Adanya selisih waktu yang cukup panjang antara periwayatan hadis secara lisan dengan penghimpunan serta pembukuan hadis secara resmi memunculkan kesangsian atas otentisitas hadis sebagai suatu berita yang benar‑benar bersumber dari Nabi SAW, lebih‑lebih di antara periwayatan dengan masa pembukuan tersebut telah terjadi berbagai konflik serta pertikaian yang terkait dengan ideologi, politik dan sebagainya.

Hal itulah yang menjadikan pengkajian   terhadap keotentikan suatu hadis menjadi bagian tak terpisahkan dari studi kritis terhadap hadis Nabi SAW. Problem tersebut tidak terhenti begitu saja saat telah dipastikan hadisnya sahi<h, sebab rentang waktu yang panjang itu pula yang menyebabkan proses pemahaman terhadap suatu hadis ada kalanya mudah dan segera dapat dipraktekkan namun sebagian yang lain dipahami kurang tepat, sehingga status hadis yang sahi<h adakalanya ma’mu>l bihadakalanya gair ma’mu>l bih. Hal inilah yang mendorong lahirnya ilmu ma’a>ni al‑hadi<s[26]guna menjembatani teks yang hadir padamasa Nabi SAW hidup dengan realitas kehidupan umatnya yang terus ada sampai sekarang dan dalam ruang yang berbeda.

Realita juga menunjukkan bahwa tidak semua sanad hadis yang berkualitas sahi<h, secara otomatis matannya juga berkualitas sahi<h. Syuhudi Ismail mengemukakan beberapa kemungkinan sebab di antaranya:

  1. Karena telah terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian matn umpamanya  karena kesalahan  dalam   menggunakan  pendekatan ketika meneliti matn yang bersangkutan.
  2. Karena telah terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian sanad, atau
  3. Karena matan hadis yang bersangkutan telah mengalami periwayatan secara makna yang ternyata mengalami kesalahpahaman.

Memperhatikan kemungkinan terjadinya kesalahan yang terjadi di atas, maka penelitian ulang terhadap sanad dan matan hadis tidak hanya bersifat komfirmatif semata, melainkan perlu dan penting.[27]

Pada aspek isi hadis, yang dipahami sahabat dari aktualitas diri Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan maupun hal‑hal lain yang bersumber darinya‑ sarat akan kemampuan dan daya tangkap sahabat, ada yang berusaha menggambarkan secara detail yaitu berikut dengan setting munculnya hadis (asba>b al-Wuru>d al‑Hadi<s\), ada pula yang tidak (hanya menuturkan essensinya saja), sehingga bagi generasi selanjutnya mengalami kesulitan bahkan kesalahan di dalam memahami maksud hadis yang sebenarnya.

Terlebih suatu aktifitas Nabi SAW, ada kalanya disaksikan oleh perorangan, adakalanya beberapa orang, terkadang dari beberapa orang tersebut berlangsung secara bersamaan, ada kalanya berlangsug dalam waktu yang berbeda dengan situasi dan kondisi yang berbeda, dian-                                                                                                                                                                                                                                                                                               taranya ada yang menjaga periwayatan secara lafz}i adakalanya cukup memahami isi dan dibahasakan sendiri oleh sahabat. Hal ini pulalah yang memunculkan ragam redaksi hadis yang tak jarang antara satu redaksi hadis dengan redaksi hadis lainnya dalam satu persoalan berbeda bahkan ada yang saling bertolak belakang (mukhtalaf).

Atas dasar hal tersebut di atas, umat Islam dituntut untuk kritis dalam mengkaji serta memahami suatu hadis, tanpa upaya kritis tersebut hanya akan memunculkan selisih paham yang sudah barang tentu akan menumbuhkan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri.

 

B. Metodologi Pemahaman Hadis

Sebagaimana diuraikan dalam problematika pemahaman hadis di atas, ulama yang konsen dalam bidang kajian hadis berusaha untuk memberikan teknik‑teknik berinteraksi dengan hadis Nabi SAW. Dalam sub bahasan ini akan dikemukakan beberapa metode yang dilahirkan olehbeberapa tokoh kontemporer yang nantinya dapat digunakan sebagai pisau analisis dari penelitian skripsi ini, di antaranya  adalah  model  metode pemahaman yang disistematisasikan Yusuf Qardhawi dan Syuhudi Ismail.

 

  1. Yusuf Qardhawi

Menurutnya, hadis Nabi SAW memiliki kedudukan yang penting dalam ajaran Islam, karenanya umat harus melihatnya melalui metode yang tepat yaitu bingkai Ajaran Islam yang menyeluruh (komprehensip), keseimbangan dan memudahkan.[28] Karenanya pula dalam, memahami sunnah Nabi melalui hadis‑hadisnya tersebut harus menghindarkan diri dari upaya pemahaman atau penafsiran yang ekstrim, tanpa dasar atau dengan pengalihan (manipulasi).[29]

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka seseorang yang hendak memahami hadis haruslah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

  1. Memahami al‑Sunnah dengan berpedoman pada al‑Qur’an.[30] Untuk memahami al‑Sunnah dengan benar, jauh dari penyimpangan, maka, salah satu bentuk pentakwilan terhadap hadis haruslah dilakukan dibawah naungan al‑Qur’an serta dalam lingkup orientasi rabbani yang benar dan adil. Sebagaimana tertuang dalam ayat al­-Qur’an:
وتمت كلمة ربك صدقا وعدلا لا مبدل لكلماته وهو السميع العليم

Pada prinsipnya al‑Sunnah dengan al‑Qur’an itu tidak pernah bertentangan, bila hal itu terjadi kemungkinan salah di dalam memahami al‑Sunnah itu sendiri.

 

  1. Mengumpulkan hadis‑hadis dalam satu topik[31]

Hendaknya hadis‑hadis tersebut dikumpulkan dalam satu topik, sehingga seluruh model hadis dapat diperhatikan, sekiranya ada yang mutasya>bih dikembalikan pada yang muh}kam,bila ada yang mut}laq dapat dihadapkan dengan yang muqayyad, yang `a>m dapat ditafsirkan oleh yangkha>s, sehingga satu sama lain       saling melengkapi dan memudahkan pengkaji mengkonstruknya.

 

  1. Memadukan atau mentarjih antara hadis‑hadis yang kontradiktif.[32]

Prinsip umum dan yang paling asal bahwa nash‑nash syari’ah (al‑Qur’an dengan al‑Qur’an, al‑Qur’an dengan hadis, hadis dengan hadis) tidak mengandung kontradiksi, sebab kedua‑duanya bersumber dari syari’ (pembuat syari’at yaitu Allah Zat Yang Maha Benar)

 

  1. Memahami hadis dengan  mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisinya ketika diucapkan serta tujuannya.[33]

Hal tersebut didasarkan bahwa suatu ungkapan (lebih‑lebih yang mengandung     muatan            hukum) sangat dipengaruhi oleh `illah tertentu, sehingga hukum itu ditetapkan karena adanya `illah tersebut, demikian pula tidak ditetapkan ketika hilang `illah­nya.

 

  1. Membedakan antara sarana yang berubah‑ubah dan sasaran yang tetap.[34]

Salah satu kecerobohan umat bila memahami suatu hadis, dengan mencampuradukkan antar sasaran dengan sarana, sebagian melihat kemutlakan sarana mengabaikan sasarannya. Sehingga menampilkan sosok kehidupan Nabi yang tidak lagi relevan dalam konteks kekinian (perkembangan peradaban dengan sarana dan prasarananya yang jauh berbeda dengan masa Nabi)

  1. Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat majaz dalam memahami hadis Nabi.[35]

Nabi SAW hidup di tengah masyarakat Arab yang sadar akan nilai seni, beliau dikenal menguasai balagah (ilmu retorika), karenanya banyak di antara ungkapan itu yang sarat akan makna‑makna majaz (kiasan, metafor) disamping ungkapan haqiqi (sebenarnya), karenanya umat dalam memahami hadis juga harus mampu membedakan ungkapan beliau yang sarat akan makna majaz  (kiasan)

 

  1. Membedakan antara hadis yang memuat alam gaib dengan alam yang kasat mata.[36]

Di antara penjelasan Nabi SAW terkait dengan alam gaib sebagai bagian dari keimanan umat Islam., seperti Allah, Malaikat, surga neraka dan sejenisnya. Tentang hal ini diperlukan kearifan memahaminya, khususnya bila hadis itu sahi<h, makasekiranya bertentangan dengan kemampuan akal, tidak tergesa diklaim da’i<f, karena boleh jadi ketidak mampuan akal dalam memahaminya.

 

  1. Memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis.[37]

Ungkapan bahasa suatu masyarakat memiliki cakupan makna           tersendiri (makna konotasi) yang mungkin berbeda dengan        ungkapan yang sama pada masyarakat yang berbeda,            karenanya harus hati‑hati dalam memahami kata‑kata konotatif tersebut

 

  1. Syuhudi Ismail

Menurut Syuhudi Ismail, al‑Qur’an telah menjelaskan fungsi serta tugas Nabi Muhammad, baik sebagai rahmatan li al‑‘a>lami<n, juga sebagai manusia biasa. Oleh karenanya apa yang lahir dari ekspresi Nabi SAW, disamping memiliki muatan universal, pada saat yang sama, ekspresi tersebut juga muncul dari diri Muhammad sebagai manusia biasa yang hidup pada konteks waktu dan wilayah yang terbatas.

Beliau juga hidup bersama yang lain (berinteraksi) baik sebagai keluarga, tetangga, kepala negara, da`i dan sebagainya, sehingga kompleksitas diri yang integral dalam dirinya turut mewarnai apa yang terlahir dari aktualisasi hidupnya.

Berdasarkan argumen itulah maka hadis Nabi sarat akan nilai universal, temporal dan lokal, pada sisi lain sarat akan fungsi beliau sebagai Rasul, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, pribadi dan lainnya. Hal ini pulalah yang harus diperhatikan ketika memahami hadis tersebut.[38]

Syuhudi Ismail juga menjelaskan bahwa apa yang terekam dari        aktualisasi Nabi yang dikenal kemudian dengan hadis‑hadis             Nabawi merupakan teks‑teks yang kemudian dapat dipahami dari makna yang tersurat, tetapi sekaligus dapat dipahami pada konteks apa teks tersebut muncul. Itulah sebabnya, ada beberapa hadis yang tepat ketika         dipahami secara teks, tetapi ada pula yang kurang tepat kalau tidak       dipahami konteksnya. Hal inilah yang melahirkan pemahaman tekstual dan kontekstual.[39]

Lebih lanjut Syuhudi  memetakan bentuk matan Hadis yang menuntut cara pemahaman yang berbeda‑beda masing-masing bentuk tersebut, di antaranya berbentuk kalimat pendek yang padat makna (Jawa<mi’ al‑Kala>m), bentuk tamsil, bentuk ungkapan simbolik, bentuk dialog, dan ungkapan analogi.[40]

Peta lainnya adalah memahami hadis berdasarkan peran dan fungsi Muhammad, apakah sebagai Rasulullah, pemimpin negara, pribadi dan sebagainya.[41]Peta lainnya adalah petunjuk hadis Nabi SAW yang dibubungkan dengan sebab yang mengiringi baik secara langsung tergambar dalam hadis maupun tidak, baik sebab khusus ataupun umum.[42]

 

Dan terakhir Syuhudi memberikan teknik penyelesaian dalam memahami hadis‑hadis yang tampak saling bertentangan.[43] Hadis tersebut dinilai ikhtila>f (dipertentangkan) bila memiliki kualitas yang setara sementara redaksinya bertolak belakang, oleh karena itu penelitian terhadap sanad menjadi penting sebelum diklaim hadis itu ikhtila>f.

Syuhudi mengemukakan beberapa upaya ulama sebelumnya dalam menyelesaiakn hadis‑hadis yang mukhtalaf tersebut, antara lain:[44]

  1. al‑Tarji<h (meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat)
  2. al-Jam’u a1‑Taufi<q atau al‑Talfi<q,  yakni kedua hadis yang tampak bertentangan dikompromiskan, atau sama­-sama diamalkan sesuai konteksnya)
  3. al‑Na>sikh wa al‑Mansu>kh (petunjuk dalam hadis yang satu dinyatakan sebagai “penghapus” dan yang lainnya sebagai “yang dihapus”)
  4. al‑Tauqi<f (“menunggu” sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan.

Dari beberapa model penyelesaian tersebut antara ulama satu dengan ulama lainnya menggunakan tolok ukur serta prioritas yang berbeda, ada yang mendahulukan al-Jam’u, ada yang mendahulukan al‑Tarji<h, ada  pula yang mendahulukan al‑Na>sikh wa al‑Mansu>khdiatas cara yang lainnya.

Upaya ini dilakukan ulama untuk meyakinkankan bahwa pada dasarnya dalam hadis‑hadis itu tidak ada pertentangan, kalaupun. ada perbedaan redaksi yang seolah bertentangan, boleh jadi karena tidak memahami konteks masing‑masing, atau sejarah atau kapan hadis itu muncul.

BAB III

HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN DENGAN AL-RA’Y

 

Redaksi Hadis

Hadis-hadis tentang larangan menafsirkan al‑Qur’an dengan al‑ra’y yang sering dijadikan landasan ulama ketika membahas persoalan ini adalah intinya berbunyi sebagai berikut:

مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

 

Hadis dengan substansi yang hampir sama dengan muatan redaksi hadis di atas cukup banyak, oleh karena itu penelitian ini hanya memfokuskan kepada beberapa redaksi hadis yang memungkinkan memuat maksud yang agak berbeda. Pemilihan secara purposed ini juga dimaksudkan untuk memfokuskan bahasan pada aspek pemahaman materi hadis bukan semata‑mata aspek sanad hadis, sekalipun aspek yang terakhir ini menjadi bagian tak terpisahkan dari hadis itu sendiri.

Berdasarkan penelusuran kata man qa>la fi< al‑Qur’a>n, fi< kita>billa>h, bira’yihi, bigair ‘ilm dan yang setara dengannya melalui kitab al‑Mu’jam karya A.J. Wensinck[45], peneliti mendapati beberapa hadis dan akan memaparkan 4 model hadis tersebut antara lain:

  1. Inti hadis ”siapa yang menyatakan sesuatu tentang al‑Qur’an dengan ra’yu‑nya maka hendaklah ia menempati tempat duduk dari api neraka”, redaksi hadis selengkapnya sebagai berikut:

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ عَمْرٍو الْكَلْبِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اتَّقُوا الْحَدِيثَ عَنِّي إِلَّا مَا عَلِمْتُمْ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ قَالَ أَبو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ (الترمذى)

(al‑Turmuzi berkata): Sufya>n bin Waki<’ menceritakan kepada kami, (Sufyan berkata): Suwaid bin `Amr al-­Kalbi menceritakan kepada kami, (Suwaid berkata): Abu `Awa>nah menceritakan kepada kami dari `Abd al‑A`la> dari Sa`id bin Jubair dari Ibn `Abbas dari Nabi Saw, beliau bersabda; takutlah kalian (hati‑hati dalam memegangi) hadis‑hadis dariku kecuali yang benar‑benar telah aku ajarkan kepada kalian, barangsiapa berbohong atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari api neraka, siapa yang mengatakan sesuatu tentang al‑Qur’an dengan ra’yu‑nya maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka[46]

 

  1. Inti Hadis “siapa yang menyatakan sesuatu tentang al‑Qur’an tanpa landasan ilmu maka hendaklah ia menempati tempat duduk dari api neraka” redaksi hadis selengkapnya sebagai berikut:

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهم عَنْهممَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ قَالَ أَبمو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيح ٌ (الترمذى)

(Al‑Turmuzi berkata): Mahmud bin Gaila>n telah menceritakan kepada kami, (Mahmud berkata): Bisyr bin al‑Syariy menceritakan kepada kami, (Bisyr berkata): Sufya>n menceritakan kepada kami dari `Abd al‑A`la> dari Sa`id bin Jubair dari Ibn `Abba>s Ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa yang mengatakan tentang (isi) al‑Qur’an dengan tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka” Abu `Isa (al‑Turmuzi) berkata: hadis ini h}asan s}ah}i<h}[47]

 

 

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى الثَّعْلَبِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (احمد)

(Ahmad berkata): Waki` telah menceritakan kepada kami, (Waki` berkata): Sufya>n telah menceritakan kepada kami dari `Abd al‑A`la> al‑Sa`labi dari Sa`id bin Jubair dari Ibn `Abba>s Ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa yang mengatakan tentang (isi) al‑Qur’an dengan tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka.[48]

 

حَدَّثَنَا مُؤَمَّلٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (احمد)

(Ahmad berkata): Mu`ammal telah menceritakan kepada kami, (Mu`ammal berkata): Sufya>n telah menceritakan kepada kami, (Sufya>n berkata): `Abd al‑A`la al‑ telah menceritakan dari Sa`id bin Jubair dari Ibn ‘Abba>s Ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa yang mengatakan tentang (isi) al‑Qur’an dengan tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka.[49]

 

  1. Inti hadis “siapa yang menyatakan kebohongan tentang al‑Qur’an dengan ra’yu-nya maka hendaklah ia menempati tempat duduk dari api neraka”, redaksi hadis selengkapnya sebagai berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّقُوا الْحَدِيثَ عَنِّي إِلَّا مَا عَلِمْتُمْ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ كَذَبَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارَ (احمد)

(Ahmad berkata): Abu al‑Walid telah menceritakan kepada kami, (Abu al‑Walid berkata): Abu `Awa>nah telah menceritakan kepada kami dari `Abd al‑A`la> dari Sa`id bin Jubair dari Ibn ‘Abba>s Ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: takutlah kalian (hati‑hati) terhadap hadis-hadis dariku kecuali yang benar‑benar telah aku ajarkan kepada kalian, karena sesungguhnya siapa yang berbohong atas namaku secara sengaja maka hendaklah ia menempati tempat duduk dari api neraka dan siapa yang berbohong tentang (isi) al-­Qur’an dengan tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka.[50]

 

حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى الثَّعْلَبِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اتَّقُوا الْحَدِيثَ عَنِّي إِلَّا مَا عَلِمْتُمْ قَالَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَى الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (احمد)

(Ahmad berkata): `Affa>n telah menceritakan kepada kami, (`Affa>n berkata): Abu `Awa>nah telah menceritakan kepada kami, (Abu `Awa>nah berkata); `Abd al‑A`la> al‑Sa`labi telah menceritakan kepada kami dari Sa`id bin Jubair dari Ibn `Abba>s Ra. dari Rasulillah SAW, beliau bersabda: takutlah kalian (hati‑hati) terhadap hadis‑hadis dariku kecuali yang benar‑benar telah aku ajarkan kepada kalian, beliau bersabda: siapa yang berbohong atas al-­Qur’an dengan tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka.[51]

 

  1. Inti hadis “siapa yang menyatakan sesuatu tentang al‑Qur’an dengan ra’yu‑nya maka bila benarpun ia telah salah”, redaksi hadis selengkapnya sebagai berikut:

حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ هِلَالٍ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَهُوَ ابْنُ أَبِي حَزْمٍ أَخُو حَزْمٍ الْقُطَعِيِّ حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ الْجَوْنِيُّ عَنْ جُنْدَبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ قَالَ أَبمو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ (الترمذى)

 

(al‑Turmuzi berkata): `Abd bin Humaid telah menceritakan kepada kami (`Ubaid berkata): H{abba>n bin Hila>l telah menceritakan kepada kami, (H{abba>n berkata): Suhail bin `Abdillah yaitu Ibn Abi Hazm saudara  dari Hazm al‑Quta`iy telah menceritakan kepada kami, (Suhail berkata): Abu `Imran al‑Jauni telah menceritakan kepada kami dari Jundub bin `Abdillah, ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: siapa menyatakan, tentang (isi) kitab Allah `Azza wa Jalla dengan ra’yu‑nya lalu benar (hasilnya), maka sungguh ia telah bersalah. Abu `Isa al‑Turmuzi berkata: ini hadis garib[52]

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَاقَ الْمُقْرِئُ الْحَضْرَمِيُّ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ مِهْرَانَ أَخِي حَزْمٍ الْقُطَعِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ عَنْ جُنْدُبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ (ابو داود)

 

(Abu Dawud berkata): `Abdulla>h bin Muh}ammad bin Yahya telah menceritakan kepada kami. (`Abdullah berkata): Ya`qub bin Ish}a>q al‑Muqri’ al‑Hadrami telah menceritakan kepada kami, (Ya`qub berkata): Suhail bin Mihran sudara dari Hazm al‑Quta`iy telah menceritakan kepada kami, (Suhail berkata): Abu `Imran telah menceritakan kepada kami dari Jundub, ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: siapa menyatakan tentang (isi) kitab Allah `Azza wa Jalla dengan ra’yu‑nya lalu benar (hasilnya), maka sungguh ia telah bersalah.[53]

 

Nilai Hadis

Hadis‑hadis diatas secara umum bersumber dari dua orang sahabat, model 1, 2 dan 3 bersumber dari Ibn `Abbas, sedangkan model 4 bersumber dari Jundub, artinya hadis‑hadis di atas diriwayatkan oleh orang perorang (ah}ad) atau tidak sampai pada derajat mutawatir, oleh karena itu meneliti sejauh mana kualitasnya menjadi penting guna digunakannya sebagai hujjah.

Berikut gambaran skematis jalur periwayatan hadis no 1‑4

 

 

 

 

   
   
 
   
 
   
 
 

التررمذى

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hadis no 2

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hadis no 3

           

 

 

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hadis no 4

 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pada hadis no 1, 2 dan 3 keseluruhannya bersumber dari Ibn `Abbas, yang kemudian ditransmisikan kepada Sa`id bin Jubair, lalu kepada `Abd al‑A`la, melalui `Abd al‑A`la inilah bercabang kepada Sufyan dan Abu `Awanah. Beberapa rawi yang meriwayatkan dari Sufyan antara lain Waki` dan Muammal sebagaimana di‑takhri<j Ahmad, sementara yang meriwayatkan dariSufyan juga yang di‑takhri<j al-­Turmuzi adalah Bisyr bin al‑Sariyy melalui Mahmud bin Gailan. Sementara rawi yang meriwayatkan dari Abu `Awanah antara lain Suwaid bin `Amr yang di‑takhrij al‑Turmuzi melalui Sufyan bin Waki`, rawi lainnya adalah (yang meriwayatkan dari Abu `Awanah) Abu al‑Walid dan `Affan yang di‑takhrij Ahmadbin Hanbal.

Sedangkan pada hadis 4 yang ditakhri<jal‑Turmudzi dari `Abd bin Humaid dari Habban bin Hilal dari Suhail dari Abu `Imran al‑Jauni dari Jundub bin `Abdillah. Yang lainnya di‑takhri<j Abu Dawud melalui `Abdullah bin Muhammad bin Yahya dari Ya`qub bin Ishaq al‑Hadrami dari Suhail dengan jalur yang sama dengan jalur sanad al­-Turmuzi. Tentang kualitas masing‑masing rawi tersebut dapat dilihat dalam informasi sepintas para rawi berikut ini:

 

  1. Ibn `Abba>s[54]

Nama lengkapnya adalah `Abdulla>h bin `Abba>s bin `Abd al‑Mut}alib al‑Hasyimi, anak laki‑laki dari paman Nabi Muhammad SAW, ia dikenal dengan habr dan bahr (tinta dan lautan) karena banyaknya ilmu Ibn `Abba>s ini, ia wafat pada tahun 69 H ada juga yang menyatakan tahun 70 H.

Ia banyak meriwayatkan hadis dari Nabi Muhamad Saw, juga dari ayahnya, ibunya (Umm Fad}l), saudara laki-­lakinya (Fad}l), bibinya (Maimunah), Abu Bakr, `Umar, `Usma>n, `Ali<, `Abd al‑Rah}ma>n bin `Auf dan lainnya.

Di antara mereka yang banyak meriwayatkan hadis darinya antara lain: `Abdulla>h Ibn `Umar bin al‑Khat}t}ab, Sa`labah bin al‑Hakam, al‑Laisi, Sa`id bin al‑Musayyib, `Abdulla>h bin al‑Haris\ bin Naufal, Sa`id bin Jubair dan lainnya.

Tentang kredibilitasnya tidak dipertanyakan lagi, lebih‑lebih Nabi Muhammad SAW pernah berdo’a khusus untuknya alla>humma faqqihhu fl< al‑di<n wa ‘a11imhu al-­ta’wi<l.

 

  1. Jundub bin `Abdilla>h[55]

Nama lengkapnya Jundub bin `Abdilla>h bin Sufya>n al‑Bajali al‑`Alqi, Abu `Abdilla>h, ia adalah salah seorang sahabat Nabi SAW. Terkadang namanya dinasabkan kepada kakeknya kadang disebut Jundub bin Khalid bin Sufyan. Menurut al‑Bukhari dalam kitabnya al‑Ta>rikhJundub meninggal antara tahun 60 H. sampai dengan 70 H.

Ia metiwayatkan hadis dari Nabi Saw dan Huzaifah, sedangkan rawi yang meriwayatkan darinya antara lain: al-­Aswad bin Qais, Anas bin Sirin, al‑H}asan al‑Basri, Abu Majlaz, Abu> `Imra>n al‑Jauni dan lainnya.

Tentang kualitasnya tidak banyak komentar dari ulama, oleh karena itu kembali kepada prinsip keadilan sahabat.

  1. Sa`id bin Jubair[56]

Nama lengkapnya Sa`id bin Jubair bin Hisyam al‑Asadi al‑Kufi, wafat di Iraq pada tahun 94 H.

Ia meriwayatkan hadis dari Ibn `Abba>s, Ibn al‑Zubair, Ibn `Umar, Ibn Ma`qil, Abu Mas`u>d al‑Ansari, Abu Hurairah dan lainnya.

Di antara rawi yang meriwayatkan darinya adalah `Abdulla>h bin Sa`id `Abd al‑Ma>lik bin Sa`id, Abu Ishaq al‑Sabi`iy, Adam bin Sulaiman, Mansur bin al‑Mu`tamir, Talhah bin Masraf dan lainnya.

Tentang kualitasnya, Ibn Hibban menyebutkan dalam kitabnya al‑Siqa>t bahwa ia seorang yang  faqih, `abid.

 

  1. Abu `Imra>n al‑Jauni[57]

Nama lengkapnya `Abd al‑Mali<k bin Habib al‑Azdi, ada yang menyatakan al‑Kindi, Abu `Imra>n al‑Jauni al‑Basri, ia wafat pada tahun 123 H, ada yang menyatakan 128 H.

Ia meriwayatkan hadis dari Jundub bin `Abdilla>h al-­Bajali, Anas, `Adulla>h bin al‑Samit, `Alqamah bin `Abdilla>h dan lainnya.

Di antara rawi yang meriwayatkan darinya antara lain: Ibn `Aun, Syu`bah, Abu Qudamah a1‑Haris\ bin `Ubaid, Hama>m bin Yahya>, Ziyad bin al‑Rabi>’ dan lainnya.

Ulama berkomentar positif terhadapnya seperti Ibn Sa`d yang menilainya siqah.

 

 

 

 

  1. `Abd al‑A`la>[58]

Nama lengkapnya `Abd al‑A`la bin `Amir al‑Sa`labi al‑Kufi. Ia meriwayatkan hadis dari Abu `Abd al‑Rahma>n al‑Sulami, Muhammad ibn Hanafiyyah, Sa`id bin Jubair, Bila>l bin Abi< Mu>sa dan lainnya.

Di antara rawi yang meriwayatkan darinya adalah `Ali< bin `Abd al‑A`la>,     Muh}ammad bin Ja>hadah, Isra`i<l bin Yu>nus, Abu `Awa>nah, Abu> al‑Ahwas dan lainnya.

Beberapa penilaian ulama antara  lain, Abu Zur`ah menilainya da’i<f al‑h}adi<s\,        namun al‑Turmuzi menilainya h}asanbahkan al‑Hakim menilainya s\ahi<h.

 

  1. Suhail bin `Abdilla>h[59]

Nama lengkapnya Suhail bin Abi H{azm, namanya mahran, Abu> Bakr al‑Basri, ada yang menyatakan `Abdulla>h al‑Quta`iy.

Dia meriwayatkan hadis dari Sabit al‑Bunani, Abu `Imra>n al‑Jauni, Yu>nus bin `Ubaid, Mali<k bin Dina>r dan lainnya.

Diantara rawi yang meriwayatkan darinya adalah: Zaid bin al‑Habba>b, Abu Qutaibah, al‑Mu`afi bin `Imra>n, Ya`qu>b bin Ish}a>q al‑Hadrami, Hibba>n bin Hila>l dan lainnya.

 

 

Penilaian ulama terhadapnya antara lain: Ah}mad menyebutkan bahwa Suhail meriwayatkan hadis‑hadis munkarah (dalamterm Ahmad yang dimaksudkan adalah infira>d), Ibn Ma`i<n menilainya s}a>lih, Abu Ha>tim menyatakan laisa bi al‑Qawiyy, yuktabu h}adi<suhu wa la> yuh}tajju bih, al‑Nasa’i<y menilainya laisa bi al‑Qawiyy, al‑Bukhari< menilai laisa bi al‑Qawiyy, hum yatakallamuna fih.

 

  1. Sufya>n[60]

Nama lengkapnya adalah Sufya>n bin Dina>r al‑Tama>ri, Abu> Sa`id al‑Kufi, tidak diketahui tahun wafatnya. Dia meriwayatkan dari Abu> S}a>lih al‑Saman, Mas`ab bin Sa`d, Sa`id bin Jubair, al‑Sya`bi, `Ikrimah, Muh}ammad ibn al-­H{anafiyyah, Abu> Nadrah dan 1ainnya.

Di antara rawi yang meriwayatkan darinya adalah Abu> Bakr bin `Iya>s, Ibn al‑Mubarak, Ya`la bin `Ubaid, `Abd al‑Rah}ma>n bin Muh}ammad al‑Maha>ribi dan lainnya.

Penilaian ulama terhadapnya antara lain Yahya> bin Ma`i<n menilainya s\iqah, Abu Zur`ah menilainya s\iqahdan al‑Nasa>`iy menyatakan laisa bihi ba’s.

 

 

  1. Abu `Awa>nah[61]

Nama lengkapnya Waddah bin `Abdilla>h al‑Yasykuri budakYazi<d bin `Atal, Abu> ‘Awa>nah al‑Wasiti al‑Baja>z. Dia meriwayatkan dari Qata>dah, Abu Basyar, Ibrahi<m bin Muh}ammad bin al‑Muntasyi<r, Ibrahi<m bin Muha>jir dan lainnya.

Diantara rawi yang meriwayatkan darinya adalah Abu> Dawu>d al‑Taya>lisi, Abu> al‑Wali<d al‑Taya>lisi, Yahya> bin H{amma>d, Suwaid bin `Amr al‑Kalbi<.

Penilaian ulama terhadapnya antara lain: al‑`Ijli menilainya s\iqah, ibn al‑Muba>rak menilainya sebagai ah}san al‑na>s h}adi<s\an, Ibn Sa`d menilai s\iqah s}adu>q.

 

  1. Habba>n bin Hila>l[62]

Nama lengkapnya adalah Hibba>n bin Hila>l al‑Bahi<li, ada yang menyatakan al‑Kindi<, Abu> Habi<b al‑Basri, ia meninggal di Basrah pada tahun 216 H.

Dia meriwayatkan hadis dari H{amma>d bin Salamah, Syu`bah, Jari<r bin H{azi<m, Muslim bin Zurair, Abu `Awa>nah dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain: H{ama>d bin Sa`i<d al‑Ribati, Ah{mad bin Sa`i<d al‑Darimi<, Ish}a>q bin Mansu>r al‑Kausaj, `Abd bin Humaid.

Komentar ulama tentangnya antara lain: Ibn Ma`i<n, al‑Turmuzi< dan al‑Nasa’i<y menilainya s\iqah, ibn Sa`d menyatakan s\iqah s\abat hujjah.

 

  1. Ya`qu>b bin Ish}a>q[63]

Nama lengkapnya adalah Ya`qu>b bin Ish}a>q bin Zaid bin `Abdilla>h bin Abi< Ish}a>q al‑Hadrami<, Abu> Muh}ammad al-­Basri<. Ia wafat pada tahun 205 H.

Dia meriwayatkan hadis dari al‑Aswa>b bin Syaiba>n, Suhail bin Mahra>n al‑Quta`iy, Sawa>dah ibn Abi< al‑Aswad, Sulaiman bin Mu`a>z al‑Dabi<, Sali<m bin Hayya>n dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain `Amr bin `Ali< al‑Fallasi, Abu> al‑Rabi<` al‑Zahrani<, `Abdulla>h ibn Muh}ammad bin Yahya> al‑Tarsusi<, `Uqbah bin Mukrim al‑Umayy dan lainnya.

Penilaian ulama terhadapnya antara lain Ah}mad dan Abu> H{a>tim menilainya s}adu>q, Ibn H{ibba>n menyebutkan namanya dalam kitab al‑s\iqat, Ibn Sa`d menyatakan laisa huwa `indahum biza>ka al‑s\abt.

 

  1. Waki<’[64]

Nama lengkapnya adalah Waki<’ bin al‑Jarrah bin Ma>lih al‑Ru`asi<, Abu> Sufya>n al‑Kufi< al‑Hafi<z}, ia meninggal tahun 196 H.

Dia meriwayatkan hadis dari ayahnya, Isma`i<l bin Abi< Khali<d, `Ikrimah bin `Ammar, Hisya>m bin `Urwah, al-­A`masy, al‑Auza>`iy, `Abd al‑Humaid bin Ja`far, Hisya>m ibn Sa`d dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain.: putra-­putranya yaitu Sufya>n, Ma>lih, `Ubaid, juga guru‑gurunya seperti Sufya>n al‑S|auri, lalu Ah}mad `Ali<, Yahya>, Ish}aq bin Rahuwaih dan lainnya.

Beberapa komentar ulama terhadapnya antara lain: Ibn Ma`i<n menyatatakan ma> ra’aitu as\ba>t al-`Ira>q min Waki<`, Ibn Sa`d menyatakan ka>na s\iqah ma’mu>n, al‑`Ijli menyatakan huwa kufi s\iqah, `a>bid s}a>lih.

 

  1. Muammal[65]

Nama lengkapnya adalah Mu`ammal bin Isma`i<l al-`Adawi  Alu al‑Khat}t}a>b ada yang menyatakan budak Bani Bakr, Abu> `Abdilla>h al‑Basri<, ia berkedudukan di Makkah dan wafat pada tahun 206 H, ada yang menyatakan 205 H.

Dia meriwayatkan hadis dari `Ikrimah bin `Ammar, Sufya>n, Syu`bah, H{amma>d, Nafi<` bin `Umar al‑Jamhi dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain: Ah}mad, Ish}aq bin Rahuwaih, `Ali< bin al‑Madini<, Bunda>r, Abu> Kuraib dan lainnya.

Komentar ulama terhadapnya antara lain; al‑Bukhari menyatakan munkar al‑h}adi<s, al‑Saji< menilainya s}adu>q kas\i<r al‑khat}a>’, al‑Daruqut}ni menilainya s\iqah kas\i<r al-­khat}a>’,demikian pula Ibn Sa`d menyatakan s\iqah kas\i<r al-­gala>t.

 

 

 

  1. Abu> al‑Wali<d[66]

Nama lengkapnya adalah Hisya>m bin `Abd al‑Ma>lik al‑Bahili< maulahum, Abu> al‑Wali<d al‑Taya>lisi al‑Basri< al-­H{afi<z} al‑Ima>m al‑Hujjah. Ia wafat pada tahun 227 H.

Dia meriwayatkan hadis dari `Ikrimah bin `Ammar, Jari<r bin Hazi<m, Mahdi bin Maimu>n, Syu`bah, al‑Lais, Abu `Awa>nah dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain al-­Bukhari, Abu> Dawu>d dan lainnya. Ulama menilainya unggul seperti Ah}mad menyatakan mutaqi<n, syaikh al‑Isla>m,al‑`Ijli menyatakan s\iqah s\abat fi< al‑h}adi<s.

 

  1. `Affa>n[67]

Nama lengkapnya adalah `Affa>n bin Muslim bin `Abdilla>h al‑S}afar, abu `Usma>n al‑Basri budak `Uzrah ibn S|a>bit al‑Ans}ari<, ia tinggal di Bagdad dan meninggal tahun 220 H.

Dia meriwayatkan hadis dari `Abdulla>h bin Bakr al-­Mizzi<, Sakhr Ibn Juwairiyah, Syu`bah, Abu `Awa>nah, al-­Aswad Ibn Syaiba>n dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain; al-­Bukhari, Ah}mad, Abu> Bakr bin Abi< Syaibah dan lainnya. Di antara penilaian ulama terhadapnya antara lain: al‑’Ijli menilainya s\iqah s\abat s}a>hib al‑sunnah, Abu> H{a>tim menyatakan s\iqah, ima>m mutaqi<n, Ibn Hibba>n juga mencantumkan namanya dalam kitab al‑s\iqat.

  1. `Abd bin Humaid[68]

Nama lengkapnya adalah `Abd bin Humaid bin Nasr al‑Kasysyi         Abu> Muh}ammad, ada yang menyatakan namanya adalah `Abd al‑Maji<d. Ia wafat pada tahun 249 H.

Dia meriwayatkan hadis dari Ja`far bin `Aun, Abu> Usa>mah, Yazi<d bin Haru>n, Ah}mad bin Ish}a>q al‑Hadrami<, Sa`id bin `Ami<r, `Abd al‑Razza>q, `Abd al‑Samad bin `Abd al-Waris\.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain Muslim, al‑Turmuzi<,    Muh}ammad bin `Abd Abu> Mu`a>z al‑`Abba>s ibn Idri<s dan lainnya.

Tentang penilaian ulama, Ibn Hibba>n dalam kitabnya al‑S|iqat menerangkan babwa `Abd bin Humaid ini orang yang produktif dalam menghimpun dan berkarya

 

  1. `Abdulla>h bin Muh}ammad bin Yahya>[69]

Nama lengkapnya adalah `Abdulla>h bin Muh}ammad bin Yahya< al‑Tarsusi<, Abu> Muh}ammad, yang dikenla dengan al-D}a’i<f. Ia meriwayatkan hadis dari Ibn `Uyainah, Yazi<d bin Haru>n, Abu< Mu’awiyyah, Zaid bin Habba>b, Ya`qu>b ibn Ish}a>q al‑Hadrami<, Ma`n bin `I<sa> dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain Abu> Dawu>d, al‑Nasa>’iy, Musa> ibn Haru>n, al‑H{asan bin Sa>wi, ‘Umar bin Sa’i<d bin Sinan, Abu> Bakr bin Abi< Dawu>d dan lainnya.

Penilaian ulama terhadapnya antara lain: Maslamah menilainya s\iqah, Ibn Ribba>n menyebutkan dalam kitabnya al‑s\iqat sebutan al‑d}a’i<fdisandingkan kepadanya karena banyaknya beribadah dan berzikir, ada yang menyatakan karena lemah pada daya hafalannya, ada pula yang menyebutkan lemah tubuhnya.

 

  1. Suwaid bin `Amr[70]

Nama lengkapnya Suwaid bin `Amr al‑Kalbi<, Abu> al‑Wali<d al‑Kufi<, ia wafat tahun 203 H. ada pula yang menyebutkan tahun 204 H.

Ia meriwayatkan hadis dari Hammad bin Salamah, Zuhair bin Mu`awiyyah al‑Bimsi, Abu>  ‘Awa>nah, Anas bin Huyy dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya adalah Ah}mad bin H{anbal, Abu> Bakr bin Abi< Syaibah, Sufya>n bin Waki<` dan lainnya.

Komentar ulama terhadapnya antara lain al‑Nasa>’iy dan ibn Ma’i<n menilainya s\iqah, al‑‘IjIimenilainya s\iqah s\abat fi al‑h}adis, ka>na rija>lan s}a>lihan muta’abbida>n.

 

  1. Basyar bin al‑Sariyy[71]

Nama lengkapnya Basyar bin al‑Sariyy al‑Basri, Abu> ‘Amr al‑Makki<, ia wafat dalam usia 63 tahun. Ia meriwayatkan hadis dari al‑S|auri, H{ammad bin Salamah, Ibn al‑Muba>rak, al‑Lais\, Ibra>hi<m bin Tuhma>n, `Abd al‑Razza>q dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya antara lain Yahya> bin Ada>m, Ah}mad bin Hanbal, Abu> Haisamah,       Abu> S}a>lih (sekretarisnya al‑Lais\), Mah}mu>d bin G{aila>n dan lainnya.

Beberapa penilaian ulama di antaranya adalah Abu> H{a>tim menilainya S{a>lih, Ibn Sa`d menilainya s\iqah, al‑`Ijli menilainya s\iqah, Ah}mad menyebutkan mutaqi<n fi< al‑h}adi<s\,ibn Ma`in menilainya s\iqah.

 

  1. Mah}mu>d bin G{aila>n[72]

Nama lengkapnya Mah}mu>d bin G{aila>n al‑`Adawiyy, Abu> Ah}mad al‑Marwazi al‑Bag}da>di<, ia wafat pada tahun 249 H. Ia meriwayatkan hadis dari Waki<’, Ibn `Uyainah, al‑Nadr bin Syumail, Abu> Ah}mad al‑Zubairi<, `Abd al‑Razza>q, Abu> Usa>mah, Basyar bin al‑Sariyy, Sa`i<d bin `Ami<r al‑Dabi<`iy, Abu> Dawu>d al‑Badrami<, Mu`awiyyah bin Hisya>m dan lainnya.

Rawi yang meriwayatkan darinya cukup banyak dari kalangan ulama selain Abu> Dawu>d, al‑H{a>kim dan beberapa rawi saja.

Ulama menilainya bagus seperti al‑Nasa>’iy menilainya s\iqah, Ibn Hibba>n juga menyebutkan namnya dalam kitab al-­s\iqat.

  1. Sufya>n bin Waki<`[73]

Nama lengkapnya adalah Sufya>n bin Waki<` bin al-­Jarra>h, Abu> Muh}ammad al‑Kufi<, ia wafat pada tahun 247 H yaitu pada bulan Rabi<’ al‑S|a>ni.

Dia meriwayatkan hadis dari Abu> Mu`awiyyah, Humaid bin `Abd al‑Rah}ma>n al‑Ruwasi<, Jari<r bin `Abd al‑Humaid, `I<sa> bin Yu>nus dan lainnya.

Diantara rawi yang meriwayatkan darinya adalah al-­Turmuzi<, ibn Ma>jah, Ibn Makhlad dan lainnya. Al‑Nasa>’iy menilainya laisa bisyai`, Ibn Hibba>n menyatakan ka>na syaikhan fa>d}ilan s}adu>qan.

Berdasarkan peneropongan rija>l al‑h}adi<sdi atas, ada beberapa     kesimpulan yang dapat diambil peneliti antara lain:

  1. Semua hadis di atas bersandar pada Rasulullah Saw, artinya semuanya berkategori marfu>’.
  2. Ditinjau dari isi hadis, kesemuanya berupa ungkapan Nabi SAW, artinya termasuk kategori hadis qauli.
  3. Ditinjau dari jumlah rawi yang meriwayatkan hadis di atas, hadis nomor 1, 2 dan 3 (sejenis) hanya diriwayatkan oleh Ibn `Abba>s bahkan hingga Atba>’ al­tabi`in diriwayatkan oleh satu rawi saja, karenanya dinilai sebagai hadis gari<b, demikian pula dengan hadis no 4 yang juga gari<byaitu dari riwayat Jundub bin `Abdilla>h saja.
  4. Pada hadis no 1, 2 dan 3 semua jalurnya melalui `Abd al‑A`la> yang sebagian ulama seperti Abu Zur`ah menilainya d}a’i<f al‑h}adi<s\, namun menurut sebagian, seperti al‑Turmuzi tidak sampai tingkatan d}a’i<f melainkan h}asan, bahkan al‑H{akim menilainya s}ahi<h,hal ini disebabkan al‑ H{akim dinilai oleh ulama dari kalangan mutas}il. Namun demikian tampaknya jalur sanad ini menurut peneliti cenderung pada penilaian moderat al‑Turmuzi< yang menilainya h}asan.Hanya pada jalur riwayat Ahmad melalui Mu`ammal saja yang secara jelas jalurnya lemah sebab Mu`ammal dinilai umumnya ulama s\iqah namun sering khat}a>ataupun galat (salah), sehingga 2 rawi sekaligus dalam jalur sanad tersebut kurang kuat. Tetapi karena jalur ini memiliki tabi` dari jalur Ahmad melalui waki` maka kembali kepada status keseluruhan sanad hadis ini h}asan.
  5. Adapun hadis no 4, semua rawinya tidak bermasalah kecuali satu yaitu Suhail bin `Abdilla>h, padahal seluruh jalur sanad baik dari al‑Turmuzi maupun Abu Dawud melewati Suhail ini. Suhail dinilai ulama laisa bi al-qawyy, oleh karena itu jalur sanad hadis ini terputus (munqat}i`) karena adanya rawi yang lemah, sehingga sanad hadisnya da’i<f. Lebih‑lebih tidak ada sya>hidataupun tabi` yang mendukung atau mengangkat derajat sanadnya ini.
  6. Tentang tinjauan matan hadis, tampaknya antara satu jalur‑sanad dengan jalur sanad lainnya tidak terlalu banyak perbedaan, hanya teknis istilah al‑Qur’an dengan Kitabullah `Azza wa Jalla. Mungkin pada kata al‑ra’y dan bi gair `ilm ini sajalah yang cukup problematis, dan akan dibahas dalam bab berikutnya.

BAB IV

PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL

LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN DENGAN AL‑RA’Y

 

Telaah Makna Hadis

Hadis larangan menafsirkan al‑Qur’an yang telah dipaparkan di atas, bila dipilah‑pilah berdasarkan penggalan kalimat yang sarat akan keragaman interpretasi adalah sebagai berikut:

Pertama, man qa>la, dalam riwayat lain man kaz\aba; Kedua, fi< al-Qur’a>n atau ‘ala> al-Qur’a>n, dalam riwayat lain fi< kita>billa>h; Ketigat bi ra’yihi, dalam riwayat lain bi gair ‘ilm; Keempat, fa as}a>ba, faqad akht}a>’a dan Kelima, falyatabawwa’ maq’adahu min al‑na>r.

Adapun penjelasan secara rinci penggalan‑penggalan hadis di atas adalah sebagai berikut:

  1. Hadis di atas diawali statement Nabi SAW. man qa>la (siapa yang menyatakan), mengandung pengertian siapa saja (umat Muhammad sendiri ataupun bukan, orang yang ada pada masa Nabi ataupun sesudahnya) dan siapa saja (tanpa terikat oleh apapun khususnya setelah ucapan ini diluncurkan), untuk tidak menyatakan (baik secara lisan maupun tertulis), dalam syarah ‘Aun al‑Ma’bu>d mencakup pula makna “memperbincangkan” (takallama)[74] sesuatu yang disebutkan dalam kalimat berikutnya. Dalam riwayat lain menggunakan kata kaz\aba (berbohong) atau mengatakan yang bukan sebenarnya, atau mengatakan yang tidak dikatakan atau pernyataan yang disadari bukan kebenaran (qaulan yu’lamu anna al‑haqqa gairuhu), demikian pernyataan al‑Qari maupun al‑Manawi sebagaimana dikutip al‑Mubarakfuri maupun al‑Sa’ati.[75] Al‑Manawi juga memberikan pengertian lain dalam kitab al‑Musykil yaitu pernyataan yang tidak ia kenali, atau tidak diketahui atau tidak dimengerti.[76]
  2. Sesuatu yang dinyatakan atau diperbincangkan tersebut adalah sesuatu yang ada fi< al-Qur’a>n atau dalam riwayat lain fi< kita>billa>h sebagai istilah atau sebutan lain dari al-Qur’an itu sendiri. Sudah barang tentu yang diperbincangkan bukan al-Qur’an‑nya itu sendiri melainkan apa yang ada di dalamnya, ada yang memaknai arti yang dikandung di dalamnya adalah tentang lafaznya maupun maknanya.[77] Artinya khit}ab hadis ini ditujukan kepada siapa saja yang mengucapkan atau mengungkapkan, lebih‑lebih berbohong (mengungkapkan yang tidak benar atau menyalahi yang sebanarnya) dari apa‑apa yang ada di dalam al-Qur’an baik lafaz (wilayah qira>’at) maupun maknanya (wilayah ta’wil dan tafsir).

 

  1. Keterangan lebih lanjut pengungkapan tentang isi al­-Qur’ an (lafaz maupun makna)tersebut dilakukan dengan cara atau timbulnya dari ra’yu atau dalam riwayat lain diungkapkan dengan kata bi ga‑i r ‘ilm (tanpa pengetahuan). Al-Ra’yu yang bentuk jamaknya adalah ar’a>’u, atau ara>’u mengandung pengertian pendapat yang bukan bersumber dari nas}, sebagaimana kalangan Muhaddis\u>n menyebut para ulama yang menggunakan qiyas sebagai ahl al‑ra’y, yang mereka maksudkan adalah karena mereka berpegang kepada pendapat mereka sendiri terhadap hal‑hal yang musykil pada nash, atau dengan kata lain mereka yang tidak menghadirkan argumen didalamnya dengan hadis atau asar.[78] Lebih jauh para syarih hadis memahami kata bi ra’yihi sebagai ungkapan yang didasarkan pada akalnya semata atau simbol dari nafsunya sendiri tanpa diikuti pernyataan para tokoh atau ahli bahasa Arab yang sesuai dengan kaedah‑kaedah syar’iyyah.[79] Artinya bahwa mengungkapkan makna al‑Qur’an dengan menggunakan kaedah-kaedah bahasa Arab yang sesuai dengan manhaj al‑syar’iyyah tidak termasuk dalam kategori bi ra’yihi. Lebih‑lebih dalam riwayat lain diungkapkan dengan term bi gair ‘ilm yang dimaknai oleh para syarih sebagai ungkapan yang tidak di dasari dalil yaqi<ni maupun dalil z}anniy baik naql (nash al‑Qur’an maupun hadis, as\ar) maupun ‘aql (logika‑logika, mant}iq, qiya>s dan sejenisnya) yang masih selaras   dengan syari’at.[80] Artinya bahwa hasil ijtihad dalam konteks hadis ini tidak masuk dalam kategori bi gair ‘ilm selama menggunakan kaedah‑kaedah atau selaras dengan prinsip‑prinsip syar’i. Lebih-­lebih Nabi SAW sendiri memperkenankan penggunaan ijtihad ketika tidak ada dasar nash al-Qur’an maupun hadis bahkan Nabi SAW sendiri dalam beberapa hal menggunakan qiyas untuk menjawab suatu permasalahan dan sebagainya.
  2. Hadis di atas dilanjutkan dengan penegasan fa as}a>ba faqad akht}a>’a (sekiranya benar maka ia telah berbuat kesalahan), artinya hasil. dari pengungkapan yang muncul dari dorongan nafsu semata, atau muncul dari otaknya tanpa dilandasi kaedah‑kaedah atau tidak selaras dengan prinsip‑prinsip syar’i, maka sekalipun benar maka tetap bersalah, sebab benarnya adalah suatu kebetulan sedangakan salahnya karena faktor prosedurnya. Dernikianlah ulama memberikan penjelasan atas kalimat ini, seperti Ibn Hajar yang menyatakan kesalahannya. karena prosedur yang diberlakukan secara tidak konsisten, padahal Kalam Allah satu kata saja bila tidak dipahami dari kaedah bahasa, seperti nahwu saraf, balagah, dan lainnya akan mernbawa konsekwensi makna yang berbeda, demikian pula suatu ayat yang didalamnya terkait dengan ayat lain membutuhkan telaah historis (saba>b al‑nuzu>l), nasikh mansukh dan lain sebagainya.[81]Al‑Taurbusti yang dikutip al‑Mubarakfuri menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan bi al‑ra’y adalah sesuatu yang tidak dilandasi atau melandaskan pada ilmu‑ilmu al-Qur’an dan al‑Sunnah, (di antaranya tolok ukur kebahasaan, dalam hal ini bahasa Arab, lalu ‘ilmu asba>b al‑Nuzu>l, al‑nasi<kh wa al‑mansu>kh, ‘a>m dan kha>s, mujmal dan mufas}s}al serta yang lainnya) melainkan pernyataan yang muncul karena tuntutan akalnya sendiri, maka siapa saja yang melakukan tanpa memenuhi persyaratan di atas adalah salah di atas hal yang benar, itulah sebabnya ia membedakan antara mujtahad dan mutakkallif, mujtahid diberi pahala sekalipun salah, sedangkan mutakkalif diazab sekalipun benar.[82] Perbedaan antara keduanya menurut penulis terletak pada prosedur (manhaj). Abadi menambahkan bahwa maksud pernyataan dengan al‑ra’y adalah tanpa landasan pengetahuan akan pokok‑pokok serta cabang­-cabang ilmu yang terkait sehingga sekiranya ada kesesuaian yang tanpa disadarinya, bukanlah sesuatu yang terpuji.[83]
  3. Sebagai konsekwensi mereka yang mengungkapkan isi al‑Qur’an dengan prosedur yang salah yaitu melalui nalar ansich atau tanpa dasar ilmu‑ilmu yang terkait, lebih­ lebih muncul dari hawa nafsunya, maka disediakan bagi mereka tempat     yang sesuai dengan kecerobohannya tersebut yaitu falyatabawwa’ maq’adahu min al‑na>r (maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api), umumnya ulama menerjemahkan kata al‑na>r dengan api neraka terutama yang terkait dengan ancaman­-ancaman agama. Bentuk perintah didalam hadis ini dipahami sebagai bentuk ancaman, ada pula yang memaknai perintah dalam hadis ini menunjukkan berita saja, artinya diberitakan bahwa mereka yang sengaja mengungkapkan isi al-Qur’an tanpa dasar ilmu atau muncul dari nafsu atau akal‑nya semata akan ditempatkan ditempat dari api neraka. Ibn Hajar al‑’Asqa>lani yang dikutip al‑Asa’ati menyatakan bahwa ancaman ini ditujukan kepada kaum pembuat bid’ah yang menghilangkan begitu saja lafaz al-Qur’an untuk maksud yang mereka kehendaki sehingga dari segi prosedur mereka telah rnembuat kesalahan dalam pengambilan dalil maupun nas}nya.[84]
  4. Semakin jelas sudah makna hadis di atas ditinjau dari sisi lafz}inya dengan berbagai kemungkinan kandungan di dalamnya jelas sekali bahwa ancaman hadis ini diberikan kepada siapa saja yang melakukan upaya pemaknaan al-Qur’an dengan akal semata lebih‑lebih dengan nafsunya atau tanpa landasan pengetahuan yang memadai dan terkait dengan al‑Qur’an. Kalau diperhatikan lebih jauh dari setting statemen ini, tampaknya hadis ini sedang membicarakan tentang keharusan umat Islarn atau siapa saja yang akan mendalami al‑Qur’an memiliki bekali ilmu khususnya terhadap sunnah       Nabi yang di dalamnya memuat penjelasan beliau (sebagai mubayyin al-Qur’an) guna memahami al‑Qur’an secara benar dan bukan sebaliknya tergesa menafsiri dengan akal‑nya sendiri dengan mengabaikan apa yang telah dijelaskan Nabi. Kalau hal itu dilakukan berarti dia telah berbohong atas nama Nabi SAW, karena otoritas penjelasan ada padanya, tanpa berkonsultasi dengan penafsirannya atau manhaj penafsiran Nabi SAW tersebut berarti telah berbohong atas namanya. Ungkapan inilah yang tampak pada bagian awal hadis yang sedang diteliti ini yaitu: ittaqu al-­h}adi<s\a anni< illa> ‑ma> ‘alimtum (takutlah kalian/hati‑hatilah terhadap hadis‑hadis dariku kecuali yang benar‑benar telah aku ajarkan kepada kalian), makna takutlah kalian di atas adalah anjuran untuk waspada kalau perlu menjauhi apa apa yang dinyatakan sebagai hadis dari Nabi, kecuali benar‑benar hal itu telah diajarkan Nabi SAW (disimak dan dipelajari sahabatnya). Lebih‑lebih menyatakan sesuatu untuk menguatkan argumennya atau pelaksanaan agamanya dengan mengatasnamakan hadis Nabi SAW, atau bersumber dari Nabi SAW.

 

Tafsi<r bi al‑Ra’y

Salah satu penjelasan syarih hadis yang dikutip al-­Mubarakfuri menyebutkan secara konkrit bentuk penafsiran yang menggunakan. al‑ra’y, diantaranya penafsiran ‘Abd al-­Rah}ma>n al‑Asa>m, al‑Jubba’i, ‘Abd al‑Jabba>r, al‑Ha>ni, al-­Zamakhsyari< dan mereka yang sealiran dengan mereka.[85] Tampaknya  penilaian  ini  lebih  karena  mereka dari  kalangan mu’tazili yang

dikenal sebagai kelompok rasionalis yang berseberangan dengan ahl al‑sunnah, sebagaimana diterangkan al‑Imam Ibn al‑’Arafah al‑Maliki.[86]

Melalui contoh ini kemudian sebagian menunjuk kepada karya tafsir seperti al‑Kasysya>f dan beberapa kitab tafsir lain yang dikelompokkan oleh ulama berikutnya sebagai kelompok tafsi<r bi al‑ra’y. Terlepas dari pembenaran atau koreksi ulang terhadap pengkategorian tersebut, penulis tertarik mengupas kembali istilah yang digunakan ulama tentang tafsi<r bi al‑ra’y sebagai salah satu tipologi tafsir, disamping tafsi<r bi al‑Riwayah ataupun bi al‑Isyari.

Tafsir bi al-ra’y adalah penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan al-ra’yu. Kata al‑ra’yu memiliki beberapa pengertian, di antaranya al‑i’tiqad (paham, aliran), al-Ijtiha>d, al‑qiya>s (analogi)sebagaimana sebutan ahl al­ra’y sering digunakan untuk menyebut kalangan as}ha>b al‑qiya>s. (para pengguna analogi).[87]

Dalam penggunaanya, kata al‑ra’yu sering digunakan kalangan ulama tafsir untuk menyebut penafsiran dengan Ijtiha>d. Sudah barang tentu mufassir yang masih menerima term al‑ra’y ini sebagai ijtihad memberikan batasan tafsi<r bi al-ra’y yang dimaksudkan adalah penafsiran yang dilakukan setelah mufassir memahami ungkapan orang Arab dengan seluk beluknya, sekaligus mengetahui bentuk lafaz sekaligus cakupan maknanya serta dibantu syair Arab yang akrab digunakan, memahami latar belakang turunnya, memahami nasikh mansukh dari ayat‑ayat al‑Qur’an dan piranti lainnya yang dibutuhkan oleh mufassir.[88]

Sebagain ulama memaknai tafsi<r bi al‑ra’y sebagai bentuk penafsiran yang dibangun melalui pemahaman lafaz sekaligus mengambil hukum darinya yang mana lafaz itu sendiri menuntut adanya pengerahan kemampuan (Ijtiha>d) atau pengerahan al‑ra’yu yang dibangun atau prinsip-­prinsip yang benar dan lurus (salimah).[89]

Terlepas dari definisi di atas, tampaknya para ulama pro kontra terhadap penafsiran bi al-ra’yi ini, di antara mereka ada yang secara keras tidak memperkenankan, sebagian lain membolehkannya.

Mereka yang menolak tafsi<r bi al-ra’yi mengemukakan argumen di antaranya:[90]

  1. Mengungkapkan atau mengomentari ayat‑ayat Allah tanpa ilmu atau hanya didasarkan pada z}ann (dugaan) semata condong menghasilkan sesuatu yang tercela, karenanya hal itu terlarang, dengan dalil surat al‑A’raf ayat 33 yang intinya haram mengada‑adakan sesuatu terhadap Allah dengan apa yang tidak diketahui. Ayat yang lain adalah Qs al‑Isra’ ayat 36 tentang larangan mengikuti ibn atau menetapkan sesuatu yang tidak didasari pengetahuan.
  2. Allah berfirman dalam Qs al‑Nahl ayat 44 yang intinya Nabi diberikan otoritas menjelaskan isi al-Qur’an, karenanya yang lain tidak, memiliki otoritas.
  3. Hadis‑hadis yang diteliti dalam penelitian ini adalah hadis‑hadis yang dijadikan dasar larangan tegas menafsirkan al‑Qur’an dengan al‑ra’yu.

Sementara mereka yang membolehkan tafsir bi al-ra’yi menggunakan argumen sekaligus menanggapi argumen yang melarang hal itu sebagai berikut:[91]

  1. Tentang tanggapan poin pertama, kelompok yang memperkenankan penggunaan al-ra’yi sebagai alat untuk menafsirkan adalah:
  1. Z}ann (dugaan) dalam pengetahuan adalah bagian dari cara manusia memperoleh pengetahuan dengan memahami yang rajih (yang kuat), menurut penulis hal ini berbeda dengan syakk yang identik dengan setengah‑setengah (tidak ada kecenderungan yang lebih kuat)
  2. Allah tiada membebani manusia diatas batas kemampuannya sebagaimana tertuang dalam Qs al­-Baqarah ayat 286.
  3. Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk menggunakan seluruh kemampuan akalnya dalam memecahkan persoalan yaitu dengan berijtihad disertai stimulan atau dorongan kepada upaya ini yaitu mereka, yang berijtihad dan benar hasilnya maka ia memperoleh 2 pahala, sementara mereka yang telah berusaha sungguh-sungguh (berijtihad) tetapi hasilnya salah tetap akan diberikan satu pahala.
  4. Nabi SAW bangga dan berbahagia atas diri Mu’az yang memahami prosedur dalam memutuskan suatu perkara, ketika ia diutus ke Yaman, yaitu dengan al-­Qur’an, bila tidak ditemukan maka dengan al‑Sunnah dan bila tidak dijumpai, maka berijtihad.
  1. Menanggapi point kedua, ulama yang memperkenankan penggunaan al-ra’yu dalam penafsiran menjawab bahwa ayat tentang fungsi bayan Nabi SAW adalah selama Nabi SAW hidup dan persoalan pemahaman terhadap al-Qur’an pada masanya dapat terselesaikan, namun perlu diingat bahwa tidak semua ayat dijelaskan oleh Nabi, disamping itu persoalan terus berkembang, sementara Nabi SAW telah wafat, karenanya persoalan yang tidak ada penjelasan dari Nabi SAW diserahkan kepada para ulama.
  2. Tentang point ketiga ditanggapi sebagai bentuk larangan menafsirkan al-Qur’an yang di dalamnya mengandung unsur dorongan nafsu atau mereka yang hanya mendasarkan zahir nash tanpa memperhatikan sunnah Nabi SAW ataupun asar sahabat yang memahami betul situasi dan kondisi saat suatu ayat turun. Lebih dari itu ulama memandang bahwa makna al‑ra’yu dalam hadis tersebut adalah upaya menafsirkan ayat‑ayat yang musykil dipahami dengan akalnya semata, al‑ra’yu dipahami pula sebagai al‑hawa (hawa nafsu) tanpa dalil atau bukti‑bukti, atau dipahami pula sebagai fanatisme yang timbul dalam dirinya sehingga ia cenderung mernahami sesuai pendapat yang diikutinya padahal ia sadar bahwa kebanaran ada, pada pihak lain. Al‑ra’yi tersebut juga dimaksudkan adalah kebodohan sebagaimana di dalam riwayat lain menggunakan istilah bil gair ‘ilm, dan terakhir pemaknaan alra’yu dalam hadis tersebut dipahami sebagai cara melihat dan memahami al‑Qur’ an sebatas zahirnya tanpa memperhatikan riwayat yang terkait dengannya.
  3. Untuk mengukuhkan argumen bolehnya menafsirkan al‑Qur’an dengan al‑ra’yu, mereka mengemukakan dalil al-­Qur’an QS. Muhammad 24 yang memuat tentang pertanyaan retoris: apakah mereka tiada memperhatikan al‑Qur’an atau hati mereka telah terkunci?, karenanya menurut mereka ijtihad adalah bagian yang harus ada, menghilangkan fungsi al‑ra’yu dalam memahami al‑Qur’an berarti meniadakan ijtihad.
  4. Mereka juga berargumen bahwa Nabi SAW pernah secara khusus mendo’akan Ibn ‘Abbas dengan ucapan: alla>humma faqqihhu fi< al‑Di<n wa’ a11imhu al‑ta’wi<1 (Ya Allah melimpahkan pemahaman dalam agama kepadanya dan berilah pengetahuan kepadanya tentang penakwilan), sekiranya takwil hanya kembali kepada yang ma’tsu>r (nash hadis Nabi SAW), maka apalah gunanya do’a tersebut.

Demikianlah sekilas pro kontra di sekitar boleh dan tidaknya tafsir bi al-ra’yi berikut argumen masing‑masing. Kedua-duanya sulit dipertemukan, namun bila dilihat dari substansinya, sebenarnya keduanya memiliki titik temu, sebagaimana tergambar dalam sub bab berikutnya.

 

 

Pemahaman Kompromis Antara Larangan Hadis Dan Fenomena Tafsir bi Al-Ra’y

Bila memahami perjalanan sejarah, maka term al-ra’yu yang berkembang saat ini, yaitu pada klasifikasi kitab tafsir yang menggunakan pendekatan al-ra’yu sebagai sisi lain dari pendekatan al‑riwa>yah, dengan al-ra’yu yang diungkapkan Nabi SAW pada masa awal, maka pro kontra tersebut tidak akan ekstrim.

Justru karena pemaknaan tafsir bi al-ra’yi yang ulama sebagai model penafsiran dengan term al-ra’yu yang digunakan Nabi SAW saat tafsir belum ada kecuali darinya disamaartikan tanpa ada penalaran yang kritis menjadikan klaim atau penilaian terhadap kitab tafsir tententu secara berlebihan.

Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman sekaligus upaya kompromis dari perdebatan sehingga ulama perlu menilai kembali kepada tafsir yang ada apakah masuk dalam, kategori bi al-ra’yi yang diancam Nabi SAW tersebut, ataukah kategori bi al‑ra’y komprehensip yang ada, kitab‑kitab al-ra’y yang dianjurkan Nabi SAW untuk ditumbuh kembangkan yaitu sesuai semangat al-Qur’an yang mendorong manusia untuk senantiasa mendayagunakan akal pikirannya.

Tampaknya pemahaman seperti ini juga telah dilakukan beberapa ulama bahwa perbedaan yang muncul di kalangan ulama pro pelarangan tafsir bi al-ra’yi dan yang membolehkannya, sebenarnya bukan pada tataran makna al-­ra’y secara maknawi, melainkan pada tataran lafzi.[92]

Ulama sepakat bahwa pemaknaan al‑ra’yu dalam perdebatan ini perlu dipahami dari dua sisi, yaitu:

  1. Sekiranya al-ra’yi itu digunakan pada ayat dengan tetap memiliki kesesuaian dengan ungkapan orang Arab juga seirama dengan kandungan al-Qur’an dan al‑Sunnah (secara umum) berikut tetap memelihara keseluruhan persyaratan yang dibutuhkan dalam menafsirkan al­Qur’an, maka penggunaan al-ra’y seperti ini diperbolehkan tanpa keraguan.
  2. Sebaliknya, bila al-ra’yu tersebut diberlakukan tanpa memandang ketentuan-ketentuan kebahasan (dalam hal ini bahasa Arab) juga tidak sesuai dengan dalil‑dalil syar’iy atau tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan di dalam penafsiran. Maka semua ulama sepakat penggunaan al-ra’yi yang demikian ini terlarang.

Point yang kedua di atas inilah yang menurut penulis sebagai pemahaman makna al‑ra’y dalam konteks hadis, mengingat hadis tersebut menekankan makna al‑rayu sebagai nalar akal ansich (tanpa didasari pengetahuan/ bil gair ‘ilm).

Bi ra’yihi  dalam hadis tersebut sudah sangat jelas mengacu kepada kemampuan akal belaka sehingga apabila dikaitkan dengan tafsi<r bi al-ra’yi sangat berbeda karena tafsir bi al-ra’yi walaupun didominasi oleh akal namun tetap juga kembali kepada dasar syar’i dan kaedah-kaedah yang berlaku selama penafsiran.

Lebih‑lebih bila kita pahami hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan al‑ra’y tersebut dalam bingkai keutuhan dakwah Nabi Muhammad SAW, yang di dalamnya juga menganjurkan umatnya untuk mendayagunakan akalnya, juga tidak menyalahkan bahkan bangga kepada mereka yang senantiasa berpegang teguh kepada al‑Qur’an dan al‑Sunnah kemudian mencari solusi dengan ijtihad bila secara eksplisit tidak dijumpai di dalam kedua sumber ajaran tersebut.

Namun demikian, sebagaian juga dapat membantah riwayat Mu’az tersebut, sebab persoalan yang dihadapi Mu’az adalah ketika di dalam al‑Qur’an dan al‑Sunnah tidak ada, sementara yang diperdebatkan di dalam bahasan ini adalah memaknai sesuatu yang telah ada yaitu ayat al-­Qur’an. Maka dalam rangka menjawab hal ini yang lebih tepat adalah keberadaan ayat‑ayat al-Qur’an yang tidak keseluruhannya mendapatkan penjelasan dari Nabi SAW.

Tidak seluruh ayat dijelaskan oleh Nabi, karena masyarakat Arab saat itu (para sahabatnya) tidak membutuhkan penjelasan, sebab ayat‑ayat al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas (bi ‘arabiyyi<n mubi<n), sehingga hanya ayat‑ayat tertentu yang dianggap musykil oleh mereka sajalah yang dimintakan penjelasannya dari Nabi SAW.

Dengan berjalannya waktu, juga perluasan wilayah Islam, sudah barang tentu telah terjadi pergeseran-­pergeseran, mulai dari rasa kebahasaan orang Arab sendiri, lebih‑lebih masyarakat yang bukan Arab, padahal Nabi SAW sendiri, sebagai pemilik otoritas penjelas telah tiada, maka sekiranya Nabi SAW masih hidup pastilah penjelasan ayat‑ayat al‑Qur’an semakin banyak dan bisa mencapai seluruhnya, namun tidak demikian adanya. Nabi secara umum telah menunjukkan metodeyang tepat di dalam menafsirkan al‑Qur’an yaitu dengan melalui tafsir al-Qur’an itu sendiri, kemudian selainnya dapat dipahami dari kandungan bahasa yang dimiliki al-Qur’an yang (setidaknya menurut ukuran bahasa para sahabatnya pada saat itu), oleh karenanya menjadi penting untuk memahami maksud al-Qur’an dengan melihat cakupan bahasa berikut rnoment yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut.

Atas dasar ini pulalah sahabat seperti ibn ‘Abbas melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an yang tidak semuanya bersumber dari, Nabi SAW melainkan curahan pemikirannya yang diakui kemampuannya sekaligus dikenal mendapat doa khusus dari Nabi SAW agar ia mampu memahami agama dan menguasai pengetahuan tentang pentakwilan suatu ayat. Ia  menafsirkan melalui telaah bahasa yang telah dikenal pada masa turunnya ayat yang kemudian dikukuhkan dengan syair‑syair yang tumbuh pada saat itu, demikan pula yang terkait dengan cerita‑cerita masa lalu dalam al‑Qur’an, Ibn ‘Abba>s juga menyandarkan kepada cerita Israilliyat yang dapat dipertanggungjawabkan dan sebagainya.

Artinya Ibn ‘Abba>s‑pun telah menggunakan ra’yu‑nya, hanya bukan semata‑mata muncul dari nalar apalagi nafsunya, melainkan muncul dari pengetahuan dan dukungan dalil atau bukti‑bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Sekiranya apa yang dia lakukan ini sebagaimana yang dimaksudkan Nabi SAW dalam hal larangan menafsirkan al-­Qur’an dengan al‑rayu, maka dapat dipastikan ibn ‘Abbas tidak akan melakukan hal itu, demikian pula dengan sahabat lainnya seperti Ibn Mas’ud, ‘Aisyah dan lainnya.

Bagi kelompok yang menolak  tafsir bi al-ra’y selalu menyebut dalam kategori tafsir Mu’tazilah artinya di luar Sunni, hal ini merupakan anggapan ideologi semata. Karya-karya tafsir bi al-ra’y diantaranya penafsiran Abd al-Rah}ma>n al-Asa>m, al-Juba’i, Abd al-Jaba>r, al-Ha>ni, al-Zamakhsyari< dan tafsir-tafsir yang sealiran dengan mereka.

Maka dari sini Husain al-Zahabi mengkompromikan antara pendapat yang menolak dan yang memperbolehkan tafsir bi al-Ra’y  dengan menjadikan dua golongan yaitu tafsir bi al-Ra’y Mazmu>m dengan bi al-Ra’y Mah}mu>d.

Adalah sesuatu yang sangat berbeda antara hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y dengan tafsir bi al-ra’y karena tafsir bi al-ra’y merupakan tafsir yang dalam penafsirannya mengedepankan akal namun tetap dalam bingkai kaidah syara’.

Sesungguhnya semua tafsir yang disebut dengan tafsir bi al-ra’y baik yang Mu’tazilah, Syiah maupun yang Sunni tidak ada satupun diantaranya yang tidak menggunakan akal (ra’y) artinya tafsir bi al-ra’y yang lebih diidentikkan dengan tafsir Mu’tazilah oleh golongan Sunni ini sebenarnya masih kembali atau tetap dalam koridor penafsiran yang memperhatikan ayat-ayat yang lain, hadis-hadis, kaidah-kaidah bahasa arab serta memperhatikan pendapat ulama sebelumnya.

Alhasil tafsir bi al-ra’y  memang dalam menafsirkannya didominasi oleh akal namun tetap dalam kaidah syara’, jadi jika dihubungkan dengan hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y sangatlah berbeda, karena menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y artinya hanya dengan pendapatnya semata.

BAB V

PENUTUP

 

  1. A.    Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian tentang hadis‑hadis larangan menafsirkan al‑Qur’an dengan al‑ra’y, dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Tentang makna al‑ra’y yang terlarang dalam kandungan hadis tersebut adalah penafsiran yang hanya didasarkan pada nalar semata dengan tidak memperhatikan riwayat atau kaedah‑kaedah atau pengetahuan yang terkait atau tidak selaras dengan prinsip‑prinsip syar’i, lebih-­lebih melakukan kebohongan atas al‑Qur’an tersebut.
  2. Pada dasarnya tafsir bi al‑ra’y yang masih memenuhi persyaratan penafsiran yaitu telaah kebahasaan, rnemperhatikan riwayat yang terkait dengan situasi dan kondisi saat ayat tersebut turun, memahami nasikh mansukh dan lainnya juga selaras dengan prinsip syar’iy, maka diperkenankan, sebaliknya yang hanya menggunakan nalar semata, lebih‑lebih timbul dari nafsunya, maka penafsiran bi al‑ra’y seperti ini terlarang.
  3. Ra’yu yang diberlakukan dalam hadis ini adalah ra’yu yang tanpa memandang ketentuan-ketentuan kebahasaan (dalam hal ini bahasa Arab) juga tidak sesuai dengan dalil-dalil syar’i atau tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan di dalam penafsiran, maka semua ulama sepakat penggunaan ra’yu yang demikian terlarang.
  4. Adapun redaksi hadis secara umum dapat dipadukan sebagai berikut: man qala fi al‑qur’an, sebagian riwayat menggunakan man qala fi kitabillah (siapa yang mengungkapkan/rnembicarakan tentang isi al‑Qur’an), sebagian lain dengan kata man kazaba fi al‑Qur’an, atau man kazaba ‘ala al‑Qur’an (siapa yang berbuat kebohongan tentang atau atas isi al‑Qur’an). Kemudian diikuti bi al-ra’yihi dan di dalam riwayat lain bil gair ‘ilm. Sebagian riwayat menegaskan fa asaba faqad akhtala (lalu benar perolehannya, sungguh telah keliru) dan terakhir diikuti ancaman fal yatabawwa’ maq’adahu min al‑nar (maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka).
  5. Hadis larangan ini ditinjau dari kuantitas rawinya berstatus ahad, sedangkan dari sisi kualitas keseluruhan hadis tidak sampai derajat sahih, melainkan hasan saja, bahkan sebagian jalur sanadnya da’if.

 

  1. B.    Saran

Setelah melakukan penelitian ini tampaknya perlu ditindak lanjuti dengan penelitian berikutnya yaitu meneliti secara seksama kitab‑kitab tafsir yang ada, apakah masih dalam koridor tafsir bi al‑ra’y yang tidak masuk pada kategori diancam Nabi SAW atau justru tafsir tersebut benar‑benar hanya menggunakan nalar atau hawa nafsunya semata.

Peneliti juga merasa bahwa apa yang telah dilakukan belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan, oleh sebab itu masih membutuhkan kritik konstruktif dari berbagai pihak yang memiliki konsern di bidang kajian tafsir dan hadis Nabi SAW.

Selebihnya, peneliti berharap apa yang telah dilakukan ini ada manfaatnya khususnya bag peneliti sendiri, dan umumnya bagi, pembaca laporan penelitian skripsi ini.

 

  1. C.    Penutup

Demikian akhirnya dengan mengucap alhamdulillahi rabbil alamin proses penelitian skripsi ini dapat diselesaikan sekalipun masih banyak kesalahan dan kekurangan di dalamnya. Terima kasih, semoga bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

 

A.J. Wensink, al‑Mu’jam al‑Mufahras li Alfa>z} al‑H{adi<s\ al-­Nabawi<, Leiden: E.J. Brill, 1943

Abu> ‘I<sa> Muh}ammad bin ‘I<sa> al‑Turmuzi< al‑Silmi< (209‑279), Sunan al‑Turmuzi<, Beirut: Dar Ihya’ al‑Turas al­’Arabi, t.t.

Abu> Tayyib Syam al‑H{aq al‑’Azi<m Abadi, ‘Aun al‑‑Ma’bu>d Syarh , Sunan Abi< Dawu>d, Beirut: Maktabah al-­Salafiyyah, t.t.

Ah}mad al‑Syirbasi, Sejarah Tafsir al‑Qur’an, terj. Tim Pustaka firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994

Ah}mad bin H{anbal, Abu> ‘Abdilla>h al‑Syaiba>ni. (164-241), Musnad al‑Ima>m Ah}mad bin H{anbal, Mesir: Mu’assasah Qart}ah, t.t.

‘Arabi al‑Maliki<, ‘Arid}ah al‑Ahwazi< S}ahi<h al‑Turmuzi<, Beirut: Da>r al‑Kutub al‑’Alamiyyah, 1997

Fah}d    bin ‘Abd al‑Rah}ma>n al‑Rumi<, ‘Ulu>m al‑Qur’a>n: Studi Kompleksitas al‑Qur’an, tej. Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Yogyakarta: Titian Ilahi press, 1999

H{asan Yu>nus ‘Ubaidu, Dira>sat wa Maba>h}is\ fi< Tari<kh al-­Tafsi<r wa Mana>hij al‑Mufassiri<n, Mesir: Markaz al-­Kitab li al‑Nasyr, t.t.

Ibn Manzu>r, Abu al‑Fad}l Jama>l al‑Di<n Muh}ammad bin Mukarram al‑Ifriqi al‑Mis}ri<, Lisa>n al‑’Arab, Beirut: Da>r al‑S}a>dir, 1990

Indal Abror, “Syuhudi Ismail dan Metodologi Pemahaman terhadap Hadis Nabi”, Essensla, Vol. 1, no. 2 Yogyakarta; Juli, 2000

Ka>mil Mu>sa> dan Ali Dahru>j, Kaifa Nafham al‑Qur’a>n, Dira>sah fi< al‑Maz\a>hib al‑Tafsi<riyyah wa Ijtiha>diha>, Beirut: Da>r Beirut al‑Mahrusah, 1992

Koentjoroningrat, Mebode‑metode Penelitian dalam Masyarakat, Jakarta: PT.Gramedia, 1997

Mah}mu>d al‑T{a>han, Tafsi<r Mus}t}alah al‑H{adi<s\, Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, 1985

Mubarakfuri,al-, Abu> al‑’Ula> Muh}ammad ‘Abd al‑Rah}ma>n ibn’Abd al‑Rahim (1283-1353), Tuhfah al‑Ahwaz\i bi Syarh Ja>mi’ al‑Turmuzi<, Beirut: Da>r al‑kutub al­’Ilmiyyah, t.t.

Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW, dalam pemahaman Tekstual dan Kontekstual, terj. Muhammad al‑Baqir, Bandung: Mizan, 1989

Muh}ammad bin ‘Ali< bin Hajar al‑’Asqa>lani, Tah}z\i<b al­-Tah}z\i<b, Beirut: Da>r al‑Fikr, 1984

Muh}ammad H{usain al‑Z|ahabi, al‑Tafsi<r al‑Mufassiru>n, Kairo: Multazam al‑Taba’ wa Nasr Dar kutub al-­Hadisah, 1961

Muh}ammad ibn Muh}ammad Husain al‑Z|abidi, Ittiha>f al‑Sa>dah al‑Muttaqi<n Syarh Isra>r Ihya>’ Ulu>m al‑Di<n, Beirut; Da>r Ihya>’ al‑’Arabi, t.t.

Munawar Cholil, al‑Qur’an dari Masa ke Masa, Solo: C.V. Ramadhani, 1985

Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah, Implikasinya Pada Perkembangan hukum Islam, Semarang: Aneka Ilmu, 2000

Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan, Yogyakarta: YPI al‑Rahmah, 2001

Sa’ati, Al‑, Ah}mad ‘Abd al‑Rah}ma>n al‑Banna>, al‑Fath} al-­Rabba>ni, Beirut: Da>r al‑Tura>s\ al‑’Arabi, t.t.

Subhi al‑S{a>lih, ‘Ulu>m al‑H{adi<s\ wa Mus}t}ala>huhu, Beirut: Da>r al‑’Ilm li al‑Malayin, 1997

Sulaiman bin al‑Asy’as Abu> Dawu>d al‑Sijistani< al‑Azdi< (202‑275), Sunan Abl< Dawu>d, Beirut: Da>r al‑Fikr, t.t.

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1994

Syaikh Muh}ammad, ‘Abd al‑Rah}ma>n al‑Fakki<, Us}u>l al‑Tafsi<r wa Qawa>’iduhu, Beirut :  al‑Taqus, 1986

Syat}ibi, Al‑, al‑Muwa>faqat fi< Us}u>l al‑Syari<‘ah, Mesir: al-­Maktabah al‑Tijariyyah al‑Kubra, t.t

Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma’an! al‑Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994

Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Utang Ranuwijaya,  Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996

 

Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, teori Muhmmad al‑Baqir, Bandung: Karisma, 1995

Yusuf Qardhawi, Metode Memahami al‑Sunnah dengan Benar, terj. Syaifullah Kamalie, Jakarta: Media Dakwah, 1994

 

 


[1] Istilah taqrir berasal dari bentuk masdar kata kerja qarrara, menurut bahasa kata Taqrir ini berarti penetapan, pengukuhan atau persetujuan. Lihat Muhammad bin Mukarram bin Mandur. Lisan al‑’A‑rab, (Mesir: al‑Dar al‑Misriyyah, t.t), juz VI, hlm. 394. Dalam ‘Ulum al-Hadis, istilah taqrir‑ ini adalah perbuatan sahabat Nabi SAW yang didiamkan atau tidak dikoreksi oleh Nabi SAW, dengan demikian taqrir merupakan sikap Nabi SAW yang membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkannya. Lihat Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), hlm. 15. Lihat pula Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan, (Yogyakarta: YPI al‑Rahmah, 2001), hlm. 1.

[2] Istilah mutawatir secara bahasa berarti tatabu’ (berurutan), sedangkan dalam terminologi ‘Ulum al‑Hadis, istilah mutawatir arti berita yang diriwayatkan oleh banyak orang pada setiap tingkatan mulai dari tingkat sahabat hingga mukharrij yang menurut ukuran rasio serta kebiasaan, mustahil para periwayat yang jumlahnya banyak tersebut bersepakat untuk berdusta. Lihat Subhi al‑Salih, ‘Ulum. al‑Hadis wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar al‑’Ilm li al‑Malayin, 1997), hlm. 146; juga Mahmud al‑Tahan, Taisir Mustalah al‑Hadis,(Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, 1985), hlm. 18

[3] Istilah ahad dalam ‘Ulum al‑Hadis memiliki pengertian berita yang disampaikan oleh orang perorang yang tidak sampai pada derajat mutawati.

[4] Maksud dari qat’iy al‑wurud atau qat’iy al‑subut adalah kebenaran beritanya absolut (mutlak), sedangkan zhanniy al-wurud atau zhanniy al‑subut adalah tingkatan kebenaran dari beritanya adalah nisbi (relatif). Lihat al‑Syatibi, al-Muwafaqat fl usul al‑Syari’ah, (Mesir: al-Maktabah al‑Tijariyyah al‑Kubra, t.t), juz 3, hlm. 15‑16.

[5] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h1m. 4

[6] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma’ani al‑Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 4

[7] Qs. 34: 28

[8] Qs. 21: 107

[9] Syuhudi Ismail, op.cit.

[10] Yusuf Qardhawi, Metode Memahami al‑sunnah dengan Benar, terj. Syaifullah Kamalie, (Jakarta: Media Dakwah, 1994), hlm. 35

[11] Ibid.

[12] Munawar Cholil, Al-Qur’an dari Masa ke Masa, (Solo: C.V.Ramadhani, 1985), hlm. 167

[13] Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa al‑Turmuzi al‑Silmi, Sunan al­Turmuzi, (Beirut: Dar Ihya’ al‑turas al‑’Arabi, t.t.), juz 5, hlm. 199

[14] Fahd bin ‘Abd al‑Rahman al‑Rumi, Ulum al-Qur’an: Studi Kompleksitas al‑Qur’an, tej. Amirul Hasan dan Muhamad Halabi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), hIm. 210

[15] Ahmad al‑Syirbasi, Sejarah Tafsir al‑Qur’an, terj. Tim Pustaka firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 106‑107

[16]Al‑Mubarkfuri, Abu al‑Ula Muhammad ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd al‑Rahim, tuhfah al‑Ahwazi Syarh Jami’ al‑Turmuzi, (al‑Madinah al-­Munawarah: al‑Maktabah al‑Salafiyyah, 1967), juz 8, hlm. 228; Lihat pula ‘Arabi al‑Maliki, ‘Aridah al‑Ahwazi Sahih al‑Turmuzi, (Beirut: Dar al‑Kutub al‑’Alamiyyah, 1997), juz 4, hlm. 5

[17] Abu Tayyib syams al‑Haq al‑’Azim Abadi, ‘Aun al‑Ma’bud SyarhSunan Abi Dawud,Beirut: Maktabah al‑Salafiyyah, t.t.), hlm. 84‑86

[18] Ibid.

[19] Muhammad ibn Muhammad Husain al‑Zabidi, Ittiha>f al‑Sa>dah al­-Muttaqi<n Syarh Israr ‑Ihya ‘Ulu>m al‑Di<n, (Beiru>t;Da>r Ihya>’ al‑’Arabi, t.t.), hlm. 536‑537

[20] Husain al‑Zahabi, al‑Tafsi<r al‑Mufassiru>n, (Kaero: Multazam al‑Taba’ wa asr Da>r Kutub al‑Hadi<s\ah, 1961), cet. I, hIm. 176

[21] Ibid.

[22] Syaikh Muhammad ‘Abd al‑Rahman al‑Fakki, Usul al‑Tafsir wa Qawa’iduhu, (Beirut: al‑Taqus, 1986), hlm. 171

[23] Koentjoroningrat, Metode‑metode Penelitian dalam Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia, 1997), hlm. 63

[24] Sutrisno Hadi, Metodoloqi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), hlm. 3

[25] Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya PadaPerkembanganHukum Islam, (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), hlm. 145‑146

[26]Indal Abror, “Syuhudi Ismail dan Metodologi Pemahaman terhadap Hadis Nabi”, Essensia, Vol. I, no. 2 (Yogyakarta; Juli, 2000), hlm. 42

 

[27] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 124. Lebih lanjut tentang pentingnya memahami hads Nabi secara benar, maka berbagai upaya dalam memahami hadis Nabi baik secara tekstual maupun kontekstual telah banyak dilakukan oleh para ahli, di antaranya Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994); Muhammad al‑Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW, dalam pemahaman Tekstual dan Kontekstual, terj. Muhammad al‑Baqir, (Bandung: mizan, 1989); Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, terj. Muhammad al‑Baqir, (Bandung: Karisma, 1995)

 

[28] Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, terj. Muhammad al‑Baqir, (Bandung: Karisma, 1993), hlm. 17‑21

[29] Ibid., hlm. 22‑26

[30] Ibid., hlm. 92‑93

[31] Ibid., hlm. 106

[32] Ibid., hlm. 117‑118

 

[33] Ibid., hlm. 131

[34] Ibid., hlm. 147‑148

[35] Ibid., hIm. 167

 

[36] Ibid., hlm. 188‑191

[37] Ibid., hlm. 195‑197

[38] Syuhudi Ismail, hadis Nabi.., op.cit., hlm. 3‑5

[39] Ibid., hIm. 6‑7

[40] Ibid., hlm. 9

[41] Ibid., hlm. 33‑34

 

[42] Ibid., hlm. 49

[43] Ibid., hIm. 71

19 Ibid., hlm. 73

 

[45] A.J. Wensink, al‑Mu`jam al‑Mufahras li Alfaz al‑Hadis al-Nabawi, (Leiden: E.J. Brill, 1943)

[46] Abu `Isa Muhammad bin `Isa al‑Turmuzi al‑Silmi (209‑279), Sunan al‑Turmuzi, (Beirut: Dar Ihya’ al‑Turas al‑`Arabi, t.t.), juz 5, hlm. 199

[47] Ibid…

[48] Ahmad bin Hanbal, Abu `Abdillah al‑Syaibani (164-241), Musnad al‑Ima>m Ah}mad bin H{anbal,(Mesir: Mu`assasah Qartah, t.t.), jilid 1, hlm. 233

[49] Ibid., jilid 1, hlm. 269

[50] Ibid., jilid 1, hlm. 323

[51] Ibid., jilid 1, hIm. 327

[52] Abu `Isa al‑turmuzi, op.cit., juz 5, hlm. 200

 

[53] Sulaiman bin al‑Asy`as Abu Dawud al‑Sijistani al‑Azdi (202‑275), Sunan Abi Dawud, (Beirut, Dar al‑Fikr, t.t.), juz 3, hlm. 320

[54] Muhammad bin `Ali bin Hajar al‑`Asqalani, Tahzib al‑Tahzib, (Beirut: Dar al‑Fikr, 1984), juz 5, hlm. 242‑245

 

 

[55] Ibid., juz2, hlm. 101

 

 

[56] Ibid., juz 4, hlm. 11‑13

[57] Ibid., juz 6, hlm. 346

[58] Ibid., juz 6, hlm. 86‑87

 

 

 

[59] Ibid., juz 4, hm. 229‑230

[60] Ibid., juz 4, hlm. 97

 

 

 

[61]Ibid., juz 11, hlm. 103‑106

[62] Ibid., juz 2, hlm. 148‑149

[63] Ibid., juz 11, hlm. 335

 

 

[64] Ibid., juz 11, hlm. 109‑114

[65]Ibid., juz 10, hlm. 339-340

 

 

[66]Ibid., juz 11, hlm. 42‑43

[67]Ibid., juz 7, hlm. 205‑209

[68]Ibid., juz 6, hlm. 402‑403

 

 

 

[69]Ibid., juz 6, hlm. 17‑18

[70]Ibid., juz 4, hlm. 243‑244

 

 

 

[71]Ibid., juz 1, hlm. 394‑395

[72]Ibid., juz 10, hlm. 58‑59

[73]Ibid., juz 4, hlm. 109‑110

[74] Muhammad Syam al‑Haq al‑’Azim Abadi<, Abu> al‑Tayyib, ‘Aun al-­Ma’bu>d, (Beirut: Dar al‑Kutub al‑’ilmiyyah, 1415 H), juz 10, hlm. 61

[75] Al‑Mubarakfuri, Abu> al‑’Ula> Muhammad ‘Abd al‑Rahma>n ibn ‘Abd al‑Rahi<m (1283‑1353), Tuhfah al‑Ah}wazi bi Syarh Jami<‘ al‑Turmuzi<, (Beirut: Da>r al‑Kutub al‑’Ilmiyyah, t.t.), juz 8, hlm. 223; Lihat pula al‑Sa’ati, Ahmad ‘Abd al‑Rahma>n al‑Banna> al‑Fath al‑Rabbani<, (Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>s} al‑’Arabi, t.t.), Juz 18, hlm. 62

[76] Al‑Mubarakfuri, Ibid.; al‑Sa’ati, Ibid..

[77] Al‑Mubarakfuri, Ibid., juz 8, hlm. 225

[78] Ibn Manz\u>r, Abu al‑Fadl Jamal al‑Di<n Muhammad bin Mukarram al­-Ifriqi al‑Misri, Lisa>n al‑’Arab, (Beirut: Dar al‑sadir, 1990), juz 14, hlm. 300

[79] Al‑Mubarakfuri, op.cit., juz 8, hlm. 224; Abadi, loc.cit.

[80] Al‑Mubarakfuri, Ibid., juz 8, hlm. 223, al‑Sa’ati, loc.cit.

[81] Ibid., juz 8, hlm. 225; Abadi., loc.cit.

[82]Ibid., juz 8, hlm. 226

[83] Abadi, loc.cit.

[84] Ibid.; al‑Mubarakfuri, op.cit., juz 8, hlm. 224

 

[85] Al‑Mubarakfuri, Ibid., juz 8, hlm. 224

 

[86] Ibid

 

[87] Muhammad Husain al‑Z|ahabi, al‑Tafsi<r wa al‑Mufassiru>n, (Beiriit: Da>r al‑Kutub al‑Hadisah, t.t)., jilid 1, hlm. 255

[88] Ibid. lihat pula Hasan Yunus ‘Ubaidu, Dira>sat wa Maba>his\ fi< Ta>rikh al‑Tafsi<r wa Mana>hij al‑Mufassiri<n, (Mesir: Markaz al‑Kitab Ii al‑Nasyr, t.t.), hlm. 100

[89] Kamil Musa dan Ali Dahruj, Kaifa Nafham al-Qur’a>n, Dira>sah fi< al‑Maza>hib al‑Tafsriyah wa Ijtiha>diha>, (Beirut: Dar Beirut al‑Mahrusah, 1992), hIm. 211

[90] Muhammad Husain al‑Z}ahabi, op. cit. , hIm. 256‑261; Hasan Yunus ‘Ubaidu, op.cit., hlm. 101 juga Kamil Musa dan ‘Ali Dahruj. op.cit., hlm. 1‑11‑212

[91] Muhammad Husain al‑Z|ahabi, Ibid., hIm. 261‑263; Hasan Yunus ‘Ubaidu, Ibid., hlm. 101‑105 juga Kamil Musa dan ‘Ali Dahruj, Ibid., hlm. 212‑213

[92] Kamil Musa dan ‘Ali Dahruj, op.cit., hlm. 215